Demokratisasi dari Gerakan Agraria: Capaian dan Tantangannya

Wawancara dengan KataKawan (14 Juli 2020)

Gerakan sosial telah ditekankan oleh para peneliti politik sebagai faktor pendorong demokratisasi. Demokratisasi ‘dari bawah’ ini memiliki peranan penting di negara-negara berkembang seperti Filipina dan Thailand. Dalam studinya, Iqra Anugrah mempelajari gerakan agraria untuk memberi pencerahan pada hubungan saling memengaruhi antara gerakan sosial dan konteks rezim demokrasi di Indonesia. Dia memfokuskan perhatiannya pada land right movements (gerakan hak atas tanah), khususnya pada pengorganisasian para petani.

Fokusnya pada “peasant question” ini bertautan erat dengan berbagai literatur state formation di ilmu politik, sosiologi politik, dan sosiologi historis. “Kalau kita membahas persoalan negara, kita akan ketemu dengan peasant question,” tuturnya. 

Para peneliti menyatakan bahwa gerakan petani pada masa Orde Baru memiliki peran penting dalam demokratisasi di Indonesia. Keruntuhan Orde Baru membuka ruang kebebasan, kemudian memfasilitasi perubahan pada gerakan petani. 

Berangkat dari sana, studi ini mengajukan dua masalah utama di Indonesia pasca-otoritarian. Pertama, bagaimana gerakan petani merespon perubahan-perubahan politik di tingkat lokal. Kedua, bagaimana mereka merespon perubahan agraria, meliputi pengambilan kebijakan dan politik agraria.

Iqra mengkombinasikan studi historis dan empiris pada kasus-kasus lokal gerakan agraria di Indonesia. Rentang data historis yang dikumpulkannya meliputi beberapa dekade. Sedangkan, data empirik dikumpulkan secara etnografis melalui wawancara dan observasi terhadap warga dari beberapa desa. 

Dari Kesatuan ke Fragmentasi

Konflik agraria pada era Orde Baru menerima perhatian khalayak luas pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Pada saat yang bersamaan, terdapat upaya untuk membangun jaringan dan aliansi, yang menghubungkan para petani pedesaan dan aktivis perkotaan. Alhasil, terbentuk beragam perserikatan di tingkat lokal hingga nasional, seperti Serikat Petani Jawa Barat (SPJB), Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) dan Serikat Tani Nasional (STN).

Gerakan agraria yang bersatu ini dinilai lebih efektif untuk menantang kekuasaan elit pada rezim Orde Baru dibandingkan pada era reformasi saat ini. “Gerakan agraria sama kayak buruh. Dia memberikan tekanan yang cukup pada rezim otoriter pada waktu itu. Jadi perlu tekanan dari bawah, tapi itu saja tidak cukup,” jelas Iqra. 

Ada beberapa faktor lain di waktu bersamaan yang membuat rezim Orde Baru runtuh, sedikit diantaranya adalah krisis moneter, perpecahan di antara elit, dan tekanan dari oposisi kelas menengah. Di satu sisi, bersama faktor-faktor itu, gerakan agraria pada rezim Orde Baru nampak efektif dalam menentang kuasa pemerintah otoriter. Di sisi lain, isu-isu yang lebih luas mengenai pertanahan kurang terangkat dan hanya menjadi ‘catatan kaki’ dalam upaya menumbangkan rezim Soeharto. 

Ruang gerak yang lebih bebas dirasakan oleh para aktivis dan petani setelah Orde Baru. Pada masa ini, pengorganisasian gerakan agraria jadi lebih terbuka dan cara yang mereka gunakan dalam mengonfrontasi otoritas juga lebih bervariasi. Sayangnya, mereka tidak membawa perubahan yang signifikan dalam isu pertanahan, khususnya dalam urusan kebijakan. Hingga hari ini, para aktivis belum mampu mengubah kebijakan terkait kepemilikan tanah dan redistribusi lahan.

Mobilisasi massa menjadi salah satu cara dalam penyelesaian masalah masing-masing kelompok gerakan. “Dari mulai 2000-an awal sampai sekarang, ada saja mobilisasi gerakan tani atau agraria. Tapi, tuntutannya beda-beda dan sifatnya kasuistik, kasus per kasus,” ujar Iqra. Saat mereka mencapai tujuannya, yaitu solusi untuk masalah yang diperjuangkan, mobilisasi ini pun selesai. Jadi, kebebasan ruang gerak politik yang diterima pasca Orba tidak cukup untuk membawa perubahan yang lebih besar, seperti land reform.

Sekalipun menikmati kebebasan berkumpul dan berserikat, tindakan represif masih menjadi tantangan sendiri bagi para aktivis. “Represi ada, tapi sifatnya episodik. Mungkin jadi lebih menantang melihat (kasus represi), (karena) di konteks elektoral semata, dia tidak ada manipulasi elektoral ala Orba. Model-model represinya juga tidak model seperti Orba,” ucap Iqra.

Tindakan represif ini masih terjadi di banyak tempat, menurut keterangan para partisipan. Tekanan ini juga terjadi secara acak dan ia berpengaruh terhadap daya pukul gerakan. Kondisi ini diiringi oleh respon negara yang seperti bermain ‘dua kaki’; pemerintah mengupayakan mediasi dan mitigasi konflik, namun tidak menyasar langsung pada jantung permasalahan. 

Masalah fundamental agraria yang dimaksud diantaranya adalah ketimpangan struktur agraria dan diferensiasi kelas yang menanjak. Hasilnya, dalam lima tahun terakhir tidak terlihat banyak perubahan. “Ada momen-momen perubahan, tapi sekejap saja, tidak long lasting. Tidak memberikan momentum untuk menjadikan itu sebagai titik pijak bagi perubahan yang lebih radikal lagi,” ungkap Iqra.

Fragmentasi juga menjadi ciri utama dalam perkembangan gerakan agraria di masa ini. Kebanyakan serikat dan aliansi petani ada di tingkat yang sangat lokal. Keberadaan aliansi di tingkat nasional juga ada, tapi tidak stabil. Beberapa kelompok gerakan, seperti Serikat Petani Pasundan (SPP), menarik diri dari sana. Dinamika internal di masing-masing organisasi dan serikat pun memberi tantangan tersendiri bagi jalannya gerakan agraria. Ada beragam ketidaksepakatan dan perbedaan pemahaman pada urusan struktur organisasi dan orientasi politik.

Penyebab fragmentasi ini beragam. Salah satunya adalah perbedaan tendensi politik. “Peta besar gerakan agraria terbagi dua, reformis dan populis,” jelas Iqra. Wajah gerakan reformis di pedesaan adalah Bina Desa serta Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

 Sedangkan, gerakan populis lebih berfokus pada tindakan yang transformatif. Pengelola organisasi gerakan populis banyak yang cenderung berhaluan kiri. Contohnya adalah Barisan Tani Indonesia (BTI). Fragmentasi ini juga semakin meningkat sejak Pilpres 2019 karena banyak organisasi tani yang merapat ke masing-masing kubu capres saat itu. 

Banyak aktivis senior dari gerakan agraria yang mencoba masuk untuk melakukan intervensi ke administrasi negara. Cara ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan taktik kelompok gerakan yang amat kontensius. Harapannya, mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah pertanian secara diplomatis. Meski cara ini mampu mengubah beberapa aspek dalam hukum, para aktivis di sana terbatas dalam kapasitasnya untuk melakukan perubahan yang signifikan dan mendasar pada tingkat kebijakan.

Keikutsertaan aktivis dalam politik formal juga harus dilihat dengan penuh kehati-hatian. “Saya tidak anti dengan intervensi negara, menurut saya malah harus. Tapi, (intervensi negara) harus dikontrol oleh gerakan sosial,” ujar Iqra. Mengirim utusan gerakan ke dalam politik formal tentu diperlukan kontrol dan pengecekan akuntabilitas orang tersebut. 

Intervensi kekuasaan yang setengah matang ini hanya akan berakhir pada adventurisme politik, di mana sang utusan mencoba-coba terus peruntungan politiknya agar dapat terpilih tanpa melihat lagi pertanggungjawabannya terhadap gerakan. Akibatnya, status gerakan hak atas tanah hari ini pun dapat dikatakan masih dalam posisi ‘status quo’.

Implikasi

Demokratisasi tidak hanya terjadi dari atas. Gerakan sosial juga memiliki peranan penting dalam perkembangan demokrasi dan wujud peranan itu bervariasi, sesuai konteks masing-masing wilayah. Riset ini menyuguhkan sebuah gambaran dan penilaian perihal gerakan agraria yang terus relevan di masa demokrasi elektoral sekalipun. 

Pada masa Orba, gerakan agraria memang dibatasi oleh lembaga politik formal. Tetapi mereka berhasil memberi tantangan yang signifikan pada rezim Soeharto. Beberapa tahun setelah keruntuhan Soeharto, demokrasi menjadi konteks politik baru yang mengubah gerakan itu dalam banyak cara. Namun, mereka tidak mampu memberikan tantangan yang signifikan pada otoritas. Jadi, belum ada perubahan yang signifikan yang diwujudkan oleh gerakan agraria pada masa kini.

Peranan gerakan agraria dalam demokratisasi di Indonesia adalah menjaga isu pedesaan dan pertanahan sebagai salah satu fokus nasional. Agenda yang lebih besar seperti reforma agraria belum tercapai, sehingga belum ada perubahan besar yang dihasilkan.

Penulis: Pulina Nitya
Editor: Reka Kajaksana

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s