Demokrasi tanpa Demokrat

DEMOKRASI TANPA DEMOKRAT
Iqra Anugrah
MAHASISWA DI COLLEGE OF ASIA-PACIFIC STUDIES, RITSUMEIKAN ASIA-PACIFIC UNIVERSITY

Masa depan demokrasi di Indonesia sedang berada dalam fase yang amat genting. Beberapa tahun yang lalu kita kehilangan Cak Nur, dan belum lama ini kita kehilangan Gus Dur. Ketiadaan dua figur yang selalu berkomitmen dan membela demokrasi serta nilai-nilai demokratik itu seakan-akan menambah panjang daftar ujian bagi bangsa ini. Berbagai skandal dan permasalahan politik, mulai kasus Bank Century, masalah internal KPK, pengemplangan pajak oleh aktor-aktor bisnis, hingga pembakaran rumah ibadah, seakan-akan menyiratkan masa depan yang suram bagi demokrasi di Indonesia. Hal ini menyiratkan pertanyaan yang besar bagi kita semua: adakah masa depan demokrasi di Indonesia? Apa yang terjadi ketika sistem demokratik yang kita terapkan sekarang ternyata belum mampu membawa kesejahteraan dan keadilan?

Fenomena ini merupakan bagian dari menjamurnya demokrasi illiberal. Mengutip Fareed Zakaria, demokrasi illiberal merupakan demokrasi tanpa nilai. Demokrasi seakan-akan hanya dipahami sebagai prosedur elektoral saja. Akibatnya, demokrasi hanya diartikan sebagai cara untuk memperoleh legitimasi melalui proses pemilu. Padahal, demokrasi tidak sama dengan pemilu.

Dalam suatu sistem politik yang demokratik, ada satu persyaratan lagi yang menjadi keniscayaan, yaitu semangat konstitusionalisme atau republikanisme. Dalam konteks suatu republik konstitusional, nilai-nilai yang menjadi landasan utama adalah kebebasan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai konsepsi legal-politik seperti supremasi hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia, penghormatan terhadap kepemilikan pribadi, dan perlindungan minoritas. Demokrasi dan kebebasan konstitusional, menurut Zakaria, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Menerapkan demokrasi hanya dalam taraf pemilihan umum saja adalah reduksi dari arti demokrasi itu sendiri.

Gejala demokrasi tanpa nilai itulah yang sepertinya sedang menjalar di Indonesia. Berbagai permasalahan politik yang kita hadapi sesungguhnya adalah tantangan dan ujian bagi demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi yang kurang nilai, kebebasan dan keadilan publik senantiasa terancam, dan proses politik menjadi tidak berbeda jauh dari sandiwara atau komedi. Karena itu, tidak aneh apabila sekarang masyarakat dihadapkan pada berbagai fenomena sosial-politik yang unik, dari merebaknya fundamentalisme keagamaan hingga ulah para politikus di gedung parlemen yang mirip dagelan, yang ironis karena justru terjadi di era demokrasi. Politik telah kehilangan maknanya, dari usaha kolektif individual tiap-tiap warga negara untuk mencapai tujuan yang lebih baik menjadi hajatan elektoral tahunan yang tanpa nilai dan sopan santun atau fatsun.

Bagi sebuah bangsa dengan umur demokrasi yang masih “seumur jagung” seperti Indonesia, kejadian ini bisa membawa sebuah krisis demokrasi. Rakyat yang senantiasa dihadapkan pada, dan “diikutsertakan” dalam, drama politik yang tanpa ujung, terutama melalui media, dapat menjadi apatis dan enggan untuk berpartisipasi dalam politik. Tentu saja apatisme ini tidaklah sehat bagi demokrasi, yang memerlukan partisipasi aktif dari warga negaranya.

Menyelamatkan demokrasi
Menemukan jejak demokrasi dalam tradisi politik Indonesia bukanlah suatu hal yang jarang. Adalah Bung Hatta, salah satu dari dwitunggal proklamator kemerdekaan, yang menyadari bahwa demokrasi bukanlah suatu proses pemilihan dan pergantian semata, tapi juga memiliki esensi yang bahkan lebih dalam. Tugas bagi bangsa ini sekarang adalah mengedepankan nilai dan budaya yang menjadi prasyarat bagi tumbuh-kembangnya demokrasi di Indonesia. Kita memerlukan apresiasi terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan keterbukaan.

Karena itu, dalam level masyarakat, demokrasi tidak cukup jika diartikan hanya sebagai suara mayoritas (majority rule), namun juga perlindungan terhadap minoritas dan lebih penting lagi individual dan perbedaan. Kisah perusakan gereja di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini haruslah mendapat perhatian yang pantas dari setiap elemen masyarakat dan pemerintah.

Bagi politikus dan pembuat kebijakan, nilai demokratik sepatutnya juga diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari, baik di luar maupun di dalam parlemen. Sikap pemerintah akhir-akhir ini, baik lembaga eksekutif dan kepresidenan maupun parlemen, sayangnya tidak mencerminkan semangat tersebut. Hiruk-pikuk anggota DPR di Pansus Century maupun posisi reaksioner Presiden menanggapi demonstran yang membawa kerbau adalah satu bukti nyata bagaimana nilai-nilai demokrasi, kemampuan komunikasi publik, dan etika berpolitik masih merupakan hal yang langka di republik ini.

Menanggapi dinamika politik di Indonesia, tugas bangsa ini ke depan adalah menjaga dan memperkuat demokrasi. Seperti kemerdekaan Indonesia, demokrasi adalah manifestasi dari kebebasan atau free will manusia. Dalam konteks kenegaraan, membela demokrasi adalah membela kebebasan dan hak-hak warga negara. Demokrasi haruslah diperjuangkan. Dan untuk memperjuangkan demokrasi, dibutuhkan komitmen terhadap nilai-nilai demokratik sekaligus orang-orang yang bersedia memperjuangkan prinsip tersebut. Demokrasi hanya akan berhasil jika ia ditopang oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme republikan dan politikus-politikus demokratik. Demokrasi tanpa demokrat, seperti yang kita miliki sekarang, hanya akan berujung pada mobokrasi dan lawakan politik yang terinstitusionalisasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/03/06/Opini/krn.20100306.193048.id.html
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/03/06/INDEX.SHTML
http://bataviase.co.id/node/119828

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s