‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 2)

‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 2)

SEBELUMNYA telah kita bahas secara cukup menyeluruh mengenai ketegangan di antara dua konsepsi demokrasi: penafsiran arus utama tentang demokrasi sebagai pelanggeng status quo dan penafsiran alternatif tentangnya sebagai proyek politik rakyat pekerja. Sebagai pengingat, mari kita jabarkan lagi sejumlah tesis alternatif mengenai demokrasi:

Demokrasi sebagai ekpresi politik kelas
Demokrasi sebagai ekspresi perjuangan kelas
Demokrasi sebagai mekanisme partisipasi aktif warga
Demokrasi bertujuan melampaui separasi antara elit dan warga dan memfasilitasi pertempuran strategis dengan negara (strategic engagement with the state)
Disensus sebagai sendi utama politik demokratik
Setelah merobek ‘jubah ideologis’ demokrasi untuk proyek-proyek politik yang konservatif dan reaksioner, setelah melakukan kritik imanen terhadap konsepsi demokrasi semacam itu, maka sekarang adalah saatnya bagi kita sebagai bagian dari kaum progresif untuk membaca ulang demokrasi sebagai proyek politik emansipasi rakyat pekerja.

Kita tahu bahwa bagi mereka yang berkuasa, istilah demokrasi perlu dibersihkan dari konotasi kelasnya. Tetapi kita tahu bahwa sepanjang sejarahnya, demokrasi tidak terlepas dari konteks konflik dan kontradiksi antar kelas dan perjuangan kelas yang menjadi niscaya karena kontestasi tersebut. Demokrasi dapat dibaca sebagai kekuatan politik kaum miskin, sebagaimana didefinisikan oleh Aristoteles dalam Politics, maupun sebagai apa yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson (2009) dalam Economic Origins of Dictatorship and Democracy sebagai bagian dari strategi dan konsesi elit dalam menghadapi situasi revolusioner dan tuntutan redistribusi material secara radikal yang dipelopori oleh massa rakyat. Intinya, istilah demokrasi sesungguhnya tidak pernah terlepas dari konteks konflik kelas yang melatarbelakanginya.

Karena demokrasi adalah ekspresi politik kelas, maka demokrasi juga merupakan sebuah ekspresi perjuangan kelas. Selama ini kita seakan-akan lupa dan secara terlalu romantik dan vulgar terkadang mengidentikkan perjuangan kelas dengan long march, revolusi, dan perjuangan insureksionis dan bersenjata. Kita lupa bahwa jauh-jauh hari Engels sempat berkata bahwa evolusi damai menuju masyarakat baru, yaitu masyarakat sosialis, adalah mungkin ketika perwakilan-perwakilan rakyat pekerja telah berhasil mengamankan dan melaksanakan kekuasaan sesuai kehendak rakyat. Ada dua implikasi dari pernyataan Engels: pertama, demokrasi, termasuk dalam konotasi modernnya sebagai politik elektoral, juga merupakan suatu situs atau arena perjuangan kelas bagi rakyat pekerja dan kedua, politik demokratik adalah aspirasi politik yang inheren dalam perjuangan rakyat pekerja.

Karena demokrasi adalah ekspresi perjuangan kelas, maka demokrasi juga perlu dibaca sebagai mekanisme partisipasi aktif warga. Jikalau penafsiran arus utama atas demokrasi menaturalisasi dan melegitimasi demokrasi sebagai sebuah tatanan ekonomi-politik yang legitim dari sononya, maka penafsiran alternatif terhadapnya harus merevitalisasi karakter demokrasi sebagai sebuah mekanisme partisipasi aktif warga yang bertujuan mewujudkan daulat rakyat secara langsung menuju tatanan masyarakat egalitarian – dengan kata lain masyarakat tanpa kelas. Visi inilah yang dicanangkan Rousseau jauh-jauh hari, yang menemukan gaungnya di berbagai eksperimen politik rakyat pekerja, mulai dari Komune Paris hingga periode singkat Revolusi Sosial di Indonesia di masa awal kemerdekaan. Dalam terang ini, maka demokrasi bertujuan untuk melampaui separasi antara rakyat pekerja sebagai warga dan aparatus pemerintahan yang mewakilinya. Dengan demikian maka tendensi degenerasi negara dalam masyarakat kapitalis menjadi sekedar apa yang disebut Marx sebagai pemerintahan teknis, sebagaimana dapat kita lihat dalam berbagai eksperimen neoliberalisme di beberapa dasawarsa terakhir, dapat dilampaui dan perlahan disudahi melalui perluasan ruang-ruang pertempuran strategis dengan negara.

Dua pembacaan ulang di atas mengenai premis-premis dasar demokrasi hanya mungkin juga apabila kita melakukan pembacaan ulang atas premis ketiga dari demokrasi: bahwa adalah disensus, alih-alih konsensus, yang menjadi sendi utama politik demokratik, politik perlawanan rakyat pekerja. Dalam banyak studi mengenai demokrasi terutama negara-negara demokrasi baru peranan konsensus terutama konsensus antar elit sering digarisbawahi dan digadang-gadang sebagai fakor utama yang mendukung stabilnya demokrasi. Pernyataan ini, meskipun tepat, baru separuh benar. Dalam banyak hal, konsensus memang diperlukan. Tetapi, apabila beberapa konsensus yang sifatnya sementara diperlakukan seakan-akan sebagai sebuah pakta politik yang tidak dapat diganggu gugat, maka itu sama saja dengan membatasi ruang diskursus publik dan menutup kemungkinan untuk memulai dan meneruskan percakapan publik yang lebih luas. Persis disinilah disensus diperlukan. Disensus berangkat dari ketidaksepakatan, pertentangan, dan kontestasi. Elan seperti inilah yang diperlukan untuk terus menerus memungkinkan percakapan dan perdebatan publik yang lebih sengit, luas, dan mendalam dan dengan demikian ‘memaksa’ publik untuk terus menerus mencoba merumuskan hipotesa politik yang paling mungkin mendekati kebenaran dan kepentingan publik. Inilah yang terjadi di Perancis di masa Republik Ketiga dan Venezuela di bawah Chavéz. Menggunakan perumpamaan spasial dalam analisa politik yang digunakan Jodi Dean, disensus bagaikan sebuah horizon atau cakrawala: sebagaimana pemandangan yang tampak di depan kita tidak mungkin dimengerti tanpa adanya garis yang membatasi langit dan bumi, maka demokrasi dan seluruh percakapan tentang politik tidak mungkin dipahami tanpa adanya pengakuan terhadap perbedaan-perbedaan yang susah direkonsiliasikan, terhadap kontradiksi yang inheren dalam tiap-tiap ‘tubuh politik’ (body politic), terhadap disensus yang selalu inheren dan kerapkali mengemuka dalam tiap-tiap masyarakat.

Kritik ‘Anti-Demokrasi’ Sebagai Upaya Radikalisasi Demokrasi

Setelah kita mencoba menelaah secara lebih mendalam mengenai dua konsepsi tentang demokrasi dan ketegangan-ketegangan diantaranya, maka jelaslah mengapa kritik terhadap konsep demokrasi dan perlunya merumuskan sebuah posisi ‘anti-demokratik’ dalam beberapa hal tertentu menjadi penting. Tanpa adanya upaya pembongkaran mengenai berbagai conventional wisdom mengenai demokrasi, resikonya posisi Kiri-radikal bisa jadi tidak terbedakan dengan posisi kubu liberal dan bahkan kubu konservatif dan reaksioner. Di masa ketika setiap orang bisa berteriak ‘untuk demokrasi!’ dan mendapuk dirinya sebagai seorang demokrat, maka persis di titik itulah kubu Kiri-radikal perlu mengambil jarak dan melakukan kritik ideologis yang mendalam dan menyeluruh atas konsep demokrasi beserta segenap premis-premis dasarnya dan kemudian merumuskan suatu konsepsi alternatif mengenai demokrasi.

Itulah yang coba kita jajaki dalam dua seri tulisan pendek ini. Tentunya kita membutuhkan lebih banyak pembahasan yang lebih mumpuni dan menyeluruh mengenai persoalan ini, tetapi saya pikir dua seri tulisan ini bisa menjadi titik tolak untuk pembasan yang lebih lanjut. Dari penjajakan awal ini, apabila ada benang merah yang menghubungkan tiga premis alternatif tentang demokrasi yang sudah saya sebut di atas, maka itu adalah sebuah gagasan tentang demokrasi sebagai daulat rakyat pekerja secara langsung yang mencoba melampaui separasi antara elit dan aparatus penyelenggara negara dan ekonomi di satu sisi dan rakyat pekerja di sisi lain menuju sebuah tatanan ekonomi-politik yang egalitarian. Dengan kata lain, visi demokrasi ini begitu dekat dengan hipotesa dan tatanan komunistik, dalam artiannya sebagai ‘komunitas proletariat revolusioner’ sebagai ‘perkumpulan individu-individu…yang meletakkan kondisi-kondisi perkembangan dan pergerakan tiap-tiap manusia dalam kuasa mereka’.[1] Visi demokrasi ini dalam beberapa hal bersifat ‘diktatorial’, karena ia melegitimasi aksi rakyat pekerja untuk mempertahankan diri dari sekaligus menindak para penindasnya, tetapi pada hakikatnya visi ini juga begitu egalitarian, karena ia menjadikan kebebasan, keseteraan, dan persaudaraan antar sesama rakyat pekerja sebagai pedoman, cara, dan tujuannya.

Dengan kata lain, kritik ‘anti-demokrasi’ sesungguhnya adalah sebuah upaya revitalisasi potensi emansipatoris radikal dari diskursus demokrasi itu sendiri.***

Penulis adalah kandidat doktor di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

————

[1] Sebagaimana dikatakan Marx dan Engels dalam The German Ideology. Teks aslinya, ‘the community of revolutionary proletarians’ as an ‘association of individuals…which puts the conditions of the free development and movement of individuals under their control.’ (hal. 86-9).

‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 1)

http://indoprogress.com/2015/04/anti-demokrasi-sebuah-telaah-atas-konsep-demokrasi-dan-segenap-pembacaannya-bagian-1/HARI-HARI yang paling membosankan, membingungkan, dan membuat frustasi adalah ketika berbagai diskursus politik begitu menjemukan, repetitif, berorientasi instan, dan tidak terbedakan satu sama lain. Salah satu contoh dari diskursus tersebut adalah sebuah konsep yang sering kita dengar: demokrasi. Adalah satu hal yang ironis tatkala demokrasi menjadi sebuah ‘penanda kosong’ (empty signifier) yang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, menjadi sejumlah pembacaan yang terkadang kontradiktif satu sama lain.

Akibatnya jelas; pada akhirnya, tidak ada bedanya antara ‘demokrasi’ menurut para oligark dan ‘demokrasi’ menurut rakyat pekerja, antara ‘demokrasi’ menurut penjahat perang dan aktivis anti-perang, antara ‘demokrasi’ menurut Pinochet dan Allende, antara ‘demokrasi’ menurut tatanan imperium global dan orang-orang tanpa sejarah (people without history). Dalam konteks yang lebih dekat, yaitu perkembangan politik kita hari ini, ‘demokrasi’ kemudian tereduksi maknanya menjadi oper-operan bola antara Jokowi-Mega-Paloh-PDIP-dan segenap elit politik lain. Adalah ironis tatkala lembaga-lembaga paling teknokratis seperti Bank Dunia, agen-agen imperium seperti pasukan-pasukan negeri Barat yang ‘membebaskan’ Timur Tengah dari ‘kediktaroran’, dan sejumlah tokoh politik, komentator, dan intelektual sayap Kanan dengan berbagai variannya mulai dari Thatcher, para pengamat politik sayap Kanan di acara-acara televisi di Amerika Serikat (AS), hingga intelektual-intelektual binaan korporasi-korporasi besar menggunakan retorika ‘demokrasi’ dan kemudian menyandingkannya dengan istilah-istilah seperti ‘pasar bebas’, ‘efisiensi’, ‘identitas nasional’, ‘nilai-nilai tradisional’, dan lain sebagainya.

Jalan keluar dari kebuntuan diskursif ini menyaratkan penelusuran dan kritik yang mendalam atas konsep yang dijadikan tameng ideologis untuk menjustifikasi agenda-agenda politik yang paling konservatif dan reaksioner: demokrasi.

Beberapa Tesis tentang Demokrasi

Berdasarkan penelusuran terbatas saya atas sejumlah karya-karya kunci dalam kajian politik perbandingan dan filsafat politik, saya mengusulkan konsep demokrasi bisa kita sederhanakan dalam sejumlah tesis. Satu kemungkinan pembacaan atas konsep demokrasi dapat disederhanakan ke dalam sejumlah tesis berikut ini:

  1. Demokrasi sebagai ekspresi politik kelas
    • Demokrasi sebagai tatanan dan perangkat politik kelas yang berkuasa
  2. Demokrasi sebagai mekanisme pemilihan dan perputaran elit
    • Demokrasi menyarakat separasi antara elit dan warga serta negara dan masyarakat
  3. Konsensus sebagai sendi utama politik demokratik

Untuk memahami evolusi konsep demokrasi, kita perlu memahaminya dalam konteks sejarahnya. Konsep demokrasi sebagaimana kita pahami sekarang ini, yaitu yang identik dengan pemilihan umum (pemilu), hak-hak dan kebebasan dasar (basic rights and liberties) seperti kebebasan sipil dan politik, dan pergantian kekuasaan sesungguhnya merupakan pembacaan yang cukup baru. Pembacaan ini setidaknya mulai populer di tengah Abad ke-19, hingga sekarang. Tetapi, demokrasi tidak melulu identik dengan pembacaan tersebut. Apabila kita bergerak mundur lebih jauh lagi, lebih tepatnya ke masa Yunani Kuno, maka akan kita temukan bahwa konsep demokrasi pada awalnya selalu berkaitan dengan konflik dan perjuangan kelas. Dimensi kelas dari konsep demokrasi inilah yang dibahas secara mendetail oleh Aristoteles dalam karya klasiknya, Politics, di mana ia mendefinisikan demokrasi sebagai kekuasaan politik kelompok miskin. Tak heran apabila berabad-abad sesudahnya para kritikus demokrasi kerap kali melabeli demokrasi sebagai mob rule atau kekuasan kerumunan yang kacau. Di AS – negara yang kerap kali mengekspor ‘demokrasi’ – Alexandor Hamilton, presiden ke-empat AS, negarawan terkemuka, dan anggota dari kolektif The Federalists, mewanti-wanti ‘akibat yang berlebihan dari demokrasi murni’ (the excess of pure democracy) dan menganjurkan perlindungan atas hak-hak kelompok minoritas dari tirani mayoritas – dengan kata lain faksi-faksi dari kelas yang berkuasa dan mengontrol sumber-sumber perekonomian dari mayoritas rakyat biasa yang tidak berpunya. Dalam konteks yang lebih dekat, yaitu rejim-rejim otoriter-birokratik (bureaucratic authoritarian regimes) di Amerika Latin dan Asia, demokrasi dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional karena demokrasi memungkinkan mobilisasi dan pengorganisiran politik dari kelas bawah – satu hal yang juga diam-diam diamini oleh faksi konservatif dari lapisan kelas menengah dan orang kaya baru di negara-negara tersebut.

Ini tentu saja menjadi masalah bagi mereka yang berkuasa. Tetapi, ada cara untuk mengatasi persoalan tersebut. Caranya, karakter kelas dari konsep demokrasi tetap dipertahankan, tetapi maknanya diplintir. Mereka tidak lagi berbicara ‘demokrasi menganggu tatanan dan stabilitas’ dan ‘rakyat tidak siap berdemokrasi’, melainkan retorika-retorika baru seperti ‘demokrasi perlu diselamatkan dari dirinya sendiri’, ‘demokrasi yang stabil dan berkualitas membutuhkan nilai-nilai demokratik’, dan ‘demokrasi membutuhkan tatanan pemerintahan yang baik’ – tentunya sembari diam-diam bersungut-sungut ketika massa buruh dan tani memobilisasi dirinya sendiri dengan cara-cara yang ‘kurang beradab’ seperti demonstrasi, pendudukan lahan, dan mogok kerja. Demokrasi, pelan-pelan berubah makna dan fungsinya sebagai justifikasi atas tatanan politik yang ada. Dengan kata lain, ia berubah menjadi pranata dan tatanan politik kelas yang berkuasa. Contohnya tidak sedikit. Di Chile, Pinochet mengklaim bahwa kudeta yang dilakukannya bertujuan ‘mempertahankan nilai-nilai Chile’ dan ‘akan membawa kembali demokrasi yang sesungguhnya’. Di Filipina, demokrasi tertua di Asia, para oligark lokal – tuan tanah dan pebisnis yang menguasai berhektar-hektar tanah, menjadi bos-bos politik lokal, membangun dinasti politik, sembari menembaki lawan politik dan siapa saja yang mengkritiknya, seperti yang terjadi akhir-akhir ini – mendominasi politik lokal selama bertahun-tahun dalam kerangka politik elektoral. Di Thailand, beberapa faksi ‘kelas menengah berpendidikan’ yang lantang berbicara tentang ‘nilai-nilai demokratik’, ‘supremasi hukum’, dan ‘anti-korupsi’ namun dekat dengan militer dan kerajaan kerap kali memicingkan mata melihat mobilisasi orang-orang desa dan melabeli mereka sebagai ‘pendukung Thaksin’. Tak heran apabila Ben Anderson menyebut mekanisme politik seperti ini sebagaielektoralisme borjuis alih-alih demokrasi.

Lebih lanjut lagi, untuk meng­-khaffah-kan konsepsi demokrasi sebagai tatanan penjustifikasi status quo, demokrasi kemudian dipersempit maknanya menjadi mekanisme pemilihan dan pergantian elit. Schumpeter adalah penggagas utama dari konsepsi ini. Baginya, tidak ada yang namanya kebaikan public (common good) karena tiap-tiap individu memiliki preferensinya masing-masing. Yang bisa dilakukan individu di dalam konteks politik adalah memilih politisi untuk mewakili preferensinya dalam kancah perdebatan mengenai kebijakan publik. Demokrasi, dengan kata lain, hanyalah prosedur pemilihan dan sirkulasi elit. Tetapi jangan khawatir, karena menurut Dahl dalam tatanan politik demokratik tiap-tiap kelompok warga dapat mempengaruhi jalannya politik dan kebijakan publik karena negara adalah arena politik yang netral – alih-alih situs pertarungan dan perjuangan kelas. Implikasinya, bukanlah demos yang berkuasa, melainkan lapisan elit yang merepresentasikan rakyat, yang representasinya dilegitimasi dengan mekanisme pemilu sebagai agregasi dari preferensi-preferensi berbagai invidu yang diasumsikan hadir dalam konteks dan latar belakang sosial yang sama satu sama lain. Secara teknis aktivitas memilih seorang kandidat politisi di kotak suara menempatkan semua warga negara yang memiliki hak untuk memilih pada sebuah kondisi kesetaraan politik – tetapi politik tidak berhenti di situ. Jikalau politik sesederhana itu, maka para oligark dalam berbagai manifestasinya – mulai dari lobiis hingga komite aksi politik (political action committee, PAC) di AS, orang kaya baru di Russia, hingga mereka yang bisa memobilisasi dan membayar ‘demonstrasi’ di Bangkok, Caracas, hingga Jakarta – tidak perlu repot-repot mengorganisasi dirinya, berpartisipasi dalam politik elektoral, pelan-pelan mengubah diskursus politik, dan sesekali berselingkuh dengan aparatus koersif negara maupun partikelir untuk meneguhkan dan melanggengkan dominasi politiknya.

Dengan kondisi yang seperti ini, maka kesetaraan politik dan politik yang representatif lebih tepat dilihat sebagai kesetaraan dan representasi politik yang semu. Mekanisme legitim yang dianggap dapat menjamin, atau setidaknya mengembangkan kesetaraan politik, seperti pemilu misalnya, pada akhirnya bertumpu pada kondisi material.Dengan kata lain, sebuah tatanan legal, politik, dan kebudayaan tertentu – termasuk yang mendaku sebagai tatanan yang ‘demokratik’ – menjadi legitim karena dukungan dan sokongan kekuatan material – kapital, koersi, dan kemampuan mencari, mengelola, dan menyalurkannya. Dari perspektif ini, maka separasi antara elit sebagai pelaku kegiatan politik dan rakyat atau warga sebagai kelompok atau kategori yang memungkinkan seluruh pembicaraan mengenai politik perlu dilanggengkan sebagai bagian untuk memperkuat struktur dominasi kelas yang ada. Di dalam kondisi seperti ini, bahkan apabila rakyat pekerja memobilisasi dirinya dalam bentuk partai misalnya, bisa jadi tidak ada jaminan bahwa kelas pekerja akan berpartisipasi dalam politik sebagai kelas. Salah satu contoh historis dari kejadian ini adalah kolaborasi antar kelas antara kelas buruh dan kelas menengah yang dilakukan oleh partai-partai Kiri-tengah di Eropa Barat menjadikan kelas buruh untuk memenangi pertarungan elektoral mengubah karakter partisipasi politik kelas buruh dari partisipasi politik sebagai kelas dengan segala tuntutan politik kelasnya (reformasi politik, perluasan hak untuk memilih dalam pemilu, pembatasan jam kerja, kenaikan upah, redistribusi kekayaan, nasionalisasi cabang-cabang industi strategis, dan lain sebagainya) menjadi partisipasi politik sebagai sekumpulan individual yang kebetulan memiliki latar belakang kelas yang sama – politik kelas buruh berubah hanya menjadi sekedar ‘blok suara kaum buruh’ yang bisa dipakai untuk mobilisasi dukungan elektoral. Dalam konteks politik seperti ini, maka ada benarnya ketika Lenin dalam salah satu suratnya ke pada kelas pekerja Hungaria di tahun 1919 pernah berujar ‘Demokrasi borjuis hanyalah sebentuk kediktatoran borjuis’. Kesetaraan dan bahkan kebebasan politik dalam tatanan ‘demokratik’ yang seperti ini pada akhirnya selalu dibentuk dan termediasi olehkesenjangan material yang ada, terutama kesenjangan material antar kelas.

Demokrasi juga dipahami sebagai upaya untuk mencapai konsensus dan kompromi politik. Konsensus politik selanjutnya dipahami sebagai sendi utama untuk menjaga stabilitas demokrasi. Dengan adanya konsensus politik, maka diharapkan demokrasi bisa stabil karena ada ‘standar terendah’ (lowest common denominator) dan aturan-aturan politik demokratik, seperti pergantian kekuasaan secara damai melalui pemilu misalnya, yang dapat disetujui oleh berbagai macam kelompok yang memiliki hubungan yang kerap kali antagonistis, misalnya kelompok sekuler versus religius, liberal versus konservatif, mayoritas versus minoritas, Kiri versus Kanan, dan lain sebagainya. Upaya untuk mencapai standar terendah dan aturan yang disepakati bersama tersebut dapat dicapai dengan perdebatan dan perbincangan yang mendalam untuk mencapai ‘persetujuan intersubyektif’ (intersubjective agreement) antara kelompok-kelompok yang bertikai tersebut. Inilah resep demokrasi deliberatif menuru ortodoksi Habermasian-Rawlsian – setidaknya dalam penafsirannya yang vulgar.

Tetapi, tesis pentingnya konsensus bagi demokrasi juga tidak luput dari masalah. Pertama, ia mengasumsikan bahwa segenap diskursus mengenai politik hanya dimungkinkan apabila diskursus tersebut mencapai sebuah kesepakatan, dengan kata lain sebuah konsensus. Namun, bagaimana jika politik, pada hakikatnya, adalah kontestasi atas berbagai diskursus yang saling bertentangan satu sama lain? Bagaimana jika segenap pembicaraan mengenai politik hanya dimungkinkan dengan keniscayaan diskursus alih-alih konsensus? Bukankah segenap pembicaraan mengenai politik, kepentingan publik, dan kehidupan yang baik berakar dari ketegangan, sebagaimana dapat kita lihat dalam pertikaian antara Sokrates dengan Athena? Bukankah persetujuan intersubyektif – seperti konsensus untuk melanggengkan kolonialisme, perbudakan, dan pembatasan hak memilih misalnya – tidak serta merta menggaransi prosedur dan tatanan politik yang benar dan dapat berujung kepada sebentuk solipsisme?Kedua, asumsi tersebut juga abai terhadap fakta bahwa sejarah politik demokratik diwarnai oleh sejarah pertikaian dan perlawanan, terutama dalam konteks masyarakat kelas. Apa-apa yang kita sering asosiasikan dengan ‘nilai-nilai liberal’ seperti konstitusionalisme, supremasi hukum, pembatasan kewanangan Negara, dan lain sebagainya, tidak turun dari langit dan tidak hadir dari konsensus di antara para elit; tatanan tersebut seringkali muncul dan berkembang sebagai reaksi dari ‘mobilisasi dari bawah’ oleh kelas-kelas yang tertindas. Terlalu naif apabila kita memahami apa yang kita asosiasikan sebagai prinsip-prinsip politik modern sebagai hasil dari kompromi brilyan para elit. Prinsip-prinsip tersebut seringkali tidak lahir dari konsensus, melainkan disensus, yang memungkinkan dan mengharuskan perlawanan rakyat – terutama dalam bentuk perjuangan kelas.

Sejumlah Tesis Alternatif Mengenai Demokrasi

Sebagai alternatif atas pembacaan di atas, saya mengajukan pembacaan lain atas konsep demokrasi yang dapat disederhanakan ke dalam sejumlah tesis berikut ini:

  1. Demokrasi sebagai ekspresi politik kelas
    • Demokrasi sebagai ekspresi perjuangan kelas
  2. Demokrasi sebagai mekanisme partisipasi aktif warga
    • Demokrasi bertujuan melampaui separasi antara elit dan warga dan memfasilitasi pertempuran strategis dengan negara (strategic engagement with the state)
  3. Disensus sebagai sendi utama politik demokratik

Dua konsepsi demokrasi tersebut pada dasarnya berlawanan satu sama lain, meskipun pada prakteknya seringkali berkelit-kelindan. Tetapi pembacaan ulang dan kritik atas konsep demokrasi tetap diperlukan karena tanpanya maka retorika ‘demokrasi’ hanya akan menjadi tameng ideologis untuk menjustifikasi hegemoni kapitalisme-neoliberal, baik dalam bentuknya yang oligarkis seperti di Indonesia maupun yang lebih elusif seperti di negeri-negeri Barat, dan juga segenap ekspresi politik yang paling konservatif dan reaksioner (anti-asing, anti-imigran, rasisme, fundamentalisme keagamaan, dan lain sebagainya). Dalam konteks inilah, kita bisa memahami mengapa Zizek misalnya menyerukan bahwa kritik terhadap kapitalisme kontemporer tidaklah mungkin tanpa kritik atas tatanan legal-politik yang menyokong dan melegitimasi-nya, yaitu demokrasi. Merumuskan kritik tersebut memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Untuk itu, di dalam tulisan berikutnya, saya akan mencoba menjabarkan butir-butir kritik yang saya utarakan atas konsep demokrasi dan mereformulasikan demokrasi agar sesuai dengankhittah-nya sebagai ekspresi, medium, dan tujuan perjuangan rakyat pekerja***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Pilpres 2014: Kali Ini, Taruhannya Demokrasi Sob!

iqra1

Menjelang Ramadhan, kali ini kita kurangi sedikit teori dan perbanyak refleksi

PEMILU presiden (Pilpres) 2014 betul-betul menyedot perhatian banyak orang. Setidaknya, di berbagai media, lini masa media-media sosial seperti facebook dan twitter, hingga obrolan sehari-hari, diskusi dan debat mengenai pemilu mendominasi pembicaraan – sampai-sampai mengalahkan obrolan seputar Piala Dunia dan bulan puasa. Tidak heran, karena pemilu kali ini bukan pemilu biasa. Pemilu ini akan menentukan masa depan kita: antara kemajuan demokrasiatau kemunduran pencapaian-pencapaian yang sudah kita raih selama ini.

Peringatan ini bisa saja terdengar bombastis, tetapi apabila kita melihat perkembangan politik di tanah air beberapa tahun belakangan ini, maka jelaslah terlihat sejumlah perkembangan yang mengkhawatirkan. Dengan kondisi perkembangan politik yang mengkhawatirkan tersebut, apakah siapa yang nanti memenangkan pilpres dan menjadi presiden akan berpengaruh kepada kita? Lebih jelasnya, seandainya, ya, seandainya Prabowo-Hatta menang, akankah itu berpengaruh kepada kita sebagai sebuah bangsa?

Bagi saya, jawabannya jelas: YA.

Yang menarik buat saya, tampaknya hal tersebut seakan-akan tidak menjadi perhatian bagi beberapa kalangan di masyarakat, seperti sebagian dari kita yang berlatar belakang kelas menengah. Karena saya berusaha husnuzan, saya khawatir, jangan-jangan kita lupa berpikir lebih keras atas konsekuensi dari pilihan politik kita, tetapi terkadang saya juga merasa dilanda kekesalan: jangan-jangan kebanyakan dari kita memang punya kecenderungan ngehek.

Tidak akan saya ulangi secara panjang lebar penjelasan mengenai mengapa kemenangan Prabowo-Hatta merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Bagi saya, dan banyak orang-orang lain, Prabowo merupakan representasi dari ancien régime, sisa-sisa dari kediktatoran Orde Baru yang menindas itu. Prabowo, sebagaimana dijelaskan oleh Edward Aspinall (2014) dalam artikel terbarunya:

‘…adalah produk murni dari otoritarianisme Orde Baru…Perlu dicatat bahwa kedua kakak beradik ini (Prabowo dan Hasyim – red) ini menjadi kaya dari usaha perburuan rente ekonomi, misalnya dari kayu dan sumber daya alam…Prabowo diberhentikan dari militer sebagai akibat dari perbuatannya menculik aktivis demokrasi dan pembangkangan-pembangkangan lainnya.’

Dan itu hanyalah sedikit bagian dari rekam jejak Prabowo. Dan sekarang, sang capres militeris itu, maju dalam pilpres dengan dukungan koalisi ajaib yang rawan politik kartel dan bagi-bagi kursi, yang terdiri dari oligark macam Aburizal Bakrie, laskar-laskar vigilantis alias preman, hingga para pendukung agenda-agenda berbau fundamentalisme agama yang mengancam kehidupan kaum minoritas di Indonesia. Dengan slogan-slogan kabur seperti ‘Indonesia Bangkit’, ‘nasionalisasi’, ‘pertahanan nasional’, ‘anti-asing’, dan lain sebagainya, Prabowo dan rekan-rekan koalisinya tampaknya cukup berhasil mengecoh sejumlah orang. Ini mengkhawatirkan.

Yang mengherankan, banyak orang, wabil khusus kelas menengah ‘terdidik’ memamah biak slogan-slogan kosong seperti ini. Burhanuddin Muhtadi (2014), yang juga menyoroti hal serupa, baru-baru ini mengatakan bahwa ‘kelas menengah yang terdidik lebih suka dengan gagasan yang berapi-api, jatuh cinta dengan Prabowo.’ Tetapi, saya pikir alasannya bukan hanya itu.

 

iqra2Petani Karawang melawan 7000 pasukan Brimob yang hendak menggusur mereka dari tanahnya, Juni 2014

 

Saya menduga, ada imaji-imaji mengenai hidup dan tata pemerintahan yang ideal yang hadir dalam sosok Prabowo. Sebuah mimpi, ya, mimpi, yang berasal dari hasrat-hasrat mengenai kenyamanan, keamanan, dan stabilitas hidup. Mau pemerintahan yang efektif dan efisien? Pilih Prabowo! Ingin pemimpin yang tegas dan berwibawa? Jelas Prabowo! Agar Indonesia menjadi ‘kekuatan ekonomi’ dan ‘Macan Asia’ baru? Coblos Prabowo! Presiden yang ‘nasionalis’ (maksudnya xenophobia yang pro-kapital?), mampu melindungi ‘kekayaan nasional’ (untuk kroninya), dan ‘anti-asing’ (frase ‘asing’ bisa diganti dengan target kesukaan)? Dukung Prabowo! Capres yang paling ‘Islami’ dan ‘dekat dengan umat’? Prabowo solusinya! Dan yang tidak kalah absurd: Capres gagah dan ganteng? Prabowo dong! Singkatnya, dari yang doyan teknokrasi hingga rajin ngaji, mereka semua menemukan ‘jawabannya’ dalam sosok Prabowo.

Perkaranya, jawaban kelas menengah ini justru bermasalah. Karena, jawaban tersebut hanyalahshortcut, jalan pintas untuk persoalan yang sesungguhnya jauh lebih pelik dan rumit. Dan kita tahu, bahwa jalan singkat bisa buntu atau bahkan ketemu macet lagi. Ia bisa korslet. Jalan pintas tersebut secara singkat bisa dirumuskan sebagai berikut:

‘Prabowo tuh tegas, visioner. Kalau dia terpilih ekonomi kita bisa kuat, politik stabil, dan Indonesia disegani di luar negeri. Kita sudah lama terpuruk. Kita butuh pemimpin seperti itu. Dan dia juga nasionalis serta religius. Dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) itu kan cuman isu. Lagian, semua orang kan punya masa lalu. Jangan lupa, Prabowo juga nasionalis serta religius. Gak kayak Jokowi tuh, capres boneka antek asing anti-Islam. Lagian, capek-capek amat sih mikirin politik. Udahlah serahkan aja ke ahlinya!’

Kelas menengah seakan-akan lupa, bahwa di balik seribu justifikasi tersebut ada dua asumsi utama yang mendasari rangkaian justifikasi tersebut: 1) pemimpin yang ‘sempurna’ dan ‘kuat’ dan 2) teknokrasi yang elitis. Dua prinsip itulah yang kerap kali digaungkan oleh kubu Prabowo. Dua prinsip itu jugalah yang mendasari keberlangungan Orde Baru selama 32 tahun. Ya, 32 tahun!

Anehnya, di tengah-tengah era keberlimpahan informasi seperti ini, sepertinya ada kecenderungan ‘malas berpikir’ yang cukup akut di kalangan kelas menengah kita. Kelas menengah seakan-akan lupa, sejumlah aktivis yang diculik Tim Mawar masih belum kembali hingga sekarang. Kita seakan-akan lupa, bahwa isu HAM bukanlah isu lima tahunan sekali. Seakan-akan tidak pernah ada aksi para Ibu yang menuntut keadilan dalam aksi-aksi Kamisan di depan Istana Negara yang masih berlangsung hingga sekarang. Lebih lucunya lagi, kelas menengah dengan mudahnya begitu saja menelan mentah-mentah sejumlah kampanye hitam – mulai dari VOA-Islam, Ar-Rahmah, hinggaObor Rakyat – tanpa sadar bahwa rangkaian kampanye tersebut merupakan upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian kita dari rekam jejak Prabowo dan bahkan menggiring kita untuk memilihnya.

Akibatnya, ‘pertunjukkan sulap’ sang jenderal yang mengubah dirinya dari penculik, pengganyang rakyat, dan pemilik gurita bisnis serta ratusan ekor kuda menjadi pemimpin ‘kuat’ yang ‘anti-neoliberal’ dengan mudahnya nyangkut di dalam kepala dan hati kelas menengah yang perlahan jadi ngehek beneran ini. Padahal, sumber informasi – termasuk informasi ilmiah, dari jurnal-jurnal dan situs-situs web akademik seperti Inside Indonesia dan New Mandala – yang membahas mengenai rekam jejak Prabowo begitu berlimpah. Kesan tersebut semakin nyangkut di tengah-tengah kampanye hitam yang semakin vulgar, rasis, dan bahkan fasis – mulai dari Jokowi antek asing dan A Seng, adanya konspirasi asing (antara Amriki-Yahudi atau Zionis-Komunis), hingga pembelaan atas aksi kesenian fasis ala Ahmad Dhani dan propaganda anti-Komunis gaya Orde Baru ala Fadli Zon. Dude, are you serious?

 

iqra3Aksi Kamisan menuntut penuntasan kasus orang hilang dan pelanggaran HAM lainnya di depan Istana Merdeka

 

Apa artinya semua ini? Artinya, ‘hasrat terpendam’ kita mengenai Orde Baru, tendensi otoriter dari masing-masing kita tampaknya belum betul-betul hilang – dan sepertinya akan selalu menghantui kita.

Mengapa saya angkat bicara mengenai persoalan ini? Karena saya peduli dengan perkembangan demokrasi Indonesia. Tentu, kita juga harus fair – toh bukankah kelas menengah Indonesia juga berjibaku menghadapi tuntutan hidup yang semakin mencekik setiap harinya? Saya bisa memahaminya, karena saya dan banyak dari kita, berangkat menghadapi tuntutan yang serupa, seperti persoalan pekerjaan, penghasilan yang seadanya, hingga status yang masih jomblo (loh, kok jadi curcol).

Tetapi, keluh kesah dan apatisme saja tidak cukup untuk mengubah keadaan, apalagi menempuh jalan singkat dengan memilih Prabowo, seorang pribadi yang memiliki banyak dosa masa lalu dan tidak hanya itu, bertendensi otoriter dan oligarkis. Sesungguhnya obatnya mudah: kita perlu menengok kembali sejarah.

Sejarah menunjukkan, kelas menengah seringkali cenderung ambivalen terhadap demokrasi. Lebih parahnya lagi, kelas menengah terkadang justru memiliki kecenderungan otoriter. Buktinya jelas: Chile tahun 1973 (di mana Allende dan pendukung program kerakyatannya dilabeli ‘para komunis marxis yang menjijikkan’) dan sejumlah negara Amerika Latin di dekade 1970-1980an, Thailand tahun 1976 dan juga 2014, dan masih banyak lagi. Dan ingat, Orde Baru, yang belum lama kita tinggalkan itu, yang sekarang diam-diam kita hasrati kembali, dibangun di atas ongkos 500,000-3 juta jiwa yang dibantai di tahun 1965 dan masih banyak lagi. Kecenderungan ini terjadi di depan mata kita. Kita tidak perlu menjadi pelajar ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk melihat dan memahami kenyataan getir ini.

Bagi kelas menengah, yang bisa menemukan kenyamanan di ruang-ruang diskusi berpendingin udara, di kafe-kafe ternama di ibu kota, dan juga di berbagai kelompok pengajian, mungkin deretan angka dan tahun tersebut cuma sekedar statistik. Maklum, toh seringkali kita merasa dengan duduk-duduk, kritik dan mengomel, dan sesekali berdoa, kita sudah mengubah keadaan, baik dengan alasan ‘kebebasan individu’ atau ‘instruksi jamaah’Tetapi tidak bagi kaum buruh, yang setiap harinya harus berhadapan dengan gebukan kapital dan aparat, yang aksi demonstrasinya tahun lalu kita tanggapi dengan cibiran, sikap nyinyir, dan keluhan somplak macam ‘bikin macet aja nih demo buruh gak sekolahan!’. Tetapi tidak bagi bapak ibu tani, yang tiap harinya berjuang mempertahankan tanahnya dari rampasan aparatus negara dan korporasi. Tetapi tidak bagi orang-orang Syi’ah, Ahmadiyah, dan kelompok-kelompok minoritas kebudayaan dan keagamaan di Indonesia, yang merasakan gebukan laskar-laskar liar dan harus terusir dari tanah airnya sendiri. Tetapi tidak bagi rakyat Rembang dan Karawang, yang, di saat saya menulis artikel ini, harus menghadapi ribuan personil Brimob dan preman!

Netralitas, dalam kondisi seperti ini, entah atas nama (pseudo)heroisme ‘anti-sistem’, peranan intelektual yang ‘seharusnya objektif’, atau yang paling parah karena apatisme, kemalasan berpikir, atau kejumudan, hanya akan menjadi langkah politik yang tidak mengubah keadaan. Bahkan sastrawan dan intelektual besar semacam George Orwell memilih untuk berpihak membela Republik Spanyol yang dirongrong oleh kaum Fasis pimpinan Jenderal Franco. Netralitas adalah sebuah ilusi.

Konsekuensinya, hanya ada dua pilihan bagi kelas menengah Indonesia: antara menempuh jalan singkat dengan mencoblos pasangan Prabowo-Hatta dan karenanya menjadi ngehek seutuhnya atau menyadari bahwa saya, Anda, kita semua, yang setiap harinya menghadapi persoalan hidup, komodifikasi pasar, dan minimnya ruang publik yang demokratis, sesungguhnya merupakan bagian dari perjuangan rakyat untuk memperjuangkan ruang demokrasi yang lebih luas, deliberatif, dan partisipatoris. Prahara politik Thailand yang berawal dari keengganan para elit politik Bangkok, pendukung monarki, dan kelas menengah perkotaan untuk konsisten dalam berdemokrasi yang berujung kepada pembentukan junta militer yang diktatorial dan tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah seperti stabilitas makroekonomi, persoalan buruh migran, kebebasan politik, dan keamanan publik (Thearith, 2014) mungkin bisa jadi bahan refleksi mengenai apa yang terjadi apabila tendensi otoriter dalam diri kita ikuti. Be careful for what you wish for!

Demokrasi, keadilan ekonomi dan sosial, HAM, apa-apa yang kita cita-citakan pasca tumbangnya Orde Baru – semua itu adalah aspirasi universal yang terwujud, dan hanya terwujud, dengan perjuangan orang-orang biasa, perjuangan rakyat. Pencapaian tersebut tidak jatuh dari langit. Sepanjang sejarah, para tiran, diktator, dan kacung-kacungnya selalu berusaha untuk merebutnya dari kita. Adalah tugas kita untuk mempertahankan, memperjuangkan, dan memperdalam ruang demokratik untuk perjuangan segenap rakyat Indonesia! Memilih pasangan Prabowo-Hatta berarti memilih kemunduran sejarah dan mengkhianati cita-cita tersebut!

Karena, sekali lagi, pilpres kali ini, taruhannya demokrasi sob!***

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS yang sedang berusaha sebisa mungkin untuk sembuh dari virus #KelasMenengahNgehek. Beredar di twitterland dengan id @libloc

Demokrasi atau Barbarisme

http://indoprogress.com/2014/05/demokrasi-atau-barbarisme/

Ada Hantu Bergentayangan – Hantu Orde Baru 

Iqra Anugrah

Sebuah Uraian Tanggung Jawab

KURANG dari dua bulan kita kembali akan menghadapi pemilihan umum presiden (pilpres). Pilpres kali ini begitu menentukan masa depan kita, karena di pilpres kali ini kita menyaksikan ‘hantu’ Orde Baru (OrBa) betul-betul kembali hadir dan bergentayangan – yang secara ‘nyata’ mewujud terutama dalam sosok seperti calon presiden (capres) Prabowo Subianto. Relakah kita menyaksikan demokrasi Indonesia yang baru berumur belasan tumbang kembali karena diganyang oleh anasir-anasir OrBa?

Kira-kira persoalan itulah yang menjadi pikiran saya akhir-akhir ini. Setelah mengikuti perkembangan konstelasi politik seputar pilpres dalam beberapa minggu terakhir, saya berkesimpulan, setidaknya ada sejumlah analisa yang perlu dilakukan untuk membaca realitas politik Indonesia dewasa ini. Pertama-tama, kita perlu menilik pergolakan politik di masing-masing kubu capres – baik Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta – dan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas yaitu perkembangan politik Indonesia pasca tumbangnya OrBa. Kedua, kita perlu melakukan refleksi teoretik  dan otokritik atas perbedaan posisi teoretik dan strategi sejumlah elemen gerakan Kiri dan progresif di Indonesia akhir-akhir ini. Ketiga, yang terakhir namun tidak kalah penting, kita perlu membaca bagaimana implikasi dari pilpres 2014 terhadap agenda-agenda progresif kedepannya. Kali ini, analisa yang saya tulis lebih merupakan rangkuman sistematis dari sejumlah analisa sebelumnya mengenai bangkitnya hantu OrBa yang bertujuan untuk membongkar logika kuasa di balik propaganda kubu Prabowo.

Politik Pilpres 2014: Analisa atas Kubu Prabowo-Hatta

Ada satu fenomena politik yang begitu mengkhawatirkan di pilpres tahun ini, yaitu majunya Prabowo Subianto sebagai calon presiden yang didukung oleh sejumlah kalangan. Posisi politik ini bukan hanya, meminjam bahasa agama, lebih banyak mudharat-nya, namun juga tidak valid. Supaya adil, mari kita periksa reliabilitas, validitas, dan logika kuasa yang bekerja dari sejumlah klaim, argumen, dan usulan kebijakan publik yang dipromosikan kubu Prabowo-Hatta secara ilmiah, berdasarkan visi-misinya dan data empiris lainnya.

Klaim Kebijakan Ekonomi-Politik: Prabowo-Hatta akan Memperjuangkan ‘Ekonomi Kerakyatatan’

Faktanya: Prabowo-Hatta justru merupakan bagian dari kaum elit Indonesia yang mempromosikan ekspansi kapitalisme-neoliberal yang lebih luas.

Kubu Prabowo-Hatta mencoba mempromosikan dirinya sebagai pengusung ekonomi kerakyatan. Alasannya, dengan memilih kubu Prabowo-Hatta, ekonomi Indonesia akan menjadi ‘lebih kuat’, ‘pro-rakyat’, dan Indonesia akan kembali menjadi ‘macan Asia’. Lagipula, bukankah bokap-nya Prabowo, Sumitro, adalah seorang ekonom terkemuka, dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, beserta calon wakil presidennya, Hatta Rajasa, adalah dua orang pengusaha terkemuka? Kemudian, bukankah platform kebijakan ekonomi Prabowo-Hatta, sebagaimana termaktub dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerindra danvisi-misi mereka bersifat ‘anti-neoliberalisme’?

Di sini nampak bahwa pembacaan ‘tekstual’ atas kebijakan ekonomi kubu Prabowo tidaklah cukup. Dengan kata lain, kita perlu membaca kebijakan ekonomi kubu Prabowo secara lebih kritis melalui pendekatan ekonomi-politik untuk membongkar mitos-mitos yang dihembuskan oleh kubu Prabowo, sekaligus logika kuasa yang berada di baliknya. Di kesempatan kali ini, saya tidak akan terlalu banyak mengulangi pemaparan yang sudah ada, melainkan hanya sekedar menjelaskan pembacaan ekonomi-politik atas kebijakan ekonomi Prabowo-Hatta secara garis besar.

Pertama, Prabowo beserta kroni-kroninya – baik Hatta, Hashim, maupun yang lain – sesungguhnya merupakan bagian dari kaum kapitalis-oligarkis Indonesia, yang pada dasarnya selalu memiliki dua tujuan ekonomi-politik utama: 1) ekstraksi atas ‘nilai lebih’(1)  yang dihasilkan oleh rakyat pekerja (the extraction of surplus value); dan 2) pengamanan atas aset yang telah mereka miliki (the politics of wealth defense)(2). Jikalau ada retorika ‘sosialis’ dalam jargon-jargon kampanye kubu Prabowo, maka ‘sosialisme nano-nano’ tersebut pada dasarnya hanyalah nasional sosialisme, alias fasisme, yang, sebagaimana dijelaskan oleh kawan Martin Suryajaya (2014) dan kawan Rio Apinino (2014), hanyalah sekedar memindahkan kepemilikan dan kontrol atas kekayaan, aset-aset, dan peralatan produksi ke kaum ‘kapitalis-birokrat’ alias para oligarkh pendukung Prabowo, yang dibalut dengan retorika-retorika nasionalisme yang konservatif yang abstrak, seperti ‘kekayaan Indonesia untuk bangsa Indonesia’ atau ‘selamatkan aset bangsa dari penguasaan asing’. Bahkan, citra Prabowo sebagai seorang ‘patriot anti-asing’ yang ‘nasionalis’, hanya karena tidak bisa mendapatkan visa dan masuk ke Amerika Serikat (AS), seharusnya patut dipertanyakan. Bukan hanya Prabowo tidak bisa masuk ke AS karena reputasinya sebagai pelanggar HAM, alih-alih sebagai ‘patriot yang nasionalis’, tetapi juga Prabowo sesungguhnya tetap menjaga hubungan dengan lingkaran pemangku kebijakan di Washington, misalnya melalui Hashim yang mendanai Sumitro Chair for Southeast Asia Studies di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) (3),  sebuah lembaga tangki pemikir yang berkedudukan di Washington DC – so much for pseudo anti-Americanism and xenophobic nationalism, eh? Karakter utama dari Sosialisme adalah kontrol langsung dan demokratis dari, oleh, dan untuk rakyat atas kekayaan dan alat-alat produksi sehingga jelas, tidak ada yang ‘sosialis’ dari agenda-agenda ‘nasional sosialisme’ kubu Prabowo. Mengharapkan kebijakan ekonomi yang ‘sosialistis’ dari seorang oligark dengan jaringan internasional yang memiliki perusahaan outsourcing keamanan dan ratusan ekor kuda yang juga tidak membayar gaji buruh-buruh perusahaannya, sama saja dengan menyuruh fans Arsenal untuk mendukung Manchester United, alias tidak mungkin.

Kedua, kalaupun ada ‘kontrol rakyat’ dalam kerangka kebijakan ekonomi Prabowo, maka bentuk ‘kontrol rakyat’ tersebut pada dasarnya adalah kontrol yang bersifat korporatis. Korporatisme di sini jelas bukan korporatisme yang demokratis, melainkan korporatisme yang terbatas dan bahkan cenderung otoritarian. Dalam kerangka kebijakan ekonomi seperti ini, rakyat pekerja ‘diizinkan’ untuk ‘berpartisipasi’ hanya dalam jalur-jalur yang diperbolehkan oleh rejim yang berkuasa. ‘Rakyat’ hanya dapat berpartisipasi untuk ‘kemajuan bangsa’, di luar itu maka partisipasi rakyat segera berubah menjadi ‘aksi-aksi subversif’ yang ‘mengganggu stabilitas’. Ini menjelaskan mengapa Prabowo kekeuh menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dan berusaha ‘mendekati’ gerakan buruh di Indonesia. Perkara dari logika korporatis-otoritarian keblinger a la Prabowo ini adalah, ujung-ujungnya ada tendensi represif untuk ‘menjinakkan’ aksi-aksi independen, militan, dan demokratis dari rakyat pekerja apabila aksi-aksi tersebut dianggap mengusik ‘stabilitas’, atau, lebih tepatnya, stabilitas arus modal dan proses konsolidasi kapitalisme-neoliberal di Indonesia, sebagaimana dapat kita lihat dalam rekam jejak Prabowo di dunia bisnis yang dijelaskan oleh kawan Zaki (2014) di dalam tulisannya.

Dengan begini, jelas sudah, tidak ada yang kerakyatan dari ‘ekonomi kerakyatannya’ Prabowo.

Argumen mengenai HAM: Prabowo Bukanlah Pelanggar HAM

Faktanya: Prabowo adalah seorang pelanggar HAM

Awalnya, saya kira mitos ‘Prabowo tidak melanggar HAM’ merupakan mitos yang paling mudah untuk dibongkar. Tetapi, dengan bermodalkan sejumlah logika super-absurd seperti ‘sejauh ini peranan Prabowo belum terbukti secara hukum’, ‘loh, kalau betul melanggar HAM buktinya Prabowo sekarang bisa tuh nyalon jadi presiden’, dan  ‘musuh kita bersama itu ‘neoliberalisme’ dan bukannya si jenderal’, dan lebih parahnya lagi kerapkali di-back up dengan sejumlah referensi dari situs web semacam Voa-Islam, mitos ‘Prabowo tidak melanggar HAM’ rupanya tetap dimamah biak oleh sejumlah kelompok di masyarakat.

Untuk membongkar mitos ajaib ini, sebagai tambahan dari tulisan bernas Bung Made Surpriatma (2014), cukuplah saya berpegang kepada tiga sumber: laporan dan tulisan bernas dari East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) (2014), aktivis HAM Usman Hamid (2014), dan Indonesianis Gerry van Klinken (2014). Sekiranya sebagian dari kita lupa-lupa ingat, ada baiknya kita menengok rekam jejak HAM Prabowo.

Laporan singkat dari ETAN mengingatkan kita tentang sejumlah dugaan sekaligus buktiketerlibatan Prabowo dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia dan, jangan lupa, di Timor Leste. Prabowo tidak hanya tersandung kasus penculikan aktivis dan kerusuhan anti-etnis Cina di sekitaran 1997-1998, namun juga terlibat dalam sejumlah aksi teror kepada pejuang kemerdakaan dan penduduk Timor-Leste di masa penjajahan Indonesia. Untuk pemaparan yang lebih detail mengenai keterlibatan Prabowo pada 1997-1998, artikel Usman Hamid bisa dijadikan acuan.  Sebagaimana kita tahu, setidaknya ‘9 ditemukan dalam keadaan hidup, 1 ditemukan tewas, 13 lainnya tidak pernah ditemukan dan dinyatakan ‘menghilang’. Hasil investigasi dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menyatakan bahwa Prabowo harus dibawa ke pengadilan militer. Pada 24 Agustus 1998, Prabowo dipecat oleh Wiranto dari militer. Anggota DKP yang lain, Agum Gumelar, menyatakan bahwa Prabowo ‘mengakui telah menculik sembilan orang’. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang didirikan di masa kepresidenan Habibie juga menggarisbawahi bahwa Prabowo harus bertanggung jawab dalam kasus penculikan. Di tahun 2006, laporan Komisi Nasional Perlindungan HAM (Komnas HAM) menyatakan bahwa 23 aktivis diculik secara paksa oleh Kopassus, yang diketuai Prabowo. Baru-baru ini, September 2009, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga mendukung laporan Komnas HAM dan merekomendasikan pembentukan pengadilan ad hoc untuk kasus-kasus HAM.

Mungkin saja sejumlah kalangan masih bisa bersikap acuh tak acuh terhadap kasus penculikan dan kerusuhan di hari-hari terakhir OrBa. Namun, mereka akan sulit berkilah apabila kita menengok keterlibatan militer Indonesia di masa OrBa, termasuk unit yang dikomandai Prabowo dalam sejumlah operasi militer di Timor-Leste, sebagaimana dijelaskan oleh Profesor van Klinken.
•    Dari sejumlah kasus kekerasan yang dilakukan di Timor-Leste di masa pendudukan Indonesia dari 1974 hingga 1999, Kopassandha/Kopassus – di mana Prabowo berafiliasi – beserta para premannya  menduduki peringkat satu sebagai unit militer yang paling doyan melakukan kekerasan.
•    Dari sejumlah sumber terdapat saksi mata yang melihat Prabowo memandu unit Chandracha 8 yang berafiliasi dengan Kopassandha dalam operasi konter-insurgensi.
•    Pada 16 September 1983 sejumlah tentara dan hansip membantai 55 warga Timor-Leste termasuk bayi dan anak-anak.
•    Keesokan harinya, 17 September 1983, setidaknya 141 warga kembali dieksekusi.
•    Kurang lebih 1,300 warga sipil, banyak di antaranya adalah perempuan, anak-anak, dan orang tua berusia lanjut, dipaksa untuk pindah dan diawasi secara ketat sampai-sampai kebutuhan pangan para penduduk ini tidak terpenuhi – atau dengan kata lain kebijakan kelaparan paksa.
•    Ini belum termasuk kasus-kasus kekerasan lainnya seperti penculikan, eksekusi, pemindahan dan penghilangan paksa, pemerkosaan, penyiksaan, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, Profesor van Klinken menulis:

‘Bahwa Prabowo memainkan peranan penting dalam operasi ini (pembantaian 1983-1984, red) terlihat cukup jelas, meskipun seberapa pentingnya peranan tersebut masih kurang jelas.’ (cetak tebal dari saya).(4)

Profesor van Klinken tentu sedang tidak mengada-ngada di sini, karena pemaparannya merujuk kepada sejumlah sumber terpercaya termasuk wawancara dengan Mario Carrascalao, Gubernur Timor Timur pada waktu itu, yang diterbitkan oleh jurnal Indonesia keluaran Cornell University dan laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR), Chega!, yang terdiri dari lima jilid.

Kecuali Anda berpendapat bahwa para korban penculikan, kerusuhan Mei 1998, dan pendudukan Indonesia di Timor-Leste sedang ngelindur, bahwa lima jilid Chega! hanya berisi dongeng dan bualan belaka, bahwa pernyataan Mugiyanto, korban penculikan 1998, mengenai keterlibatan Prabowo dalam kasus tersebut hanyalah sebuah lamunan, bahwa semua korban-korban Prabowo adalah sellout macam Desmond Junaidi Mahesa dan Pius Lustrilanang (nama sebenarnya), sulit rasanya untuk mengatakan tidak ada keterlibatan Prabowo dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia dan Timor-Leste.

Komitmen terhadap Demokrasi: Prabowo adalah Seorang Demokrat

Faktanya: Prabowo BUKANLAH seorang demokrat.

Dari perspektif ekonomi-politik dan HAM, jelas bahwa Prabowo bukanlah seorang demokrat. Tendensi ini juga semakin mengemuka dalam langkah-langkah politik Prabowo dan rekan-rekan koalisinya akhir-akhir ini. Dukungan Gerindra yang ogah-ogahan terhadap investigasi kasus-kasus pelanggaran HAM secara lebih lanjut, merupakan salah satu indikator utama dari sikap anti-demokrasi seorang Prabowo.

Lebih menarik lagi, kecenderungan seperti ini juga terlihat di rekan-rekan koalisi Prabowo. Sebagaimana dijelaskan oleh kawan Coen Husain Pontoh (2014), partai-partai politik pendukung Prabowo seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memiliki rekam jejak yang buruk dalam mempromosikan agenda kerukunan dan kebebasan agama di Indonesia. Fasisme Prabowo bertemu dengan agenda-agenda religius-sektarian dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentalis dari Islam politik, bersenyawa membentuk fasisme-religius, yang ciri-cirinya adalah:

‘…anti semit (rasis), mempropagandakan histeria nasioalisme, xenofobik, anti toleransi, anti-liberal, tidak segan-segan menggunakan alat-alat kekerasan untuk mewujudkan ambisi politiknya, anti-sosialis, anti-rasionalisme, dan mengagung-agungkan kejayaan masa lalu sebagai solusi terhadap krisis sosial yang sedang berlangsung.’

Bukti-buktinya jelas. Retorika pro pemurnian agama, anti kaum minoritas, anti-Ahmadi, anti-Syi’ah, dan lain sebagainya merupakan bukti ‘perselingkuhan tidak suci’ (unholy alliance) dari fasisme korporatis-otoritarian dan fasisme-religius yang mewujud dalam pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta. Seorang sosialis dan demokrat sepatutnya bukan hanya mendukung perjuangan rakyat pekerja dan menghargai HAM, namun juga menghargai perbedaan.

Baik dari perspektif ekonomi-politik, HAM, maupun toleransi dalam masyarakat demokratik, dukungan terhadap Prabowo-Hatta merupakan posisi politik tidak dapat dijustifikasi secara teoretik, tidak valid, dan pada akhirnya runtuh dengan sendirinya.

Refleksi atas Empat Posisi Teoretik Politik ‘Kiri’(5)

Sebagaimana kita tahu, terdapat perbedaan posisi teoretik dan strategi politik dari berbagai elemen gerakan Kiri dan progresif yang lebih luas dalam melihat dan menanggapi realitas politik di Indonesia. Secara garis besar, setidaknya terdapat empat posisi teoretik dan taktik dalam membaca realitas politik di tanah air khususnya pemilu 2014: pertama, dukungan kritis terhadap Jokowi; kedua, eksplorasi atas kemungkinan-kemungkinan politik alternatif;ketiga, tendensi ke-kiri-kiri-an; dan keempat, analisa yang berbau ‘teori konspirasi’.

Saya akan mulai posisi ketiga dan keempat, yang mungkin dapat kita sebut sebagai ‘pseudo-heroisme anti-sistem’. Tentu ada perbedaan yang distingtif dari posisi ketiga dan keempat – terutama dalam hal fondasi kritik dan referensi empiris dari kedua posisi tersebut. Posisi keempat – yang dianut oleh situs web ‘kiri’ sebelah, misalnya – adalahposisi yang paling lemah. Bukan hanya posisi ini berangkat dari fondasi kritik – kalaulah bisa dikatakan sebagai kritik sama sekali – yang tidak tepat, yaitu pergunjingan dan sebuah sikap ‘kamilah yang paling benar’ yang dianggapnya sebagai sebuah aksiom (dengan kata lain dogmatisme tanpa verifikasi ilmiah), tetapi juga posisi ini menggunakan logika utak-atik gathuk dalam mengolah fakta-fakta empiris untuk dijadikan sebagai sebuah bentuk justifikasi bagi ‘aksiom’ awal mereka, yaitu aksiom ‘kamilah yang paling benar’! ‘Nafsu’ pergunjingan ditambah metode cocokologi yang dianut oleh posisi ini tentu sangat melenceng dari prinsip dan semangat teoretik gerakan Kiri yang berlandaskan prinsip-prinsip ilmiah yang kontekstual dalam membaca realitas yang seringkali mewujud dalam spesifitas yang berbeda-beda. 

Saya teringat kata-kata intelektual-aktivis pengkaji konflik Israel-Palestina terkemuka, Norman Finkelstein (2013), bahwa:

‘Kebohongan, sebagaimana akhirnya aku pahami, adalah sumber kehancuran bagi politik radikal, sedangkan kebenaran adalah metode dan ukurannya…Sebuah gerakan yang dibangun di atas tumpukan kebohongan, betapapun mulia tujuan-tujuannya, tidak pantas mendapatkan dukungan popular.’(6)  (cetak tebal dari saya).

Dua prinsip teoretik inilah yang tidak dijalankan oleh posisi keempat. Lagi-lagi, meminjam istilah keagamaan, niat dan cara ‘kritik’ dari posisi keempat ini sudah salah dari awal. Dengan begitu, maaf-maaf saja, ke-Kiri-an posisi teoretik itu sangat dipertanyakan. Berdasarkan standar-standar tersebut, maka argumen kubu penganut posisi keempat tidak valid secara teoretik.

Posisi ketiga, menggunakan perumpamaan di atas, berangkat dari niat yang baik namun dengan cara yang kurang tepat. Salah satu penganut posisi ketiga ini adalah kawan Ted Sprague (2014), sebagaimana dapat dilihat dalam sejumlah analisanya mengenai konstelasi politik di seputar pemilu 2014. Posisi ketiga ini dapat dibaca sebagai posisi ke-kiri-kiri-an, yang secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut 1) politik elektoral pada dasarnya adalah politik borjuis, dan 2)  tidak ada perbedaan yang signifikan di antara Jokowi dan Prabowo karena keduanya sama-sama borjuis, karenanya, 3) tidak ada perubahan yang signifikan dalam realitas politik Indonesia, sehingga 4) partisipasi gerakan Kiri, progresif, dan rakyat pada umumnya dalam politik elektoral hanyalah kecenderunganborjuis kecil, dan 5) jalan terbaik adalah tetap setia pada ‘militansi heroik’ yang menyerukan #TolakKabeh #BoikotPemilu dan lain sebagainya. Kritik bersahabat kawan Sprague, meskipun saya apresiasi sebagai upaya untuk sampai kepada posisi teoretik yang tepat untuk menanggapi realitas politik yang ada, sayangnya salah arah karena tidak kontekstual. Menambahi kritik yang dirumuskan oleh kawan Ridha (2014) dan kawan Martin (2014) atas ‘Marxisme EGP-isme’ alias ‘Sosialisme Bank Dunia’ ala kawan Sprague, saya berpendapat bahwa analisa dan usulan strategi yang dirumuskan oleh kawan Sprague kurang atau tidak kontekstual karena tidak berangkat dari realitas politik yang ada, yang digerakkan oleh rakyat  sendiri, seakan-akan tidak ada perubahan atau kemungkinan perubahan dari relasi kuasa elitis-oligarkis yang ada, seakan-akan tidak ada antusiasme dan perubahan sikap politik dari rakyat pekerja itu sendiri dalam proses perjuangan sehari-hari mereka atas struktur yang menindas. Pseudo-heroisme semacam ini akhirnya bukan hanya mereduksi korpus teori dan sejarah perjuangan gerakan Kiri menjadi semacam buku resep memasak, teori-teori motivasi, atau kiat sukses berwirausaha, yang menghalangi dialog antara berbagai posisi teoretik yang berbeda, tetapi juga terjebak kepada sebuah bentuk esensialisme dalam melihat aspirasi dan artikulasi politik dari rakyat pekerja yang konsekuensinya adalah sikap pokoke golput dan anti pemilu, seakan-akan ancaman fasisme di Indonesia tidak ada hanya karena fasisme Indonesia tidak ‘mirip’ atau ‘sama dengan’ fasisme Eropa, seakan-akan kaum Chartists di Inggris sekedar berkhayal ketika memperjuangkan hak pilih universal, seakan-akan partai-partai Kiri-radikal di Uni Eropa dan sejumlah gerakan sosial, dan pemerintahan progresif di Amerika Latin mulai dari Allende, Chávez, Morales, dan García Linera oportunis hanya karena memanfaatkan jalur politik elektoral.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka, menurut hemat saya, posisi teoretik pertama dan kedua merupakan konsekuensi logis dalam membaca dan menanggapi realitas politik yang ada. Posisi teoretik kedua berpegang kepada dua asumsi yaitu pentingnya memunculkan kemungkinan-kemungkinan politik alternatif di luar politik elektoral arus utama dan membuka kemungkinan dialog dengan berbagai posisi teoretik Kiri yang berbeda. Posisi ini tetap  menempatkan politik emansipasi radikal sebagai tujuan utama, namun menyesuaikan strategi politik dengan konteks dan realitas lokal. Saya mengangkat topi terhadap komitmen terhadap politik radikal yang dibarengi denganpembacaan kontekstual atas realitas Indonesia dari posisi teoretik ini. Posisi ini juga tetap membuka kemungkinan dialog dengan posisi pertama, yaitu dukungan kritis terhadap Jokowi, yang akan saya jabarkan setelah membahas pergolakan politik di kubu Jokowi.

Politik Pilpres 2014: Pergolakan di Kubu Jokowi

Membaca konstelasi politik di kubu Jokowi, meminjam ucapan kawan Airlangga Pribadi, haruslah dilakukan secara dialektis. Kita harus memperhitungkan kontestasi politik di antara sejumlah kekuatan sosial yang berada di dalam kubu Jokowi. Untuk itu, saya akan membahas mengenai sejumlah kekhawatiran mengenai menyusupnya anasir-anasir OrBa dan agenda-agenda politik mereka yang dialamatkan ke kubu Jokowi.

Pertama, dari perspektif ekonomi-politik, terdapat kekhawatiran bahwa kaum oligarkh yang berada di belakang Jokowi,(7)  seperti Surya Paloh, misalnya, dan elit-elit konservatif nan karatan(8)  di tubuh partai utama pendukung Jokowi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), akan berusaha untuk ‘menjinakkan’ Jokowi. Dengan kata lain, alih-alih mempromosikan sejumlah kebijakan publik yang lebih progresif, Jokowi, meskipun didukung oleh sejumlah kekuatan sosial yang progresif, hanya akan menjadi ‘capres boneka’, sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak.

Kedua, dari perspektif HAM, kedekatan kubu Jokowi dengan sejumlah jenderal pelanggar HAM dan pengidap post-power syndrome lainnya juga dianggap bermasalah. Lagi-lagi saya akan merujuk kepada laporan singkat ETAN dan tulisan dari aktivis HAM Usman Hamid. Sebagai pengingat, Wiranto, seorang jenderal OrBa yang menjadi pentolan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang juga mendukung Jokowi, juga memiliki catatan pelanggaran HAM yang naudzubillah. ETAN melaporkan bahwa Wiranto juga terlibat dalam kasus tewasnya aktivis, dan laporan Komnas HAM juga menunjukkan keterlibatan Wiranto dalam kasus kerusuhan 1998. Kemudian, Usman Hamid juga menulis bahwa kedekatan Jokowi dengan sejumlah jenderal konservatif seperti Hendropriyono, yang diduga terlibat dalam kasus penyerangan warga di Talangsari, Lampung dan pembunuhan aktivis HAM terkemuka almarhum Munir. Demikian juga dengan Ryamizard Ryacudu, seorang jenderal pendukung prinsip ‘NKRI Harga Mati!’ dengan tendensi militeristik, juga bermasalah dari perspektif perlindungan HAM, terutama dalam kasus pembunuhan pejuang bangsa Papua Theis Eluway.

Tentu saja, kedua kritik yang ditujukan kepada kubu Jokowi ini merupakan kritisisme yang valid. Tidak hanya itu, pemilihan Jusuf Kalla (JK) sebagai cawapres Jokowi juga dianggap sebagai pilihan yang problematik. Kembali,  ini merupakan keberatan yang sangat wajar – sebab bagaimanapun, JK adalah bagian dari kaum oligarkhi Indonesia, yang parahnya, sebagaimana kita saksikan dalam film dokumenter The Act of Killing, juga memiliki kedekatan dengan kelompok paramiliter pro-OrBa, seperti Pemuda Pancasila (PP).

Namun, persis di titik inilah, saya pikir, anjuran kawan Airlangga, untuk membaca pergolakan politik di kubu Jokowi secara dialektis menjadi sangat relevan. Membaca pergolakan politik di kubu Jokowi secara dialektis berarti mengidentifikasi tidak hanyakekuatan-kekuatan elit lama dan konservatif yang bercokol di kubu Jokowi, tetapi jugakekuatan-kekuatan sosial progresif seperti rakyat pekerja (buruh, petani, serta kelompok-kelompok termarginalkan di desa dan kota), elemen-elemen masyarakat sipil dan kaum intelektual, relawan-warga, yang melihat potensi progresif dari agenda-agenda populisme Jokowi dan berusaha untuk memperdalam potensi progresif dari populisme Jokowi, sekaligus menghadang aksi-aksi reaksioner dari kelompok-kelompok konservatif yang berada di kubu Jokowi. Singkatnya, kita perlu memperhatikan kontestasi politik yang terjadi di antara kedua kekuatan sosial tersebut – suatu hal yang bisa dikatakan absen di kubu Prabowo-Hatta. Usman Hamid, misalnya, menulis bahwa terdapat ketegangan antara sejumlah aktivis pro-demokrasi seperti Teten Masduki dan Andi Widjajanto dengan jenderal OrBa, seperti Hendropriyono. Potensi progresif dari populisme Jokowi, meskipun masih terbatas, bukanlah suatu klaim yang mengada-ngada. Rekam jejak Jokowi sebelum menjadi capres,  misalnya, baik di Solo dengan program-program populisnya yang berusaha meningkatkan partisipasi warga dalam pembuatan kebijakan publik maupun di Jakarta dengan Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan pembelaan terhadap Lurah Susan, merupakan sejumlah bukti atas potensi progresif tersebut. Kemudian, dukungan kelompok-kelompoksubaltern dalam masyarakat Indonesia seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)(9)  juga dapat dibaca sebagai potensi pendalaman dan pengembangan yang lebih lanjut dari agenda-agenda progresif populisme Jokowi. Berdasarkan atas pertimbangan inilah, posisi teoretik pertama dari politik Kiri, yang saya singgung sebelumnya di atas, yaitudukungan kritis terhadap Jokowi, menemukan relevansinya. Bagi posisi teoretik ini, dukungan kritis terhadap Jokowi, setidaknya lebih aman bagi keberlangsungan demokrasi elektoral di Indonesia, yang, meskipun masih sangat tidak sempurna dan masih didominasi oleh para elit, setidaknya memberikan ruang demokratik bagi artikulasi politik rakyat pekerja dan penerapan agenda-agenda perjuangan kelas. Hanya dalam iklim politik yang lebih terbuka dan demokratis inilah, menurut posisi teoretik ini, agenda-agenda yang lebih progresif dan pro-rakyat pekerja serta konsolidasi proses pembangunan politik Kiri-progresif di Indonesia dapat dilaksanakan.(10)  Posisi teoretik ini juga membuka dialog dengan posisi politik Kiri yang lain, terutama dengan posisi teoretik kedua.

Oleh karena itu, perbandingan antara pasangan Jokowi-JK dengan pasangan Prabowo-Hatta bukanlah perbandingan yang apple to apple. Pasangan yang pertama masih memungkinkan penerapan kebijakan publik yang progresif yang lebih luas, sedangkan pasangan yang kedua justru memiliki kecenderungan korporatis-otoritarian yang kuat a la Orde Baru. Posisi teoretik dan politik untuk mendukung pasangan yang pertama dapat dijustifikasi, tetapi tidak dengan dukungan terhadap pasangan Prabowo-Hatta, yang sedari awal tidak valid dan tidak dapat dijustifikasi, karena, sesuai dengan singkatan resmi pasangan tersebut, benar-benar akan membawa PRAHARA di Indonesia.

Penutup: Antara Demokrasi atau Barbarisme

‘…djiwa fasisme tidak sesuai dengan djiwa Indonesia! Djiwa Indonesia adalah djiwa demokrasi, djiwa kerakyatan, dan djiwa fasisme adalah djiwa anti demokrasi, djiwa anti kerakjatan.’ (Bung Karno, 1965, dalam ‘Indonesia Versus Fasisme’, hal. 457-473).

Jauh-jauh hari, Bung Karno sudah memperingatkan, bahwa jiwa fasisme tidak sesuai dengan jiwa Indonesia, karena fasisme anti dengan semangat demokrasi dan kerakyatan – suatu hal yang menjadi cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Kini, kita kembali dihadapkan pada pilihan serupa. Demokrasi Indonesia memang masih jauh dari sempurna. Demokrasi elektoral di Indonesia masih merupakan demokrasi borjuis. Namun, itu adalah pilihan yang mendingan dibandingkan dengan segala kecenderungan untuk kembali kepada OrBa. Perlu dicatat, bahwa saya tidak melegitimasi tendensi elitis dari demokrasi borjuis. Yang saya ingin garis bawahi adalah, misi emansipasi radikal yang menjadi cita-cita gerakan Kiri lebih mungkin untuk dilaksanakan dalam iklim politik yangdemokratis – terbuka dan tidak represif. Oleh karena itu, ketika 16 tahun setelah tumbangnya OrBa, kita kembali berhadapan dengan hantunya, kita perlu mempertahankan ruang demokratik itu.

Di saat yang bersamaan, kita juga menyaksikan naiknya epos reaksioner dari perkembangan kapitalisme-neoliberal di tingkat global. Di India, Narendra Modi, politisi konservatif dari partai Hindu fundamentalis, Bharatiya Janata Party (BJP), yang bertanggung jawab atas tewasnya ribuan  warga minoritas Muslim di Gujarat, akan segera dilantik menjadi Perdana Menteri di India. Di Thailand, militer kembali melakukan kudeta untuk yang keberapa kalinya. Di Mesir, militer kembali berkuasa setelah Revolusi Rakyat dikumandangkan. Di Venezuela, para oligarkh dan kelompok-kelompok revolusioner kembali melakukan aksi-aksi destabilisasi pasca berpulangnya Chávez. Di Eropa baru-baru ini, tercatat ada 12 negara dimana kekuatan partai-partai fasis memenangkan dukungan suara yang sangat signifikan.(11)  Terlepas dari segenap perbedaannya, ada kesamaan dari sejumlah aksi-aksi anti-demokrasi tersebut: semuanya dilakukan atas nama ‘stabilitas’, ‘keamanan’, ‘kemajuan’, terkadang ‘pemberantasan korupsi’, atau parahnya lagi ‘karena rakyat belum siap untuk berdemokrasi’ atau justru karena ‘ingin menyelamatkan ‘demokrasi’’.

Saya berharap, jangan sampai kita menyaksikan kecenderungan serupa muncul di Indonesia. Di dalam konteks inilah, metode ilmiah dalam gerakan progresif menjadi penting. Di tengah-tengah maraknya black campaign dan upaya moralisasi yang kebablasan dalam diskursus politik Indonesia, yang membedakan gerakan progresif dengan kecenderungan politik lainnya adalah penggunaan metode ilmiah dalam perumusan dan justifikasi posisi teoretik dan aksi-aksi politiknya. Kampanye hitam yang menyerang dimensi pribadi dari para pasangan capres-cawapres dengan stereotip-steoreotip rasis dan esensialis, yang identik dengan kelompok-kelompok etnis dan masyarakat tertentu, (misalnya: Jokowi antek Cina dan Yahudi atau Prabowo tidak becus mengurus rumah tangga), salah bukan hanya karena kampanye tersebut bersifat ad hominem dan secara moral salah, melainkan juga karena klaim-klaim liar yang diajukan tersebut tidak ada hubungannya dengan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugas sebagai seorang presiden, dan lebih penting lagi tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, dan karenanya salah. Moralisasi atas suatu permasalahan juga bukan jawaban, karena moralisasi bukan hanya mengaburkan masalah seakan-akan menjadi persoalan yang jelas hitam-putihnya (misalnya, diskursus ‘orang baik’ versus ‘orang jahat’) dan mengalihkan perhatian kita dari persoalan-persoalan utama (misalnya, persoalan relasi ekonomi-politik di antara kekuatan sosial pendukung para capres-cawapres, atau masalah pelanggaran HAM di masa lalu, dan lain sebagainya), tetapi juga memiliki kecenderungan untuk melabeli dan mereduksi upaya-upaya analisa kompetensidan rekam jejak dari suatu calon sebagai suatu bentuk pergunjingan, fitnah, atau black campaign. Analisa saya atas rekam jejak ekonomi-politik Prabowo sebagai oligarkh dan reputasi Prabowo sebagai seorang pelanggar HAM, dapat dengan mudah dilabeli sebagai upaya ‘fitnah’ atau ‘pencemaran nama baik’. Tentu saja ini tuduhan yang absurd, karena analisa ini saya lakukan sebisa mungkin berdasarkan kaidah ilmiah yang menjadi pedoman gerakan progresif dan semata-mata ditujukan, dalam kapasitas saya sebagai warga negara yang peduli, untuk kemaslahatan publik.

Di dalam konteks ini juga, saya ingin menyerukan kepada kawan-kawan yang berafiliasi dengan gerakan Islam politik untuk kembali membawa metode ilmiah dan menghindari penggunaan fitnah dalam berpolitik. Bukankah tendensi reformis dan progresif dalam Islam politik hanya akan langgeng apabila gerakan Islam konsisten dalam menerapkan metode ilmiah dan menghindari fitnah dalam berteori dan berpolitik? – Dua hal yang juga menjadi kredo gerakan Islam yang progresif. Bukankah situs-situs web seperti Arrahmah dan Voa-Islam merupakan situs-situs web yang bertentangan dengan semangat Islam, karena hanya menyebarkan fitnah, cocokologi teori-teori ‘konspirasi Wahyudi’, dan kebencian? Bukankah militerisme musuh gerakan Islam dan gerakan-gerakan progresif lainnya, sebagaimana dapat kita lihat di Mesir dan Indonesia? Bukankah musuh gerakan Islam adalah konservatisme, kejumudan, dan elemen-elemen penindas lama yang berbaju baru dan bermulut manis, seperti misalnya kaum militer berbaju ‘demokrat’, ‘anti-neolib’, dan ‘anti-asing’, alih-alih imajinasi abstrak seperti ‘kelompok-kelompok liberal, sekuler, komunis, Cina, Yahudi, dan asing’?

Kepada mereka yang masih mendukung kubu Prabowo-Hatta dan kroni-kroninya, saya tantang untuk merasakan sepersepuluh, ya, sepersepuluh saja, dari penderitaan korban penculikan, korban kerusuhan, dan juga korban pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Kecuali Anda bisa memberikan justifikasi teoretik atas pilihan politik anda, atau isi kepala Anda sesomplak Ahmad Dhani, atau Anda siap dikorsa dan tidur di balok es, maka dukungan Anda terhadap pasangan Prabowo-Hatta tidak valid secara teoretik.

Sebuah masa depan di mana cita-cita proklamasi dan reformasi dapat dijalankan, sebuah masa depan di mana dapur kita bisa ngebul dan kita bisa bebas bersuara tanpa takut dikorsa adalah masa depan yang mungkin. Namun, itu memerlukan usaha kita sebagai manusia. Masa depan tersebut hanya mungkin dicapai apabila demokrasi dijaga. Ya, apabila Prabowo Subianto tidak menjadi presiden.

Karena pilihannya jelas, antara DEMOKRASI atau BARBARISME***

Penulis hanya warga negara biasa, beredar di twitterland dengan id @libloc

————-
[1] Tentu saja, istilah ini saya ambil dari Marx.

[2] Istilah ini saya ambil dari ‘tesis oligarkhi’-nya Jeffrey Winters.

[3]Berita mengenai sumbangan Hashim ke lembaga tersebut dapat dilihat dihttp://internasional.kompas.com/read/2012/10/10/22514432/CSIS.Dirikan.Kajian.Sumitro.Djojohadikusumo dan http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/12/sumitro-center-launched-washington.html

[4] Tek saslinya, That Prabowo played a significant role in this operation seems clear, but precisely how significant is less clear.’

[5] Pemakaiantanda kutip di sini sekedar untuk menunjukkan pluralitas pandangan di antaraberbagai gerakan kiri di tanah air.

[6] Teksaslinya, Lies, I’ve come to believe, are the bane of aradical politics, whereas truth is its method and measure…A movement built onlies, however exalted its goals, does not deserve popular support.’

[7] Lihat laporan mengenai dukungan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia(KADIN) Bidang Kelautan dan Perikanan, Yugi Prayanto, terhadap Jokowi misalnya (Setiawan, 2014).

[8] Cukupbanyak pemberitaan mengenai persoalan ini, namun pernyataan dari Ketua Umum PDIPerjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengenai Jokowi sebagai ‘petugas partai’ secara simbolik menunjukkan kecenderungan konservatif dari sebagian elit PDIP (Wismabrata, 2014).

[9] Pernyataandukungan AMAN terhadap pasangan Jokowi-JK dapat dilihat dihttp://www.aman.or.id/2014/05/24/suara-aliansi-masyarakat-adat-nusantara-aman-untuk-jokowi-jk/#.U4LaNHJdVRo

[10] Nicos Poulantzas, seorang sosiolog Marxis yang banyak menulis soal negara (dan tampaknya makin jarang dibaca akhir-akhir ini), juga menyinggung soalkemungkinan ‘taktik elektoral’ bagi politik Kiri-radikal. Ini menjelaskan dukungannya terhadap garis Eurocommunism yang dianut oleh Partai-partai Komunis di Eropa Barat pasca proses de-Stalinisasi.

[11] ‘Far right politics in Europe,’ the Guardian,http://www.theguardian.com/gall/0,,711990,00.html.Kemenangan partai-partai fasis ini dianggap bukan saja sesuatu yan gm engejutkan, tetapi sudah seperti ‘gempa bumi’ politik. Lihat, That ‘earthquake’  in Europe? It’s far-right gains in Parliament elections,”http://www.cnn.com/2014/05/25/world/europe/eu-elections/

Kepustakaan:

Apinino, R., 2014. Apa yang Berbahaya dari Prabowo dan Gerindra? : Telaah Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). [Online]. Dapat diakses di:http://www.prp-indonesia.org/2014/apa-yang-berbahaya-dari-prabowo-dan-gerindra-telaah-manifesto-perjuangan-partai-gerakan-indonesia-raya-gerindra [Diakses 25 Mei 2014].

East Timor and Indonesia Action Network (ETAN), 2014. Indonesia’s Militarized Democracy: Candidates bring proven records of violating human rights. [Online]. Dapat diakses di:http://etan.org/news/2014/3candidates.htm#Prabowo [Diakses 24 Mei 2014].

Finkelstein, N., 2013. Misadventures in the Class Struggle. [Online]  Dapat diakses di:http://www.newleftproject.org/index.php/site/article_comments/misadventures_in_the_class_struggle [Diakses 25 Mei 2013].

Hamid, U., 2014. Wither Human Rights?. [Online]  Dapat diakses di:http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/05/08/wither-human-rights/
[Diakses 24 Mei 2014].

Husein, M. Z., 2014. Kaum Buruh, Jangan Mau Ditipu Prabowo!. [Online] Dapat diakses di:http://indoprogress.com/2014/05/kaum-buruh-jangan-mau-ditipu-prabowo/ [Diakses 25 Mei 2014].

Pontoh, C. H., 2014. 50 Hari Menuju Pilpres: Demokrasi vs Fasisme-Religius. [Online]  Dapat diakses di: http://indoprogress.com/2014/05/50-hari-menuju-pilpres-demokrasi-vs-fasisme-religius/ [Diakses 25 Mei 2014].

Ridha, M., 2014. Menuntut Logika yang Lebih! Pemilu 2014 dan Respon Taktis Politik Marxis Indonesia. [Online]  Dapat diakses di: http://indoprogress.com/2014/04/menuntut-logika-yang-lebih-pemilu-2014-dan-respon-taktis-politik-marxis-indonesia/ [Diakses 25 Mei 2014].

Setiawan, A., 2014. Pengusaha Dalam Negeri Dukung Jokowi Jadi Presiden RI. [Online] Dapat diakses di: http://finance.detik.com/read/2014/03/15/141947/2526741/4/pengusaha-dalam-negeri-dukung-jokowi-jadi-presiden-ri [Diakses 25 Mei 2014].

Sprague, T., 2014. Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita. [Online] Dapat diakses di: http://www.militanindonesia.org/35-analisa-politik/8477-perspektif-marxis-untuk-pemilu-2014-kritik-analisa-dan-tugas-kita.html [Diakses 25 Mei 2014].

Sukarno, 1965. Dibawah Bendera Revolusi: Jiid Pertama. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

Surpriatma, M., 2014. Melacak Tim Mawar. [Online]  Dapat diakses di:http://indoprogress.com/2014/05/melacak-tim-mawar/ [Diakses 27 Mei 2014].

Suryajaya, M., 2014. Apa yang Sosialis dari Nasional-Sosialisme. [Online]  Dapat diakses di:http://indoprogress.com/2014/05/apa-yang-sosialis-dari-nasional-sosialisme/ [Diakses 25 Mei 2014].

Suryajaya, M., 2014. http://indoprogress.com/2014/05/marxisme-dan-sosialisme-bank-dunia/. [Online]  Dapat diakses di: http://indoprogress.com/2014/05/marxisme-dan-sosialisme-bank-dunia/ [Diakses 25 Mei 2014].

van Klinken, G., 2014. Prabowo and human rights: Jakarta 1998 was bad, but Prabowo likely had more blood on his hands in East Timor. [Online]  Dapat diakses di:http://www.insideindonesia.org/current-edition/prabowo-and-human-rights [Diakses 24 Mei 2014].

Wismabrata, M., 2014. Megawati: Jokowi Petugas Partai yang Saya Perintah Jadi Capres. [Online]  Dapat diakses di:http://regional.kompas.com/read/2014/04/05/1719285/Megawati.Jokowi.Petugas.Partai.yang.Saya.Perintah.Jadi.Capres. [Diakses 25 Mei 2014].

Menghadang Fasisme

http://indoprogress.com/2014/04/menghadang-fasisme/

MENGHADANG Fasisme mungkin terdengar berlebihan, seperti menghadang musuh yang tidak jelas ada. Lagipula, adakah benih-benih Fasisme di Indonesia? Lebih gamblang lagi, kita bisa bertanya: apakah calon presiden (capres) semacam Prabowo Subianto seorang fasis?

Menjawab dua pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Karenanya, sejenak mari kita menengok ke sebuah negeri nun jauh di sana: Italia. Di sana, ada sosok yang di kemudian hari mengubah jalan politik Italia: Benito Mussolini. Kita bisa lihat, sejauh apa kemiripan antara fasis nusantara dan fasisbule. Awalnya, Mussolini adalah seorang sosialis. Sebelum menjadi seorang diktator fasis, profesinya macam-macam. Di satu waktu, ia sempat menjadi tentara sekitar tahun 1905-1906 (kemiripan #1). Kemudian, ia aktif sebagai jurnalis politik dan penulis untuk Partai Sosialis Italia, dan selama periode 1911-1914 menjadi editor untuk koran resmi partai, Avanti. Namun, pecahnya Perang Dunia Pertama kemudian mengubah pandangan politik Mussolini. Dari seorang sosialis yang berorientasi internasionalis, Mussolini melakukan ‘lompatan iman,’ atau mungkin lebih tepatnya kesambit, menjadi seorang fasis yang khaffah, lengkap dengan panji-panji dan slogan-slogan mengenai kemurnian dan kejayaan Bangsa (dengan ‘B’ besar), kebutuhan untuk ekspansi demi memperluas ‘ruang vital’ (spazio vitale) (kemiripan #2), rasisme (kemiripan #3 – masih ingat kan kelakukan Orde Baru dan antek-anteknya, termasuk Prabowo, di Timor Leste?), promosi negara polisi bertangan besi yang dimulai di tahun 1925 (kemiripan #4 – apa masih perlu penjelasan untuk bagian ini?), dan kultus individual (kemiripan #5 – yang parahnya didukung oleh sejumlah faksi intelektual dan kelas menengah dengan alasan ‘kita perlu pemimpin yang kuat!’)

Dan ingat, Mussolini melakukannya dengan jalan parlementer. Masa awal pemerintahan Mussolini adalah koalisi sayap-kanan yang didukung bukan hanya oleh kaum fasis tetapi juga elemen-elemen reaksioner dari kaum liberal, nasionalis, dan Katolik. Awalnya, Mussolini hanyalah sekedar perdana menteri, sebelum menjadi seorang diktator fasis yang seutuhnya.

Mungkin saya berlebihan. Tentu saja, Prabowo dan Mussolini tidak 100 persen sama. Tetapi mengatakan bahwa seorang Prabowo adalah seorang ‘demokrat’ tulen yang berjuang di laga elektoral dengan mendirikan partai politik ‘modern’ dan juga seorang ‘populis’ yang memperjuangkan program-program ‘anti-neoliberal,’ jelas-jelas membohongi diri sendiri. Fasisme tak ubahnya api dalam sekam, yang meskipun kecil ada baiknya lekas (di)padam(kan).

Kita kembali ke Italia. Segera setelah naik ke tampuk kekuasaan, api fasisme yang dibawa Mussolini dan para pendukungnya segera menjalar. Dan kita tahu, siapa yang paling menderita dari wabah ini: rakyat pekerja. Dalam tata kenegaraan korporatis otoritarian, semua hal dipersembahkan untuk keagungan Il Duce, Sang Pemimpin. Ongkosnya mahal. Antonio Gramsci, pentolan Partai Komunis Italia dan salah satu teoretikus Marxis paling terkemuka itu, dijebloskan ke penjara. Tidak hanya itu, Giacomo Matteoti, seorang politisi dari kubu sosialis, diculik dan dibunuh oleh kaum fasis setelah mengritik mereka secara terbuka di parlemen.

Tapi tiap-tiap perjuangan, meskipun terlihat berserakan, kelak akan menemui kemenangannya. Dan ternyata, harapan itu akhirnya terwujud. Kaum partisan Italia, yang terdiri dari berbagai kelompok perlawanan anti-fasis, pelan-pelan bisa memukul mundur hegemoni fasis. Akhirnya, pada 27 April 1945, Mussolini dan kekasinya, Clara Petacci, ditangkap oleh faksi komunis dari kaum partisan. Keesokan harinya, Mussolini dan Petacci dieksekusi oleh Walter Audisio, seorang komunis. Mayatnya digantung terbalik dan dijejerkan bersama dengan sejumlah fasis lainnya, sebagai pengingat: kelak, mereka yang ditindas akan melawan balik, dan para penindas akan mendapat hukuman yang setimpal atas kejahatan mereka.

Begitupun di sejumlah tempat lain. Di Portugal, Revolusi Anyelir yang menumbangkan kediktatoran militer, dirayakan setiap tahunnya. Di Chile dan Argentina, para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggar HAM diadili di hadapan khalayak ramai. Di negeri-negeri di mana akal sehat dan hati nurani masih berkuasa, para penindas dipermalukan dan para pejuang dikenang.

Tetapi tidak di Indonesia. Yang ada, setelah 16 tahun reformasi, kita menyaksikan suatu kemungkinan yang mengerikan dihadapan kita: perkawinan antara oligarki neoliberal dan fasisme gaya baru, yang anehnya dilegitimasi oleh sejumlah ‘aktivis’ yang terkena Stockholm Syndrome,sejumlah intektual dan tokoh publik (misal, sebut saja nama sebenarnya: Bondan Winarno), sejumlah faksi kelas menengah ibukota (yang juga nyinyir terhadap demo kawan-kawan buruh tahun lalu – tentu kami tidak akan lupa itu), dan lain-lain – pendeknya, aliansi yang dibikin absah oleh mereka yang melacurkan dirinya.

Sejarah, katanya, adalah milik mereka yang menang. Tapi kita tahu, sebagaimana dikatakan mereka yang tidak tertulis sejarah, atau tidak memiliki sejarah, bukanlah sekedar orang-orang yang kalah. Ada perlawanan di situ. Saya jadi teringat sebuah puisi dari Wiji Thukul, Bunga dan Tembok:

jika kami bunga

engkau adalah tembok

tapi di tubuh tembok itu

telah kami sebar biji-biji

suatu saat kami akan tumbuh bersama

dengan keyakinan: engkau harus hancur!

dalam keyakinan kami

di mana pun –tirani harus tumbang!

 

Mungkin, gugusan perlawanan ini terlihat seakan-akan tidak mengubah keadaan, setidaknya untuk sekarang. Namun, sebagaimana bunga-nya Thukul, kita tahu, kerja-kerja kolektif yang terlihat kecil ini suatu saat akan membuahkan hasil. Mungkin hasilnya tidak akan segera terlihat. Mungkin, ketika hasilnya muncul, kelak kita sudah tidak ada di dunia ini. Tetapi sejarah akan mencatat, mana yang melawan dan mana yang tidak. Dan kelak, generasi di masa depan akan menilai, siapa yang melawan dan siapa yang berkhianat.

Oleh karena itu, seborjuis-borjuis dan seoligarkis-oligarkisnya demokrasi Indonesia, ia perlu dipertahankan dari rongrongan kapitalisme neoliberal dan fasisme gaya baru. Sebagaimana dituliskan oleh kawan Lilik baru-baru ini, tentu ada sebabnya Herman, Bimo, Thukul, Suyat, dan Gilang dihilangkan tanpa kabar. Ada sebabnya Munir disunyikan. Ada sebabnya Sondang – yang umurnya tidak berbeda jauh dengan saya dan banyak kawan muda pembaca IndoProgress lainnya – menjemput takdirnya. Ada sebabnya protes-protes rakyat terus berkumandang pasca-reformasi.

Saya teringat kata-kata Sudisman, seorang pemimpin PKI, dalam Uraian Tanggung-Jawab[1] yang ia bacakan di depan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sudisman, alih-alih memilih ‘jalan justisi’ justru memilih ‘jalan mati.’ Pilihan Sudisman adalah pilihan yang sah dan terhormat, bukan hanya karena solidaritas yang ditunjukkannya (‘Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih “jalan mati”’), tetapi juga karena keyakinan dan harapannya untuk masa depan, karena ‘Hukum perjuangan menentukan: berjuang gagal, berjuang lagi, gagal lagi, berjuang, gagal…akhirnya menang.’

Jalan mereka adalah jalan pendekar, bukan jalan perjuangan nanggung yang menye-menye.

Tentu, zaman telah banyak berubah. Oleh karena itu, taktik dan strategi musti sesuai dengan konteks zaman. Mungkin, kita tidak perlu ‘anak-anak muda hebat’, Munir, Sondang, ataupun Sudisman yang baru. Sudah cukup, dan mungkin terlalu banyak, mereka yang harus hilang dan mati karena perjuangan. Lebih baik kita tetap hidup dan terus berjuang.

Dan perjuangan itu kini berada persis di depan mata kita: mempertahankan demokrasi dan agenda-agenda progresif kerakyatan serta menghadang fasisme. Bukan, ini bukan perjuangan yang mengada-ada, hanya saja siasatnya yang berbeda. Kali ini, kita akan menempuh perjuangan melalui jalur elektoral. Marilah bersama-sama kita menendang fasisme keluar dari kotak suara di bumi Indonesia.***

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitterland dengan id @libloc

Demokrasi Kita Dibajak Para Elite

Demokrasi Kita Dibajak Para Elite
Iqra Anugrah,
mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat
Diperlukan gerakan rakyat, gerakan massa yang sadar akan hak-haknya sebagai warga republik, untuk memantau dan mengoreksi perilaku para elite. Tentu saja proses ini tidaklah mudah, apalagi untuk melawan cengkeraman kuasa para elite mafia hukum.
Belum lama ini kita dikagetkan kembali oleh konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia terkait dengan upaya penangkapan Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK, oleh pihak Polri. Dagelan politik ini segera saja menyulut reaksi publik, yang langsung melemparkan sejumlah kritik dan aksi-aksi solidaritas di berbagai daerah di Tanah Air, yang dilakukan oleh berbagai elemen warga Indonesia. Berlarut-larutnya kasus ini juga diperparah oleh kelambanan dan ketidaktegasan sikap Presiden SBY, yang semakin meningkatkan kekecewaan rakyat atas kinerja Presiden dan pemerintah pada umumnya, suatu hal yang semestinya tidak terjadi di era demokrasi kita dewasa ini.
Konflik KPK-Polri dan liku-liku pemberantasan korupsi adalah gejala sekaligus akibat dari kepentingan publik yang dibajak para elite. Konflik kepentingan semacam ini adalah pertanda dari menyusutnya nilai-nilai politik sebagai sebuah upaya bersama untuk memajukan kepentingan publik. Sesungguhnya, ini adalah suatu hal yang gawat dan mengkhawatirkan, karena akan semakin meningkatkan skeptisisme publik terhadap negara dan demokrasi kita.
Karena itu, untuk lebih memahami permasalahan secara lebih jelas, ada baiknya kita mencoba menganalisis “potret buram” konflik KPK-Polri dari sudut pandang teoretis, terutama dari khazanah sosiologi politik.
Adalah sosiolog kenamaan dari Amerika Serikat, C. Wright Mills, yang menyentuh persoalan dilema demokrasi dalam karyanya, The Power Elite (1956). Dalam magnum opus-nya, Mills berbicara mengenai proses formasi atau pembentukan elite di AS pasca-Perang Dunia II dan bagaimana proses tersebut mempengaruhi kualitas demokrasi di negerinya. Mills mencoba membeberkan sebuah fakta yang tidak mengenakkan: demokrasi di AS sering kali dibajak oleh segelintir elite politik, ekonomi, dan militer yang menguasai kapital, kuasa, dan gudang senjata. Efeknya memang terkadang tidak terasa, tetapi akibat yang sebenarnya sungguh mengkhawatirkan: isu-isu dan keputusan-keputusan yang penting bagi publik, yang seharusnya didiskusikan secara deliberatif, direduksi menjadi domain bagi segelintir elite.
Visi atau teori tentang demokrasi yang “elitis” ini berbeda dengan visi demokrasi “pluralis” yang diusulkan oleh ilmuwan politik kenamaan AS, Robert Dahl, dalam bukunya, Who Governs? (1961), yang berpendapat bahwa kekuasaan merupakan arena kontestasi kekuasaan dan pengaruh dari berbagai grup dan kelompok kepentingan.
Dalam konteks Indonesia, becermin dari kasus konflik KPK-Polri, sekiranya tidaklah berlebihan untuk menyimpulkan bahwa kondisi demokrasi kita lebih dekat dengan realitas pahit ala Mills ketimbang dengan visi optimistis Dahl. Proses reformasi kehidupan publik dan demokratisasi selama sekian waktu terakhir yang bertujuan untuk mencapai utopia Dahlian ternyata harus bertabrakan dengan visi realis ala Mills. Untuk mencapai tujuan masyarakat yang demokratis yang dicita-citakan oleh konstitusi dan para pendiri bangsa kita, tak jarang kita harus menghadapi perangai konservatif dari sejumlah elite yang hanya ingin melanggengkan kekuasaan oligarkisnya dalam ranah politik, ekonomi, dan bahkan penegakan hukum.
Refleksi konflik
Konflik KPK-Polri perlu ditanggapi dan ditangani dengan serius karena kasus ini adalah sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa demokrasi kita sudah mulai dibajak para elite. Pidato Presiden, yang menyatakan perhatian sekaligus komitmen untuk menyelesaikan kasus ini, perlu diapresiasi. Namun bukan berarti kita sebagai warga republik kemudian hanya berdiam diri. Diperlukan jutaan mata rakyat Indonesia untuk mengawasi komitmen negara dalam pemberantasan korupsi dan penerapan kebijakan yang pro-rakyat.
Dalam kaitan dengan konteks penegakan hukum, sesungguhnya komitmen dan langkah pemerintah dalam menanggapi persoalan pelik konflik KPK-Polri akan menjadi semacam litmus test, semacam ujian untuk menunjukkan seberapa jauh komitmen kita untuk menegakkan supremasi hukum atau rule of law dan rasa keadilan di dalam proses bernegara.
Sebelum deretan kasus konflik KPK-Polri muncul, mungkin kita tidak begitu memperhatikan–jikalau tidak lupa–pentingnya penegakan hukum. Konsolidasi demokrasi sering kali hanya dimaknai sebagai pesta-pora pemilu dan pilkada, yang justru mereduksi partisipasi warga republik yang seluas-luasnya dalam proses politik menjadi perayaan pergantian giliran berkuasa dan konsolidasi para elite. Para koruptor dan elite-elite oligarkis, terutama dalam sektor ekonomi dan politik, dibiarkan untuk menguatkan cengkeraman kekuasaannya. Sedangkan rakyat Indonesia, terutama kelompok-kelompok yang termarginalkan, seperti kaum miskin kota, buruh, dan tani, terus terpinggirkan, dibiarkan menjadi bidak-bidak catur dalam konstelasi politik para elite.
Melawan dominasi
Seperti biasa, tatkala rasa keadilan masyarakat mulai terusik, kritik dan resistansi atas praktek-praktek hukum dan kenegaraan yang sewenang-wenang, seperti “pengepungan” kantor KPK oleh beberapa polisi dan upaya pengerdilan otoritas KPK, menjadi tak terhindarkan. Berbagai elemen masyarakat mulai turun ke jalan dan menggemakan kritik bagi para penguasa serta harapan untuk terwujudnya proses politik yang lebih baik.
Namun itu saja mungkin tidak cukup. Diperlukan gerakan rakyat, gerakan massa yang sadar akan hak-haknya sebagai warga republik, untuk memantau dan mengoreksi perilaku para elite. Tentu saja proses ini tidaklah mudah, apalagi untuk melawan cengkeraman kuasa para elite mafia hukum. Diperlukan kerja keras yang terorganisasi dengan perencanaan jangka panjang. Namun, untuk mendukung reformasi kehidupan publik yang lebih baik sekaligus menyelamatkan demokrasi kita dari pembajakan segelintir elite, mungkin solusi ini adalah satu-satunya cara. **MAHASISWA DOKTORAL ILMU POLITIK DI NORTHERN ILLINOIS UNIVERSITY, AMERIKA SERIKAT
(Credit goes to Mas Chozin for spreading the news about the article, thanks Mas!).

Demokrasi tanpa Demokrat

DEMOKRASI TANPA DEMOKRAT
Iqra Anugrah
MAHASISWA DI COLLEGE OF ASIA-PACIFIC STUDIES, RITSUMEIKAN ASIA-PACIFIC UNIVERSITY

Masa depan demokrasi di Indonesia sedang berada dalam fase yang amat genting. Beberapa tahun yang lalu kita kehilangan Cak Nur, dan belum lama ini kita kehilangan Gus Dur. Ketiadaan dua figur yang selalu berkomitmen dan membela demokrasi serta nilai-nilai demokratik itu seakan-akan menambah panjang daftar ujian bagi bangsa ini. Berbagai skandal dan permasalahan politik, mulai kasus Bank Century, masalah internal KPK, pengemplangan pajak oleh aktor-aktor bisnis, hingga pembakaran rumah ibadah, seakan-akan menyiratkan masa depan yang suram bagi demokrasi di Indonesia. Hal ini menyiratkan pertanyaan yang besar bagi kita semua: adakah masa depan demokrasi di Indonesia? Apa yang terjadi ketika sistem demokratik yang kita terapkan sekarang ternyata belum mampu membawa kesejahteraan dan keadilan?

Fenomena ini merupakan bagian dari menjamurnya demokrasi illiberal. Mengutip Fareed Zakaria, demokrasi illiberal merupakan demokrasi tanpa nilai. Demokrasi seakan-akan hanya dipahami sebagai prosedur elektoral saja. Akibatnya, demokrasi hanya diartikan sebagai cara untuk memperoleh legitimasi melalui proses pemilu. Padahal, demokrasi tidak sama dengan pemilu.

Dalam suatu sistem politik yang demokratik, ada satu persyaratan lagi yang menjadi keniscayaan, yaitu semangat konstitusionalisme atau republikanisme. Dalam konteks suatu republik konstitusional, nilai-nilai yang menjadi landasan utama adalah kebebasan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai konsepsi legal-politik seperti supremasi hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia, penghormatan terhadap kepemilikan pribadi, dan perlindungan minoritas. Demokrasi dan kebebasan konstitusional, menurut Zakaria, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Menerapkan demokrasi hanya dalam taraf pemilihan umum saja adalah reduksi dari arti demokrasi itu sendiri.

Gejala demokrasi tanpa nilai itulah yang sepertinya sedang menjalar di Indonesia. Berbagai permasalahan politik yang kita hadapi sesungguhnya adalah tantangan dan ujian bagi demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi yang kurang nilai, kebebasan dan keadilan publik senantiasa terancam, dan proses politik menjadi tidak berbeda jauh dari sandiwara atau komedi. Karena itu, tidak aneh apabila sekarang masyarakat dihadapkan pada berbagai fenomena sosial-politik yang unik, dari merebaknya fundamentalisme keagamaan hingga ulah para politikus di gedung parlemen yang mirip dagelan, yang ironis karena justru terjadi di era demokrasi. Politik telah kehilangan maknanya, dari usaha kolektif individual tiap-tiap warga negara untuk mencapai tujuan yang lebih baik menjadi hajatan elektoral tahunan yang tanpa nilai dan sopan santun atau fatsun.

Bagi sebuah bangsa dengan umur demokrasi yang masih “seumur jagung” seperti Indonesia, kejadian ini bisa membawa sebuah krisis demokrasi. Rakyat yang senantiasa dihadapkan pada, dan “diikutsertakan” dalam, drama politik yang tanpa ujung, terutama melalui media, dapat menjadi apatis dan enggan untuk berpartisipasi dalam politik. Tentu saja apatisme ini tidaklah sehat bagi demokrasi, yang memerlukan partisipasi aktif dari warga negaranya.

Menyelamatkan demokrasi
Menemukan jejak demokrasi dalam tradisi politik Indonesia bukanlah suatu hal yang jarang. Adalah Bung Hatta, salah satu dari dwitunggal proklamator kemerdekaan, yang menyadari bahwa demokrasi bukanlah suatu proses pemilihan dan pergantian semata, tapi juga memiliki esensi yang bahkan lebih dalam. Tugas bagi bangsa ini sekarang adalah mengedepankan nilai dan budaya yang menjadi prasyarat bagi tumbuh-kembangnya demokrasi di Indonesia. Kita memerlukan apresiasi terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan keterbukaan.

Karena itu, dalam level masyarakat, demokrasi tidak cukup jika diartikan hanya sebagai suara mayoritas (majority rule), namun juga perlindungan terhadap minoritas dan lebih penting lagi individual dan perbedaan. Kisah perusakan gereja di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini haruslah mendapat perhatian yang pantas dari setiap elemen masyarakat dan pemerintah.

Bagi politikus dan pembuat kebijakan, nilai demokratik sepatutnya juga diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari, baik di luar maupun di dalam parlemen. Sikap pemerintah akhir-akhir ini, baik lembaga eksekutif dan kepresidenan maupun parlemen, sayangnya tidak mencerminkan semangat tersebut. Hiruk-pikuk anggota DPR di Pansus Century maupun posisi reaksioner Presiden menanggapi demonstran yang membawa kerbau adalah satu bukti nyata bagaimana nilai-nilai demokrasi, kemampuan komunikasi publik, dan etika berpolitik masih merupakan hal yang langka di republik ini.

Menanggapi dinamika politik di Indonesia, tugas bangsa ini ke depan adalah menjaga dan memperkuat demokrasi. Seperti kemerdekaan Indonesia, demokrasi adalah manifestasi dari kebebasan atau free will manusia. Dalam konteks kenegaraan, membela demokrasi adalah membela kebebasan dan hak-hak warga negara. Demokrasi haruslah diperjuangkan. Dan untuk memperjuangkan demokrasi, dibutuhkan komitmen terhadap nilai-nilai demokratik sekaligus orang-orang yang bersedia memperjuangkan prinsip tersebut. Demokrasi hanya akan berhasil jika ia ditopang oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme republikan dan politikus-politikus demokratik. Demokrasi tanpa demokrat, seperti yang kita miliki sekarang, hanya akan berujung pada mobokrasi dan lawakan politik yang terinstitusionalisasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/03/06/Opini/krn.20100306.193048.id.html
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/03/06/INDEX.SHTML
http://bataviase.co.id/node/119828