Iqra Anugrah

Musings on Politics, Southeast Asia, and Theory

It’s a Wrap!

Finally, after spending two years in Indonesia for dissertation research I have an announcement: my fieldwork has come to an end!

What was expected to be a year-long research ended up as two-years stay in the country – in fact, my longest stay after high school. Over the course of my fieldwork, I – rather unsurprisingly I’d say – ended up doing or getting involved in things outside of my research activities too. Essentially, it is a re-engagement with the Indonesian social movement landscape. I have to emphasize that this is not a bad thing. In fact, it helps a lot with my research.

Now, my days in Indonesia are numbered. I got my visa already and booked my flight back to my home institution, NIU. On August 21 I’ll be heading back to the US. Time indeed flies.

I will still go back for sure, but for now, let me say thank you very much for the many people, informants and good samaritans, comrades and colleagues, friends and families, who’ve helped me along the way. I can never repay your kindness – but let it be known that your contribution will always be remembered and acknowledged.

So au revoir! On to the writing phase!

For the Late Ajarn Danny

Ajarn DannyThis was literally my last picture with the late Professor Danny Unger. Taken last year when I attended a conference in Bangkok, it was also my last time to meet him in person. Great minds oftentimes gone too soon.
A specialist on Comparative Politics and Southeast Asian Studies particularly Thailand, his vast knowledge on politics and stuff never failed to fascinate me (though I figured he had more collections of novels and other literary works than books on politics at his house). This is the guy whom I referred to as, just like the way I introduced him to my students, “the guy who knows (almost) everything.” Like, seriously he can talk about stuff – Chinese rural politics in revolutionary transition, early modern state formation processes in Western Europe, debates in philosophy of science, you name it. I had the privilege to work with him as a teaching assistant, a graduate student, and a junior colleague. I also enjoyed every class that I took with him.I will remember many things about him – his intelligence, warmth, and supportive attitude toward young scholars in training. His hilarious expressions and clumsiness (once he asked me to google search and put some pictures for his class presentations, oh and don’t even start asking me about those unfoldered files flooding his desktop). Oh, mustn’t forget his peculiar hobby of woodworking.

My colleagues and I will certainly cherish our memories of him. He set the example for many of us in the field.

Goodbye, Ajarn Danny Unger. May you rest in peace. You will be greatly missed.

*For another beautiful obituary by T.F. Rhoden, see this link.

Para Pejuang Kendeng

Oleh: Iqra Anugrah

NYARIS tiga tahun sudah para petani Kendeng melakukan perlawanan menghadapi PT Semen Indonesia. Terhitung sejak Juni 2014, para petani melakukan protes dengan berbagai cara, termasuk dengan mendirikan tenda – yang kemudian beserta mushalla warga juga diluluhlantakkan – di depan pabrik semen. Jikalau dihitung dari tahun 2006, ketika lawan masih bernama PT Semen Gresik, maka hampir satu dekade sudah gelombang perlawanan para petani Kendeng berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, saya mencoba terlibat dalam aksi perlawanan ini, terutama akhir-akhir ini ketika para sedulur melancarkan aksi cor kaki di depan Istana Negara.

Tujuan perlawanan ini jelas: ini masalah penghidupan, juga lingkungan, dan yang terpenting, hak. Rasanya, tidak sulit untuk memahami ini. Dalam kenyataannya, pesan ini begitu kabur dan terdistorsi. Para sedulur Kendeng mungkin sudah kenyang mendapatkan segala macam cap: warga-warga lugu yang gampang ditipu dan dihasut, massa bayaran, provokator, hingga yang paling lucu menurut saya, anti-NKRI. Sialnya lagi, liputan berita ini juga hanya sayup-sayup terdengar, tertutupi oleh berita-berita konflik elit – termasuk soal pilkada Jakarta sialan itu.

Tapi para sedulur tidak menyerah.

Tidak sekali saya dengar celetukan bernada resah yang muncul di kalangan aktivis: Bagaimana mungkin berita tentang upaya perlawanan ini dipelintir sedemikian rupa? Kok bisa? Lantas, saya menjawab: mengapa heran?

Tidak perlu heran apabila perlawanan para sedulur di Kendeng dan juga perlawanan-perlawanan kaum tani di berbagai tempat lainnya di Indonesia sering mendapatkan cap-cap peyoratif. Karena, dalam sejarahnya, para penguasa dan kelas-kelas yang menindas selalu berkepentingan untuk mendiskreditkan gerakan rakyat. Gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri jajahan dicap sebagai ‘para provokator’, gerakan hak-hak sipil di Barat dilabeli ‘terlalu radikal’, gerakan buruh dianggap sebagai ‘tukang bikin onar yang bikin macet jalan’, gerakan perempuan dituding ‘melanggar norma-norma kesusilaan’, gerakan kaum miskin kota dicurigai ‘rawan ditunggangi.’ Dan seterusnya dan seterusnya.

Sudah dari sononya, bahwa, dalam masyarakat kelas, tudingan-tudingan picik terhadap gerakan rakyat seperti ini akan selalu muncul.

Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila dalam beberapa minggu terakhir muncul komentar-komentar bernada nyinyir dan melecehkan maupun sikap diam seribu bahasa yang tidak kalah memuakkannya. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Azam Azman Natawijaya adalah triumvirat penguasa dari lapis kekuasaan yang berbeda – kepala eksekutif nasional, kepala daerah, dan unsur pimpinan parlemen – yang sikap politiknya melegitimasi berdirinya pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng. Atau, dalam bahasa yang lebih gamblang, jikalau anda anti political correctness yang berlebihan, melegitimasi perampasan tanah besar-besaran, penghancuran penghidupan masyarakat agraris, dan krisis ekologis akut di daerah tersebut serta memberi bahan bagi proyek-proyek pembangunan skala besar yang menghisap hasil kerja dan penghidupan rakyat di banyak tempat di nusantara.

Ganjar, si Marhaen gadungan itu, mengeluarkan izin baru pembangunan pabrik PT Semen Indonesia yang berarti melanggar putusan Mahkamah Agung yang sudah membatalkan izin tersebut. Kata Jokowi, “urusan daerah bukan urusan saya.” Apa yang mau diharapkan dari seorang presiden developmentalis pro-investasi berjubah baru? Komentar si bedebah Azam? Tidak perlu ditanggapi, karena isi kepalanya mungkin tidak lebih berharga dari adukan semen yang sudah terlalu lama ditinggal. Toh, dengan komentar sopan maupun kurang ajar, diinjak penguasa bajingan mau bagaimanapun tidak enak rasanya.

Kita daftar dan sebut lagi contoh-contoh lain yang tidak kalah menjengkelkannya. Sebut saja dua nama ‘tokoh kebudayaan’ apkiran: Timur Sinar Suprabana dan Denny Siregar. Si Pak Tua Timur dengan pongahnya membuat komentar nyinyir atas aksi cor kaki para sedulur. Seakan berlomba dengan Timur, Denny Siregar – yang tidak mau datang ke diskusi dan debat terbuka karena baper duluan (yaelah katanya Deadpool, belum diserang kok sudah kalah walkout?) – menuding bahwa aksi para sedulur Kendeng, yang telah berlangsung berhari-hari itu hingga sekarang, adalah aksi yang dikompori oleh aktivis dengan tujuan-tujuan tertentu yang menyengsarakan rakyat. Mereka, entah sadar maupun tidak, dengan orderan maupun tidak, sesungguhnya telah melakukan kekerasaan kebudayaan untuk mendiskreditkan gerakan-gerakan rakyat. Mereka, dengan puisi-puisi dan esai-esai mereka yang lebih hancur kualitasnya dengan kertas pembungkus gorengan atau tisu toilet, telah melayani kepentingan rezim.

Dengan kata lain, para penguasa dan budayawan gadungan ini adalah musuh-musuh rakyat baru!

Bagaimana dengan para ‘aktivis’ di lingkaran kekuasaan istana. Oh kawan, janganlah kau mimpi di siang bolong. Mungkin perlu kau baca lagi debat-debat teoretik dan rujukan-rujukan sejarah soal gerakan rakyat, bukan hanya laporan riset empirisis maupun laporan donor hasil dari agitprop – agitasi proposal maksudnya. Mengharapkan mereka yang sudah masuk di dalam lingkaran kekuasan untuk mendorong perubahan tapi lupa akan potensi emansipatoris dari gerakan rakyat adalah tendensi borjuis kecil! Terakhir kali saya cek, sejumlah ‘intelektual-aktivis’ yang tergabung dalam Kantor Staf Presiden, seperti Teten Masduki dan Noer Fauzi Rachman hanya menjadi resepsionis dan jubir bagi presiden. Paling-paling komentar soal KLHS. Di mana suara mereka soal reforma agraria? Mudah-mudahan, sebagai seorang pegiat yang masih hijau dalam dunia gerakan rakyat, saya berdoa supaya mereka terhindar dari virus karirisme. Jikalau tidak, mungkin KSP sebaiknya ganti nama saja menjadi ini: Komprador Suruhan Pemodal!

Tentu saja, bagi para musuh rakyat – atau mereka yang mungkin pelan-pelang berpaling dari gerakan rakyat – tidaklah penting apabila klaim-klaim mereka sesungguhnya adalah klaim-klaim kontrarian yang berisi logika otak atik gathuk. Tidaklah penting juga apabila tuduhan-tuduhan mereka bersifat ahistoris dan tidak ilmiah. Toh, di zaman kapitalisme digital yang serba instan nan medioker ini, yang terpenting adalah bagaimana suatu klaim dapat secara cepat dan mudah dipakai untuk melayani kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik tertentu – yang pada ujungnya adalah reproduksi dan penguatan hierarkhi dari masyarakat kelas itu sendiri. Hoax maupun onggokan informasi-informasi sampah lainnya memiliki fungsi yang sama dengan desas-desus seputar Peristiwa G30S atau Kebakaran Reichstag: digunakan untuk melayani kepentingan yang berkuasa dan mendiskreditkan gerakan rakyat.

Tetapi, justru persis di masa seperti inilah, adalah penting untuk kembali melihat sejarah perjuangan rakyat. Kaum tani di nusantara punya sejarah perlawanan panjang melawan ragam-ragam bentuk penindasan, mulai dari tarif pajak yang terlalu tinggi hingga gangguan atas corak hidup subsisten mereka oleh apa yang disebut sebagai relasi sosial kapitalis. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Abad ke-20, sebagaimana dicatat oleh Eric Wolf, menyaksikan perlawanan skala besar kaum tani menghadapi neokolonialisme dan imperialisme yang semangatnya sering sekali berkelit-kelindan dengan semangat perjuangan pembebasan nasional, mulai dari Russia, Meksiko, Tiongkok, Aljazair, Kuba, hingga Vietnam. Bahkan, ketika perlawanan kaum tani tidak mengambil corak yang terbuka atau manifes, perlawanan tersebut tetap berlanjut dalam ranah yang lebih keseharian, melalui gosip, memberikan hasil ternak dan tani berkualitas rendah di kala penarikan pajak sebagai bentuk protes, sarkasme, dan lain sebagainya.

Juga, kaum tani, sebagaimana bagian dari kelas yang tertindas, memiliki imajinasi atas dan kemampuan untuk membayangkan tatanan yang lebih baik – dunia di mana kesejahteraan dan kemajuan dapat dimiliki dan dinikmati secara bersama. Sebagai contoh, satu episode sejarah yang orang sering lupa dari masa-masa awal pergolakan Restorasi Meiji adalah partisipasi petani dalam episode ‘Zaman Bergerak’ tersebut. Dalam The Culture of the Meiji Period, Daikichi Irokawa mencatat bagaimana para petani dan pemuda desa di banyak tempat bereksperimen dalam bidang ketatanegaraan dengan merancang draft-draft konstitusi menyambut zaman yang baru. Contoh lain: dalam amatan saya dalam kerja-kerja lapangan yang saya lakukan untuk penelitian, saya menyaksikan bagaimana para bapak dan ibu tani mengasah insting ekonomi mereka, merumuskan aksi-aksi politik kolektif dan membayangkan tatanan ekonomi yang lebih baik, serta memiliki kemampuan humor dan sarkasme yang luar biasa jenakanya: dalam satu kesempatan, saya pernah ngobrol dengan sejumlah kawan petani di Sulawesi yang menyindir sejumlah pejabat dan politisi yang ngotot dengan usulan konservasi anti-manusia. Kata mereka, “ya silahkan saja bapak usir kami dari tempat tinggal kami, tapi nanti kalau ada penyuluhan atau pemilu biar yang datang paling rusa dan babi hutan, kan mereka yang bapak lindungi, bukan kami.” Sebuah lelucon satir yang hanya dapat muncul dari mereka yang tetap konsisten melawan sembari mencintai hidup.

Ini semua mungkin dianggap tidak penting oleh para musuh rakyat itu. Atau, lebih tepatnya, mereka jangan-jangan tidak memiliki kemampuan untuk memahami hal-hal seperti itu. Jangankan terlibat dalam gerakan rakyat, membaca literatur soal kehidupaan petani pedesaan (atau mencoba memahami strategi subsistensi para petani yang berbasis pada hubungan kekerabatan sosial pedesaan, yang menjelaskan mengapa para petani Kendeng tidak mau menjadi buruh pabrik semen dan dapat meninggalkan keluarga mereka di kampung halaman), atau melakukan riset-riset kecil soal keagrariaan saja mungkin mereka tidak mampu dan tidak mau. Mungkin karena mereka kebanyakan makan rente pemodal atau menulis dengan ejaan untuk bahan lawakan receh se!per!ti! i!ni! Toh, mereka dengan senang hati merayakan bias-bias kelas, urban, dan gender yang mereka idap – sebuah simptom dari penyakit waham borjuis yang sudah begitu mendarah daging di dalam diri mereka. Mereka, yang imajinasinya kerdil dan miskin itu, sesungguhnya hanya merapal dan memamah biak sangkaan-sangkaan dan mantra-mantra Orde Baru – oh, warga (kategori subyek politis yang dinetralkan dan didepolitisasi) butuh pembangunan (ya, pembangunan kapitalis yang mengekstraksi surplus dari pedesaan untuk kepentingan orang-orang kota dan elit-elit desa) dan mereka yang melawan kalau bukan provokator (orang desa/petani bodoh dan gampang kena hasutan) berarti pasukan bayaran (lupa bahwa solidaritas kolektif dapat muncul dari pengalaman bersama dalam ketertindasan, lagipula, soal bayaran, hello, ngaca dulu dong). Sialnya, retorika-retorika sampah ini kemudian dilepeh lagi dan dikunyah beramai-ramai oleh lapisan-lapisan borjuis unyil karbitan yang makin hari kian kelihatan bagai jamur yang tumbuh setelah hujan.

Saya tidak heran: toh klaim gerakan rakyat memang selalu membuat penguasa bergetar. Karenanya, berjuta fitnah dilancarkan untuk melemahkan klaim tersebut. Tetapi para sedulur tidak menyerah.

Aksi cor semen bukanlah suatu kesia-siaan. Besar kemungkinan, proyek investasi besar-besaran rezim Jokowi tetap berjalan, pembangunan pabrik semen hanya berhenti untuk sementara, dan isu-isu agraria kembali akan menjadi ‘angin lalu’ yang tertutupi oleh isu-isu elit yang lain – perang oligark dalam pilkadal Jakarta misalnya (buzzer Anies maupun Ahok, I’m looking at you). Tetapi, ia telah berhasil mengundang gelombang perlawanan yang lebih besar. Pertama-tama dan terutama, para sedulur telah memberikan teladan yang luar biasa: keberanian dan konsistensi dalam melawan. Aksi cor kaki bukanlah aksi siksa diri yang egoistis, sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak. Jauh dari itu, aksi cor kaki adalah aksi perlawanan yang politis, militan, dan penuh integritas. Aksi tersebut hanya dapat muncul dari mereka yang mencintai hidup dan penghidupannya dan setia akan cita-cita kemajuan bersama – alih-alih bagi segelintir elit – yang dapat dinikmati oleh semua. Aksi cor kaki para sedulur juga mengingatkan kita kembali akan satu hal yang penting: perlunya untuk tetap setia di garis massa. Kita bisa memproblematisir dan mengkritik strategi dan taktik dari aksi tersebut (tentu saja, secara konstruktif alih-alih nyinyir), tetapi, setidak-tidaknya, aksi ini telah berhasil menjadi momentum untuk mengumpulkan energi perlawanan, memperluas titik perlawanan, dan menjadi bahan untuk merumuskan lokus perlawanan baru melawan rezim developmentalis pro-investasinya Jokowi.

Tugas untuk kita ke depan adalah untuk mempertajam dan semakin memprogresifkan perlawanan ini. Untuk itu, izinkanlah saya menyebutkan beberapa usulan yang dapat didiskusikan dan diperdebatkan lebih lanjut. Pertama, orientasi ke depan dari gelombang perlawanan anti-semen, yang mulai menjamur dari Jawa hingga Sulawesi, perlu diperluas, diperdalam, dan dimajukan, bukan hanya mencakup persoalan Pegunungan Kendeng dan berorientasi defensif-moderat untuk menolak pembangunan pabrik semen, tapi dimajukan menjadi suatu formasi aliansi nasional yang menolak pembangunan infrastruktur ala rezim investasi Jokowi dengan orientasi dan tendensi politik anti-neoliberalisme.

Kedua, skala dan cakupan waktu dari aksi-aksi perlawanan ini perlu diperluas dan diperpanjang secara strategis, mengingat keterbatasan waktu dan logistik yang kita punya. Agenda-agenda mobilisasi ke depan dalam momen-momen tertentu, termasuk agenda internasionalisasi isu pabrik semen di Pegunungan Kendeng dan isu-isu agraria lain di Indonesia menjadi penting.

Ketiga, identifikasi kasus-kasus agraria lain yang tidak kalah penting dan mendesak menjadi penting, di Tulang Bawang (Lampung) dan Sukamulya (Jawa Barat) misalnya, serta kasus-kasus kriminalisasi petani dan aktivis agraria di banyak tempat. Kasus pabrik semen di Pegunungan Kendeng yang sekarang sedang mendapatkan spotlight perlu dijadikan bahan untuk menaikan leverage atau posisi tawar gerakan sosial dalam mengadvokasi isu-isu agraria lain tersebut.

Keempat, upaya kerja-kerja ilmiah (atau dalam bahasa yang lebih ortodoks, saintifik dan teoretik) dan kerja-kerja framing advokasi (atau, lagi-lagi dalam bahasa yang lebih ortodoks, agitasi dan propaganda) juga menjadi penting dalam aksi-aksi perlawanan seperti ini. Studi-studi agraria dan kajian-kajian teoretik soal strategi gerakan sosial menjadi semakin perlu untuk dikaji untuk menjadi bahan advokasi dan pendidikan publik serta pembuatan strategi politik. Setidaknya, ada dua poin penting yang dapat kita tarik dari aksi perlawanan para sedulur yaitu 1) bahwa perjuangan para sedulur dan kelas tertindas lainnya adalah perjuangan atas hak yang berarti memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat lain yang juga tertindas – kita dan 2) perjuangan gerakan sosial perlu meninggalkan strategi bergantung dan berharap kepada elit – termasuk para aktivis yang sudah masuk ke dalam lingkaran rezim – dan perlu kembali serius memperbincangkan strategi politik yang lebih independen dan progresif, termasuk strategi untuk merebut kekuasaan dan melampaui logika kedaulatan negara.

Terakhir, pelajaran berharga lain yang tidak kalah pentingnya dari strategi perlawanan para sedulur Kendeng adalah keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam gerakan sosial. Ini dibutuhkan bukan hanya untuk meradikalisasi arah dan tujuan dari gerakan sosial itu sendiri tapi juga untuk mendorong terwujudnya emansipasi seluas-luasnya dengan berlatih di ranah yang paling dekat.

Perlawanan tentu saja masih panjang. Hari-hari penuh protes belum akan berakhir, dan semangat perlawanan masih terasa pekat di udara. Namun, setidaknya kita tahu, bahwa klaim-klaim para elit dan makelar kariris pendukungnya semakin lama semakin terblejeti, gelombang perlawanan semakin meluas, dan tentu saja, pengorbanan Yu Patmi dan para kawan-kawan tani lainnya tidak akan sia-sia.***

Saya berterima kasih kepada sejumlah rekan terutama kawan-kawan Forum Islam Progresif (FIP) atas diskusi dan kerja bersama yang cukup intens dalam persoalan Kendeng yang hasilnya menjadi bahan untuk penulisan artikel ini.

Penulis adalah editor IndoPROGRESS dan pembelajar isu-isu agraria

10 Tahun Melawan Lupa, Memperjuangkan Keadilan

Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati

We realize that to demand the fulfillment of human rights is a revolutionary act,
that to question the government about bringing our children back alive was a revolutionary act.

We are fighting for liberation, to live in freedom, and that is a revolutionary act…To transform a system is always revolutionary.”
Mothers of the Plaza de Mayo

10 TAHUN sudah Aksi Kamisan berlangsung di depan Istana Negara. Kamis lalu, 19 Januari 2017, menandai satu dekade diselenggarakannya aksi penuntutan keadilan bagi korban penghilangan paksa dan pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang diselenggarakan setiap Kamis petang di depan Istana Negara. Aksi yang pada mulanya diinisiasi oleh paguyuban korban dan keluarga korban dan terinspirasi dari gerakan Mothers of the Plaza de Mayo di Argentina ini kemudian meluas, diikuti oleh elemen-elemen masyarakat sipil dan gerakan sosial lainnya. Dalam perkembangannya, Aksi Kamisan pun diadakan di sejumlah kota lain di luar Jakarta, seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang.

Kami beserta sejumlah rekan lain berkesempatan untuk menghadiri Aksi Kamisan yang ke-10 tahun pada Kamis lalu. Sejumlah elemen-elemen gerakan dari berbagai komunitas dan lintas generasi turut meramaikan Aksi ke-477, yang kembali menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dan penegakkan hukum oleh pemerintah. Dengan melibatkan sejumlah seniman dan musisi, peringatan 10 tahun Aksi Kamisan menjadi terasa semakin dapat merangkul lebih banyak orang.

Fakta bahwa Aksi Kamisan telah mencapai satu dekade merupakan pencapaian sekaligus momen refleksi bagi segenap korban, penyintas, keluarganya, dan juga elemen-elemen gerakan sosial lainnya. Kita perlu menghormati dan mengapresiasi setinggi-tingginya konsistensi dari para korban, keluarga korban, dan pejuang HAM lainnya dalam memperjuangkan agenda-agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan budaya politik anti-impunitas. Namun, kita juga perlu memikirkan sejauh apa pencapaian dan batas dari Aksi Kamisan selama ini dan langkah-langkah apa yang musti dipikirkan dan ditempuh oleh para pegiat Aksi dan isu-isu HAM lainnya.

Sejauh ini isu-isu yang diangkat di dalam Aksi Kamisan cenderung belum beranjak lebih jauh dari tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan pemenuhan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Ini menunjukkan bahwa perjuangan HAM, sebagaimana perjuangan isu-isu kerakyatan lainnya, sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik dan juga fragmentasi di dalam gerakan sosial. Dalam konteks transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi elektoral, sebagaimana dialami oleh Indonesia dan banyak negara lainnya, kesuksesan transisi dan fase awal demokrasi yang muncul setelahnya sedikit banyak bergantung pada pakta di antara para elit, yang juga membahas sejauh mana proses peradilan dapat dijatuhkan dan dijalankan kepada para pelanggar HAM – terutama aktor-aktor militer – di masa otoritarianisme. Inilah dilema yang dihadapi oleh banyak gerakan sosial di berbagai negara yang melakukan demokratisasi: di satu sisi ada keadilan kepada korban yang belum terpenuhi, namun di sisi lain kelancaran dan stabilitas fase awal demokrasi juga bergantung kepada komitmen para elit – termasuk mereka yang dulunya merupakan bagian dari ancien régime – terhadap proses-proses demokrasi setidaknya pada tataran yang formal, yang berimplikasi pada penundaan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh elit-elit lama tersebut.

Namun ini bukan berarti bahwa kemungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggarahan HAM menjadi nihil. Persis di titik inilah pembacaan atas konfigurasi politik yang ada menjadi penting. Pengalaman dari sejumlah negara lain seperti Korea Selatan dan Argentina menunjukkan bahwa pakta elit, termasuk yang menyangkut persoalan HAM, dapat berubah apabila ada tekanan dari gerakan rakyat yang kuat, yang dapat mentransformasikan dirinya ke dalam sebuah gerakan yang tuntutannya lebih dari sekadar penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah.

Ini memang dicapai melalui perjuangan yang panjang. Di Argentina, gerakan Mothers of the Plaza de Mayo, setidaknya telah melakukan 2000 aksi – kami ulangi, 2000 aksi – semenjak tahun 1977 hingga pertengahan Agustus tahun kemarin selama hampir 40 tahun! Gerakan para ibu dan anggota keluarga korban lainnya ini juga mengalami pasang surut yang begitu berdinamika. Dalam perkembangannya, tuntutan gerakan Mothers of the Plaza de Mayo mengalami radikalisasi, yang berujung kepada perpecahan di antara elemen-elemen gerakan tersebut. Kemudian, selama bertahun-tahun, pemerintah Argentina seakan acuh tak acuh terhadap tuntutan popular ini, hingga proses transisi menuju demokrasi elektoral kurang lebih selesai pada tahun 1983 dan Pengadilan atas Petinggi Junta (Trial of the Juntas) berlangsung pada 1985. Pencapaian ini, yang telah berhasil menyeret sejumlah perwira tinggi militer yang berkuasa di masa kediktatoran junta dan bertanggung jawab atas penghilangan paksa ribuan aktivis anti-rejim, pun bukannya berjalan secara mulus. Dua undang-undang, Full Stop Law dan Law of Due Obedience yang masing-masing disahkan pada tahun 1986 dan 1987, menginstruksikan untuk menghentikan proses penyidikan dan peradilan kasus-kasus pelanggaran HAM, hingga kemudian dua undang-undang tersebut dicabut oleh Parlemen Argentina dengan dukungan dari Presiden Néstor Kirchner, seorang Peronis berhaluan Kiri, dan penerapannya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung Argentina di tahun 2005. Ini menunjukkan bagaimana konfigurasi politik berpengaruh kepada sikap pemerintah terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.

Perjuangan yang panjang ini juga tidak bisa hanya dilakukan oleh para korban dan penyintas pelanggaran HAM dan para keluarganya maupun para aktivisnya semata. Pengalaman Pergerakan Demokratisasi Gwangju atau yang dikenal juga sebagai Pemberontakan Demokratik 18 Mei di Korea Selatan, menunjukkan bahwa dampak dari gerakan-gerakan pro-demokrasi – dalam hal ini gerakan anti-otoritarian yang dimotori oleh para mahasiswa – akan meluas jika dan hanya jika elemen-elemen dari gerakan sosial lain termasuk juga publik yang lebih luas juga bersolidaritas dan terlibat dengan sadar dengan gerakan tersebut. Tentu saja ada konteks politik tertentu yang menjadi pendorong dari aksi solidaritas tersebut, yaitu represivitas rejim otoritarian pada masa itu yang mencapai puncaknya dan harus mengandalkan kekerasan terbuka untuk meredam gelombang perlawanan pada waktu itu. Namun, ini bukan berarti bahwa kita tidak bisa mengambil kesempatan di tengah iklim politik yang relatif terbuka khas tatanan demokrasi elektoral.

Pelajaran-pelajaran ini menunjukkan bahwa kesuksesan pemenuhan agenda-agenda HAM sedikit banyak bergantung kepada sejauh mana gerakan HAM dapat 1) memperluas gerakannya dan membangun aliansi multisektoral dengan gerakan-gerakan sosial lain dan 2) semakin mempopulerkan agenda-agenda HAM ke tengah-tengah masyarakat yang selama ini cenderung belum tersentuh diskursus tersebut. Dengan demikian, gerakan HAM – termasuk di dalamnya Aksi Kamisan – dapat memiliki daya tawar yang lebih kuat dan efek yang lebih luas di dalam kancah politik yang ada.

Dalam pandangan kami, isu-isu pelanggaran HAM sesungguhnya memiliki potensi untuk terus diperluas dan dipopulerkan. Ambil contoh, misalnya Kasus Tanjung Priok dan Talangsari – dua kasus HAM yang berkaitan dengan sentimen oposisi kelompok-kelompok Islam kepada represivitas rezim di masa Orde Baru. Pengalaman dua kasus ini menunjukkan bahwa narasi HAM bukan hanya dapat dipakai untuk memperjuangkan isu-isu gerakan dan kepentingan komunitas yang lebih luas tetapi juga bahwa narasi tersebut dapat diterima oleh elemen-elemen masyarakat yang lebih luas. Di dalam terang kondisi politik yang sekarang, di tengah-tengah masih berlangsungnya represivitas negara dalam konteks ekpansi kapital, maraknya penggusuran, meningkatnya konflik-konflik agraria, menguatnya sentimen sektarian, dan, yang juga tidak kalah penting, perbedaan memori kolektif penindasan Orde Baru antar generasi, kebutuhan untuk memperluas dan mengintegrasikan perspektif dan narasi HAM dengan isu-isu lain justru menjadi semakin penting.

Dalam amatan kami, elemen-elemen yang rutin terlibat dalam setiap Aksi Kamisan masihlah berasal dari simpul-simpul dan unsur-unsur gerakan yang relatif sama. Tentu saja setelah 10 tahun proses regenerasi terjadi – elemen-elemen gerakan sosial dari generasi yang lebih muda juga turut menghadiri, berpartisipasi, dan memperluas Aksi-aksi Kamisan baik di Jakarta dan kota-kota lain. Namun, kebanyakan elemen tersebut sedikit banyak masih berasal dari kalangan pegiat gerakan itu sendiri. Kami mendambakan dan membayangkan suatu saat akan ada partisipasi publik yang jauh lebih luas dalam aksi-aksi seperti ini, sebentuk mobilisasi massa yang jauh lebih massif, yang menjadi bagian dari alat perjuangan agenda-agenda kerakyatan yang lebih luas. Ini bukanlah hal yang mustahil, namun tentu saja tidak mudah.

Rupanya, setelah 10 tahun, perjuangan kita masih panjang.***

Penulis adalah editor IndoProgress

10 Tahun Melawan Lupa, Memperjuangkan Keadilan

Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif

Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif

Oleh Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati

Islam politik sektarian menjadi wajah dominan dari Islam politik dewasa ini.

Aksi demonstrasi besar-besaran pada 4 November kemarin yang dilakukan oleh sejumlah elemen gerakan Islam sepertinya semakin mengonfirmasi penilaian tersebut. Gabungan dari berbagai ekspresi politik, mulai dari sentimen etno-religius yang puritan hingga rasis-sektarian, kekecewaan politik, politik patronase elit, hingga ekspresi kelas, bercampur baur menjadi satu dan sulit terbedakan satu sama lain.

Menghadapi kenyataan tersebut, adalah mudah untuk terjebak dalam pandangan-pandangan yang dualistis, yang meneguhkan oposisi-oposisi biner antara pihak establishment Jakarta dengan para pendemo. Narasi-narasi liberal dan developmentalis akan segera meringkus peristiwa 4 November kemarin sebagai pertarungan antara pematangan proses-proses demokratik dalam saluran politik yang ada dengan kekuatan-kekuatan politik yang sektarian. Di sisi lain, narasi-narasi Islamis dan populis, dengan segala gradasi dan variannya secara sempit melihat peristiwa itu sebagai pertarungan antara “ummat Islam” dengan “penguasa yang dzalim” atau, lebih parahnya lagi, “Cina Kafir.”

Bagaimanakah seharusnya Islam Progresif dan saudara-saudara seperjuangannya – kaum Kiri dan elemen-elemen progresif-demokratik yang lebih luas – membaca dan merespon aksi massa kemarin? Satu tawaran penafsiran dan preskripsi politik sudah dikemukakan oleh kawan Azhar dan Azka dalam editorial Islam Bergerak kemarin. Meskipun bersepakat dalam banyak hal dengan mereka, kami merasa perlu mengoreksi sejumlah pembacaan, mempertegas sejumlah posisi, dan menambahkan sejumlah argumen untuk kembali merumuskan posisi Islam Progresif vis-à-vis fenomena kemarin.

Untuk memulai, kita perlu melihat konteks struktural-historis dari kemunculan aksi tersebut dan profil sosiologis dari para demonstran. Uraian Ian Wilson dengan terang menjelaskan bahwa kebijakan penggusuran administrasi Gubernur Ahok semakin mengganas – yang mengorbankan sekitar 16,000 rumah tangga kaum miskin kota dan kelas pekerja menurut data LBH Jakarta – semakin memperkuat sentimen anti-penggusuran dan anti-Ahok terutama di antara lapisan-lapisan kelas sosial yang paling termarginalkan dalam model pembangunan Ahok. Kekecewaan dan kemarahan atas hilangnya tempat tinggal dan sumber penghidupan, kurangnya basis pengetahuan emansipatoris dan wadah politik alternatif, serta kuatnya organisasi-organisasi Islamis dengan tendensi fundamentalis dan vigilantis seperti FPI membuat ekspresi keagamaan menjadi satu ekspresi politik yang dominan dari “sentimen kelas” tersebut.

Profil sosiologis dari para demonstran kemarin juga beragam, meskipun artikulasi politik yang paling mengemuka adalah Islamisme dalam variannya yang sektarian. Tentu ada elemen-elemen dari kelompok-kelompok vigilantis seperti FPI, tetapi ada juga elemen-elemen dari gerakan Islam yang lain, seperti Tarbiyah-PKS, HTI, Salafi, PII, HMI, dan lain sebagainya. Profil demonstran sendiri dapat dikatakan bersifat lintas kelas, mempertautkan elemen-elemen kaum miskin kota, kelas menengah, pemuka agama sektarian, dan elit-elit (serta para bohir, broker, dan operator lapangannya) yang memiliki kepentingan politik dari mobilisasi massa kemarin.

Selanjutnya, kita perlu melihat pertautan antara dinamika politik elit dengan mobilisasi massa di lapangan. Ini merupakan tugas yang tidak mudah dan membutuhkan kepekaan politik yang tinggi. Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan adalah siapa saja elit-elit yang mempunyai kepentingan dan mendapatkan keuntungan dari aksi demonstrasi kemarin? Di titik ini, kita perlu melihat irisan antara aspirasi dan ekspresi politik “dari bawah” dengan kalkulasi politik “dari atas.” Misalnya, kita perlu mempertanyakan, apa hubungan antara aksi demonstrasi kemarin dan dampaknya dengan manuver-manuver sejumlah elit dan broker politik seperti Habib Rizieq, SBY, pendukung dan penentang Ahok (dan juga Jokowi), Fadli Zon,  Fahri Hamzah, Buni Yani, dan lain sebagainya. Kita juga perlu melihat dinamika tersebut dalam konteks politik lokal Jakarta dan nasional yang lebih luas. Kesadaran akan hal ini akan membantu kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang strategis dan krusial, seperti mengapa terjadi kericuhan di Penjaringan pasca aksi demonstrasi kemarin? Mengapa terjadi penggerebekan dan penangkapan terhadap sejumlah fungsionaris HMI? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita perhatikan dan jawab secara seksama terutama ketika menghadapi publik yang biasanya apatis dengan politik dan cenderung tidak familiar dengan dinamika berbagai jenis aksi demonstrasi dan mobilisasi massa di lapangan – dan karenanya cenderung ahistoris, naif,  dan konservatif dalam berpolitik.

Pertanyaan terakhir namun tidak kalah penting adalah sejauh mana kekuatan-kekuatan politik yang saling bertikai ini mempengaruhi penggerusan ruang demokrasi yang ada. Di satu sisi, sinisme dan pembatasan terhadap aksi demonstrasi memberi justifikasi terhadap tatanan ekonomi-politik yang ada untuk terus menerus melakukan “penertiban”, apalagi pasca terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Terlepas dari segala macam permasalahannya, aksi demonstrasi 4 November dalam derajat tertentu dapat dilihat sebagai satu ekspresi politik yang legitim – sama legitimnya dengan aksi massa buruh atau kelompok-kelompok minoritas etnis, agama, dan seksual. Kita juga harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam suatu bentuk esensialisme, memasukkan kelompok-kelompok Muslim konservatif dengan Islamis sektarian dalam satu wadah identitas yang sama. Di sisi lain, narasi-narasi rasis-sektarian dan agenda anti-penistaan agama yang dibawa oleh para demonstran juga tidak kalah problematiknya. Apabila tidak dilawan dan didelegitimasi, dalih sektarian dan anti-penistaan adalah “dalih karet” yang rawan dipakai untuk semakin meringkus dan menggerus ruang demokrasi yang ada, yang dicapai via perjuangan yang panjang dan tidak mudah.

Dengan kata lain, kita harus melihat demonstrasi kemarin dalam perspektif ekonomi-politik yang lebih kaffah untuk memahami sejauh mana batas potensi emansipatoris – atau reaksioner – dari mobilisasi massa yang kemarin terjadi, apalagi ketika kita sejauh ini hanya bisa memahami dinamika di lapangan secara parsial. Untuk itu, kita perlu menahan diri untuk membuat klaim empiris yang definitif mengenai aksi 4 November yang lalu. Dibutuhkan riset lapangan, kajian mendalam, serta, tentu saja, kemauan untuk bergumul dalam dinamika kehidupan rakyat sehari-hari untuk mengetahui artikulasi politik “Islam” apa yang paling mengemuka.

Tetapi sejauh ini, kenyataannya Islam politik di Indonesia pasca reformasi masih didominasi oleh sektarianisme yang menihilkan perspektif kelas dalam gerak dan wacananya. Artikulasi Islam politik di Indonesia dewasa ini masih belum banyak menyentuh persoalan yang menyangkut kehidupan dan penderitaan ummat sehari-hari. Sebagai ilustrasi, Islam politik belum banyak tampil di depan dalam berbagai permasalahan ummat seperti perampasan tanah, penggusuran, penolakan terhadap reklamasi pantai, perjuangan upah layak, dan sebagainya. Dalam ranah keseharian, banyaknya kelompok-kelompok pengajian dan majelis taklim dari ruang-ruang kantor hingga pemukiman nyatanya cenderung belum berkontribusi untuk membangun keterorganisiran ummat secara ideologis. Formasi isu dari berbagai kelompok dan organisasi Islam masih cenderung dipimpin oleh minat di seputarhabluminallah dan belum banyak mengakar dalam hal hamblumminannas. Padahal, problem tersebut merupakan problem aktual yang hadir membelenggu ummat, yang mayoritas, yang dipinggirkan dan dimiskinkan.

Alih-alih menjadi pembela ummat yang tersingkir (mustadhafin) sebagaimana spirit Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, Islam politik masih lebih banyak mengangkat isu-isu identitas dan sentimen sektarian. Ini menjadi problem serius bagi Islam politik di Indonesia yang indikatornya dapat dilhat pada menguatnya berbagai organisasi Islamis pasca reformasi. Artinya, konsepsi Islam sebagai agama pembebasan kaum tertindas pun belum menjadi wajah dari berbagai organisasi Islam maupun Islam politik secara keseluruhan.

Terkait dengan itu, mobilisasi massa pada aksi 4 November 2016 yang lalu pun lebih banyak menyuarakan tuntutan yang tidak berkaitan langsung dengan persoalan pembebasan ummat dari belenggu permasalahan aktual keseharian yang mencekiknya. Sebagai ilustrasi, pada aksi-aksi massa menolak reklamasi atau penggusuran misalnya, kemarahan dan keterlibatan organisasi-organisasi Islam justru tidak pernah terlihat massif. Sementara di sisi lain, ummat Islam cenderung lebih mudah tergerak untuk dimobilisasi secara massif misalnya pada isu solidaritas Palestina, Rohingya, atau Suriah. Tentu saja ini bukan hal yang buruk, akan tetapi menjadi menarik karena wajah Islam politik yang tampil justru terlihat seperti “pandang bulu” dalam kemanusiaan dan solidaritas kelas, dengan batas “Islam” sebagai identitas, untuk menggerakkan dan memobilisasi massa.

Kembali ke pertanyaan awal mengenai bagaimana seharusnya Islam Progresif menanggapi aksi demonstrasi 4 November kemarin, inilah usulan kami: berbeda dengan pembacaan Islamis dan liberal-developmentalis atas aksi kemarin, kami mengajukan pembacaan yang lebih bernuansa.

Perlu diakui bahwa narasi sektarian masih menjadi artikulasi politik yang paling dominan dari elemen-elemen gerakan Islam yang berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut. Dengan demikian, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa panji Islam politik atau populisme Islam yang dibawa oleh para demonstran kemarin betul-betul “progresif” atau “emansipatoris”, bahwa seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang terlibat kemarin merupakan “representasi” dari kaum miskin kota dan proletariat formal dan informal, bahwa gerakan-gerakan Islam yang menjadi motor demonstrasi merupakan “vanguard.” Namun demikian, kita juga tidak bisa menafikkan aspirasi kelas yang meskipun belum hegemonik turut mewarnai demonstrasi tertsebut.

Singkat kata, kita tidak boleh terjebak dengan tendensi buntutisme – bahwa setiap tindakan massa adalah benar – maupun elitisme – yang berjarak dan menyalahkan massa. Elemen-elemen gerakan progresif-demokratik, termasuk Islam Progresif, harus selalu bersama massa, bersama ummat dan percaya kepada potensi progresivitasnya sembari memahami batas-batas struktural yang menghambat terealisasinya potensi emansipatoris tersebut serta bergerak mengatasi problem-problem tersebut.

Untuk sampai pada pembacaan yang tepat mengenai realitas sosial ummat dan potensi emansipatorisnya, kita membutuhkan pembacaan materialis yang lebih menyeluruh terhadap realitas politik yang ada, termasuk realitas politik Jakarta. Ini mensyaratkan Islam Progresif untuk menggunakan pisau analisa Marxis dalam melihat realitas sosial yang ada. Meskipun ada kesulitan untuk mempertemukan tradisi keagamaan liberatif seperti Islam Progresif dan sains emansipasi yaitu Marxisme dalam ranah ontologis, setidaknya kedua tradisi tersebut dapat bertemu dalam ranah epistemologis, metodologis, dan praxis. Ini berarti kita harus memahami konteks struktural dalam politik ruang di Jakarta dan pertautan antara dinamika kapitalisme dan konstelasi politik yang ada terutama dalam konteks pilkada.

Dalam kaitannya dengan membangun aliansi dengan elemen-elemen Islam politik dan Islamis, Islam Progresif perlu memetakan elemen-elemen progresif dari tendensi gerakan tersebut. Tidak semua Islamis adalah FPI yang fundamentalis-vigilantis atau Ennahda yang Muslim demokrat. Juga, perlu diingat bahwa seringkali ada gap atau kesenjangan antara elit-elit organisasi Islam yang rawan terjebak dalam politik elit dan anggota-anggotanya. Kompleksitas realitas politik yang musti dipahami oleh pegiat-pegiat Islam Progresif dan gerakan progresif-demokratik yang lebih luas untuk memetakan mana lawan, mana kawan, dan mana segmen rakyat yang masih mengambang.

Islam Progresif tidak melihat antagonisme sosial yang terjadi di dalam masyarakat berdasarkan sentimen etno-religius, puritan, apalagi rasis-sektarian. Antagonisme sosial hanya terjadi akibat pertentangan kepentingan antara kelas yang menindas dan kelas yang ditindas. Persis di titik ini, Islam Progresif harus merebut narasi “keadilan sosial” semu a la fantasi fundamentalis, nativis, xenophobis, chauvinis, dan rasis di satu sisi dan narasi “pluralisme” semu a la liberalisme dan developmentalisme dalam berbagai variannya – termasuk a la Islam Liberal – di sisi lain. Untuk menjalankan misi ini, membangun basis keberIslaman yang kaffah, kontekstual, dan progresif saja tidak cukup. Kita juga membutuhkan basis pengetahuan yang lebih kokoh dan kemampuan untuk membaca realitas politik secara lebih berhati-hati, akurat, dan menyeluruh – dua hal yang sayangnya masih agak luput dan kurang eksplisit dari posisi editorial yang diajukan Islam Bergerak kemarin. Singkat kata, Islam Progresif memposisikan diri sebagai Islam yang mendukung agenda-agenda pluralisme dan juga keadilan sosial berdasarkan pengetahuan mengenai emansipasi dan transformasi sosial.

Kami berterima kasih kepada sejumlah kawan atas diskusi dan masukannya dalam proses penulisan artikel ini.

*Penulis adalah editor IndoProgress dan pegiat Forum Islam Progresif.

Turning the Wheel of Fortune

Jellinek, Lea. (1991). The Wheel of Fortune: The History of a Poor Community in Jakarta. Sydney: Allen and Unwin. xxviii + 214 pp.

While it’s cliché to say that Jakarta has always been one of, if not the main reference points for urban problems, it is safe to say that in recent years Jakarta has garnered a lot of attention for its contentious issues, from the gubernatorial election all the way to the eviction of poor neighborhoods. All of this inevitably leads us to the question of lower-class agency in Jakarta: how do the urban poor navigate around the challenges of living in the city?

Lea Jellinek tries to tackle the said question in her book, The Wheel of Fortune. A classic on this topic, this work is an empirically rich account of the lives of the urban poor in Kebon Kacang, a kampung neighborhood in Central Jakarta. Drawing from her long relationship with the kampung residents, Jellinek details how the residents – construction workers, domestic helpers, ice cream makers, becak peddlers, food sellers, among others – tried to live their lives and survived the challenges to their livelihood posed by rapacious city development.

Jellinek’s account centers around Ibu Bud, a once successful cooked-food seller whose small business eventually went bankrupt, and her neighbors. She traces the early wave of rural-urban migration of the kampung dwellers, which dated back all the way from the late colonial period. It was a relatively stable period, until Japanese occupation and thereafter the early years of independence interrupted the tranquility of their lives. But it was during the New Order era that the dwellers experienced the most ups and downs in their lives. The economic growth spurred by the 1970s oil boom gave new opportunities for the lower-class to improve their livelihood – newly-arrived young village migrants gained employment as construction workers, Ibu Bud successfully expanded her food stall business, and her neighbors took up a variety of jobs, from peddling becak to sewing clothes. But it was also the force that threatened their very means of livelihood – as high rises and roads were built, transient jobs were disappearing, and eventually the dwellers had to be evicted, or, to use the New Order lexicon, “relocated.” In a nutshell, Jellinek is able to breeze through the major turning points of the lives of her local interlocutors without losing the details of their lives.

What is striking from this book is how it resonates with our contemporary urban experience especially in Jakarta’s context. The book’s main message – the resilience of the urban lower-classes in facing the intrusion of state and market forces in their lives – remains relevant for our time, especially with the rise of technocratic populism with classist bent in Indonesia’s urban centers. Embodied in the figures of so-called “reformist” local leaders such as Ahok, Ridwan Kamil, and Risma, this seemingly new trend of urban governance puts emphasis on what basically can be considered as developmentalist and high modernist buzzwords: transparency, efficiency, orderliness, cleanliness, and firmness, among others. The big, problematic question for this vision is who has to pay the price of this “progress.” Oftentimes, it is the urban poor, and not the gang of technocratic populists and their High Priests, who get sidelined in the name of “urban development.”

In light of this reading, we can see the parallels between Jakarta under the heydays of the New Order and its current situation. While it might be a bit anachronistic to compare the two eras, one could argue that there is a continuity of modernist-developmentalist vision of urban development. On a closer look, the precursor of the latest version of Jakarta’s “high modernism with steroid” is Ali Sadikin: hailed as the city’s modernizer, Sadikin was committed to the realization of both Sukarnoist and New Orderist vision of modern urban planning – at all costs (pp. 108-111). On one hand, he promoted the development of artistic and civil society initiatives, but on the other hand, he showed no hesitancy about bulldozing poor people’s houses for road construction. His rather draconian approach in ensuring the swift implementation of the Kampung Improvement Project in a way predated the current Jakarta administration’s technocratic-repressive method of evicting the urban poor in different places of the city.

The Wheel of Fortune provides a plethora of other parallels, but to discuss those examples more comprehensively we have to situate it into the larger literature and contemporary research on urban neighborhood in Indonesia. The one work that should be read in tandem with The Wheel of Fortune is Alison Murray’s (1991) No Money, No HoneyA Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta.[1] Murray’s focus is somewhat more specific: she looks at female street-sellers and prostitutes in Manggarai and Kebayoran Baru respectively from 1984-1989. Like Jellinek, Murray also provides a vivid description of the lives of the female urban poor and their strategies to survive in Jakarta. Though in many ways both works speak to and echo each other, Murray’s work decidedly focuses more on lower-class women’s agency and its limits. While her elaboration on prostitution in Kebayoran Baru is a bit scant, overall she manages to give a holistic and sympathetic account of how poor working women exert their agency despite the pressures from capitalist development and the New Order ideology of domesticity. This is a point which is slightly missing and could have been more elaborated in The Wheel of Fortune. 

There are also parallels between Jakarta and Surabaya[2], another important urban center in Java. Kampung dwellers in Surabaya also experienced the same stages of urban development: political turbulence, new land-use pattern, the rise and fall of jobs for the poor in the informal sector, and resistance, both open and subtle, of the residents against market and state penetration in their neighborhood. Interestingly, these parallels can also be found between urban centers and their not-so-distant brethren: provincial towns. Industrial and service-based towns in the provinces, such as Serang, Cilegon, Cirebon, Kupang, and Pontianak, among others, seem to encounter the same challenge of capital and state penetration in the daily lives of the town residents.[3] The key difference here is that urban centers are at the receiving end of the rural-urban migration, which is not always the case with provincial towns. Given this, one could argue that what happened in Jakarta was a part of the larger design of urban development in Indonesia.

In light of Jellinek’s work, it is also important to see changes and continuities in the kind of agency, both economic and political, that Jakarta’s urban poor exert. Other than the more “traditional” types of occupations (petty traders, drivers, construction workers, and all sorts of service providers), nowadays the urban poor can pick newer kinds of employment, from cellphone voucher sellers and online marketing to go-jek drivers and hired protesters. Bear in mind, however, that the emergence of new niches of survival strategies is not the same as the expansion of opportunities. To couch this phenomenon in the language of “choice” – a rhetoric deployed by the technocratic corps of city administrators, businesses, and start-ups – overlooks the continuing socio-economic inequality and unequal power relations between the urban poor and the more affluent social forces.

On a less depressing note, a more significant change can be seen in the political realm. At the very least one could argue that now the urban poor have more avenues to channel their grievances and spaces for a more assertive political mobilization. Various issues of their concern – eviction, property seizures, repressive action by the state apparatuses, and most recently, land reclamation – have been taken up and advocated by non-governmental organizations (NGOs) and social movements. At last, their voices can be heard. But this growing assertiveness does not necessarily translate into real policy changes since the kind of policy reforms promoted by the current Jakarta administration has been mainly catered to the needs of the middle class and big businesses. Therefore, the age-old question remains relevant for Jakarta’s context: whether urban planning in the era of political openness can pave the way for the expansion of choices for the poor and, eventually, social justice.

Ultimately, this is a question of the structural roots of urban poverty. What Jellinek does is to investigate and examine the response of the kampung dwellers to it. While her ethnographic description is first-rate, the theoretical abstraction that she made from her data is somewhat problematic. Her data, she argues, lend evidence to both culturalist and structuralist explanations of poverty (pp. 178-181). In doing this, Jellinek gives the impression that she wants to “strike a balance” between the two theories of urban poverty (p. 180). This theoretical stance however is untenable: many of the causes of rural-urban migration and continuing poverty in urban neighborhoods are part of the larger historical processes outside of the Kebon Kacang community, such as political conflicts and contradictions in capitalist development. While it is true that many livelihood strategies of the dwellers were unsustainable at best and short-term at worst, those are not inherent their inherent traits. Rather, it is a response to the predicaments in their lives caused by external forces beyond their control. In other words, the exercise of their agency, albeit real and to a degree emancipatory, is shaped and limited by structural forces. The so-called “poverty culture” is not given, but rather, made and habituated

What can we learn from the book, then? Are the descriptions and points that Jellinek raised still apt and relevant for our current conditions? While The Wheel of Fortune will remain as a classic reference point for future studies on urban neighborhood in Jakarta, some research agenda are due. First, there is a need to look again at the lives of the urban poor of Jakarta more closely, not only in Kebon Kacang, but also other communities in the city. The question that we should pose to them is how the living memory of the city has changed throughout their lives. To put it differently, we need to “update” Jellinek’s data by observing present-day kampung residents of Jakarta. Secondly, an analysis of “everyday politics” of Jakarta’s residents is more needed than ever. A more assertive exercise of political agency of the lower-class in Jakarta in recent years has shaped our perception regarding their political savviness.[4] What is important is to not conflate their open act of resistance and mobilization with the more subtle, everyday type of survival strategies. Without the latter, it would be difficult for the former to manifest. This is because more often that not the political action of the urban poor is often shaped by their prior experience and perceptions – of livelihood, space, land, residence, and social relations with their fellow community members, among others.[5] Using Jellinek’s work as a reference point, combined with a more updated study of the political views and actions of the urban poor, will give us a better and more thorough understanding about their political agency.

All in all, The Wheel of Fortune is an in-depth, lively, and sympathetic account of the lives of the urban poor in Kebon Kacang. It has been more than 20 years since it was published, but many of its findings remain relevant to understand contemporary Jakarta’s social landscape.


[1] A. J. Murray, No Money, No Honey: A Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta (Singapore: Oxford University Press, 1991).

[2] For a key reference on poor urban neighborhood in Surabaya, see R. Peters, Surabaya, 1945-2010: Neighbourhood, State and Economy in Indonesia’s City of Struggle (Singapore: NUS Press, 2013).

[3] For a key reference on provincial towns in contemporary Indonesia, see Gerry van Klinken and Ward Berenschot, eds., In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns. (Leiden and Boston: Brill, 2014).

[4] See for instance Rita Padawangi, “People’s Places: Protests and the Making of Urban Public Spaces in Jakarta” (PhD dissertation, Loyola University Chicago, 2008).

[5] One of the classical works on this subject is F. Fox Piven and Richard A. Cloward, Poor People’s Movements: Why They Succeed, How They Fail (New York: Vintage House, 1979).

 
*Iqra Anugrah is a PhD candidate in Political Science and Southeast Asian Studies at Northern Illinois University. Everyday politics is one of his many research interests.

Moral Komunis

ADAKAH suatu teori Marxis mengenai moral? Perlukah seorang Kiri berbicara mengenai moralitas? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sejumlah pokok bahasan yang menjadi bahan diskusi dan debat yang intens di berbagai lingkaran-lingkaran intelektual.

Setidaknya ada dua sangkaan mengenai posisi moralitas dan dalam korpus pemikiran Marxis dan implikasinya. Yang pertama adalah sangkaan konservatif, yang menganggap bahwa 1) tidak ada ruang mengenai pembahasan moralitas dalam korpus Marxisme atau 2) prinsip utama moral politik Kiri adalah sebentuk Machiavellianisme yang vulgar, yang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan politiknya. Implikasinya, menurut pembacaan yang juga khas bernuansa Perang Dingin ini, adalah bahwa ujung dari penerapan Marxisme dalam politik adalah rezim-rezim Stalinis dengan segala macam permasalahan dan dosanya.

Yang kedua adalah sangkaan progresif, yang berargumen bahwa karena Marxisme adalah sains, maka tidak ada tempat untuk ‘urusan moral.’ Pembacaan seperti ini beresiko membuat Marxisme menjadi sebentuk pemikiran yang sifatnya ‘mengawang-ngawang’ dan menutup kesempatan baginya untuk melakukan upaya teoretisasi atas problem moralitas – sebuah upaya yang dilakukan dengan baik oleh tradisi pemikiran dan kekuatan politik lain, termasuk oleh kubu-kubu Kanan.

Dua sangkaan tersebut disatukan oleh asumsi yang sama: tidak ada tempat bagi pembahasan mengenai persoalan moralitas dalam Marxisme. Asumsi inilah yang kemudian diproblematisir oleh sejumlah intelektual Marxis seperti E.P. Thompson dan, di kemudian hari, Perry Anderson. Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan mengajukan suatu pemaparan teoretik mengenai persoalan moralitas dalam Marxisme, melainkan sekedar memantik perbincangan dan perdebatan yang lebih luas mengenai hal tersebut.

Sebelum masuk dalam pembahasan yang lebih lanjut, ada satu pertanyaan besar yang harus kita jawab: Mengapa kaum Kiri perlu peduli dan berbicara mengenai persoalan-persoalan moral dan etika? Bukankah dengan demikian itu membuat kita tidak terbedakan dengan kaum idealis-borjuis dan Kanan dengan segala macam variasinya? Setidaknya, kita bisa memberi satu jawaban atas pertanyaan tersebut dari segi aksiologis dan praksisnya: bahwa persoalan-persoalan moral dan etika merupakan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kaum Kiri dan massa rakyat dalam kesehariannya, baik dalam kerja-kerja politik maupun dinamika kehidupan sehari-hari. Karenanya, adalah penting untuk melakukan upaya abstraksi atas prinsip-prinsip moral yang dipakai dalam laku keseharian tersebut. Ketika kelompok-kelompok Kanan semakin naik daun dan selubung-selubung ideologis yang dipakai mereka – mulai dari varian kapitalisme-neoliberal hingga fundamentalisme keagamaan – semakin diperkuat denganjustifikasi ‘moral’ yang juga ‘ilmiah.’

Dalam sejarahnya, ada sejumlah prinsip-prinsip moral yang menjadi kaidah kerja-kerja lapangan untuk riset ilmiah dan pembangunan gerakan dalam sejarah gerakan Kiri di berbagai tempat. Tidak hanya itu, ada sejumlah prinsip moral yang dapat dan perlu menjadi pedoman dalam berbagai bidang kehidupan lain. Sudisman dalam Uraian Tanggung Jawab­nya yang terkenal itu mencoba merumuskan prinsip-prinsip tersebut, antara lain: 1) Bersikap jujur, 2) bersatu, 3) berdisiplin, 4) bersetia-kawan, dan 5) berkorban. Perlu diingat bahwa pengertian moral bagi Sudisman adalah: ‘norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai dengan kedudukan kelasnya.’ Frase terakhir menjadi sangat penting: sesuai dengan kedudukan kelasnya. Artinya, moralitas Kiri – atau, dalam bahasa Sudisman, moralitas Komunis – tetaplah bertumpu pada sains Marxis. Inilah yang membedakannya dengan teori-teori moral yang lain.

Jikalau saya boleh menambahkan, dan sedikit memodifikasi, moral Komunis ala Sudisman, maka saya akan mengajukan tiga prinsip tambahan, yaitu bersikap ilmiah, demokratik, dan kontekstual. Pertama-tama seorang Kiri haruslah seseorang yang bersikap ilmiah, terbuka, dan mau belajar. Ia bukanlah sekedar seorang foot soldier yang menelan begitu saja, memamah biak materi-materi dalam kursus-kursus politik, melainkan seorang kader yang mampu mengasah daya analitisnya dan memperluas cakrawala pengetahuannya.

Seorang Kiri haruslah juga bersikap demokratik, terbuka kepada pendapat kawan-kawannya yang lain, kepada perdebatan-perdebatan baik dalam forum-forum yang resmi maupun perbincangan-perbicangan informal, dan kepada keputusan mayoritas dalam praktik-praktik keorganisasian. Perlu diingat bahwa sikap demokratik tidak sama dengan sikap anti-hierarkhis dan anti-disiplin. Sebaliknya, ada keselerasan antara sikap demokratik dengan pengaturan organisasi yang disiplin, rapih, dan tertib. Seorang Kiri tidak merayakan bentuk-bentuk perkumpulan ahierarkhi dan nir-organisasi yang tampak bebas tapi sesungguhnya kuasi-demokratik karena tidak adanya prosedur, pembagian kerja, dan proses evaluasi tanggung jawab yang jelas.

Seorang Kiri juga haruslah kontekstual; ia musti memahami bagaimana ‘metode dakwah’ dan ‘strategi komunikasi massa’ yang tepat. Bahwasanya Marxisme itu benar bagi seorang Kiri mungkin merupakan satu kesimpulan yang sudah jelas baginya, yang didapat melalui proses penelusuran ilmiah yang tidak singkat. Tetapi, bagaimana menyampaikan ‘kabar baik’ tersebut kepada massa rakyat, yang meskipun memiliki potensi ilmiah dan revolusioner, juga terkungkung oleh keterbatasan yang dihadapinya sekarang, terutama dalam hal penghidupan sehari-harinya? Di sinilah, retorika penyampaian dan laku keseharian yang kontekstual menjadi penting. Adalah penting bagi seorang Kiri untuk menyelami realitas sosial massa, membangun relasi yang dialogis antara dirinya dengan rakyat pekerja, melakukan proses pembelajaran dan pengorganisasian secara bersama-sama sembari sadar atas bias-bias kelas dan kekurangan masing-masing, untuk kemudian merumuskan dan melakukan tindakan-tindakan politik secara bersama-sama.

Tiba-tiba saya teringat Gramsci. Beberapa gagasannya yang tersebar luas dengan jitu menyasar persoalan-persoalan yang saya bahas di atas. Sebagai seorang revolusioner yang terlibat langsung dalam perjuangan politik bersama kelas pekerja di Italia, Gramsci tidak pernah mengesampingkan kerja-kerja intelektual, yang menurutnya juga tidak kalah penting dengan kerja-kerja organisasional-lapangan. Gramsci juga tidak mengelakkan pentingnya membangun kedisiplinan dan militansi sekaligus kemampuan analitis yang kuat di antara para kader gerakan rakyat, sebagaimana ditulis dalam salah satu artikelnya yang terkemuka, Workers’ democracy. Bahwa untuk mempersiapkan diri melakukan ofensif terhadap kuasa kapital dan melampaui logika kedaulatan negara, maka kelas pekerja dan gerakan-gerakan rakyat harus melatih diri untuk mendisiplinkan dirinya, mempertebal militansinya, serta membangun solidaritas dan aksi-aksi kolektif, untuk kemudian melakukan aksi historis tersebut. Kedisiplinan dan militansi Marxis beda dengan kedisiplinan borjuis yang robotik, kering, dan karenanya cenderung otoriter – seakan-akan kita hanya menjadi sekrup dalam tatanan masyarakat kapitalis. Sebaliknya, kedisiplinan revolusioner tumbuh secara organik dan bersifat sukarela, yang berasal dari kesadaran bahwa rakyat pekerja perlu menyelaraskan upaya-upaya kolektifnya sebagai prasyarat bagi penerapan demokrasi yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya di seluruh aspek kehidupan bermasyarakat.

Prinsip-prinsip inilah yang harusnya timbul dalam perilaku hidup kita sehari-hari, bukan hanya dalam kerja-kerja keorganisasian, tetapi juga dalam laku keseharian. Perlu diingat bahwa kapitalisme adalah musuh yang sangat terorganisir, massif, dan bekerja secara elusif. Kita tidak bisa melawannya hanya dengan pretensi Bohemian, ultra-demokratis, dan pseudo-modern. Yang ada, sikap ‘perlawanan’ semacam itu hanya membuat orang-orang Kiri menjadi segerombolan pseudo-radikal, tak ubahnya seperti ABG labil yang hobi kebut-kebutan motor di jalan. Seorang Kiri haruslah jujur, ilmiah, dan adil dalam pikirannya. Seorang Kiri haruslah berbuat sopan dan beradab dengan sesama manusia dan alam. Seorang Kiri haruslah menyatakan oposisi yang jelas terhadap musuh rakyat dan sebaliknya, bersahabat dan mengasihi rakyat. Dalam laku keseharian, seorang Kiri berarti musti menjadi tetangga yang baik, warga yang baik, dan organizer yang baik. Seorang Kiri tidak berpretensi bohemian – ia sadar bahwa massa rakyat menjalani hidup yang teratur dan berguna dan hal-hal yang bermanfaat dari gaya hidup semacam itu yang perlu ditiru dalam laku kesehariannya. Seorang Kiri juga tidak berpretensi teknokratis – ia sadar bahwa transformasi sosial mensyaratkan hubungan yang organik dan dialogis antara dia dan massa rakyat dan karenanya ia perlu menyelami dan menyadari seperti apa realita sosial massa sehari-harinya. Seorang Kiri haruslah menjadi pendengar yang baik dan empatik terhadap penderitaan-penderitaan yang dialami oleh rakyat pekerja setiap harinya – ia mencoba memperkecil jarak dan bias kelas dalam interaksi tersebut.

Ada sebagian hal yang bersifat preskriptif dalam pemaparan ini yang mungkin terdengar remeh-temeh, tapi ingat, persis strategi inilah yang dipakai oleh kaum Kanan dengan segala macam variannya. Kita boleh saja mencemooh para ‘operator lapangan’ kelompok-kelompok keagamaan yang konservatif dan fundamentalis di sudut-sudut perumahan serta program-program pemberdayaan neoliberal di kampung-kampung, tetapi pada kenyataan mereka dapat secara efektif melakukan strategi yang sifatnya ‘remeh-temeh’ tersebut dan akhirnya mendulang dukungan.

Ada satu fragmen kecil dalam sejarah gerakan Kiri yang terdengar sederhana tetapi memiliki implikasi yang penting. Ceritanya jauh di Afrika Selatan sana, di masa apartheid. Ceritanya, seorang Nelson Mandela – masih menjadi pengacara muda pada waktu itu – sedang meniti karir sebagai seorang pegawai di firma hukum di Johannesburg. Di suatu siang, ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nat Bregman, seorang aktivis Komunis berkulit putih yang juga rekannya di firma hukum, tiba-tiba Bregman menawarkan sebagian makan siangnya untuk Mandela, diiringi dengan ucapan yang tidak pernah dilupakan oleh Mandela:

‘Nelson, pegang rotinya, dan potonglah…Itulah filosofi Partai Komunis – kita berbagi apa yang kita punya.’

Mandela sungguh terkesan atas sikap Bregman dan tidak pernah lupa atas solidaritas dan kesetiakawanannya –akhlak baiknya. Dan sisanya kita tahu adalah sejarah: Mandela terinspirasi untuk terlibat dan memimpin perjuangan pembebasan nasional melawan apartheid di Afrika Selatan. Sampai akhir hayat mereka, Mandela dan Bregman menjaga jalinan perjuangan dan persahabatan.

Kita berbagi apa yang kita punya – mungkin ini semacam versi lain dari moral Komunis-nya Sudisman. Apabila kita belum bisa bersepakat apakah kita perlu eksposisi teoretik Marxis atas moralitas, setidaknya kita perlu bersepakat mengenai bagaimana akhlak yang ideal bagi kader-kader gerakan rakyat dalam kerja-kerja organisasi maupun laku keseharian. Propaganda Orde Baru mengampanyekan bahwa orang-orang Kiri merupakan gerombolan yang haus kekuasaan, menghalalkan segala cara, dan karenanya najis laknatullah. Tapi dari sejarah kita tahu, mana yang haus kekuasaan dan menghalalkan segala cara, dan mana yang bersetia kepada cita-cita politik emansipasi dan pembebasan rakyat pekerja dari ketertindasan kelas.

Siapa yang bersetia kepada ‘jalan sunyi emansipasi’ itu? Singkat kata, mereka adalah orang-orang yang bersikap jujur, ilmiah, dan terbuka. Mereka juga berdisiplin, bersolidaritas, dan rela berkorban. Mereka adalah demokrat dalam artiannya yang paling radikal. Mereka terbiasa dengan perbedaan pendapat dan mau memahami realitas sosial yang ingin diubahnya. Mereka juga mau mendengarkan dan berempati kepada penderitaan massa.

Mereka adalah orang yang berpegang pada moralitas Kiri – moral Komunis.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University. Beredar di twitland dengan id @libloc

RIP Adi Sasono

Adi Sasono, a Muslim social democratic intellectual, passed away very recently, on August 13.

An engineer by training, he was more famous as an Islamic student activist and a champion of a people-centered economy, criticizing the rule of the conglomerates and crony capitalism groomed under Suharto’s New Order Regime. This earned him the reputation as “Indonesia’s most dangerous man.” He was part of the critical-yet-loyal-oppositionist intellectuals under the New Order, a role which propelled him to be appointed as Minister of Small Businesses and Cooperatives under the Habibie administration.

Given the situation, such a stance was quite a breakthrough. Of course, he never advocated for a radical rearrangement of the economy a la Latin American leftist parties, but his ideas had a strong anti-establishment bent.

The task for the next generation of scholars of Indonesian history is to write an intellectual history/biography of him and his cohort of intellectuals.

Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

APA tugas dan peranan kaum pekerja “non-tradisional” – aktivis, organizer, intelektual, peneliti, dan bermacam rupa kelas menengah yang bersolidaritas – dalam kehidupan dan upaya-upaya kolektif rakyat pekerja? Bisa dikatakan ini merupakan salah satu pertanyaan utama bagi gerakan progresif di seluruh dunia. Pertanyaan ini penting karena jawaban atasnya memiliki implikasi penting bagi dinamika internal dan trajektori dari gerakan progresif – terutama dalam hal hubungan antara rakyat pekerja, unsur-unsur pimpinan dalam gerakan, dan sekutunya – yang seringkali berlatar belakang bukan dari proletariat tradisional?

Ini adalah pertanyaan yang menghantui banyak middle-class allies dalam gerakan progresif, termasuk saya. Dalam tataran yang lebih praktis, pertanyaan tersebut dapat diparafrasekan seperti ini: bagaimana kaum pekerja non-tradisional dapat terlibat, bergumul, dan akhirnya mengerti realita sosialnya rakyat pekerja?

Pelan-pelan saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut di sela-sela penelitian disertasi saya. Dari amatan dan keterlibatan saya dalam kehidupan rakyat desa selama berbulan-bulan di Banten dan Sulawesi Selatan, saya mencoba untuk memahami dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh rakyat desa sehari-hari dan memikirkan ulang mengenai hubungan saya sebagai, katakanlah, peneliti kelas menengah yang simpatik dengan mereka. Saya menganggap, apa saya lakukan merupakan fardu kifayah – kewajiban bagi sebagian orang, terutama bagi yang berpengetahuan dan sadar atas pentingnya tugas tersebut.

Untungnya, saya tidak sendirian. Dalam antropologi, tradisi penelitian etnografis yang mengandalkan teknik pengamatan partisipatif (participant observation), yang mengharuskan seorang peneliti untuk tinggal di suatu komunitas dan going native merupakan fondasi dalam bidang keilmuan tersebut. Di gerakan Kiri, ada sejumlah teladan yang coba mengamalkan prinsip ini. Pertama tentu saja ada Frederick Engels, yang melakukan sebuah amatan antropologis dalam salah satu karya klasiknya, The Condition of the Working Class in England.Saya bayangkan Engels muda, yang pada waktu itu masih berusia 24 tahun dan bekerja di salah satu cabang perusahaan kapas milik ayahnya di Manchester, dengan ditemani Mary Burns berjalan-jalan di kampung-kampung kota yang kumuh di mana kaum buruh tinggal,mengobrol dan mencoba menjalin hubungan yang akrab dengan para buruh dan aktivis revolusioner di masanya. Saya bayangkan ada pertemuan antara letupan semangat masa muda, pemahaman yang mulai terbentuk mengenai sebuah dunia yang lebih baik, dan kemampuan untuk menerapkan prinsip dan metode ilmiah dalam melakukan suatu investigasi.

Dalam gerakan Kiri, prinsip ini kemudian dicoba diterapkan sebagai upaya untuk membangun tradisi ilmiah dan mempercepat pembangunan organisasi. Di Indonesia, PKI dan BTI mencoba melakukan riset-riset etnografis revolusioner untuk menjawab persoalan-persoalan agraria berdasarkan prinsip “tiga sama, empat jangan, empat harus” – sama kerja, sama makan, dan sama tidur; jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat setempat, dan belajar dari kaum tani. Ini dilakukan sebelum reflexive ethnography, participatory action research, dan segala jargon serta metode penelitian-penelitian yang menonjolkan aspek keterlibatan peneliti menjadi nge-tren – dan terkadang dipelintir untuk melancarkan pelaksanaan agenda-agenda developmentalis di pedesaan. Di Vietnam, prinsip ini juga dikenal dengan nama “tiga bersama” (three togethers), yang menjadi strategi inti dalam pembangunan partai, mobilisasi massa, dan kampanye reformasi pertanahan di sana.

Bagi para ‘sekutu kelas menengah’ rakyat pekerja, ini berarti kemauan untuk melakukan proses amatan-penelitian-keterlibatan yang menyeluruh dan terintegrasi dengan kehidupan sosial rakyat pekerja dan keharusan untuk memiliki kemampuan mencatat yang tekun dan rapih, yang prosesnya haruslah transparan dan sebisa mungkin melibatkan guru kita – rakyat pekerja – dalam pelaksanannya. Ini bisa dimulai dengan melakukan self-criticism yang cukup keras terhadap diri kita.

Saya misalnya, musti mengakui dengan jujur bahwa ada sejumlah bias dan keterbatasan saya sebagai seorang warga kelas menengah kota laki-laki dan heteroseksual yang beragama dan berlatarbelakang etnis mayoritas. Saya tidak bisa mencangkul dan melakukan kerja-kerja produksi di bidang pertanian misalnya. Atau memahami sejumlah kebingungan dan permasalahan yang dihadapi oleh ibu-ibu desa ketika mendadak anaknya demam setelah diberikan vaksinasi, mengurus administrasi dan biaya pengobatan di rumah sakit, atau menjelang kelahiran. Namun ini bukan berarti menjadi alasan bagi saya untuk kemudian tidak mencoba membangun hubungan profesional yang intens dan pertemanan yang tulus dengan rakyat desa.

Konsekuensinya, berarti adalah kewajiban bagi saya untuk sebisa mungkin terlibat, melakukan amatan yang dekat, dan menuliskan pengalaman dan narasi dari para warga desa. Konkretnya, ini berarti kemauan untuk menyapa dan berbincang-bincang dengan para tetangga, membantu tetangga memperbaiki pagarnya yang rusak, mencoba berkebun, menghadiri kawinan, pengajian, tahlilan, dan segala rupa hajatan, bertamu dan berbincang-bincang dengan penghulu, guru ngaji, petani, tukang jahit, dan sopir, nongkrong dengan pak RT dan pak RW dan memperhatikan apa saja persoalan-persoalan di lingkungan sekitar yang mendesak, mendengarkan cerita dan keluhan dari kawan-kawan buruh muda mengenai kondisi kerja di pabrik, dan lain sebagainya. Juga kemauan untuk memahami sense of humoryang luar biasa dari para warga desa dalam menertawakan himpitan hidup yang dialami mereka setiap harinya dan sinisme terhadap mereka yang berkuasa (termasuk misalnya gosip dan kritik-kritik halus ibu-ibu desa terhadap suami-suami mereka). Dan tentu saja, di daerah-daerah di mana konflik agraria terjadi, kemauan untuk mendengarkan dan mencatat cerita tentang perampasan, perlawanan, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh rakyat desa menghadapi penindasan, mulai dari menceramahi polisi, demonstrasi, hingga upaya-upaya pendudukan lahan.

Sebisa mungkin, proses ini haruslah transparan, partisipatif, dan dialektis. Ini berarti seorangmiddle-class ally – katakanlah dalam hal ini seorang intelektual radikal – harus terbuka dan jujur dengan niat-niat dan tujuan-tujuan dari upaya penelitian yang dilakukannya. Ia juga harus memikirkan bagaimana baik di ranah teoretik maupun yang lebih berorientasi praxis hasil penelitiannya dapat berguna bagi pembangunan gerakan rakyat. Sebisa mungkin, seorang intelektual radikal harus mengkomunikasikan dan membagi hasil amatan dan analisanya kepada para narasumbernya – misalnya para aktivis lain dan rakyat pekerja yang berkomunikasi dengannya. Bahkan, jikalau diperlukan, seorang intelektual radikal bisa meminta bantuan narasumbernya untuk turut serta dalam proses penelitannya melalui hal-hal yang simpel seperti meminta narasumber untuk menuliskan pengalaman hidupnya secara singkat, mengecek catatan penelitian mengenai suatu kegiatan, atau meminta warga untuk mengambil foto dan video dan kemudian menceritakan mengapa dia mengambil satu momen atau peristiwa tertentu.

Dalam konteks interaksi yang lebih akrab, tidak tertutup kemungkinan seorang intelektual radikal mengajak narasumber utamanya untuk bersama-sama menuliskan sejarah kehidupan narasumber tersebut.

Perlu diingat bahwa dalam keseluruhan proses ini bukan berarti kita lantas terjebak dalam suatu bentuk perspektivisme dan solipsisme ekstrim dan mengabaikan abstraksi untuk memahami kondisi keseluruhan, totalitas dari sepotong realitas sosial yang coba kita amati. Seorang intelektual radikal tidak boleh terjebak pada fetisisme ‘keterlibatan’ maupun bayangan empirisisme. Seorang intelektual radikal tidak boleh lupa mencatat dan tidak mencoba melakukan abstraksi dari realitas-realitas empiris yang berada di hadapannya. Adalah tugas utama dari seorang intelektual radikal untuk melakukan investigasi dan abstraksi yang sistematis, jujur, dan ilmiah dari realita yang coba dipahaminya. Karenanya, komunikasi yang terbuka dengan rekan penggerak dan rakyat pekerja yang menjadi narasumber, untuk mencoba bersama-sama melakukan abstraksi dari berbagai macam dinamika dan proses yang dialami oleh para narasumber selama ini, menjadi sangat penting.

Dari sinilah, kemudian kita semua bisa belajar untuk bersolidaritas satu sama lain. Hampir absennya suara-suara yang berlandaskan pada akal sehat dan solidaritas terhadap apa yang terjadi kepada kawan-kawan Papua misalnya, sedikit banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di sana – mengenai ekspropriasi sumber daya alam dan represi yang dimungkinkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang semakin kolonialis dan apartheid. Tugas intelektual radikal dewasa ini adalah membangun basis pengetahuan yang valid untuk bersolidaritas. Karena hanya dengan itulah suatu visi politik emansipatoris – bahwa terlepas dari warna kulit, latar belakang etnisitas atawa kebangsaan, dan segala bentuk identifikasi sektarian dan primordialis lainnya – kita semua merupakan korban dari penindasan kelas.

Kuncinya satu: belajar, dan percaya kepada massa.

Percaya kepada massa.*** 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitlan dengan id @libloc

Teror Jakarta dan Bagaimana Menyikapinya

Teror Jakarta dan Bagaimana Menyikapinya

BELUM lama Jakarta kembali diserang oleh teror bom. Tepat di jantung kota, daerah Sarinah Thamrin, salah satu titik pusat kegiatan perkantoran dan perbelanjaan. Serangan ini, meskipun berhasil diatasi secara cepat, disebut-sebut sebagai serangan teroris yang terbesar pasca rentetan aksi-aksi terorisme di tanah air beberapa tahun silam. Kepada para korban dan keluarganya, sudah sepantasnya kita haturkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya

Namun, yang bermasalah bukan hanya terorisme, tetapi juga sikap kita terhadapnya, baik yang berbau militeristik vulgar maupun pseudo-‘solidaritas.’ Sebuah bentuk solidaritas dalam menghadapi ancaman teror dan simpati dengan penderitaan korban dan warga kebanyakan yang terkena dampaknya memang perlu, tetapi kita perlu beranjak lebih jauh dari itu.

***

Bukan tanpa alasan apabila menurut perspektif Kiri aksi-aksi terorisme seringkali dicap sebagai sebuah bentuk ‘infantilisme’ dan ‘avonturisme.’ Sejarah gerakan Kiri sendiri penuh dengan eksperimen-eksperimen ‘teroristik’ yang bersifat sporadis. Di masa-masa awal perkembangannya, kaum anarkis acap kali bereksperimen dengan ‘propaganda dengan aksi’ yang menyasar perwakilan-perwakilan terkemuka dari kaum elit – para monark, bangsawan, dan industrialis tamak – sebelum kemudian mereka menyadari kelemahan aksi-aksi semacam itu dan beralih ke kerja-kerja pengorganisiran massa yang lebih ‘mengakar’ dan jangka panjang. Dalam tradisi Marxis, Marx dan Engels berpolemik dan berdebat keras dengan Louis Auguste Blanqui dan teorinya, Blanquisme, yang menekankan kepada peranan segelitir elit revolusioner yang bekerja secara rahasia untuk merebut kekuasaan melalui revolusi demi mewujudkan masyarakat sosialis. Bagi Marx dan Engels, Blanquisme adalah sejenis elitisme yang terlampaui voluntaris, tercerabut dari realitas sosial dan praksis kelas pekerja, dan karenanya bermasalah dan bisa menimbulkan resiko politik yang fatal. Dari sejumlah pengalaman inilah, kaum progresif bisa belajar mengapa terorisme adalah sebuah strategi yang problematis dan doomed to fail.

Dalam konteks kontemporer, sedikit banyak terorisme dapat dilihat sebagai ‘reaksi salah arah’ (dislocated response) terhadap efek dan ekses dari perkembangan negara-bangsa dan kapitalisme – termasuk dalam epos negara polisi (police state) dan neoliberal yang kita alami sekarang ini. Oleh karena itu, memahami aksi-aksi teroristik hanya pada level kondisi psikologis individual pelaku terorisme dan ranah ideasional di mana gagasan-gagasan teroristik muncul, meskipun penting, tidaklah cukup. Memahami kemunculan dan kiprah kelompok teroris totalitarian seperti ISIS, misalnya, memerlukan pemahaman mengenaikonteks struktural-historis yang memungkinkan ISIS muncul. Disinilah analisa materialis historis atas terorisme menjadi penting, baik untuk memahami kemunculannya, hubungannya dengan politik imperium global dan tendensi negara polisi dewasa ini, dan respon rakyat pekerja terhadapnya.

Kajian kritis terhadap terorisme menjadi penting terutama di konteks Indonesia, di mana praktik-praktik terorisme ‘individual’ atau ‘masyarakat’, baik yang berbau fundamentalisme keagamaan maupun varian lainnya, dapat menjadi justifikasi atas praktik-praktik terorisme negara, baik dengan dalih konter-terorisme, keamanan nasional, atau yang paling mutakhir, ‘bela negara.’ Sebagaimana dijelaskan oleh kawan Coen Pontoh dalam editorialnya, terorisme bukan hanya ‘memukul mundur kesadaran dan pengetahuan rakyat tertindas yang telah mekar’ tetapi juga ‘membuat otot-otot rezim semakin kuat dan semangat represifnya menjadi berlipat ganda.’ Dengan kata lain, terorisme bukan hanya merusak kehidupan dan penghidupan rakyat sehari-hari, tetapi juga berpotensi untuk memantik tendensi negara polisi yang lebih besar dan segala turunannnya – mulai dari pembunuhan ekstra-yudisial hingga…Guantanamo.

Kritik terhadap negara polisi sebagai solusi konter-terorisme inilah yang harus kita rumuskan dan propagandakan. Negara polisi dianggap bermasalah terutama karena kecenderungannya untuk melanggar dan meringkus hak-hak dan kebebasan sipil dan politik. Tetapi, ada juga alasan lain yang tidak kalah penting untuk menolak ekspansi negara polisi, yaitu karena fungsinya sebagai alat ekspansi ekonomi-politik proyek imperium global dan militerisme nasional yang sangat berpotensi mengancam kehidupan rakyat pekerja. Tentu saja kritisisme ini bukan berarti menihilkan upaya-upaya konter-terorisme dan penegakkan hukum. Pencegahan dan perlawanan terhadap terorisme tetap diperlukan, namun upaya tersebut haruslah berada dalam kontrol demokratis rakyat pekerja atas institusi koersif negara dan kaidah-kaidah supremasi hukum. Tanpa kontrol tersebut, maka operasi konter-terorisme rawan tergelincir menjadi suatu justifikasi untuk kebijakan-kebijakan sekuritisasi yang lebih represif dan berbau militeristik.

Di sisi lain, kita juga perlu berhati-hati untuk, sebagaimana dipaparkan oleh kawan Windu Jusuf, untuk tidak meromantisasi pengalaman rakyat pekerja dalam menghadapi ancaman terorisme dan mereduksinya dalam bentuk yang murahan. Pengalaman dan contoh ‘heroik’ yang ditunjukkan oleh Pak Jamal si Tukang Sate, misalnya, bukanlah suatu perilaku yang ‘wah’ karena diliput oleh media-media borjuis dan dirayakan oleh para penguasa dan mereka yang takut akan kehilangan kenyamanannya. Sebaliknya, santainya sikap Pak Jamal menanggapi ancaman teror yang hanya berjarak beberapa ratus meter darinya menjadi heroik justru karena itu merupakan bagian dari pengalamannya – dan pengalaman banyak rakyat pekerja lainnya – sehari-hari. Alih-alih meromantisasi dan mencabutnya dari konteks sosialnya, ketahanan atau resilience rakyat pekerja dalam menghadapi tantangan dan teror setiap harinya – baik dari kelompok ekstrimis maupun aparatus negara – seharusnya kita mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut – terutama untuk menggunakannya sebagai acuan bagi pengorganisiran solidaritas kolektif yang lebih luas, baik dalam konteks konter-terorisme terlebih-lebih dalam memajukan agenda-agenda politik progresif yang lain.

Singkat kata, kaum progresif bukan hanya harus mengutuk terorisme dan dampak yang ditimbulkannya kepada kehidupan rakyat banyak, tetapi juga menganalisanya secara kritis dan merumuskan solusi atasnya. Solusi ‘konter-terorisme’ bagi kaum progresif bukanlah solusi-solusi hawkish yang bersifat reaksioner – yang sayangnya sempat dipromosikan oleh sejumlah aktivis ‘Kiri’ dan ‘liberal’ untuk sejumlah kasus, misalnya, dalam Invasi Irak dan penggunaan penyiksaan dalam War on Terror,[1] yang membuat mereka tidak jauh dengan para ‘nasionalis’ kelas jawara dua meter yang berteriak ‘NKRI harga mati’ at all cost. Solusi progresif atas terorisme haruslah memastikan dan menguatkan, sekali lagi, kontrol demokratis rakyat pekerja atas operasi konter-terorisme dan juga aparatus koersif negara lainnya. Lebih penting lagi, solusi progresif atas terorisme haruslah mempromosikan dan menguatkan solidaritas internasional melawan agresi-agresi imperialis dan mengangkat ketahanan dan perlawanan keseharian rakyat pekerja atas berbagai bentuk ‘teror’ – mulai dari yang eksplisit seperti bom kelompok ekstrimis dan penggebukan oleh aparat hingga yang elusif seperti pembatasan atas upaya penghidupan mereka baik di jalan maupun di tempat kerja – sebagai sumber inspirasi untuk pembangunan solidaritas kolektif yang lebih maju lagi.

Karena cara terbaik untuk menunjukkan bahwa #KamiBerani dan menghargai sikap nyantaiala Pak Jamal adalah dengan tidak tergoda oleh mantra-mantra totalitarian dan ekpansionis dari dua sisi dari satu koin yang sama: ideologi teroris yang fatalistik dan imperialisme baru yang bertumpu kepada negara polisi.***

Serang, 20 Januari, 2016

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

—————

[1] Sikap inilah yang ditunjukkan oleh para aktivis dan penulis Atheis Baru (New Atheist) yang menjadi apologis untuk politik imperialis Barat akhir-akhir ini. Christopher Hitchens – yang ex-Trotskyist misalnya – mendukung invasi Irak (lihathttp://www.huffingtonpost.com/2011/12/16/christopher-hitchens-dead-iraq-war_n_1154152.html) dan rekannya, Sam Harris, yang mendaku liberal, mendukung penggunaan metode penyiksaan atas nama perang melawan terorisme (lihat di: http://www.huffingtonpost.com/sam-harris/in-defense-of-torture_b_8993.html).