Sejumlah Catatan Awal bagi Partai Politik Alternatif di Indonesia

Sejumlah Catatan Awal bagi Partai Politik Alternatif di Indonesia

Iqra Anugrah*

Buletin BERGERAK, Edisi Agustus-September 2016 – terbitan Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI).

Bertarung dalam kancah politik elektoral merupakan suatu kesempatan sekaligus dilema yang terus mengemuka bagi gerakan rakyat pekerja di dunia. Seruan “tolak pemilu borjuis!” saja tidaklah cukup. Meskipun partisipasi dalam pemilu borjuis bagaikan meniti jalan yang terjal, penuh onak duri, dan aral yang melintang, dalam kondisi-kondisi tertentu strategi tersebut dapat memperluas dan memperdalam ruang-ruang demokrasi bagi penerapan agenda-agenda politik progresif yang pro-kepentingan rakyat pekerja.

Oleh karena itu, partai politik alternatif diperlukan sebagai wadah perjuangan politik bagi gerakan-gerakan sosial yang mewakili berbagai elemen rakyat pekerja. Serikat-serikat rakyat – mulai dari sektor buruh, tani, nelayan, miskin kota, masyarakat adat, perempuan, dan kaum muda – sejauh ini memang telah menunjukkan kiprah dan kontribusinya yang penting bagi rakyat pekerja, tetapi itu saja tidak cukup. Proses dan hasil dari perjuangan tersebut perlu dikoordinasikan dan dikonsolidasikan bagi pemajuan kepentingan rakyat pekerja di Indonesia. Jelas sudah, kita memerlukan partai politik alternatif, yang bisa melawan dominasi dan hegemoni elit selama ini.

Sebagai bagian dari upaya melaksanakan strategi tersebut, pertama-tama kita perlu melihat sejarah perkembangan sistem kepartaian dan implikasinya bagi partisipasi elektoral gerakan rakyat. Di masa awal perkembangan sistem kepartaian di sejumlah kawasan, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat misalnya, ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh gerakan kelas pekerja, seperti absennya hak pilih universal (universal suffrage), dominasi partai-partai elit dan borjuis, dan peraturan pemilu yang belum sempurna. Mobilisasi yang militan dari gerakan kelas pekerja akhirnya berhasil memberikan tekanan politik bagi rezim-rezim yang berkuasa pada waktu itu. Strategi ini kemudian melahirkan kesempatan politik, yang akhirnya dimanfaatkan oleh kelas pekerja untuk membuat partai-partai yang mewakili kepentingannya.

Di Asia, terutama Indonesia, ada perbedaaan dalam hal tantangan yang dihadapi oleh gerakan rakyat pekerja untuk masuk ke dalam politik elektoral. Yang paling mendasar, secara struktural, terutama di masa-masa awal pembangunan ekonomi, jumlah kelas buruh industrial di Asia lebih sedikit dibandingkan negara-negara kapitalis maju. Dengan demikian, untuk membangun partai berbasis gerakan rakyat kelas buruh harus membangun aliansi multi-sektoral dengan gerakan-gerakan sosial lainnya. Kedua, tingkat represifitas di rezim-rezim birokratik-otoriter di Asia cenderung tinggi. Tatkala negara-negara kapitalis maju mulai masuk ke fase tatanan politik yang bersifat liberal-demokratik, yang memberikan ruang-ruang kebebasan politik bagi gerakan-gerakan rakyat untuk berpolitik (meskipun kebebasan tersebut tentu saja semu dan terbatas dan karenanya tidak sejati), negara-negara Asia justru berada dalam fase negara pembangunan (developmental state), suatu tatanan ekonomi-politik yang menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan “ongkos” yang tidak murah – pengekangan atas kebebasan politik bagi gerakan-gerakan rakyat yang dalam praktiknya tidak jarang menggunakan kekerasan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia di masa Orde Baru, tetapi juga di negara lain, seperti Korea Selatan di masa kediktatoran misalnya. Ketiga, konteks kelembagaan pemilu dan sistem kepartaian di Asia yang cenderung kurang terinstitutionalisasi. Pemilu di Indonesia misalnya meskipun sudah dilaksanakan sesuai dengan kaidah pemilu yang demokratis tetapi peraturannya masih saja bias terhadap partai-partai yang tidak memiliki sumber daya finansial yang memadai. Kemudian, sistem kepartaian di Indonesia cenderung terkartelisasi – partai-partai borjuasi yang ada sekarang cenderung susah dibedakan secara ideologis antara satu sama lain dan hanya berfungsi sebagai wadah untuk melakukan penggerogotan sumber-sumber dana negara di luar anggaran resmi dan membangun jejaring patronase (Ambardi, 2009).

Beban sejarah tersebut, ditambah semakin maraknya kebijakan neoliberal seperti privatisasi, pemangkasan anggaran-anggaran sosial, dan perluasan logika ekonomi pasar di berbagai ranah kehidupan yang semakin melemahkan kekuatan dan solidaritas gerakan rakyat, membuat amanat untuk membangun partai politik alternatif yang memperjuangkan kepentingan rakyat pekerja menjadi suatu tugas yang sangat berat. Inilah tantangan yang sedang kita hadapi di Indonesia. Tetapi persis karena alasan itulah, di tengah-tengah dominasi partai borjuis yang menguasai aturan dan kancah politik elektoral dan hegemoni neoliberalisme yang menyeruak bahkan ke praktik-praktik gerakan sosial, kebutuhan untuk membangun partai politik rakyat pekerja menjadi semakin relevan. Karena, jelas sudah, bahwa kita tidak bisa berharap lagi dengan rezim-rezim yang sudah ada di Indonesia ini setelah reformasi. Tidak bisa tidak, gerakan rakyat pekerja harus membangun partainya sendiri.

Tetapi apa saja tantangan kita depan? Dalam hemat saya, ada lima persoalan yang harus kita jawab: kenyataan ekonomi-politik neoliberal, fragmentasi dalam tubuh gerakan, bahaya borjuisasi gerakan, ketidakmampuan membaca konstelasi politik elit, dan kurangnya basis pengetahuan.

Yang pertama dan paling penting untuk kita pahami adalah tatanan ekonomi-politik neoliberal sebagai epos sejarah yang khas dari zaman kita dan kita alami saat ini. Neoliberalisme melalui berbagai salurannya – mulai dari program-program pembangunan di pedesaan hingga pendanaan untuk organisasi-organisasi masyarakat sipil – berupaya untuk melapangkan jalan bagi masuknya kapital dan investasi besar serta logika ekonomi pasar dalam berbagai ranah kehidupan, mulai dari aktivitas-aktivitas ekonomi hingga sosial (De Angelis, 2005). Pendek kata, neoliberalisme mempromosikan reproduksi relasi sosial kapitalis dalam bentuk-bentuk baru di berbagai lini. Akibatnya, himpitan hidup bagi rakyat pekerja semakin meningkat dan pembangunan solidaritas sosial dan politik menjadi semakin menantang.

Tantangan yang kedua adalah fragmentasi dalam tubuh gerakan sosial itu sendiri. Secara umum, terdapat lebih dari satu federasi atau konfederasi di sejumlah sektor gerakan rakyat, seperti buruh, tani, dan masyarakat adat misalnya. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi cita-cita unifikasi gerakan yang merupakan salah satu prasyarat pembangunan partai politik alternatif.

Yang ketiga adalah tantangan borjuisasi (embourgeoisement) gerakan dalam konteks politik elektoral. Logika politik elektoral yang bertumpu pada perolehan suara mensyaratkan partai-partai untuk mendulang suara dari sebanyak-banyaknya dari para pemilih. Dengan demikian, ada resiko bahwa rakyat pekerja akan memilih bukan sebagai kelas melainkan sebagai kumpulan individu-individu, seperti yang terjadi dengan partai-partai pekerja di Eropa Barat (Przeworski & Sprague, 1986). Dengan kata lain, adalah suatu tantangan tersendiri bagi partai politik alternatif kedepannya untuk menjaga blok suara yang kohesif dan membangun aliansi luas yang efektif – termasuk aliansi lintas kelas dengan faksi progresif dari kelas menengah.

Selanjutnya, yang keempat adalah kekurangmampuan, jikalau bukan ketidakmampuan, membaca konstelasi politik elit. Memang benar bahwa kelas borjuasi dan para penyokongnya – termasuk birokrasi dan aparatus kekerasan negara – pada prinsipnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya. Tetapi, ada kondisi-kondisi struktural dan momen-momen politik tertentu yang memungkinkan terbukanya peluang politik yang lebih luas, misalnya perbedaan preferensi kebijakan ekonomi di antara para elit borjuasi, kriris ekonomi, atau kondisi politik yang genting. Di dalam konteks tersebut, gerakan rakyat yang kuat, yang diwakili oleh partai politik alternatif, perlu memiliki kemampuan untuk membaca konstelasi politik elit, untuk mengetahui konflik terbatas di antara para elit tersebut, dan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan perundingan-perundingan politik – dengan kata lain, melakukan transformasi sosial “dari atas” untuk melengkapi proses transformasi sosial “dari bawah.” Ini mensyaratkan kemampuan analisa politik elit yang tajam dan cermat, yang masih harus kita asah.

Tantangan yang terakhir tetapi tidak kalah penting adalah masih kurangnya basis pengetahuan sebagai dasar teoretik untuk pembangunan partai alternatif. Sudah waktunya bagi kita semua, para pegiat gerakan sosial di Indonesia, untuk membuang dikotomi antara “teori” dan “praktik”, dan menyadari bahwa dikotomi itu sesungguhnya merupakan sebentuk propaganda borjuis. Pembangunan basis pengetahuan yang tepat bagi partai politik alternatif haruslah memperhatikan konteks keIndonesiaan, dan praktik politik gerakan rakyat di Indonesia haruslah bertumpu kepada abstraksi dari pengalaman historis perjuangan rakyat pekerja selama ini. Baik “kerja kobar” – kerja-kerja pembangunan organisasi dan partai rakyat pekerja – maupun “kerja tekun” kerja-kerja teoretik yang tidak selalu nampak ke permukaan – sesungguhnya sama-sama penting dan mendukung satu sama lain.

Adakah jawaban untuk sejumlah tantangan ini? Atau, setidaknya, adakah jalan keluar dari sejumlah permasalahan ini. Tentu saja, kita tidak bisa berpretensi bahwa kita memiliki jawaban final atas persoalan-persoalan penting tersebut. Tetapi, setidaknya kita bisa mulai memikirkan dan memberikan jawaban sementara untuk hal-hal tersebut. Dari segi teknis kepemiluan, ini berarti memikirkan dan merumuskan strategi yang berkaitan dengan pemenuhan syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu, seperti pemahaman atas aturan perundang-undangan, pemenuhan persyaratan jumlah keanggotaan dan kepengurusan, pendanaan yang cukup, legal, dan berkelanjutan bagi operasional partai, dan lain sebagainya. Dari dimensi lain, ini berarti memperkuat pembangunan basis organisasi di tingkat akar rumput dan mendorong pendidikan politik kader-kader gerakan dan partai politik rakyat pekerja secara lintas sektor. Dua langkah ini, kerapihan organisasi dan pembentukan kader-kader yang militan, sangatlah penting bagi pembangunan partai.

Satu jawaban lain yang bukan hanya tidak kalah penting tetapi juga merupakan salah satu jawaban kunci bagi persoalan-persoalan di atas adalah pengorganisasian ekonomi yang dilakukan secara kolektif dan demokratis yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan membangun gerakan-gerakan rakyat dan partai politik alternatif. Strategi ekonomi seperti ini sangatlah penting terutama di dalam konteks negara kapitalis seperti Indonesia, di mana tata cara pemilu dan aturan main dalam berpolitik masih dikuasai oleh para elit borjuasi, sehingga kancah politik elektoral masih saja didesain untuk menguntungkan kepentingan mereka. Ini diperparah dengan penguasaan sektor-sektor ekonomi – tidak hanya dari segi produksi tetapi juga distribusi dan konsumsinya – oleh para elit borjuasi tersebut. Sehingga, untuk mengatasi persoalan biaya operasional yang tinggi dalam politik elektoral dan himpitan hidup yang semakin meningkat karena ekspansi kapitalisme, maka pengorganisasian ekonomi mutlak dilakukan. Strategi ini tidak hanya sekedar untuk keperluan pembiayaan aktivitas partai – lebih dari itu, strategi tersebut perlu menjadi salah satu tulang punggung yang utama, yaitu pembangunan ekonomi yang berbasis solidaritas, yang mencakup secara komprehensif aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Ini mensyaratkan sejumlah hal, seperti perumusan strategi atau kebijakan ekonomi gerakan yang memperhatikan perimbangan antara pembangunan desa dan kota, identifikasi sektor-sektor ekonomi potensial, pembangunan jaringan distribusi dan pasar alternatif, hingga strategi pemasaran dan kerjasama lintas sektoral – misalnya antar sektor buruh, tani, dan nelayan yang merupakan sektor-sektor yang kaya dengan basis produksi.

Demikian sejumlah catatan awal bagi pembangunan partai politik alternatif di Indonesia. Tentu saja, pemaparan ini bukanlah merupakan jawaban final atas tantangan-tantangan yang akan kita hadapi kedepannya. Tetapi, setidaknya ini dapat menjadi semacam panduan atau referensi bagi perbincangan dan perdebatan yang lebih mendalam mengenai dilema partisipasi elektoral bagi gerakan-gerakan sosial dan serikat-serikat rakyat di Indonesia. Kedepannya, tantangan kita akan semakin berat: kita dituntut untuk bisa semakin taktis tanpa kehilangan prinsip. Persis di titik itulah, terang sudah bahwa berpolitik bukan hanya merupakan sains melainkan juga seni. Dan partai politik alternatif, yang berkarakter kelas, militan, dan demokratik, yang memperjuangkan kepentingan segenap rakyat pekerja, perlu menguasai kemampuan itu.***

Referensi

Ambardi, K., 2009. Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

De Angelis, M., 2005. The Political Economy of Global Neoliberal Governance. Review, 28(3), pp.229-57.

Przeworski, A. & Sprague, J., 1986. Paper Stones: A History of Electoral Socialism. Chicago: University of Chicago Press.

*Kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University.

https://www.academia.edu/29803661/2016._Sejumlah_Catatan_Awal_bagi_Partai_Politik_Alternatif_di_Indonesia_Some_Notes_on_Alternative_Political_Parties_in_Indonesia_in_Indonesian_._Buletin_Bergerak_August-September

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Tanggapan dan Tambahan untuk Airlangga Pribadi
Iqra Anugrah,
 mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS.

http://indoprogress.com/muslim-demokrat-yang-tunduk-kepada-oligarki/

APA KABAR kaum Muslim Demokrat Indonesia? Dinamika diskursus dan aktivisme kaum Muslim Demokrat dengan berbagai tendensi dan variannya di Indonesia, telah membawa mereka dan juga gerakan sosial serta gerakan Islam di Indonesia pada persimpangan jalan: apakah kaum Muslim Demokrat akan terjebak di dalam logika kuasa yang oligarkis, ataukah mereka akan konsisten terhadap cita-cita pergerakan mereka dengan memperjuangkan politik demokratis yang lebih radikal?

Menanggapi gugatan kawan Airlangga Pribadi atas problematika dan dilema kaum Muslim Demokrat di Indonesia, kali ini saya ingin mengamini argumen Airlangga, sekaligus menambahkan beberapa kritik terhadap tesis Muslim Demokrat di Indonesia. Kritik ini meliputi kritik epistemologis, metodologis, dan praxis. Melalui tulisan ini, saya berharap bahwa kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia pada umumnya, dapat melakukan refleksi yang lebih dialektis atas kiprahnya selama ini.

Pentingnya Realisme dalam Membaca Masyarakat Islam

Sebagaimana pernah saya sampaikan sebelumnya dalam tulisan saya tentang metode Marxis dalam studi Islam, kali ini saya ingin memaparkan kembali tentang kegunaan metode Marxis dalam memahami masyarakat Islam. Sedikit banyak, saya terinspirasi oleh karya-karya Maxime Rodinson (1973; 1980; 1981). Dalam karya-karyanya, Rodinson mencoba mengalihkan fokus studi Islam dan Orientalisme secara keseluruhan dari pembacaan yang simplistis atas masyarakat Islam, menuju sebuah pembacaan yang lebih komprehensif dan kritis, yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek kesejarahan, kuasa, dan ekonomi-politik yang membentuk budaya dan tatanan nilai masyarakat Islam. Namun, dalam menanggapi tuduhan ‘determinisme basis ekonomi’ atau ‘determinisme ekonomi-politik’ dalam analisa Marxis atas masyarakat Islam, Rodinson sendiri menegaskan bahwa faktor-faktor ideasional dan kultural atau kebudayaan, bukanlah sekedar cerminan epifenomenal superstruktur atas basis material suatu masyarakat, suatu argumen yang juga ditegaskan oleh Georg Lukács (1971). Ada dinamika dan pertautan antara faktor-faktor material dan ideasional dalam perkembangan sejarah suatu masyarakat. Lebih lanjut lagi, aspek-aspek ideasional seperti perkembangan diskursus keagamaan dalam suatu masyarakat dapat muncul dalam berbagai bentuknya yang terkadang dapat berbenturan atau berkonflik satu sama lain.

Berangkat dari argumen inilah, kita dapat memahami dinamika Islam dan politik di Indonesia serta kelemahan argumen-argumen kaum Muslim Demokrat.

Beberapa Kritik tambahan atas Kaum Muslim Demokrat di Indonesia

Beberapa kelemahan argumen kaum Muslim Demokrat dalam dinamika demokratisasi di Indonesia, dijelaskan secara gamblang oleh Airlangga dalam artikelnya. Pertama, argumen kaum Muslim Demokrat sebagai salah satu lokomotif demokratisasi di Indonesia terlampau menekankan pada aspek agensi, namun abai pada kondisi dan hambatan struktural di mana agensi itu bekerja. Kedua, kemunculan gagasan-gagasan progresif, terutama dalam varian liberal  ala kaum Muslim Demokrat, juga tidak lepas dari faktor-faktor material yang memungkinkan gagasan tersebut muncul  – seperti ketersediaan dana untuk berbagai lembaga non-pemerintah (LSM) baik dari dalam maupun luar negeri. Ketiga, kaum Muslim Demokrat abai akan fakta bahwa perspektif modal sosial (social capital) yang sering menjadi landasan bagi argumen mereka, merupakan ‘kuda troya’ (trojan horse) atas agenda-agenda developmentalisme ala institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank dan Lembaga Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), dan juga merupakan bagian dari agenda kapitalisme neoliberal (Carroll, 2009; 2010; Sommers, 2008).

Selain kritik-kritik tersebut di atas, beberapa tambahan kritik lain perlu disebut. Pertama, kaum Muslim Demokrat abai terhadap kesenjangan  basis material dan aspek-aspek ekonomi-politik lain antara para ‘intelektual Islam’ dengan realitas objektif umat dan masyarakat yang mereka perjuangkan. Tatkala kaum Muslim Demokrat sibuk berdiskusi dan melakukan kegiatan-kegiatan ‘produksi intelektual,’ di saat yang bersamaan berbagai kelompok masyarakat yang tertindas dan termarginalisasi masih saja tereksploitasi. Sesekali, kaum Muslim Demokrat ‘turun gunung’ dan turut aktif dalam berbagai agenda politik progresif, seperti perlindungan terhadap hak-hak minoritas, namun komitmen dan partisipasi mereka berhenti hanya di situ.

Kedua, kesenjangan ekonomi-politik ini juga tercemin dalam kesenjangan diskursif antara para intelektual dan umat yang katanya diwakilkan oleh mereka. Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, aspek diskursif dari transmisi suatu pengetahuan keagamaan penting untuk diperhatikan, karena aspek ini dapat dipahami secara berbeda oleh berbagai kelompok masyarakat dan menimbulkan berbagai interpretasi (Kendhammer, 2013). Sebelum agenda-agenda pembaharuan Islam dan keagamaan secara umum dapat disebarkan, yang tidak kalah penting adalah mengetahui bagaimana persepsi dan pemahaman publik atas diskursus keagamaan secara umum. Hemat saya, untuk mengetahui kecakapan diskursif publik atas agenda-agenda pembaruan keagamaan dan ide-ide progresif lainnya, barangkali yang diperlukan bukan hanya kecakapan membaca dan memahami teks-teks keagamaan dan perdebatan paling mutakhir dalam kajian ilmu sosial dan humaniora. Tak kalah penting adalah adanya kepekaan atas faktor-faktor material yang membentuk pemahaman masyarakat, sekaligus kerelaan untuk belajar bersama berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang tertindas, dalam hubungan yang setara, pedagogis dan dialektis (Freire, 2006).

Tentu saya mengapresiasi komitmen berbagai kalangan kaum Muslim Demokrat Indonesia atas agenda-agenda politik progresifnya, seperti pembelaan terhadap kelompok minoritas keagamaan dan isu-isu sosial dan politik yang mendesak. Namun, menurut saya, mereka telah gagal dalam menganalisa permasalahan yang lebih besar dari berbagai permasalahan yang terkait dengan diskursus keagamaan di Indonesia, serta dalam memperjuangkan agenda demokrasi yang lebih luas, mendalam dan partisipatoris. Fenomena munculnya kelompok-kelompok vigilantis yang bernuansa kegamaan dan etnis, misalnya, tidak dapat disimplifikasi menjadi sekedar masalah ‘fundamentalisme versus moderatisme dan liberalisme Islam.’ Kita perlu melihat bagaimana sejarah dari berbagai kelompok tersebut, dampak transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi, serta perubahan pola politik kuasa dan patronase, serta aliran dana yang memungkinkan kelompok-kelompok tersebut terus aktif (Wilson, 2006; 2010). Begitupun persoalan munculnya berbagai perda bernuansa syari’ah, yang tidak lepas dari dorongan akumulasi kapital dan populisme politik dalam konteks politik lokal yang terdesentralisasi (Buehler, 2008). Tentu faktor-faktor yang bersifat ideologis, seperti pemahaman fundamentalis atas agama berperan dalam penyebaran fenomena seperti ini. Namun, bukankah diseminasi ide-ide seperti itu lebih mudah terjadi di dalam konteks masyarakat perkotaan dengan praktek-praktek politik yang koruptif dan kesenjangan sosio-ekonomi yang makin meningkat? (Kendhammer, 2013). Kemudian, diseminasi ide-ide pembaharuan keagamaan dan agenda-agenda sosial progresif ala kaum Muslim Demokrat juga terkesan elitis. Akibatnya, ide-ide kaum Muslim Demokrat justru terdengar asing bagi umat Islam Indonesia itu sendiri. Kesenjangan ini juga diperparah dengan praktek politik dari berbagai tokoh kaum Muslim Demokrat yang memutuskan untuk merapat dengan kekuatan-kekuatan bisnis dan politik yang oligarkis atau bergabung dengan politik kepartaian tanpa kalkulasi yang matang atas berbagai dilema dalam politik elektoral. Secara mengherankan, beberapa tokoh terkemuka dari kaum Muslim Demokrat juga mengadvokasi keunggulan agenda-agenda ekonomi politik pasar bebas, namun tidak melangkah lebih jauh dengan membongkar berbagai ortodoksi asumsi dari agenda-agenda tersebut.

Akibatnya, kaum Muslim Demokrat Indonesia justru terjebak dalam praktek-praktek politik yang oligarkis dan anti-demokratik yang berlawanan dengan agenda yang mereka perjuangkan selama ini. Kemudian, asosiasi masyarakat antara kaum Muslim Demokrat dengan keterlibatan mereka dalam politik praktis – suatu asosiasi yang ingin ‘diceraikan’ oleh kaum Muslim Demokrat namun nampaknya tidak berhasil – akhirnya memberikan dampak negatif bagi agenda-agenda pembaruan Islam itu sendiri. Imajinasi kolektif berbagai kelompok masyarakat, termasuk beberapa kelompok kelas menengah, atas kaum Muslim Demokrat, sebagai penyebar pemahaman keagamaan yang ‘sesat’ atau ‘nyeleneh,’ sedikit banyak berakar dari abainya kaum Muslim Demokrat atas faktor-faktor material-struktural yang berkaitan dengan aktivitas dan agenda intelektual mereka. Pada akhirnya, hal ini menjadi hambatan bagi agenda-agenda progresif dari kaum Muslim Demokrat itu sendiri dan agenda-agenda pembaruan Islam yang lebih luas.

Refleksi dan Penutup

Berkaca dari kegagalan kaum Muslim Demokrat dalam memperjuangkan agenda-agenda politik yang lebih demokratik dan anti-oligarki, untuk kedepannya saya melihat setidaknya ada dua catatan yang perlu diperhatikan kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia.

Pertama, kita perlu melihat pada proses sejarah sosial (social history) dari pembentukan suatu diskursus. Dalam pemikiran politik Barat, analisa sejarah sosial ini pernah dilakukan oleh Wood (2008; 2012) secara bernas untuk melihat apa sesungguhnya ketegangan utama dalam sejarah filsafat politik Barat. Kaum Muslim Demokrat dan kita, bagian dari gerakan sosial yang lebih luas di Indonesia, perlu belajar dari karya intelektual tersebut. Sejarah sosial pembentukan suatu diskursus intelektual, termasuk diskursus tentang peranan utama kaum Muslim Demokrat, tidak terlepas dari berbagai faktor material yang berada di sekelilingnya. Khususnya faktor pembentukan elit (elite formation), yaitu proses perkembangan intelektual dari para cendekiawan Muslim Demokrat itu sendiri dan juga proses perkembangan elit-elit ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan yang secara potensial dapat membantu perkembangan dan diseminasi diskursus para kaum Muslim Demokrat, misalnya perkembangan kelompok diskusi, lembaga tangki pemikir (think tank), dan sumber dana yang dapat membantu keberlangsungan lembaga-lembaga semacam itu. Tujuan dari analisa sejarah sosial atas suatu diskursus intelektual, tidak terkecuali diskursus Muslim Demokrat, adalah untuk mengetahui bagaimana suatu diskursus intelektual dalam perkembangannya dapat terdistorsi dan alih-alih mewakili kepentingan kelompok yang tertindas, justru menjadi perwakilan dan perpanjangan tangan dari kelas yang berkuasa.

Kedua, kooptasi diskursif dan ekonomi-politik atas agenda kaum Muslim Demokrat juga tidak lepas dari internasionalisasi dan ekpansi kapitalisme neoliberal yang memungkinkan kooptasi itu terjadi. Kaum Muslim Demokrat di Indonesia, juga tidak lepas dari jeratan proses kooptasi ini.

Apakah kaum Muslim Demokrat hanya menjadi kaum Muslim ‘Demokrat,’ pandai bercakap dan berdebat dalam diskursus dan leksikon agenda-agenda sosial dan politik liberal, namun abai pada struktur oligarkis yang menopangnya? Apakah kaum Muslim Demokrat, sebagaimana banyak elemen dari gerakan sosial yang lain, pada akhirnya tunduk kepada oligarki? Mungkin, hanya kaum Muslim Demokrat sendirilah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Namun, seingat saya, bukankah sejarah menunjukkan, sebagaimana dapat kita lihat dalam perjuangan berbagai elemen progresif dalam Sarekat Islam (SI) melawan kolonialisme, bahwa Islam hanya dapat menjadi kekuatan pembebas apabila ia berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas?

Ah, lagi-lagi saya lupa. Agaknya sudah lama kita enggan membaca kembali sejarah kita.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Buehler, M., 2008. ‘Shari’a By-Laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption.’ Southeast Asia Research, 16(2), pp. 165-195.

Carroll, T., 2009. ‘Social Development’ as Neoliberal Trojan Horse: The World Bank and the Kecamatan Development Program in Indonesia. Development and Change, 40(3), pp. 447-66.

Carroll, T., 2010. Delusions of Development: The World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. 1st ed. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Freire, P., 2006. Pedagogy of the Oppressed. 30th ed. New York: Continuum.

Kendhammer, B., 2013. ‘The Sharia Controversy in Northern Nigeria and the Politics of Islamic Law in New and Uncertain Democracies.’ Comparative Politics, 45(3), pp. xx-xx.

Lukacs, G., 1971. History and Class Consciousness. 1st ed. Cambridge: The MIT Press.

Rodinson, M., 1973. Islam and Capitalism. New York, NY: Pantheon Books.

Rodinson, M., 1980. Muhammad. New York: Pantheon Books.

Rodinson, M., 1981. Marxism and the Muslim World. New York, NY and London: Monthly Review Press.

Sommers, M., 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness, and the Right to Have Rights. 1st ed. New York: Cambridge University Press.

Wilson, I., 2010. ‘Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State in Post-New Order Jakarta.’ In: E. Aspinall & G. van Klinken, eds. The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press, pp. 239-259.

Wilson, I. D., 2006. ‘Continuity and Change: The Changing Contours of Organized Violence in Post-New Order Indonesia.’ Critical Asian Studies, 38(2), pp. 265-297.

Wood, E. M., 2008. Citizens to Lords: A Social History of Western Political Thought from Antiquity to the Middle Ages. 1st ed. New York: Verso.

Wood, E. M., 2012. Liberty & Property: A Social History of Western Political Thought from Renaissance to Enlightenment. 1st ed. New York: Verso.

Demokrasi tanpa Demokrat

DEMOKRASI TANPA DEMOKRAT
Iqra Anugrah
MAHASISWA DI COLLEGE OF ASIA-PACIFIC STUDIES, RITSUMEIKAN ASIA-PACIFIC UNIVERSITY

Masa depan demokrasi di Indonesia sedang berada dalam fase yang amat genting. Beberapa tahun yang lalu kita kehilangan Cak Nur, dan belum lama ini kita kehilangan Gus Dur. Ketiadaan dua figur yang selalu berkomitmen dan membela demokrasi serta nilai-nilai demokratik itu seakan-akan menambah panjang daftar ujian bagi bangsa ini. Berbagai skandal dan permasalahan politik, mulai kasus Bank Century, masalah internal KPK, pengemplangan pajak oleh aktor-aktor bisnis, hingga pembakaran rumah ibadah, seakan-akan menyiratkan masa depan yang suram bagi demokrasi di Indonesia. Hal ini menyiratkan pertanyaan yang besar bagi kita semua: adakah masa depan demokrasi di Indonesia? Apa yang terjadi ketika sistem demokratik yang kita terapkan sekarang ternyata belum mampu membawa kesejahteraan dan keadilan?

Fenomena ini merupakan bagian dari menjamurnya demokrasi illiberal. Mengutip Fareed Zakaria, demokrasi illiberal merupakan demokrasi tanpa nilai. Demokrasi seakan-akan hanya dipahami sebagai prosedur elektoral saja. Akibatnya, demokrasi hanya diartikan sebagai cara untuk memperoleh legitimasi melalui proses pemilu. Padahal, demokrasi tidak sama dengan pemilu.

Dalam suatu sistem politik yang demokratik, ada satu persyaratan lagi yang menjadi keniscayaan, yaitu semangat konstitusionalisme atau republikanisme. Dalam konteks suatu republik konstitusional, nilai-nilai yang menjadi landasan utama adalah kebebasan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai konsepsi legal-politik seperti supremasi hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia, penghormatan terhadap kepemilikan pribadi, dan perlindungan minoritas. Demokrasi dan kebebasan konstitusional, menurut Zakaria, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Menerapkan demokrasi hanya dalam taraf pemilihan umum saja adalah reduksi dari arti demokrasi itu sendiri.

Gejala demokrasi tanpa nilai itulah yang sepertinya sedang menjalar di Indonesia. Berbagai permasalahan politik yang kita hadapi sesungguhnya adalah tantangan dan ujian bagi demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi yang kurang nilai, kebebasan dan keadilan publik senantiasa terancam, dan proses politik menjadi tidak berbeda jauh dari sandiwara atau komedi. Karena itu, tidak aneh apabila sekarang masyarakat dihadapkan pada berbagai fenomena sosial-politik yang unik, dari merebaknya fundamentalisme keagamaan hingga ulah para politikus di gedung parlemen yang mirip dagelan, yang ironis karena justru terjadi di era demokrasi. Politik telah kehilangan maknanya, dari usaha kolektif individual tiap-tiap warga negara untuk mencapai tujuan yang lebih baik menjadi hajatan elektoral tahunan yang tanpa nilai dan sopan santun atau fatsun.

Bagi sebuah bangsa dengan umur demokrasi yang masih “seumur jagung” seperti Indonesia, kejadian ini bisa membawa sebuah krisis demokrasi. Rakyat yang senantiasa dihadapkan pada, dan “diikutsertakan” dalam, drama politik yang tanpa ujung, terutama melalui media, dapat menjadi apatis dan enggan untuk berpartisipasi dalam politik. Tentu saja apatisme ini tidaklah sehat bagi demokrasi, yang memerlukan partisipasi aktif dari warga negaranya.

Menyelamatkan demokrasi
Menemukan jejak demokrasi dalam tradisi politik Indonesia bukanlah suatu hal yang jarang. Adalah Bung Hatta, salah satu dari dwitunggal proklamator kemerdekaan, yang menyadari bahwa demokrasi bukanlah suatu proses pemilihan dan pergantian semata, tapi juga memiliki esensi yang bahkan lebih dalam. Tugas bagi bangsa ini sekarang adalah mengedepankan nilai dan budaya yang menjadi prasyarat bagi tumbuh-kembangnya demokrasi di Indonesia. Kita memerlukan apresiasi terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan keterbukaan.

Karena itu, dalam level masyarakat, demokrasi tidak cukup jika diartikan hanya sebagai suara mayoritas (majority rule), namun juga perlindungan terhadap minoritas dan lebih penting lagi individual dan perbedaan. Kisah perusakan gereja di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini haruslah mendapat perhatian yang pantas dari setiap elemen masyarakat dan pemerintah.

Bagi politikus dan pembuat kebijakan, nilai demokratik sepatutnya juga diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari, baik di luar maupun di dalam parlemen. Sikap pemerintah akhir-akhir ini, baik lembaga eksekutif dan kepresidenan maupun parlemen, sayangnya tidak mencerminkan semangat tersebut. Hiruk-pikuk anggota DPR di Pansus Century maupun posisi reaksioner Presiden menanggapi demonstran yang membawa kerbau adalah satu bukti nyata bagaimana nilai-nilai demokrasi, kemampuan komunikasi publik, dan etika berpolitik masih merupakan hal yang langka di republik ini.

Menanggapi dinamika politik di Indonesia, tugas bangsa ini ke depan adalah menjaga dan memperkuat demokrasi. Seperti kemerdekaan Indonesia, demokrasi adalah manifestasi dari kebebasan atau free will manusia. Dalam konteks kenegaraan, membela demokrasi adalah membela kebebasan dan hak-hak warga negara. Demokrasi haruslah diperjuangkan. Dan untuk memperjuangkan demokrasi, dibutuhkan komitmen terhadap nilai-nilai demokratik sekaligus orang-orang yang bersedia memperjuangkan prinsip tersebut. Demokrasi hanya akan berhasil jika ia ditopang oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme republikan dan politikus-politikus demokratik. Demokrasi tanpa demokrat, seperti yang kita miliki sekarang, hanya akan berujung pada mobokrasi dan lawakan politik yang terinstitusionalisasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/03/06/Opini/krn.20100306.193048.id.html
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/03/06/INDEX.SHTML
http://bataviase.co.id/node/119828