Indonesia: policy missing in talk of politics

http://www.lowyinterpreter.org/the-interpreter/indonesia-policy-missing-talk-politics

Indonesia’s second presidential debate might be a source of amusement for many Indonesian voters, thanks to the colourful exchange between the incumbent Joko Widodo (Jokowi) and the contender Prabowo Subianto. Analyses, fact-checks, and memes referring to and criticising the candidates’ debating styles and facial expressions quickly flooded the airways post-debate on Sunday.

But such a debate-turn-banter reveals a bigger problem: the lack of policy details to address structural socio-ecological issues.

We should assess the candidates by looking at their commitment to promoting more equitable and just development, human rights, and democratic processes amidst massive capital expansion in infrastructure and extractive sectors, and move away from the blind obsession with economic growth.

The debate kicked off with the session on infrastructure. Jokowi boasted his record in infrastructural development and highlighted the number of new highways, airports, and ports that his administration has built. Attempting to score some points, Prabowo criticised Jokowi’s ambition by pointing out the lack of feasibility study, cost efficiency, and consultation with local communities. But Prabowo failed to specify how his infrastructural policy will address the said problems. There was no discussion on how recent infrastructural initiatives have accelerated land conflicts between local communities and state and corporate authorities.

The second part, covering energy and food policy, posed some tough questions on the impact of the fourth industrial revolution and oil palm plantation on rural smallholders and the environment. Jokowi offered an overly optimistic view, arguing that technological innovations such as farming apps have created a new marketplace where peasants and consumers can partake in agricultural commodity trading. Prabowo, interestingly, cautioned against such a view. But both neglected to consider the gender perspective: what would be the best way to integrate rural technologies without putting women who work in agriculture out of jobs?

Both candidates made an even more blatant mistake when answering the question on how to address the negative impacts of oil palm industry. They tried to outperform each other in showing their commitments to oil palm-based biofuels and other forms of renewable energy. But do not be tricked: biofuel business might exacerbate existing rural inequalities in the context of Indonesia’s weak rule of law.

The third part of the debate raised a classic issue in Indonesian politics: the commitment toward environmental protection and agrarian reform. Prabowo emphasised law enforcement, whereas Jokowi claimed that he had effectively addressed illegal logging and forest fire, a claim disputedby many in civil society. But they missed the real problem here: Indonesia has a notoriously lax process for obtaining permission for corporations to operate in rural areas. Such a problem breeds corruption and unethical corporate practices.

They also made a blunder in conceptualising agrarian reform. Jokowi equated agrarian reform with land-title legalisation. But the two are different. Agrarian reform is more than just legalising land title, it is an attempt to redistribute landholdings and other related rural assets as well as solving land-grabbing cases in a comprehensive manner. Prabowo questioned whether Jokowi’s current agrarian policy will address the issue of lack of land availability for the younger generation, but his proposed solution was vague: a return to the “article 33 of the constitution”, which gives a legal grounding for state management of land, water, and natural resources. Did he want to promote the ownership of land resources by state-owned corporations, or something else?

During this session, nobody talked about the prospect of communal ownership and communal management of land and rural resources, a possible solution for the many agrarian problems that Indonesians face.

Lastly, in the final session, both candidates asked each other questions. A major point deserves closer attention here: their views on maritime development. Neither Jokowi nor Prabowo talked about the destructive impacts of capital expansion through trawl fishing, infrastructure projects, and tourism on coastal and fishing communities, despite their claims as the champions of the fisherfolks. It was one of the rare occasions where the livelihood of fishers received national attention, but the debate still overlooked the root cause of the problem.

There is also a glaring omission here: neither of them admitted their connection to extractive and mining industries. A recent study from the Mining Advocacy Network (JATAM) shows that a large proportion of the candidates’ campaign financing comes from big mining and energy companies. One does not have to be conspiratorial to see that the interests of extractive businesses can clearly influence the direction of their future policies – at the expense of the interests of rural citizens.

What to make of this last debate then? We can expect that policies concerning infrastructure and rural development will remain largely the same.

But hope should not be lost. If marginalised rural citizens and their allies in civil society will continue their fight, they can, at the very least, serve as the watchdog for the next government’s environmental and natural resource policies.

Iqra Anugrah is a New Mandala Indonesia Correspondent Fellow. He is also a Research Associate at the Institute for Economic and Social Research, Education, and Information (LP3ES) in Jakarta, Indonesia. He holds a PhD in Political Science and Southeast Asian Studies from Northern Illinois University.

Relevankah Janji & Program Agraria Kedua Capres?

https://tirto.id/relevankah-janji-amp-program-agraria-kedua-capres-dgLV

Pilpres kali ini kembali diwarnai oleh perdebatan dan saling klaim seputar siapa calon presiden yang paling peduli dengan kehidupan wong cilik pedesaan—petani, nelayan, dan segenap masyarakat miskin desa lainnya. Baik Jokowi, capres petahana, maupun Prabowo, capres penantang, sama-sama mencitrakan diri sebagai pemimpin yang pro-kepentingan petani.

Benarkah demikian?

Observasi yang lebih cermat akan menunjukkan bahwa retorika dari kedua capres jauh panggang dari api. Menjelang debat capres kedua pada 17 Februari nanti yang fokus kepada isu-isu energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastuktur, kita perlu melihat tawaran kebijakan agraria dari kedua capres.

Perlu diingat bahwa agraria bukan sekedar persoalan “pertanahan”, melainkan perkara ruang hidup bagi para produsen langsung (direct producers) komoditas pedesaan yaitu buruh tani, petani kecil, petani menengah yang mengalami kerentanan ekonomi, dan masyarakat miskin desa yang bergantung kepada sumber daya pedesaan seperti tanah, ruang, lingkungan, dan berbagai ikatan sosial yang melekat kepada segenap sumber daya tersebut.

Sebelum mengevaluasi proposal kebijakan dari kedua capres, kita perlu lebih seksama melihat kondisi agraria Indonesia. Dalam konteks persoalan agraria, kedua capres sama-sama menghadapi tantangan yang akut dan bersifat struktural: tiga dekade pembangunan desa yang otoritarian selama Orde Baru dan dua dekade ekspansi kepentingan pasar di daerah pedesaan di masa Reformasi. Selama lima puluh tahun itu, persoalan klasik di desa tetap berlangsung: kemiskinan, kesenjangan sosio-ekonomi yang terus meningkat, perampasan lahan dan ruang hidup, serta keterbatasan ruang politik bagi warga desa.

Rekam Jejak Kebijakan Jokowi

Dalam konteks pasca-otoritarian, setidaknya ada lima masalah agraria yang mendesak untuk segera ditanggapi, yaitu 1) ketimpangan struktur penguasaan tanah dan sumber daya pedesaan, 2) investasi skala besar oleh korporasi dan negara di sektor pertanian dan perkebunan yang merampas ruang hidup rakyat, 3) kesenjangan yang terus meningkat di dalam desa dan antara desa dengan kota, 4) instabilitas harga komoditas pertanian, dan 5) penyempitan ruang demokrasi bagi petani dan rakyat pedesaan.

Lima persoalan tersebut bukanlah klaim yang mengada-ada. Sudah banyak berbagai data dan kajian yang mengonfirmasi betapa nyata dan peliknya lima tantangan tersebut.

Sejumlah masalah agraria akut yang kita hadapi saat ini adalah buah dari perubahan struktural di sektor agraria selama beberapa dekade terakhir. Sebagai contoh, dalam kurun waktu 50 tahun (1963-2003) jumlah petani gurem—mereka yang memiliki tanah kurang dari setengah hektar—bertambah dari 44% ke 51%.

Kemudian, investasi skala besar oleh pihak swasta dan negara di area pertanian dan perkebunan terus meningkat. Selama kurun waktu 12 tahun (2000-2012) saja, para investor telah berhasil menguasai 9.5 juta hektar tanah di Indonesia, sebuah angka yang amat fantastis. Salah satu dampak utama dari ekspansi kapital dan kepentingan pasar ke daerah pedesaan ini adalah naiknya angka konflik agraria antara masyarakat dan kepentingan negara dan korporasi di berbagai daerah di Indonesia.

Namun, konflik struktural dan kesenjangan yang bersifat terbuka bukanlah satu-satunya masalah. Kesenjangan sosio-ekonomi di desa-desa dan antara kota dan desa, yang berpotensi menimbulkan sejumlah masalah, juga semakin meningkat. Kondisi tersebut juga diperparah oleh ketidakstabilan harga komoditas pertanian, mulai dari komoditas pangan seperti beras hingga komoditas ekspor seperti karet. Banyak warga desa adalah konsumen alih-alih produsen beras. Dalam perbincangan dengan keluarga tani yang saya temui ketika melakukan riset lapangan, mereka juga mengeluhkan naiknya harga ongkos produksi beras dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Masalah lain yang juga tak kalah mengkhawatirkan adalah penyempitan ruang demokrasi bagi petani dan rakyat pedesaan. Semakin tersedianya saluran partisipasi politik formal dan meningkatnya mobilisasi massa oleh para petani dan pegiat gerakan agraria pasca-Reformasi juga dibarengi oleh masifnya upaya kriminalisasi dan intimidasi kepada rakyat pedesaan dan aktivis agraria dengan sejumlah dalih dan fitnah.


Melalui perspektif inilah tawaran kebijakan dari masing-masing capres seharusnya bisa dievaluasi. Dengan kata lain, kita harus lebih kritis menguliti jargon-jargon nasionalistis dan populis dari kedua kubu capres dan menilai sejauh mana solusi yang mereka tawarkan akan menyasar lima persoalan tersebut.

Kita mulai dari kubu petahana. Jejak rekam administrasi Jokowi dalam menangani persoalan agraria dalam periode pertamanya boleh dibilang mengecewakan. Dukungan dan antusiasme yang begitu masif dari elemen-elemen masyarakat sipil selama proses pencalonan dan di masa-masa awal kepresidenannya gagal mendorong Jokowi untuk melawan kepentingan elit-elit oligarkis di sektor agraria dan perkebunan, serta mempromosikan kebijakan-kebijakan agraria yang lebih progresif.

Dalam banyak hal, kebijakan agraria Jokowi sedikit banyak hanya meneruskan kebijakan agraria Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terlampau fokus kepada upaya sertifikasi legal atas tanah-tanah rakyat (untuk kebijakan sertifikasi tanah di masa kepresidenan SBY, lihat misalnya disertasi ini). Dalam lima tahun kepresidenannya, Jokowi menggunakan tiga instrumen kebijakan untuk mengatasi persoalan agraria, yaitu sertifikasi tanah, perhutanan sosial, dan dana desa.

Repotnya, ada sejumlah masalah dengan ketiga instrumen kebijakan tersebut. Pertama, sertifikasi tanah memang memberi kepastian hukum tentang kepemilikan tanah bagi banyak rumah tangga tani, tetapi sertifikasi tanah juga berpontensi untuk membuka jalan bagi komodifikasi tanah—proses transaksi jual-beli tanah yang cenderung menguntungkan korporasi dan negara dan kemudian melemahkan posisi petani dan masyarakat pedesaan.

Kedua, skema kebijakan sertifikasi tanah dan perhutanan sosial juga tidak menyasar salah satu akar persoalan dari permasalahan agraria di Indonesia, yaitu proses perampasan lahan oleh pihak negara dan swasta dengan dalih “kepentingan umum” dan “konservasi” yang telah berlangsung sejak dekade 1970-an.

Ketiga, sebagaimana telah dibahas oleh Muhtar Habibi dalam artikelnya di Tirtobaru-baru ini, dana desa yang digadang-gadang dapat mengatasi persoalan kemiskinan pedesaan nyatanya rawan dimanipulasi oleh segelintir elit desa demi kepentingan golongannya saja.

Kemudian, pemerintahan Jokowi juga tidak menunjukkan itikad dan usaha yang jelas untuk menekan laju investasi skala besar terutama di sektor-sektor ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan yang hanya menguntungkan segelintir elit serta dan menimbulkan dampak sosio-ekologis negatif yang begitu besar bagi masyarakat.

Pemerintahan Jokowi pun tidak mencegah upaya-upaya kriminalisasi dan penyempitan ruang demokrasi bagi masyarakat dan pegiat agraria yang memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pemerintahan Jokowi turut berkontribusi memperburuk permasalahan agraria yang ada melalui berbagai proyek pembangunan infrastrukturnya.

Prabowo-Sandi Bagian dari Masalah

Bagaimana dengan kubu Prabowo-Sandi? Kubu oposisi menggarisbawahi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia, mengkritik kebijakan infrastruktur dan agraria Jokowi, mengurangi impor pangan, dan mempromosikan ekonomi terbarukan dan aplikasi teknologi di bidang pertanian? Tetapi, apakah benar janji kubu penantang memang semanis itu?

Sejauh amatan saya, usulan-usulan dari kubu oposisi masih cenderung sloganistik.

Ada beberapa pertanyaan penting yang harus ditujukan ke kubu Prabowo-Sandi. Misalnya bagaimana memastikan bahwa proses moratorium Hak Guna Usaha (HGU)—yang sering dipakai oleh korporasi-korporasi untuk melanggengkan kontrol mereka atas tanah rakyat—dapat dijalankan, apalagi moratorium atas HGU yang diberikan kepada rekan-rekan politik dan bisnis mereka sendiri?

Kemudian, jika kubu Prabowo-Sandi ingin mengurangi impor pangan, maka instrumen kebijakan apa yang perlu diambil untuk memastikan ketersediaan pangan? Pada saat bersama, bagaimana menjaga stabilitas harga komoditas pangan bagi para produsen?

Prabowo-Sandi juga mengklaim akan mempromosikan energi terbarukan dan aplikasi teknologi di bidang pertanian. Namun, solusi yang mereka tawarkan cenderung teknis dan teknokratis, abai dengan realitas sosial dan ketimpangan relasi kuasa di pedesaan yang sangat berurat-akar.

Dalam foreign media briefing kubu pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 yang saya hadiri baru-baru ini, tim Prabowo-Sandi mengatakan bahwa mereka akan mempromosikan sejumlah skema inovatif di kedua bidang tersebut, misalnya perkebunan aren, aplikasi teknologi terbaru di bidang pertanian, dan promosi partisipasi anak muda di sektor ekonomi pedesaan.

Tapi, saya tidak mendapat gambaran yang jelas mengenai bagaimana investasi di bidang perkebunan aren dapat dilakukan dan dikontrol secara demokratik oleh buruh pengumpul getah aren—apakah melalui organisasi rakyat seperti serikat buruh, koperasi, dan kelompok usaha? Atau lewat investasi skala besar yang justru berpotensi untuk mereproduksi ketimpangan sosial di pedesaan?

Pertanyaan lain yang juga tidak terjawab adalah bagaimana memastikan aplikasi teknologi di bidang pertanian dapat dilakukan secara bertahap sehingga tidak membuat tenaga kerja pertanian di pedesaan—ibu-ibu petani, yang peranannya rentan tergantikan oleh aplikasi teknologi baru—kehilangan mata pencarian?

Yang juga tak kalah penting, saya masih bertanya-tanya sejauh apa kubu Prabowo-Sandi akan berkomitmen kepada promosi ruang demokrasi di pedesaan dan pembatasan jenis-jenis investasi yang merampas ruang hidup rakyat desa?

Ada dua fakta yang perlu dipertimbangkan di sini. Prabowo aktif terlibat dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), sebuah organisasi desa bentukan Orde Baru yang awalnya dibentuk untuk mengekang ekspresi politik warga desa. Sementara Sandiaga punya kepentingan besar dalam industri ekstraktif.

Sangat wajar apabila banyak elemen di gerakan agraria dan masyarakat sipil tetap skeptis dengan komitmen kubu oposisi terhadap demokrasi politik dan ekonomi bagi rakyat desa.

Menariknya, kedua calon presiden dan wakil presiden ini sama-sama mengabaikan satu prasyarat menuju perubahan agraria yang fundamental: bahwa keadilan agraria hanya akan tercapai melalui upaya untuk melawan ketimpangan agraria melalui redistribusi—dengan kata lain, reforma agraria dalam artian yang sebenarnya—yang didukung oleh upaya advokasi dan mobilisasi politik yang mandiri dan kuat oleh rakyat desa sendiri.

Bagaimana dengan respon dari masyarakat sipil, terutama menanggapi dinamika politik agraria selama lima tahun terakhir? Sejauh penelitian doktoral saya berlangsung, saya menemukan organisasi-organisasi tani dan pegiat gerakan sosial di bidang agraria cenderung terfragmentasi. Akibatnya, kita tidak punya satu posisi alternatif bersama yang dapat digunakan untuk melawan diskursus dominan dari negara dan pasar.

Berbagai eksperimen politik yang dilakukan oleh beberapa organisasi dan individu pegiat agraria, misalnya memasuki institusi negara sebagai birokrat, berpartisipasi dalam forum yang cenderung didominasi diskursus neoliberal dan pro-pasar seperti Global Land Forum (GLF), dan keikutsertaan dalam kontestasi elektoral di tingkat lokal belum membuahkan hasil yang signifikan. Sejumlah eksperimen tersebut bahkan menunjukkan kenaifan dan sampai tingkat tertentu justru memperlihatkan oportunisme politik dari gerakan agraria itu sendiri.

Inilah catatan yang perlu diperhatikan para capres dan publik Indonesia menjelang debat kedua. Keadilan agraria dan kesejahteraan bagi rakyat desa hanya akan bisa dicapai melalui gerakan agraria yang demokratik, solid, dan militan—alih-alih sekadar mengekor dan menitipkan agenda ke tangan elite politik.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

 

Panel on Methods for the 7th JAI Symposium

I am co-organizing a panel with Gde Metera from Northwestern University for the upcoming 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia at Gadjah Mada University in Yogyakarta in July this year. So far we have five panelists, including Gde and myself, but we welcome more submissions from interested panelists. More info on the panel and the submission process can be found here. I copy the panel abstract here for your reference:

“Beyond Disciplinary Diversity and Debates in Parallel Universes: Anthropology and Political Science in Conversation”

Coordinator: Gde Dwitya Arief Metera (Northwestern University) & Iqra Anugrah (New Mandala)

An enduring critique of the phenomenon of disciplinary diversity, nay fragmentation, in social sciences and humanities is one regarding the lack of conversation across the boards. Disciplinary boundaries render disciplines at times impervious to interdisciplinary borrowings and innovations. This situation severely hampers accumulation of knowledge and often led scholars into “debates in parallel universes” (Robison 2016). Anthropology and Political Science are no exception: tension exists between these disciplines resulting in, for instances, marginalization of ethnographic method within political scientists’ methodological toolkit (Bayard de Volo & Schatz 2004, but see Laitin 1998) as well as uneasiness on the part of anthropologists regarding social science’s claim on causal inference and its generalizability. And yet there always seem to be leading maverick scholars in Anthropology and Political Science successfully breaking disciplinary straitjacket to produce exemplary works cherished in both disciplines. To mention a few, some leading anthropologists have interrogated the state (Gupta 2012), explored the practice of governmentality (Li 2007), traced democratic transition (Hefner 2000), or charted the topography of globalization (Appadurai 1996, Tsing 2005).

Similarly, there are also political scientists utilizing ethnographic method to study peasant resistance (Scott 1979, 1985, 1990), understand the poetics of power (Weeden 1999), or claim meaning embedded in commodities as a causal factor driving mobilization (Simmons 2016; Wood 2003), all the while generally claiming how meaning-making can be a powerful independent variable. In addition, a methodological literature on how to wed Anthropology and Political Science as disciplinary practices or how to craft causal inference using ethnography begin to emerge (Aronoff & Kubik 2013, Aronoff 2006, Katz 2001, 2002, Schatz 2009). Thus, this panel aims at starting a conversation between political scientists and anthropologists working on Indonesia taking stock of issues pertaining to possible interdisciplinary engagements. The set of questions to be explored includes but is not exclusively limited to the following: (i) What are the objections regarding disciplinary practices from both disciplines that could possibly hamper mutual interdisciplinary engagements? (ii) What are the most fruitful areas of conceptual, theoretical, and methodological intersections between the two disciplines that inform practitioners and benefit their research? (iii) Are there examples of current works from actual practitioners—political ethnographers or political scientists drawing from ethnographic methodological toolkit—conducting research from which we can draw lessons regarding challenges and possibilities?

Our panel invites papers that explore questions and concerns above. We also welcome papers presenting results of studies utilizing conceptual, theoretical, and/or methodological innovations borrowed from both Political Science and Anthropology.