Bencana, Jepang, dan Kita

Bencana, Jepang, dan Kita

OLEH INDOPROGRESS ⋅ MARET 24, 2011 ⋅ TINGGALKAN KOMENTAR

Iqra Anugrah

Iqra Anugrah
Iqra Anugrah, Kandidat Master di Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University. Tinggal di Jepang Selatan. 

http://indoprogress.com/2011/03/24/bencana-jepang-dan-kita/

HARI JUMAT,  11 Maret 2011, tak ubahnya seperti hari biasa. Selepas menunaikan ibadah shalat Jumat, saya dan beberapa teman melanjutkan hari dengan makan siang. Saya kemudian pergi ke kampus, untuk segera dikejutkan dengan serentetan berita dan pemberitahuan dari teman-teman mengenai gempa dan tsunami di daerah Tohoku, di Utara Jepang.

“Ada gempa dan tsunami di Miyagi, Sendai, dan sekitarnya”

“Yang benar?”

“Ya! Coba cek internet”

Melalui koneksi internet dari telepon seluler, kami menyaksikan bencana dari kejauhan yang kurang lebih berkisar antara 1000-1500 km. Tak ada yang menyangka bahwa Beppu, kota kecil di ujung Selatan Jepang yang terletak di pulau Kyushu bisa menjadi salah satu tempat teraman dan tertenang di satu Jepang.

Dampak bencana itu begitu dahsyat. Gempa dengan kekuatan 8,9 magnitude itu menggoncang Jepang. Tidak hanya itu, tsunami juga melalap dan meratakan apapun yang dilewatinya, mulai dari daerah pemukiman, gedung-gedung, hingga fasilitas umum. Dalam selang waktu yang tidak begitu lama, ada banyak kekhawatiran mengenai kerusakan dan kebocoran instalasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Fukushima.

Menanggapi rangkaian bencana ini, respon dari masyarakat Jepang dan komunitas internasional pada umumnya begitu luar biasa. Begitu derasnya ekspresi solidaritas, keprihatinan, dan simpati dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar Jepang, dari segenap elemen masyarakat. Kami yang kebetulan tidak terkena dampak bencana dan baik-baik saja, juga memutuskan untuk membuat posko dan mengunpulkan donasi seadanya untuk kemudian dikirimkan ke pihak berwenang seperti kedutaan besar republik Indonesia (KBRI) dan Japanese Red Cross Society.

Menanggapi Bencana

Di tengah-tengah pemberitaan media luar dan tanah air yang tidak berimbang dan berlebihan mengenai mitigasi dan penanganan bencana di Jepang, ada arus energi positif yang begitu besar. Melampaui sekat-sekat primordialitas, afiliasi politik, etnisitas dan kewarganegaraan, dan kepentingan-kepentingan jangka pendek, pemerintah dan warga Jepang serta berbagai komunitas warga asing di Jepang, saling bahu-membahu membantu para korban. Gelombang solidaritas yang begitu besar terus berkembang, baik di dalam maupun luar Jepang, offline maupun online, menyebarkan doa, harapan dan semangat. Ada satu fakta yang sangat dicamkan oleh orang-orang Jepang, bahwasanya mereka hidup berdampingan dengan bencana, dan karenanya diperlukan penanganan yang tepat.

Selain didukung oleh “resep klasik” infrastruktur, kebijakan, dan penguasaan sains dan teknologi yang baik, mitigasi dan manajemen bencana di Jepang tidak lepas dari kuatnya dan bangkitnya nilai-nilai solidaritas sosial a la Jepang, yang kurang lebih dapat diintisarikan dalam tiga prinsip, yaitu solidaritas, altruisme, dan ganbaru, sebuah istilah khas Jepang, yang agak susah untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, namun dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “semangat berjuang”. Kita mengenal Magna Charta dan Habeas Corpus sebagai dokumen penting di peradaban Barat. Dalam konteks Jepang, dokumen yang menjadi landasan politik kewargaan dan solidaritas sosial Jepang, menurut Nitobe Inazo, salah seorang diplomat dan pemikir kenamaan Jepang, adalah Bushido.

Cerita-cerita heroik dan mengharukan tentang segerombolan anak yang membagikan makanan dan permen bagi para pengungsi dan warga yang memerlukan, para kepala desa yang terpaksa harus meregang nyawa demi menyelematkan warganya, hingga kerelaan orang-orang untuk tetap mengantri demi mendapatkan makanan dan berbagai bantuan serta fasilitas lainnya, menunjukkan bagaimana etika Bushido tetap hidup sebagai pedoman politik kewargaan, untuk bersama bangkit, maju bersama komunitas dengan kaki dan usaha sendiri. Tidak heran jika kemudian PM Naoto Kan sudah mendeklarasikan kebijakan “New Deal” atau percepatan perkembangan ekonomi melalui rekonstruksi pasca bencana. Tentu nilai-nilai Jepang bukanlah yang paling sempurna, begitu banyak kritisisme yang dapat ditujukan kepada kondisi Jepang kontemporer, mulai dari tafsir apologetik akan sejarah kelam militerismenya, kurangnya progresivitas politik, hingga lesunya ekonomi. Namun demikian, begitu banyak hal-hal yang kita bisa pelajari dari Jepang, terutama sekali dalam masa berkabung dan keprihatinan pasca bencana, yang merupakan momentum bagi Jepang untuk merefleksikan diri demi merajut masa depan.

Momen Kontemplasi

Politik kewargaan Jepang yang didasarkan atas solidaritas, altruisme, dan kepercayaan publik terhadap sesama anggota komunitas seakan-akan menegur kita. Ada sebuah ancaman besar yang hidup bersama mereka, dan Jepang berhasil menjadikan ancaman itu sebuah pedoman bagi kehidupan publik, yang diterjemahkan di berbagai lini mulai dari pendidikan, sains dan teknologi, kebijakan, infrastruktur, dan lain-lain. Tidak ada liputan-liputan televisi yang berlebih-lebihan dan mendayu-dayu, diiringi dengan lagu-lagu sedih, ataupun pendapat-pendapat yang berisi dogma-dogma, takhayul-takhayul, maupun penafsiran-penafsiran yang sepihak dan tidak perlu.

Hal ini begitu kontras dengan kita, yang masih berkutat dan terjerembab di lubang yang sama, mulai dari isu kebebasan beragama, hiruk-pikuk media, kesenjangan sosial, hingga keamanan. Indonesia 2011 tidak kalah mirip dengan Jepang di era 1920-an, ketika militerisme dan fundamentalisme menguasai diskursus publik.

Tak sedikit dari kita yang masih berani untuk “bermain Tuhan,” mengaitkan-ngaitkan bencana sebagai bentuk karma dengan masa lalu dan “kemaksiatan” Jepang. Tak sedikit yang menganggap bencana ini adalah “hasil konspirasi Amerika,” meskipun jumlah korban semakin meningkat tiap harinya. Seakan-akan ingin turut menambah keruh persoalan, Gubernur Tokyo, Ishihara Shintaro, seorang politisi sayap kanan, juga menganggap bahwa tsunami kali ini adalah “divine punishment” hukuman dari langit untuk menghapus dosa-dosa dan egoisme bangsa Jepang. Ingin rasanya saya mengelus dada dan menghela napas, seraya menangadahkan muka ke langit dan berkata “Tuhan, kapan kita bebas dari kebencian?”

Membangkitkan kembali politik kewargaan

Deretan bencana di Jepang menyadarkan peran kita sebagai anggota komunitas. Lebih penting lagi, solidaritas dan modal sosial yang kembali hidup dan bangkit pasca bencana menunjukkan bahwa masih ada kesempatan bagi politik kewargaan yang berdasarkan pada nilai kebersamaan, kesetaraan, dan kepercayaan.

Dalam konteks Jepang, perubahan sosial-politik pasca bencana akan sangat menarik untuk di lihat. Di parlemen dan eksekutif, Partai Demokrat Jepang atau DPJ mendapat pelajaran yang berharga sebagai pemain baru di politik Jepang sekaligus momentum untuk menunjukkan kredibilitas dan komptensinya. Dalam tataran yang lebih luas, ini membuka peluang bagi gerakan-gerakan progresif di Jepang untuk menguatkan posisi tawar warga negara dalam menantang institusionalisasi, kemapananan, dan rigiditas diskursus politik Jepang dan mengedepankan agenda-agenda perubahan.

Bagi kita, ini adalah sebuah pesan untuk bertindak nyata sebagai concerned citizens of the world, untuk bangkit dari kursi empuk, meninggalkan kamar ber-AC, dan cuti sejenak dari kegiatan online kita untuk meningkatkan modal sosial dan menyegarkan kembali politik kewargaan, khususnya di tanah air. Di saat kecemasan melanda, di saat itulah harapan dan aksi nyata justru akan tumbuh, yang semakin menunjukkan bahwa sesungguhnya kemanusiaan itu melintasi dan tidak memiliki batas.***

Kepustakaan:

Buruma, Ian. (2011, March 19). Japan’s Shattered Mirror. Wall Street Journal. Retrieved from http://online.wsj.com/article/SB10001424052748703818204576206550636826640.html

Kyodo News. (2011, March 14). Restoration after quake disaster could create ‘New Deal’ demand: Kan. The Japan Times. Retrieved from http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/nn20110314x2.html

Kyodo News. (2011, March 15). Ishihara apologizes for ‘divine punishment’  remark. The Japan Times. Retrieved from http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/nn20110315x7.html

Nitobe, Inazo. (1969). Bushido, the Soul of Japan. Rutland, Vermont: Charles E. Tuttle Company.

The Politics of Heresy

http://www.global-politics.co.uk/blog/2011/03/05/heresy/

The Politics of Heresy

Let’s take a rest from talking about the revolution. While the Arab Peninsula is now experiencing a series of demonstrations demanding for greater political and social reforms, what has happened in Indonesia in the last couple of weeks seems to deserve attention.

In this world’s biggest Muslim nation which embarks upon the path of democracy, three threats on interfaith tolerance have just occurred. First, in Pandeglang, Banten, the attack on the Ahmadiya community has caused at least three deaths and several injuries. Second, just a couple of days after the Ahmadiya incident, three churches in Temanggung, Central Java were attacked and destroyed by angry mobs during a blasphemy trial. Third, Pondok Pesantren YAPI, a Shiite Islamic boarding school in Pasuruan, East Java was also attacked by an unknown group of assailants.

These cases clearly are a setback upon pluralism and further democratization of Indonesia. These religious minorities are part and parcel of Indonesian society, meaning that they have been a part of community and contributed significantly as members of society. The problem comes when due to the major differences in doctrines and religious interpretations, some of these groups, such as the Ahmadis, are considered as heretics. Using this “heresy” issue, a significant number of politicians and public officials use this opportunity to declare Ahmadiya as heretics, and thus, legitimize calls for the banning of its teaching and propagation activities. One of the major initiators of this proposal is Religious Affairs Minister and Chairman of the Islamist Party PPP, Suryadharma Ali. At local level, this plan has been endorsed by the Governor of East Java, Soekarwo, through a Governor’s Decree which outlaws the spread of Ahmadiya ideas and the usage of Ahmadi symbols, especially in mosques and educational institutions.

This politicization of heresy is supported by the President’s indecisiveness and lack of leadership in upholding religious freedom even for those who are considered as heretics. This risk-averse attitude explains why President Yudhoyono’s government leaves the matters now to the lower-ranking officials at local level. A rising rate of violent activity, especially towards religious minorities committed by Islamic fundamentalist groups such as the Islamic Defender Front (FPI) and others has jeopardized the President’s credibility. Indeed, the FPI has staged a number of protests and gatherings to demand the prohibition of Ahmadiya teachings and usage of Islamic symbols and even gone as far as threatening to wage a ‘revolution’ if the government does not disband the Ahmadiya. The Indonesian Council of Ulemas or MUI’s fatwa (religious edict) on the heretic elements of Ahmadiya’s religious principles in 1980s has also triggered a series of violent actions towards the Ahmadis. A number of MUI’s branches in some provinces, cities, and regencies have even asked the local government to assist in banning Ahmadi teachings.

Surprisingly, East Java’s branch of Nahdlatul Ulama (NU), a moderate Islamic mass organization which is famous as a bastion of moderation and tolerance and a home for many progressive Islamic intellectuals recently declares its support for East Java’s Governor Decree on the banning of Ahmadiya teachings and its dissemination. In the beginning of March, another demonstration organized by the Islamic Community Forum (FUI) at the heart of Jakarta also demands the government to dissolve the Ahmadiya despite the fact that the Ahmadi community in Indonesia (JAI) has been registered as a legal organization since a long time ago.

It is an alarming fact that this conservative rhetoric has reached even moderate organizations such as the NU and some politicians and MPs who even come from secular parties. Putting aside the debates on heresy and legal process of the three incidents, there have been some allegations regarding recent attacks and political powwows in response to these incidents. Some suspicions are addressed towards the attacks which happened all of a sudden and in a relatively short period of time (three incidents in a month). Furthermore, further political moves by FPI, other Islamic fundamentalist groups and some politicians have attracted many inquiries from the citizens in general. In the commemoration on NU’s 88th Anniversary Seminar in East Java, FPI Chairman, Habib Rizieq and Chairman of the secular Golkar Party, Aburizal Bakrie said that they feel ‘at home’ and ‘secure’ in NU community. The seminar, interestingly, was also attended by some other party cadres such as Anas Urbaningrum from the incumbent Democrat Party and KH Noes Iskandar SQ from the Islamist PPP. In the latest news report, FPI’s Chairman Habib Rizieq and some other representatives from the organization have entered the Presidential Palace to have a discussion with President Yudhoyono and other high-ranking state officials, such as Religious Affairs Minister Suryadharma Ali, Internal Affairs Minister Gamawan Fauzi, and Head of Jakarta Metropolitan Police Sutarman.

Judging from the current political situation, a political-economic analysis might be needed. A fluid and unpredictable coalition pattern of political parties along with the use of political violence and paramilitary groups in politics and the attempt to gain Islamic and populist credentials through the anti-Ahmadiya campaign are some perspectives that may help in seeing things more clearly. A better understanding of the political-economic nexus behind these political thugs like the FPI will explain who initiates these groups, what the real purposes behind them are, and whom the targets of this violent operation are. Since the state is now silent to debunk these mysteries, it is a primary task for civil society activists and concerned citizens to reveal the truth.

*Iqra Anugrah is a Master student at Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan. He is actively involved in a number of student movements.

Posted on March 5, 2011

Neoliberalisme di Asia: Antara Mitos dan Realitas

Neoliberalisme di Asia: Antara Mitos dan Realitas

OLEH INDOPROGRESS ⋅ MARET 1, 2011 ⋅ TINGGALKAN KOMENTAR

Iqra Anugrah

Iqra Anugrah
Iqra Anugrah, Kandidat Master di Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang. 

http://indoprogress.com/2011/03/01/neoliberalisme-di-asia-antara-mitos-dan-realitas/

PERTUMBUHAN, kemajuan, dan inovasi. Kata-kata ini seakan-akan menggambarkan citra Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara, dalam pentas politik dan ekonomi global. Disebut-sebut sebagai kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, Asia menjadi salah satu penggerak transaksi ekonomi global dan berbagai aktivitas trasnasional lainnya. Berbagai klaim atas kemajuan di Asia, seringkali dialamatkan kepada kebijakan ekonomi yang pragmatis dan “nilai-nilai Asia” (Asian Values). Penjelasan triumfalisme Asia ini kembali menghangat setelah Kishore Mahbubani (2008) menulis bahwa kebangkitan Asia juga merupakan kebangkitan peradaban non-Barat (The Rise of the Rest), yang berdasarkan kepada pragmatisme Asia dalam menghadapi tantangan global. Meskipun penafsiran ini dapat menggambarkan perkembangan taraf sosio-ekonomi dan posisi strategis global Asia, pembacaan ini cenderung simplisitik dan karenanya diperlukan suatu analisa yang lebih komprehensif

Dengan demikian,  pengujian kembali terhadap tesis-tesis ini diperlukan karena Asia sebagai sebuah entitas, meskipun memiliki banyak pencapaian, tidak lepas dari berbagai masalah. Berbagai macam survei, laporan, dan berita menunjukkan bahwa Asia masih merupakan salah satu ladang subur kemiskinan, kesenjangan, dan otoritarianisme. Kelesuan ekonomi Jepang, kebangkitan Cina, meningkatnya persaingan geopolitik dan keamanan serta arus demokratisasi semakin menambah kompleksitas Asia. Di tengah-tengah arus perubahan ini, neoliberalisme tetap bertahan sebagai sebuah pedoman bagi pemerintahan negara-negara dan regional order di Asia. Dominasi Neoliberalisme di Asia pada akhirnya berujung pada dua pertanyaan: bagaimana Neoliberalisme bekerja dan memengaruhi diskursus politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Asia dan bagaimana masa depan Neoliberalisme di Asia?

Apa itu Neoliberalisme?

Kesenjangan dan kontradiksi di Asia, muncul disebabkan oleh dominasi logika transnasionalitas dan logika pasar dalam dimensi politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dominasi ini seringkali menaklukkan otoritas negara-bangsa (nation-state) dan memarginalisasikan konsep lokalitas dan nilai-nilai lokal. Atas nama globalisasi dan kemajuan ekonomi, hasrat untuk mengundang arus kapital dan investasi menjadi panglima yang menuntut baik negara dan masyarakat untuk beroperasi menurut diskursus tersebut, yaitu Neoliberalisme, yang dapat diartikan sebagai free-marketism atau dominasi pasar bebas dan ekonomi laissez-faire sebagai suatu pandangan yang mendikte struktur pemerintahan dan hubungan internasional dalam suatu kawasan. Pengertian Neoliberalisme di sini, tidak hanya merujuk kepada konteks filsafat dan politik-ekonominya, tetapi juga merujuk kepada aspek sosiologis dan historisnya, yang sedikit banyak memengaruhi tata pemerintahan di Asia.

Berdasarkan asumsi-asumsi dasar bahwa manusia dan institusi adalah agen rasional yang bergerak berdasarkan logika pasar yang murni, Neoliberalisme pada dasarnya memimpikan suatu utopia di mana efisiensi mekanisme pasar menjadi dasar dari segala aktivitas politik, ekonomi, dan sosial. Sosiolog kenamaan asal Perancis, Pierrer Bourdieau (1998) mengkritisi utopia ini sebagai sekedar sebuah fiksi matematis yang alih-alih mendasarkan klaim-klaimnya pada pembacaan yang objektif atas kondisi riil masyarakat, utopia ini malah dibangun atas dasar-dasar yang abstrak. Lebih lanjut lagi, Thorsen (2009) dalam penjelasannya mengenai Neoliberalisme menyatakan, Neoliberalisme secara esensial memiliki fitur-fitur yang berbeda dengan Liberalisme modern dikarenakan oleh penekanannya pada mekanisme pasar yang sedikit atau tidak teregulasi sebagai pedoman yang utama dan menyeluruh bagi kehidupan publik.

Lalu, seperti apa mitos dan realitas neoliberalisme ini? Berikut ini beberapa contohnya:

Mitos 1: Neoliberalisme membawa kesejahteraan, keterbukaan dan perubahan

Realitas: Neoliberalisme meningkatkan kesenjangan dan justru melanggengkan kecenderungan otokratik pada sistem politik-ekonomi yang ada

Neoliberalisme (dengan huruf ‘N’ besar), selain dijadikan panduan kesuksesan ekonomi dan legitimasi politik berbagai rejim pemerintahan di Asia yang cenderung semi-demokratik, iliberal, atau otoriter, juga banyak dikritisi sebagai penyebab jatuhnya Asia ke dalam jurang Krisis Finansial 1998 dan merebaknya kebijakan publik yang kurang demokratis dan kurang peka terhadap permasalahan sosial, seperti pemangkasan anggaran sosial, kontrol terhadap serikat buruh, dan pengurangan intervensi pemerintah dalam ekonomi (Crotty & Dimsky, 1998; Hart-Landsberg, 2002). Neoliberalisme mengklaim, dengan memberikan komando politik dan ekonomi kepada pasar bebas maka kesejahteraan, keterbukaan, dan perubahan dapat digaransi. Namun demikian, ada beberapa fakta yang menarik bahwa janji-janji ini seakan-akan hanyalah bentuk lain dari “kesuksesan statistik” belaka.  Program restrukturisasi ekonomi a la IMF, Bank Dunia, dan institusi keuangan global lainnya, seperti relaksasi kontrol kapital oleh negara justru semakin menambah masalah baru, seperti yang terjadi di Indonesia dan Korea Selatan. Kesenjangan dalam standar hidup dan level sosio-ekonomi masyarakat semakin melebar dikarenakan kurang atau ketiadaan program-program sosial terutama di sektor kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Tidak hanya itu, kecenderungan otokratik dan koruptif pada sistem politik-ekonomi yang ada justru semakin langgeng. Tidak heran jika kartunis politik asal Meksiko, El Fisgon (2005) mengkritisi visi Neoliberal sebagai jauh panggang dari api. Indikator-indikator ekonomi secara makro ternyata tidak (pernah) cukup untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi di masyarakat.

Mitos 2: Neoliberalisme dapat bersanding mesra dengan retorika nilai-nilai Asia

Realitas : Neoliberalisme memanipulasi komunitarianisme Asia demi lancarnya arus kapital

Ada sebuah fakta yang menarik bahwa rejim neoliberal di Asia bekerja di bawah panjí “nilai-nilai Asia” yang berbasis komunitarianisme, baik itu Konfusianisme, Islam, dan lain-lain. Ironisnya, melalui slogan-slogan komunitarian inilah, rejim pembangunan otokratik (developmental state) menerapkan segenap agendanya yang berupa gabungan antara pendekatan liberal demi ekonomi pasar bebas transnasional dan pendekatan konservatif terhadap hak-hak sipil dan politik, atau disebut juga sebagai conservative free-marketism. Vedi Hadiz (2006) mengungkapkan bahwa meskipun retorika Asian Values seringkali dijadikan simbol perlawanan oleh para elit pemegang kekuasaan dan modal di Asia, pada kenyataannya kebijakan Neoliberal justru dipraktekkan oleh para elit di masing-masing negara tempat mereka berkuasa.

Lebih lanjut lagi, secara etnografis, hegemoni neoliberalisme dapat dilihat pada studi kasus Katharyne Mitchell (2004) tentang komunitas diáspora Hong Kong di Vancouver, Kanada, yang selain bermigrasi ke Kanada juga membawa sejumlah kapital yang cukup besar. Migrasi manusia dan kapital ini mengakibatkan perubahan pada lanskap sosial kota Vancouver, yang ditandai dengan menjulangnya gedung-gedung pencakar langit dan menyebarnya rumah-rumah megah yang disebut “rumah monster.” Migrasi dan perubahan lanskap sosial ini menyebabkan ketegangan antara warga Kaukasian, yang merupakan mayoritas di Kanada (White Canadians), yang menjunjung nilai-nilai liberalisme sosial yang bertumpu pada solidaritas dan kesetaraan dan pihak pemerintah yang didukung oleh asosiasi bisnis, akademisi, dan birokrasi yang memandang bahwa memastikan arus kapital dan daya saing dalam arus ekonomi global adalah keharusan sesuai semangat neoliberalisme. Pertentangan diskursus ini tercermin dalam manajemen dan konflik tata kota yang diwarnai oleh berbagai sentimen, dari kelas hingga etnisitas.

Dalam kaitannya dengan neoliberalisme, komunitarianisme Asia ibarat pepesan kosong, karena nilai-nilai yang dianggap identik dengan semangat komunitarianisme seperti solidaritas sosial, toleransi atas perbedaan dan keragaman serta penghargaan terhadap komunitas semakin tergerus oleh neoliberalisme.

Mitos 3: Neoliberalisme melemahkan kuasa negara-bangsa

Realitas: Negara-bangsa tidak melemah, melainkan bertransformasi dan memperkuat dirinya sesuai dengan logika neoliberal

Salah satu perdebatan terhangat mengenai Neoliberalisme adalah menafsirkan bagaimana Neoliberalisme memengaruhi negara dalam arus transnasionalitas. Kolumnis The New York Times Thomas Friedman (2005) dan ideolog Neokonservatif Francis Fukuyama (1992) menyatakan,  globalisasi (neoliberal) akan memudarkan batas-batas antar negara, membuat dunia datar (the world is flat), yang merupakan akhir dan puncak dari sejarah peradaba manusia (the end of history). Dalam nafas yang sama, meskipun memakai pradigma yang berbeda, dua pemikir kiri kontemporer, Michael Hardt dan Antonio Negri (2000) dalam Empire menafsirkan bahwa negara akan tunduk mengikuti arus kapital global. Bagi Hardt dan Negri, globalisasi neoliberal adalah kancah pertarungan antara kedaulatan modern yang ‘transedental,’  yang terpusat pada kekuasaan sang Pangeran (The Prince), yang ekuivalen dengan otoritas negara dalam berbagai bentuknya di konteks modern, vis-a-vis arus kapital yang ‘imanen’ yang menerjang batas-batas artifisial negara dan kedaulatan. Meskipun pada dasarnya kekuasaan negara dan kapital berpadu mesra pada awal perkembangannya, evolusi kuasa negara dari sekedar kedaulatan nasional (sovereignty) menjadi governmentalitas (governmentality) atau mekanisme untuk mengontrol warga negara menjadi titik mula perceraian dan konflik antara kedaulatan modern versus arus kapital transnasional yang mendikte kedaulatan dan melampaui batas-batas negara.

Sebaliknya, Aihwa Ong (2006), seorang antropolog terkemuka asal Asia Tenggara, berpendapat bahwa kapitalisme neoliberal tidaklah serta-merta melemahkan otoritas negara. Negara, dalam pandangan Ong, tidaklah melemah, melainkan menjadi semakin kuat karena ia bertransformasi dalam menghadapi transnasionalisme berdasarkan logika neoliberal. Dengan demikian, neoliberalisme, menurut Ong, adalah sebuah pengecualian (neoliberalism as exception) yang menjustifikasi berbagai praktek kekuasaan dan tata negara demi lancarnya arus kapital global ke dalam negara-bangsa. Praktek kekuasaan ini dijuluki sebagai graduated sovereignty, sebuah konsep pemerintahan yang menerapkan berbagai teknologi, dalam paradigma Foucaldian atau mekanisme inklusi dan eksklusi, memberi akses dan keuntungan dan juga membatasi akses tersebut terhadap sebagian kelompok dalam populasi suatu negara-bangsa. Kontrol militer atas aktivitas serikat buruh di Indonesia, promosi Islam Hadhari sebagai bukti kompabilitas nilai-nilai Asia dengan kapitalisme global, suka duka buruh migran perempuan, hingga berbagai zona ekonomi spesial di China dan Hong Kong adalah beberapa contoh bagaimana graduated sovereignty telah berhasil membawa developmentalisme menuju fase yang lebih sesuai dengan kuasa arus kapital global, yaitu post-developmentalisme yang juga tidak meninggalkan elemen-elemen otokratiknya.

Oleh karena itu, selain sebagai sebuah ideologi hegemonik, neoliberalisme (dengan huruf ‘n’ kecil) juga perlu dipahami sebagai seperangkat teknologi yang menyelaraskan dan memanipulasi kuasa negara, terutama dalam politik dan budaya, terhadap arus kapital global (Ong, 2007).

Perlunya Diskursus Alternatif

Derasnya pengaruh media sosial seperti Facebook dan Twitter serta pengaruh Revolusi Arab, membuat Asia kembali menyaksikan pergolakan dunia pasca Krisis Finansial 1997. Pergolakan ini sedikit banyak juga memengaruhi konstelasi politik-ekonomi dan keamanan di Asia Timur dan evolusi norma-norma regional di Asia Tenggara, yang merupakan suatu pertanda bahwa another Asia is possible. Namun demikian, perlu disadari bahwa Neoliberalisme masih merupakan diskursus hegemonik di Asia. Hardt dan Negri berpesan bahwa runtuhnya batas-batas dan kemunduran otoritas negara-bangsa baik dalam konteks global maupun nasional karena neoliberalisme, juga akan melumpuhkan wacana-wacana alternatif yang progresif dan internasionalis. Karena itu, diskursus alternatif yang kritis terhadap wacana neoliberalisme di Asia menjadi sebuah keperluan, jika tidak keniscayaan.***

Kepustakaan:

Bourdieau, Pierre. (1998). The essence of neoliberalism. Le Monde Diplomatique. Retrieved from http://mondediplo.com/1998/12/08bourdieu

Crotty, Jim & Dymski, Gary. (1998). “Can the Global Neoliberal Regime Survive Victory in Asia? The Political Economy of Asian Crisis”. International Papers in Political Economy, 5(2), 1-47.

El Fisgon. (2005). Menghadapi Globalisasi: Kiat Gombal Buat Pengusaha Kecil. Serpong: Marjin Kiri.

Fukuyama, Francis. (1992). The End of History and the Last Man. New York, NY: The Free Press

Friedman, Thomas. (2005). The World is Flat. New York, NY: Farrar, Straus, and Giroux.

Hadiz, Vedi R. (2006). Introduction. In Hadiz, Vedi R. (Eds.), Empire and Neoliberalism in Asia (pp. 1-20). Oxon, OX & New York, NY: Routledge.

Hardt, Michael & Negri, Antonio. (2000). Empire. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Hart-Landsberg, Martin. (2002). “The Mexican Experience with Neoliberalism: Critical Lessons for Korea and East Asia”. Retrieved from http://iss.gsnu.ac.kr/upfiles/publications/proceedings/martinhartlandsberg.pdf

Mahbubani, Kishore. (2008). The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East. New York, NY: Public Affairs.

Mithchell, Katharyne. (2004). Crossing the Neoliberal Line: Pacific Rim Migration and the Metropolis. Philadelphia, PA: Temple University Press.

Ong, Aihwa. (2006). Neoliberalism as Exception: Mutations in Citizenship and Sovereignty. Durham and London: Duke University Press.

Ong, Aihwa. (2007). “Boundary Crossings: Neoliberalism as a mobile technology”.  Transactions of the Institute of British Geographers, 32(3), 3-8.

Thorsen, Dag Einar. (2009). “The Neoliberal Challenge: What is Neoliberalism?”. Department of Political Science, University of Oslo Working Paper, 1-25.