Korupsi, Sebuah Pembelajaran Akan Pentingnya Analisa Struktural

Korupsi, Sebuah Pembelajaran Akan Pentingnya Analisa Struktural

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University

http://indoprogress.com/korupsi-sebuah-pembelajaran-akan-pentingnya-analisa-struktural/

BELUM lama kita mendengar serangkaian kasus korupsi yang semakin menghangatkan suhu politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Pertama-tama, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaq (LHI) dinyatakan sebagai tersangka korupsi kasus impor daging sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak lama sesudahnya, Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang dinyatakan sebagai tersangka korupsi oleh KPK dalam kasus proyek Hambalang. Tentu saja, dari sudut pandang normatif, ini merupakan suatu pertanda buruk dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tetapi untuk memahami permasalahan ini, sekaligus merumuskan sebuah solusi yang masuk akal, dibutuhkan lebih dari sekedar panggilan normatif. Kali ini, saya berargumen bahwa analisa struktural merupakan sebuah konsekuensi logis bagi kita untuk memahami persoalan korupsi dan politik Indonesia secara lebih baik dan mendalam.

Kasus Korupsi dan Kondisi Politik Tanah Air

Kasus LHI dan AU tentu bukan kasus korupsi yang pertama kali di Indonesia. Korupsi seakan-akan sudah menjadi persoalan klasik dan fitur utama dalam politik di tanah air. Ironisnya,  para politisi, pejabat publik, dan tokoh masyarakat yang tersangkut kasus korupsi juga memiliki latar belakang dalam Islam Politik – sebuah ironi karena tendensi politik yang koruptif justru lahir dari sebuah pemikiran dan aliran politik yang sempat digadang-gadang memiliki potensi memperjuangkan proses politik yang lebih bersih.

Yang tidak kalah menarik dari dua kasus korupsi terbaru ini adalah analisa terhadap kasus-kasus tersebut. Setidaknya dalam pengamatan saya, seringkali kita tergelincir ke dalam dua pandangan simplistik dalam analisa korupsi dan politik di Indonesia pada umumnya: pertama,pandangan ‘moralisasi’; dan kedua, pandangan yang terlalu menekankan pada agency atau peranan aktor politik. Terkadang, pandangan-pandangan ini juga tergelincir dalam ‘teori konspirasi’ atas politik Indonesia, yang meskipun mungkin saja memiliki sejumlah nilai kebenaran, tidak memiliki daya analitik yang kuat dalam menjawab persoalan. Pandangan-pandangan ini bermasalah setidaknya dalam tiga aspek. Pertama, ia cenderung mengalihkan perhatian dan mengaburkan pandangan kita akan inti persoalan. Kedua, pandangan-pandangan ini cenderung ahistoris dalam konteks tertentu. Dan ketiga,  pandangan-pandangan ini juga abai pada konteks dan pengaruh struktural di mana para aktor politik memainkan peranannya.

Persoalan pertama dapat segera terlihat dalam kecenderungan kita untuk memotret persoalan korupsi sebagai kasus ‘kurangnya moral dan akhlak’ dari ‘segelintir elit’ yang karena ‘nafsu kekuasaan’ terjerumus dalam praktek korupsi dan jenis-jenis politik yang merugikan masyarakat. Moral, dalam artiannya yang paling abstrak, memang diperlukan oleh manusia. Tetapi moralisasi dalam analisa politik menjadi suatu hal yang bukan hanya problematik namun juga berbahaya, karena perspektif ini cenderung mengabaikan akar permasalahan, mendiskon semua penjelasan menjadi penjelasan tentang human nature atau fitrah manusia yang pada dasarnya buruk, dan karenanya ‘nilai-nilai’ berpolitik yang baik perlu dipromosikan. Ini tak ubahnya khutbah Jumat atau ceramah Minggu yang dogmatis dan diulang-ulang, tidak menjawab persoalan dan justru menumpulkan daya analisa kita.

Kedua, perspektif moralistis dan agency-oriented dalam analisa kasus korupsi dan fenomena politik lainnya cenderung ahistoris dalam dua aspek, yaitu kecenderungan untuk melihat proses-proses sejarah di balik munculnya sebuah fenomena politik dan juga kecenderungan melihat proses sejarah sebagai rangkaian-rangkaian episodik yang atomistis, bisa dipecah dan dilihat trennya dalam analisa statistik, sembari melupakan interaksi kompleks atas berbagai faktor politik, ekonomi, dan sosial yang melatarbelakangi suatu peristiwa politik. Pemahaman akan sejarah politik kita menjadi sebuah bekal yang penting untuk melihat bagaimana kontinuitas dan perubahan terjadi dalam politik kita dalam kurun waktu tertentu. Kesadaran akan sejarah ini menjadi penting bagi siapa saja, tidak hanya terbatas untuk kalangan ilmuwan politik maupun politisi; dalam konteks ini kita perlu mengingat orang-orang seperti Pramoedya Ananta Toer, yang memiliki pemahaman sejarah yang kuat berdasarkan riset dan studi mendalam akan sejarah Indonesia.

Ketiga, kelemahan lain atas perspektif moralis dan bias aktor politik ini terlihat dalam abai atau enggannya melihat faktor-faktor struktural dalam memahami fenomena politik. Kasus korupsi juga perlu dilihat dalam kacamata struktural untuk membantu kita memahami lebih dalam mengapa setelah sekian tahun proses reformasi politik berjalan, korupsi masih menjadi permasalahan utama yang juga merambat ke sektor-sektor lain seperti politik lokal, kebijakan desentralisasi, hubungan agama-negara, profesionalisasi partai politik dan masih banyak bidang-bidang lain.

Di tengah kelemahan perspektif moralis ini, suatu pemahaman struktural akan korupsi bisa membantu kita lebih memahami merajalelanya praktek korupsi dan imbasnya terhadap memajukan praktek demokrasi di tanah air.

Dalam kaitannya dengan kasus LHI dan AU, analisa struktural diperlukan untuk lebih memahami persoalan ini secara lebih jernih. Sembari tetap mengawasi proses hukum dan kontestasi politik yang berkaitain dengan kedua kasus ini secara seksama, sebuah analisa structural, yang juga memperhatikan aspek kesejarahan, dapat membantu kita untuk memahami persoalan-persoalan seperti dinamika antar elit dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD), basis dukungan atas LHI dan AU dalam partai mereka masing-masing, latar belakang keorganisasian dari kedua tokoh tersebut, dan hubungan politik patronase dan bentuk-bentuk praktek politik yang berpotensi mempromosikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) oleh dua aktor politik tersebut. Tentu saja, tugas ini tidak mudah, terutama di tengah berbagai pemberitaan oleh media massa mainstream yang mewakili pengaruh kapital dan kepentingan politik tertentu.

Analisa Stuktural-Historis atas Korupsi dan Berbagai Fenomena Politik Lainnya

Beberapa studi terbaru dalam ilmu politik, terutama dalam konteks politik negara berkembang, sesungguhnya sudah menunjukkan pentingnya memperhatikan aspek struktur dan sejarah atas proses-proses politik, karena aktor-aktor politik tidak muncul secara tiba-tiba dari kevakuman sejarah dan lepas dari konteks struktural. Sebaliknya, aktor-aktor politik selalu terkait dengan konteks struktural dan sejarah di mana mereka berpolitik.

Studi Jeffrey Winters (2011) dalam bukunya Oligarchy, misalnya, menekankan bagaimana oligarki dapat bertahan dalam struktur politik yang demokratis. Menurut Winters, oligarki, yang diartikan sebagai politics of wealth defense, atau politik pembelaan dan perlindungan atas kekayaan dan harta yang dilakukan oleh para oligark, atau lapisan super kaya dalam sebuah masyarakat, dapat eksis dalam berbagai jenis rejim politik sepanjang sejarah, baik otoriter maupun demokratis, dari mulai zaman Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi hingga zaman politik modern di Amerika Serikat maupun Indonesia. Perilaku koruptif para elit politik, dalam kacamata ini, dapat dilihat sebagai tendensi para elit politik untuk menjadi bagian dari oligarki itu sendiri atau untuk menjadi proxy atau perantara atas kepentingan para oligark.

Yang tidak kalah penting dari aspek struktural dalam analisa politik adalah aspek material dalam konteks struktural, seperti akses ke uang dalam proses politik, seperti untuk pendanaan kampanye dan biaya operasional berpolitik. Dalam suatu wawancara, ilmuwan politik Marxis-Empirisis terkemuka Adam Przeworski (2003) menyatakan bahwa dalam mempelajari demokrasi, salah satu hal yang terpenting adalah mempelajari bagaimana akses ke uang dalam proses politik. Menurut Przeworski, kekuatan ekonomi (economic power) baik dalam bentuk akses dan penguasaan kapital dapat diubah menjadi kekuatan politik (political power), dan juga sebaliknya, memperlihatkan keterkaitan antara kedua faktor tersebut. Kemudian, perlu diingat bahwa sumber daya material dalam sebuah arena politik tidaklah sama bagi tiap-tiap kelompok, dan pemahaman ini menjadi penting dalam memahami pertarungan antar para aktor politik dalam merebut kuasa.

Sedangkan dari aspek kesejarahan, studi Dan Slater (2010) dalam bukunya Ordering Power,menunjukkan bagaimana respon elit terhadap gejolak politik massa menentukan bentuk rejim politik negara-negara di Asia Tenggara. Ketakutan para elit atas gejolak politik massa yang menuntut kebijakan-kebijakan redistribusionis, misalnya, akan mendorong para elit untuk menguatkan aliansi di antara mereka dan membentuk rejim otoriter. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi, kita dapat menggunakan kesadaran kesejarahan semacam ini untuk melihat bagaimana perilaku elit politik kita menanggapi berbagai gerakan sosial yang mendukung pemerintahan bersih dan tekanan publik atas para elit politik. Secara jangka panjang, kita perlu melihat pola interaksi antara negara, elit politik, dan masyarakat berkaitan dengan tindakan atas kasus korupsi. Bagi massa dan gerakan sosial, tentu saja ini penting untuk merumuskan strategi politik seperti apa yang efektif untuk tidak hanya menekan para elit, tetapi juga memberlakukan batasan-batasan struktural yang efektif atas perilaku koruptif mereka.

Dalam konteks politik lokal dan reformasi institusi atau kelembagaan, fenomena korupsi ini juga membuat pesan Vedi Hadiz (2004) dalam artikelnya berjudul Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspective  menjadi semakin relevan. ‘Demokratisasi,’ dalam artiannya yang teknis, ‘non-partisan,’ teknokratis, dan seringkali diboncengin oleh agenda-agenda ekonomi Neoliberal tidaklah cukup. Elitisme di tingkat lokal dan nasional, marginalisasi aspirasi-aspirasi rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan, terutama di tingkat lokal, merupakan segelintir agenda yang tidak tersentuh oleh reformasi kelembagaan. Dengan kata lain, reformasi kelembagaan saja tidak cukup. Eksistensi partai politik dan adanya mekanisme politik elektoral per se, bukan berarti selesainya masalah jikalau elit-elit tertentu masih mendominasi proses politik, patrimonialisme dan patronase masih bercokol, serta negara dan partai politik masih didominasi oleh agenda-agenda elitis dan logika kuasa dan kapital yang oligarkis.

Penutup

Kasus korupsi LHI dan AU hanya merupakan puncak dari ‘Gunung Es’ permasalahan politik di Indonesia. Andaikata media massa seperti televisi dan surat kabar memiliki kolom yang lebih realistis, seperti laporan tentang kesenjangan sosio-ekonomi dan daftar nama para aktor politik yang bermasalah, tentu kita dapat lebih menyadari bahwa pekerjaan rumah kita masih banyak dan panjang.

Setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa kasus korupsi LHI dan AU ini.Pertama, membangun partai politik bukanlah sebuah hal yang mudah, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini. Partai politik dari berbagai spektrum perlu belajar mengenai bagaimana membangun gerakan politik dan tidak hanya hadir dalam pemilu atau proses-proses politik yang bersifat seremonial belaka. Parpol juga perlu berbenah diri dalam memerangi praktek korupsi, memperluas basis keanggotaan dan dukungan di akar rumput, serta sumber-sumber pendanaan yang mandiri, lebih akuntabel, dan demokratis.

Kedua, kondisi politik di Indonesia menyadarkan kita bahwa semakin penting untuk menyadari dan memahami secara serius negara dan partai sebagai situs perjuangan kelas. Literatur-literatur filsafat dan politik Kiri-progresif sudah mengingatkan kita akan pentingnya memahami dan merebut negara dan proses politik elektoral. Indonesia pasca-Order Baru yang sedang menjalani proses demokratisasi menjadi sebuah kesempatan dan laboratorium untuk menguji dan merefleksikan kembali pemahaman-pemahaman kita atas sebuah visi politik yang progresif dan emansipatoris.

Ketiga, yang terakhir dan tidak kalah penting, sebelum ‘merebut negara’ dan menggunakan kesempatan proses demokrasi elektoral (baca: borjuis), gerakan sosial dan massa pertama-tama perlu menyadari dan me-ruqyah, mengusir tendensi koruptif dan oligarkis dalam gerakan sendiri. Robert Michels (1911) menunjukkan tendensi tersebut hadir dalam beberapa partai-partai sosialis dan gerakan buruh di Eropa. Dalam konteks kita, sudah menjadi rahasia umum bahwa benih-benih tindakan korupsi terlihat dan bahkan dipupuk dalam banyak organisasi pelajar ekstra kampus dan dunia masyarakat sipil (civil society).

Dalam proses mengatasi masalah dan gejala korupsi, kita sebagai bagian dari massa bisa berkontribusi dalam proses tersebut dengan memulai membersihkan halaman belakang kita sendiri dulu.***

Penulis berterima kasih atas diskusi dan masukan dari rekan Coen Husain Pontoh mengenai pentingnya perspektif struktural dalam analisa politik.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Melihat Amerika yang Lain

Melihat Amerika yang Lain
Analisa Politik
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/melihat-amerika-yang-lain/?fb_source=pubv1

APA KABAR Occupy Movement? Tidak terasa sudah berselang lebih dari setahun semenjak gerakan sosial Occupy Movement dicetuskan di Amerika Serikat (AS). Di tengah berbagai permasalahan ekonomi dan pertarungan politik menjelang pemilihan umum presiden, pesan-pesan yang disampaikan oleh Gerakan Occupy seperti ‘we are the 99%,’ ‘kitalah 99%!’ yang mewakili aspirasi banyak warga Amerika, mulai dari para pekerja hingga kelas menengah terasa begitu relevan – hingga kemudian pesan tersebut perlahan-lahan mulai terdengar pelan, ditelan oleh kesunyian dan kesenyapan. Gambaran ini seakan-akan membenarkan bahwa AS adalah bangsa yang ‘sentris,’ di mana berbagai konflik dapat teredam dan tersalurkan melalui berbagai wadah politik yang tersedia.
Tetapi, tunggu dulu, jangan-jangan klaim ini perlu pemeriksaan lebih lanjut – bagaimana dengan gejolak politik dan gerakan hak-hak sipil sekitaran 1960-an? Bagaimana dengan berbagai kebijakan luar negeri dan ekonomi internasional AS dengan Pax Americana-nya? Bagaimana dengan marginalisasi berbagai kaum minoritas di masa-masa awal pembentukan negara di AS? Sebuah telaah yang lebih kritis diperlukan untuk membongkar mitos-mitos di balik gambaran kita akan Amerika sang imperium dunia.

Membongkar Mitos-mitos Lockean dan Tocquevillean

‘Amerika adalah sebuah bangsa yang eksepsional (exceptional), yang berbeda secara kualitas (qualitatively different) dengan bangsa-bangsa lain.’ Demikian kata Alexis de Tocqueville, sang pengelana dan etnografer dari Perancis itu, yang menjelajahi Amerika untuk mencari jawaban atas sebuah pertanyaan: mengapa demokrasi berhasil di Amerika tetapi tidak di negaranya, Prancis? Dalam karya termasyhurnya, Demokrasi di Amerika (Democracy in America), Tocqueville menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan praktek-praktek demokrasi di Amerika, seperti ketiadaan feodalisme, kebebasan beragama, dan lain sebagainya – yang kemudian menjadi dasar atas sebuah konsep penting dalam diskursus politik Amerika, yaitu ‘Keistimewaan Amerika’ (American Exceptionalism).

Secara metode, penjelajahan yang dilakukan Tocqueville merupakan upaya kajian yang menarik dan bisa dibilang ilmiah. Yang menjadi persoalan adalah implikasi politik dari rumusan ‘Keistimewaan’ atas nilai-nilai Amerika itu. Ya, seperti yang sudah kita ketahui, mengutip ucapan sosiolog politik AS terkemuka, Seymour Martin Lipset, keistimewaan bisa bermakna ganda, lebih progresif, atau bahkan lebih konservatif dan reaksioner. Dan Amerika telah menunjukkan kepada dunia dua sisi dari ‘keistemewannya’ itu: ada Amerika yang menghargai kebebasan beragama, merayakan keberagaman dalam masyarakatnya, dan memiliki modal sosial yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi ada juga Amerika yang memiliki hasrat imperium dan ekspansionis: ke luar, dengan melakukan eksploitasi, perang dan agenda-agenda jingoisme lainnya lewat kebijakan-kebijakan luar negeri dan kepentingan geopolitik dan ekonomi internasionalnya dan ke dalam, dengan diabaikannya hak-hak warga negara Amerika dari akses terhadap layanan sosial dan sistem asuransi kesehatan universal atas nama ‘pasar,’ ‘kebebasan,’ dan ‘hak-hak individu’ dan marginalisasi multidimensi bagi berbagai kalangan minoritas sepanjang sejarah Amerika, mulai dari kelompok etnis Afro-Amerika, kaum minoritas seksual, hingga kaum Muslim Amerika.

Karenanya, untuk memahami kondisi Amerika dan juga politik global dewasa ini, sebuah upaya penyelidikan dan pembelajaran yang serius akan perkembangan masyarakat AS sungguh sangat diperlukan.

Mitos pertama, adalah tentang sejarah AS yang dianggap ‘berbeda’ dari banyak negara kapitalis maju lainnya. Tentu saja, dari sisi penulisan sejarah, tiap-tiap negara bisa dibilang berbeda, tidak sama, dan unik. Tetapi, sejarah AS juga memiliki banyak kesamaan dengan sejarah banyak negara lain dalam satu aspek, yaitu, sebuah kenyataan bahwa untuk mencapai kemajuan sejarahnya, Amerika harus membayar harga yang mahal dengan melewati episode sejarah yang berdarah-darah. Studi sejarah perbandingan dari sosiolog politik AS terkemuka, Barrington Moore (1966), dalam magnum opusnya, Asal-Usul Sosial Rejim-rejim Diktator dan Demokratis (Social Origins of Dictatorship and Democracy), menunjukkan bahwa demokrasi liberal di dunia Barat, termasuk di AS, yang seringkali dianggap sebagai jalur modernisasi yang lebih ‘aman’ dan ‘beradab’, rupa-rupanya tidak kalah berdarah dengan rejim Fasis dan Stalinis dalam hal korban jiwa dan pelanggaran hak-hak warga negara dalam proses modernisasinya. Kita tidak perlu membahas panjang lebar mengenai sejarah AS di sini: sejarah perang sipil dan perbudakan, gerakan hak-hak sipil dan Kiri Baru yang menuntut demokrasi yang lebih deliberatif dan keadilan ekonomi dan sosial, berbagai protes anti perang, hingga gerakan Occupy adalah bukti bahwa sejarah dan proses modernisasi Amerika tidaklah sebegitu berbedanya dalam banyak negara dan masyarakat lain.

Mitos kedua, adalah tentang masyarakat AS yang dinilai lebih ‘egaliter’ dibandingkan banyak negara-negara lain. Di sini, kita perlu memahami bahwa konsepsi ‘egaliter’ ala AS sendiri merupakan sebuah ide yang banyak diperdebatkan. Secara asal-usul pemikiran, egalitarianisme ala Amerika ini berakar dari filsafat politik individualisme Lockean (Lockean Individualism). Singkat kata, individualisme Lockean ini dapat dirumuskan sebagai sebuah pandangan hidup yang berasumsi bahwa manusia dan masyarakat adalah sebuah individu yang atomistis, yang hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Untuk mencapai tujuan masyarakat dan tujuan dari tiap-tiap individu tersebut tanpa harus memunculkan konflik di antara keduanya, maka ‘negara’ harus hadir, namun hanya dalam kapasitasnya yang minimalis, karena negara juga tidak boleh koersif agar tidak melanggar hak-hak individu.

Yang sering luput dari perhatian adalah, demokrasi ala individualisme Lockean ini hadir dalam konteks zaman di mana mereka yang bisa berpartisipasi dalam politik hanyalah White, Male, Land and Property-Owning majority – hanya laki-laki berkulit putih dan yang memiliki tanah dan properti yang dapat berpartisipasi dalam politik, ekonomi, dan segenap aktivitas bermasyarakat lainnya. Perempuan, para budak, kaum etnis minoritas, para pekerja, dan banyak kelompok masyarakat lainnya sesungguhnya termarginalisasi, hingga tahun 1960an, di mana berbagai gerakan sosial yang menuntut hak-hak warga negara dan demokrasi yang radikal dalam politik, ekonomi, budaya, dan sosial muncul ke permukaan.

Beberapa ilmuwan dan kritikus sosial terkemuka AS karenanya berpendapat bahwa masyarakat AS adalah masyarakat yang elitis. Studi dari Jeffrey Winters dan Benjamin Page (2009), dua ilmuwan politik terkemuka di Northwestern University, yang berjudul Oligarki di Amerika Serikat (Oligachy in the United States) menunjukkan bahwa sekalipun ada ruang demokrasi yang besar di bidang politik, namun terdapat kesenjangan yang juga besar di bidang ekonomi di AS. Kesenjangan ini dilanggengkan oleh sekelompok oligark, yaitu lapisan orang-orang super kaya yang berusaha melindungi dan mengembangkan kekayaannya dan karenanya mendukung politik pro-kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Kajian klasik sosiolog dan kritikus sosial kenamaan di AS, C Wright Mills (1956) dalam bukunya The Power Elite menunjukkan bahwa aktivitas publik yang demokratis di Amerika telah ‘dibajak’ oleh lapisan elit di bidang politik, ekonomi, birokrasi, militer, hingga budaya yang memarginalkan suara dan aspirasi warga negara biasa dalam proses-proses politik di Amerika. Senada dengan Mills, Michael Parenti dalam bukunya Power and the Powerless (1977) juga menunjukkan kecenderungan pemerintahan teknokratis-elitis dalam politik AS, yang seringkali menganggap elit politik dan para teknokrat maupun ilmuwan sebagai domain yang ‘bebas kepentingan,’ seraya mengabaikan berbagai aspirasi dan pertarungan gagasan yang terjadi di level masyarakat. Karenanya, Parenti berpendapat bahwa demokrasi tidak terlepas dari usaha dan tujuan perjuangan kelas. Visi politik AS yang ‘pluralis’ yang menggambarkan bahwa pertarungan ide, gagasan, dan kepentingan yang pada akhirnya akan saling menyeimbangkan satu sama lain, mengurangi dominasi kelompok tertentu, dan memajukan kepentingan umum dalam masyarakat, bisa jadi hanya sebuah pepesan kosong.

Mitos ketiga, dan yang terakhir, adalah sebuah imajinasi bahwa AS memiliki ‘kewajiban moral’ untuk menyelamatkan dunia dan mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil. Hanya ada dua jenis manusia yang menganggap bahwa klaim ini benar: pertama, kaum Neokonservatif; dan kedua, mereka yang tidak pernah dan tidak mau membaca sejarah. Bukan rahasia umum bahwa ini dapat dibilang sebagai sisi paling paradoksial dari Amerika. Perang Vietnam, Perang Teluk, Invasi Iraq, penyiksaan para napi di teluk Guantanamo yang menggunakan metode-metode ala rejim otoriter, dukungan terhadap rejim-rejim otoriter di negara-negara dunia ketiga demi ‘kepentingan nasional’ AS, semua ini hanyalah sedikit contoh dari daftar panjang dari jingoisme yang seringkali melanggar hukum internasional dan hak-hak asasi manusia dengan dalih ‘kepentingan global’ dan bahkan ironisnya, ‘demokrasi.’ Lebih parahnya lagi, proyek-proyek imperialisme baru ini terkadang juga mendapat sokongan intelektual dari para pemikir dan akademisi seperti Ayaan Hirsi Ali (yang sekarang berafiliasi dengan sebuah think-tank konservatif, pro-pasar bebas terkemuka, American Enterprise Institute), Irshad Manji, dan Fouad Ajami yang mendukung invasi Amerika ke tanah kelahiran mereka sendiri untuk ‘membebaskan’ masyarakat mereka dari rejim diktatorial dan membawa ‘peradaban’ bagi masyarakat tersebut. Faktanya, alih-alih disambut bunga, pasukan Amerika di berbagai tempat di belahan dunia kerepotan karena terjebak dalam sebuah kondisi Hobbesian, sebuah masyarakat di mana rasa aman seringkali terusik dan fasilitas umum seringkali nihil, yang ‘dibebaskan’ oleh AS.

Tapi, ini baru dua pertiga dari analisa dan cerita kita. Kritik tentu saja akan lebih berguna apabila disertai dengan solusi dan upaya untuk mewujudkan visi dari kritik tersebut.

Perkembangan Terkini, Kritik, dan Penutup

Sejenak, mari kita menengok gerakan Occupy. Rupa-rupanya, mereka masih bertahan, dan terus bergerak, meski luput dari liputan media-media besar seperti The New York Times maupun CNN. Taman Zucotti di New York boleh jadi sudah sepi dari para pemrotes dan demonstran yang mendudukinya, tetapi gerakan Occupy dan berbagai organisasi dan inisiatif-inisiatif yang mendukungnya masih terus bergerak, dengan caranya sendiri.

Berbagai upaya seperti forum diskusi rutin, lokakarya gerakan dan perubahan sosial, aksi solidaritas terhadap aksi mogok buruh dan pekerja di berbagai sektor industri, masih terus berlangsung di berbagai kota di AS. Baru-baru ini, di kota Chicago dan daerah sekitarnya, para guru juga melakukan aksi mogok kerja atas ketidakadilan dalam hal pengupahan dan intervensi atas kebebasan dan kreativitas akademik di sekolah-sekolah, yang juga didukung oleh berbagai kelompok sosial progresif lainnya.

Perlu juga diketahui bahwa beberapa daerah di AS, seperti Chicago, beberapa tempat di negara bagian Ohio dan Wisconsin, dan New York merupakan basis-basis tradisional berbagai pergerakan buruh dan gerakan sosial progresif lainnya. Salah satu serikat buruh paling progresif dan radikal di AS, the Industrial Workers of the World atau IWW juga didirikan di Chicago pada tahun 1905 – mendahului bahkan Revolusi Bolshevik di Russia sekalipun. Sewaktu saya tinggal di kota kecil Athens di Ohio, saya juga menyaksikan berbagai komponen gerakan sosial dan LSM lokal, seperti lingkaran studi pemikiran Kiri, LSM-LSM antar iman, gerakan pro-perdamaian, gerakan makanan lokal dan pertanian organik belajar dan bekerja sama satu sama lain, membuka ruang-ruang demokrasi, partisipasi, dan deliberasi di mana tiap-tiap individu yang terlibat bisa saling berdiskusi dan terlibat dalam kritik, persetujuan, maupun ketidaksetujuan. Ya, rupa-rupanya tradisi politik radikal itu juga pernah bersemi, dan masih hidup di Amerika.

Diskursus politik di Amerika juga pelan-pelan mulai berubah. Penerapan sistem asuransi kesehatan universal misalnya, adalah salah satu contohnya. Bahkan, menurut Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia itu, penerapan sistem asuransi kesehatan universal merupakan sebuah pencapaian karena kebijakan tersebut telah berhasil mengubah diskursus politik AS secara pelan-pelan namun radikal, dari diskursus tentang ‘kebebasan dan pilihan pribadi’ (choice) menjadi ‘kebebasan dan kepentingan bersama.’

Amerika, terlepas dari segala kekurangannya, juga melahirkan tokoh-tokoh seperti Rosa Parks dan Martin Luther King, yang menunjukkan kepada tiap-tiap kita bahwa kritik, otokritik, dan upaya untuk menciptakan praktek-praktek sosial baru tidak hanya mungkin, namun juga pernah dilakukan.

Tak heran, apabila pendiri studi perdamaian asal Norwegia, Johan Galtung, pernah mengatakan, ‘Republik Amerika (American Republic) akan jauh lebih baik apabila ia mau melepaskan hasratnya sebagai Imperium Amerika (American Empire).’ Bagi Galtung, Republik Amerika melambangkan Amerika yang memberi tempat bagi praktek-praktek politik yang progresif, sedangkan Imperium Amerika adalah hasrat kekuasaan Amerika yang bersifat eksploitatif dan ekspansionis bagi dirinya sendiri dan segenap masyarakat dunia. Baginya, tentu saja Republik Amerika akan lebih baik minus hasrat kekuasaan dan dominasinya.

Hemat saya, Amerika bukanlah sebuah visi final yang 100 persen ideal – saya bukanlah penganut Francis Fukuyama yang menganggap bahwa ‘demokrasi liberal’ dan ‘kapitalisme’ adalah ‘akhir sejarah’ dari peradaban manusia. Namun, kita bisa belajar banyak dari pengalaman Amerika, sebagai bahan acuan kita dalam pencarian abadi akan sebuah model politik dan masyarakat yang emansipatoris.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc