Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/salvador-allende-yang-mati-namun-tetap-abadi/

Salvador Allende ‘dibunuh’ dan mati berkali-kali, tetapi bangkit kembali. Bagaimana mungkin?

MUNGKIN sudah terlampau sering kita dengar kisah klasik tentang Chile di masa Allende dan kudeta militer terhadapnya, ibarat lagu lama yang sering diputar berulang kali. Namun, tidak ada salahnya untuk kembali mengingat cerita ini – siapa tahu berguna di kemudian hari.

Untuk memulai cerita, kita bisa menonton film besutan sutradara asal Chile, Patricio Guzmán, salah satu pengantar termudah mengenai Allende dan kejatuhannya. Tidak hanya itu, kita bisa mengambil beberapa pelajaran darinya. Singkat kata, kira-kira begini ceritanya.

Salvador Allende, seorang dokter yang berkecimpung dengan berbagai isu kesehatan publik, ikut mendirikan dan berkecimpung di Partai Sosialis Chile semenjak muda, sebuah partai pekerja yang independen dari garis komando Moskow. Allende mungkin tidak pernah mempelajari literatur-literatur Kiri dan Marxisme secara ‘resmi’ di bangku perkuliahan, namun dia tahu, ada berbagai cara mempelajari – dan tidak hanya itu, meresapi – prinsip-prinsip politik Kiri. Allende sendiri meresapi prinsip-prinsip itu dengan banyak berkecimpung dengan rakyat biasa – suatu aktivitas politik yang akhir-akhir ini makin langkaBaginya, terdapat banyak pintu menuju tujuan yang sama. Di tengah gelombang revolusi dan gerakan pembebasan nasional yang menyapu negara-negara dunia ketiga, Allende menempuh jalan elektoral demi pembebasan rakyat pekerja.

‘Bagaimana bisa,’ tanya Guzmán, ‘seseorang menjadi revolusioner dan demokrat di saat yang bersamaan?’ Allende mungkin adalah contoh langka seorang demokrat revolusioner. Tak percaya? Buktinya, dengan sabar dan konsisten tiga kali ia kalah pemilu presiden di Chile. Baru di kali ke-empat, tahun 1970, Allende menang tipis, sekitar 36.2 persen, dan dinobatkan menjadi presiden Chile. Berbagai ilmuwan politik terutama mereka yang beraliran borjuis menganggap bahwa sistem pemilu Chile yang dapat meloloskan presiden dengan perolehan suara yang minim merupakan penyebab mengapa Allende dapat menang dan partai-partai Kiri enggan untuk ‘memoderasi’ agenda-agenda politiknya. Beberapa diantara mereka bahkan menyalahkan Allende dan pihak Kiri sebagai pihak yang ‘mengundang malapetakanya sendiri.’ Tentu saja logika ini absurd. Dalam konteks kita, ini semacam menyalahkan orang-orang Muslim Syia’ah atau Ahmadi atau para korban katastrofi 1965 yang ‘mengundang kekerasan’ – ‘salah lu sendiri!,’ begitu kata mereka. Namun, ada baiknya omelan ini kita simpan dulu.

Allende tahu itu, namun dia tetap ngotot. Politik bukan saja soal representasi tapi juga konfrontasi. Sekecil apapun peluang yang dimiliki oleh gerakan rakyat dan partai-partai Kiri, peluang tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Allende sendiri bukan orang baru di pemerintahan dan politik – dia sempat menjabat sebagai Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial periode 1938 – 1942 dalam koalisi Front Popular yang berhaluan reformis. Semasa jabatannya, dia mengegolkan berbagai kebijakan progresif, seperti undang-undang keselamatan kerja, tunjangan kehamilan dan penyediaan makan siang gratis di sekolah-sekolah. Ini jelas berbeda dengan para elit di negeri kita misalnya, yang beraksi bak pahlawan kesiangan,seakan-akan dirinya bisa menjadi ratu adil atau juru selamat baru namun enggan untuk mengetahui lebih-lebih menghidupi penderitaan rakyat. Para elit ini juga – yang biasanya memiliki elective affinityatau pertemuan pandangan dengan beberapa segmen kelas menengah Indonesia – adalah mereka yang gemetaran dan ketakutan ketika melihat aksi-aksi massa rakyat dengan alasan ‘stabilitas’. Perubahan tidaklah semudah omongan para ‘motivator,’ konvensi partai yang diadakan beberapa tahun sekali, atau diskusi sembari nongkrong-nongkrong di warung kopi dan merasa sudah mengubah keadaan. Perubahan mestilah diusahakan dan hanya mungkin dilakukan oleh massa yang sadar. Allende tahu bahwa, ibarat Roma, Sosialisme tidak dapat dibangun dalam satu malam, melainkan membutuhkan kerja keras dan perencanaan yang panjang di jalan yang kerap kali tidak mudah.

40th anniversary of Pinochets coup marked at Chilean embassy

40 tahun peringatan atas kudeta militer terhadap Salvador Allende. Photo by Aimee Valinski

Tentu saja, di masa itu, Sosialisme masih menjadi harapan bagi banyak rakyat dan kaum tertindas lainnya di berbagai belahan dunia. Sosialisme tidak serta merta diidentikkan dengan tiang gantungan, Stalinisme dan gulag-gulag Soviet. Sosialisme juga bukan berarti sekedar ‘sosial demokrasi’ atau ‘jalan ketiga’ ala kaum neolib berbaju sosdem dewasa ini. Pada waktu itu, masih ada tokoh-tokoh seperti Olof Palme dan tentunya Allende, reformis revolusioner yang menyerukan sebuah visi akan masyarakat yang egaliter di dalam negeri dan menentang aksi-aksi jingoisme imperial di luar negerimacam Perang Vietnam yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) maupun penumpasan protes rakyat oleh berbagai rejim Stalinis.

Setelah menjadi presiden, Allende memenuhi berbagai janjinya. Dia menasionalisasi berbagai cabang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tembaga dan perbankan. Sekarang, kita mungkin bisa mencibir nasionalisasi sebagai kebijakan ekonomi yang tidak efisien dan rawan korupsi. Memang, lebih mudah untuk menilai segala sesuatunya dari kacamata zaman kita. Namun, ada kondisi-kondisi yang khas dari tiap zaman yang perlu ditempatkan dalam konteks waktunya. Kebijakan nasionalisasi Allende adalah terobosan yang progresif. Lagipula, Allende tidak hanya sekedar memindahkan kontrol sektor-sektor produksi itu ke tangan negara. Lebih dari itu, dia mencoba memperluas kontrol buruh secara langsung atas sektor-sektor produksi tersebut. Menurut Victor Wallis, salah seorang pengkaji Chile, kebijakan-kebijakan Allende ‘memberikan kesempatan bagi mayoritas kaum buruh untuk menunjuk wakil-wakil yang mereka pilih di dewan administratif di tiap-tiap cabang usaha.’ Tidak hanya itu, meningkatnya level partisipasi buruh dalam aktivitas-aktivitas produksi juga diikuti dengan naiknya performa ekonomi – dan dampak ini tidak terbatas hanya pada sektor-sektor atau cabang-cabang industri tertentu, melainkan terasa lintas-sektoral dan secara umum. Bahkan, konon kabarnya, Project Cybersyn, sistem komunikasi dan manajemen yang dicetuskan Allende, disebut-sebut sebagai embrio ‘internet sosialis’ yang memungkinkan kontrol pekerja secara langsung yang lebih luas terhadap pengelolaan ekonomi. Selain mengurusi industri dan perburuhan, Allende juga melaksanakan reformasi agraria, mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, mengurangi inflasi dan memperluas akses ke pendidikan.

Tetapi, ada yang tidak senang dengan semua ini, yaitu kaum borjuis, para tuan tanah dan berbagai kelompok dan partai Kanan. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk kemudian membangun aliansi dengan AS terutama CIA dan militer. Poster-poster propaganda anti-Allende dari CIA bergambar tank-tank Soviet tersebar di Chile. Para pengusaha bus dan transportasi melakukan pemogokan – untungnya gerakan buruh dan rakyat di Chile cukup militan untuk menghadang pemogokan tersebut dengan tetap bekerja dan berakvititas seperti biasanya, meskipun di kemudian hari perbedaan pandangan dan sektarianisme di gerakan Kiri makin mengemuka. Agustus 1973 ada upaya untuk memakzulkan Allende, namun gagal di parlemen. Betapa dongkolnya kaum borjuis. Di film Guzman, terdapat satu adegan di mana seorang oposan borjuis berkata bahwa pemerintahan Allende ‘penuh kotoran’ dan Chile dipenuhi oleh ‘para Komunis Marxis yang menjijikan.’ Di adegan lain, terungkap bahwa Richard Nixon, presiden Amerika Serikat kala itu, menjuluki Allende sebagai ‘si bangsat.’ Ini semua tidak jauh berbeda dengan label-label yang disematkan terhadap siapapun yang diasosiasikan dengan PKI, gerakan rakyat dan ide-ide Kiri-progresif di Indonesia semenjak tahun 1965 sampai sekarang.

Akhirnya kita tahu. 11 September 1973, militer membombardir La Moneda, istana kepresidenan Chile. Setelah itu, Augusto Pinochet, darling of the West yang dibangga-banggakan dedengkot ekonom neoliberal Milton Friedman dan Friedrich Hayek, menjadi diktator Chile. Rejimnya meningkatkan kesenjangan ekonomi di Chile sekaligus mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi tahanan politik, disiksa, menghilang dan bahkan tewas. Tetapi rakyat Chile tidak pernah lupa. Tahun 1989 demokrasi direstorasi. Semenjak itu hingga sekarang, satu demi satu dosa-dosa rejim Pinochet diungkap.

Seringkali kita mengritik mesianisme dalam gerakan progresif karena kecenderungannya untuk mengarah ke semacam kultus individual. Tetapi, terkadang sebuah gerakan butuh figur yang kharismatik. Allende contohnya. Tentu saja dia menjadi semacam ‘juru selamat’ bukan karena berjarak dengan rakyat, melainkan dengan menghidupi kehidupan rakyat dan bergerak bersama mereka, karena pemerintahan Allende tidak mungkin bertahan tanpa massa rakyat yang militan. Mereka mendukung Allende karena ‘Allende mencetuskan utopia akan sebuah dunia yang lebih adil,’ kata berbagai aktivis pendukungnya.

Salvador Allende mungkin telah mati, namun namanya tetap abadi. Namanya akan selalu diingat oleh rakyat yang tertindas dan menderita di gang-gang sempit nan kumuh dari Santiago hingga Valparaiso, dari Jakarta hingga Ramallah, kini dan nanti.***

Film Patricio Guzmán dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=FTkY0mgvK7k

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Suriah: Iraq Jilid Dua?

Suriah: Iraq Jilid Dua?

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/suriah-iraq-jilid-dua/

APAKAH Suriah akan menjadi Iraq jilid dua? Terlepas dari berbagai perbedaannya, skenario Iraq dan Suriah memiliki beberapa kemiripan: seorang despot (Saddam Hussein di Iraq, Bashar al-Assad di Suriah) melakukan penindasan secara sistematis atas rakyatnya sendiri mengakibatkan komunitas internasional, terutama Barat, ‘kebakaran jenggot’ atas nama ‘intervensi kemanusiaan’ (humanitarian intervention). Kali ini, dalih yang digunakan adalah kemungkinan penggunaan senjata kimiawi rejim Assad terhadap pihak oposisi dan warga sipil di Suriah. Namun, belajar dari pengalaman Iraq dan sejarah intervensi politik Barat, terutama AS di Timur Tengah, maka kita akan segera menyadari bahwa ada yang janggal dan berbahaya dari rencana serangan ini.

Kebobrokan Moralitas ‘Intervensi Kemanusiaan’

Michael Ignatieff, tokoh Liberal asal Kanada, dalam bukunya The Lesser Evil berujar bahwa ‘Perang pre-emptif akan sangat jarang muncul, namun setidaknya itu adalah kejahatan yang lebih kecil (a lesser evil).’ Dalam tarikan nafas yang sama, Kanan Makiya, seorang apologis Perang Iraq, juga menyatakan bahwa pasca invasi, tentara Amerika akan disambut dengan ‘manisan dan bunga-bunga’ di Iraq – sampai kemudian Ignatieff dan Makiya menyadari bahwa jumlah korban jiwa di Iraq setelah invasi hampir mencapai jumlah korban jiwa di bawah rejim Saddam Hussein. Dan alih-alih disambut dengan ‘manisan dan bunga-bunga,’ pasukan Amerika di Iraq disambut dengan darah dan bibit-bibit kebencian.

Agar makin jelas siapa lagi yang bergabung dalam barisan pendukung invasi, baca berita ini: baru-baru ini, Tony Blair, yang kita tahu adalah seorang politisi apologis invasi Iraq dan Afghanistan serta kudeta militer di Mesir, juga mendukung penyerangan atas Suriah.

Inilah kebobrokan moralitas ‘intervensi kemanusiaan’ ala imperium, baik dalam varian Neokon, Liberal, ‘Kiri-tengah,’ maupun ‘Islam-progresif’-nya. Masih segar dalam ingatan kita – setidaknya, ingatan saya – bagaimana berbagai intelektual dan tokoh publik mendadak menjadi segerombolan pandir, mendukung invasi atas Iraq atas nama ‘kemanusiaan’ dan ‘pembebasan’ yang bersifat semu jikalau bukan omong kosong sama sekali. Hasilnya? Kemelut yang tak kunjung reda di Afghanistan, Iraq dan kemudian Libya – semuanya diproyeksikan menjadi ‘model demokrasi’ di Timur Tengah. Daftar target ini rupa-rupanya belum cukup memuaskan panjangnya, sampai-sampai humanitarianisme gadungan ala imperium ini juga disinyalir akan mampir ke Suriah

Dari amatan saya, setidaknya ada sejumlah kontradiksi yang luput dari pembahasan wacana serangan atas Suriah kali ini. Pertama-tama, menjadikan penggunaan senjata kimia sebagai dalih untuk menyerang Suriah terasa absurd, mengingat bahwa penindasan yang dilakukan oleh rejim Assad sesungguhnya telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum konflik politik berkembang menjadi perang sipil. Pertanyaannya, adakah ‘batas-batas’ yang menjadi patokan bagi negara lain atau komunitas internasional untuk mengintervensi sebuah konflik internal dan perang sipil yang makin memanas? Lalu, akan seperti apakah bentuk intervensi itu? Adakah bentuk-bentuk intervensi yang mungkin di luar serangan militer? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak publik dan pihak lainnya terkait dengan rencana serangan terhadap Suriah. Kemudian, terlepas dari berbagai perdebatan dan definisi soal apa yang dapat dikategorikan sebagai senjata kimiawi, Barat terutama Amerika Serikat sendiri telah memakai berbagai versi senjata kimiawi seperti Napalm dan Agen Oranye dalam jingoisme politik luar negerinya. Argumen lain, yang membuat perumpamaan serangan ke Suriah sama dengan atau setidaknya mirip dengan keharusan Amerika Serikat bergabung dalam Perang Dunia ke-II (PD II), juga terdengar absurd – poros Fasis dalam PD II melakukan aksi-aksi militer yang bersifat ekspansionis dan irredentis. Ini tentu sangat berbeda dengan kondisi Suriah sekarang. Dengan kata lain, ada semacam kemunafikan par excellence ala imperium di sini.

Kedua, serangan atas Suriah berpotensi tidak hanya meningkatkan suhu politik domestik Suriah, namun juga kondisi geopolitik regional yang sudah memanas akhir-akhir ini. Tidak hanya itu, penyerangan atas Suriah juga berpotensi memperpanjang dan mentransformasikan bentuk-bentuk konflik bersenjata dan kekerasan politik di Suriah dan Timur Tengah – lagi-lagi, kasus Afghanistan dan Iraq adalah contoh dan pengalaman dari kemungkinan itu.

Ketiga, apa yang disebut sebagai kelompok ‘oposisi Suriah’ sesungguhnya terdiri dari berbagai faksi dan kelompok yang tidak hanya memiliki kepentingan yang berbeda, namun juga ideologi yang berbeda dan bahkan saling bertikai satu sama lain. Beberapa laporan dan reportase yang diterbitkan oleh sejumlah media menyebutkan bahwa beberapa kelompok dan milisi Islamis yang memiliki koneksi dengan al-Qaeda sempat menyerang sejumlah anggota dan pemimpin dari Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army) yang berhaluan nasionalis-sekuler. Bukan tidak mungkin kalau kejadian ini akan berulang di kemudian hari. Oleh karana itu, dalam kaitannya dengan hubungan antar berbagai elemen dalam pihak oposisi di Suriah yang saya sebutkan, prospek demokratisasi dan konsolidasi demokrasi di Suriah pasca-Assad bisa jadi amatlah suram karena kurangnya, jikalau bukan ketiadaan, titik temu di antara berbagai elemen dalam kelompok oposisi.

Keempat, terdapat oposisi domestik yang cukup besar terhadap rencana serangan atas Suriah di beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Publik dan parlemen Inggris baru-baru ini mengeluarkan sebuah keputusan yang tepat sasaran, yaitu  tidak bergabung dalam operasi militer atas Suriah. Di Amerika Serikat sendiri, beberapa hasil jajak pendapat opini publik dan anggota kongres juga menunjukkan ketidaksetujuan mereka atas rencana serangan ke Suriah. Rupa-rupanya mereka yang belajar dari katastrofi di Afghanistan dan Iraq tidak sedikit jumlahnya. Serangan atas Suriah adalah pengkhianatan atas aspirasi publik.

Kelima, dan mungkin yang paling penting, meskipun serangan atas Suriah boleh jadi berhasil menggulingkan Assad, korban dari warga sipil dipastikan akan meningkat sebagai akibat dari serangan tersebut. Tidak hanya itu, lagi-lagi berkaca dari pengalaman Afghanistan dan Iraq, korban jiwa bahkan bisa jadi terus bertambah bahkan setelah Assad tumbang. Sejauh manakah Barat dapat mengurangi korban jiwa, menjamin stabilitas politik pasca-Assad dan menjaga prospek dan proses transisi rejim di Suriah? Saya sangsi Barat bisa berbuat banyak dalam menjawab empat tantangan ini.

Dari segi wacana, kontradiksi-kontradiksi ini menunjukkan keterbatasan humanisme gadungan ala panji-panji intervensi humanitarian yang sedang bergema akhir-akhir ini. Dari segi pertarungan politik dan kekuasaan, berbagai kontradiksi ini merupakan ekses dari politik luar negeri Barat yang mempromosikan ‘pembangunan imperium’ (empire building), mendukung para despot yang disebut sebagai ‘para rekan’ atau kelompok fundamentalis bersenjata yang disebut sebagai ‘pejuang pembebasan’ – untuk kemudian diperangi kembali sembari memakan korban jiwa penduduk sipil yang tidak sedikit. Kontradiksi politik ‘pembangunan imperium’ juga merembet ke dalam ranah politik domestik di negara-negara Barat: kasus invasi Afghanistan dan Iraq menunjukkan bahwa bersamaan dengan berlangsungnya dua perang tersebut, hak-hak sipil dan politik serta kesejahteraan dari warga negara di Barat semakin termarginalkan, sebagaimana dapat kita lihat dari kasus penjara Guantanamo, dan invasi pemerintah terhadap kebebasan sipil dan privasi warga negara dan politik ‘sekuritisasi’ yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas atas nama perang terhadap ‘terorisme domestik.’

Agaknya imperium tetaplah imperium; mau Bush, Obama, atau siapapun yang berkuasa, nafsu ekspansi dari imperium gak ada matinya. Tak heran apabila Tariq Ali menyebut strategi politik seperti ini sebagai ‘neoliberalisme di dalam negeri dan perang di luar negeri’ (neoliberalism at home and wars abroad).

Musim Semi yang telah menjadi Musim Gugur

Alain Badiou dalam The Rebirth of History menyatakan bahwa yang membedakan momen historis Musim Semi Arab (Arab Spring) dengan momen sejarah lain adalah kemampuannya untuk merumuskan ide politik emansipasi yang terbebaskan dari ‘hasrat untuk menjadi Barat’ (desire for the West). Meskipun saya mengamini pernyataan Badiou, semakin lama saya semakin sadar bahwa musim semi gerakan rakyat, apabila tidak dipertahankan dan diorganisir, dapat berubah menjadi musim gugur.

Mari kita ambil kasus Libya sebagai contoh. Saya tidak tahu persis apa yang dipikirkan oleh para pemberontak dan oposan kediktatoran Khadafi. Yang pasti, terlepas dari penghormatan saya atas perlawanan mereka, pihak pemberontak dan oposisi sepertinya belum mampu melampaui ‘hasrat untuk menjadi Barat,’ yang mendorong mereka untuk melempengkan jalan bagi masuknya ekspansi imperium dan kapital global di Libya. Hasilnya adalah proyek pembangunan negara post-kolonial, post-authoritarian yang tak kunjung selesai dan terus bergejolak. Baru-baru ini terdapat pertikaian mengenai pengelolaan minyak antara pihak pemerintah, berbagai kelompok milisi, korporasi internasional dan entah siapa lagi – yang pasti, rakyat Libya sendiri tidak dapat bagian dalam pertarungan atas minyak itu.

Musim Gugur Arab juga mengingatkan saya atas apa yang terjadi pasca demonstrasi dan aksi massa besar-besaran dari para pelajar dan pekerja di Paris tahun 1968. Setelah aksi-aksi yang menciptakan momen politik yang nyaris revolusioner itu, aksi-aksi massa kemudian mulai meredup, politik massa pelan-pelan berganti menjadi negosiasi di antara para elit, yang berujung dengan kemenangan politik Charles de Gaulle dan Partai Gaullis-nya menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Inilah tantangan terbesar yang kerapkali dihadapi oleh gerakan rakyat: setelah militansi massa, selanjutnya apa? Karenanya, Lacan, dalam tantangannya terhadap eksponen gerakan massa di Prancis pernah berujar, ‘Sebagai sekelompok revolusioner, kalian hanyalah sekedar orang-orang histeris yang meminta Tuan baru. Kalian akan mendapatkannya.’ Apakah berbagai kelompok oposisi dan revolusioner di jazirah Arab diam-diam mendambakan Tuan baru?

Saya khawatir, jangan-jangan inilah potret gerakan rakyat di jazirah Arab akhir-akhir ini. Di Mesir, gerakan rakyat tercerai berai, pendukung Ikhwanul Muslim dibredel peluru dan militer sebagai kekuatan parasitik kembali berkuasa, melempar kembali pendulum sejarah ke arah masa lalu yang kelam. Di Libya, gerakan rakyat justru memberi jalan atas ekspansi imperium dan kapital global, mengakibatkan pertikaian yang tak kunjung usai soal minyak dan politik. Suriah adalah kontradiksi terbesar: rakyat seakan-akan hanya punya pilihan antara menjadi mainan Assad, kelompok-kelompok politik dan milisi dengan kepentingan tersembunyi, atau para elit Barat – dengan kata lain, pilihan yang bukan pilihan.

Adakah masa depan bagi rakyat jelata di Suriah? Entah kenapa, saya pesimis. Lagi-lagi rakyat jelata hanya menjadi  debu yang tertutupi oleh keset sejarah, terinjak-injak oleh kaki-kaki para despot yang paling keji.***

Penulis berterima kasih atas masukan dari rekan Afrimadona dan Coen Husain Pontoh

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc