Belajar dari Yunani

Belajar dari Yunani

http://indoprogress.com/belajar-dari-yunani/

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

APA yang menjadi kesamaan antara Indonesia dan Yunani? Sepintas, kita dan Yunani adalah dua negeri yang sangat berbeda. Namun, negeri para dewa ini juga memiliki masalah yang tidak terdengar asing bagi kita: krisis ekonomi, krisis politik dan naiknya sentimen politik sayap kanan. Yang berbeda adalah, Yunani memiliki gerakan rakyat dan partai politik yang mampu mengartikulasikan aspirasi politik ‘dari bawah’ di tengah-tengah krisis ekonomi dan kebuntuan politiknya. Tentu saja, konteks Indonesia dan Yunani memang jauh berbeda. Namun, demi pembelajaran, tidak ada salahnya apabila kita menengok dan berkaca dari pengalaman Yunani.

Krisis dan transformasi politik di Yunani

Baru-baru ini, sebuah artikel opini di koran kenamaan New York Times oleh duo ekonom James K. Galbraith dan Yanis Varoufakis (2013) berpendapat bahwa mendukung Partai Koalisi Kiri Radikal atau yang lebih dikenal dengan singkatannya, SYRIZA, adalah satu-satunya jalan menyelamatkan Yunani dari kebangkrutan. Mengapa? Sebelum melangkah lebih lanjut, ada baiknya kita sedikit memahami konteks ekonomi-politik dan sosial di Yunani akhir-akhir ini.

Di Uni Eropa, Yunani adalah satu dari beberapa negara yang mengalami dampak paling buruk dari Krisis Finansial Global di tahun 2008. Dampak dari krisis ini masih terasa dan berlanjut hingga sekarang. Kebangkrutan ekonomi Yunani juga berdampak kepada dimensi politiknya, yang mengakibatkan Perdana Menteri George Papandreou mundur, digantikan oleh  Pemerintahan Kesatuan Nasional (National Unity Government) dan troika IMF, Komisi Eropa dan Bank Sentral Eropa. Menurut Costas Douzinas dan Joanna Bourke (2012), dua orang profesor dari Birkbeck, University of London, tekanan dari Uni Eropa beserta segenap elit Eropa dan kebijakan penghematan ekonomi dan pemangkasan subsidi (austerity policy) dalam menghadapi krisis ekonomi di Yunani, justru telah mencederai partisipasi politik dan demokrasi di Yunani. Hasilnya bukan main-main: kontraksi ekonomi sebesar 20 persen selama 4 tahun terakhir, tingkat pengangguran mencapai 22persen, pengangguran kaum muda mencapai 54persen, kenaikan 24 poin di indeks kemiskinan, serta penurunan gaji dan pensiun untuk pegawai negeri sipil yang mencapai 50 persen, setidaknya sampai dengan tengah tahun lalu. Tidak hanya itu, upah minimum dan kompensasi pengangguran (unemployment benefit) juga dipotong hingga 32 persen, ditambah lagi dengan penghapusan hak negosiasi kolektif untuk para pekerja (collective bargaining).

Krisis ekonomi ini juga berimbas ke krisis kemanusiaan. Laporan dari harian terkemuka Inggris The Guardian, mungkin bisa menjadi salah satu gambaran parahnya kondisi Yunani pada tahun lalu: para warga kelas menengah yang terpaksa mengantri di dapur umum untuk mendapat jatah makanan, tingkat tunawisma dan penyakit kejiwaan yang meningkat secara tajam, serta kesulitan akses untuk fasilitas kesehatan yang dahsyat. Dengan kata lain, suatu proses ‘proletarianisasi’ besar-besaran sedang terjadi di Yunani. Agaknya, tidaklah berlebihan jikalau kita menyebut ini sebagai bagian dari apa yang disebut Slavoj Zizek sebagai ‘Apartheid Baru’ (The New Apartheid).

Di tengah-tengah kondisi Yunani yang seperti ini, Syriza hadir sebagai representasi politik dengan tuntutan paling radikal sekaligus realistis bagi Yunani. Syriza sebagai koalisi dari berbagai partai, gerakan sosial dan elemen gerakan Kiri di Yunani, sesungguhnya memiliki sejarah yang tidak singkat. Dalam sebuah pidatonya, Sotiris Martalis (2013), anggota Internationalist Workers Left atau DEA, salah satu organisasi pendiri dan pendukung Syriza berhaluan Trotskyis, sejarah Syriza sendiri bermula dari tahun 2001 sebagai upaya dari berbagai organisasi Kiri dengan berbagai macam tendensinya dan Synapsismos, partai Kiri yang merupakan partai terbesar dari koalisi Syriza yang juga dipimpin oleh Alexis Tsipras, yang sekarang menjadi pemimpin dari Syriza. Dalam upayanya untuk bertahan dalam kontes politik elektoral di Yunani sekaligus menyuarakan aspirasi dari rakyat Pekerja, menurut Martalis, Syriza berhasil melakukan berbagai strategi yang rupanya cukup efektif. Pertama, Syriza berhasil menyatukan dan menjembatani berbagai organisasi dan elemen gerakan Kiri dengan berbagai tendensinya dalam satu wadah. Dengan kata lain, Syriza berhasil mengatasi persoalan fraksionalisasi gerakan yang seringkali terjadi di gerakan Kiri dan progresif. Kedua, Syriza berhasil menyambut momentum politik pasca krisis ekonomi di Yunani yang mendorong berbagai komponen gerakan rakyat, mulai dari petani, buruh, anak muda dan lain-lainnya untuk melakukan aksi-aksi massa dan protes yang juga bertepatan dengan gerakan Pendudukan (Occupy) global. Syriza dianggap sebagai wadah politik yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat Yunani yang termarginalisasi oleh krisis ekonomi sekaligus kebijakan teknokratis di Yunani dan Eropa. Ketiga, di saat yang bersamaan, Syriza juga tetap berkomitmen terhadap penggunaan mata uang Euroa sekaligus keanggotan Yunani di Uni Eropa. Menurut Syriza, yang seharusnya menjadi fokus perjuangan adalah kebijakan ekonomi yang lebih demokratis pasca diberlakukannya kebijakan ekonomi pemangkasan yang teknokratis alih-alih keluar dari Uni Eropa atau Eurozone – suatu hal yang juga dikampanyekan oleh beberapa kelompok elit di Yunani demi kepentingan mereka sendiri.

Tantangan yang tidak kalah beratnya lagi adalah naiknya sentimen Fasisme dan Neo-Nazi di Yunani yang diwakili oleh Golden Dawn (Fajar Emas), suatu partai sayap kanan ekstremis yang, seperti halnya banyak partai ekstrim kanan lainnya seperti British National Party (Partai Nasional Inggris) di Inggris dan National Front (Front Nasional) di Perancis, menyalahkan krisis ekonomi kepada ‘para imigran’ dan menyerukan ‘kepentingan dan kedaulatan Yunani.’ Berbagai laporan media dan rekaman video di Youtube juga menunjukkan bagaimana simpatisan Fajar Emas melakukan aksi-aksi vigilantis dan premanisme serta menyerang berbagai kelompok minoritas di Yunani – suatu sentimen yang juga didukung oleh para politisi Fajar Emas dalam pidato dan retorika politik mereka (Mckenna, 2013).

Syriza juga berkomitmen untuk menghadang naiknya Fajar Emas dan sentimen Fasis di Yunani. Bahkan, boleh dikatakan, Syriza adalah partai yang paling terdepan dalam menghadapi Fajar Emas – setelah hilangnya kepercayaan publik terhadap para pemain lama dalam politik Yunani seperti partai kiri-tengah Gerakan Sosialis Panhellenik (PASOK) dan Demokrasi Baru (New Democracy).

Hasilnya? Meskipun Syriza kalah dalam pemilu legislatif Yunani pada Juni tahun lalu, ia berhasil memantapkan posisinya sebagai partai oposisi terbesar di parlemen nasional Yunani, dengan memenangkan 71 dari 300 kursi di parlemen. Apabila ditambah dengan suara dua partai Kiri lainnya, yaitu Partai Komunis Yunani (KKE) yang memenangkan 12 kursi dan Partai Kiri Demokratik (Democratic Left) yang memenangkan 14 kursi, maka blok Kiri memiliki sekitar 97 kursi atau sekitar sepertiga dari total jumlah kursi di parlemen Yunani. Kekuatan politik ini, yang juga didukung oleh kebijakan Syriza untuk menjaga komunikasi dengan partai-partai Kiri lainnya, diharapkan dapat menjadi benteng yang efektif untuk menghadang kekuatan politik teknokratis yang disebut Marx sebagai ‘pemerintahan teknikal’ (Musto, 2011) dan kebijakan ekonomi neoliberal di Yunani.

Keberhasilan Syriza dalam kontes politik elektoral dan parlementarian di Yunani, perlu kita sambut sebagai secercah harapan menuju kemenangan politik Kiri-progresif di berbagai belahan dunia. Dalam berbagai diskusi dalam forum Festival Subversif (Subversive Festival), sebuah festival film rutin yang baru-baru ini diadakan pada bulan Mei di Zagreb, Kroasia, yang juga mengundang berbagai aktivis gerakan Kiri-progresif, di tengah-tengah ‘meredanya’ gejolak gerakan Occupy, hilangnya momentum Arab Uprising yang ‘dibajak’ oleh gerakan Islamis pasca gerakan rakyat di Timur Tengah, keberhasilan Syriza merupakan suatu gebrakan di tengah mandeknya gerakan progresif dan pencapaian yang dapat menjaga momentum dan semangat perjuangan.

Pelajaran bagi kita

Berkaca dari pengalaman Yunani, adakah pelajaran yang dapat kita ambil? Tentu saja, konteks Indonesia dan Yunani amatlah jauh berbeda. Namun, bukan berarti tidak ada pelajaran yang dapat kita petik. Antusiasme politik pasca pilkada Jakarta, beberapa gebrakan kebijakan seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), serta pemilu nasional yang akan digelar tahun depan, merupakan beberapa hal yang perlu kita amati dengan seksama dan barangkali dapat menjadi momentum untuk setidaknya menjaga repertoire perjuangan.

Dalam hal ini, saya tidak berpretensi menjadi seorang pengamat politik atau ahli nujum yang dapat menebak tren politik ke depan. Namun, apabila ada hal yang bisa kita ambil dari ‘pelajaran Yunani,’ setidaknya pelajaran tersebut dapat kita ringkas menjadi tiga hal: pertama, kombinasi antara eksistensi wadah politik yang representatif ‘dari atas’ dan gerakan rakyat ‘dari bawah’ dapat mewujudkan transformasi politik; kedua, organisasi dalam politik adalah penting; dan ketiga, berangkat dari asumsi bahwa politik adalah suatu arena dominasi elit, maka memahami karakter para elit dan kelemahan mereka amatlah penting untung mencari celah di mana gerakan rakyat dapat mencari peluang dan memanfaatkan peluang tersebut untuk transformasi sosial sekaligus untuk mematahkan dan melampaui dominasi elit.

Poin kedua dan ketiga perlu dibahas lebih lanjut di sini. Mengenai poin kedua, Jodi Dean (2012) dalam refleksinya atas gerakan Occupy mengajak kita kembali ke perdebatan lama antara kaum anarkis dan Marxis. Dalam pemaparannya, ‘asosiasi’ atau ‘praktek-praktek sosial alternatif’ yang dengan pretensi egalitarianisme namun justru menghasilkan fenomena ‘kuasi-kepemimpinan’ justru akan mencederai gerakan. Bagi Dean, organisasi dengan fungsi yang jelas, adalah penting demi keberlangsungan dan keberhasilan gerakan itu sendiri. Dalam pengamatannya atas gerakan Occupy, Dean menjelaskan bahwa slogan ‘tanpa bentuk’ dan ‘tanpa pimpinan’ ala beberapa segmen dari gerakan Occupy,  justru memunculkan ‘pemimpin informal’ (quasi-leaders) dan agenda-agenda yang dianggap sebagai ‘konsensus bersama,’ yang padahal, hanyalah agenda-agenda yang muncul dari beberapa kelompok dominan dalam gerakan Occupy. Dalam konteks inilah, Dean berpendapat, organisasi dengan fungsi, hierarkhi dan kepemimpinan yang jelas justru dibutuhkan demi proses-proses politik yang deliberatif, transparansi dan keberlangsungan dari gerakan itu sendiri. Pengalaman Syriza adalah pengalaman bagaimana mengtransformasikan potensi gerakan progresif menjadi organisasi politik dengan tujuan, fungsi, dan hierarkhi yang jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam kaitannya dengan poin ketiga, agaknya tidaklah berlebihan untuk kembali melihat kepada ‘kondisi objektif’ politik Indonesia di lapangan, terutama pada tingkat subnasional atau lokal. Berbagai studi tentang politik Indonesia dewasa ini, terutama dari perspektif ekonomi politik, telah menggarisbawahi kenyataan dominasi elit pasca-Soeharto terutama di tingkat lokal. Dari perspektif yang lebih empirik, kita bisa melihat bahwa berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (2011) tentang latar belakang para kepala daerah pasca pemilihan umum kepala daerah tahun 2010, dominasi beberapa kelompok elit seperti birokrat (yang beberapa diantaranya dapat kita asumsikan mengalami hidup di bawah rezim Orde Baru dan karenanya mungkin juga mewarisi mentalitas Orba) dan pengusaha (yang memiliki kapital yang dapat dengan mudah ‘ditransfer’ menjadi kekuatan politik) nampaknya mengamini hipotesis dominasi elit di tingkat lokal.

Suatu saat, akankah kita memiliki organisasi progresif yang mewakili gerakan rakyat yang memiliki legitimasi yang kuat seperti Syriza? Tentu, hanya kita sendiri yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan

Dean, J. (2012). The Communist Horizon. London: Verso.

Douzinas, C., and Bourke, J. (2012, June 17). A Syriza victory will mark the beginning of the end of Greece’s tragedy. Retrieved June 25, 2013, from The Guardian: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/jun/17/syriza-victory-greece-austerity-crisis

Galbraith, J. K., and Varoufakis, Y. (2013, June 23). Only Syriza Can Save Greece. Retrieved 25 June, 2013, from New York Times: http://www.nytimes.com/2013/06/24/opinion/only-syriza-can-save-greece.html?_r=2&amp

Kementerian Dalam Negeri. (2011). Profil Kepala Daerah Hasil Pemilukada 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Republik Indonesia.

Martalis, S. (2013, June 5). The role of the left in SYRIZA. Retrieved June 25, 2013, from SocialistWorker.org: http://socialistworker.org/2013/06/05/role-of-the-left-in-syriza

Mckenna, T. (2013, February 10). Golden Dawn: The Development of Greek Fascism. Retrieved June 25, 2013, from Monthly Review: http://mrzine.monthlyreview.org/2013/mckenna100213.html

Musto, M. (2011, November 17). Political Crisis in Italy and Greece: Marx on ‘Technical Government.’ Retrieved June 25, 2013, from Monthly Review: http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/rakyat-jelata-sejarah-dan-perjuangan/

SEORANG pejabat terkemuka di Republik kita baru saja meninggal dunia. Kepergiannya langsung disambut oleh ratusan pesan pendek, ucapan belasungkawa, liputan yang ekstensif dari media massa dan barisan karangan bunga. Perlu dicatat, saya tidak sedang mempermasalahkan ucapan belasungkawanya, yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban kita sebagai manusia. Yang saya persoalkan lebih pada glorifikasi atas pejabat tersebut.

Belum lama ini juga, di tengah-tengah kebingungan para elit Indonesia atas ‘krisis kepemimpinan’ di antara mereka, beberapa figur pejabat publik dengan ‘reputasi internasional,’ yang memiliki ‘integritas’ dan ‘profesionalisme’ digadang-gadang sebagai ‘figur alternatif’ untuk pemilu presiden 2014 mendatang. Berbagai tokoh alternatif ini, terlepas dari berbagai perbedaan mereka, memiliki satu kesamaan: para pendukungnya selain datang dari kelompok elit predatoris dan kelas menengah reaksioner, atau gabungan dari keduanya.

Di saat hiruk-pikuk dan gegap-gempita ucapan belasungkawa, transaksi politik dan proses saling dukung mendukung, serta manuver-manuver politik menjelang ajang pemilu, kita menyaksikan betapa semakin langkanya pemberitaan mengenai rakyat miskin yang meninggal karena kelaparan, buruh yang mengalami ketidakadilan kerja, kaum tani yang dirampas haknya, hingga kelompok minoritas keagamaan yang terusir dari rumah ibadah dan kampungnya sendiri. Tuduhlah saya sebagai seorang romantik, namun saya pikir kita patut kesal terhadap keadaan ini. Karena itu selama koran, televisi dan media masih melaporkan pertumbuhan dan bukannya kesenjangan ekonomi, naik-turunnya harga saham dan bukannya harga-harga kebutuhan pokok, upacara dan penghargaan para pejabat dan bukannya pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik warga biasa dan menganggap kemiskinan serta pelanggaran HAM sebagai statistik belaka, maka kita patut kesal – dan karenanya kita, rakyat jelata, perlu menulis sejarah kita sendiri.

***

Fenomena glorifikasi elit, usianya jauh melampaui umur Republik. Juga bukan cerita eksklusif Indonesia semata. Dalam berbagai narasi tentang perang dari zaman Kekaisaran Romawi hingga invasi Iraq, sejarah pada dasarnya adalah cerita yang didominasi oleh para elit. Sejarah dan politik bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ para tokoh yang menggerakkan roda zaman dan perubahan. Rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan sejarah. Parahnya lagi, kultus individu dan mesianisme merebak terus.

Penyakit ini juga menjangkiti semua kelompok: Stalin mengkhianati Revolusi Bolshevik; Partai Komunis Cina mempromosikan Neoliberalisme di China; Revolusi Iran menghasilkan rezim yang represif; dan berbagai gerakan pembebasan nasional menghasilkan negara-negara poskolonial dengan berbagai macam masalah yang tak kunjung usai.

Agar kita tidak terlalu lama mengernyitkan dahi dan mengelus dada, mari kita mencari petunjuk ke dunia lain: seni dan sastra.

Seni dan sastra bisa menjadi sumber inspirasi bagi perjuangan dan kritik terhadap mereka yang berkuasa. Namun, ia tak melulu berbicara mengenai hal-hal yang ‘berat,’ seperti politik dan partai. Justru, seni dan sastra terkadang banyak berbicara mengenai keindahan dan kejenakaan dari hal-hal yang bersifat keseharian – hal-hal yang kemudian menjadi pendorong pergerakan dan pengingat akan pentingnya perjuangan.

Tak percaya? Coba simak kisah Alberto ‘Mial’ Granado dan Ernesto ‘Fuser’ Guevara dalam kisah The Motorcycle Diaries. Ini adalah catatan harian Fuser, kemudian diangkat menjadi film, yang berkisah tentang petualangan dua anak muda nekat ‘menaklukkan’ jalanan benua Amerika Latin dengan mengendarai motor.  Melalui petualangan itu, Fuser – yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘Che’ (‘kawan’ dalam Bahasa Spanyol dialek Argentina) Guevara – dan Mial, mendulang banyak sekali inspirasi dari pertemuan dengan ‘orang-orang biasa’ dari berbagai negara dan karya-karya sastra yang mengangkat kehidupan orang-orang biasa tersebut. Dalam buku hariannya itu, Che bercerita bagaiamana ia kerapkali meluangkan waktu untuk membaca puisi-puisi karya Federico Garcia Lorca atau Pablo Neruda. Di versi layar lebarnya, Che digambarkan sering melantunkan barisan-barisan puisi, kemudian Mial atau orang yang kebetulan mereka tumpangi kendaraannya, akan menebak-nebak: Garcia Lorca? Neruda?

Kebetulan, dua penyair berbahasa Spanyol itu memiliki kesamaan dalam kegemaran mereka mengangkat cerita dan kisah sederhana tentang alam, tradisi, dan kehidupan rakyat jelata.

Dari negeri sendiri, coba simak syair dan puisi dari Wiji Thukul, seorang intelektual organik kelas pekerja Indonesia. Thukul dikenang karena orisinilatas dan militansinya, yang terpatri dalam frase dan ungkapan seperti ‘hanya ada satu kata, lawan!’ atau ‘aku pengin meledak sekaligus jadi peluru’. Namun, orang lupa dengan sisi Wiji Thukul yang lain. Dalam pengantarnya dalam salah satu buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Mencari Tanah Lapang, Arief Budiman mengungkapkan bahwa Wiji ‘Bukan mau menjadi pahlawan kaum miskin di dunia ini. Dia cuma mau bercerita tentang nasibnya yang tidak kunjung bertambah baik.’ Berangkat dari keinginan yang sederhana ini, ‘tiba-tiba Wiji Thukul menjadi penyair nasional…juga internasional. Padahal Wiji Thukul cuma ingin menulis puisi kampung.’

Dalam dunia seni lukis, ada juga Affandi. Pelukis yang sering dilabeli sebagai bagian dari aliran ekspresionisme itu, suatu label yang seringkali ia pertanyakan, sering mengangkat tema-tema sederhana, seperti para pengemis, orang-orang tak berumah, atau terkadang dirinya sendiri.

***

Kembali ke perbincangan kita sebelumnya soal sejarah. Dalam pandangan saya, para seniman tersebut adalah pengingat: perubahan tidak selalu berasal dari hal-hal ‘besar’ dan ‘berat.’ Ia tidak selalu identik dengan sejumlah tangan yang mengepal di udara, atau suara-suara lantang yang menyanyikan lagu-lagu mars perjuangan. Terkadang, ia berangkat dari hal-hal yang sederhana, seperti menyapa dan belajar dari banyak orang biasa, dari mereka yang terpinggirkan dan dianggap ‘tidak tahu apa-apa’ oleh paradigma developmentalis ala teori modernisasi dan ambivalensi kelas berpunya dan kelas menengah.

Oleh karena itu, sejarah tidak musti melulu bercerita tentang ‘orang-orang besar’ yang mengubah dunia. Ia juga bisa bercerita tentang para buruh dan tani, kaum budak, masyarakat asli dan berbagai kaum minoritas lainnya yang terpinggirkan dalam sejarah. E.P. Thompson, sejarawan Marxis terkemuka asal Inggris, misalnya, dalam magnum opus-nya, The Making of the English Working Class, membahas tentang kelas bukan hanya sebagai kategori sosial, namun juga sebagai proses dan kesamaan pengalaman yang kemudian membentuk suatu identitas kelas buruh di Inggris. Thompson mengingatkan kita bahwa kelas buruh bukanlah sebuah kategori statistik atau abstraksi teoretik belaka, melainkan sebuah entitas sosial yang hadir dan tumbuh karena suatu proses sejarah. Ada agency atau peranan kelas buruh itu sendiri di sana.

Dalam kajian-kajian tentang kaum petani, James C. Scott dan Benedict Kerkvliet juga menunjukkan bagaimana kaum tani, di tengah-tengah proses eksploitasi yang dilakukan oleh institusi negara dan pasar, rupa-rupanya mampu melakukan perlawanan, meskipun secara kecil-kecilan dan simbolik, melalui apa yang disebut sebagai everyday forms of resistance atau perlawanan keseharian, seperti tindakan mengemplang pajak, mengurangi jumlah dan kualias setoran hasil panen wajib, dan lain sebagainya. Beberapa kajian antropologis, seperti yang diungkapkan oleh antropolog radikal David Graeber dalam rekaman kuliahnya, juga menunjukkan bagaimana praktek-praktek politik di beberapa kelompok masyarakat adat membuka peluang bagi bentuk-bentuk praktek politik yang lebih demokratis, deliberatif dan egaliter – seperti proses rapat dan pengambilan keputusan yang meskipun memakan waktu lama, namun memastikan bahwa setiap anggota komunitas mendapat kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan berkontribusi.

Namun, ada pertanyaan penting yang terlewatkan di sini: berangkat dari cerita tentang perubahan dan perlawanan yang bersifat lokal dan partikular, tidakkah kita melewatkan ‘tujuan utama’ kita untuk melakukan transformasi sosial yang lebih besar? Menurut saya, ini pertanyaan yang cukup mengena. Gugusan perjuangan yang bersifat lokal harus bertransformasi menuju perjuangan yang bertujuan dan berskala lebih besar. Tetapi, dalam hemat saya, beberapa hal perlu diperhatikan di sini.

Pertama adalah tantangan dalam melewati dan melampaui logika negara. Sejarah menunjukkan, seringkali perebutan institusi negara oleh gerakan rakyat tidaklah cukup. Dari berbagai kajian mengenai negara, saya pikir buku James C. Scottt, Seeing Like a State, adalah pengingat yang baik tentang bagaimana perebutan institusi negara oleh kaum High Modernists atau ‘Modernis Tinggi,’ mereka yang percaya akan proses pembentukan negara (state formation) dan pembangunan yang bersifat top-down, dengan segala variasinya, pada akhirnya justru akan melemahkan dan bahkan melumpuhkan gerakan rakyat itu sendiri. Scott kemudian berkesimpulan bahwa proses-proses politik membutuhkan penghargaan akan metis atau pengetahuan yang bersifat lokal – tentunya tanpa terjebak oleh ‘idealisasi’ dan pandangan yang esensialis atas apa-apa yang disebut sebagai pengetahuan lokal tersebut.

Kedua, perlawanan dan narasi yang bersifat lokal, particular, dan keseharian sesungguhnya bisa ditempatkan dalam narasi sejarah yang bersifat lebih besar dan universal. Tiap-tiap tempat dan daerah punya ‘hukum’ dan konteksnya sendiri, namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil abstraksi dan refleksi dari gugusan perlawanan lokal tersebut. Perlawanan dan narasi ‘kecil-kecilan’ ini sesungguhnya merupakan bagian dan kesinambungan dari apa-apa yang dilakukan oleh kaum Jacquaries di Perancis, levellers dan chartists di Inggris, dan petani penggarap serta masyarakat adat mulai dari zaman Yunani Kuno hingga di berbagai belahan Dunia Ketiga.

Tentunya, perlawanan juga adalah proses dan praktek pembelajaran. Kita musti berhati-hati agar ia tidak terjebak menjadi semacam ‘ratu-adil-isme’ atau romantisme ala anak muda yang baru belajar. Untuk mengujinya, tentu tidak bisa hanya sekedar bergelut di ranah produksi pemikiran atau diskusi wacana-wacana terbaru. Karenanya politik menjadi keniscayaan dan proses yang senantiasa dialektis.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Walter Benjamin mengingatkan bahwa selain optimisme akan masa depan yang lebih baik, kita juga perlu mengaitkan ‘yang sekarang’ (the present) dengan ‘yang lalu’ (the past). Kenangan akan kekalahan dan terkubur dalam narasi sejarah juga akan mendorong kita melangkah lebih jauh.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc