Tiada Lagi Berita dari Asia Afrika

Tiada Lagi Berita dari Asia Afrika

JALAN-JALAN di kota Bandung kembali diatur ulang. Jalan-jalan yang kembali dipenuhi oleh mobil-mobil yang membawa para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika – dua kawasan di mana orang-orang kulit berwarna tinggal. Sejenak kita takjub melihat keramaian tersebut, sampai kemudian kita sadar, ‘oh ada Konferensi Asia Afrika (KAA) rupanya.’

Mungkin seperti itulah reaksi kebanyakan orang tatkala melihat konvoi mobil para petinggi negara beserta pengawal-pengawalnya. Setelah itu, kebanyakan dari kita kembali melanjutkan aktivitas seperti semula. Sehingga, saya jadi bertanya-tanya: masih relevankah KAA?

Mungkin bagi sebagian orang, termasuk Presiden Jokowi, yang membuka KAA dengan pidato yang penuh kritik atas tatanan ekonomi-politik global saat ini – sebuah pidato yang membuat saya garuk-garuk kepala membayangkan apakah dia akan seberani ini mengkritik para oligark, komprador, dan penjahat kemanusiaan di negerinya sendiri – KAA adalah momen politik internasional yang sangat penting. Setidaknya KAA membuat Indonesia tetap ‘muncul’ di kancah pergaulan antar bangsa dan karenanya membantu upaya-upaya diplomasi dan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Soal solidaritas dengan sesama bangsa Selatan itu urusan nanti. Pandangan yang lebih sinis, yang juga saya amini, menyatakan bahwa sekarang KAA tak ubahnya seremoni belaka yang menjadi ajang arisan banyak pemimpin dengan reputasi buruk – koruptor, pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan penghisap rakyat kecil.

Agar tidak terlampau sinis dan nyinyir, mungkin ada baiknya kita kembali menengok ke masa lalu

Kita tahu bahwa ide tentang KAA dicetuskan oleh sejumlah pemimpin negara-negara Asia yang baru saja merdeka, di mana Indonesia tergabung sebagai salah satu pencetusnya. Namun, ada cerita yang jauh lebih menarik dan kompleks daripada itu. Kita perlu beranjak dari narasi simplistis tentang KAA yang cenderung berpusat dari pengalaman para presiden dan perdana menteri, orang-orang besar, the great men.

Ada satu pesan yang menyatukan bangsa-bangsa kulit berwarna ini: anti-(neo)kolonialisme dan imperialisme, alias anti-nekolim, meminjam istilah Bung Karno. Pesan ini mewujud pada suatu aspirasi universal: pembebasan nasional. Tentu saja sejarah dan pengalaman kolonial tiap-tiap masyarakat berbeda satu sama lain. Menyamaratakan pengalaman tersebut berarti sama saja melihat sejarah kolonialisme secara esensialis dan menegasikan agensi dari bangsa-bangsa yang dijajah, sebagaimana yang dilakukan oleh para kolonialis jaman dulu. Tetapi terlepas dari berbagai perbedaannya, ada banyak irisan kesamaan pengalaman yang kemudian menyatukan nasib bangsa-bangsa berwarna ini.

Sesungguhnya sejarah kolonialisme dan imperialisme belum begitu jauh jaraknya dari kita, paling-paling hanya sekitar ratusan tahun. Kita tahu, dua proyek ekonomi-politik dan kebudayaan tersebut membuat benua-benua berwarna – Asia, Afrika, dan Amerika Latin – seakan-akan tidak memiliki sejarah sebelum bangsa-bangsa Barat ‘menemukan’ mereka. Kita seakan-akan menjadi, meminjam istilah antropolog Eric Wolf, ‘orang-orang tanpa sejarah’ (people without history). Padahal sejarah menunjukkan bahwa – tanpa harus terjebak dalam glorifikasi dan romantifikasi masa lalu – jauh sebelum kolonialisme, bangsa-bangsa kulit berwarna telah mencoba meniti jalur modernitas alternatif. Di Jepang, Daikichi Irokawa dalam The Culture of Meiji mencatat bahwa di masa pergolakan selama Restorasi Meiji, sejumlah elemen dari kaum tani mencoba merumuskan konstitusi alternatif sebagai tandingan terhadap konstitusi yang dirumuskan oleh elit restorasionis. Di Asia Tenggara, sejumlah sejarawan terkemuka seperti Anthony Reid dan Geoff Wade telah menulis mengenai ‘zaman perdagangan’ (the age of commerce) di mana orang-orang dengan berbagai latar belakang etnisitas yang berbeda – Asia Tenggara, Arab, India, dan Cina – berinteraksi satu sama lain dalam jalur perdagangan Asia yang berkembang pesat pada saat itu. Hingga kemudian para kolonialis datang. Tentu saja kolonialisme tidak serta merta datang dan kemudian menaklukkan serta menindas subjek kolonialnya. Kenyataannya jauh lebih rumit daripada itu. Tetapi seringkali proyek kolonialisme berhasil karena ia difasilitasi oleh elit atau komprador lokal yang memungkinkan cengkeraman kolonial yang lebih mendalam di suatu masyarakat.

Persis di titik inilah, kita kemudian sadar, bahwa proyek dekolonisasi tidaklah semudah yang dibayangkan. Ada lapisan-lapisan masyarakat, ada kelas-kelas yang diuntungkan dari keberlangsungan tatanan masyarakat kolonial. Tak heran apabila Frantz Fanon dalam traktatnya yang terkenal itu, The Wretched of the Earth, dari jauh-jauh hari telah mengingatkan mengenai peranan kelas komprador ekonomi-politik lokal sebagai pelanggeng proyek nekolim dalam berbagai bentuknya, baik yang vulgar dan jelas terlihat maupun dalam wujudnya yang lebih halus dan sublim.

Tantangan besar dekolonisasi yang menyeluruh inilah yang dihadapi oleh bangsa-bangsa Asia dan Afrika, 60 tahun silam. Jangankan untuk mewujudkan proyek politik tersebut, untuk merumuskannya saja tidaklah mudah. Dipesh Chakrabarty, sang pendekar postkolonial itu, dalam salah satu esai terbarunya yang berjudul The Legacies of Bandung: Decolonization and the Politics of Culture menjabarkan sejumlah ketegangan ideologis selama proses persiapan dan penyelenggaraan KAA. Ada negara-negara yang lebih dekat ke Amerika Serikat (AS) dan bergabung dalam pakta pertahanan yang dipimpin Barat, SEATO, seperti Thailand dan Filipina, ada juga negara-negara yang lebih dekat ke Uni Soviet, termasuk China yang baru saja memproklamasikan diri sebagai Republik Rakyat. Ada prasangka-prasangka yang tidak dengan begitu saja mudah untuk hilang, seperti Nehru yang sangsi apakah Indonesia bisa dengan lancar menyelenggarakan KAA dan khawatir dengan ketersediaan kamar mandi yang layak bagi para peserta konferensi hingga Roeslan Abdulgani yang terlampau membesar-besarkan perbedaan antara peradaban Barat dan Timur dalam pidato pembukaannya untuk KAA. Ada kecenderungan paternalistik yang kuat dalam benak para pemimpin negara-negara baru ini dalam gaya kepemimpinan mereka, yang memposisikan diri mereka sebagai “guru” yang harus mendidik rakyat mereka sebagai “murid” yang memiliki aspirasi sebagai orang merdeka namun tidak tahu cara terbaik untuk mencapai kemerdekaan.

Tetapi, terlepas dari ketegangan tersebut, ada upaya bersama untuk mewujudkan sebuah dunia baru, a brave new world, yang bebas dari ketertindasan, yang memungkinkan pelaksanaan janji-janji universal Abad Pencerahan – Kesetaraan, Kebebasan, dan Keadilan. Apabila seorang postkolonial dengan kecenderungan posmodernis seperti Chakrabarty menekankan pada partikularitas pengalaman kolonial dan upaya dekolonisasi dari bangsa-bangsa kulit berwarna, saya justru melihat universalitas pengalaman upaya anti-nekolim, pembebasan nasional, dan dekolonisasi sebagai benang merah yang menyatukan berbagai bangsa kulit berwarna yang melawan ketertindasannya yang mewujud dalam terobosan politik seperti KAA. Slogan-slogan khas KAA yang menekankan pertentangan antara dunia lama dan baru seperti Old Established Forces dan New Emerging Forces alias OLDEFOS dan NEFOS mungkin telah terdengar begitu usang, bagaikan fosil dari dekade 1960an, tetapi esensinya tetap relevan – interseksionalitas antara ras dan kelas, sejarah sebagai pertarungan antar kelas, dan ketertindasan bukan hanya sebagai fenomena struktural tetapi juga pengalaman bersama yang memungkinkan subyek-subyek kolonial untuk merumuskan kritik dan kekuatan politik atas praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme – dengan kata lainkeniscayaan materialisme historis.

Tapi itu dulu. Sekarang jaman sudah banyak berubah. Beberapa dekade setelah KAA dan upaya diplomatik progresif negara-negara dunia ketiga lainnya seperti Gerakan Non-Blok (GNB) diluncurkan, ajang pertemuan internasional semacam ini perlahan tapi pasti mulai berubah menjadi klub pertemuan diktator opresif yang juga maling kelas satu, mulai dari Suharto hingga Mobutu Sese Seko. Lambat laun, agenda-agenda seperti ini mulai berubah menjadi arisan tahunan para pemimpin negara dunia ketiga, tanpa orientasi ideologis yang jelas.

Tidak hanya itu, kondisi tatanan dunia juga berubah drastis. Uni Soviet tumbang. China tidak lagi identik dengan tentara merah dan Zhou Enlai, melainkan dengan Shenzen, Hong Kong, dan gedung-gedung yang menjulang tinggi di Shanghai dan Beijing sekaligus kesenjangan sosial-ekonomi yang makin tinggi dan kontrol politik yang tak kunjung bergenti. Semenjak dekade 1970an akhir, neoliberalisme menjadi diskursus ekonomi-politik yang begitu hegemonik. ‘Efisiensi’ dan ‘pertumbuhan ekonomi’ alih-alih ‘tatanan ekonomi-politik yang lebih adil’ dan ‘solidaritas’ menjadi kata-kata kunci yang dominan dalam kerangka ideologis dewasa ini. Tetapi persoalan bukan hanya terletak semata-mata pada faktor internasional. Kesalahan dalam kebijakan-kebijakan dalam negeri rejim-rejim berorientasi anti-kolonial dan nasionalis di negara-negara dunia ketiga juga menjadi salah satu penyebab utama mengapa semangat Afro-Asianisme dan third-worldism kehilangan daya tariknya. Kita bisa saja menyematkan sebagian kesalahan kepada iklim Perang Dingin di waktu itu, tetapi paternalisme yang mengurat mengakar dalam benak sejumlah pemimpin bangsa-bangsa Asia dan Afrika, menyebabkan pandangan mereka terhadap rakyat mereka sendiri hampir-hampir sebelas dua belas dengan para kolonialis jaman dahulu: rakyat masih ‘belum siap’, kaum pemimpin dan intelektual musti ‘memandu massa’, ruang-ruang demokratik untuk partisipasi massa bisa menyebabkan ‘kekacauan’. Apabila massa rakyat mulai mengambil inisiatif sendiri, siap-siap saja mereka diberi label ‘anarkis,’ ‘avonturir,’ hingga ‘sindikalis,’ tentu dalam konotasinya yang pejoratif, mulai dari Indonesia hingga Vietnam. Alhasil mereka memaksakan suatu mode pembangunan yang berorientasi, meminjam istilah James Scott, ‘modernis tinggi’ – berorientasi top-down, sangat ‘teknokratik’ dan ‘saintistik’ meskipun belum tentu saintifik, dan kadang kala, atau lebih tepatnya sering kali, diimplementasikan dengan cara-cara yang koersif atau bahkan represif. Mulai dari kebijakan rumah susun Lee Kuan Yew hingga penataan desa terpadu (villagization) Julis Nyerere, tidak sedikit ongkos sosial yang ditimbulkan dari kebijakan modernis tinggi seperti ini.

Karenanya, tiada lagi berita dari Asia dan Afrika. Namun, bukan berarti harapan benar-benar tidak ada. China melalui korporasi-korporasi dan investasi luar negerinya boleh saja menjadi salah satu pelaku perampasan tanah (land-grabbing) paling intens di negara-negara berkembang, menyaingi investasi-investasi dari Eropa dan negeri-negeri Barat lainnya, tetapi kaum tani tidak berhenti berlawan – di berbagi tempat, banyak serikat petani dan gerakan sosial berbasis pertanian tumbuh sebagai respon dari upaya pemiskinan seperti itu. Di Amerika Latin, benua di mana politik kerap kali didominasi oleh kepentingan negara-negara utara seperti AS atau oligarki dua atau tiga partai yang hanya merepresentasikan faksi-faksi kelas yang berkuasa, pemerintahan-pemerintahan Kiri dengan orientasi demokrasi radikalnya perlahan-lahan berhasil memecah dominasi oligarki dan melakukan perubahan-perubahan kebijakan yang nyata dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat pekerja. Pun di Eropa, tanah asal para penjajah dulu, yang menunjukkan lelahnya warga biasa dengan ‘totalitarianisme’ pasar dan ‘kedikdatoran’ Uni Eropa beserta Bank Sentralnya. Yang menyatukan berbagai pengalaman ini, mulai dari pemberontakan Zapatista di Meksiko hingga protes Ibu-ibu Rembang di depan istana adalah satu fakta yang ironis: yang sunguh-sungguh melakukan upaya dekolonisasi bukanlah para pemangku kekuasaan dan pembuat kebijakan di negara-negara dunia ketiga, melainkan jutaan rakyat pekerja yang ‘tak bernama’, the nameless masses, yang percaya dengan ide-ide tentang kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan yang paling radikal[1].

Presiden Jokowi bisa saja menyampaikan pidato yang berisi kritik mengenai tatanan ekonomi-politik dunia sekarang, dan kita bisa saja meributkan siapa yang merumuskan pidato tersebut, tetapi klaim-klaim dan keributan tersebut menjadi tidak ada artinya apabila setumpuk urusan publik yang berkaitan erat dengan berbagai bagian kehidupan dari rakyat pekerja, mulai dari persoalan buruh migran dan hukuman mati hingga reformasi kepolisian dan industri yang mengancam kehidupan orang banyak dan merusak lingkungan luput dari perhatiannya dan kita.

Dan apabila benar bahwa hal-hal genting tersebut luput dari perhatian kita, maka berarti benar adanya bahwa tiada lagi berita dari Asia Afrika. Mungkin saya terlampau sinis, dan mudah-mudahan saya salah. Satu-satunya hal yang menyelamatkan saya mungkin adalah ucapan seorang kakek dan veteran perang dari Vietnam, Le Nam Phong, dalam satu artikel terbitan koran Guardian: ‘Tujuan seluruh pertarungan ini adalah untuk membangun sebuah masyarakat sosialis, untuk meraih kebebasan, kemerdekaan, dan kebahagiaan. Di hari-hari awal melawan Perancis dan AS, kami sudah membayangkan masyarakat yang ingin kami wujudkan: sebuah masyarakat dimana tidak ada eksploitasi antar sesama manusia, adil, mandiri, dan setara.’

Dibalik KAA, dibalik Sukarno, Sihanouk, dan Ho Chi Minh, atau di dalam konteks sekarang, dibalik Jokowi dan peserta seremoni KAA lainnya, ada jutaan manusia, rakyat pekerja yang tak dikenal, yang tidak hadir dalam ruang-ruang rapat dan pertemuan konferensi, yang percaya dengan dan berusaha mewujudkan ide-ide tersebut.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

————-

[1] Tulisan kawan Umar baru-baru ini membahas secara bernas soal sejumlah upaya ‘dari bawah’ ini dihttp://indoprogress.com/2015/04/membangkitkan-kembali-api-bandung-catatan-untuk-kaa-2015/

‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 1)

http://indoprogress.com/2015/04/anti-demokrasi-sebuah-telaah-atas-konsep-demokrasi-dan-segenap-pembacaannya-bagian-1/HARI-HARI yang paling membosankan, membingungkan, dan membuat frustasi adalah ketika berbagai diskursus politik begitu menjemukan, repetitif, berorientasi instan, dan tidak terbedakan satu sama lain. Salah satu contoh dari diskursus tersebut adalah sebuah konsep yang sering kita dengar: demokrasi. Adalah satu hal yang ironis tatkala demokrasi menjadi sebuah ‘penanda kosong’ (empty signifier) yang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, menjadi sejumlah pembacaan yang terkadang kontradiktif satu sama lain.

Akibatnya jelas; pada akhirnya, tidak ada bedanya antara ‘demokrasi’ menurut para oligark dan ‘demokrasi’ menurut rakyat pekerja, antara ‘demokrasi’ menurut penjahat perang dan aktivis anti-perang, antara ‘demokrasi’ menurut Pinochet dan Allende, antara ‘demokrasi’ menurut tatanan imperium global dan orang-orang tanpa sejarah (people without history). Dalam konteks yang lebih dekat, yaitu perkembangan politik kita hari ini, ‘demokrasi’ kemudian tereduksi maknanya menjadi oper-operan bola antara Jokowi-Mega-Paloh-PDIP-dan segenap elit politik lain. Adalah ironis tatkala lembaga-lembaga paling teknokratis seperti Bank Dunia, agen-agen imperium seperti pasukan-pasukan negeri Barat yang ‘membebaskan’ Timur Tengah dari ‘kediktaroran’, dan sejumlah tokoh politik, komentator, dan intelektual sayap Kanan dengan berbagai variannya mulai dari Thatcher, para pengamat politik sayap Kanan di acara-acara televisi di Amerika Serikat (AS), hingga intelektual-intelektual binaan korporasi-korporasi besar menggunakan retorika ‘demokrasi’ dan kemudian menyandingkannya dengan istilah-istilah seperti ‘pasar bebas’, ‘efisiensi’, ‘identitas nasional’, ‘nilai-nilai tradisional’, dan lain sebagainya.

Jalan keluar dari kebuntuan diskursif ini menyaratkan penelusuran dan kritik yang mendalam atas konsep yang dijadikan tameng ideologis untuk menjustifikasi agenda-agenda politik yang paling konservatif dan reaksioner: demokrasi.

Beberapa Tesis tentang Demokrasi

Berdasarkan penelusuran terbatas saya atas sejumlah karya-karya kunci dalam kajian politik perbandingan dan filsafat politik, saya mengusulkan konsep demokrasi bisa kita sederhanakan dalam sejumlah tesis. Satu kemungkinan pembacaan atas konsep demokrasi dapat disederhanakan ke dalam sejumlah tesis berikut ini:

  1. Demokrasi sebagai ekspresi politik kelas
    • Demokrasi sebagai tatanan dan perangkat politik kelas yang berkuasa
  2. Demokrasi sebagai mekanisme pemilihan dan perputaran elit
    • Demokrasi menyarakat separasi antara elit dan warga serta negara dan masyarakat
  3. Konsensus sebagai sendi utama politik demokratik

Untuk memahami evolusi konsep demokrasi, kita perlu memahaminya dalam konteks sejarahnya. Konsep demokrasi sebagaimana kita pahami sekarang ini, yaitu yang identik dengan pemilihan umum (pemilu), hak-hak dan kebebasan dasar (basic rights and liberties) seperti kebebasan sipil dan politik, dan pergantian kekuasaan sesungguhnya merupakan pembacaan yang cukup baru. Pembacaan ini setidaknya mulai populer di tengah Abad ke-19, hingga sekarang. Tetapi, demokrasi tidak melulu identik dengan pembacaan tersebut. Apabila kita bergerak mundur lebih jauh lagi, lebih tepatnya ke masa Yunani Kuno, maka akan kita temukan bahwa konsep demokrasi pada awalnya selalu berkaitan dengan konflik dan perjuangan kelas. Dimensi kelas dari konsep demokrasi inilah yang dibahas secara mendetail oleh Aristoteles dalam karya klasiknya, Politics, di mana ia mendefinisikan demokrasi sebagai kekuasaan politik kelompok miskin. Tak heran apabila berabad-abad sesudahnya para kritikus demokrasi kerap kali melabeli demokrasi sebagai mob rule atau kekuasan kerumunan yang kacau. Di AS – negara yang kerap kali mengekspor ‘demokrasi’ – Alexandor Hamilton, presiden ke-empat AS, negarawan terkemuka, dan anggota dari kolektif The Federalists, mewanti-wanti ‘akibat yang berlebihan dari demokrasi murni’ (the excess of pure democracy) dan menganjurkan perlindungan atas hak-hak kelompok minoritas dari tirani mayoritas – dengan kata lain faksi-faksi dari kelas yang berkuasa dan mengontrol sumber-sumber perekonomian dari mayoritas rakyat biasa yang tidak berpunya. Dalam konteks yang lebih dekat, yaitu rejim-rejim otoriter-birokratik (bureaucratic authoritarian regimes) di Amerika Latin dan Asia, demokrasi dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional karena demokrasi memungkinkan mobilisasi dan pengorganisiran politik dari kelas bawah – satu hal yang juga diam-diam diamini oleh faksi konservatif dari lapisan kelas menengah dan orang kaya baru di negara-negara tersebut.

Ini tentu saja menjadi masalah bagi mereka yang berkuasa. Tetapi, ada cara untuk mengatasi persoalan tersebut. Caranya, karakter kelas dari konsep demokrasi tetap dipertahankan, tetapi maknanya diplintir. Mereka tidak lagi berbicara ‘demokrasi menganggu tatanan dan stabilitas’ dan ‘rakyat tidak siap berdemokrasi’, melainkan retorika-retorika baru seperti ‘demokrasi perlu diselamatkan dari dirinya sendiri’, ‘demokrasi yang stabil dan berkualitas membutuhkan nilai-nilai demokratik’, dan ‘demokrasi membutuhkan tatanan pemerintahan yang baik’ – tentunya sembari diam-diam bersungut-sungut ketika massa buruh dan tani memobilisasi dirinya sendiri dengan cara-cara yang ‘kurang beradab’ seperti demonstrasi, pendudukan lahan, dan mogok kerja. Demokrasi, pelan-pelan berubah makna dan fungsinya sebagai justifikasi atas tatanan politik yang ada. Dengan kata lain, ia berubah menjadi pranata dan tatanan politik kelas yang berkuasa. Contohnya tidak sedikit. Di Chile, Pinochet mengklaim bahwa kudeta yang dilakukannya bertujuan ‘mempertahankan nilai-nilai Chile’ dan ‘akan membawa kembali demokrasi yang sesungguhnya’. Di Filipina, demokrasi tertua di Asia, para oligark lokal – tuan tanah dan pebisnis yang menguasai berhektar-hektar tanah, menjadi bos-bos politik lokal, membangun dinasti politik, sembari menembaki lawan politik dan siapa saja yang mengkritiknya, seperti yang terjadi akhir-akhir ini – mendominasi politik lokal selama bertahun-tahun dalam kerangka politik elektoral. Di Thailand, beberapa faksi ‘kelas menengah berpendidikan’ yang lantang berbicara tentang ‘nilai-nilai demokratik’, ‘supremasi hukum’, dan ‘anti-korupsi’ namun dekat dengan militer dan kerajaan kerap kali memicingkan mata melihat mobilisasi orang-orang desa dan melabeli mereka sebagai ‘pendukung Thaksin’. Tak heran apabila Ben Anderson menyebut mekanisme politik seperti ini sebagaielektoralisme borjuis alih-alih demokrasi.

Lebih lanjut lagi, untuk meng­-khaffah-kan konsepsi demokrasi sebagai tatanan penjustifikasi status quo, demokrasi kemudian dipersempit maknanya menjadi mekanisme pemilihan dan pergantian elit. Schumpeter adalah penggagas utama dari konsepsi ini. Baginya, tidak ada yang namanya kebaikan public (common good) karena tiap-tiap individu memiliki preferensinya masing-masing. Yang bisa dilakukan individu di dalam konteks politik adalah memilih politisi untuk mewakili preferensinya dalam kancah perdebatan mengenai kebijakan publik. Demokrasi, dengan kata lain, hanyalah prosedur pemilihan dan sirkulasi elit. Tetapi jangan khawatir, karena menurut Dahl dalam tatanan politik demokratik tiap-tiap kelompok warga dapat mempengaruhi jalannya politik dan kebijakan publik karena negara adalah arena politik yang netral – alih-alih situs pertarungan dan perjuangan kelas. Implikasinya, bukanlah demos yang berkuasa, melainkan lapisan elit yang merepresentasikan rakyat, yang representasinya dilegitimasi dengan mekanisme pemilu sebagai agregasi dari preferensi-preferensi berbagai invidu yang diasumsikan hadir dalam konteks dan latar belakang sosial yang sama satu sama lain. Secara teknis aktivitas memilih seorang kandidat politisi di kotak suara menempatkan semua warga negara yang memiliki hak untuk memilih pada sebuah kondisi kesetaraan politik – tetapi politik tidak berhenti di situ. Jikalau politik sesederhana itu, maka para oligark dalam berbagai manifestasinya – mulai dari lobiis hingga komite aksi politik (political action committee, PAC) di AS, orang kaya baru di Russia, hingga mereka yang bisa memobilisasi dan membayar ‘demonstrasi’ di Bangkok, Caracas, hingga Jakarta – tidak perlu repot-repot mengorganisasi dirinya, berpartisipasi dalam politik elektoral, pelan-pelan mengubah diskursus politik, dan sesekali berselingkuh dengan aparatus koersif negara maupun partikelir untuk meneguhkan dan melanggengkan dominasi politiknya.

Dengan kondisi yang seperti ini, maka kesetaraan politik dan politik yang representatif lebih tepat dilihat sebagai kesetaraan dan representasi politik yang semu. Mekanisme legitim yang dianggap dapat menjamin, atau setidaknya mengembangkan kesetaraan politik, seperti pemilu misalnya, pada akhirnya bertumpu pada kondisi material.Dengan kata lain, sebuah tatanan legal, politik, dan kebudayaan tertentu – termasuk yang mendaku sebagai tatanan yang ‘demokratik’ – menjadi legitim karena dukungan dan sokongan kekuatan material – kapital, koersi, dan kemampuan mencari, mengelola, dan menyalurkannya. Dari perspektif ini, maka separasi antara elit sebagai pelaku kegiatan politik dan rakyat atau warga sebagai kelompok atau kategori yang memungkinkan seluruh pembicaraan mengenai politik perlu dilanggengkan sebagai bagian untuk memperkuat struktur dominasi kelas yang ada. Di dalam kondisi seperti ini, bahkan apabila rakyat pekerja memobilisasi dirinya dalam bentuk partai misalnya, bisa jadi tidak ada jaminan bahwa kelas pekerja akan berpartisipasi dalam politik sebagai kelas. Salah satu contoh historis dari kejadian ini adalah kolaborasi antar kelas antara kelas buruh dan kelas menengah yang dilakukan oleh partai-partai Kiri-tengah di Eropa Barat menjadikan kelas buruh untuk memenangi pertarungan elektoral mengubah karakter partisipasi politik kelas buruh dari partisipasi politik sebagai kelas dengan segala tuntutan politik kelasnya (reformasi politik, perluasan hak untuk memilih dalam pemilu, pembatasan jam kerja, kenaikan upah, redistribusi kekayaan, nasionalisasi cabang-cabang industi strategis, dan lain sebagainya) menjadi partisipasi politik sebagai sekumpulan individual yang kebetulan memiliki latar belakang kelas yang sama – politik kelas buruh berubah hanya menjadi sekedar ‘blok suara kaum buruh’ yang bisa dipakai untuk mobilisasi dukungan elektoral. Dalam konteks politik seperti ini, maka ada benarnya ketika Lenin dalam salah satu suratnya ke pada kelas pekerja Hungaria di tahun 1919 pernah berujar ‘Demokrasi borjuis hanyalah sebentuk kediktatoran borjuis’. Kesetaraan dan bahkan kebebasan politik dalam tatanan ‘demokratik’ yang seperti ini pada akhirnya selalu dibentuk dan termediasi olehkesenjangan material yang ada, terutama kesenjangan material antar kelas.

Demokrasi juga dipahami sebagai upaya untuk mencapai konsensus dan kompromi politik. Konsensus politik selanjutnya dipahami sebagai sendi utama untuk menjaga stabilitas demokrasi. Dengan adanya konsensus politik, maka diharapkan demokrasi bisa stabil karena ada ‘standar terendah’ (lowest common denominator) dan aturan-aturan politik demokratik, seperti pergantian kekuasaan secara damai melalui pemilu misalnya, yang dapat disetujui oleh berbagai macam kelompok yang memiliki hubungan yang kerap kali antagonistis, misalnya kelompok sekuler versus religius, liberal versus konservatif, mayoritas versus minoritas, Kiri versus Kanan, dan lain sebagainya. Upaya untuk mencapai standar terendah dan aturan yang disepakati bersama tersebut dapat dicapai dengan perdebatan dan perbincangan yang mendalam untuk mencapai ‘persetujuan intersubyektif’ (intersubjective agreement) antara kelompok-kelompok yang bertikai tersebut. Inilah resep demokrasi deliberatif menuru ortodoksi Habermasian-Rawlsian – setidaknya dalam penafsirannya yang vulgar.

Tetapi, tesis pentingnya konsensus bagi demokrasi juga tidak luput dari masalah. Pertama, ia mengasumsikan bahwa segenap diskursus mengenai politik hanya dimungkinkan apabila diskursus tersebut mencapai sebuah kesepakatan, dengan kata lain sebuah konsensus. Namun, bagaimana jika politik, pada hakikatnya, adalah kontestasi atas berbagai diskursus yang saling bertentangan satu sama lain? Bagaimana jika segenap pembicaraan mengenai politik hanya dimungkinkan dengan keniscayaan diskursus alih-alih konsensus? Bukankah segenap pembicaraan mengenai politik, kepentingan publik, dan kehidupan yang baik berakar dari ketegangan, sebagaimana dapat kita lihat dalam pertikaian antara Sokrates dengan Athena? Bukankah persetujuan intersubyektif – seperti konsensus untuk melanggengkan kolonialisme, perbudakan, dan pembatasan hak memilih misalnya – tidak serta merta menggaransi prosedur dan tatanan politik yang benar dan dapat berujung kepada sebentuk solipsisme?Kedua, asumsi tersebut juga abai terhadap fakta bahwa sejarah politik demokratik diwarnai oleh sejarah pertikaian dan perlawanan, terutama dalam konteks masyarakat kelas. Apa-apa yang kita sering asosiasikan dengan ‘nilai-nilai liberal’ seperti konstitusionalisme, supremasi hukum, pembatasan kewanangan Negara, dan lain sebagainya, tidak turun dari langit dan tidak hadir dari konsensus di antara para elit; tatanan tersebut seringkali muncul dan berkembang sebagai reaksi dari ‘mobilisasi dari bawah’ oleh kelas-kelas yang tertindas. Terlalu naif apabila kita memahami apa yang kita asosiasikan sebagai prinsip-prinsip politik modern sebagai hasil dari kompromi brilyan para elit. Prinsip-prinsip tersebut seringkali tidak lahir dari konsensus, melainkan disensus, yang memungkinkan dan mengharuskan perlawanan rakyat – terutama dalam bentuk perjuangan kelas.

Sejumlah Tesis Alternatif Mengenai Demokrasi

Sebagai alternatif atas pembacaan di atas, saya mengajukan pembacaan lain atas konsep demokrasi yang dapat disederhanakan ke dalam sejumlah tesis berikut ini:

  1. Demokrasi sebagai ekspresi politik kelas
    • Demokrasi sebagai ekspresi perjuangan kelas
  2. Demokrasi sebagai mekanisme partisipasi aktif warga
    • Demokrasi bertujuan melampaui separasi antara elit dan warga dan memfasilitasi pertempuran strategis dengan negara (strategic engagement with the state)
  3. Disensus sebagai sendi utama politik demokratik

Dua konsepsi demokrasi tersebut pada dasarnya berlawanan satu sama lain, meskipun pada prakteknya seringkali berkelit-kelindan. Tetapi pembacaan ulang dan kritik atas konsep demokrasi tetap diperlukan karena tanpanya maka retorika ‘demokrasi’ hanya akan menjadi tameng ideologis untuk menjustifikasi hegemoni kapitalisme-neoliberal, baik dalam bentuknya yang oligarkis seperti di Indonesia maupun yang lebih elusif seperti di negeri-negeri Barat, dan juga segenap ekspresi politik yang paling konservatif dan reaksioner (anti-asing, anti-imigran, rasisme, fundamentalisme keagamaan, dan lain sebagainya). Dalam konteks inilah, kita bisa memahami mengapa Zizek misalnya menyerukan bahwa kritik terhadap kapitalisme kontemporer tidaklah mungkin tanpa kritik atas tatanan legal-politik yang menyokong dan melegitimasi-nya, yaitu demokrasi. Merumuskan kritik tersebut memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Untuk itu, di dalam tulisan berikutnya, saya akan mencoba menjabarkan butir-butir kritik yang saya utarakan atas konsep demokrasi dan mereformulasikan demokrasi agar sesuai dengankhittah-nya sebagai ekspresi, medium, dan tujuan perjuangan rakyat pekerja***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc