Quick Updates from the Field

It’s been a while since I write a blog post on this website! The last couple of months have been very busy for me – I wasn’t only doing my research but also, inevitably, involved in some activist work. So I ended up staying in Jakarta longer than I expected, but eventually I was able to spare some time for my last round of fieldwork. I made it, so here I am, in Bengkulu. To be more exact, I will spend the next two months in North Bengkulu District, looking at the evolving relationship between the Bengkulu Peasant Union (Serikat Tani Bengkulu, STaB) and the local elites in post-authoritarian era. Some elaboration on this dynamics have been written here (especially in this chapter), but the data only cover up until 2007. More still needs to be written about STaB and the North Bengkulu peasants, which is why I am here.

So far it’s been a productive fieldwork – I finished conducting several interviews and got hold of some key documents on the land conflict between local peasants and plantation companies. Overall, it’s a good start. I’m gonna be busy, and expect more to come in the next couple of weeks.

Ah, it feels good to be back on the field again.

Para Pejuang Kendeng

Oleh: Iqra Anugrah

NYARIS tiga tahun sudah para petani Kendeng melakukan perlawanan menghadapi PT Semen Indonesia. Terhitung sejak Juni 2014, para petani melakukan protes dengan berbagai cara, termasuk dengan mendirikan tenda – yang kemudian beserta mushalla warga juga diluluhlantakkan – di depan pabrik semen. Jikalau dihitung dari tahun 2006, ketika lawan masih bernama PT Semen Gresik, maka hampir satu dekade sudah gelombang perlawanan para petani Kendeng berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, saya mencoba terlibat dalam aksi perlawanan ini, terutama akhir-akhir ini ketika para sedulur melancarkan aksi cor kaki di depan Istana Negara.

Tujuan perlawanan ini jelas: ini masalah penghidupan, juga lingkungan, dan yang terpenting, hak. Rasanya, tidak sulit untuk memahami ini. Dalam kenyataannya, pesan ini begitu kabur dan terdistorsi. Para sedulur Kendeng mungkin sudah kenyang mendapatkan segala macam cap: warga-warga lugu yang gampang ditipu dan dihasut, massa bayaran, provokator, hingga yang paling lucu menurut saya, anti-NKRI. Sialnya lagi, liputan berita ini juga hanya sayup-sayup terdengar, tertutupi oleh berita-berita konflik elit – termasuk soal pilkada Jakarta sialan itu.

Tapi para sedulur tidak menyerah.

Tidak sekali saya dengar celetukan bernada resah yang muncul di kalangan aktivis: Bagaimana mungkin berita tentang upaya perlawanan ini dipelintir sedemikian rupa? Kok bisa? Lantas, saya menjawab: mengapa heran?

Tidak perlu heran apabila perlawanan para sedulur di Kendeng dan juga perlawanan-perlawanan kaum tani di berbagai tempat lainnya di Indonesia sering mendapatkan cap-cap peyoratif. Karena, dalam sejarahnya, para penguasa dan kelas-kelas yang menindas selalu berkepentingan untuk mendiskreditkan gerakan rakyat. Gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri jajahan dicap sebagai ‘para provokator’, gerakan hak-hak sipil di Barat dilabeli ‘terlalu radikal’, gerakan buruh dianggap sebagai ‘tukang bikin onar yang bikin macet jalan’, gerakan perempuan dituding ‘melanggar norma-norma kesusilaan’, gerakan kaum miskin kota dicurigai ‘rawan ditunggangi.’ Dan seterusnya dan seterusnya.

Sudah dari sononya, bahwa, dalam masyarakat kelas, tudingan-tudingan picik terhadap gerakan rakyat seperti ini akan selalu muncul.

Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila dalam beberapa minggu terakhir muncul komentar-komentar bernada nyinyir dan melecehkan maupun sikap diam seribu bahasa yang tidak kalah memuakkannya. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Azam Azman Natawijaya adalah triumvirat penguasa dari lapis kekuasaan yang berbeda – kepala eksekutif nasional, kepala daerah, dan unsur pimpinan parlemen – yang sikap politiknya melegitimasi berdirinya pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng. Atau, dalam bahasa yang lebih gamblang, jikalau anda anti political correctness yang berlebihan, melegitimasi perampasan tanah besar-besaran, penghancuran penghidupan masyarakat agraris, dan krisis ekologis akut di daerah tersebut serta memberi bahan bagi proyek-proyek pembangunan skala besar yang menghisap hasil kerja dan penghidupan rakyat di banyak tempat di nusantara.

Ganjar, si Marhaen gadungan itu, mengeluarkan izin baru pembangunan pabrik PT Semen Indonesia yang berarti melanggar putusan Mahkamah Agung yang sudah membatalkan izin tersebut. Kata Jokowi, “urusan daerah bukan urusan saya.” Apa yang mau diharapkan dari seorang presiden developmentalis pro-investasi berjubah baru? Komentar si bedebah Azam? Tidak perlu ditanggapi, karena isi kepalanya mungkin tidak lebih berharga dari adukan semen yang sudah terlalu lama ditinggal. Toh, dengan komentar sopan maupun kurang ajar, diinjak penguasa bajingan mau bagaimanapun tidak enak rasanya.

Kita daftar dan sebut lagi contoh-contoh lain yang tidak kalah menjengkelkannya. Sebut saja dua nama ‘tokoh kebudayaan’ apkiran: Timur Sinar Suprabana dan Denny Siregar. Si Pak Tua Timur dengan pongahnya membuat komentar nyinyir atas aksi cor kaki para sedulur. Seakan berlomba dengan Timur, Denny Siregar – yang tidak mau datang ke diskusi dan debat terbuka karena baper duluan (yaelah katanya Deadpool, belum diserang kok sudah kalah walkout?) – menuding bahwa aksi para sedulur Kendeng, yang telah berlangsung berhari-hari itu hingga sekarang, adalah aksi yang dikompori oleh aktivis dengan tujuan-tujuan tertentu yang menyengsarakan rakyat. Mereka, entah sadar maupun tidak, dengan orderan maupun tidak, sesungguhnya telah melakukan kekerasaan kebudayaan untuk mendiskreditkan gerakan-gerakan rakyat. Mereka, dengan puisi-puisi dan esai-esai mereka yang lebih hancur kualitasnya dengan kertas pembungkus gorengan atau tisu toilet, telah melayani kepentingan rezim.

Dengan kata lain, para penguasa dan budayawan gadungan ini adalah musuh-musuh rakyat baru!

Bagaimana dengan para ‘aktivis’ di lingkaran kekuasaan istana. Oh kawan, janganlah kau mimpi di siang bolong. Mungkin perlu kau baca lagi debat-debat teoretik dan rujukan-rujukan sejarah soal gerakan rakyat, bukan hanya laporan riset empirisis maupun laporan donor hasil dari agitprop – agitasi proposal maksudnya. Mengharapkan mereka yang sudah masuk di dalam lingkaran kekuasan untuk mendorong perubahan tapi lupa akan potensi emansipatoris dari gerakan rakyat adalah tendensi borjuis kecil! Terakhir kali saya cek, sejumlah ‘intelektual-aktivis’ yang tergabung dalam Kantor Staf Presiden, seperti Teten Masduki dan Noer Fauzi Rachman hanya menjadi resepsionis dan jubir bagi presiden. Paling-paling komentar soal KLHS. Di mana suara mereka soal reforma agraria? Mudah-mudahan, sebagai seorang pegiat yang masih hijau dalam dunia gerakan rakyat, saya berdoa supaya mereka terhindar dari virus karirisme. Jikalau tidak, mungkin KSP sebaiknya ganti nama saja menjadi ini: Komprador Suruhan Pemodal!

Tentu saja, bagi para musuh rakyat – atau mereka yang mungkin pelan-pelang berpaling dari gerakan rakyat – tidaklah penting apabila klaim-klaim mereka sesungguhnya adalah klaim-klaim kontrarian yang berisi logika otak atik gathuk. Tidaklah penting juga apabila tuduhan-tuduhan mereka bersifat ahistoris dan tidak ilmiah. Toh, di zaman kapitalisme digital yang serba instan nan medioker ini, yang terpenting adalah bagaimana suatu klaim dapat secara cepat dan mudah dipakai untuk melayani kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik tertentu – yang pada ujungnya adalah reproduksi dan penguatan hierarkhi dari masyarakat kelas itu sendiri. Hoax maupun onggokan informasi-informasi sampah lainnya memiliki fungsi yang sama dengan desas-desus seputar Peristiwa G30S atau Kebakaran Reichstag: digunakan untuk melayani kepentingan yang berkuasa dan mendiskreditkan gerakan rakyat.

Tetapi, justru persis di masa seperti inilah, adalah penting untuk kembali melihat sejarah perjuangan rakyat. Kaum tani di nusantara punya sejarah perlawanan panjang melawan ragam-ragam bentuk penindasan, mulai dari tarif pajak yang terlalu tinggi hingga gangguan atas corak hidup subsisten mereka oleh apa yang disebut sebagai relasi sosial kapitalis. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Abad ke-20, sebagaimana dicatat oleh Eric Wolf, menyaksikan perlawanan skala besar kaum tani menghadapi neokolonialisme dan imperialisme yang semangatnya sering sekali berkelit-kelindan dengan semangat perjuangan pembebasan nasional, mulai dari Russia, Meksiko, Tiongkok, Aljazair, Kuba, hingga Vietnam. Bahkan, ketika perlawanan kaum tani tidak mengambil corak yang terbuka atau manifes, perlawanan tersebut tetap berlanjut dalam ranah yang lebih keseharian, melalui gosip, memberikan hasil ternak dan tani berkualitas rendah di kala penarikan pajak sebagai bentuk protes, sarkasme, dan lain sebagainya.

Juga, kaum tani, sebagaimana bagian dari kelas yang tertindas, memiliki imajinasi atas dan kemampuan untuk membayangkan tatanan yang lebih baik – dunia di mana kesejahteraan dan kemajuan dapat dimiliki dan dinikmati secara bersama. Sebagai contoh, satu episode sejarah yang orang sering lupa dari masa-masa awal pergolakan Restorasi Meiji adalah partisipasi petani dalam episode ‘Zaman Bergerak’ tersebut. Dalam The Culture of the Meiji Period, Daikichi Irokawa mencatat bagaimana para petani dan pemuda desa di banyak tempat bereksperimen dalam bidang ketatanegaraan dengan merancang draft-draft konstitusi menyambut zaman yang baru. Contoh lain: dalam amatan saya dalam kerja-kerja lapangan yang saya lakukan untuk penelitian, saya menyaksikan bagaimana para bapak dan ibu tani mengasah insting ekonomi mereka, merumuskan aksi-aksi politik kolektif dan membayangkan tatanan ekonomi yang lebih baik, serta memiliki kemampuan humor dan sarkasme yang luar biasa jenakanya: dalam satu kesempatan, saya pernah ngobrol dengan sejumlah kawan petani di Sulawesi yang menyindir sejumlah pejabat dan politisi yang ngotot dengan usulan konservasi anti-manusia. Kata mereka, “ya silahkan saja bapak usir kami dari tempat tinggal kami, tapi nanti kalau ada penyuluhan atau pemilu biar yang datang paling rusa dan babi hutan, kan mereka yang bapak lindungi, bukan kami.” Sebuah lelucon satir yang hanya dapat muncul dari mereka yang tetap konsisten melawan sembari mencintai hidup.

Ini semua mungkin dianggap tidak penting oleh para musuh rakyat itu. Atau, lebih tepatnya, mereka jangan-jangan tidak memiliki kemampuan untuk memahami hal-hal seperti itu. Jangankan terlibat dalam gerakan rakyat, membaca literatur soal kehidupaan petani pedesaan (atau mencoba memahami strategi subsistensi para petani yang berbasis pada hubungan kekerabatan sosial pedesaan, yang menjelaskan mengapa para petani Kendeng tidak mau menjadi buruh pabrik semen dan dapat meninggalkan keluarga mereka di kampung halaman), atau melakukan riset-riset kecil soal keagrariaan saja mungkin mereka tidak mampu dan tidak mau. Mungkin karena mereka kebanyakan makan rente pemodal atau menulis dengan ejaan untuk bahan lawakan receh se!per!ti! i!ni! Toh, mereka dengan senang hati merayakan bias-bias kelas, urban, dan gender yang mereka idap – sebuah simptom dari penyakit waham borjuis yang sudah begitu mendarah daging di dalam diri mereka. Mereka, yang imajinasinya kerdil dan miskin itu, sesungguhnya hanya merapal dan memamah biak sangkaan-sangkaan dan mantra-mantra Orde Baru – oh, warga (kategori subyek politis yang dinetralkan dan didepolitisasi) butuh pembangunan (ya, pembangunan kapitalis yang mengekstraksi surplus dari pedesaan untuk kepentingan orang-orang kota dan elit-elit desa) dan mereka yang melawan kalau bukan provokator (orang desa/petani bodoh dan gampang kena hasutan) berarti pasukan bayaran (lupa bahwa solidaritas kolektif dapat muncul dari pengalaman bersama dalam ketertindasan, lagipula, soal bayaran, hello, ngaca dulu dong). Sialnya, retorika-retorika sampah ini kemudian dilepeh lagi dan dikunyah beramai-ramai oleh lapisan-lapisan borjuis unyil karbitan yang makin hari kian kelihatan bagai jamur yang tumbuh setelah hujan.

Saya tidak heran: toh klaim gerakan rakyat memang selalu membuat penguasa bergetar. Karenanya, berjuta fitnah dilancarkan untuk melemahkan klaim tersebut. Tetapi para sedulur tidak menyerah.

Aksi cor semen bukanlah suatu kesia-siaan. Besar kemungkinan, proyek investasi besar-besaran rezim Jokowi tetap berjalan, pembangunan pabrik semen hanya berhenti untuk sementara, dan isu-isu agraria kembali akan menjadi ‘angin lalu’ yang tertutupi oleh isu-isu elit yang lain – perang oligark dalam pilkadal Jakarta misalnya (buzzer Anies maupun Ahok, I’m looking at you). Tetapi, ia telah berhasil mengundang gelombang perlawanan yang lebih besar. Pertama-tama dan terutama, para sedulur telah memberikan teladan yang luar biasa: keberanian dan konsistensi dalam melawan. Aksi cor kaki bukanlah aksi siksa diri yang egoistis, sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak. Jauh dari itu, aksi cor kaki adalah aksi perlawanan yang politis, militan, dan penuh integritas. Aksi tersebut hanya dapat muncul dari mereka yang mencintai hidup dan penghidupannya dan setia akan cita-cita kemajuan bersama – alih-alih bagi segelintir elit – yang dapat dinikmati oleh semua. Aksi cor kaki para sedulur juga mengingatkan kita kembali akan satu hal yang penting: perlunya untuk tetap setia di garis massa. Kita bisa memproblematisir dan mengkritik strategi dan taktik dari aksi tersebut (tentu saja, secara konstruktif alih-alih nyinyir), tetapi, setidak-tidaknya, aksi ini telah berhasil menjadi momentum untuk mengumpulkan energi perlawanan, memperluas titik perlawanan, dan menjadi bahan untuk merumuskan lokus perlawanan baru melawan rezim developmentalis pro-investasinya Jokowi.

Tugas untuk kita ke depan adalah untuk mempertajam dan semakin memprogresifkan perlawanan ini. Untuk itu, izinkanlah saya menyebutkan beberapa usulan yang dapat didiskusikan dan diperdebatkan lebih lanjut. Pertama, orientasi ke depan dari gelombang perlawanan anti-semen, yang mulai menjamur dari Jawa hingga Sulawesi, perlu diperluas, diperdalam, dan dimajukan, bukan hanya mencakup persoalan Pegunungan Kendeng dan berorientasi defensif-moderat untuk menolak pembangunan pabrik semen, tapi dimajukan menjadi suatu formasi aliansi nasional yang menolak pembangunan infrastruktur ala rezim investasi Jokowi dengan orientasi dan tendensi politik anti-neoliberalisme.

Kedua, skala dan cakupan waktu dari aksi-aksi perlawanan ini perlu diperluas dan diperpanjang secara strategis, mengingat keterbatasan waktu dan logistik yang kita punya. Agenda-agenda mobilisasi ke depan dalam momen-momen tertentu, termasuk agenda internasionalisasi isu pabrik semen di Pegunungan Kendeng dan isu-isu agraria lain di Indonesia menjadi penting.

Ketiga, identifikasi kasus-kasus agraria lain yang tidak kalah penting dan mendesak menjadi penting, di Tulang Bawang (Lampung) dan Sukamulya (Jawa Barat) misalnya, serta kasus-kasus kriminalisasi petani dan aktivis agraria di banyak tempat. Kasus pabrik semen di Pegunungan Kendeng yang sekarang sedang mendapatkan spotlight perlu dijadikan bahan untuk menaikan leverage atau posisi tawar gerakan sosial dalam mengadvokasi isu-isu agraria lain tersebut.

Keempat, upaya kerja-kerja ilmiah (atau dalam bahasa yang lebih ortodoks, saintifik dan teoretik) dan kerja-kerja framing advokasi (atau, lagi-lagi dalam bahasa yang lebih ortodoks, agitasi dan propaganda) juga menjadi penting dalam aksi-aksi perlawanan seperti ini. Studi-studi agraria dan kajian-kajian teoretik soal strategi gerakan sosial menjadi semakin perlu untuk dikaji untuk menjadi bahan advokasi dan pendidikan publik serta pembuatan strategi politik. Setidaknya, ada dua poin penting yang dapat kita tarik dari aksi perlawanan para sedulur yaitu 1) bahwa perjuangan para sedulur dan kelas tertindas lainnya adalah perjuangan atas hak yang berarti memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat lain yang juga tertindas – kita dan 2) perjuangan gerakan sosial perlu meninggalkan strategi bergantung dan berharap kepada elit – termasuk para aktivis yang sudah masuk ke dalam lingkaran rezim – dan perlu kembali serius memperbincangkan strategi politik yang lebih independen dan progresif, termasuk strategi untuk merebut kekuasaan dan melampaui logika kedaulatan negara.

Terakhir, pelajaran berharga lain yang tidak kalah pentingnya dari strategi perlawanan para sedulur Kendeng adalah keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam gerakan sosial. Ini dibutuhkan bukan hanya untuk meradikalisasi arah dan tujuan dari gerakan sosial itu sendiri tapi juga untuk mendorong terwujudnya emansipasi seluas-luasnya dengan berlatih di ranah yang paling dekat.

Perlawanan tentu saja masih panjang. Hari-hari penuh protes belum akan berakhir, dan semangat perlawanan masih terasa pekat di udara. Namun, setidaknya kita tahu, bahwa klaim-klaim para elit dan makelar kariris pendukungnya semakin lama semakin terblejeti, gelombang perlawanan semakin meluas, dan tentu saja, pengorbanan Yu Patmi dan para kawan-kawan tani lainnya tidak akan sia-sia.***

Saya berterima kasih kepada sejumlah rekan terutama kawan-kawan Forum Islam Progresif (FIP) atas diskusi dan kerja bersama yang cukup intens dalam persoalan Kendeng yang hasilnya menjadi bahan untuk penulisan artikel ini.

Penulis adalah editor IndoPROGRESS dan pembelajar isu-isu agraria

10 Tahun Melawan Lupa, Memperjuangkan Keadilan

Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati

We realize that to demand the fulfillment of human rights is a revolutionary act,
that to question the government about bringing our children back alive was a revolutionary act.

We are fighting for liberation, to live in freedom, and that is a revolutionary act…To transform a system is always revolutionary.”
Mothers of the Plaza de Mayo

10 TAHUN sudah Aksi Kamisan berlangsung di depan Istana Negara. Kamis lalu, 19 Januari 2017, menandai satu dekade diselenggarakannya aksi penuntutan keadilan bagi korban penghilangan paksa dan pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang diselenggarakan setiap Kamis petang di depan Istana Negara. Aksi yang pada mulanya diinisiasi oleh paguyuban korban dan keluarga korban dan terinspirasi dari gerakan Mothers of the Plaza de Mayo di Argentina ini kemudian meluas, diikuti oleh elemen-elemen masyarakat sipil dan gerakan sosial lainnya. Dalam perkembangannya, Aksi Kamisan pun diadakan di sejumlah kota lain di luar Jakarta, seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang.

Kami beserta sejumlah rekan lain berkesempatan untuk menghadiri Aksi Kamisan yang ke-10 tahun pada Kamis lalu. Sejumlah elemen-elemen gerakan dari berbagai komunitas dan lintas generasi turut meramaikan Aksi ke-477, yang kembali menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dan penegakkan hukum oleh pemerintah. Dengan melibatkan sejumlah seniman dan musisi, peringatan 10 tahun Aksi Kamisan menjadi terasa semakin dapat merangkul lebih banyak orang.

Fakta bahwa Aksi Kamisan telah mencapai satu dekade merupakan pencapaian sekaligus momen refleksi bagi segenap korban, penyintas, keluarganya, dan juga elemen-elemen gerakan sosial lainnya. Kita perlu menghormati dan mengapresiasi setinggi-tingginya konsistensi dari para korban, keluarga korban, dan pejuang HAM lainnya dalam memperjuangkan agenda-agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan budaya politik anti-impunitas. Namun, kita juga perlu memikirkan sejauh apa pencapaian dan batas dari Aksi Kamisan selama ini dan langkah-langkah apa yang musti dipikirkan dan ditempuh oleh para pegiat Aksi dan isu-isu HAM lainnya.

Sejauh ini isu-isu yang diangkat di dalam Aksi Kamisan cenderung belum beranjak lebih jauh dari tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan pemenuhan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Ini menunjukkan bahwa perjuangan HAM, sebagaimana perjuangan isu-isu kerakyatan lainnya, sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik dan juga fragmentasi di dalam gerakan sosial. Dalam konteks transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi elektoral, sebagaimana dialami oleh Indonesia dan banyak negara lainnya, kesuksesan transisi dan fase awal demokrasi yang muncul setelahnya sedikit banyak bergantung pada pakta di antara para elit, yang juga membahas sejauh mana proses peradilan dapat dijatuhkan dan dijalankan kepada para pelanggar HAM – terutama aktor-aktor militer – di masa otoritarianisme. Inilah dilema yang dihadapi oleh banyak gerakan sosial di berbagai negara yang melakukan demokratisasi: di satu sisi ada keadilan kepada korban yang belum terpenuhi, namun di sisi lain kelancaran dan stabilitas fase awal demokrasi juga bergantung kepada komitmen para elit – termasuk mereka yang dulunya merupakan bagian dari ancien régime – terhadap proses-proses demokrasi setidaknya pada tataran yang formal, yang berimplikasi pada penundaan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh elit-elit lama tersebut.

Namun ini bukan berarti bahwa kemungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggarahan HAM menjadi nihil. Persis di titik inilah pembacaan atas konfigurasi politik yang ada menjadi penting. Pengalaman dari sejumlah negara lain seperti Korea Selatan dan Argentina menunjukkan bahwa pakta elit, termasuk yang menyangkut persoalan HAM, dapat berubah apabila ada tekanan dari gerakan rakyat yang kuat, yang dapat mentransformasikan dirinya ke dalam sebuah gerakan yang tuntutannya lebih dari sekadar penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah.

Ini memang dicapai melalui perjuangan yang panjang. Di Argentina, gerakan Mothers of the Plaza de Mayo, setidaknya telah melakukan 2000 aksi – kami ulangi, 2000 aksi – semenjak tahun 1977 hingga pertengahan Agustus tahun kemarin selama hampir 40 tahun! Gerakan para ibu dan anggota keluarga korban lainnya ini juga mengalami pasang surut yang begitu berdinamika. Dalam perkembangannya, tuntutan gerakan Mothers of the Plaza de Mayo mengalami radikalisasi, yang berujung kepada perpecahan di antara elemen-elemen gerakan tersebut. Kemudian, selama bertahun-tahun, pemerintah Argentina seakan acuh tak acuh terhadap tuntutan popular ini, hingga proses transisi menuju demokrasi elektoral kurang lebih selesai pada tahun 1983 dan Pengadilan atas Petinggi Junta (Trial of the Juntas) berlangsung pada 1985. Pencapaian ini, yang telah berhasil menyeret sejumlah perwira tinggi militer yang berkuasa di masa kediktatoran junta dan bertanggung jawab atas penghilangan paksa ribuan aktivis anti-rejim, pun bukannya berjalan secara mulus. Dua undang-undang, Full Stop Law dan Law of Due Obedience yang masing-masing disahkan pada tahun 1986 dan 1987, menginstruksikan untuk menghentikan proses penyidikan dan peradilan kasus-kasus pelanggaran HAM, hingga kemudian dua undang-undang tersebut dicabut oleh Parlemen Argentina dengan dukungan dari Presiden Néstor Kirchner, seorang Peronis berhaluan Kiri, dan penerapannya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung Argentina di tahun 2005. Ini menunjukkan bagaimana konfigurasi politik berpengaruh kepada sikap pemerintah terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.

Perjuangan yang panjang ini juga tidak bisa hanya dilakukan oleh para korban dan penyintas pelanggaran HAM dan para keluarganya maupun para aktivisnya semata. Pengalaman Pergerakan Demokratisasi Gwangju atau yang dikenal juga sebagai Pemberontakan Demokratik 18 Mei di Korea Selatan, menunjukkan bahwa dampak dari gerakan-gerakan pro-demokrasi – dalam hal ini gerakan anti-otoritarian yang dimotori oleh para mahasiswa – akan meluas jika dan hanya jika elemen-elemen dari gerakan sosial lain termasuk juga publik yang lebih luas juga bersolidaritas dan terlibat dengan sadar dengan gerakan tersebut. Tentu saja ada konteks politik tertentu yang menjadi pendorong dari aksi solidaritas tersebut, yaitu represivitas rejim otoritarian pada masa itu yang mencapai puncaknya dan harus mengandalkan kekerasan terbuka untuk meredam gelombang perlawanan pada waktu itu. Namun, ini bukan berarti bahwa kita tidak bisa mengambil kesempatan di tengah iklim politik yang relatif terbuka khas tatanan demokrasi elektoral.

Pelajaran-pelajaran ini menunjukkan bahwa kesuksesan pemenuhan agenda-agenda HAM sedikit banyak bergantung kepada sejauh mana gerakan HAM dapat 1) memperluas gerakannya dan membangun aliansi multisektoral dengan gerakan-gerakan sosial lain dan 2) semakin mempopulerkan agenda-agenda HAM ke tengah-tengah masyarakat yang selama ini cenderung belum tersentuh diskursus tersebut. Dengan demikian, gerakan HAM – termasuk di dalamnya Aksi Kamisan – dapat memiliki daya tawar yang lebih kuat dan efek yang lebih luas di dalam kancah politik yang ada.

Dalam pandangan kami, isu-isu pelanggaran HAM sesungguhnya memiliki potensi untuk terus diperluas dan dipopulerkan. Ambil contoh, misalnya Kasus Tanjung Priok dan Talangsari – dua kasus HAM yang berkaitan dengan sentimen oposisi kelompok-kelompok Islam kepada represivitas rezim di masa Orde Baru. Pengalaman dua kasus ini menunjukkan bahwa narasi HAM bukan hanya dapat dipakai untuk memperjuangkan isu-isu gerakan dan kepentingan komunitas yang lebih luas tetapi juga bahwa narasi tersebut dapat diterima oleh elemen-elemen masyarakat yang lebih luas. Di dalam terang kondisi politik yang sekarang, di tengah-tengah masih berlangsungnya represivitas negara dalam konteks ekpansi kapital, maraknya penggusuran, meningkatnya konflik-konflik agraria, menguatnya sentimen sektarian, dan, yang juga tidak kalah penting, perbedaan memori kolektif penindasan Orde Baru antar generasi, kebutuhan untuk memperluas dan mengintegrasikan perspektif dan narasi HAM dengan isu-isu lain justru menjadi semakin penting.

Dalam amatan kami, elemen-elemen yang rutin terlibat dalam setiap Aksi Kamisan masihlah berasal dari simpul-simpul dan unsur-unsur gerakan yang relatif sama. Tentu saja setelah 10 tahun proses regenerasi terjadi – elemen-elemen gerakan sosial dari generasi yang lebih muda juga turut menghadiri, berpartisipasi, dan memperluas Aksi-aksi Kamisan baik di Jakarta dan kota-kota lain. Namun, kebanyakan elemen tersebut sedikit banyak masih berasal dari kalangan pegiat gerakan itu sendiri. Kami mendambakan dan membayangkan suatu saat akan ada partisipasi publik yang jauh lebih luas dalam aksi-aksi seperti ini, sebentuk mobilisasi massa yang jauh lebih massif, yang menjadi bagian dari alat perjuangan agenda-agenda kerakyatan yang lebih luas. Ini bukanlah hal yang mustahil, namun tentu saja tidak mudah.

Rupanya, setelah 10 tahun, perjuangan kita masih panjang.***

Penulis adalah editor IndoProgress

https://indoprogress.com/2017/01/10-tahun-melawan-lupa-memperjuangkan-keadilan/