Demokrasi Kita Dibajak Para Elite

Demokrasi Kita Dibajak Para Elite
Iqra Anugrah,
mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat
Diperlukan gerakan rakyat, gerakan massa yang sadar akan hak-haknya sebagai warga republik, untuk memantau dan mengoreksi perilaku para elite. Tentu saja proses ini tidaklah mudah, apalagi untuk melawan cengkeraman kuasa para elite mafia hukum.
Belum lama ini kita dikagetkan kembali oleh konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia terkait dengan upaya penangkapan Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK, oleh pihak Polri. Dagelan politik ini segera saja menyulut reaksi publik, yang langsung melemparkan sejumlah kritik dan aksi-aksi solidaritas di berbagai daerah di Tanah Air, yang dilakukan oleh berbagai elemen warga Indonesia. Berlarut-larutnya kasus ini juga diperparah oleh kelambanan dan ketidaktegasan sikap Presiden SBY, yang semakin meningkatkan kekecewaan rakyat atas kinerja Presiden dan pemerintah pada umumnya, suatu hal yang semestinya tidak terjadi di era demokrasi kita dewasa ini.
Konflik KPK-Polri dan liku-liku pemberantasan korupsi adalah gejala sekaligus akibat dari kepentingan publik yang dibajak para elite. Konflik kepentingan semacam ini adalah pertanda dari menyusutnya nilai-nilai politik sebagai sebuah upaya bersama untuk memajukan kepentingan publik. Sesungguhnya, ini adalah suatu hal yang gawat dan mengkhawatirkan, karena akan semakin meningkatkan skeptisisme publik terhadap negara dan demokrasi kita.
Karena itu, untuk lebih memahami permasalahan secara lebih jelas, ada baiknya kita mencoba menganalisis “potret buram” konflik KPK-Polri dari sudut pandang teoretis, terutama dari khazanah sosiologi politik.
Adalah sosiolog kenamaan dari Amerika Serikat, C. Wright Mills, yang menyentuh persoalan dilema demokrasi dalam karyanya, The Power Elite (1956). Dalam magnum opus-nya, Mills berbicara mengenai proses formasi atau pembentukan elite di AS pasca-Perang Dunia II dan bagaimana proses tersebut mempengaruhi kualitas demokrasi di negerinya. Mills mencoba membeberkan sebuah fakta yang tidak mengenakkan: demokrasi di AS sering kali dibajak oleh segelintir elite politik, ekonomi, dan militer yang menguasai kapital, kuasa, dan gudang senjata. Efeknya memang terkadang tidak terasa, tetapi akibat yang sebenarnya sungguh mengkhawatirkan: isu-isu dan keputusan-keputusan yang penting bagi publik, yang seharusnya didiskusikan secara deliberatif, direduksi menjadi domain bagi segelintir elite.
Visi atau teori tentang demokrasi yang “elitis” ini berbeda dengan visi demokrasi “pluralis” yang diusulkan oleh ilmuwan politik kenamaan AS, Robert Dahl, dalam bukunya, Who Governs? (1961), yang berpendapat bahwa kekuasaan merupakan arena kontestasi kekuasaan dan pengaruh dari berbagai grup dan kelompok kepentingan.
Dalam konteks Indonesia, becermin dari kasus konflik KPK-Polri, sekiranya tidaklah berlebihan untuk menyimpulkan bahwa kondisi demokrasi kita lebih dekat dengan realitas pahit ala Mills ketimbang dengan visi optimistis Dahl. Proses reformasi kehidupan publik dan demokratisasi selama sekian waktu terakhir yang bertujuan untuk mencapai utopia Dahlian ternyata harus bertabrakan dengan visi realis ala Mills. Untuk mencapai tujuan masyarakat yang demokratis yang dicita-citakan oleh konstitusi dan para pendiri bangsa kita, tak jarang kita harus menghadapi perangai konservatif dari sejumlah elite yang hanya ingin melanggengkan kekuasaan oligarkisnya dalam ranah politik, ekonomi, dan bahkan penegakan hukum.
Refleksi konflik
Konflik KPK-Polri perlu ditanggapi dan ditangani dengan serius karena kasus ini adalah sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa demokrasi kita sudah mulai dibajak para elite. Pidato Presiden, yang menyatakan perhatian sekaligus komitmen untuk menyelesaikan kasus ini, perlu diapresiasi. Namun bukan berarti kita sebagai warga republik kemudian hanya berdiam diri. Diperlukan jutaan mata rakyat Indonesia untuk mengawasi komitmen negara dalam pemberantasan korupsi dan penerapan kebijakan yang pro-rakyat.
Dalam kaitan dengan konteks penegakan hukum, sesungguhnya komitmen dan langkah pemerintah dalam menanggapi persoalan pelik konflik KPK-Polri akan menjadi semacam litmus test, semacam ujian untuk menunjukkan seberapa jauh komitmen kita untuk menegakkan supremasi hukum atau rule of law dan rasa keadilan di dalam proses bernegara.
Sebelum deretan kasus konflik KPK-Polri muncul, mungkin kita tidak begitu memperhatikan–jikalau tidak lupa–pentingnya penegakan hukum. Konsolidasi demokrasi sering kali hanya dimaknai sebagai pesta-pora pemilu dan pilkada, yang justru mereduksi partisipasi warga republik yang seluas-luasnya dalam proses politik menjadi perayaan pergantian giliran berkuasa dan konsolidasi para elite. Para koruptor dan elite-elite oligarkis, terutama dalam sektor ekonomi dan politik, dibiarkan untuk menguatkan cengkeraman kekuasaannya. Sedangkan rakyat Indonesia, terutama kelompok-kelompok yang termarginalkan, seperti kaum miskin kota, buruh, dan tani, terus terpinggirkan, dibiarkan menjadi bidak-bidak catur dalam konstelasi politik para elite.
Melawan dominasi
Seperti biasa, tatkala rasa keadilan masyarakat mulai terusik, kritik dan resistansi atas praktek-praktek hukum dan kenegaraan yang sewenang-wenang, seperti “pengepungan” kantor KPK oleh beberapa polisi dan upaya pengerdilan otoritas KPK, menjadi tak terhindarkan. Berbagai elemen masyarakat mulai turun ke jalan dan menggemakan kritik bagi para penguasa serta harapan untuk terwujudnya proses politik yang lebih baik.
Namun itu saja mungkin tidak cukup. Diperlukan gerakan rakyat, gerakan massa yang sadar akan hak-haknya sebagai warga republik, untuk memantau dan mengoreksi perilaku para elite. Tentu saja proses ini tidaklah mudah, apalagi untuk melawan cengkeraman kuasa para elite mafia hukum. Diperlukan kerja keras yang terorganisasi dengan perencanaan jangka panjang. Namun, untuk mendukung reformasi kehidupan publik yang lebih baik sekaligus menyelamatkan demokrasi kita dari pembajakan segelintir elite, mungkin solusi ini adalah satu-satunya cara. **MAHASISWA DOKTORAL ILMU POLITIK DI NORTHERN ILLINOIS UNIVERSITY, AMERIKA SERIKAT
(Credit goes to Mas Chozin for spreading the news about the article, thanks Mas!).

Untuk Kawan-kawan di Pergerakan

Untuk Kawan-kawan di Pergerakan

Sebuah analisa objektif atas kondisi politik, pergerakan, dan peran pelajar Islam saat ini

Oleh Iqra Anugrah[1]

Bagaimanakah kondisi dan masalah-masalah keUmmatan sekarang ini? Seperti kita ketahui, banyak sekali masalah-masalah Ummat dan masyarakat yang belum beres. Sebagian besar adalah masalah-masalah klasik: kesenjangan sosial-ekonomi, kurangnya kesadaran berpolitik, kejumudan berpikir, dan banyak hal lainnya. Sayangnya, banyaknya masalah juga diperburuk dengan kurangnya alternative solusi yang ada.

Menanggapi fenomena di atas, bagaimana seharusnya pelajar Islam bersikap?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita menganalisa terlebih dahulu kondisi sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan pergerakan pelajar pada umumnya secara objektif.

Sekolah dan kampus, yang dulu merupakan sumber pencarian ilmu, diskusi-diskusi tentang khazanah pengetahuan terbaru dan strategi pergerakan, dan tempat di mana idealism berkembang, seakan-akan sekarang hilang. Boleh dikatakan, bahwa penyebab persoalan ini sesungguhnya cuma satu: korporatisasi dunia pendidikan yang berujung pada lumpuhnya politik pelajar secara perlahan-lahan.

Mari kita coba telusuri dari pola penerimaan mahasiswa dan pelajar baru; pola penerimaan siswa baru lebih mengutamakan calon siswa dengan latar belakang kelas menengah. Kelas menengah, dalam literatur ilmu sosial, seringkali dianggap sebagai agen perubahan. Tapi dalam konteks negara berkembang, kelas menengah sesungguhnya juga memiliki karakteristik yang lain: cenderung “nyaman” dengan hidupnya sendiri dan karenanya tidak tergerak kesadaran sosialnya sehingga cenderung konservatif, menerima status quo dalam berpolitik. Ini banyak terjadi di konteks masyarakat urban atau perkotaan. Ini pula yang terjadi di dalam kampus-kampus kita. Banyak kampus dan sekolah yang sekarang dipenuhi oleh mahasiswa dan pelajar yang tidak memiliki kesadaran untuk terjun di pergerakan secara aktif.

Korporatisasi kampus juga membuat banyak sekolah dan kampus kita dipenuhi oleh fasilitas-fasilitas yang tidak begitu diperlukan, terlalu memanjakan kapital alih-alih potensi murid, dan akhirnya memampuskan daya dan nalar kritisisme, aktivisme dan fantasi mahasiswa. Gedung-gedung megah, pusat-pusat kebugaran, gerai kopi internasional menyerbu kampus, uang sekolah dan kuliah pun menjadi semakin mahal. Pendidikan menjadi hal yang makin tidak terjangkau oleh ummat, sedangkan sekolah dan kampus beserta peserta didik di dalamnya menjadi bagian dari menara gading, semakin abai dengan realitas sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di sekitarnya. Aktivitas diskusi yang dahsyat tentang kondisi pergerakan, politik nasional dan khazanah ilmu pengetahuan terbaru dan komitmen terhadap ibadah perlahan mulai surut, berganti dengan nongkrong-nongkrong belaka yang belum tentu memiliki tujuan dan ibadah yang dilakukan hanya untuk menggugurkan pahala. “Aktivisme” direduksi hanya menjadi aktif dalam kegiatan-kegiatan himpunan mahasiswa yang “menyusu” pada kampus.

Di saat yang bersamaan, mereka yang mencoba aktif di pergerakan justru memilih nilai yang “kurang tepat” jikalau tidak salah. Pemahaman akan keagamaan dan kondisi sosial politik yang masih belum dapat meninggalkan kerangka berpikir dan ketegangan sejarah ala tahun 1960an-1970an di Indonesia atau abad pertengahan di konteks global membuat ide-ide yang using terlihat segar. Padahal, ide-ide usang ini tidaklah lebih dari sekedar romantisme sejarah yang belum tentu relevan dengan keadaan masa kini yang makin dinamis.

Kondisi pergerakan-pergerakan dan organisasi-organisasi ekstra kampus dan sekolah, termasuk PII,  dalam menanggapi masalah ini tidak kalah menyedihkan. Perlahan tapi pasti, pergerakan dan organisasi pelajar dan mahasiswa ekstra kampus mulai kehilangan daya tarik dan “gigi”nya di dunia pergerakan dan aktivisme mahasiswa. Tidak ada lagi aksi-aksi untuk turun ke jalan, turun ke daerah, dan turun ke masyarakat; kalaupun ada, itu mungkin hanyalah sekedar formalitas dan tidak terencana dalam kerangka tujuan jangka panjang.

Maka benarlah kata Freire, pemikir dan aktivis pendidikan teladan kita asal Brazil itu: sistem pendidikan formal justru merekontruksi kesenjangan dan ketidakadilan pada masyarakat kapitalis modern.

Situasi dan kondisi politik nasional pun tidak kalah semrawutnya. Pemerintahan atas nama rakyat (“demokrasi”) hanya ada dalam nama saja. Nyatanya, yang ada adalah pemerintahan dan politik yang dikontrol dan disandera oleh para elit yang berjuang untuk memenuhi kepentingan ekonomi-politiknya. Problem KKN tidak ditanggapi secara serius, malahan hanya direduksi sebagai bagian dari permainan para elit politik. Kesenjangan sosial dan ekonomi politik, diskriminasi, dan kekerasan masih merebak. Janji-janji pemerintahan bersih dan berfungsi betul-betul jauh panggang dari api.

Yang lebih menyedihkan, mereka yang dulunya menjadi bagian dari kita, menjadi bagian dari pergerakan pelajar, justru adalah orang yang sama yang menjadi elit-elit korup di masa sekarang. Aktivis dulu adalah elitis masa kini. Panji-panji perubahan dan idealisme yang digadang-gadang oleh mereka dulu makin lama makin lenyap, berubah menjadi politik predatoris, saling memangsa antar elit. Tren ini, sayangnya, juga menyebar ke masyarakat pelajar: organisasi pergerakan pelajar menjadi semakin berorientasi “vertikal”, yaitu berorientasi kekuasaan dan politik praktis.

Lalu apa yang bisa kita, pelajar Islam, lakukan. Bisa dikatakan, bahwa ini adalah PR yang berat, namun tantangan yang berat bukan berarti tidak dapat dikerjakan atau diatasi. Perlu semangat dan kehati-hatian secara bersamaan dan seimbang dalam menyikapi hal ini. Perlu pemahaman akan ujung-pangkal masalah agar bisa menjawab persoalan ini secara jitu, akurat dan efektif. Kedepannya, aksi tidak hanya sekedar aksi; protes tidak hanya sekedar protes; dan klaim perlu didasarkan atas riset atau penelitian, bukanlah sekedar persepsi pribadi. Perlu pemahaman yang baik akan mana tujuan jangka pendek, menengah dan panjang. Inilah saatnya kita memahami dan menjalani pergerakan secara professional, tidak hanya sekedar romantika dan kosmetika saja

Resep ini dapat diringkas dalam tiga kata: aksi, baca, dan pendidikan


[1] Penulis adalah kader PII yang sempat aktif di PD PII Jakarta Selatan. Akan menempuh pendidikan doktoral dalam bidang ilmu politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat, pada Agustus 2012