Press Release: 17th ISM-IJFF 2008: Today’s Researcher, Tomorrow’s Leader

Tokyo, 25-26 August 2008

Rainy summer of Japan did not hinder Indonesian students around Japan to gather and present their academic works in the 17th Indonesian Students’ Scientific Meeting and Indonesia-Japan Friendship Forum (ISM-IJFF) 2008 at Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), organized by Indonesian Student Association in Japan (PPI) chapter Kanto in-cooperation with the Embassy of the Republic of Indonesia in Japan (KBRI). More than a hundred research abstracts had been submitted, with various topics start from applied sciences, life sciences, medical sciences, natural sciences, to social sciences.

On the first day of the ISM, numerous activities were arranged, start from dozens of presentations of research projects from fellow Indonesian students and researchers around Japan, and lectures from professors, professionals, and government officials both from Japan and Indonesia. The 17th ISM started with opening ceremony marked by report from the Chairperson of ISM-IJFF 2008, Muhammad Sahlan, and speech from the Chairperson of PPI, Deddy Nur Zaman, President of TUAT, Prof. Hidefumi Kobatake, and Indonesian Ambassador, Dr. Jusuf Anwar. The program continued with IJFF. In this session, Dr. Edison Munaf, attaché of education of KBRI, gave a presentation about education system in Indonesia. This year, in commemoration of 50 years of golden friendship between Indonesia and Japan, various cooperations especially in academic fields are also established. As the manifestation of IJFF, TUAT as one of universities in Japan which focuses on agriculture and technology and University of Gadjah Mada (UGM), one of leading universities in Indonesia, established a MoU to strengthen academic and research cooperation between two universities. TUAT side was represented by Prof. Hidefumi Kobatake, while UGM were represented by Prof. Retno. S. Soedibyo, vice president of research of UGM, who also gave presentation about UGM’s profile.

After lunch, the second session of IJF resumed with lectures about Indonesia-Japan relationship from former Japanese Ambassador to Indonesia, Mr. Sumio Edamura and Indonesian Ambassador Dr. Jusuf Anwar. Ambassador Sumio Edamura delivered a lecture about the comparison and similarities between Indonesian and Japanese language and culture, While Ambassador Jusuf Anwar emphasized more on political and economic relationship, especially after the signing of EPA.

At the night, first day of ISM was closed by general meeting of PPI and workshop from Association of Indonesian Alumni from Japan (PERSADA).

Second day of the ISM discussed another important issue which has drawn many attentions from global community, including Indonesia and Japan, energy availability. Two forum sessions titled “Indonesian Biomass for Energy Alternative” discussed current issues about energy from Indonesian and Japanese perspectives. These two sessions were moderated by Prof. Wuled Lenggoro from TUAT. In first forum session, Dr. Unggul Prayitno from Board of Research and Application of Technology (BPPT),

Mr. Yoshinori Satake from METI, and Prof. Masayuki Horio from Waseda University gave lectures about current energy condition in Indonesia and Japan and the need of new perspectives to tackle this issue. Second forum session resumed with lectures from Dr. Arif Yudiarto from BPPT, Mr. Issei Sawa from Mitsubishi, and Mr. Pria Indira from Indonesian state oil and gas company (Pertamina), which discussed about current policies for energy alternative and also strategies for future, both from government and industry perspectives.

Finally the 17th ISM-IJFF ’08 was closed by Prof. Wuled Lenggoro with great applause from the audiences. He expressed his appreciation for this event and hoped that ISM will be a sustainable forum for Indonesian students and researchers in Japan to present, share, and exchange their ideas for Indonesia’s development. Will the next ISM repeat this success? We’ll see later!

(Iqra Anugrah, 2nd Year student of College of Asia Pacific Studies Ritsumeikan APU)

Merayakan Kemerdekaan

*Post ini pernah dimuat di account facebook Saya, di sini

Hari ini adalah suatu momentum yang besar bagi sebuah bangsa bernama Indonesia. Genap sudah 63 tahun kemerdekaan kita, yang dirayakan dimana-mana, di seluruh nusantara dan juga jagad raya, dan oleh siapa saja, baik si tukang becak Mas Parmin, si supir bus Bang Tigor, bos-bos perusahaan, dan tentu saja, berbagai macam “orang biasa”, mengutip istilah Wimar Witoelar.

Saya rasa pertanyaan klasik, namun juga mendasar, bagi kita sebagai sebuah bangsa adalah “Apa itu kemerdekaan ?” dan “Bagaimana kita mengisi kemerdekaan ?”

Berbagai pemikir dan pemimpin dari berbagai bangsa pernah berpikir mengenai hal ini, dan berusaha menjawabnya, termasuk para pendiri dan pemimpin bangsa kita.

Di Eropa sosok Hitler dan Nazi di Jerman, serta di Russia yang diwakili oleh Lenin, Stalin, dan Partai Komunis, pernah suatu ketika merumuskan kemerdekaan sebagai “kemenangan bangsa Arya”, “kemurnian ras Arya”, “masyarakat tanpa klas”, “diktator proletariat”, dan berbagai konsepsi lainnya yang sejenis.

Hasilnya ? Katastrofi. Bencana kemanusiaan. Ratusan ribu bahkan jutaan anak manusia terbunuh tanpa alasan yang jelas, demi slogan “kemerdekaan” dibawah panji-panji “sosialisme” dan “nasionalisme”

Bangsa kita pernah mengalami sejarah kelam seperti itu, meskipun dalam skala yang lebih kecil, masa-masa di mana “kemerdekaan” menjadi sebuah alat untuk menindas kemanusiaan dan kita sebagai manusia.

Soekarno sang Proklamator pernah merumuskan kemerdekaan sebagai “demokrasi terpimpin” dan “Manipol Usdek”sebagai cara untuk merayakannya, sedangkan Soeharto merumuskannya sebagai “Orde Baru” dan menawarkan “Pembangunan” untuk merayakannya.

Dan seperti kita semua tahu, banyak nyawa hilang untuk menebus hal-hal tersebut, konsepsi-konsepsi tentang suatu bangsa yang “bebas”-murni dari berbagai pengaruh “luar”, dan kewajiban untuk mengisinya dengan “pembangunan”

Konsepsi-konsepsi yang seringkali kita tidak tahu apa maknanya, yang memaksa merumuskan “kita” sebagai sebuah kesempurnaan, dan karenanya, mengutip Goenawan Mohammad, “membekukan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda dari diri manusia”

Dan kita semua tahu sejarah telah membuktikan, bahwasanya, ide-ide yang berangkat dari utopia-utopia seperti itu akan berakibat fatal bagi kemanusiaan.

Beruntunglah sejarah kita masih dipenuhi oleh orang-orang yang sadar akan bahaya utopia-utopia itu, orang-orang yang menyadari bahwa yang utama, dan terutama, adalah kemanusiaan.

Salah satu dari banyak hal yang sudah dan sering kita lupakan adalah, manusia bukanlah suatu konsepsi mengenai kesempurnaan, sebab Tuhan yang transedental tidaklah menciptakan manusia sebagai sebuah sosok yang sempurna, itulah mengapa Dia menciptakan manusia dengan nafsu, sebagai pertanda kedaifan, dan kecacatan yang niscaya

Namun demikian, kita juga diciptakan dengan segenap potensi dan kemampuan, dan karena itu, kemanusiaan menjadi hal yang sangat penting. Melihat manusia tentulah harus dengan dua pandangan: optimistik dan pesimistik.

Dan saya pikir, hanya dengan melihat manusia seperti itu, dan menghargai sisi-sisi manusiawi dan kemanusiaan dari manusia, kita bisa menggapai kemerdekaan. Kemudian berpijak dari pandangan inilah, selayaknya kita merumuskan masa depan kita.

Itulah mengapa Hatta mencoba berpikir jauh ke depan, mencoba mewujudkan “utopia”nya, dengan cara-cara yang realistis, dan karena itulah, dia memilih demokrasi sebagai cara untuk mencapai cita-citanya. Dan kita semua tahu bahwasanya sepanjang hidupnya, Hatta dalah seorang demokrat sejati.

Dan Tan Malaka-seorang Marxis kawakan yang tidak dogmatis-berusaha mengubah cara berpikir bangsa ini, dengan aktivisme dan intelektualismenya yang damai, melalui berbagai karyanya seperti Madilog.

Seringkali kita berpikir, mungkinkah hal itu terwujud ? Apakah usaha melawan utopia bukanlah berarti utopia itu sendiri ?

Yang pasti, untuk mewujudkan “utopia kemanusiaan”-kalau boleh saya menyebutnya demikian, seringkali diperlukan pengorbanan yang besar, seperti yang almarhum Munir lakukan.

Tapi yakinlah, bahwa budi kemanusiaan yang mendasari kemerdekaan kita bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Orangh-orang seperti Gandhi membuktikan bahwasanya kemerdekaan adalah pembebasan bagi kemanusiaan.

Dan seringkali kita mendapati, tokoh-tokoh yang menjadi panutan kita untuk menggapai kebebasan terkadang “berkhianat” melawan prinsipnya sendiri. Oleh karena itu Chosmky mengingatkan “yang perlu kita cari bukanlah sosok yang ideal, melainkan gagasan yang sempurna”

Oleh karena itu, dalam rangka merayakan kemerdekaan, marilah kita resapi dalam diri kita semua, merayakan kemerdekaan adalah membela kebebasan, suatu hal di mana manusia bebas dari tekanan dan ancaman di luar dirinya. Merayakan kemerdekaan adalah menjaga kemanusiaan, mengakui bahwasanya manusia bukannya makhluk yang sempurna, namun memiliki potensi untuk berkembang, dan berusaha menjaga itu. Merayakan kemerdekaan berarti anti-utopianisme, berlawan terhadap ide-ide yang tidak menghargai kemanusiaan, dan mengancam kebebasan.

Seraya merayakan kemerdekaan, mari kita berusaha dan berdoa agar Indonesia menjadi negara yang sekali merdeka tetap merdeka, menghargai kebebasan. Semoga Indonesia konsisten di relnya sebagai negara demokratis, semoga Indonesia menjadi bangsa yang religius sekaligus menghargai kebebasan agama dan kebebasan berpikir, semoga sejarah kelam utopianisme semu tentang “masyarakat yang sempurna” tidak pernah terulang lagi kelak di bumi Indonesia, dan di dunia ini.

Merayakan Kemerdekaan, Melawan Utopianisme, Menghargai Kemanusiaan, Membela Kebebasan !

Dirgahayu Republik Indonesia !