Ofensif Kanan sebagai Tantangan Kita Bersama

SETIDAKNYA dalam hampir dua dekade terakhir kita, menyaksikan dinamika ekonomi-politik global yang begitu bergejolak. Di tahun 2001, pasca serangan 9/11 ke gedung WTC, proyek sekuritisasi dan invasi imperium global kembali mengemuka. Di tahun 2008, pasca Krisis Ekonomi dan Finansial Global yang bermula di Amerika Serikat (AS), perdebatan yang luas mengenai kapitalisme dan alternatif terhadapnya kembali marak. Pengaruh dari kedua peristiwa historis tersebut masih terasa hingga sekarang. Peristiwa tersebut juga merupakan gejala permukaan dari ‘ketegangan sejarah’ yang lebih luas antara elemen-elemen konservatif-reaksioner di satu sisi dan progresif di sisi lain, dengan pola pertarungan yang beragam di berbagai belahan dunia.

Dalam beberapa momen, kekuatan-kekuatan Kiri-progresif, baik yang diwakili oleh partai-partai Kiri kontemporer, eksperimen elektoral politik Kiri, gerakan-gerakan sosial yang terorganisir, maupun gerakan-gerakan rakyat yang lebih luas mencatat sejumlah pencapaian. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, sepertinya kaum Kanan lah yang lebih unggul, mulai dari AS, Uni Eropa, Amerika Latin, hingga Asia.

Tidaklah berlebihan saya pikir untuk menilai bahwa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini adalah ofensif Kanan. Ini adalah sebuah tantangan bagi kita semua.

Ofensif Kanan merebak mulai dari di pusat imperium hingga ke negara-negara lain. Di AS, Donald Trump dan agenda-agenda politiknya, mulai dari konservatisme statis yang pro-bisnis, nasionalisme xenofobik, hingga anti-imigran dan minoritas, memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kancah politik elektoral. Di Inggris, kekecewaan atas perlambatan ekonomi dan industri, peningkatan kesenjangan, dan ekses dari proses-proses politik yang teknokratis dan birokratis dari institusi Uni Eropa berujung pada Brexit, yang kemudian ditunggangi oleh kelompok-kelompok reaksioner dan rasis untuk mengembangkan sentimen anti-imigran yang sudah laten. Di negara-negara Uni Eropa, permasalahan-permasalahan ekonomi, imbas dari kebijakan pengetatan atau austerity, dan permasalahan imigrasi serta pengungsi memberi angin bagi naiknya kekuatan-kekuatan sayap Kanan. Di Amerika Latin, gelombang pink tide yang menandai naiknya partai-partai Kiri-progresif dan gerakan rakyat ke tampuk kekuasaan di berbagai negara mulai meredup, digantikan oleh rongrongan dan manipulasi para oposan karbitan dan komprador lokal. Di Asia Tenggara, reaksi terhadap kontradiksi dalam pembangunan, meningkatnya represi, mandeknya jalur-jalur politik tradisional, dan meningkatnya perampasan sumber daya alam dan masyarakat gagal menemukan artikulasi politik progresifnya, baik di Indonesia, Filipina, Thailand, hingga Kamboja dan Vietnam.

Ini bukan berarti tidak ada perlawanan sama sekali dari berbagai elemen politik progresif. Tentu saja ada upaya-upaya perlawanan yang dapat dikatakan cukup terorganisir. Sayangnya, pada kenyataannya, itu belum cukup. Eksperimen Syriza di Yunani, misalnya, mengalami involusi ketika sebagian unsur-unsur pimpinannya memutuskan untuk melakukan konsesi terhadap proyek neoliberal Troika – suatu hal yang membayang-bayangi dan menjadi catatan penting bagi eksperimen Podemos di Spanyol yang masih berlangsung hingga sekarang. Di AS, naiknya Bernie Sanders dan kemunculan Sanderistas merupakan capaian penting bagi gerakan progresif di AS, terutama dalam hal intervensi elektoral di dalam sistem politik yang melanggengkan duopoli partai-partai borjuis, tetapi inovasi tersebut belum mampu mengubah kenyataan struktural yang ada. Di Venezuela, oposisi Kanan dengan sokongan brokernya di pusat imperium sana mulai merongrong dan mencoba melucuti warisan-warisan Revolusi Bolivarian. Di Asia Tenggara, oposisi dan resistensi demokratik atas kebijakan-kebijakan rezim investasi Jokowi di Indonesia maupun pemerintahan junta militer di Thailand memang terus berlanjut dan bergema, tetapi upaya tersebut masihlah tercerai berai.

Perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti tidak ada pencapaian dari kerja-kerja politik tersebut yang belum begitu membuahkan hasil yang terlihat. Setidaknya, berbagai jenis pengalaman dari kerja-kerja tersebut – mobilisasi, penyadaran atas interseksionalitas, pembangunan solidaritas, komunikasi publik, hingga strategi lapangan dan perumusan kebijakan-kebijakan teknis – memberi pembelajaran dan bekal yang luar biasa bagi kedewasaan dan militansi berpolitik rakyat pekerja kedepannya. Namun perlu diingat bahwa para musuh selalu bergerak bukan hanya satu dua langkah melainkan jauh lebih cepat dari kita. Setiap proyeksi politik progresif-demokratik dan anti-kapitalis harus menyadari dan menyiasati kenyataan itu.

Ada berbagai variasi dari naiknya ofensif Kanan – mulai dari hegemoni, dominasi, hingga kondisi yang disebut Trotsky sebagai dual power. Pola kenaikan kekuatan-kekuatan politik Kanan di satu tempat bisa jadi tidak sama dengan tempat lain. Ini yang perlu kita sadari. Untuk memahami variasi ini, kita perlu membaca ‘kondisi objektif’ di tiap-tiap tempat dan konteks secara cermat, tepat, dan berhati-hati. Karena, dari pembacaan itulah kita bisa merumuskan strategi dan posisi gerakan, alias preskripsi politik, secara tepat.

Melihat maraknya ofensif Kanan di berbagai tempat, termasuk di Indonesia, kita bisa mengklaim bahwa posisi politik Kiri-radikal menjadi semakin penting dan relevan – karena, hanya politik Kiri lah yang dapat menyelamatkan cita-cita politik liberal-demokratik yang seringkali mandek artikulasinya dan tidak mampu mengambil konsekuensi logis dari premis-premis politiknya itu sendiri. Artinya, bahkan untuk ‘menyelamatkan’ atau ‘menjaga’ status quotatanan liberal-demokratik – suatu tatanan yang tentu saja masih berkarakter borjuis dan eksploitatif, meskipun termanifestasikan dalam penampakan-penampakan yang sangat elusif – konstelasi politik yang ada membutuhkan artikulasi dan kekuatan politik Kiri yang mumpuni. Tentu saja, proyek politik Kiri bukan merupakan apologi terhadap tatanan kapitalis-neoliberal dan liberal-demokratik – setiap Kiri dan sosialis haruslah berkomitmen untuk memajukan upaya transformasi menuju masyarakat post-kapitalis dan tatanan sosialis yang ilmiah dan demokratik – tetapi ruang-ruang demokrasi, bahkan dalam tatanan masyarakat kapitalis yang masih eksploitatif, setidaknya memberi kesempatan bagi kekuatan-kekuatan politik rakyat pekerja dan gerakan Kiri untuk melakukan upaya-upaya pengorganisiran dan kontestasi dalam berbagai level. Tugas ini makin relevan terutama di tengah-tengah naiknya ofensif Kanan seperti yang kita hadapi sekarang.

Dengan demikian, dalam tiap langkah kita, kita harus terbuka dan terbiasa dengan tradisi dan praktik berkritik, karena praktik-praktik demokrasi yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya bukanlah sekedar tujuan bagi kita melainkan juga cara yang harus menjadi aksiom bagi setiap proyek politik emansipasi. Sejauh ini respon kita terhadap tantangan politik yang ada cukup beragam dan sebagian di antaranya cukup efektif, tetapi dapat dikatakan masih kurang. Jawaban atas permasalahan tersebut bukanlah penarikan diri atau retreat dari kancah politik dan terjebak dalam suatu bentuk fetisisme movement atau gerakan semata, melainkan refleksi, evaluasi, dan kritik yang mendalam atas langkah dan strategi kita sejauh ini dan mencoba mengintegrasikan hasil renungan tersebut dalam strategi-strategi politik kita – termasuk strategi elektoral – kedepannya.

Ini adalah suatu tugas yang semakin mendesak dan relevan, terutama sekarang ketika kita di Indonesia sedang mencoba melakukan intervensi elektoral untuk menghadapi dan bertarung di Pemilu 2019 nanti.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Ofensif Kanan sebagai Tantangan Kita Bersama

Asian Roundtable on Social Protection Network 2016

The 5th Regional Conference of Asian Roundtable on Social Protection Network (AROSP) 2016 in Jakarta kicked off today.

AROSP is “a network of grassroots workers’ organisations, trade unions, NGOs, and scholars in Asia” that “aims to support and consolidate the regional struggle for social protection for the poor across various sectors in Asia.” This time, AROSP works with the Research Centre for Crisis and Alternative Development Strategy (Inkrispena) as its local partner to organize the roundtable in Jakarta. The conference participants are activists, unionists, community organizers, and researchers from various people’s organizations and grassroots NGOs in Asia.

I had the pleasure to moderate the very first panel on the theoretical debates surrounding social protection, exemplary practices of social protection “from below”, and the politics of social protection in Indonesian context, with my comrades Muhammad Ridha from Inkrispena and Anwar Sastro Ma’ruf from the Confederation of Indonesian People’s Movements (KPRI) as the speakers.

It was a rather short panel – we only had around 1 hour and 15 minutes for the whole package. But nonetheless we had a very enlightening and engaging discussion. Unfortunately I cannot attend the whole conference since I have other events to attend, but I’m sure the conference will be a great learning opportunity for all participants!

RIP Adi Sasono

Adi Sasono, a Muslim social democratic intellectual, passed away very recently, on August 13.

An engineer by training, he was more famous as an Islamic student activist and a champion of a people-centered economy, criticizing the rule of the conglomerates and crony capitalism groomed under Suharto’s New Order Regime. This earned him the reputation as “Indonesia’s most dangerous man.” He was part of the critical-yet-loyal-oppositionist intellectuals under the New Order, a role which propelled him to be appointed as Minister of Small Businesses and Cooperatives under the Habibie administration.

Given the situation, such a stance was quite a breakthrough. Of course, he never advocated for a radical rearrangement of the economy a la Latin American leftist parties, but his ideas had a strong anti-establishment bent.

The task for the next generation of scholars of Indonesian history is to write an intellectual history/biography of him and his cohort of intellectuals.

Organizational Mapping of Agrarian and Peasant Movements in Indonesia

One of the things that I look at in my dissertation research is the current landscape of agrarian and peasant movements in Indonesia at the national level in the post-authoritarian period. To the best of my knowledge the picture is pretty complicated, given that the movement is ridden with fragmentation.

Nonetheless, as a new person in this field I found it rather difficult to draw the map by myself. So I asked a good friend and comrade of mine, Andre Barahamin, to help me out with that. Andre is a fellow editor at IndoProgress and a researcher at Pusaka Foundation, an NGO focusing on indigenous people’s rights. So I went to his office, had a chat with him, and with the help of other Pusaka researchers, especially the executive director Y.L. Franky and April Parlindungan, I was able to come up with an organizational mapping of agrarian and peasant movements in Indonesia. Voila.

20160808_181820

(Please do not cite this without my permission!)

It’s a work in progress but nonetheless a good start. Credit goes to Andre and the Pusaka team for helping me out to come up with the map.

Reading Dutch Lessons Begin

Yesterday I just had my first Dutch class – it was an intense 3.5 hours!

Yup, that’s right. Starting from this month I will be learning Dutch for reading archives. It is an intensive course – a private tutoring session with the instructor.

So what got me thinking into learning Dutch? This is because of a conversation I once had with Eric Jones, who is also a member of my dissertation committee. A social historian of the female underclass in the Dutch East Indies, Dr. Jones managed to inspire me to learn Indonesian history seriously and learn one of the key methodological tools for that – surprise, surprise, the Dutch language.

It’s certainly challenging to juggle this with other activities – especially writing and research – but it’s certainly worth doing. Also, it’s good to have something else other than my own dissertation project to make life more productive and balanced.

Expect more to come.

URGENT-Polisi dan Brimob Penjaga PT. Sintang Raya Intimidasi Warga

Sebagai bentuk solidaritas dengan kaum petani dan kawan-kawan pejuang agraria di tanah berkonflik di area perkebunan PT. Sintang Raya yang sedang mengalami intimidasi aparat negara dan korporasi, saya meneruskan press release dari kawan-kawan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Barat. Segala bentuk kriminalisasi atas kaum tani, pejuang agraria, dan segenap rakyat pekerja di Indonesia dalam perjuangan demokratik atas hak-haknya haruslah dilawan!


Penempatan polisi, brimob dan TNI di perkebunan sawit sejak 22/7/16. Karena adanya rencana aksi warga di 5 desa menuntut penghentian proses pengambilan manfaat oleh PT. Sintang Raya di tanah yang yang berkonflik dan telah dibatalkan SK HGU nya oleh pengadilan, masih ada di dalam perkebunan hingga saat ini dan melakukan intimidasi.

Pasca aksi yang berujung kekerasan terhadap 11 orang dan 2 diantaranya ditangkap dan belum diketahui keberadaanya hingga siang ini pada 23/7/16. Hari ini intimidasi dialami oleh warga olak olak kubu bernama Jainal.

Kejadian berawal ketika Jainal bersama ibunya yang sedang mengantarkan barang sembako dengan menggunakan mobil pickup dari desa olak olak kubu, Kecamatan Kubu Kabupaten Kuburaya Kalimantan Barat menuju Camp buruh PT. Sintang Raya, tepatnya di devisi III sekitar pukul 12.30 wib.

Setelah selasai menurunkan barang dari mobil dan ketika ingin balik ke rumah, Jaenal bersama ibunya dalam Mobil dihampiri oleh polisi dan brimob. Sekitar 30 personil ada dilokasi, dan polisi bernama Saipul Bahri yang diketahui dari polres Mempawah meminta Jaenal untuk turun dari mobil, polisi beralasan mau memeriksa mobil untuk mencari senjata tajam. Jaenal di tarik turun dan diminta berdiri bergeser menjauh dari mobil, sedangkan Ibu Jaenal dibiarkan didalam mobil.

Setelah melakukan penggeledahan terhadap mobil Jaenal dan tidak ditemukan barang yang dikehendaki, Kemudian Saipul Bahri angota polisi menghardik jainal. Kalau kamu gak tau hukum jangan bicara hukum, ngerti undang undang atau tidak..kalau mau ngomong undang-undang harus kuliah dulu, begitu pengakuan Jainal ketika menirukan polisi yang memeriksa mobilnya. Jaenal mengaku terjadi juga intimidasi, sebab Samsul Bahri memepringatkan agar tidak ikut-ikut aksi lagi, polisi bisa memenjarakan Jaenal karena menghalangi tugas.

Menanggapi kejadian ini, Bara Pratama Sekjen AGRA Kalbar menyatakan bahwa Polda harus menarik pasukanya di lapangan, Polisi sebaiknya berkordinasi dengan pihak Pengadilan agar mengerti duduk perkaranya dan tidak dimanfaatkan oleh perusahaan. Polisi semestinya menegakan putusan pengadilan yang telah membatalkan HGU PT. Sintang Raya. Tama juga mendesak Komnas ham baik di daerah maupun pusat semestinya pro aktif dalam kasus ini, tidak perlu lagi meunggu laporan sebab kasus ini sudah masuk di komnas baik daerah maupun pusat. Warga juga pernah melakukan pengaduan ke propam mabes polri atas kriminalisai Bambang Kepala desa olak olak kubu. Namun Bambang tetap di vonis dan saat ini masih menjalani hukuman

Notes from Jakarta and Bangkok

I’ve been in Jakarta for quite a while and visited Bangkok very recently. There are some post-fieldwork updates for you, dear readers:

  1. First, I’m back to the LP3ES office, working and catching up on several writings before going to my third field site.Also, we’re moving to a new office (finally!). But unfortunately it’s rather far from where I live, so I might only come to the office once in a while.
  2. I presented a paper on my side research project, “Village Intermediaries in Public Service Provision in Serang District”, at the 6th JAI Symposium at the University of Indonesia (UI). This is a symposium organized by UI Anthropology Department’s flagship journal, Antropologi Indonesia. It was a great symposium – great panels, great conveners, great fellow presenters, great colleagues, and great locations. Nonetheless I do have some suggestions for future improvements, which I will mention later.
  3. Right after the symposium, I flew to Bangkok to give a talk for the 2016 ENIT/ENITAS Awardee Presentation. I was required to do so since I got the ENITAS grant from the Institute of Thai Studies at Chulalongkorn University for my fieldwork research. Overall it was a great event –  I enjoyed hearing so many interesting research projects from the other awardees, but I also have some suggestions for the event.

In between I managed to catch up with colleagues, friends, and advisors. The best one was in Bangkok, where I was able to have a drink (or two) with a grad school friend, Tom, who is also on the field and a professor who now teachers at Thammasat. Tom also kept me company for the whole event, since he also got the grant (the ENIT one).

Now, the comments: I think both Indonesian and Thai academia are trying really hard to – forgive my somewhat politically incorrect usage of the term here – “catch up”with the academic standards in the developed world, which is a good thing. More money are being poured in into this endeavor, but what is also, if not more, important is to push for institutional reforms in academia – including the whole “rituals” of conferences and the like. The fact that things like academic conferences can be organized on a regular basis is quite an achievement, but I think we can do more – we can, for example, improve the quality of the debate within conference panels, and the like.

That sounds like a pretty feasible proposal, I believe.