Kembali Membela Militansi dan Keharusan Perjuangan Kelas

Kembali Membela Militansi dan Keharusan Perjuangan Kelas

http://indoprogress.com/kembali-membela-militansi-dan-keharusan-perjuangan-kelas/

Untuk kaum buruh, dan juga kelas menengah, di Indonesia
Iqra Anugrah
cuman seorang buruh akademik

MAAF, mungkin tulisan ini terkesan mengorek-ngorek kembali persoalan yang sempat marak beberapa minggu lalu namun terlanjur hanyut oleh derasnya air hujan ibukota, yaitu persoalan demo kaum buruh, yang kerapkali dilabeli ‘amuk massa yang rusuh’ semenjak zaman baheula – bahkan sebelum munculnya Komune Paris yang habis diganyang itu. Segera setelah demo buruh, linimasa facebook dan twitter saya dipenuhi oleh ‘perang kata-kata oleh teman-teman dan para kenalan saya: sebagian, mengutip fakta mengenai macetnya jalanan dan beberapa aksi demo buruh yang bersifat koersif, biasanya dikenal sebagai kelas menengah ngehek, sedangkan sebagian lainnya, yang memiliki  simpati dan juga ikut berpartisipasi dalam berbagai gerakan sosial, menyerukan solidaritas terhadap perjuangan kaum buruh, biasanya dikenal sebagai kelas menengah yang simpatik. Namun, sayangnya ada satu hal yang absen dari perang diskursus yang seringkali menyerempet menjadi debat kusir ini: pembahasan yang analitis mengenai relevansi demonstrasi dan aksi kawan-kawan kelas buruh.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba memberikan pembahasan yang analitis mengenai mengapa demonstrasi dan, menggunakan istilah Tan Malaka, berbagai jenis ‘aksi-massa’ lainnya dari kaum buruh tetap relevan. Demi keringkasan, saya akan membatasi perangkat teoretik saya dari perspektif ilmu sosial dan tentunya dari perspektif kelas, yang membawa saya pada suatu kesimpulan: demonstrasi dan berbagai aksi lainnya dari kelas buruh perlu didukung, termasuk oleh kelas menengah Indonesia.

Mitos Borjuis ‘Demokratik’ dan Peranan Kelas Buruh dalam Sejarah Emansipasi

Semuanya bermula dari karya klasik Barrington Moore (1966), Social Origins of Dictatorship and Democracy, di mana dalam beberapa halaman terakhir di dalam bukunya, Moore berujar ‘tanpa borjuasi tidak ada demokrasi’ (no bourgeoisie, no democracy). Beberapa tahun sebelumnya, Seymour Martin Lipset (1959) dalam artikelnya Some Social Requisites of Democracy menulis bahwa perkembangan dan pertumbuhan ekonomi (kapitalis) akan mendorong berkembangnya perubahan sosial seperti urbanisasi, meningkatnya taraf pendidikan, dan fitur-fitur modernisasi lainnya yang kondusif bagi tumbuh dan langgengnya demokrasi.

Kita tahu, banyak kritik ditujukan kepada argumen Lipset, terutama perihal metodenya yang ahistoris dan klaim bahwa pertumbuhan ekonomi serta-merta akan melahirkan dan menjaga demokrasi, oleh karena itu, saya tidak akan membahasnya secara detail di sini. Yang ingin saya persoalkan lebih lanjut adalah klaim ‘tanpa borjuasi tidak ada demokrasi’ yang sering disematkan oleh Moore. Menurut saya, ini adalah pembacaan semi-vulgar dari karya Moore. Pertama, tesis borjuasi demokratik ala Moore lebih tepat dibaca sebagai ‘tanpa borjuasi tidak ada demokrasi borjuis’(no bourgeoisie, no bourgeois democracy). Pembacaan seperti ini bukannya tak berdasar, karena justru ini merupakan bagian dari  argumen utama Moore yang anehnya banyak terabaikan oleh para ilmuwan politik: jalan menuju ‘modernisasi’ baik Stalinisme, Fasisme, maupun Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, dibangun atas eksploitasi atas kelompok-kelompok subaltern, dalam hal ini kaum petani.

Argumen Moore ini kemudian dibalas oleh Rueschemeyer, Stephens dan Stephens (1992) dalamCapitalist Development and Democracy, yang menekankan peranan kelas pekerja alias kelas buruh industrial dalam konteks berbagai masyarakat di Eropa Barat, Amerika Utara, Amerika Latin dan Kepulauan Karibia, yang bukan hanya memperjuangkan demokratisasi formal namun juga pendalaman atas demokrasi formal tersebut melalui berbagai agenda-agenda politik yang bersifat partisipatoris dan emansipatoris lainnya – seperti misalnya negara kesejahteraan yang kian lama kian digerogoti oleh rejim kapitalisme-neoliberal.

Berangkat dari titik ini, maka kita perlahan-lahan dapat membongkar mitos mengenai kelas borjuis  – dan borjuis kecil alias kelas menengah – yang ‘demokratis’ dan segenap rakyat pekerja – wabil khusus kaum buruh yang ‘lemah,’ ‘bodoh,’ ‘kurang bisa mengorganisir dirinya,’ ‘gampang dihasut’ dan segenap label-label lainnya yang biasanya disematkan kepada kaum buruh. Andaikata ada sebagian saja, tidak perlu semua, kelas menengah Indonesia mau meluangkan sedikit saja waktunya untuk membaca sejarah secara analitis dan cermat, maka sebenarnya kita tidak perlu panjang lebar membahas mengenai  peranan kelas buruh dalam memperjuangkan sosialisme, demokrasi dan agenda-agenda politik emansipatoris lainnya. Sayangnya, harapan saya cuma lamunan belaka. Namun, daripada mengomel, lebih baik kita teruskan pembahasan kita…

Sejarah menunjukkan, dari Komune Paris hingga Musim Semi Arab, dari Gerakan Chartist di Inggris hingga Protes Solidarność di Polandia, hal-hal abstrak yang kita labeli sebagai ‘demokrasi’ dan ‘emansipasi’ hingga hal-hal riil yang seringkali kita sepelekan, seperti pembatasan kerja delapan jam per hari, hari libur, kebebasan berserikat, dan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan lainnya, tidak akan mungkin terwujud tanpa gerakan buruh yang kuat, tanpa sejarah perjuangan kelas.

Setelah dihadapkan pada fakta sejarah tersebut, menurut saya ada dua pilihan bagi kelas menengah, termasuk kelas menengah Indonesia: antara menyadari bahwa kelas menengah yang tiap harinya mengalami proses ‘proletarianisasi’ memiliki kesamaan nasib dengan kelas buruh dan karenanya mendukung perjuangan mereka atau bergetar ketakutan atas ‘amuk massa’ yang ‘anarkis’ dan karenanya cenderung bersekutu dengan para kapitalis dan kelompok elit lainnya dalam menekan aksi-aksi kelas buruh. Sayangnya, setidaknya bagi saya, saya melihat ada kecenderungan dari kelas menengah Indonesia untuk memilih pilihan yang kedua, dengan kata lain, ada kecenderungan dari kelas menengah Indonesia untuk menjadi otoriter dan represif atas upaya-upaya politik dari kaum buruh.

Tak heran, apabila Marx sudah jauh-jauh hari mengingatkan kita mengenai kecenderungan otoriter dan represif tersebut dalam 18th Brumaire of Louis Bonaparte, dan menyerukan pentingnya ‘kediktatoran proletariat’ yang secara vulgar seringkali disalahpahami baik oleh para Stalinis dan kelas menengah. Kalau saja mereka mau membaca sedikit saja karya Marx yang lain, Civil War in France, maka mereka akan segera mendapati bahwa di dalam pembukaan Engels atas karya tersebut, dia berujar:

‘Sedari awal, Komune mengakui bahwa kelas pekerja, setelah merebut kekuasaan, tidak bisa bertahan dengan perangkat ketatanegaraan yang lama; bahwa agar supremasi yang baru direbutnya tidak dikalahkan, kelas pekerja harus di satu sisi menghapuskan perangkat-perangkat represif yang sebelumnya digunakan untuk untuk melawan mereka dan di sisi lain menjaga dirinya dari para wakil yang mewakilinya dengan cara menegaskan bahwa mereka dapat diganti kapanpun.’

Engels kemudian menutup pembukaannya dengan menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai ‘kediktatoran proletariat’ sesungguhnya adalah Komune Paris, yang digambarkannya sebagai ‘Runtuhnya kekuasaan rejim negara lama yang digantikan oleh negara yang baru dan demokratis’. Yang bersifat ‘diktatorial’ dari kediktatoran proletariat adalah, mengutip Jodi Dean (2012) dalamThe Communist Horizon, kemampuan rakyat, untuk membatasi aksi-aksi opresif dan represif dari para penindasnya. Lebih lanjut lagi, Ellen Meiksins Wood (2008) dalam Citizens to Lords juga menunjukkan bahwa sejarah demokrasi, termasuk dalam bentuk awalnya di zaman Yunani Kuno, sesungguhnya adalah sejarah perjuangan kelas.

Menanggapi pemahaman tersebut, setidaknya ada lima kelompok yang tidak senang akan konsepsi demokrasi sebagai perjuangan kelas: Fasis, Stalinis dan juga kaum Liberal-Demokrat, Kapitalis dan Konservatif. Kita tentu sudah tahu karakter despot dari kaum Fasis dan Stalinis. Namun, kita perlu menelisik lebih lanjut apakah jangan-jangan tendensi despotik juga diam-diam diidap oleh kaum Liberal-Demokrat, Kapitalis dan Konservatif? Indonesia tahun 1965, Thailand tahun 1976, Chile tahun 1973, Timor Leste tahun 1975, kasus Marsinah, Wiji Thukul, Munir, dan masih banyak lagi adalah bukti dari dukungan ‘suam-suam kuku’ kaum liberal dan konservatif atas demokrasi sebagai situs perjuangan kelas. Apakah kemudian demokrasi berarti sekedar taming the masses, ‘menjinakkan massa?’ senada dengan Montesquieu dan William Riker, yang sekedar merayakan demokrasi prosedural ala Schumpeter, yang mereduksi demokrasi hanya sekedar persoalan pemilu dan segenap aktivitas politik transaksional lainnya, menjadikan demokrasi tak ubahnya belanja sayur dan buah di pasar yang pilihannya itu-itu saja. Demokrasi prosedural yang ‘menjinakkan massa’ juga kemudian didukung oleh tesis-tesis teori modernisasi dan fungsionalisme struktural, yang menekankan pentingnya ‘stabilitas’ dan menganggap segala jenis ‘dinamika sosial’ termasuk demonstrasi dan protes buruh, sebagai ‘gangguan atas stabilitas’ – sebuah pemahaman yang tidak berbeda jauh dari pemahaman Orde Baru.

Tak heran apabila Ben Anderson (1998, hlm. 267) dalam The Spectre of Comparisons berpendapat:

…sistem pemilu yang terbuka bagi kelompok-kelompok yang menerima aturan mainnya adalah karakter dari dominasi politik borjuis sebagaimana monarki absolut adalah karakter dari hegemoni kaum bangsawan…’ (penebalan oleh penulis).

Nah, pertanyaanya sekarang adalah, apakah kelas menengah Indonesia diam-diam mengamini pemahaman demokrasi yang seperti itu? Apakah kelas menengah Indonesia diam-diam menghayati ‘demokrasi’ yang bertujuan ‘menjinakkan massa,’ sekedar merayakan aktivitas politik elektoral namun diam seribu bahasa atas sejumlah masalah lainnya, seperti marjinalisasi ruang-ruang partisipasi publik, komodifikasi politik, ekspansi kapitalisme-neoliberal yang semakin vulgar, represi atas kaum buruh dan petani melalui aksi-aksi premanisme, dan lain sebagainya, alih-alih memperjuangkan demokrasi yang benar-benar partisipatoris dan emansipatoris?

Adakah Jalan Lain?: Menelaah Kemungkinan Solusi Alternatif

‘Tapi’, tanya beberapa teman, ‘bagaimana jadinya kalau perusahaan asing menutup usahanya kemudian hengkang dari Indonesia, kan jadinya lapangan kerja hilang?’

Argumen ini seringkali kita dengar dari banyak orang. Namun, yang sering kali luput dari perhatian adalah, sesungguhnya pemahaman seperti ini adalah bagian dari ortodoksi neoliberal (ngomong-ngomong, ini istilah ilmiah lho, bukan sekedar label atau slogan) yang semakin hegemonik akhir-akhir ini. Yang dibutuhkan adalah pemahaman dan analisa yang lebih menyeluruh mengenai bagaimana kapitalisme global bekerja terutama dalam varian neoliberalnya. Dari pemahaman yang lebih menyeluruh tersebut, kita dapat mencoba merumuskan alternatif atas ortodoksi kapitalisme neoliberal. Saya tidak berpretensi memiliki gambaran yang utuh mengenai seperti apa solusi alternatif tersebut (Marx saja pun tidak), namun saya pikir kuncinya ada pada tiga hal: analisa sejarah, praktek-praktek sosial dan ekonomi alternatif dan berhimpun.

Tiga hal kunci tersebut dapat membantu kita menjawab salah satu persoalan utama yang seringkali diajukan kepada kaum Kiri/Marxis: bisakah kita menjaga efisiensi, produktivitas dan taraf hasil dalam ekonomi yang dikelola secara demokratis, yang dikontrol dan dikelola secara langsung oleh kaum pekerja sendiri? Karena saya bukanlah ahli nujum tentu saya tidak akan memberikan jawaban akhir yang definitif di sini, namun saya pikir bisa. Untuk menjawab persoalan tersebut, saya akan bersandar pada buku Ours to Master And To Own yang dieditori oleh Immanuel Ness dan Dario Azzelini (2011) (ringkasan dan ulasannya dapat dilihat di sini http://indoprogress.com/lbr/?p=28) dan artikel  Tom Malleson (2013) dalam jurnal ilmu politik progresif New Political Science yang berjudul Economic Democracy: The Left’s Big Idea for the Twenty-First Century?

Dalam bukunya, Ness dan Azzelini menunjukkan bahwa, meskipun tidak mudah, kontrol buruh secara langsung dan demokratis (yang tidak serta merta sama dengan nasionalisasi) atas aktivitas-aktivitas ekonomi adalah mungkin. Sejarah menunjukkan, dari Perang Sipil Spanyol hingga Indonesia di masa awal kemerdekaan, dari Yugoslavia hingga Italia, kaum buruh telah (dan masih!) terus berupaya untuk memperjuangkan demokratisasi ekonomi –  yang seiring sejalan dengan demokratisasi ranah politik yang lebih luas. Argumen yang lebih menyeluruh dalam konteks kontemporer juga dijelaskan secara rinci oleh Malleson, yang membahas demokrasi ekonomi dalam beberapa aspek, yaitu demokrasi tempat kerja (workplace democracy), demokrasi sektor keuangan atau finansial (financial democracy), dan demokratisasi penanaman modal atau investasi(democratizing investment). Kebebasan dan dukungan atas berbagai aktivitas serikat dan politik kaum buruh misalnya, adalah bagian dari demokrasi tempat kerja. Namun itu saja tidak cukup. Kontrol atas kapital misalnya, terutama di masa krisis adalah tantangan atas demokrasi finansial. Solusi atas permasalahan tersebut tentu tidak mudah, namun meluasnya upaya koperasi kredit misalnya, dapat menjadi titik awal perumusan atas solusi tersebut (hlm. 93-94). Demokratisasi investasi juga dapat dicapai, misalnya, dengan investasi negara pada sektor publik yang juga melibatkan partisipasi warga dalam berbagai kebijakan yang menyangkut sektor tersebut, sebagaimana telah dijalankan dalam kebijakan penganggaran partisipatoris (participatory budgeting) di Porto Alegre, Brazil (hlm. 95). Demokratisasi ekonomi juga tidak identik dengan hasil yanginefisien – Malleson mengutip sejumlah studi yang menyebutkan bahwa di Amerika Serikat (AS), Inggris, Denmark, Spanyol, Swedia, Perancis, Italia dan Polandia, koperasi dan berbagai upaya kontrol langsung atas aktivitas produksi memiliki tingkat produktivitas yang sama dengan firma-firma kapitalis (hlm. 101-102). Singkat kata, kaum Kiri/Marxis ternyata punya jawaban yaitu bahwa praktek-praktek sosial dan ekonomi alternatif bukan hanya mungkin namun pernah dan masih berlangsung hingga sekarang.

Strategi kunci terakhir namun tidak kalah penting adalah upaya politik yang memperjuangkan agenda-agenda yang saya sebut di atas atau dengan kata lain pentingnya berhimpun dan berorganisasi. Melalui upaya kolektif dan membangun organisasi, maka perumusan-perumusanteoretik sekaligus upaya-upaya kongkrit, yang melampaui lamunan, omelan atau obrolan-obrolanpseudo-transformatif di gerai-gerai kopi terkemuka di ibu kota yang membuat kita merasa seakan-akan telah mengbubah keadaan namun sejatinya tidak mengubah apa-apa, dapat dilakukan. Ini juga menjadi jawaban dalam bentuk pertanyaan bagi kita – kelas menengah Indonesia: sudahkah kitaberhimpun?

Kembali ke Realita

Setelah panjang lebar mendiskusikan pentingnya peranan kelas buruh dalam mewujudkan transformasi sosial dan pendalaman demokrasi di Indonesia, sepertinya lagi-lagi saya harus meminta maaf dan membela diri, terutama atas tuduhan berikut: ‘Oi, anak muda penulis artikel, situ kan cuman mahasiswa perantau, yang sibuk ngoceh tapi kagak ngerasain ‘panasnya’ situasi di sini!’

Pertama-tama, mohon maaf apabila saya sekedar penulis artikel, yang bukan orang pabrik maupun orang kantoran. Adalah betul, bahwa saya tidak berada langsung di lokasi ketika ‘panasnya’ situasi memuncak. Saya juga tidak berpretensi mengetahui secara mendetail dinamika gerakan buruh kontemporer di Indonesia dewasa ini, apalagi mengklaim bahwa dukungan saya terhadap aksi kaum buruh dan kritik saya atas bias kelas dan  tendensi otoriter kelas menengah Indonesia berangkat dari ‘posisi moral’ yang lebih tinggi hanya karena saya –yang mungkin juga masuk dalam kategori kelas menengah – bersimpati  terhadap perjuangan kaum buruh Indonesia. Yang saya lakukan hanyalah memberikan justifikasi teoretik atas perjuangan kaum buruh Indonesia.

Tentu, tiap-tiap gerakan, termasuk gerakan buruh, memiliki dinamikanya masing-masing. Gerakan buruh tentu bukanlah sekelompok malaikat yang tidak pernah salah. Namun, alih-alih mereduksi permasalahan menjadi persoalan cocokologi dengan semakin dekatnya pemilu 2014 atau berbagai teori konspirasi yang memahami aksi buruh sebagai sekedar aksi orderan – yang berarti semakin meneguhkan pemahaman konservatif nan otoriter par excellence atas kaum buruh (dalam bahasa yang lebih gamblang: rakyat kecil itu bodoh, gampang ngamuk dan mudah dihasut), mungkin segenap rakyat Indonesia, terutama kelas menengah Indonesia, perlu mengkaji lebih dalam dan mencoba memahami alasan dan relevansi dari demonstrasi dan aksi-aksi politik dari kaum buruh, terutama dari perspektif kesejarahan. Karena, apa yang disebut sebagai emansipasi, demokrasi dan hak-hak warga negara bukanlah sesuatu yang datang dari langit, bukannya sekedar hasil negosiasiala Mario Teguh, tapi merupakan hasil dari perlawanan baik dalam ranah teoretik maupun praktik.

Perlu diingat bahwa selagi kita sibuk mendiskusikan persoalan ini, ada sejumlah kawan buruh yang musti berhadapan dengan bogem mentah dan pentungan dari preman-preman yang menjadi perpanjangan tangan perselingkuhan negara dan kapital. Menerima hasil perlawanan tersebut namun enggan berjibaku dalam proses perlawanan itu sendiri bagaikan, mengutip dan sedikit memelintir Slavoj Zizek, bagaikan minum kopi tanpa kafein: merasa telah berbuat namun sejatinya hanya berkutat dalam perjuangan semu. Apakah, jangan-jangan, diam-diam ada Suharto, Pinochet atau Fadli Zon kecil dalam tiap-tiap diri kita, sehingga kita enggan ‘mengotori diri’ dalam perjuangan politik kelas yang kerap kali tidaklah mudah, dan karenanya memilih ‘jalan pintas’ yang bernama kapitalisme dan despotisme? Mungkin, sudah waktunya saya, anda, kita, kelas menengah Indonesia, yang sesungguhnya juga mengalami proses proletarianisasi setiap harinya, menyadari bahwa ‘jalan pintas’ tersebut bukanlah jawaban dan karenanya kita perlu mulai ‘mengotori diri’ dalam perjuangan kelas.

Bagi kawan-kawan kelas buruh, saya hanya bisa mendoakan dari jauh dan berucap teruskan perlawanan. Karena, perlawanan tersebut membuktikan bahwa perjuangan kelas menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ingatlah, sebagaimana dikatakan Allende, ‘Sejarah adalah milik kita, dan adalah rakyat yang membuat sejarah.’***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 2)

Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 2)

http://indoprogress.com/lkip/?p=1155

DALAM tulisan sebelumnya kita sudah membahas karya-karya Oscar Wilde secara cukup detail. Kali ini, saya akan membahas era Victoria, yakni konteks waktu di mana Wilde tumbuh, berkarya dan merumuskan kritiknya. Wilde adalah anak zaman sekaligus salah seorang kritik terdepan atas Victorianisme, suatu periode yang memungkinkan Wilde berkembang, yang dia kritik secara keras namun jenaka, namun secara ironis akhirnya menjebloskan dirinya ke dalam penjara—satu dari sedikit contoh turbulensi sejarah yang dialami oleh masyarakat Inggris dalam perkembangannya di masa tersebut.

Dinamika Sosial Zaman Victoria

Persepsi umum mengenai zaman Victoria adalah kontradiksi antara modernisasi dan kemajuan di satu sisi dan norma social dan struktur kelas yang kaku di sisi lainnya. Hasilnya adalah berbagai ‘kemunafikan’ berupa komitmen atas moralitas dan kesusilaan yang sejatinya menutupi pelanggaran-pelanggaran atas komitmen tersebut, terutama di kalangan kelas menengah dan atas Inggris—sebuahpenilaian yang juga sangat menonjol dalam karya-karya Wilde. Secara garis besar penilaian tersebut cukup akurat. Namun, apabila moralitas Victorian adalah kemunafikan belaka, mengapa dan bagaimana berbagai penulis dan seniman seperti Wilde bisa muncul di zaman tersebut?

Sunardi-St,-Percaya,-160x170cm,-Acrylic-on-canvas,-2012

Sunardi-St,-Percaya,-160x170cm,-Acrylic-on-canvas,-2012

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat zaman Victoria secara lebih mendalam. Secara formal, zaman Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901. Ini adalah zaman ketika fase lanjutan dari revolusi industri dan ekspansi imperialisme Inggris terjadi bersamaan dengan berbagai perubahan sosial, termasuk tarik-menarik antara konservatisme dan tuntutan menjaga tradisi di satu sisi dengan berbagai upaya reformasi social dan politik di sisi lain. Industrialisasi yang pesat pada masa itu juga mempengaruhi struktur dan relasi kelas yang ada, terutama dengan derasnya perkembangan kelas menengah dan terpinggirkannya kelas bawah seperti kaum buruh dan kaum miskin kota—suatu kondisi yang mirip dengan kondisi kita akhir-akhir ini. Dalam hal hubungan luar negeri, Inggris di masa Victoria harus berhadapan dan berkonflik dengan Perancis—yang mengalami fase revolusioner dalam Revolusi Perancis yang disusul dengan fase kekuasan Napoleon—satu hal yang tidak diinginkan oleh kelas penguasa Inggris untuk terjadi dalam daerah kekuasaannya pada waktu itu.

Dalam karya klasiknya, The Victorian Frame of Mind[2]sejarawan pakar zaman Victoria Walter E.Houghton (1957) dengan mengutip John Stuart Mill menjelaskan bahwa pada zaman tersebut ‘manusia telah melampaui lembaga-lembaga dan doktrin-doktrin lama, namun belum mendapatkan penggantinya yang baru’[3].Di saat yang bersamaan, ide-ide baru bermunculan dan terkadang saling mendukung, atau lebih seringnya lagi berkonflik, antara satu sama lain, mulai dari Utilitarianisme, Konservatisme (yang terutama diwakili oleh kaum Tory[4]), Sosialisme, Darwinisme dan masih banyak lagi. Karenanya, tak heran apabila zaman yang menyaksikan dan mengalami perubahan yang pesat ini juga menimbulkan polarisasi yang dahsyat di dalam masyarakat, yang mengakibatkan ‘Meskipun sebuah ‘isme’ tidak perlu menjadi radikal dan sebuah sekte dapat mencoba berimbang antara kiri dan kanan, zaman itumenjurus kepada posisi-posisi yang ekstrim dan tanpa kompromi—meskipun kecenderungan yang sama lebih terlihat di dekade-dekade sebelumnya. Banyak orang-orang yang hidup di zaman Victoria adalah ‘antara kaum kafir atau Kristen yang total, antara Tory[5] mentok atau demokrat mentok[6] (hlm. 165).

Perubahan yang begitu pesat ini menimbulkan ambivalensi,khususnya bagi kelas menengah Inggris yang mulai berkembang pada masa itu, terutama antara mencari ‘identitas alternatif’ bagi dirinya atau gumun alias terkagum-kagum, dan mengikuti moralitas kelas atas Victorian—kaum borjuis dan aristokrat—sebagai penanda atas diterimanya mereka dalam ‘klub ekslusif’ dalam sebuah masyarakat dengan struktur kelas sosial yang kaku. Tak heran apabila Houghton mendedikasikan sebuah bab berjudul ‘rigiditas’ dan menutup bukunya dengan bab berjudul ‘kemunafikan’ (hypocrisy), yang didalamnya dia menyatakan bahwa ‘Dari segala kritik terhadap mereka oleh Lytton Stratcheys dari abad kedua puluh, orang-orang zaman Victoria hanya akan mengaku salah dalam satu hal…(yaitu) kemunafikan’ (hlm. 394). Kemudian, Houghton melanjutkan lagi secara mendetail bagaimana masyarakat Victorian menyembunyikan dan menundukkan niat dan kecenderungan alamiah mereka, mengatakan dan melakukan hal-hal yang dianggap ‘benar’, berpura-pura lebih baik dari karakter asli mereka dan berperilaku sangat alim dan moralis—dan melakukan hal-hal yang justru sangat berbeda dengan penampakan di luar tersebut (hlm. 394-395)—satu hal yang terdengar cukup familiar dan bahkan terasa masih relevan hingga sekarang. Ciri-ciri yang khas dari kemunafikan Victorian adalah sikap kompromis terhadap norma-norma sosial yang kaku namun diperlukan sebagai penanda masuknya seseorang dalam lingkaran pergaulan kelas atas, kepura-puraan moral (moral pretension), kebohongan (terutama dalam hal-hal yang menyangkut praktek-praktek sosial dan seksualitas vis-à-vis lembaga-lembaga keagamaan—yang lagi-lagiterdengar cukup mirip dengan kondisi kita) dan…anti-kemunafikan (di tengah-tengah masyarakat yang melakukan praktek-praktek kemunafikan) (hlm. 395-430).

Senada dengan penjelasan-penjelasan di atas, karya Sally Mitchell (2009) yang berjudulDaily Life in Victorian England juga merupakan referensi yang bagus mengenai berbagai detail sejarah dan narasi kehidupan orang-orang di zaman Victoria. Definisi dan karakteristik dari moralitas Victorian misalnya, dibahas cukup detail oleh Mitchell, yang mencakup antara lain kemandirian (self-help), yang menekankan bagaimana ‘kerja keras’ dapat ‘membawa kesuksesan’, aktivitas kerja yang produktif dan perang terhadap kemalasan, kehormatan (respectability), keseriusan atau kesungguh-sungguhan (serious/earnest[7]), pembedaan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, tentunya dengan penekanan yang lebih kepada ‘kewajiban’ dibandingkan ‘hak’ untuk perempuan (hlm. 261-273).

Kritik Sosial atas Victorianisme

Victorianisme memang identik dengan kekakuan dan kemunafikan, namun bukan berarti tidak ada ruang bagi kritik untuk bersemi, karena sebagaimana banyak epos sejarah yang lain, Victorianisme sedari awal menyimpan benih-benih kritik yang tajam atas dirinya. Ide-ide Pencerahan terutama Revolusi Perancis misalnya, yang dilawan oleh para elit Inggris, tidak terbendung penyebarannya ke zaman Victoria. Eksperimen ide-ide progresif-radikal juga bermunculan. Perlu diingat, di zaman Marx dan Engels menerbitkan The Communist Manifesto pada tahun 1848, Charles Dickens menulis Oliver Twist tahun 1838, dan Charles Darwin mulai mengembangkan ide-idenya termasuk soal evolusi. Kelaparan, kesenjangan ekonomi, praktek perburuhan anak dan segudang masalah sosial-ekonomi lainnya merebak, terutama di masa-masa awal zaman Victoria. Sebagai reaksi atas berbagai masalah tersebut, berbagai elemen kelas bawah memobilisasi dirinya, yang salah satu ekspresinya mengemuka dalam Gerakan Chartist, gerakan buruh Inggris yang menuntut agenda-agenda ekonomi yang redistribusionis[8] dan reformasi politik (perluasan hak memilih dalam pemilu dan hak-hak politik lainnya bagi rakyat pekerja) (Mitchell, 2009, hlm. 4-6). Di berbagai koloni Inggris, India misalnya, meletus serangkaian pemberontakan terhadap kolonialisme dan imperialisme Inggris, yang kemudian mulai mendapat perhatian dari masyarakat Victoria yang sebelumnya abai atau cuek terhadap kondisi berbagai masyarakat non-Barat di bawah kolonialisme Inggris (hlm. 9).

Selain berkembangnya berbagai ide-ide ‘anti-kemapanan’, salah satu imbas yang tidak kalah penting dari perkembangan zaman Victoria terutama industrialisasi adalah perkembangan pers yang pesat. John Stokes (1989) dalam karyanya In The Ninetiesmenceritakan bagaimana ide-ide radikal dari Henrik Ibsen, Leo Tolstoy dan Friedrich Nietzsche masuk ke lingkaran intelektual Inggris dan di saat yang bersamaan tren ‘Jurnalisme Baru’ (New Journalism) dalam dunia pers yang mengedepankan pendekatan yang lebih personal terhadap para pembaca pers terutama koran, memperluas jumlah pembaca koran dan bahkan menyediakan kolom bagi pembaca. Pembaca tidak hanya memiliki kesempatan untuk menanggapi dan menjawab isu-isu publik yang dibahas di koran, namun juga menulis dan berpartisipasi dalam perdebatan mengenai isu-isu tersebut. Hal ini pun memungkinkan seniman dan penulis seperti Oscar Wilde tampil dan dikenal di hadapan publik (hlm. 12-16). Yang ‘baru’ dari Jurnalisme Baru bukan hanya gaya jurnalistiknya, tetapi juga imbasnya yang luas terhadap pola komunikasi publik pada saat itu (hlm. 16). Jurnalisme Baru juga merupakan bagian dari berbagai gerakan yang menuntut hak-hak warga negara yang lebih luas di Inggris era Victoria dan seakan-akan memiliki ambisi untuk ‘menghilangkan’ batas antara pembaca dan penulis atau produsen berita. Wilde, selain aktif berkarya seni, juga aktif dalam semangat Jurnalisme Baru sebagai salah satu penulis kolom  yang mengurusi berbagai persoalan kesenian dan isu-isu sosial bagi koran Pall Mall Gazette. Wilde, yang cenderung kritis dan ambivalen terhadap tendensi ‘aristokratik radikal’ dan di kalangan intelektual dan seniman Inggris terutama dalam gerakan Estetik-Dekaden dan khawatir akan menghilangnya ‘yang baik’ (the good) dalam aktivitas berkesenian namun tidak mau terjebak dalam kemunafikan moralitas Victorian.[9] Ia lantas menjalani berbagai peranan ganda: sebagai produsen sekaligus kritikus seni, sebagai kolumnis koran sekaligus penulis lakon dan cerita, sebagai penganjur Sosialisme dan pembela nasionalisme Irlandia; dan  menariknya pula, menggarisbawahi peranan karya seni dalam ‘mendominasi penikmatnya’ yaitu publik, sebagai pembentuk berita dan opini publik.

Perkembangan zaman inilah yang memungkinkan Oscar Wilde untuk muncul dan kemudian mengukuhkan posisi dirinya sebagai salah satu seniman dan kritikus sosial terkemuka di zaman Victoria.

*Iqra Anugrah adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, ASPenulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Daftar Pustaka

Houghton, W. E., 1957. The Victorian Frame of Mind. New Haven dan London: Yale University Press.

Mitchell, S., 2009. Daily Life in Victorian England. Edisi kedua. Westport dan London: Greenwood Press.

Stokes, J., 1989. In The Nineties. Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf.