Agama, Politik dan Pembebasan

Agama, Politik dan Pembebasan

Analisa Politik

http://indoprogress.com/agama-politik-dan-pembebasan/

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

AGAMA, dalam artiannya yang mencerahkan, dapat menjadi sumber kemajuan dan pembebasan. Tidak percaya? Mari kita membaca kembali sebuah cerita yang jarang didengar. Kali ini dari negeri sakura, sebuah cerita dari seorang novelis Jepang, Shusaku Endo, dalam novelnya, Hening (Silence atau Chinmoku dalam bahasa Jepang).

Abad ke-17. Alkisah, seorang Pastor Jesuit muda bernama Sebastião Rodrigues dikirim dari tanah Portugis ke negeri nun Jauh di sana: Zippangu atawa Nippon, begitu orang Barat di masa itu menyebutnya. Rodrigues dikirim bukan untuk misi sembarangan: santer terdengar kabar bahwa mentornya, Frater Cristóvão Ferreira, seorang misionaris ternama, telah murtad. Bukan hanya itu, Frater Ferreira bahkan telah kawin dengan seorang perempuan Jepang, menulis traktat anti-Kristen dan bahkan memiliki nama baru sebagai orang “Jepang”: Sawano Chuan.

Dengan tekad bulat, Pastor Rodrigues bertolak ke Jepang, tidak hanya untuk menyelidiki kasus mentornya Ferreira, melainkan juga untuk sebuah misi yang lebih penting: memberi layanan dan dukungan spiritual bagi para Kakure Kirishitan, umat Katolik Jepang yang terpaksa beribadah sembunyi-sembunyi demi menghindari persekusi oleh pemerintah Jepang di zaman Edo yang represif, terutama setelah diberangusnya pemberontakan Shimabara. Pemberontakan Shimabara yang sering dianggap sebagai pemberontakan keagamaan kaum Katolik melawan pemerintah Shogun, sejatinya merupakan ekspresi perlawanan para petani Jepang melawan negara yang semakin absolutis dan represif. Katolikisme, pada masa itu, dianggap berpihak kepada orang-orang kecil dan karenanya memberikan harapan bagi para petani miskin Jepang – yang kemudian banyak menjadi penganut Katolik.

Singkat cerita, Rodrigues berhasil masuk ke Jepang, menyapa para petani miskin dan umat Katolik yang tertindas, hingga kemudian ia tertangkap oleh pemerintah Shogun. Di saat itu pulalah ia bertemu Ferreira. Rodrigues menolak untuk murtad, bahkan sudah bersiap diri untuk disiksa, hingga kemudian ia dihadapkan pada suatu dilema keimanan yang dahsyat: yang disiksa bukanlah dirinya, melainkan para pengikutnya, dan para algojo pemerintah Shogun hanya akan berhenti menyiksa petani Katolik tersebut jika dan hanya jika Rodrigues bersedia mencampakkan iman Katoliknya: dengan kata lain, murtad.

Di tengah-tengah pergulatan batin Rodrigues, Ferreira mencoba meyakinkannya, rupa-rupanya itu yang dilakukan Ferreira bertahun-tahun yang lalu: ia akhirnya murtad karena tidak tahan menyaksikan penderitaan umatnya. Tapi Ferreira ternyata memiki alasannya sendiri. Katanya, ‘Kristus pastilah akan murtad untuk menyelamatkan mereka (para petani itu), bahkan jika itu berarti menyerahkan apa-apa yang telah Ia perjuangkan.’

Setengah dipaksa, tatkala Rodrigues akan menginjak fumie, pahatan bergambar Yesus, dalam ritual untuk menunjukkan apostasinya, mendadak dia mendengar figur Yesus dalam fumie tersebut berbicara!

‘Injak! Injaklah! Aku lebih tahu dari siapapun tentang rasa sakit di kakimu. Injaklah! Untuk diinjak-injak oleh umat manusialah maka Aku terlahir di dunia. Untuk menanggung penderitaan manusialah Aku memanggul Salib-Ku!’ (hal. 271).

Rodrigues akhirnya menginjak fumie itu dan secara resmi murtad. Tetapi, bagi Endo, aksi murtad Rodrigues itu justru merupakan manifestasi peribadatan yang sesungguhnya. Apostasi Rodrigues menjadi simbol pengejawantahan tertinggi dari keimanan: keberpihakan dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tertindas. Di novel tersebut, digambarkan bahwa Yang Transendental ikut memanggul penderitaan manusia.

Keimanan dan nilai-nilai keimananan rupa-rupanya dapat menjadi sumber politik pembebasan, emansipasi dan solidaritas, jika dan hanya jika, nilai-nilai tersebut berhasil keluar dari ortodoksi dogma dan doktrin dan diterjemahkan dalam praksis perlawanan. Bagi sebagian orang, ide ini terdengar revolusioner. Namun, bagi sebagian yang lain, ini hanyalah pembenaran bagi aksi kemurtadan.

Tak heran jika novel tersebut mengundang kontroversi

Agar tidak terlalu tegang, mari kita kembali menengok masa kini. Kali ini kita melompat ke tradisi Islam. Setidaknya akhir-akhir ini ada tiga peristiwa yang membuat orang kembali bertanya-tanya tentang peranan Islam dalam masyarakat modern: aksi kontroversial grup feminis Femen, kasus pengeboman Boston, dan kondisi diskursus keilmuan dan politik Islam di tanah air.

Dengan alasan solidaritas terhadap salah satu aktivis Femen asal Tunisia, Amina Tyler, yang mengalami persekusi setelah melakukan aksi topless di internet, berbagai aktivis Femen di berbagai belahan dunia melakukan aksi topless Jihad, berpose setengah bugil sembari menuliskan pesan-pesan yang menyamakan Islam dan tradisi keagamaan pada umumnya sebagai kemunduran peradaban. Mereka lupa dan alpa, bahwa aksi yang mereka anggap membela hak-hak perempuan itu justru semakin meneguhkan penggambaran rasis dan kolonialis atas para perempuan di komunitas Muslim: seakan-akan karena terlalu ‘lemah’ dan ‘tertindas,’ dikungkung oleh ‘tradisi’ dan ‘hijab’ mereka (tentunya dalam artiannya yang peyoratif),  para perempuan Muslim harus ‘dibebaskan’ oleh aktivis Femen – atau dengan kata lain para aktivis perempuan dari negeri Barat.

Lain lagi halnya dengan kasus pengeboman di kota Boston, Amerika Serikat, yang dilakukan oleh Tsarnaev Bersaudara, Dzhokhar dan Tamerlan, yang kebetulan berlatar belakang Muslim Chechnya. Di masa berkabung ini, berbagai komunitas Muslim di Amerika Serikat dan belahan dunia lain menyampaikan pesan simpati dan belasungkawa atas penderitaan para korban dan mengutuk tindakan pengeboman. Banyak orang cemas bahwa Islam akan kembali diasosikan dengan terorisme dan kekerasan. Namun, kenyataan berkata lain: sebagian besar umat Muslim adalah manusia biasa, yang memiliki aspirasi yang sama dengan warga dunia lain.

Di tanah air, para politisi, aktivis dan intelektual Islam sibuk berpolitik dan berdiskusi. Sebagian mengklaim memperjuangkan keadilan dan kemakmuran. Sebagian lain sibuk mengaku memperjuangkan Islam yang ‘pluralis’ dan ‘toleran.’ Semua atas panji-panji agama. Jangan-jangan mereka lupa dan alpa bahwa apa-apa yang mereka klaim tersebut bukanlah yang dibutuhkan oleh umat yang masih tertindas dan tereksploitasi.

Tentu saja, kritik ini tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap gerakan Feminis, rasa belasungkawa dan simpati saya terhadap korban pengeboman Boston, dan apresiasi saya terhadap warisan khazanah keilmuan dari tradisi Islam di Indonesia.

Narasi ini sekedar menunjukkan bahwa kenyataan tidaklah tunggal, melainkan penuh dengan kompleksitas. Rangkaian peristiwa ini juga menunjukkan bahwa ketidaktahuan dan ketidakpedulian ada di Barat maupun di Timur.

Karenanya, kita perlu menengok sejarah. Kita bisa saja mengasosiasikan KeKristenan dengan kolonialisme, Islam dengan terorisme, Buddhisme dan Konfusianisme dengan anti-modernitas, Barat dengan sekularisme dan lain sebagainya. Adalah lebih mudah untuk melakukan hal demikian. Namun, sejarah menolak tafsir tunggal. Sebaliknya, sejarah berkata lain. Tiap-tiap masyarakat dan peradaban memiliki dinamika dan khazanahnya sendiri yang perlu kita pahami.

Mari kita kembali ke ceritanya Endo. Dari Jepang, kita bertolak ke Amerika Latin.

Namanya Gustavo Gutiérrez, seorang pendeta Katolik ordo Dominikan asal Peru. Ia bukan pendeta biasa: refleksinya atas ketidakadilan dan penindasan atas kaum papa di negerinya dan Amerika Latin membuatnya tergerak. Pada tahun 1971, gebrakan pemikirannya diterbitkan: sebuah buku berjudul Teologi Pembebasan (A Theology of Liberation). Segera saja, Gutiérrez menjadi lokomotif ide-ide pembebasan dalam tubuh Gereja Katolik, baik di Peru maupun banyak tempat lain. Uskup Óscar Romero asal El Salvador yang menjadi martir melawan rejim otoriter di negerinya juga terinspirasi oleh ide-ide teologi pembebasan.

Dalam bukunya, Gutiérrez berujar, ‘teologi pembebasan mencoba merefleksikan pengalaman dan arti keimanan berdasarkan komitmen untuk memberantas ketidakadilan dan membangun masyarakat yang baru…Pembebasan dari setiap bentuk penindasan, kemungkinan akan kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat…yang dapat diwujudkan melalui perjuangan ini’ (hal,. 307)

Dari Amerika Latin, kita beranjak ke Afrika Selatan. Kali ini ide-ide pembebasan dari tradisi agama menulari Farid Esack, seorang intelektual dan aktivis Muslim kenamaan dari Cape Town. Bekal keilmuan yang didapat dari pendalamannya atas tradisi agama dipadukannya dengan kenyataan obyektif di negerinya: rejim apartheid yang otoriter dan rasis itu berkuasa dan karenanya rakyat Afrika Selatan tertindas. Ia tidak punya pilihan lain kecuali melawan. Selain tergabung dalam organisasi anti-apartheid Front Persatuan Demokratik (United Democratic Front) dan bekerja sama dengan Nelson Mandela, ia juga menulis argumen teologis dan religius tentang pembebasan dalam bukunya, Qur’an, Pembebasan dan Pluralisme (Qur’an, Liberation and Pluralism).

Iya, rupa-rupanya, agama dalam artiannya yang mencerahkan dapat menjadi sumber inspirasi politik pembebasan. Memang betul, agama bukan tanpa masalah, ada tendensi-tendensi konservatif dan reaksioner dalam beberapa bentuk penafsiran agama. Bahkan, sesungguhnya ide-ide apapun yang membawa janji-janji pencerahan dan emansipasi bisa terjebak dalam kemandekan dan dogmatisme. Dalam tradisi agama, kita menemukan bentuk-bentuk dogmatisme tersebut dalam praktek-praktek keagamaan ala abad pertengahan: mulai dari hasrat kekuasaan berbalut dalil teokratisme, pengerdilan makna agama jadi soal benar-salah dan boleh-tidak, hingga diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas dan perempuan.

Bung Karno menyebut kecenderungan ini sebagai ‘kehilangan Api Islam.’ Kita tidak mendapat apinya, hanya abunya saja. Namun, bukan berarti kecenderungan tersebut menihilkan potensi emansipatoris dan egalitarian dari agama. Tentu saja, potensi tersebut hanya akan hadir dalam penafsiran yang progresif yang diwujudkan dalam praktek-praktek sosial. Kepeloporan Sarekat Islam dalam pergerakan dan perjuangan pembebasan nasional, renaisans dunia Arab di era pasca-kolonial, sumbangan berbagai tradisi agama terhadap ilmu pengetahuan, hingga bentuk-bentuk penafsiran keagamaan yang kritis terhadap eksploitasi adalah bukti bahwa tradisi progresif itu ada dan layak dilestarikan.

Tidak heran jikalau Tan Malaka dalam pidatonya yang berjudul ‘Komunisme dan Pan-Islamisme’ pada Kongres Komunis Internasional yang Ke-empat pada 12 November 1922, menyerukan kesatuan tujuan dan perlunya menggalang kerjasama antara kaum Nasionalis, kaum Muslim, dan kaum Kiri.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.

UBL Motivasi Studi melalui Teleconference

UBL Motivasi Studi melalui Teleconference

RADAR LAMPUNG –  KAMIS, 14 MARET 2013  # POSTED BY: AYEP KANCEE

http://www.radarlampung.co.id/read/pendidikan/57415-ubl-motivasi-studi-melalui-teleconference

BANDARLAMPUNG – Universitas Bandar Lampung (UBL) menyelenggarakan teleconference tentang pengalaman studi program master (S2) dan doktor (S3) di luar negeri bagi dosen dan mahasiswanya kemarin sore (13/3). Hal ini bertujuan memperluas wawasan mereka terkait beasiswa studi di luar negeri.

Rektor UBL Dr. Ir. M. Yusuf Sulfarano Barusman, M.B.A. menuturkan, kegiatan ini bertujuan memotivasi dosen dan mahasiswa untuk terus melanjutkan studinya hingga tingkat yang paling tinggi di dalam maupun luar negeri. Itu sejalan dengan diwajibkannya peningkatan jenjang pendidikan di setiap profesi/pekerjaan saat ini.

’’Pendidikan tinggi sangat penting demi meningkatkan kualitas diri. Namun, banyak kendala yang ditemui dalam proses itu, salah satunya biaya, khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Untuk itu, UBL menyelenggarakan teleconference untuk berbagi informasi dan pengalaman buat mendapatkan beasiswa sebagai solusi atas kendala biaya tersebut,” papar Yusuf.

Wakil Rektor 1 UBL Prof. Dr. Khomsahrial Romli, M.Si. menambahkan dalam teleconference ini, mereka mengundang mahasiswa dari Indonesia yang sedang menempuh studi di luar negeri dengan beasiswa. Di antaranya Achmad Adhitya dari Royal Netherland Institute of Sea Research, Belanda; Purba Purnama dari Korean Advance Institute of Science and Technology, Korea; serta Iqra Anugrah dari Northem Illinois University, Amerika Serikat.

Ketiga narasumber dalam teleconference ini memberikan banyak informasi terkait beasiswa studi ke luar negeri. Di antaranya beasiswa formal yang berasal dari pemerintah, universitas, maupun pengusaha. Serta beasiswa nonformal yang didapatkan melalui kerja sama dengan profesor di perguruan tinggi mahasiswa yang bersangkutan. Yakni dengan menjadi asisten profesor tersebut dalam melakukan penelitian-penelitian.

Sementara itu, Fritz Akhmad Nuzir, S.T., M.A. (LA), salah satu dosen UBL yang telah memperoleh beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk melanjutkan studi ke Jepang akhir Maret mendatang mengungkapkan, sebagai kalangan akademisi, seharusnya tidak cepat puas dengan pendidikan yang telah diraih saat ini.

’’Hal yang sangat penting untuk meraih pendidikan tinggi adalah motivasi dari diri sendiri maupun orang lain yang lebih berpengalaman. Melalui teleconference diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peningkatan studi atau jenjang pendidikan setinggi-tingginya,” ujar Fritz. (rud/p3/c1/ade)

 

Awas, Bahaya Laten Militerisme!

Awas, Bahaya Laten Militerisme!

Analisa Politik

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/awas-bahaya-laten-militerisme/

LAPAS Cebongan, 19 Maret 2013. Segerombolan tentara menyerbu penjara itu. Dengan sekejap, mereka memaksa masuk, dengan satu tujuan untuk membalas dendam atas kematian seorang teman. Semua bermula dari sebuah keributan di sebuah kafe antara sekelompok preman dan seorang tentara, yang mengakibatkan digiringnya para preman itu ke penjara. Segera setelah menemukan para pelaku, para tentara itu segera menodongkan senjata mereka, dan kemudian menembak para pelaku. Hukum negara dan masyarakat beradab tidak lagi berlaku, digantikan oleh logika balas dendam, hukum-hukum kekuasaan dan aksi pengadilan sepihak. Tentu, semuanya dilakukan atas nama jiwa korsa.

Yang tidak kalah mengerikan adalah tanggapan-tanggapan atas peristiwa penjara Cebongan. Mulai dari laman media sosial hingga jalanan, berbagai kelompok masyarakat menyatakan dukungan atas ‘pemberantasan’ premanisme, baik dalam artian penegakan hukum yang sifatnya lebih koersif hingga pemberantasan dalam artiannya yang literal – dengan kata lain Petrus (Penembakan Misterius) dan Matius (Mati Misterius) a la Orde Baru. Tanggapan para elit tentu tidak akan mengejutkan kita – mulai dari Presiden, eks-Pangdam Diponegoro, hingga para jenderal itu, semua menyatakan ‘solidaritas,’ ‘kebanggan,’ dan ‘dukungan’ atas aksi para prajurit pencabut nyawa dari kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu.

Tentu saja, ini merupakan bagian dari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya laten militerisme! Selamat, rupa-rupanya hantu Orde Baru kembali bergentayangan di era reformasi. Pertama-tama, elit membajak proses demokratisasi. Kemudian, propaganda mengenai berbagai ‘hantu-hantu’ lama kembali menyebar. Dan terakhir, rasa takut kembali disebarkan, pun ide-ide tentang perlunya negara dan aparatus keamanan yang kuat untuk mewujudkan ‘keamanan.’

Analisa kritis

Dalam kaitannya dengan kasus penyerbuan LP Cebongan, setidaknya ada empat faktor yang perlu kita perhatikan dari peristiwa tersebut: peranan militer dalam politik, kapasitas negara dalam menjamin keamanan warganya, ekonomi politik sektor keamanan, dan peranan ‘orang kuat’ dalam politik.

Pertama, kasus Cebongan merupakan cerminan atas permasalahan lama yang rupanya belum sepenuhnya selesai – peranan militer dalam politik. Di dalam politik yang beradab, militer seharusnya berada di barak, bukan di jalanan, apalagi di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Kedua, kasus Cebongan juga terkait dengan lemahnya kapasitas negara pasca-reformasi dalam berbagai bidang kebijakan, termasuk dalam hal penyediaan layanan publik dan keamanan. Dalam konteks negara dan masyarakat yang melakukan transisi struktural pasca-otoritarianisme, ini sesungguhnya merupakan hal yang lumrah, namun dapat menjadi masalah yang besar apabila tidak segera diatasi.

Ketiga, melihat kasus Cebongan hanya dalam kacamata dikotomi biner – antara pandangan pro-‘negara kuat’ atau kritik terhadap kasus Cebongan sebagai bentuk baru fasisme negara – menyebabkan kita terjebak dalam simplifikasi permasalahan. Tentu saja, dalam artiannya yang paling luas, kita bisa setuju bahwa kasus Cebongan memiliki gejala atau tendensi fasis model baru. Namun, analisa persoalan tidak selesai di situ. Yang perlu kita perhatikan lebih lanjut adalah apa faktor-faktor struktural, institusional, dan kepentingan ekonomi-politik dari para elit predatoris di tingkat lokal maupun nasional yang berkaitan dengan kasus penghakiman sepihak di LP cebongan. Dalam konteks ini, hemat saya, adalah penting untuk melihat jejaring kuasa di tiga dimensi sekaligus: struktural, institusional dan agensi. Beberapa literatur kritis dalam ilmu sosial dan politik serta kajian kawasan yang membahas tentang Indonesia, sesungguhnya menggarisbawahi hal-hal tersebut di atas.

Keempat, melihat peranan faktor ‘orang kuat’ (strongmen) dalam politik juga dapat memberikan kita petunjuk untuk lebih memahami kasus Cebongan secara lebih jernih. Dalam studi-studi politik perbandingan terutama di Asia Tenggara dan Amerika Latin, faktor orang kuat dalam politik lokal, baik yang ‘ekstra-legal’ atau ‘para-legal’ seperti preman dan laskar kuat maupun yang ‘formal’ atau ‘legal’ seperti pebisnis, politisi, dan militer sama pentingnya. Orang kuat dalam konteks politik di dua kawasan, terlepas dari perbedaan kepentingan mereka, memiliki persamaan dalam mengamankan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka dan melanggengkan sistem politik dan kondisi struktural yang dapat memfasilitasi pemenuhan kepentingan-kepentingan mereka tersebut – yang tentunya seringkali dilakukan dengan cara-cara yang eksploitatif. Dalam konteks kasus Cebongan, perspektif ini bisa dipakai dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu, alih-alih ‘menjunjung’ dan ‘memuji’ apa-apa yang dilakukan oleh segerombolan pasukan pencabut nyawa itu, kita perlu melihat kasus Cebongan sebagai bagian dari cerminan potensial ketegangan antara beberapa elit, termasuk mereka yang berada dalam tubuh tentara, aparatus keamanan legal, maupun yang ekstra-legal atau ilegal seperti preman. Kemudian, kita juga perlu memperhatikan implikasi sosial-politik dari kasus ini terhadap opini publik, terutama dalam penggiringan opini publik untuk ‘mendukung’ pentingnya ‘negara kuat!’

Implikasi normatif dan praxis dari kasus Cebongan

Kasus Cebongan bukanlah yang pertama kalinya, dan bisa jadi bukan yang terakhir. Agar lebih bijak, agaknya kita perlu kembali merujuk tentang bahaya kekuasaan negara dari interpretasi luas atas perspektif Weberian dan Marxis klasik tentang negara: negara memonopoli penggunaan sumber kekerasan (means of coercion) dan negara merupakan alat dari kelas yang berkuasa.

Kecurigaan ini tidaklah berlebihan. Dalam tataran yang normatif, tentu saja kasus Cebongan merupakan pelanggaran HAM, penghinaan atas supremasi sipil dan pelanggaran atas nilai-nilai masyarakat yang demokratis. Banyak orang mulai berteriak ‘berantas premanisme dan para preman,’ namun mereka lupa akan kondisi objektif ekonomi-politik yang memungkinkan dan memunculkan premanisme, yaitu kapitalisme, sisa-sisa militerisme, dan oligarki politik di tingkat lokal dan nasional. Kita juga lupa akan satu kemungkinanan yang mengerikan: kali ini bisa saja narapidana atau preman yang ditembak, namun, besok dan seterusnya, bisa jadi korbannya adalah kita! Instrumen-instrumen dan mekanisme hukum, meskipun tidak sempurna, haruslah dihormati dalam konteks penegakkan hukum.

Kemudian, dalam tataran realita konstelasi politik dan implikasinya pada praxis, adalah bijak untuk menyadari eksistensi ‘perselingkuhan’ (unholy alliance) antara negara dan sektor-sektor semi-legal atau ilegal dan elemen-elemen anti-demokratis lainnya. Bahkan, sesungguhnya perselingkuhan itu telah muncul dalam berbagai bentuknya di Indonesia, kini, dulu dan mungkin nanti, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah kita. Dengan kata lain, ada kesinambungan sejarah yang musti kita perhitungkan. Yang perlu dilakukan oleh gerakan sosial progresif adalah proses penyadaran tentang pentingnya melihat kasus Cebongan dalam konteks kemungkinan perselingkuhan antara kuasa, kapital dan kekerasan yang begitu kental dalam sejarah kita.

Sebagai penutup, mari kita mengingat kembali berbagai fragmen sejarah ini: tidak ada yang menyangka bahwa Hitler dan Fasisme berhasil menduduki tampuk kekuasaan tertinggi di Jerman, dan kemudian mengakibatkan katastrofi kemanusiaan di Eropa. Pada masa awal perkembangannya, tidak ada yang menyangka bahwa Fasisme akan memakan banyak korban. Begitupun dengan kasus Cebongan. Mungkin sedikit berlebihan untuk menyebut kasus Cebongan sebagai penanda bangkitnya Fasisme negara. Namun, dalam konteks ini, bersikap berlebihan adalah jauh lebih bijak dan baik. Politik progresif harus merespon kasus ini, sebelum ini dijadikan momentum oleh para elit predatoris untuk memunculkan suatu entitas ‘negara kuat’ yang justru akan mengeksploitasi dan merepresi massa. Bedil boleh menyalak berkali-kali, namun kita perlu dan akan terus melawan, dengan tajamnya pena, melawan ‘kesadaran palsu.’

Oleh karena itu, pantaslah kita berujar: ‘Awas, bahaya laten militerisme! Hari ini mereka, besok bisa jadi kita, dan selanjutnya anda!’ ***

*Penulis berada di Twitterland dengan id @libloc.