Harapan itu Bernama Sosialisme

Harapan itu Bernama Sosialisme

ALEXANDRIA OCASIO-CORTEZ. Perempuan 29 tahun keturunan pasangan imigran Puerto Rico tersebut berhasil mendobrak kemapanan politik di Amerika Serikat (AS) dengan memenangkan pemilu sela untuk Dewan Perwakilan (House of Representatives) AS sebagai anggota kongres termuda dalam sejarah Amerika. Tak hanya itu, Ocasio-Cortez juga memenangi pemilu legislatif sebagai politisi progresif yang secara terbuka mendaku diri sebagai seorang sosialisBagaimana bisa?

Lahir dan besar dalam keluarga kelas pekerja kulit berwarna – sebuah konteks sosial yang sangat khas Amerika tetapi juga universal – Ocasio-Cortez tahu apa rasanya berjuang untuk hidup: ayahnya meninggal di tengah-tengah kuliahnya, dan selepas kelulusan, dia dan ibunya terpaksa bekerja serabutan. Sandy, begitu dia biasa dipanggil oleh keluarganya, membagi waktunya sebagai pelayan restoran di siang hari dan penjaga kedai makanan di malam hari. Ibunya jadi tukang bersih-bersih rumah dan supir bis sekolah. Tetapi, Sandy tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Dia ingat, di luar sana, ada jutaan warga kelas bawah lainnya yang juga berjuang untuk kehidupan mereka. Di sadar, ada jutaan Sandy di luar sana. Ia aktif di Democratic Socialists of America (DSA), organisasi politik sosialis terbesar di Amerika. Di sela-sela waktu dan sisa-sisa energinya, dan dengan dukungan massa dan kelompok-kelompok progresif, ia memutuskan untuk bertarung di kancah elektoral. Dan sisanya adalah sejarah.

Kemenangan Ocasio-Cortez – yang sekarang tenar dengan sebutan ‘AOC’ – beserta puluhan kandidat progresif lainnya dalam pemilu sela AS menjadi semacam ‘angin segar’ pasca fenomena Trump dan naiknya gelombang populisme kanan di berbagai belahan dunia lainnya. Di tengah-tengah berbagai permasalahan pelik yang menimpa hidup rakyat pekerja di seluruh dunia – kesenjangan sosio-ekonomi, kebuntuan saluran-saluran politik ‘demokratis’ yang ada, eksklusi dan marginalisasi sosial, serta kenaikan rasisme dan berbagai sentimen sektarian lainnya, Ocasio-Cortez, yang didukung oleh anggota tim kampanyenya, para aktivis gerakan sosial, dan puluhan kandidat politik yang lain menawarkan suatu gagasan: sosialisme jawabannya!

Ya, harapan itu bernama sosialisme, begitu kata AOC. Bersama puluhan kandidat progresif lainnya yang bertarung untuk kursi-kursi di dewan legislatif di tingkat nasional dan lokal, intervensi politik yang dibidani dan didorong secara sistematis oleh DSA akhirnya membuahkan hasil. AOC, Rashida Tlaib, seorang perempuan keturunan Palestina yang juga anggota DSA, dan banyak politisi kuda hitam baru yang didukung oleh DSAmenjadi perwakilan rakyat pekerja dan wajah dari sosialisme di Kongres AS yang borjuis itu: muda, tegas, penuh energi, cekatan, dan dekat dengan massa.

Bertarung di arena politik secara terbuka sebagai seorang sosialis, bukankah ini merupakan bentuk bunuh diri karir? Bukankah sosialisme telah gagal? Masih adakah harapan bagi politik progresif, di tengah-tengah gelombang kekuatan politik populis kanan dan fasis baru yang sedang ‘naik angin’?

Persis di titik inilah, justru agenda politik sosialis menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya. Karena, ketika kekecewaan dan kemarahan terhadap kondisi politik yang ada begitu akut dan mengemuka, ketika rasa frustrasi atas kerentanan hidup kita dan penindasan yang dilakukan oleh para elit semakin tak terbendung, ketika antagonisme antara kepentingan rakyat pekerja dan kapital semakin tak terbantahkan, hanya agenda sosialis yang dapat melakukan intervensi politik yang efektif untuk memperbaiki kondisi hidup dan mempromosikan kepentingan politik rakyat pekerja. Politik sosialis dengan jelas menunjukkan bahwa sumber masalah utama yang kita hadapi hari ini adalah tatanan kapitalis-neolberal global dan solusinya adalah intervensi politik yang demokratik, terpimpin, dan militan dari massa rakyat yang sadar akan kepentingan kelasnya.

Lantas, apa yang ingin dicapai oleh sosialisme? Apa tujuan dari agenda politik sosialis? Kaum sosialis memimpikan sebuah dunia di mana semua orang terbebas dari belenggu dominasi dan penindasan berbasis kondisi materialnya – ketertindasan kelas dalam berbagai bentuknya di ranah politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sebuah dunia di mana tiap-tiap kita dapat menjalani dan menghidupi hidup kita secara merdeka, bermartabat, dan bertanggung jawab, berdasarkan semangat solidaritas kepada sesama. Berlawanan dengan kesalahpahaman yang populer di masyarakat kita, sosialisme tidak mengampanyekan kebersamaan dan kesetaraan dalam kemiskinan dan despotisme. Jauh dari itu, yang diperjuangkan oleh kaum sosialis yang berpegang kepada prinsip-prinsip ilmiah dan pembacaan yang kontekstual adalah kesetaraan dalam keberlimpahan. Sebuah situasi di mana kita bisa hidup sebagai, mengutip kata-kata kaum Kiri Arab, ‘rakyat yang bahagia’ di ‘tanah yang merdeka.’ Singkat kata, sosialisme adalah manifestasi tertinggi dari demokrasi.

Tentu saja, agenda sosialis tidak bisa berhenti di tataran slogan. Retorika memang diperlukan untuk mengetahui keadaan batin dan menyentuh hati rakyat. Retorika juga penting untuk membangkitkan imajinasi-imajinasi politik yang baru. Tetapi, retorika sosialis bukanlah sekedar slogan dan jargon – ia juga merupakan sebuah propaganda programatik yang menjabarkan butir-butir kebijakan konkrit dalam perspektif sosialis bagi segenap massa rakyat.

Apa yang dimaksud dengan kebijakan sosialis? Setidaknya ada dua prinsip kerangka kebijakan sosialis yaitu demokratisasi seluas-luasnya di ranah politik, ekonomi, dan sosial dan transformasi kapitalisme menuju sosialisme. Sejumlah contoh dari penerapan dua prinsip tersebut antara lain adalah subsidi negara dan publik atas prosedur politik elektoral, pembatasan dana kampanye dan pengaruh politik dari para oligark dan korporasinya di berbagai lini, kepemilikan sosial atas sektor-sektor ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, agenda redistribusi dan pengelolaan ekonomi secara demokratis, industrialisasi nasional, pengelolaan pertanian secara kolektif, transformasi hierarkhi relasi kerja yang eksploitatif di berbagai sektor, perebutan dunia internet dari kuasa kapital, perlindungan ekologi, feminisme, perlindungan sosial transformatif, politik luar negeri berlandaskan prinsip anti-imperialisme dan solidaritas internasional, serta apresiasi terhadap tradisi rakyat dan aliansi dengan gerakan-gerakan keagamaan progresif.

Agenda-agenda sosialis bertumpu kepada asumsi bahwa ekspansi kapital bersifat global – dan begitu juga perlawanan terhadapnya. Dewasa ini, pelan-pelan kita digiring untuk mempersempit pemahaman kita atas pengalaman ketertindasan kita – seakan-akan tidak ada hubungannya antara buruh yang ditekan manajemen pabrik, petani yang dirampas lahannya, aktivis yang direpresi aparat, dan kaum minoritas yang dipersekusi. Kita lupa bahwa ada benang merah yang mengaitkan berbagai pengalaman ketertindasan tersebut, yaitu realitas sosial dalam kapitalisme yang sama-sama kita alami. Dengan kata lain, kapitalisme bersifat universal. Karenanya, kita memerlukan sebuah bentuk perlawanan yang juga universal dan transformatif – dengan kata lain radikal – sebagai alternatif dari berbagai kerusakan dan malapetaka yang dibawa oleh kapitalisme itu sendiri. ‘Radikal’ di sini tentu bukan berarti ekstrimisme – jauh dari itu. Yang saya maksud dengan radikal di sini adalah suatu komitmen untuk melakukan perubahan secara total, sampai ke akar-akarnya.

Meski prinsip-prinsip dari sosialisme berlaku secara universal, penerapannya tentu perlu disesuaikan dengan konteks lokal di mana ia diwujudkan. Ibarat sebuah pohon, meski jenis spesies dan benihnya sama, tumbuh dan suburnya juga ditentukan oleh tanah di mana benih tersebut ditanam dan berkembang. Sosialisme bukanlah ‘resep pembangunan’ ala aparatus neoliberal seperti Bank Dunia dan IMF, gagasan ‘khilafah’ yang mengawang, atau ‘satu obat untuk seribu penyakit’ seperti yang dijajakan oleh tukang obat di alun-alun kota. Sosialisme memang bertumpu kepada prinsip-prinsip ilmiah – pembacaan realitas sosial secara materialis, dialektis, dan historis dan pengorganisasian kembali masyarakat menurut prinsip-prinsip demokratik – tetapi ia tidak membuang tradisi-tradisi baik yang ada di masyarakat sembari tidak takut untuk mengkritik secara keras dan menawarkan alternatif atas tradisi yang represif dan tidak lagi sesuai dengan semangat zaman. Tradisi seringkali menjadi reservoir catatan dan aspirasi bagi mereka yang kalah dan terpinggirkan. Tugas sosialisme adalah menggali dan merangkai catatan historis dari ‘tradisi pinggiran’ tersebut, menarik kesimpulan besar atasnya, dan menyuarakan cerita orang-orang kalah tersebut ke khalayak ramai.

Dengan kata lain, sosialisme haruslah kontekstual. Jikalau tidak, jangan harap perjuangan politik sosialis dapat meraih dukungan luas dari massa rakyat. Itu juga strategi yang diterapkan oleh Ocasio-Cortez dan kandidat-kandidat progresif dan sosialis lain yang maju dalam pemilu sela di Amerika kemarin. Dalam kampanye Ocasio-Cortez misalnya, ia bekerjasama dengan dan didukung oleh organisasi kampanye politik Justice Democrats(yang mendorong wajah-wajah baru di Kongres AS dan tidak menerima dana korporat), Black Lives Matter(yang mengampanyekan hak-hak warga Afro-Amerika), dan berbagai organisasi lain, termasuk Muslims for Progress, sebuah organisasi Islam Progresif di Amerika sana. Dalam hal pendanaan kampanyenya, sekitar 75 persen donasi yang diterima oleh Ocasio-Cortez merupakan kontribusi donasi individual.

Yang tak kalah penting – dan ini perlu menjadi catatan bagi kalangan gerakan sosial di Indonesia – adalah bahwa para legislator progresif ini tidak terjebak oleh ilusi elektoralisme. Sedari awal, tujuan mereka adalah untuk merebut basis massa Partai Demokrat dan mendongkel kepemimpinan partai yang elitis, korup, dan jauh dari aspirasi massa. Buktinya, ketika 200 aktivis isu perubahan iklim melakukan demonstrasi di depan kantor Nancy Pelosi, politisi senior Demokrat yang akan kembali menduduki jabatan sebagai Ketua House of Representatives agar partainya mendorong paket kebijakan yang lebih progresif dalam isu-isu perubahan iklim terutama di sektor energiAOC juga turut bergabung dalam aksi tersebut dan menyatakan dukungannya kepada aksi dan usulan dari para demonstran.

Naiknya kekuatan politik sosialis kontemporer di Amerika pasca-Trump memang jauh jaraknya dari kita, namun bukan berarti fenomena tersebut tidak ada relevansinya. Sebaliknya, kita bisa belajar banyak dari pengalaman tersebut dan menurut saya, setidaknya beberapa hal ini dapat kita pelajari dan terapkan di konteks Indonesia.

Pertama, dalam hal artikulasi agenda-agenda politik sosialis, sudah saatnya kita memulai berbicara secara programatik. Dengan kata lain, kita harus memulai berbicara mengenai alternatif sosialis seperti apa yang pas untuk konteks Indonesia, dalam berbagai aspek. Selemah-lemahnya iman, kita harus mencoba lebih berani untuk mengusulkan sejumlah proposal kebijakan yang riil. Dalam ranah politik, kita bisa mengajukan mengenai alternatif paket perundang-undangan yang lebih memberi ruang kepada elemen-elemen gerakan sosial untuk berpartisipasi dalam pertarungan elektoral, pembatasan donasi dana kampanye oleh jejaring oligarki, hingga restrukturisasi parlemen. Di bidang ekonomi, kita perlu menyuarakan pentingnya melakukan kontrol atas kapitalredistribusi kekayaan negara, dan mendorong perkembangan ekonomi yang tidak hanya bergantung pada sektor-sektor ekstraktif dengan segala macam eksesnya. Di dunia sosial dan kebudayaan, ini berarti memimpikan tumbuhnya balai-balai budaya dan literasi berbasis komunitas, di mana anak-anak buruh dan petani, anak-anak di kampung-kampung dan juga anak-anak di komunitas miskin kota dapat membaca sastra-sastra dunia, mengenali kebudayaan lokal, atau belajar memainkan instrumen musik klasik. Di dunia maya, kita bisa mulai berpikir mengenai bagaimana ide internet sosialis dapat diterapkan di zaman sekarang sebagai alternatif atas internet korporasi. Di berbagai pabrik, ladang pertanian, dan perkebunan, di desa maupun di kota, ini berarti mendorong tumbuhnya serikat-serikat rakyat dan dewan-dewan warga yang independen yang militan, yang dapat mendorong demokratisasi seluas-luasnya di dalam kehidupan sehari-hari bahkan di luar institusi formal negara. Di dalam praktik-praktik keagamaan dalam masyarakat, ini berarti menjadikan sesi-sesi peribadatan sebagai forum untuk membicarakan permasalahan yang menimpa lapisan-lapisan rakyat yang paling tertindas dan merumuskan apa respon dari kelompok-kelompok agama untuk menjawab permasalahan riil rakyat.

Kedua, untuk mendorong program-program tersebut, maka propaganda sosialis di tengah-tengah massa juga haruslah kontekstual. Istilahnya, ‘strategi dakwah’ di kalangan sosialis, progresif, dan gerakan sosial yang lebih luas haruslah tepat sasaran dan beresonansi dengan realitas sosial dan kegelisahan massa. Perlu diakui, inilah satu aspek di mana kaum populis kanan lebih unggul hari ini. Tanpa kampanye dan propaganda yang mengena, tanpa pesan yang khas – katakanlah sebuah versi baru dari Sosialisme Indonesia – maka mustahil ‘kabar baik’ yang dibawa sosialisme akan ditanggapi dan diyakini oleh massa rakyat.

Dalam iklim dan diskursus politik Indonesia sekarang, yang penuh dengan berbagai kekonyolan dan dagelan, yang membuat kita seringkali tidak bisa membedakan antara kenyataan, imajinasi, dan lawakan, sosialisme barangkali masih akan menjadi sebuah kata yang kotor, yang diidentikan dengan segenap label-label peyoratif khas Orde Baru: tak bermoral, menghalalkan segala cara untuk berkuasa, utopis, dan lain sebagainya. Akan tetapi, apa yang akan kira-kira terjadi dalam belasan tahun ke depan, ketika kontradiksi dalam kapitalisme semakin mengeras dan massa rakyat butuh jawaban atas persoalan tersebut? Persis di momen inilah, kita dan publik akan sadar bahwa agenda sosialisme – yang didukung oleh pemahaman yang menyeluruh dan ideologis, garis politik yang selalu setia kepada cita-cita dan aspirasi rakyat pekerja, dan organisasi yang rapi – adalah agenda yang akan menjawab berbagai permasalahan rakyat. Ya, sosialisme pelan-pelan bisa menjadi suatu istilah yang normal dalam perbendaharaan politik kita, sama seperti yang terjadi di masa-masa awal kemerdekaan kita, atau saat ini di Amerika sana.

Semua cita-cita ini terdengar sangat simplistis dan utopis di saat bersamaan. Bukankah tidak mudah untuk mengusulkan apalagi menerapkan suatu platform alternatif? Apakah mungkin untuk melampaui kapitalisme? Tentu saja, kita perlu mengakui dengan rendah hati bahwa tantangan-tantangan tersebut sulit dijawab, namun bukan berarti tidak mungkin untuk dipecahkan. Pasalnya, sebagaimana dikemukakan oleh sang fisikawan jenius Albert Einstein, kapitalisme sebagai sebuah sistem tidaklah masuk akal dan sungguh inefisien, yang akan selalu membawa berbagai permasalahan sosial yang berasal dari kontradiksi di dalamnya. Kontradiksi tersebut muncul ketika daya produksi yang dihasilkan secara kolektif oleh kita semua, rakyat pekerja, terhambat perkembangannya karena relasi-relasi sosial dan produksi yang hierarkhis, eksploitatif, dan karenanya inefisien.

Ya, cita-cita sosialisme memang sederhana, namun sungguh maju dan masuk akal: bahwa kemakmuran bisa kita kelola dan miliki bersama, bahwa kebahagiaan bersama adalah mungkin, bahwa kita bisa wujudkan demokrasi yang sejati di bumi. Ya, harapan itu bernama sosialisme.

Dan itulah tujuan dari perjuangan kita. Kawan, tak terpanggilkah kau ‘tuk turut serta?***

Iqra Anugrah adalah editor IndoProgress

Sebelum Bertesis, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Sebelum Bertesis, Apa yang Harus Kita Lakukan?

SEBAGAIMANA acap kali terjadi menjelang kontes elektoral, kalangan gerakan sosial dan progresif di Indonesia kembali disibukkan oleh sebuah ‘pertanyaan abadi’ bagi para pegiat gerakan: apa yang harus dilakukan kalangan gerakan untuk menghadapi tantangan politik elektoral? Tentu saja, pertanyaan ini kembali mengemuka menjelang pemilihan umum (pemilu) 2019, sebuah momen politik yang hasilnya tentu akan memengaruhi trajektori gerakan rakyat ke depan.

Oleh karena itu, inisiatif yang dirintis dan difasilitasi oleh IndoPROGRESS (IP) dalam beberapa waktu terakhir perlu diapresiasi sebagai upaya untuk menghadirkan ruang perdebatan yang sehat bagi analisis kondisi politik hari ini dan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh kalangan gerakan untuk memperdalam dan memajukan demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, sebuah perdebatan, bahkan yang dilakukan dengan cara yang sistematis sekalipun, terkadang rawan untuk berubah menjadi sekadar kakofoni – hiruk-pikuk dan hype – terutama di kalangan pegiat gerakan itu sendiri. Untuk itulah, dalam semangat untuk mengklarifikasi dan mengkritik poin-poin dan argumen-argumen dari berbagai tulisan mengenai pemilu 2019 yang telah diterbitkan sebelumnya sekaligus untuk mendorong perdebatan ke arah yang lebih maju, tulisan ini dibuat.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengevaluasi rekam jejak pemerintahan Jokowi, mengulas dan mengkritik sejumlah posisi debat yang telah dijabarkan sebelumnya dan menggarisbawahi sejumlah persoalan yang luput dibahas dalam berbagai tulisan itu. Langkah ini penting dilakukan sebelum kita mencoba merumuskan posisi progresif – apalagi posisi kiri – terhadap pemilu 2019 dan arena pertarungan elektoral yang akan kita hadapi kedepannya.

Politik Indonesia Pasca-2014

Dalam konstelasi politik Pemilu 2014, kita tahu bahwa politik Indonesia di waktu itu berada di sebuah persimpangan: antara keberlanjutan demokrasi status quo (dengan segala problematikanya) atau belokan ke arah otoritarianisme dan pengekangan atas agenda-agenda politik rakyat pekerja. Dalam konteks inilah, intervensi elektoral gerakan sosial dalam bentuk dukungan kepada Jokowi diberikan. Tetapi, dukungan ini bukanlah sebuah bentuk ‘cek kosong,’ melainkan dukungan kritis. Apa itu dukungan kritis? Mengutip Ridha:

‘Dukungan terhadap Jokowi dilakukan sejauh ia justru menantang konstruksi ideologis neoliberalisme itu sendiri. Jika pemerintahan Jokowi justru mendorong kebijakan neoliberal, maka menjadi sah bagi para pendukungnya untuk melawan sehebat-hebatnya kebijakan tersebut.’

Jelas sudah, bahwa bentuk dukungan yang sepatutnya diberikan kalangan gerakan kepada rezim Jokowi adalah dukungan yang bersyarat, sejauh pemerintahan Jokowi dapat memberi ruang bagi agenda-agenda demokratisasi yang lebih luas dan pendalaman orientasi politik anti-neoliberalisme dan anti-kapitalisme. Perlu diingat juga bahwa apa yang disebut sebagai ‘kalangan gerakan sosial’ di Indonesia merupakan entitas yang terfragmentasi. Dengan kata lain, sedari awal, tidaklah mengkhayal untuk mengatakan bahwa di antara pegiat gerakan sendiri terdapat perbedaan mengenai seperti apa bentuk dukungan kritis tersebut.

Tetapi, terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tersebut, saya pikir tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa ada sejumlah indikator objektif yang dapat dipakai untuk mengevaluasi rekam jejak termin pertama pemerintahan Jokowi. Dalam hal politisasi hukum, pembatasan atas ruang demokrasi formal, mobilisasi elemen-elemen militer untuk kepentingan politik partisan, dan pemakaian sentimen sektarian dalam politik, rekam jejak pemerintahan Jokowi tidaklah menggembirakan – bahkan, dapat dikatakan, pemerintahannya turut berkontribusi dalam penurunan kualitas dan pengekangan ruang demokrasi bagi rakyat pekerja. Belum lagi apabila kita melihat reaksi administrasi Jokowi kepada agenda-agenda politik rakyat yang jelas-jelas berorientasi kelas. Dalam hal ini, saya setuju dengan analisis Mughis mengenai ‘prestasi’ administrasi Jokowi dalam empat tahun terakhir: tidak ada kemajuan berarti, jikalau kita tidak bisa mengatakan bahwa terjadi sejumlah kemunduran bagi proyek politik gerakan rakyat.[1]

Inilah kenyataan yang kita hadapi hari ini. Sebuah kenyataan yang pahit dan tidak menyenangkan, betapapun kenyataan tersebut telah dibungkus oleh retorika-retorika pemanis dan penyedap oleh aktor-aktor gerakan yang mendukung rezim Jokowi hari ini. Namun demikian, perlu juga diingat bahwa berbagai catatan buruk tersebut tidak bisa serta-merta kita atribusikan kepada kualitas kepemimpinan atau leadership dari Jokowi semata, meskipun itu adalah salah satu faktor yang berpengaruh. Bahkan, kita tidak bisa mengatakan bahwa kekacrutan politik hari ini adalah hasil dari performa administrasi Jokowi semata. Kondisi politik Indonesia hari ini – demokrasi borjuis yang diwarnai dengan tingkat kesenjangan sosio-ekonomi yang tinggi dan maraknya praktik patronase politik – juga merupakan hasil dari konstelasi politik yang ada dalam era demokrasi formal pasca Orde Baru.

Dalam hal ini, kubu ‘oposisi formal’ – berbagai kelompok yang kembali mendukung Prabowo sebagai calon presiden (capres) 2019 – tentu juga turut berkontribusi kepada keblangsakan politik saat ini. Mereka turut berkontribusi kepada mobilisasi sentimen politik sektarian demi mengamankan agenda politik elit, oligark, dan perwakilan-perwakilan dari kubu kanan reaksioner. Drama politik dalam kasus Ratna Sarumpaet, di mana aktor-aktor ‘kelompok oposisi’ juga terlibat, misalnya, hanyalah merupakan salah satu indikasi kecil dari kekeruhan cara berpikir dan kelicinan manuver politik mereka. Tentu, di sini saya tidak berbicara mengenai elemen dari massa-rakyat yang bersimpati kepada kubu ‘oposisi’ atau setidaknya agenda-agenda mereka. Saya berbicara mengenai para elite, bohir, buzzer, konsultan, operator lapangan, dan segenap aktor politik lainnya yang berada di dalam barisan oposisi kesiangan ini. Singkat kata, mereka adalah para serigala yang berbulu demokrat.

Realitas politik yang kita hadapi dalam beberapa tahun terakhir ini hanyalah merupakan gejala dari fenomena yang lebih besar. Untuk lebih memahami realitas tersebut secara lebih menyeluruh, kita harus meletakkan dalam konteks sejarah perkembangan kapitalisme-neoliberal dan konsolidasi oligarki Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru. Di dalam konteks berbagai bentuk kemarahan dan kekecewaan yang disebabkan oleh dislokasi sosial dalam kapitalisme-neoliberal pasca Orde Baru, politik kontemporer Indonesia dapat dibaca sebagai pertarungan antara berbagai varian populisme – terutama antara populisme sekuler dengan populisme Islamis.[2] Ironisnya, tentu saja, sebagaimana dapat kita tebak, berbagai artikulasi politik populis tersebut dapat dengan mudahnya dimanipulasi oleh oligarki untuk kepentingannya. Tren politik ini mungkin akan bertahan untuk beberapa saat, apalagi karena tren ini merupakan bagian dari tren global yang lebih sistemik, suatu tren yang muncul ketika konsensus ‘liberal-demokratik’ yang mengawinkan supremasi pasar (baca: kapitalisme) dan saluran politik formal (baik dalam versi elektoralisme borjuis Barat maupun kapitalisme-otoritarian Tiongkok) banyak ditentang tetapi agenda politik progresif yang programatik dan berdasarkan mobilisasi massa belum mampu meraih dukungan rakyat secara luas.

Sekali lagi, inilah kenyataan politik yang kita hadapi dalam beberapa tahun belakangan. Percaturan dan pertarungan politik menjelang pemilu 2019 juga merupakan bagian dari dinamika yang lebih luas tersebut. Dan seperti biasa, kita kembali tidak siap menghadapi tantangan tersebut.

Tiga Posisi Gerakan Menghadapi Pemilu 2019

Berdasarkan seri tulisan yang diterbitkan di IP akhir-akhir ini, secara garis besar ada tiga posisi gerakan dalam menghadapi pemilu 2019, yaitu:

  1. Dukungan terhadap rezim Jokowi
  2. Golput
  3. Kritik-otokritik dan intervensi politik

Sebelum memberikan pemaparan mengenai persoalan apa saja yang luput dan karenanya perlu kita perhatikan apabila kita ingin merumuskan secara serius mengenai strategi dan taktik politik gerakan sosial dan progresif, ada baiknya kita melakukan evaluasi singkat atas tiga posisi tersebut.

Posisi Pertama: Bagai Bermimpi di Siang Bolong

Posisi dukungan secara antusias diwakili oleh tulisan Airlangga dan Martin. Posisi Airlangga dengan jujur dan rendah hati mengakui berbagai kekurangan administrasi Jokowi, serangan-serangan yang dilakukan kepada gerakan rakyat oleh rezim hari ini, dan ketidakmampuan kalangan gerakan, termasuk mereka yang masuk ke dalam pemerintahan atau berpartisipasi dalam kancah politik, untuk mewarnai – ‘mengintervensi’ mungkin merupakan klaim yang terlalu bombastis untuk dipakai saat ini – pemerintahan Jokowi. Akan tetapi, Airlangga masih tersandera oleh sebuah ilusi, sebuah wishful thinking bahwa platform ‘Nawacita’ Jokowi (yang saya sangsi Jokowi dan orang-orangnya sendiri mengimani itu) dapat secara efektif direbut dan diapropriasi oleh kalangan progresif. Airlangga juga melakukan overestimasi atas pengaruh kalangan gerakan sosial dan progresif dalam kancah pertarungan politik elektoral. Apakah klaim Airlangga bahwa para penulis, termasuk saya, turut berpartisipasi dalam ‘memengaruhi ribuan orang’ dan bahkan puluhan ribu orang dalam pertarungan ide dan gagasan dalam pertarungan pilpres 2014? Jikalau memang iya – itupun, saya tetap tidak yakin – saya cenderung lebih berhati-hati untuk menakar kekuatan dan pengaruh gerakan sosial dalam ranah politik elektoral.

Sebaliknya, tulisan Martin adalah sebuah bentuk arogansi intelektual yang mengkhawatirkan. Secara gegabah, Martin menuliskan – jangan-jangan melamunkan – sejumlah tesis (alih-alih hipotesis) yang cenderung mengeneralisir persoalan, bersifat subjektif, dan tercerabut dari realitas sosial yang dihadapi dan dihidupi oleh kebanyakan massa-rakyat apalagi realitas politik hari ini. Mungkin Martin perlu lebih memahami bagaimana massa-rakyat dan kamerad-kamerad di gerakan rakyat melakukan kerja-kerja gerakan, jikalau belum berkesempatan untuk terlibat langsung secara lebih jauh. Tentu, melakukan pekerjaan teknokratis sebagai ‘birokrat merah’ bisa jadi bermanfaat. Tetapi, tentu tidak kalah bermanfaat dan berharga kerja kawan-kawan lain – kawan-kawan buruh, bapak ibu petani, segenap aktivis, organizer, mahasiswa, dan elemen-elemen pekerja urban misal – yang mengurusi segala macam tetek bengek gerakan, mulai dari bernegosiasi dengan pejabat lokal, mengorganisir aksi, dan menulis pernyataan sikap, hingga mengurus logistik organisasi, mengadakan dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pendidikan popular, dan mendengarkan curhatan kawan seperjuangan. Mereka melakukan ‘kerja-kerja Indonesianis’ yang justru dicibir oleh Martin. Preskripsi politik yang ditawarkan Martin juga mengkhawatirkan dan konyol: Nawacita Jokowi sebagai manifestasi masa kini dari Soekarnoisme? Ah come on! Ini merupakan sebuah bentuk lamunan jorok. Dan berfantasi vulgar sembari nyinyir terhadap sesama kawan yang beroposisi secara legitim kepada rezim Jokowi adalah sebuah gestur politik yang ofensif!

Amat disayangkan bahwa kedua kawan ini – yang melakukan kerja-kerja yang ketat di ranah intelektual – justru terpenjara oleh asumsi-asumsi idealis mereka atas pemerintahan Jokowi, yang membuat mereka mengambil posisi politik yang konyol – posisi nafsu besar tenaga kurang. Alih-alih ‘Tesis Agustus’ atau ‘Empat Tesis Intervensi Pilpres,’ saya pikir pembacaan yang lebih tepat atas kondisi politik hari ini adalah ‘Tesis September’-nya Roy. Ini adalah bentuk pembacaan yang lebih jujur, masuk akal, dan menyeluruh atas (ketidakmampuan kita menghadapi) realitas politik hari ini. Tidak, kita tidak bisa memberikan cek kosong dan menyerukan ‘dukung 100%’ kepada pemerintahan Jokowi!

Posisi Kedua: Analisis Jitu yang Kurang Imajinasi

Posisi kedua mengedepankan opsi golput, yang diwakili oleh tulisan-tulisan Mughis (salah satunya ini) dan Umi. Salah satu kekuatan dari teman-teman yang menyerukan opsi golput atau boikot pemilu adalah di analisis mereka yang cukup jitu mengenai kondisi politik Indonesia sekarang dan kiprah pemerintahan Jokowi. Kedua penulis dengan tepat sasaran menunjukkan tendensi predatoris dari rezim Jokowi, kurangnya komitmen terhadap penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dari pemerintahan sekarang, dan kesesatan berpikir rekan gerakan yang secara dogmatis mendukung Jokowi. Saya tidak akan mengulangi lagi detail-detail dari argumentasi kedua penulis di atas. Seruan Mughis untuk membangun kembali politik oposisi yang melibatkan massa-rakyat secara luas dan berkarakter progresif, sebagai alternatif atas demokrasi elitis yang dikangkangi oligarki, juga penting untuk dibahas lebih lanjut.

Akan tetapi, persis di titik inilah argumen ‘golput murni’ menjadi bermasalah. Sebagai suatu opsi politik temporer, dan dalam konteks-konteks politik tertentu, maka golput menjadi relevan dan dapat menjadi senjata yang handal. Namun, di sisi lain, golput sebagai opsi politik abadi tentu saja problematik. Selain tidak relevan dan tidak kontekstual, ‘fundamentalisme golput’ merupakan sebuah posisi politik yang cenderung puris dan ‘moralis’[3] – padahal kita tahu bahwa politik sejatinya selalu penuh dengan strategi dan taktik. Bahkan, ada kalanya konsesi-konsesi dan kompromi-kompromi perlu dilakukan dalam rangka membuka ruang untuk pendalaman agenda-agenda politik rakyat pekerja secara lebih luas. Tidak hanya itu, ekspresi-ekspresi golput yang naif juga rawan jatuh ke dalam pembacaan politik yang ahistoris dan melanggengkan mental kalahan atau defeatist di antara kalangan gerakan dan massa luas. Padahal, kita tahu bahwa pemenuhan dan penerapan agenda-agenda gerakan sosial membutuhkan suatu bentuk intervensi politik. Dan intervensi politik secara efektif dan efisien selalu membutuhkan organisasi politik. Jikalau memang organisasi politik tidak dibutuhkan, maka untuk apa orang-orang Kurdi membangun partai politik dan milisi rakyat selain gerakan sosial massa mereka?

Tentu, saya tidak ingin menyamaratakan berbagai argumen pro-golput atau pro-boikot pemilu. Bahkan, bisa dikatakan bahwa saya bersimpati kepada sebagian argumen yang dicetuskan oleh kubu pro-golput. Tetapi, kita perlu bergerak lebih jauh dari posisi golput sebagai ‘tujuan utama’ dari politik. Dari segi besaran suara, analisis Aruna menunjukkan bahwa angka golput, baik di pemilu legislatif maupun presiden, terus meningkat.[4] Di sini, kita membutuhkan data dan analisis yang lebih jauh untuk memahami alasan mengapa misalnya hampir 25% dan 30% dari pemilih Indonesia memutuskan golput di pileg dan pilpres 2014. Ini merupakan angka yang cukup tinggi – pertanyaannya, bagaimana kita memahami fakta elektoral ini? Apakah ini menunjukkan bahwa ada ‘blok golput’ yang potensial, yang suaranya dapat dimobilisasi untuk posisi politik alternatif? Ataukah ini menunjukkan ‘krisis kepercayaan’ kepada prestasi berbagai pemerintahan pasca Orde Baru? Di sisi lain, apabila kita merujuk kepada hasil pemilu 2014, sebagian besar dari pemilih Indonesia – kurang lebih sekitar 70% – memilih untuk tetap berpartisipasi dalam pemilu. Mobilisasi-mobilisasi politik non-elektoral, baik yang juga tetap terjadi, baik yang memperjuangkan agenda-agenda politik demokratik maupun yang cenderung bersifat sektarian (meski pemicunya adalah, lagi-lagi, marginalisasi dan alienasi dalam kapitalisme). Jikalau boleh sedikit berspekulasi, maka kita bisa berargumen bahwa ada ketidakpuasan yang akut terhadap tatanan demokrasi-neoliberal, tetapi artikulasi politiknya tidak serta merta mengambil bentuk yang progresif – bahkan, ketidakpuasan tersebut bisa tersalurkan dalam ekspresi-ekspresi yang konservatif dan reaksioner – ‘NKRI Harga Mati,’ ‘Bela Ulama dan Agama,’ ‘Anti Aseng-Asing,’ dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, argumen golput yang bersifat abadi dan esensialis tidaklah cukup. Analisisnya jitu, akan tetapi sayang, preskripsi politiknya kurang imajinatif. Tetapi ada pengecualian, yaitu apabila pendukung argumen golput juga setuju bahwa konsekuensi logis dari menolak demokrasi pasar – menolak memilih leher kita akan digorok pakai golok atau gergaji, atau disantap buaya atau singa sebagai menu makan malam, atau dihajar Joks atau Prabs – adalah membangun politik alternatif yang beorientasi perjuangan kelas.

 Posisi Ketiga: The Devil is in the Details!

Posisi ketiga merupakan posisi yang mengedepankan kritik dan otokritik atas pencapaian dan agenda gerakan dalam politik elektoral. Posisi ketiga juga mempromosikan intervensi politik – dalam berbagai variannya. Sejauh ini, posisi ketiga yang ada cenderung menitikberatkan kepada dimensi intervensi politik. Ini yang dikemukakan oleh Ridha dan Ken Budha Kusumandaru. Beberapa butir dari argumen-argumen yang disebutkan oleh dua rekan ini dengan tepat mengulas permasalahan yang ada dan preskripsi-preskripsi yang sekiranya diperlukan, antara lain pentingnya merebut dan mentransformasi kekuasaan negara dan keperluan untuk membangun partai dan berlatih dalam arena politik elektoral untuk menghantam borjuasi di dalam permainan mereka sendiri.

Akan tetapi, dua pertanyaan besarnya saya pikir belum terjawab. Pertama, apa yang dimaksud dengan intervensi politik dan seperti apa bentuknya? Kedua, jikalau kita ingin mengintervensi proses politik, terutama proses politik elektoral, maka seperti apa skemanya? Ingat, intervensi politik bukan berarti, dan tidak bisa direduksi menjadi, sekadar persoalan mendukung atau memilih Jokowi atau tidak. Klarifikasi ini penting apabila kita tidak ingin posisi intervensi tergelincir menjadi posisi pertama yang dekaden, posisi ‘kira-kiraisme’ (‘ah, rasa-rasanya taktik ini cocok dipakai dan bisa jalan’), dan berbagai kekeliruan politik lain.

Jangan salah, saya setuju dan mendukung posisi intervensi. Saya pikir, posisi ini adalah posisi yang realis – ia tidak menampik kenyataan dan kesulitan politik yang ada – tetapi juga transformatif – alih-alih menerima kebobrokan politik di hadapan kita sebagai suatu hal yang normal, ia mencoba mengubahnya demi agar kita selangkah lebih maju kepada demokrasi yang sejati, demokrasinya rakyat pekerja yang berkarakter sosialis. Hanya saja, saya menuntut diri saya sendiri dan kawan-kawan lain yang mendukung posisi serupa, atau setidaknya simpatik, untuk berpikir secara lebih keras dan lebih jauh mengenai apa yang kita maksud dengan intervensi politik dan seperti apa caranya. Karena, jikalau tugas analisis tersebut tidak kita lakukan, maka gerakan sosial dan progresif di Indonesia akan rawan menjadikan analisis dan perumusan preskripsi politik elektoral sebagai persoalan episodik lima tahunan semata. Kita akan terus-menerus memikirkan persoalan elektoral sebagai persoalan yang perlu diselesaikan di kemudian hari, bukan bagian dari agenda jangka panjang kita.

Dalam terang inilah, otokritik yang dijabarkan oleh Aruna menjadi penting. Saya pikir, kita perlu mengambil posisi serupa dan berangkat dari titik tersebut. Untuk memulai, ada sejumlah daftar pertanyaan yang harus kita pikirkan secara serius. Sudah sejauh apa dan seperti apa bentuk intervensi politik dari kalangan gerakan rakyat kepada praktik-praktik politik yang ada saat ini, termasuk pertarungan elektoral? Adakah konsensus mengenai perlunya intervensi politik elektoral di kalangan gerakan itu sendiri? Dari mana sebaiknya kita memulai intervensi tersebut? Dari tataran yang lokal atau nasional? Di ranah pemilu legislatif (BPD, DPRD, DPR, DPD) atau pemilu eksekutif (RT/RW, Lurah, Kepala Desa, Bupati, Walikota, Gubernur, Presiden)? Jikalau memang pada akhirnya kita memilih calon tertentu, maka apa yang bisa kita lakukan agar agenda gerakan tetap terakomodasi? Bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat dan bahkan perpecahan di antara kalangan gerakan itu sendiri dalam kerja-kerja politik? Bagaimana dengan intervensi di ranah birokrasi? Lalu, bagaimana cara kita menghadapi pertarungan bukan hanya di level elit maupun massa, tetapi juga di level tengah – yang banyak dihuni oleh lawan-lawan dengan skill bertarung politik yang dahsyat, seperti buzzer, operator lapangan, konsultan, dan lain sebagainya? Dan mungkin yang terpenting: apa yang bisa kita pelajari dari kegagalan dan kekurangan kita yang terdahulu?

Apa yang baru saja saya jabarkan di atas merupakan pertanyaan-pertanyaan yang penting, setidaknya menurut hemat saya. Untuk itulah, saya pikir kita perlu mengambil posisi ketiga dalam perdebatan mengenai pemilu 2019, tetapi dengan titik berat kepada – sekali lagi – otokritik atas pencapaian dan kemunduran gerakan dalam kerja-kerja politiknya. Ini tentu saja posisi yang tidak mudah. Bagi para pembaca dan juga kawan sesama pegiat gerakan, boleh jadi seakan-akan saya sedikit menunda penilaian saya atas sebuah perdebatan yang genting. Akan tetapi, ketika arah perdebatan sedikit keruh, bukankah perlu untuk sedikit mengambil jarak dan melihat hal-hal apa saja yang luput dari perdebatan kita? Dalam semangat itulah, dan dalam semangat otokritik, saya mengajak khalayak pembaca untuk mendiskusikan kembali hal-hal apa saja yang luput dari perdebatan mengenai pemilu 2019.

 

Berbagai Aspek Kerja Politik Gerakan Sosial di Indonesia Pasca Orde Baru

Untuk memulai, saya ingin mengajak khalayak pembaca dan kawan-kawan pegiat gerakan sosial untuk membuka dan membaca kembali sejumlah catatan kecil namun penting dari upaya-upaya terakhir dari kalangan gerakan untuk melakukan intervensi politik elektoral, terutama melalui jalan pembangunan partai gerakan sosial yang berbasis kelas. Catatan-catatan tersebut dapat dilihat di rubrik Front.

Amatan cepat dari rubrik Front akan memberi kita sedikit gambaran mengenai apa saja persoalan yang dihadapi oleh kalangan gerakan sejauh ini – kita – dalam upaya melakukan intervensi elektoral. Sebagai garis besar, tantangan-tantangan yang ada antara lain adalah:

  1. Sistem registrasi partai politik (Parpol).
  2. Upaya untuk membangun parpol gerakan itu sendiri.
  3. Bagaimana merangkul suara anak muda.
  4. Bagaimana mengampanyekan gagasan politik alternatif.
  5. Memperkuat koneksi antara ranah gerakan sosial dengan ranah politik.
  6. Sejumlah persoalan yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemilu dan parpol, terutama yang cenderung mempersempit ruang demokrasi.

Isu-isu lain yang saya rasa juga penting untuk kita bahas secara lebih mendalam, yang pernah saya singgung sedikit sebelumnya, adalah sebagai berikut:

  1. Identifikasi ruang-ruang elektoral di mana kader-kader gerakan dapat memenangkan pertarungan elektoral.
  2. Mekanisme kontrol demokratik atas kader gerakan di ranah politik dan birokrasi untuk menghindari, atau setidaknya meminimalisir, potensi avonturisme, oportunisme, dan demoralisasi.
  3. Pengarusutamaan (baca: propaganda luas) retorika, agenda, dan pada akhirnya orientasi politik progresif demi pemajuan agenda perjuangan kelas.
  4. Identifikasi isu-isu yang memiliki imbas luas dan memungkinkan naiknya posisi tawar gerakan dan rakyat pekerja vis-à-vis negara dan kelas kapitalis.
  5. Identifikasi penyebab fragmentasi gerakan sosial dan format-format kerjasama lintas organisasi menuju unifikasi, atau setidaknya membangun kohesivitas, gerakan sosial.

Tentu saja, daftar ini tidaklah lengkap. Tetapi, ini bisa menjadi awal untuk merefleksikan dan menyegarkan kembali kerja-kerja politik kita. Lagipula, bukankah perumusan preskripsi yang tepat bermula dari kemampuan untuk menanyakan dan mengidentifikasi persoalan secara tepat? Saya mengundang kita semua untuk melengkapi dan menambah hal-hal apa saja yang perlu kita bahas dan hadapi dalam rangka melakukan kerja politik yang lebih efektif.

Penutup

‘Halah, sebuah artikel tentang pemilu 2019 lagi? Bosan!’ Mungkin itu yang kita pikirkan ketika melihat artikel ini. Jujur, itu juga yang saya pikirkan ketika saya menulis artikel ini. Tetapi, perdebatan ini terlalu penting untuk ditinggalkan, atau diramaikan oleh sebagian kalangan saja. Perdebatan soal pemilu 2019 juga memerlukan klarifikasi konseptual. Untuk mengatasi dua persoalan itulah tulisan ini dibuat.

Di sini, retorika saya boleh jadi terlampau keras dan analisis saya mungkin terlampau panjang. Akan tetapi, kerja kognitif ini dilakukan berdasarkan semangat otokritik dan semangat sebagai seorang pendukung, seorang partisan, gerakan rakyat. Saya ingat kata-kata Louis Althusser: intelektual, termasuk saya tentu saja, memiliki kecenderungan borjuis kecil. Maka satu-satunya cara yang harus dilakukan untuk mengikis kecenderungan tersebut – dan perlahan-lahan bisa lebih dekat kepada posisi teoretik rakyat pekerja – adalah dengan berkecimpung di tiap ‘medan pertempuran’ yang tersedia.

Kerja ini merupakan upaya rendah hati dan seadanya dari semangat untuk terlibat dalam ‘medan pertempuran’ tersebut. Perdebatan soal pemilu 2019 dan kontribusi kita di dalamnya adalah awal dari perjalanan panjang dalam perjuangan kelas di Indonesia.

Wahai Kalangan Gerakan Sosial dan Kaum Kiri Indonesia, Jangan Takut Kritik dan Tetaplah Bersetia di Garis Massa!***

Iqra Anugrah adalah editor IndoPROGRESS

*Tulisan ini merupakan hasil diskusi yang intens dan panjang dengan sejumlah rekan di berbagai organisasi dan media rakyat, antara lain IndoPROGRESS, Partai Rakyat Pekerja (PRP), Forum Islam Progresif (FIP), dan Lingkar Lintas Iman Progresif.

———–

[1] Saya juga membahas secara lebih mendalam mengenai kemunduran dan keterbatasan pencapaian gerakan rakyat di bidang politik agraria, dalam sebuah bab buku yang berjudul ‘Movements for Land Rights in Democratic Indonesia’ yang akan terbit dalam buku bunga rampai berjudul ‘Activist in Transition: Contentious Politics in the New Indonesia.’

[2] Tentu saja, istilah ‘populisme nasionalis-sekuler’ dan ‘populisme Islamis’ ini problematis. Tetapi, sebagai penyederhanaan dan untuk keperluan tulisan ini kita bisa memakai istilah tersebut untuk sementara.

[3] Yang saya kritik di sini adalah moralisme. Sebagaimana pernah saya bahas sebelumnya, bukan berarti pertimbangan moral tidak penting bagi gerakan progresif.

[4] Tingkat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik kepada institusi-institusi dan proses-proses demokrasi elektoral juga terus meningkat di negara kapitalis maju, yang mengakibatkan demokrasi di Barat semakin lama berubah menjadi ‘demokrasi penonton’ (audience democracy) sebagaimana dibahas oleh Peter Mair (2013) dalam bukunya, Ruling the Void: The Hollowing Out of Western Democracy.

Sekali Lagi, Tentang Kolonialisme Indonesia di Papua

Sekali Lagi, Tentang Kolonialisme Indonesia di Papua

DALAM dua tahun belakangan, dunia olahraga dan politik di Amerika Serikat (AS) dihebohkan dengan aksi protes yang dilakukan oleh para atlet yang dilakukan di sejumlah cabang olahraga, terutama American football. Salah satu pencetusnya adalah Colin Kaepernick, pemain quarterback keturunan Afrika-Amerika di National Football League – pada saat itu masih tergabung di dalam tim San Francisco 49ers. Di sekitaran Agustus 2016, ketika lagu kebangsaan AS, The Star-Spangled Banner, berkumandang, Kaepernick memilih untuk duduk alih-alih berdiri dengan sikap sempurna. Di sesi-sesi pertandingan berikutnya, Kaepernick memilih untuk berlutut. Alasannya, “saya tidak akan berdiri untuk menunjukkan kebanggaan saya kepada bendera dari sebuah negara yang menindas orang-orang kulit hitam dan berwarna.” Aksi protes Kaepernick mendapat kecaman dan kritikan keras, namun, tidak sedikit yang mendukungnya, termasuk para atlet di cabang olahraga lain. Selanjutnya, sudah bisa diduga: Kaepernick ‘tereksilkan’ dari liga NFL, terlepas dari performanya yang fantastis. Di tengah iklim politik AS yang semakin sektarian belakangan ini, tak heran apabila aksi serupa – berlutut ketika lagu kebangsaan dinyanyikan sebagai aksi protes terhadap kesenjangan ekonomi dan diskriminasi rasial – masih berlangsung hingga detik ini. Apa yang dilakukan oleh Kaepernick juga tidak benar-benar baru – sebelumnya, ada sejumlah atlet yang melakukan aksi protes ketika The Star-Spangled Banner dinyanyikan.

Spesifisitas dari persoalan tersebut boleh jadi hanya relevan di konteks AS, tetapi pokok permasalahannya – soal diskriminasi identitas dan persoalan pembebasan nasional – beresonansi di berbagai belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Membahas dua permasalahan tersebut bisa jadi terdengar seperti mendengar topik-topik sisa-sisa atau leftover dari trauma kolonialisme dan dekolonisasi beberapa dekade yang lampau, tetapi melihat perkembangan dunia dan Indonesia akhir-akhir ini, boleh jadi persoalan diskriminasi dan pembebasan nasional tidak pernah benar-benar meninggalkan kita. Rentetan aksi diskriminasi dan main hakim sendiri kepada kawan-kawan mahasiswa Papua yang dilakukan di Surabaya dan Malang adalah sebagian gejala dari persoalan besar yang belum benar-benar terselesaikan tersebut. Dan kita tahu apa yang terjadi ketika sentimen ultranasionalis bersenyawa dengan kekuasaan negara.

Pengetahuan publik – terutama kita yang tinggal di Jawa – memang sangat minim tentang Papua. Ditambah indoktrinasi berpuluh-puluh tahun yang menggarisbawahi bahwa ‘Papua itu (punya) kita.’ Tetapi fakta adalah fakta. Faktanya, bukan kali ini saja represi atas hak untuk membicarakan masa depan Papua oleh kawan-kawan muda Papua secara damai terjadi – sebelumnya ini juga pernah terjadi. Baik secara pelan-pelan dan vulgar, perampasan tanah dan ruang hidup di Papua juga dilakukan oleh kapital dan negara, bahkan dengan dalih menyediakan lumbung pertanian buat warga negara – tentunya, sembari membiarkan orang Papua pelan-pelan tewas terampas hak dan penghidupannya di tanahnya sendiri. Ini belum membahas ekses-ekses dari kapitalisme ekstraktif di tengah-tengah kondisi kolonialisme baru yang terjadi di tanah Papua yang hanya menguntungkan segelintir elit. Akarnya tentu saja adalah kondisi poskolonial dan struktural yang tidak memungkinkan adanya perbincangan yang bebas mengenai masa depan Papua. Imbasnya, Papua menjadi koloni Indonesia, di mana rakyat Papua sehari-harinya mengalami diskriminasi secara massif di tanah airnya sendiri dan para pejuang hak-hanya dikriminalisasi. ‘Seakan kitorang setengah binatang,’ kata Filep Karma.

Dalam hal ini, ada paralel antara apa yang dilakukan oleh Kaepernick dan sejumlah atlet lain dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh kawan-kawan muda Papua, pegiat perjuangan Papua, dan rakyat Papua pada umumnya: dengan ‘membongkar’ dan menantang tatanan keseharian – entah melalui aksi protes maupun sesi diskusi dan nonton bareng – dua-duanya merupakan cara untuk mendobrak batas-batas percakapan yang selama ini ada dan membuka diskusi tentang kemungkinan-kemungkinan baru – termasuk pembebasan nasional – bagi subjek-subjek politis yang selama ini terpinggirkan dan tertindas – orang-orang kulit berwarna di AS dan Indonesia. Ada paralel pula antara kondisi AS – dimana diskriminasi, kekerasan, dan kesenjangan yang dialami oleh warga Afrika-Amerika berlanjut dan sektarianisme semakin mengemuka di bawah rezim Trump – dengan kondisi Indonesia, sebuah bangsa berkulit coklat yang dengan bangganya di kemudian hari menindas bangsa berkulit coklat lain di Aceh, Timor Leste, dan Papua.

Abad dan dekade boleh saja berganti – terakhir saya mengecek kalender, kita telah berada di paruh kedua tahun 2018 – tetapi persoalan-persoalan lama termasuk bentuk-bentuk rasisme, persekusi, dan kolonialisme baru rupanya tetap terulang kembali – genosida terhadap orang-orang Rohingya di Myanmarkebijakan apartheid pemerintah Israel atas orang-orang Palestinapersekusi atas orang-orang Uyghur dengan dalih konter-terorisme oleh pemerintah Tiongkok, hingga kolonialisme Indonesia di Papua. Dengan begitu, maka tidak ada bedanya kita dengan kolonialisme dan imperialisme yang sering kita salahkan itu (yang hanya akan mungkin terjadi karena kolaborasi dengan elit-elit dan komprador-komprador lokal). Tak usahlah kita berbicara tentang Freeport, kalau ujung-ujungnya sebagian besar keuntungan dan nilai lebihnya lari untuk menguntungkan para elit borjuasi nasional (yang mengatasnamakan ‘kepentingan nasional’), mengokohkan kapitalisme negara, dan ujungnya-ujungnya membuat rakyat Papua merenggang nyawa. ‘NKRI harga mati’? Saya takut, jangan-jangan lebih tepatnya ‘NKRI bikin mati’?

Persis di titik ini ada dua pilihan: antara kita tetap diam dan dengan demikian melanggengkan persoalan kronis yang ada, atau kita memilih untuk bersolidaritas, bahkan di tengah segala keterbatasan kita. Saya pikir pilihannya jelas. Bahkan untuk seorang nasionalis sekalipun, adalah hal yang sangat masuk akal untuk bersolidaritas dengan upaya-upaya perjuangan kesetaraan hak dan pembebasan nasional di abad ke-21 ini. Dalam tulisannya tentang aksi ‘protes berlutut’ Kaepernick yang berani dan kontroversial itu, sosiolog Michael Eric Dyson dari Georgetown University menulis, ‘apa yang luput dari pengamatan para pengkritik adalah Kaepernick adalah contoh warga Amerika terbaik: ia yang berani mengkritik negaranya karena ia begitu mencintainya. Kaepernick bukanlah seorang pengkhianat; sebaliknya, ia patriot sejati.’ Dengan kata lain, seorang patriot sejati adalah mereka yang berani mengkritik masyarakatnya ketika masyarakatnya melakukan kesalahan. Dalam konteks Indonesia, seorang patriot sejati adalah mereka yang berani berbicara mengenai imbas dari kapitalisme, fasisme, dan militerisme. Yang berani mengatakan bahwa Sang Kaisar yang telanjang bulat memang betul-betul telanjang, bukannya berpura-pura memujinya. Yang berani mengakui bahwa ada aspirasi pembebasan nasional yang nyata alih-alih ‘ancaman separatisme’. Yang berani mengakui bahwa kita telah menjajah.

Bagaikan Daud melawan Goliat, bersolidaritas melawan kekuatan yang begitu besar memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak ada contoh-contoh yang bisa kita tiru. Brigade Internasional yang berisi milisi-milisi asing yang pro kepada pihak Republik dalam perang melawan ofensif fasis Francois di Spanyol di masa Perang Sipil adalah salah satu contohnya. Di zaman now, ada gerakan Boycott, Divestment, and Sanction (BDS)yang menggalang upaya boikot, divestasi, dan sanksi terhadap rezim apartheid Israel. Bahkan, protes ‘kecil-kecilan’ Kaepernick berhasil menggalang dukungan, donasi, dan solidaritas yang lebih luas, menginspirasi atlet-atlet lainnya untuk melakukan aksi serupa, dan membuka kembali percakapan tentang hubungan rasial di AS. Dengan demikian, tugas bagi kita yang ingin bersolidaritas selanjutnya adalah berjuang bersama untuk mendorong ruang-ruang perdebatan dan diskusi yang lebih luas mengenai masa depan Papua – masa depan yang bebas dari segala bentuk penjajahan.

Diskusi tersebut juga penting untuk dilakukan untuk melampaui keterbatasan-keterbatasan proyek pembebasan nasional yang telah ada selama ini. Pengalaman perjuangan pembebasan nasional Indonesia sendiri telah menunjukkan bagaimana ekses di masa Revolusi Fisik justru memakan korban warga sipil Belanda dan Eurasia karena kekerasan yang dilakukan oleh para ‘pejuang kemerdekaan’ Republik di waktu itu. Di belahan dunia lain, jauh di Afrika, eksperimen sosialis Ujamaa di Tanzania yang dipimpin oleh Julius Nyerere, sang negarawan jujur itu, berakhir awur-awuran, menambah daftar panjang apa yang disebut oleh kawan saya, Gus Azka, sebagai ‘sosialisme rombengan.’ Tantangan bagi gerakan pembebasan nasional Papua dan siapa saja yang mendambakan masa depan yang lebih baik di tanah Papua adalah bagaimana untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut. Untuk segera mencapai dan mewujudkan ‘Jalan Kurdi’ yang meradikalkan visi pembebasan nasional menjadi visi konstruksi tatanan sosialis libertarian yang feminis bagi semua warga mungkin memang terlalu berat, tetapi gerakan pembebasan nasional Papua tidak perlu lagi mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pejuang republik di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Untuk memulai diskusi-diskusi tersebut dan memantik perdebatan yang lebih jauh, izinkan saya menutup artikel ini dengan sebuah pertanyaan: apakah kita, Indonesia, telah menjadi penjajah baru di Papua? Kita perlu berkaca dan menanyakan pertanyaan itu secara sungguh-sungguh – sebuah pertanyaan yang tidak kalah penting dibandingkan gegap gempita Asian Games dan perdebatan soal pemilu 2019.***

Iqra Anugrah  adalah editor IndoProgress.