Fenomena Jokowi dan Konstelasi Politik 2014

http://indoprogress.com/2014/03/fenomena-jokowi-dan-konstelasi-politik-2014/

MENJELANG musim pemilu suhu politik di tanah air semakin menghangat. Pasca pencalonan resmi Jokowi sebagai calon presiden (capres) dari PDIP, konstelasi politik terutama di antara para elit, jadi semakin menarik dan dinamis untuk diamati. Namun, hal lain yang tidak kalah penting adalah, apa implikasi pencalonan Jokowi bagi politik Indonesia ke depan? Kemudian, tidak hanya itu, bagaimana seharusnya gerakan rakyat menyikapi pencalonan Jokowi?

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menganalisa fenomena ‘Jokowi Effect’ secara lebih mendalam. Setidaknya, ada beberapa dimensi yang perlu kita lihat untuk lebih memahami fenomena Jokowi: rekam jejak politik Jokowi, kontestasi politik di antara para elit, dinamika politik di tingkat akar rumput, dan dilema politik elektoral. Berdasarkan pemahaman atas sejumlah hal tersebutlah, kita bisa menyikapi fenomena Jokowi secara lebih baik.

Pertama-tama, kiprah politik Jokowi dalam banyak hal sesungguhnya merupakan terobosan dalam politik Indonesia terutama dalam ranah politik lokal. Politik di Indonesia pasca Orde Baru, yang masih terjebak dalam logika teknokratis dan elitis bahkan pasca penerapan kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, dan pemilihan umum kepala daerah (pilkada), tidak serta merta memberikan ruang partisipasi yang lebih berarti bagi masyarakat, terutama mereka yang termarginalkan. Kiprah Jokowi dulu di Solo maupun di Jakarta, patut diapresiasi dalam hal memberikan ruang partisipasi warga yang lebih berarti dalam sejumlah hal yang penting, antara lain seperti komunikasi publik, reformasi birokrasi dan pelayanan publik, inisiasi layanan kesehatan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS), dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang memberikan kesempatan bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses politik, kebijakan publik, dan demokrasi dalam artiannya yang lebih luas, terutama dalam menghadapi sejumlah kekuatan politik lama yang mendominasi politik lokal. Tentu, dengan pencalonan Jokowi sebagai capres, dia berarti tidak akan menyelesaikan masa jabatannya, namun ini bukan berarti pengkhianatan janji politik dan komitmen atas jabatan publik, melainkan panggilan untuk berkompetisi dalam ranah politik yang memungkinkannya melakukan perubahan dalam skala yang lebih luas.

Kedua, peresmian pencalonan Jokowi sebagai capres juga memaksa sejumlah elit politik untuk mempertimbangkan kembali langkah-langkah politik mereka ke depan, terutama dalam konteks pemilu 2014 yang akan segera datang. Tentu saja, mereka tidak akan serta merta berkata ‘aku rapopo’ seperti digambarkan dalam beragam gambar-gambar dan kartun-kartun lucu di internet, melainkan akan memikirkan 1001 cara untuk menyeimbangkan posisi mereka di tengah-tengah antusiasme publik atas pencalonan Jokowi, jikalau tidak untuk menghadang naiknya popularitas dan elektabilitas Jokowi. Dalam hal ini, pencalonan Jokowi perlu diapresiasi. Karena, ini bukan hanya masalah kecocokan antara antusiasme publik terhadap proses politik yang memungkinkan aspirasi mereka lebih tersalurkan dengan pencalonan Jokowi, tetapi juga persoalan bagaimana menghadang kemungkinan naiknya popularitas dan elektabilitas sejumlah capres dan tokoh politik dengan catatan hitam nan kelam, seperti Aburizal Bakrie dengan kasus lumpur Lapindonya, Prabowo, Wiranto dan sejumlah jenderal pelanggar HAM yang mengidap post-power syndrome,maupun tokoh-tokoh titipan Dinasti Cikeas – dengan kata lain menghindari kemungkinan penetrasi kapitalisme neoliberal yang lebih dalam maupun naiknya fasisme gaya baru. Tentu saja Jokowi tidak 100 persen independen; bagaimanapun, Jokowi merupakan kader PDIP, yang dalam banyak hal tidak jauh bermasalahnya dengan banyak partai lain di tanah air, apalagi pengaruh elit-elit lama dalam PDIP seperti Megawati masih amat terasa di dalam tubuh partai. Namun, pencalonan Jokowi juga menandakan bahwa sindrom elitis yang menjangkiti PDIP dan banyak partai politik lain di Indonesia pelan-pelan dapat ditembus. Dengan kata lain, ada ruang politik, yang meskipun terbatas, memungkinkan Jokowi untuk bermanuver.

Ketiga peluang inilah, yang musti disambut oleh gerakan rakyat. Kita perlu camkan baik-baik, bahwa Jokowi bukanlah seorang Juru Selamat yang dengan sim salabim akan segera menyelesaikan segudang permasalahan di tanah air, terutama yang berkaitan dengan konsolidasi kapitalisme neoliberal yang semakin mengemuka akhir-akhir ini. Jokowi bukanlah Rosa Luxemburg atau Tan Malaka. Oleh karena itu, dari perhitungan politik strategis, maka langkah politik yang logis bagi gerakan progresif di Indonesia adalah mengawal fenomena naik daunnya Jokowi dengan perumusan agenda-agenda politik progresif ke depan serta konsolidasi dan mobilisasi rakyat yang lebih terorganisir dan militan. Sejarah gerakan rakyat di berbagai belahan dunia, mulai dari kaumChartists di Inggris hingga gerakan rakyat di Chile di masa Allende, menunjukkan bahwa pertama, peluang politik sekecil lubang jarum pun merupakan kesempatan yang musti dimanfaatkan dankedua, diperlukan mobilisasi massa yang sadar untuk mengawal pengejawantahan agenda-agenda politik progresif-demokratik yang lebih luas.

Tentu saja, ini bukanlah langkah yang mudah, terutama dalam konteks politik elektoral alias demokrasi ‘formal.’ Sungguh ironis, bahwa demokrasi formal, yang menekankan pada proses elektoral, yang pada awalnya merupakan tuntutan radikal dari kelas pekerja di berbagai belahan dunia, kemudian menjadi sekedar alat bagi keberlangsungan logika politik elitis dan oligarkis. Kerapkali, gerakan rakyat terpaksa harus ‘memoderasi’ agenda-agendanya agar tidak memancinggebukan dan sambitan dari para pemegang gudang uang dan mesiu beserta anjing-anjingnya. Namun, itulah kenyataan yang harus diakui dan dihadapi oleh gerakan rakyat. Nah, pertanyaannya adalah, bagaimana sebaiknya gerakan rakyat menghadapi dilema tersebut? Apakah lantas kemudian kita kembali ke slogan-slogan lama semacam ‘galang gerakan golput!’, ‘boikot pemilu!’, ‘jangan ikuti pemilu borjuis!’, sementara jutaan orang tetap saja berbondong-bondong memasuki bilik suara? Kalau begitu, apa bedanya kita dengan sejumlah kelompok politik yang sering kita ceng-cengin karena tendensi sok puris mereka yang rada-rada absurd macam kaum nihilis dan HTI? Dalam hal ini, terkadang kita musti berani mengambil resiko. Tentu saja, ini tidak sama denganmenyerahkan diri untuk diombang-ambing dalam logika politik elektoral. Jawaban atas persoalan semacam ini bukanlah sekedar ‘pro-pemilu’ atau ‘anti-pemilu,’ atau ‘pro-negara’ versus ‘anti-negara,’ melainkan, mengutip Nicos Poulantzas, sosiolog Marxis Yunani-Perancis yang makin jarang dibaca itu, ‘pertempuran strategis dengan negara’ (strategic engagement with the state). Dengan kata lain, partisipasi taktis dan strategis dalam kancah politik elektoral bukanlah merupakan barang najis, sekedar lompatan iman atau coba-coba macam abg labil ibukota, melainkan hasil dari proses dialektis antara kontemplasi teoretik dan praxis di lapangan.

Penutup

Lagi-lagi, musti saya pertegas: tentu kita tidak naïf, melainkan berusaha untuk cekatan dan cermat. Dua pengkaji gerakan sosial berhaluan Marxis terkemuka, Sara C. Motta dan Alf Gunvald Nilsen (2011) dalam buku mereka Social Movements in the Global South menunjukkan bahwa strategi ‘pertempuran strategis’ ala tradisi Poulantzasian terbukti bekerja di berbagai belahan dunia ketiga, mulai dari Brazil hingga India, di mana berbagai gerakan sosial berhasil memberi tekanan dari bawah melalui aksi-aksi massa yang partisipatoris dan perumusan, merebut negara dari atas melalui strategi politik elektoral, dan tidak berhenti di situ, perlahan melakukan transformasi atas logika kekuasaan dan kapital, meskipun tentu saja tidak mudah.

Kali ini, di Indonesia, kita menghadapi persoalan yang sama. Kita bisa membacanya sebagai sekedar sebuah dilema yang membuat kepala pening atau momentum perubahan yang dapat terlewatkan begitu saja, terutama pasca mandegnya agenda-agenda politik progresif pasca-1998. Pencalonan Jokowi sebagai calon presiden untuk pemilu 2014 adalah momentum tersebut. Maka, merupakan konsekuensi logis bagi gerakan rakyat untuk memberikan dukungan kritis atas Jokowi demi kesempatan untuk penerapan agenda-agenda politik pro-rakyat yang lebih luas di masa mendatang***

Penulis berterima kasih kepada rekan-rekan redaktur IndoPROGRESS yang bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan masukan dalam proses penulisan artikel ini.

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc.

Ada Apa di Venezuela?

http://indoprogress.com/2014/03/ada-apa-di-venezuela/

Pengantar

DALAM beberapa tahun terakhir ini dunia sedang bergolak. Gelombang protes massa yang menuntut demokrasi langsung dan mengritik kesenjangan ekonomi-politik yang bersifat struktural merebak, mulai dari Wall Street, Lapangan Tahrir, Madrid, Yunani, Tel Aviv, Taman Gezi…hingga Caracas? Eits, tunggu dulu…

Mungkin ada yang bertanya-tanya: apa bedanya gelombang protes di Caracas, Venezuela, dengan gelombang protes di berbagai tempat lain? Pembacaan yang lebih jeli menunjukkan bahwa aksi-aksi protes yang merebak di Venezuela beberapa bulan terakhir ini tidaklah sama dengan gugusan aksi massa yang saya sebut di atas. Kali ini, saya akan membahas mengenai konteks sejarah politik Venezuela, sejarah singkat Revolusi Bolivarian yang dirintis oleh mendiang Presiden Hugo Chávez, dan bagaimana memahami gelombang protes di Venezuela sekarang ini. Kesimpulan saya singkatnya adalah sebagai berikut: gelombang protes di Venezuela merupakan strategi serangan sayap Kanan atas pemerintahan Nicolás Maduro dan konsekuensi logis bagi gerakan progresif adalah memberikan dukungan kritis terhadap keberlanjutan Revolusi Bolivarian.

Mitos ‘Eksepsionalisme Demokratis’ Venezuela

Dalam berbagai studi arus utama ilmu politik, Venezuela kerapkali dipuja-puji sebagai kasus pencilan, sebagai contoh keberhasilan keberlanjutan demokrasi elektoral dan stabilitas sosial, apalagi dibandingkan dengan sejumlah tetangganya di kawasan Amerika Latin seperti Brazil, Argentina, Chile, dan banyak lainnya yang kerapkali dirundung kudeta. Venezuela, dalam perspektif arus-utama, adalah contoh teladan ‘eksepsionalisme demokratis’ di Amerika Latin. Tapi benarkah?

Apa yang disebut sebagai ‘eksepsionalisme demokratis’ di Venezuela pra-Revolusi Bolivarian mungkin lebih dekat dengan mitos dan khayalan intelektual ketimbang pemahaman yang jernih atas kenyataan. Betul, bahwa demokrasi elektoral[1] cenderung bertahan lebih lama dan minim interupsi di Venezuela. Namun, mengatakan bahwa Venezuela berbeda secara kualitatif dengan para tetangganya dalam hal stabilitas sosial dan rezim politik dan memahami konsepsi stabilitas tersebut secara take for granted, bahwa stabilitas tersebut memang sudah dari sononya begitu,adalah salah kaprah (Ellner & Salas, 2007). Dibutuhkan pemahaman yang lebih bersifat historis-strukturalis untuk membongkar mitos ini. Kita bisa membongkar mitos tersebut setidaknya dari tiga dimensi, yaitu dari ekonomi-politik minyak dan energi Venezuela, derajat inklusi dan partisipasi massa yang lebih luas dalam politik, dan kontestasi antar kelas dalam lintasan sejarah Venezuala.

Pertama, sejumlah sarjana pengkaji politik Venezuela dan Amerika Latin, baik yang mengusung tesis eksepsionalisme maupun yang mengritiknya, menunjukkan bahwa stabilitas sosial dan politik di Venezuela didukung oleh hasil produksi dan surplus sumber daya minyak. Tatkala Krisis Minyak Dunia 1973 terjadi karena sejumlah negara Timur Tengah pengekspor minyak melakukan embargo, Venezuela, misalnya, masih memiliki cadangan minyak yang cukup dibandingkan dengan sejumlah tetangganya. Surplus dari produksi minyak inilah yang berhubungan dengan dimensi kedua, yaitu derajat inklusi dan partisipasi massa secara non-elektoral. Paska berlakunya Pakta Punto Fijo di tahun 1958 sebagai landasan dan komitmen atas demokrasi elektoral antara tiga partai politik utama di Venezuela di masa itu, AD, COPEI, dan URD, surplus dari minyak melemahkan oligarki berbasis minyak, menghasilkan kelas pekerja industrial yang produktif namun jumlahnya tidak begitu banyak, yang kemudian membantu pembentukan dan konsolidasi partai-partai yang berkarakter antar-kelas yang dipimpin oleh kelas menengah yang kemudian dapat saling bergiliran menduduki kekuasaan melalui jalur elektoral.

Dalam bahasa yang lebih mudah, kira-kira yang terjadi adalah sebagai berikut: surplus minyak Venezuela pra-Revolusi Bolivarian digunakan untuk membiayai dan mengonsolidasikan pakta elit dalam kerangka demokrasi elektoral (Karl, 1987).  Permasalahannya adalah, demokrasi berbasis pakta ini berujung elitis karena partai-partai utama di politik Venezuela kemudian terlalu terinstitutionalisasi, yang mendorong partai-partai dan juga sejumlah organisasi yang berafiliasi dengan mereka begitu memonopoli kehidupan politik dan merembes ke dalam struktur negara dan masyarakat, yang mengakibatkan  terpinggirkannya aspirasi-aspirasi baru dari warga negara, terutama mereka yang termarginalkan (Diamond, 1999).[2] Dimensi ketiga, alias dimensi kontestasi antar kelaslah, yang luput dalam pemaparan institusional dan yang berbasis elit atas eksepsionalisme Venezuela. Demokrasi elektoral di Venezuela memang stabil selama beberapa dekade, namun itu lebih tepat dibaca sebagai variasi dari sejarah ekonomi-politik dan relasi kelas di Amerika Latin secara umum. Apabila pola relasi kelas dalam proses konsolidasi kapitalisme di sejumlah negara Amerika Latin di dekade 1960an, 1970an, dan 1980an mengambil bentukotoritarianisme birokratis, maka di Venezuela konsolidasi kapitalisme terfasilitasi oleh demokrasi elitis yang berbasis pakta, dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang terlembagakan. ‘Gejala’ dari ‘penyakit’ yang sama namun dengan variasi yang berbeda ini kemudian mulai kelihatan pasca penerapan kebijakan neoliberal di Venezuela yang dimulai di akhir 1980an yang kemudian diinterupsi oleh Revolusi Bolivarian: pada 27 Februari 1989, aksi massa yang independen, yang sebagian besar adalah kaum miskin kota, di jalan-jalan di Caracas sebagai bentuk penentangan atas kebijakan neoliberal disambut dengan sambitan yang meriah oleh aparat keamanan negara di masa jabatan Presiden Carlos Andrés Pérez, yang ironisnya berasal dari AD, partai Kiri-tengah di spektrum politik tradisional Venezuela. Tragedi yang kemudian dikenal sebagai Pembantaian Caracazo ini mengakibatkan ratusan, jikalau bukan ribuan rakyat Venezuela gugur di tangan aparat negara mereka sendiri (Ciccariello-Maher, 2008).[3]

Bahkan tanpa perlu membaca Freud dan Lacan secara mendalam, dari sini kita tahu, bahwa stabilitas yang didengung-dengungkan oleh para pendukung demokrasi elitis pra-Revolusi Bolivarian sesungguhnya hanyalah tabir di permukaan yang menutupi gejolak sosial yang siap meletup. Tabir tersebut terkuak pasca penerapan kebijakan neoliberal yang kian represif yang jugaklop dengan demokrasi elektoral yang elitis. Sebagai tanggapan atas ‘stabilitas’ inilah, Revolusi Bolivarian dicanangkan. Sebelum kaum sayap Kanan protes atas ‘kudeta’ yang dilakukan oleh Chavez di tahu 1992, ada baiknya mereka ingat bahwa di tahun 1989 rezim neolib berbaju sosdem berusaha meredam aksi massa yang independen secara represif.

 

Foto ini diambil di Singapura, tapi disebarkan CNN sebagai foto yang terjadi di Venezuela

Gelombang Protes di Venezuela: Oposisi Sejati atau Provokasi Sayap-Kanan?

Berangkat dari pemahaman yang lebih jernih mengenai sejarah politik Venezuela, sekarang kita bisa memahami apa dan bagaimana sesungguhnya gelombang protes atas pemerintahan Maduro selama beberapa bulan terakhir dan siapa yang berada di balik gelombang protes tersebut. Kali ini, saya akan bersandar kepada sejumlah laporan reportase, baik dari sumber arus utama maupun alternatif, yang didukung oleh sumber dan referensi empirik yang kuat yang berasal dari lapangan.

Tulisan dari George Ciccariello-Maher (2014), profesor ilmu politik di Drexel University, Philadephia, merupakan pengantar yang bagus mengenai apa yang sedang terjadi di Venezuela. Menurut Ciccariello-Maher, gelombang protes ini sesungguhnya merupakan strategi dari oposan sayap-Kanan yang tidak puas atas kemenangan Nicolás Maduro dalam pemilihan umum presiden tahun lalu. Momentum kekalahan pemilu inilah yang tidak boleh dilupakan. Karena, kalau sekedar masalah ekonomi – yang merupakan masalah riil di Venezuela – mengapa gelombang protes tersebut baru muncul sekarang? Gelombang protes ini juga sesungguhnya terbatas, karena, dalam kutipan Ciccariello-Maher atas Francisco Toro, seorang blogger anti-Chávista, gelombang aksi ini hanyalah ‘protes kelas menengah di pemukiman kelas menengah mengenai tema-tema kelas menengah bukanlah sebuah tantangan atas sistem kekuasaan Chávista,’[4] sebagaimana dapat dilihat dari komentar-komentar nyinyir yang khas (‘berangasan,’ ‘kumuh,’ ‘anarkis,’ ‘tidak intelek,’ ‘tidak tau politik’ atau mungkin yang agak berbau rasis, ‘kulit legam’) kaum oposan atas massa yang sadar dan bergerak pasca dicanangkannya Revolusi Bolivarian.

Kemudian, laporan dari Kevin Zeese dan Margaret Flowers (2014) menunjukkan bahwa hampir sebagian besar, sekitar 85.3 persen warga Venezuela tidak setuju dengan aksi protes yang dilakukan oleh kaum ultra-Kanan akhir-akhir ini. Jangan lupa, bahwa sekitar 80 persen dari media massa di Venezuela merupakan media massa swasta, yang banyak dikuasai oleh para oligark, yang juga turut berpartisipasi dalam kudeta atas Chávez di tahun 2002. Kaum oposan-sayap Kanan juga bukanlah sekumpulan malaikat; dalam beberapa aksinya, mereka sengaja memancing aparat keamanan untuk melakukan upaya penerbitan atas mereka. Lebih parahnya lagi, sebagian dari mereka bahkan juga terlibat dalam upaya pembunuhan atas pendukung pemerintah; dua hari paska pengumuman hasil pemilu presiden tahun lalu, 11 pendukung Presiden Maduro tewas di tangan sejumlah pendukung Henrique Capriles, kandidat oposisi yang kalah dalam pemilu presiden. Untunglah, kali ini rakyat Venezuela telah terorganisir sebagai massa yang sadar, dalam organisasi-organisasi dan berbagai bentuk eksperimen demokrasi lokal yang partisipatoris di berbagai penjuru Venezuela.

Terakhir, yang tidak kalah penting adalah, siapa sesungguhnya para demonstran sayap-Kanan? Apa latar belakang mereka? Eyder Peralta (2014) dari NPR, sindikasi radio terkemuka dan terluas di Amerika Serikat, menyajikan laporan yang berfokus kepada pemimpin oposan terkemuka, Leopoldo López, yang juga Walikota Chachao (salah satu distrik paling tajir di Caracas). López, kontras dengan Chávez dan sebagian besar rakyat Venezuela yang berlatar belakang sederhana, adalah keturunan dari keluarga politisi dan pejabat terkemuka di Venezuela, yang mengenyam pendidikan sarjana di Kenyon College di Ohio dan pascasarjana di Harvard University. Dia juga terlibat dalam aksi-aksi provokasi dan kudeta untuk melengserkan Chávez di tahun 2002. Yang menarik, bahkan di kubu oposisi sendiri, dan bekingannya, Amerika Serikat, López dianggap sebagai sosok yang agak bermasalah karena ‘arogan, pendendam, dan haus kekuasaan’[5]. Secara umum, sebagaimana diungkapkan oleh Lee Salter (2014), pengkaji liputan media atas politik Venezuela, fakta bahwa para demonstran dari kubu oposan sayap-Kanan amat fasih berbahasa Inggris, aktif di media sosial, dan lihai menggunakan istilah-istilah semacam ‘Komunisme,’ ‘Kuba,’ ‘demokrasi,’ dan ‘hak-hak asasi manusia,’ dengan jelas menunjukkan latar belakang sosial mereka – kaum borjuis dan faksi kelas menengah yang menjadi kompradornya, yang menyalahkan apapun yang terjadi di Venezuela pasca Revolusi Bolivarian, mulai dari krisis ekonomi dan bahkan kebijakan yang ramah lingkungan seperti anjuran penggunaan bola lampu hemat energi, kepada Chávez dan rejim Bolivarian (besok-besok mungkin kompor meledug pun akan masuk ‘daftar dosa’-nya rejim Bolivarian versi kaum oposan). Bias pandangan borjuis inilah yang kemudian ditelan mentah-mentah (atau mungkin lebih tepatnya) digaungkan oleh sejumlah media arus utama. Sangking desperatenya, kaum oposan sayap-Kanan akhirnya, meminjam guyonan sejumlah kawan redaktur IndoPROGRESS, terpaksa meniru strategi murahan ala media fundamentalis macam Ar-Rahmah: fabrikasi dan pemalsuan foto yang kemudian diedarkan ke mana-mana (Dawg, 2014).

Maka, tidak berlebihan apabila kita menyimpulkan bahwa gelombang protes yang terjadi di Venezuela beberapa bulan terakhir jelas merupakan strategi oposan sayap-Kanan untuk melakukan destabilisasi atas pemerintahan Presiden Maduro dan serangan atas berbagai pencapaian Revolusi Bolivarian.

 

Revolusi Bolivarian dan Relevansinya

Banyak orang yang lupa bahwa Chávez, yang meskipun seorang Kiri dari keluarga sederhana, menduduki tampuk kekuasaan dengan visi dan misi yang moderat. Awalnya, dia hanya ingin mewujudkan agenda-agenda yang bersifat ‘Jalan Ketiga’ (Third Way) ala rejim sosial-demokrat Eropa Barat (yang sudah kehilangan tajinya pada waktu itu). Sampai kemudian dia menghadapi upaya kudeta terhadapnya di tahun 2002 – dan berhasil mempertahankan jabatan kepresidenannya. Kudeta borjuis yang didukung oleh Amerika Serikat pada waktu itu, sebagaimana dijabarkan oleh Eva Golinger (2007, hal. 23), merupakan upaya yang sistematis yang mencakup setidaknya sejumlah strategi berikut ini:

  • Isolasi Chávez dari komunitas internasional
  • Meningkatkan ketegangan antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil
  • Membentuk, mengembangkan dan mendanai gerakan anti-Chávez
  • Manipulasi media massa untuk mengembangkan narasi yang konfrontatif dan terhadap Revolusi Bolivarian dan merusak citranya
  • Ancaman langsung terhadap pemerintah Venezuela

Dan sekarang, kita tahu, dari sejumlah kabel diplomatik, berbagai laporan di media massa, dan sumber-sumber lain, Barat terlibat langsung dalam berbagai upaya untuk menggoyang keberlangsungan Revolusi Bolivarian – sebuah fakta yang bahkan juga diakui oleh pengamat liberal seperti. Dengan kata lain, terang sudah bahwa ada tanda-tanda ‘Operasi Jakarta’ yang sekitar 40 tahun yang lalu dilakukan di Chile untuk mendompleng Allende dan menjegal proyek Sosialisme demokratik bisa terjadi di Venezuela.

Chávez tahu itu, dan karenanya hanya ada satu cara untuk mengatasi serangan yang mematikan tersebut: radikalisasi Revolusi Bolivarian dan massa rakyat. Mobilisasi massa dikerahkan. Tidak hanya itu, eksperimen dan praktek demokrasi langsung bergelora di berbagai penjuru Venezuela. Rakyat Venezuela dan teman terdekat mereka, Hugo Chávez, menempuh strategi ganda: merebut negara ‘dari atas’ dan melakukan demokrasi yang radikal dan partisipatoris ‘dari bawah.’ Itulah yang dicoba dilakukan oleh Allende, dan Allende melakukannya hingga akhir hayatnya – dengan heroik. Namun Chávez bukanlah Allende, dan Venezuela bukanlah Chile. Mereka tahu, bahwa kematian Allende, dan interupsi proyek Sosialisme demokratik di Chile oleh kediktatoran militer Pinochet, bukanlah untuk diulangi, melainkan untuk dilampaui. Jalan terbaik untuk melanjutkan warisan Allende, untuk membuka kemungkinan baru proyek pencerahan yang berada di luar ortodoksi neoliberal maupun statisme Soviet, adalah dengan tetap hidup dan meneruskan perjuangannya. Sudah cukup banyak martir yang gugur; yang kita butuhkan adalah keberanian dan komitmen untuk tetap hidup. Rakyat Venezuela, dan Chávez, tahu betul itu. Hanya orang tolol yang mendekati singa yang mengaum kelaparan, alih-alih mengerangkeng singa tersebut.

Berlawanan dengan persepsi karikatural atas Chávez sebagai seorang demagog dan proyek Revolusi Bolivarian sebagai populisme, Chávez dan kaum revolusioner Venezuela sadar betul bahwa praxis yang dapat bekerja dengan baik hanya mampu diwujudkan dengan pemahaman teoretik yang juga baik. Karena itu Chávez membaca Rousseau, juga Marx dan Istvan Mészáros. Dalam kapasitasnya sebagai salah satu penasehat kebijakan publik di Venezuela, Michael Lebowitz (2014) menunjukkan bagaimana Revolusi Bolivarian bukan sekedar memakai surplus minyak – yang tentunya terbatas – untuk mendanai proyek-proyek sosial, namun berkomitmen terhadaptransformasi atas totalitas relasi-relasi produksi dalam kerangka Sosialisme baru, yang difasilitasi oleh negara yang berpihak kepada massa, namun dengan tujuan akhir mewujudkan kepemilikan sosial atas alat-alat produksi (the social ownership of means of production).

Tentu Chávez bukan nabi, dan Venezuela bukan surga. Sejumlah kritik yang keras dapat kita alamatkan kepada Chávez dan para pendukung Revolusi Bolivarian di Venezuala: kultus individual atas Chávez yang meningkat, tendensi otokratik dari kepresidenan Chávez yang cenderung memusatkan kekusaan pada institusi kepresidenan (yang kontras dengan eksperimen demokrasi langsung yang cukup berhasil di tingkat bawah melalui berbagai komune dan koperasi rakyat), ketergantungan atas uang minyak untuk mendanai berbagai program kesejahteraan sosial Revolusi Bolivarian, hingga kebijakan luar negeri yang aneh – berkawan dengan sejumlah pemimpin otoriter seperti Ahmadinejad dan Lukashenko, adalah sejumlah kebijakan Chávez yang pantas dikritiksecara pedas. Ini juga menjadi tantangan bagi Presiden Maduro – terutama di tengah rongrongan liar dari para oposan sayap-Kanan. Warisan Chávez dan Revolusi Bolivarian juga menjadi sumber perdebatan secara terbuka di kalangan pendukung Revolusi – satu hal yang tentunya sangat bagus dan sehat bagi gerakan progresif. Tetapi, perlu diingat bahwa kritik ini kita lakukan justru karena kita bersetia atas potensi politik emansipatoris dari proyek Revolusi Bolivarian. Bukankah salah satu ciri kawan yang baik adalah tidak ragu untuk melontarkan kritik yang paling pedas dan paling jujur – sembari tetap menjaga persahabatan?

Berangkat dari sikap itulah, sudah selayaknya kita, sebagai bagian dari gerakan progresif, untuk memberikan dukungan kritis terhadap Revolusi Bolivarian dan pemerintahan Presiden Maduro, untuk menghadapi rongrongan borjuis dan oposan sayap-Kanan di Venezuela. Satu genosida 1965 sudah cukup. Satu ‘Operasi Jakarta’ 1973 sudah cukup. Tak perlu kita melihat skenario serupa kembali terjadi di Venezuela.

Penutup

Sosiolog Swedia kenamaan, Walter Korpi, pernah menulis, bahwa upaya aksi kolektif (collective action), merupakan senjata orang tak berpunya, sebagaimana kapital merupakan senjata para kapitalis. Ironisnya, kadang kita melihat bagaimana senjata kaum yang termarginalkan ‘dikooptasi’ oleh para kelompok sayap-Kanan – sebagaimana diimajinasikan oleh Ayn Rand, penulis sayap-Kanan mentok, mengenai tokoh John Galt dalam novel Atlas Shrugged. Boikot, demonstrasi, agitasi, provokasi. Itulah yang terjadi di Chile, 40 tahun yang lalu. Itulah yang sedang terjadi di Venezuela, sekarang.

Sebagai penutup, mungkin sebuah pertanyaan pengingat akan membantu arah perjuangan kita: siapakah Chávistas? Siapakah para pendukung Revolusi Bolivarian? Mereka datang

‘…dari berbagai kelas sosial, dan komitmen mereka terhadap proses revolusioner dimulai sebelum pemilihan Hugo Chávez dan melampaui masa jabatannya sebagai presiden)… para Chávistas berpengalaman secara politik dan merupakan komponen yang otonom dari gerakan sosial yang bersifat konterhegemonik yang berbagi pandangan dan beraliansi dengan negara.’ (Ramirez, 2007, hal. 133-138).

Siapakah Chávistas? Jawabannya jelas. Chávistas adalah rakyat Venezuela. Chávistas adalah mereka yang membela mereka yang terpinggirkan. Chávistas adalah kita semua. Dalam perjuangan mewujudkan sebuah visi masyarakat yang lebih egaliter, terkadang kita menghadapi tantangan, seperti yang terjadi di Venezuela. Tetapi kita dapat terus melaju, berbekal usaha dan keyakinan yang berasal dari satu posisi teoretik yang dapat dipertanggungjawabkan: bahwa kita, rakyat,orang-orang kalah, bisa membuat sejarah.***

 

Penulis  adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc.

 

Bibliography

Ciccariello-Maher, G., 2008. The Fourth World War Started in Venezuela. [Online]
Tersedia di: http://www.handsoffvenezuela.org/caracazo_anniversary_19_years.htm
[Diakses 6 Maret 2014].

Ciccariello-Maher, G., 2014. #LaSalida? Venezuela at a Crossroads. [Online]
Tersedia di: http://www.thenation.com/article/178496/lasalida-venezuela-crossroads#
[Diakses 6 Maret 2014].

Dawg, 2014. Constructing “Venezuela” Protests: a Photo Gallery (fixed). [Online]
Tersedia di at: http://venezuelanalysis.com/analysis/10360
[Diakses 6 Maret 2014].

Diamond, L., 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.

Ellner, S. & Salas, M. T., 2007. The Venezuelan Exceptionalism Thesis: Separating Myth from Reality. Dalam: S. Ellner & M. T. Salas, eds. Venezuela: Hugo Chavez and the Decline of an “Exceptional Democracy”. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, pp. 3-15.

Golinger, E., 2007. Bush versus Chávez. New York: Monthly Review.

Karl, T. L., 1987. Petroleum and Political Pacts: The Transition to Democracy in Venezuela. Latin American Research Review, 22(1), pp. 35-62.

Lebowitz, M. A., 2014. Proposing a Path to Socialism: Two Papers for Hugo Chávez. [Online] Tersedia di: http://monthlyreview.org/2014/03/01/proposing-path-socialism-two-papers-hugo-chavez [Diakses 6 Maret 2014].

Ottaway, M., 2003. Democracy Challenged: The Rise of Semi-Authoritarianism. Washington: Carnegie Endowment for International Peace.

Peralta, E., 2014. 5 Things To Know About Venezuela’s Protest Leader. [Online]
Tersedia di: http://www.npr.org/blogs/thetwo-way/2014/02/20/280207441/5-things-to-know-about-venezuelas-protest-leader
[Diakses 6 Maret 2014].

Ramirez, C. V., 2007. Venezuala’s Bolivarian Revolution: Who Are the Chavistas?. Dalam: S. Ellner & M. T. Salas, eds. Venezuela: Hugo Chavez and the Decline of an Exceptional Democracy. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, pp. 121-139.

Salter, L., 2014. What’s going on in Venezuela?. [Online] Tersedia di:http://venezuelanalysis.com/analysis/10381 %5BDiakses 6 Maret 2014].

Snyder, R., 2006. Beyond Electoral Authoritarianism: The Spectrum of Non-Democratic Regimes. Dalam: A. Schedler, ed. Electoral Authoritarianism. Boulder: Lynne Rienner, pp. 219-231.

Zeese, K. & Flowers, M., 2014. Venezuela’s Deep Political Education Means Venezuelans Will Withstand Right-Wing Protests. [Online] Tersedia di: http://truth-out.org/news/item/22121-venezuelas-deep-political-education-means-venezuelans-will-withstand-right-wing-protests
[Diakses 6 Maret 2014].


[1] Salah satu ujung pangkal permasalahan dari perdebatan mengenai kondisi demokrasi di Venezuela, Amerika Latin, dan di berbagai tempat lain adalah mengenai definisi demokrasi dan genealogi istilah demokrasi. Definisi demokrasi yang sering dijadikan acuan utama dalam studi perbandingan politik adalah definisi demokrasi elektoral dalam berbagai variannya (pluralis, Dahlian, Schumpeterian, dan lain sebagainya). Namun, definisi tersebut mengaburkan perdebatan filosofis yang lebih mendalam mengenai definisi demokrasi, yang dimulai dari zaman Yunani Kuno oleh Plato dan Aristoteles hingga sekarang. Ini juga berkaitan dengan masalah yang lebih fundamental, yaitu pengarus naturalisme yang ahistoris dalam pembentukan konsep-konsep dalam ilmu sosial, termasuk dalam debat-debat mengenai demokrasi dan otoritarianisme (Snyder, 2006). Namun, tentu saja, perdebatan yang lebih lanjut mengenai persoalan ini diluar cakupan tulisan ini. Sedikit pertanggungjawaban intelektual saya mengenai perdebatan ini, termasuk mengenai kemungkinan formulasi demokrasi sebagai dalam konteks dan sebagai bentukperjuangan kelas dapat dibaca di http://indoprogress.com/2013/11/kembali-membela-militansi-dan-keharusan-perjuangan-kelas/

[2] Larry Diamond, sebagaimana kita tahu, adalah seorang ahli politik yang berhaluan liberal-konservatif. Namun, dalam pemaparannya bahkan ia mengakui bagaimana demokrasi elitis di Venezuela menghambat kemungkinan demokratisasi dan eksperimen-eksperimen demokrasi yang lebih luas.

[3] Dua laporan dari Amnesty International (http://www.amnesty.org/en/library/asset/AMR53/002/1991/en/4e4929fa-ee43-11dd-99b6-630c5239b672/amr530021991en.pdf ) dan kantor berita Inter Press Service (http://www.ipsnews.net/2009/02/venezuela-wound-still-gaping-20-years-after-lsquocaracazorsquo/) memberikan laporan yang detail mengenai Pembantaian Caracazo.

[4] Teks aslinya, ‘Middle class protests in middle class areas on middle class themes by middle class people are not a challenge to the Chavista power system.’

[5] Teks aslinya, ‘…arrogant, vindictive, and power-hungry.’