Ramadhan, Teologi Pembebasan dan Aksi Sosial

Kolom

Ramadhan, Teologi Pembebasan dan Aksi Sosial

http://www.alumnipii.org/2012/08/16/ramadhan_teologi_pembebasan_dan_aksi_sosial

Kamis, 16 Agustus 2012 14:18

Alumni PII – Tidak terasa, kita sudah memasuki akhir bulan Ramadhan. Sesungguhnya, ini merupakan kesempatan bagi kita semua untuk mengevaluasi Ramadhan kita secara komprehensif: sudahkah kita menjadikan ramadhan sebagai momentum transformasi baik spiritual maupun sosial? Sudah sejauh apakah kita, Ummat Islam dan Bangsa Indonesia, menghayati dan melaksanakan semangat Ramadhan?.

Sepertinya, dari tahun ke tahun, Ramadhan kita jauh dari semangat transformatif tersebut. Sebaliknya, kita lebih sering terjebak pada komersialisasi dan konsumerisme agama, sebagaimana ditunjukkan oleh almarhum Moeslim Abdurrahman, intelektual penggagas ide Islam transformatif itu.

Agama dan Transformasi Sosial

Dalam kaitannya dengan transformasi sosial, ada sejumlah pembacaan atau interpretasi keagamaan terhadap aksi dan transformasi sosial yang dapat dikatakan menjadi arus utama dewasa ini, mulai dari pembacaan yang bersifat fatalistik dan fundamentalis, yang berorientasi pada hubungan Islam dan dunia modern, menekankan pada wacana seperti “pluralisme” dan “demokrasi” yang cenderung elitis, hingga yang berorientasi konsumeris, mereduksi kesalehan hanya sebagai sebuah gaya hidup temporer di bulan puasa. Sayangnya, wacana-wacana keagamaan ini seringkali tidak mampu menjawab persoalan riil yang paling mendesak dalam masyarakat: ekploitasi politik-ekonomi yang masih terus berlanjut.

Karenanya, interpretasi keagamaan yang bersifat transformatif, berkomitmen untuk melawan struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya yang menindas, serta berpihak kepada kaum yang lemah dan tertindas (al-mustadh’afin) merupakan suatu wacana yang dapat diperjuangkan, apalagi di dalam konteks Ramadhan.

Menengok Kembali Teologi Pembebasan

Wacana keagamaan yang progresif dan pro-transformasi sosial yang sempat populer ini dikenal dengan nama Teologi Pembebasan (liberation theology). Teologi Pembebasan yang bermula di tubuh Gereja Katolik dan dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (1971), yang dianggap sebagai pencetus ide Teologi Pembebasan dan Oscar Romero, seorang Uskup yang tewas sebagai martir karena memimpin perjuangan membela masyarakat marginal dan melawan otoritarianisme.

Teologi Pembebasan bermula dari refleksi para pemuka agama atas kemiskinan, otoritarianisme dan dan berbagai macam bentuk penindasan dan eksploitasi lainnya di Amerika Latin. Pesan-pesan religiusitas, terutama solidaritas terhadap kaum yang miskin dan tertindas dan keberpihakan pada kebenaran yang terkandung di dalam ajaran agama, diperkuat oleh penerapan prinsip-prinsip politik progresif dalam perjuangannya, seperti pendidikan untuk massa dan kritik terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang.

Di dalam konteks Islam, tradisi Teologi Pembebasan “diteruskan” dan dipromosikan oleh Farid Esack (1997), intelektual, aktivis dan pemimpin komunitas Muslim Afrika Selatan yang turut berjuang melawan rezim apartheid itu. Dengan menjadikan pesan-pesan perlawanan dan resistensi dalam agama sebagai panggilan universal untuk melawan penindasan, Farid Esack berhasil menggalang dukungan tidak hanya dari komunitas Muslim tetapi juga berbagai kelompok lain di Afrika Selatan dalam gerakan anti-apartheid.

Pemahaman teologis yang liberatif ini bukanlah sekedar slogan kosong belaka. Terbukti, baik di Amerika Latin maupun Afrika Selatan, Teologi Pembebasan menjadi sumber nilai dan inspirasi dalam perjuangan anti-penindasan.

Bagaimana Dengan Kondisi Kita?

Sayangnya, apa yang terjadi pada masyarakat kita yang mengaku “religius” dewasa ini sungguhlah jauh panggang dari api.  Hubungan yang eksploitatif dalam masyarakat, terutama dalam konteks ekonomi-politik, masih marak terjadi, terutama pada masyarakat yang termarginalkan. Ranah ekonomi dan politik sangat jauh dari iklim yang demokratik; sebaliknya, ranah tersebut hanya dikuasai oleh segelintir elit. Di saat yang bersamaan, warga kelas menengah yang sering digadang-gadang sebagai “agen perubahan” cenderung konservatif dan menerima status quo – yaitu tatanan ekonomi-politik yang ada.

Maka tak heran jika fundamentalisme keagamaan, termasuk dalam variannya yang pro-kekerasan dan bersifat vigilantis menjadi marak, terutama bagi mereka yang termarjinalkan dalam proses dan aktivitas politik, ekonomi dan sosial. Islam politik dalam versi moderat juga sering dikampanyekan sebagai “jawaban” atas permasalahan yang ada. Sayangnya, tawaran-tawaran seperti ini, selain seringkali terjebak dalam konservatisme dan formalisme, juga tidak memberikan analisa yang objektif terhadap eksploitasi dan kondisi ekonomi-politik di dalam masyarakat.

Di sisi lain, para elit juga terlampau sibuk oleh wacana-wacana yang cenderung “elitis” seperti “pluralisme agama”, “inklusivisme”, dan lain sebagainya tanpa memperhatikan bagaimana wacana tersebut “dibumikan” dan bagaimana pembentukan wacana tersebut berkaitan dengan kontestasi kekuasaan dan kapital dan dapat memiliki implikasi sosial yang signifikan.  Karena itu, momentum bulan Ramadhan sangatlah tepat untuk menyegarkan kembali pemahaman keagamaan kita, sehingga visi keagamaan yang pro-perubahan sosial yang transformatif dapat menjadi suatu diskursus alternatif yang dapat diperhitungkan.

Lalu Apa Solusinya?

Mempopulerkan suatu gagasan, lebih-lebih menjadikannya sebagai sebuah praktik sosial baru, sungguh merupakan tugas yang amat berat. Dengan kata lain, perubahan yang hanya terjadi pada level norma atau nilai akan sulit untuk mengakar dan mendapat tempat di masyarakat tanpa dibarengi oleh reformasi dan promosi praktek-praktek sosial yang transformatif berlandaskan nilai-nilai religiusitas yang progresif dan menghargai kekayaan khazanah lokal. Sebagaimana diungkapkan oleh Laitin (1978), menganalisa masalah sosial dan menawarkan solusi atasnya hanya berdasarkan kajian atas doktrin-doktrin suatu sistem nilai seperti kebudayaan dan agama tidaklah cukup. Diperlukan suatu kajian yang komprehensif atas perilaku masyarakat dan praktek-praktek sosial yang ada.

Di tengah kelangkaan wacana dan praktek sosial-keagamaan yang dapat melaksanakan tugas tersebut di atas, Teologi Pembebasan dapat menjadi suatu wacana dan praktek alternatif ke depannya. Religiusitas yang progresif dan menghargai kekayaan tradisi, tanpa dipenuhi oleh sesaknya fundamentalisme, konsumerisme dan elitisme, ditambah dengan analisa objektif atas kondisi masyarakat, yang merupakan aplikasi nilai-nilai Teologi Pembebasan, bisa menjadi suatu jawaban bagi masalah eksploitasi dan perlunya transformasi dalam masyarakat. Selain itu, semangat keagamaan yang seperti ini tentu saja selaras dengan esensi dari bulan Ramadhan. Oleh karena itu, mungkin sekarang adalah momentum yang tepat untuk mengubah dan mereformasi perilaku keagamaan kita.

Oleh Iqra Anugrah*

*Penulis adalah alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University dan Ohio University; akan melanjutkan studi doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS.

 

Bangkitnya Politik Rasional? Sebuah Analisa atas Kemenangan Jokowi

Selasa, 14 Agustus 2012

http://www.pelitaonline.com/read-opini/148/bangkitnya-politik-rasional-sebuah-analisa-atas-kemenangan-jokowi/#.UCmThw5ppnU.facebook

Bangkitnya Politik Rasional? Sebuah Analisa atas Kemenangan Jokowi

Oleh : Iqra Anugrah*

Kemenangan tak terduga pasangan Jokowi-Basuki (JB) dalam pilkada gubernur Jakarta 2012 yang bahkan tidak terdeteksi oleh berbagai lembaga survey ternyata telah membangkitkan animo masyarakat kepada politik. Berbagai ahli, berita dan artikel opini menyambut fenomena politik ini sebagai pertanda bahwa para pemilih, dan konsekuensinya, politik kita semakin lama semakin rasional dan bahkan menunjukkan peningkatan kesadaran politik kritis warga Jakarta. Namun demikian, apakah klaim tersebut sepenuhnya benar?

Klaim bangkitnya politik rasional didasarkan oleh beberapa fakta, seperti dukungan publik terhadap JB, mayoritas swing voters atau pemilih yang belum menentukan pilihannya yang memilih JB, hingga prestasi Jokowi di Solo dan agenda pembaharuan politiknya yang dianggap dapat mengubah Jakarta. Pernyataan-pernyataan tersebut dapat dikatakan cukup valid untuk menjustifikasi klaim rasionalitas politik. Tetapi, ada satu hal yang dapat dikatakan masih luput dari perhatian warga Jakarta dan para pengamat: sejauh apakah perilaku “rasionalitas” ini dihayati dan bekerja pada tingkatan yang lebih jauh, seperti pengetahuan dan kesadaran akan koordinasi dan kompetisi di antara para elit politik di belakang kemenangan JB serta manuver politik tandingan dari partai-partai yang mendukung pasangan Fauzi Bowo/Foke-Nara (FN)?

Di sinilah, klaim rasionalitas pemilih dapat kita uji ulang dan problematisasi. Kesuksesan JB di rekam jejak politik mereka sebelumnya tentu perlu diapresiasi. Tetapi, dalam konteks pilkada Jakarta, yang seringkali dijadikan barometer dan miniatur politik nasional, turut bermainnya beberapa elit politik kenamaan seperti Prabowo, Megawati dan Jusuf Kalla yang memberikan dukungan mereka dalam pertarungan politik JB merupakan hal yang tak terhindarkan jikalau bukan keniscayaan. Apalagi, beberapa figur, seperti Jusuf Kalla, sedang terlibat kompetisi politik dengan para rekan dan elit dari partainya sendiri, Oleh karena itu, pertanyaan pertama adalah, sejauh mana para pemilih sadar akan kenyataan politik ini?

Di kubu “seberang”, yaitu pasangan  FN, konsolidasi terutama pada tingkat partai dan elit juga dilakukan. Selain Demokrat, yang sedari awal memang merupakan bagian dari tim FN, Golkar juga melemparkan dukungannya kepada FN. Terakhir, PKS, terutama para elit partainya, juga turut menjadi bagian dari gerbong pendukung FN, yang berarti mengambil sikap berbeda jikalau tidak mengkhianati kritisisme awal PKS terhadap administrasi Foke dan aspirasi konstituen PKS di akar rumput yang cenderung pro-Jokowi. Ini membawa kita ke pertanyaan kedua: bagaimana para pemilih menghadapi perbedaan preferensi politik antara “garis partai” dan aspirasi pada tingkat grassroots akar rumput, terutama bagi partai-partai dengan tingkat soliditas pemilih yang relatif kuat seperti Golkar dan PKS.

Rasionalitas dan kedewasaan berpolitik kita juga diuji dengan berbagai manuver politik dan kampanye yang tidak etis, seperti memainkan isu SARA secara tidak tepat seperti mendiskreditkan kelompok etnis atau agama tertentu. Selain tidak mencerminkan politik rasional, strategi seperti ini juga tidak mencerdaskan rakyat dan akan makin mengalihkan perhatian kita dari kebobrokan politik dan administrasi yang dilakukan oleh para pemain politik di Jakarta selama ini.

Di satu sisi, kita tidak bisa menampikkan dukungan populer untuk pasangan JB di tingkat akar rumput. Publik tentu memiliki kapasitas untuk menilai kemampuan dan potensi kepemimpinan pasangan JB, yang dianggap sangat kompeten dalam menyelesaikan berbagai permasalahan ibukota dan problematika politik yang melingkupi masalah-masalah tersebut, sebagaimana ditunjukkan oleh perolehan suara pasangan JB.

Berdasarkan fakta tersebut, tantangannya adalah, bagaimana JB yang ditopang oleh dukungan populer publik dapat mengedepankan agenda pembaharuan politik di Jakarta? Sesungguhnya, tantangan ini terbagi menjadi dua. Pertama, ini adalah fenomena yang sering disebut sebagai structure-agency problem atau problema struktur-agensi dalam ilmu sosial, yaitu manakah yang lebih berpengaruh dan sejauh manakah dua elemen ini bisa saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam konteks pilkada Jakarta, problema ini dapat secara sederhana dirumuskan seperti berikut: sejauh mana JB, yang memilki dukungan populer, dapat memainkan agensi atau peranannya menghadapi struktur, yaitu permainan politik para elit politik lama yang secara potensial memiliki agenda dan kepentingan lain yang mungkin tidak sejalan dengan agenda reformasi JB dan warga Jakarta dan para parpol yang cenderung ingin mempertahankan status quo. Kedua, sejauh apa “rasionalitas” pemilih dan warga Jakarta juga makin diuji dalam situasi seperti ini, terutama dalam hal sejauh apa publik dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses pilkada melalui jalur-jalur non-elektoral, seperti mengadakan diskusi dengan warga sekitar mengenai pilihan terbaik untuk pilkada, turut mengawasi jalannya proses politik secara kritis dan lain sebagainya. Poin yang kedua ini mungkin lebih menantang untuk dilakukan, apalagi di dalam konteks masyarakat kita di mana sumber daya, baik secara sosial, ekonomi-politik dan informasi, untuk melakukan pendidikan politik masih kurang.

Tentu saja, ini bukan sesuatu yang mudah, apalagi jikalau agenda politik pembaharuan di Jakarta bertujuan untuk melawan dominasi para elit politik dan partai-partai yang agendanya seringkali tidak selaras dengan kemaslahatan publik. Baik JB dan publik juga harus ingat bahwa tidak selain tokoh-tokoh senior dan parpol, ada “musuh” besar lain yang harus dilawan di Jakarta, yaitu struktur ekonomi-politik dan sosial yang tidak adil dan eksploitatif yang didukung oleh aksi-aksi para politisi dan parpol itu sendiri dan ditopang oleh berbagai elemen atau “pemain” tambahan seperti birokrasi Jakarta yang tidak efisien dan konservatif terhadap perubahan hingga laskar-laskar berorientasi etno-religius dan sektarian yang seringkali melakukan tindak kekerasan dalam aktivitasnya.

Should we keep our hope alive? Haruskah kita optimis dengan prospek perubahan dari pilkada Jakarta kali ini? Saya pikir iya. Yang pasti, harapan ini perlu didukung oleh kehati-hatian atas manuver-manuver dari mereka yang ingin mengedepankan agenda elit dan partai di atas agenda rakyat dan juga usaha-usaha dari pemilih Jakarta –yang saya harap makin rasional– untuk memberikan sinyal kepada para politisi dan partai bahwa publik menginginkan pembaharuan. Apakah itu bisa dilakukan? Hanya publik Jakarta sendiri tentu yang dapat menjawabnya.

*Penulis adalah alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University dan Ohio University, akan melanjutkan studi doktoral ilmu politik di Northern Illinois University di AS pada akhir Agustus tahun ini.