‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 2)

‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 2)

SEBELUMNYA telah kita bahas secara cukup menyeluruh mengenai ketegangan di antara dua konsepsi demokrasi: penafsiran arus utama tentang demokrasi sebagai pelanggeng status quo dan penafsiran alternatif tentangnya sebagai proyek politik rakyat pekerja. Sebagai pengingat, mari kita jabarkan lagi sejumlah tesis alternatif mengenai demokrasi:

Demokrasi sebagai ekpresi politik kelas
Demokrasi sebagai ekspresi perjuangan kelas
Demokrasi sebagai mekanisme partisipasi aktif warga
Demokrasi bertujuan melampaui separasi antara elit dan warga dan memfasilitasi pertempuran strategis dengan negara (strategic engagement with the state)
Disensus sebagai sendi utama politik demokratik
Setelah merobek ‘jubah ideologis’ demokrasi untuk proyek-proyek politik yang konservatif dan reaksioner, setelah melakukan kritik imanen terhadap konsepsi demokrasi semacam itu, maka sekarang adalah saatnya bagi kita sebagai bagian dari kaum progresif untuk membaca ulang demokrasi sebagai proyek politik emansipasi rakyat pekerja.

Kita tahu bahwa bagi mereka yang berkuasa, istilah demokrasi perlu dibersihkan dari konotasi kelasnya. Tetapi kita tahu bahwa sepanjang sejarahnya, demokrasi tidak terlepas dari konteks konflik dan kontradiksi antar kelas dan perjuangan kelas yang menjadi niscaya karena kontestasi tersebut. Demokrasi dapat dibaca sebagai kekuatan politik kaum miskin, sebagaimana didefinisikan oleh Aristoteles dalam Politics, maupun sebagai apa yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson (2009) dalam Economic Origins of Dictatorship and Democracy sebagai bagian dari strategi dan konsesi elit dalam menghadapi situasi revolusioner dan tuntutan redistribusi material secara radikal yang dipelopori oleh massa rakyat. Intinya, istilah demokrasi sesungguhnya tidak pernah terlepas dari konteks konflik kelas yang melatarbelakanginya.

Karena demokrasi adalah ekspresi politik kelas, maka demokrasi juga merupakan sebuah ekspresi perjuangan kelas. Selama ini kita seakan-akan lupa dan secara terlalu romantik dan vulgar terkadang mengidentikkan perjuangan kelas dengan long march, revolusi, dan perjuangan insureksionis dan bersenjata. Kita lupa bahwa jauh-jauh hari Engels sempat berkata bahwa evolusi damai menuju masyarakat baru, yaitu masyarakat sosialis, adalah mungkin ketika perwakilan-perwakilan rakyat pekerja telah berhasil mengamankan dan melaksanakan kekuasaan sesuai kehendak rakyat. Ada dua implikasi dari pernyataan Engels: pertama, demokrasi, termasuk dalam konotasi modernnya sebagai politik elektoral, juga merupakan suatu situs atau arena perjuangan kelas bagi rakyat pekerja dan kedua, politik demokratik adalah aspirasi politik yang inheren dalam perjuangan rakyat pekerja.

Karena demokrasi adalah ekspresi perjuangan kelas, maka demokrasi juga perlu dibaca sebagai mekanisme partisipasi aktif warga. Jikalau penafsiran arus utama atas demokrasi menaturalisasi dan melegitimasi demokrasi sebagai sebuah tatanan ekonomi-politik yang legitim dari sononya, maka penafsiran alternatif terhadapnya harus merevitalisasi karakter demokrasi sebagai sebuah mekanisme partisipasi aktif warga yang bertujuan mewujudkan daulat rakyat secara langsung menuju tatanan masyarakat egalitarian – dengan kata lain masyarakat tanpa kelas. Visi inilah yang dicanangkan Rousseau jauh-jauh hari, yang menemukan gaungnya di berbagai eksperimen politik rakyat pekerja, mulai dari Komune Paris hingga periode singkat Revolusi Sosial di Indonesia di masa awal kemerdekaan. Dalam terang ini, maka demokrasi bertujuan untuk melampaui separasi antara rakyat pekerja sebagai warga dan aparatus pemerintahan yang mewakilinya. Dengan demikian maka tendensi degenerasi negara dalam masyarakat kapitalis menjadi sekedar apa yang disebut Marx sebagai pemerintahan teknis, sebagaimana dapat kita lihat dalam berbagai eksperimen neoliberalisme di beberapa dasawarsa terakhir, dapat dilampaui dan perlahan disudahi melalui perluasan ruang-ruang pertempuran strategis dengan negara.

Dua pembacaan ulang di atas mengenai premis-premis dasar demokrasi hanya mungkin juga apabila kita melakukan pembacaan ulang atas premis ketiga dari demokrasi: bahwa adalah disensus, alih-alih konsensus, yang menjadi sendi utama politik demokratik, politik perlawanan rakyat pekerja. Dalam banyak studi mengenai demokrasi terutama negara-negara demokrasi baru peranan konsensus terutama konsensus antar elit sering digarisbawahi dan digadang-gadang sebagai fakor utama yang mendukung stabilnya demokrasi. Pernyataan ini, meskipun tepat, baru separuh benar. Dalam banyak hal, konsensus memang diperlukan. Tetapi, apabila beberapa konsensus yang sifatnya sementara diperlakukan seakan-akan sebagai sebuah pakta politik yang tidak dapat diganggu gugat, maka itu sama saja dengan membatasi ruang diskursus publik dan menutup kemungkinan untuk memulai dan meneruskan percakapan publik yang lebih luas. Persis disinilah disensus diperlukan. Disensus berangkat dari ketidaksepakatan, pertentangan, dan kontestasi. Elan seperti inilah yang diperlukan untuk terus menerus memungkinkan percakapan dan perdebatan publik yang lebih sengit, luas, dan mendalam dan dengan demikian ‘memaksa’ publik untuk terus menerus mencoba merumuskan hipotesa politik yang paling mungkin mendekati kebenaran dan kepentingan publik. Inilah yang terjadi di Perancis di masa Republik Ketiga dan Venezuela di bawah Chavéz. Menggunakan perumpamaan spasial dalam analisa politik yang digunakan Jodi Dean, disensus bagaikan sebuah horizon atau cakrawala: sebagaimana pemandangan yang tampak di depan kita tidak mungkin dimengerti tanpa adanya garis yang membatasi langit dan bumi, maka demokrasi dan seluruh percakapan tentang politik tidak mungkin dipahami tanpa adanya pengakuan terhadap perbedaan-perbedaan yang susah direkonsiliasikan, terhadap kontradiksi yang inheren dalam tiap-tiap ‘tubuh politik’ (body politic), terhadap disensus yang selalu inheren dan kerapkali mengemuka dalam tiap-tiap masyarakat.

Kritik ‘Anti-Demokrasi’ Sebagai Upaya Radikalisasi Demokrasi

Setelah kita mencoba menelaah secara lebih mendalam mengenai dua konsepsi tentang demokrasi dan ketegangan-ketegangan diantaranya, maka jelaslah mengapa kritik terhadap konsep demokrasi dan perlunya merumuskan sebuah posisi ‘anti-demokratik’ dalam beberapa hal tertentu menjadi penting. Tanpa adanya upaya pembongkaran mengenai berbagai conventional wisdom mengenai demokrasi, resikonya posisi Kiri-radikal bisa jadi tidak terbedakan dengan posisi kubu liberal dan bahkan kubu konservatif dan reaksioner. Di masa ketika setiap orang bisa berteriak ‘untuk demokrasi!’ dan mendapuk dirinya sebagai seorang demokrat, maka persis di titik itulah kubu Kiri-radikal perlu mengambil jarak dan melakukan kritik ideologis yang mendalam dan menyeluruh atas konsep demokrasi beserta segenap premis-premis dasarnya dan kemudian merumuskan suatu konsepsi alternatif mengenai demokrasi.

Itulah yang coba kita jajaki dalam dua seri tulisan pendek ini. Tentunya kita membutuhkan lebih banyak pembahasan yang lebih mumpuni dan menyeluruh mengenai persoalan ini, tetapi saya pikir dua seri tulisan ini bisa menjadi titik tolak untuk pembasan yang lebih lanjut. Dari penjajakan awal ini, apabila ada benang merah yang menghubungkan tiga premis alternatif tentang demokrasi yang sudah saya sebut di atas, maka itu adalah sebuah gagasan tentang demokrasi sebagai daulat rakyat pekerja secara langsung yang mencoba melampaui separasi antara elit dan aparatus penyelenggara negara dan ekonomi di satu sisi dan rakyat pekerja di sisi lain menuju sebuah tatanan ekonomi-politik yang egalitarian. Dengan kata lain, visi demokrasi ini begitu dekat dengan hipotesa dan tatanan komunistik, dalam artiannya sebagai ‘komunitas proletariat revolusioner’ sebagai ‘perkumpulan individu-individu…yang meletakkan kondisi-kondisi perkembangan dan pergerakan tiap-tiap manusia dalam kuasa mereka’.[1] Visi demokrasi ini dalam beberapa hal bersifat ‘diktatorial’, karena ia melegitimasi aksi rakyat pekerja untuk mempertahankan diri dari sekaligus menindak para penindasnya, tetapi pada hakikatnya visi ini juga begitu egalitarian, karena ia menjadikan kebebasan, keseteraan, dan persaudaraan antar sesama rakyat pekerja sebagai pedoman, cara, dan tujuannya.

Dengan kata lain, kritik ‘anti-demokrasi’ sesungguhnya adalah sebuah upaya revitalisasi potensi emansipatoris radikal dari diskursus demokrasi itu sendiri.***

Penulis adalah kandidat doktor di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

————

[1] Sebagaimana dikatakan Marx dan Engels dalam The German Ideology. Teks aslinya, ‘the community of revolutionary proletarians’ as an ‘association of individuals…which puts the conditions of the free development and movement of individuals under their control.’ (hal. 86-9).

Kembali Membela Militansi dan Keharusan Perjuangan Kelas

Kembali Membela Militansi dan Keharusan Perjuangan Kelas

http://indoprogress.com/kembali-membela-militansi-dan-keharusan-perjuangan-kelas/

Untuk kaum buruh, dan juga kelas menengah, di Indonesia
Iqra Anugrah
cuman seorang buruh akademik

MAAF, mungkin tulisan ini terkesan mengorek-ngorek kembali persoalan yang sempat marak beberapa minggu lalu namun terlanjur hanyut oleh derasnya air hujan ibukota, yaitu persoalan demo kaum buruh, yang kerapkali dilabeli ‘amuk massa yang rusuh’ semenjak zaman baheula – bahkan sebelum munculnya Komune Paris yang habis diganyang itu. Segera setelah demo buruh, linimasa facebook dan twitter saya dipenuhi oleh ‘perang kata-kata oleh teman-teman dan para kenalan saya: sebagian, mengutip fakta mengenai macetnya jalanan dan beberapa aksi demo buruh yang bersifat koersif, biasanya dikenal sebagai kelas menengah ngehek, sedangkan sebagian lainnya, yang memiliki  simpati dan juga ikut berpartisipasi dalam berbagai gerakan sosial, menyerukan solidaritas terhadap perjuangan kaum buruh, biasanya dikenal sebagai kelas menengah yang simpatik. Namun, sayangnya ada satu hal yang absen dari perang diskursus yang seringkali menyerempet menjadi debat kusir ini: pembahasan yang analitis mengenai relevansi demonstrasi dan aksi kawan-kawan kelas buruh.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba memberikan pembahasan yang analitis mengenai mengapa demonstrasi dan, menggunakan istilah Tan Malaka, berbagai jenis ‘aksi-massa’ lainnya dari kaum buruh tetap relevan. Demi keringkasan, saya akan membatasi perangkat teoretik saya dari perspektif ilmu sosial dan tentunya dari perspektif kelas, yang membawa saya pada suatu kesimpulan: demonstrasi dan berbagai aksi lainnya dari kelas buruh perlu didukung, termasuk oleh kelas menengah Indonesia.

Mitos Borjuis ‘Demokratik’ dan Peranan Kelas Buruh dalam Sejarah Emansipasi

Semuanya bermula dari karya klasik Barrington Moore (1966), Social Origins of Dictatorship and Democracy, di mana dalam beberapa halaman terakhir di dalam bukunya, Moore berujar ‘tanpa borjuasi tidak ada demokrasi’ (no bourgeoisie, no democracy). Beberapa tahun sebelumnya, Seymour Martin Lipset (1959) dalam artikelnya Some Social Requisites of Democracy menulis bahwa perkembangan dan pertumbuhan ekonomi (kapitalis) akan mendorong berkembangnya perubahan sosial seperti urbanisasi, meningkatnya taraf pendidikan, dan fitur-fitur modernisasi lainnya yang kondusif bagi tumbuh dan langgengnya demokrasi.

Kita tahu, banyak kritik ditujukan kepada argumen Lipset, terutama perihal metodenya yang ahistoris dan klaim bahwa pertumbuhan ekonomi serta-merta akan melahirkan dan menjaga demokrasi, oleh karena itu, saya tidak akan membahasnya secara detail di sini. Yang ingin saya persoalkan lebih lanjut adalah klaim ‘tanpa borjuasi tidak ada demokrasi’ yang sering disematkan oleh Moore. Menurut saya, ini adalah pembacaan semi-vulgar dari karya Moore. Pertama, tesis borjuasi demokratik ala Moore lebih tepat dibaca sebagai ‘tanpa borjuasi tidak ada demokrasi borjuis’(no bourgeoisie, no bourgeois democracy). Pembacaan seperti ini bukannya tak berdasar, karena justru ini merupakan bagian dari  argumen utama Moore yang anehnya banyak terabaikan oleh para ilmuwan politik: jalan menuju ‘modernisasi’ baik Stalinisme, Fasisme, maupun Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, dibangun atas eksploitasi atas kelompok-kelompok subaltern, dalam hal ini kaum petani.

Argumen Moore ini kemudian dibalas oleh Rueschemeyer, Stephens dan Stephens (1992) dalamCapitalist Development and Democracy, yang menekankan peranan kelas pekerja alias kelas buruh industrial dalam konteks berbagai masyarakat di Eropa Barat, Amerika Utara, Amerika Latin dan Kepulauan Karibia, yang bukan hanya memperjuangkan demokratisasi formal namun juga pendalaman atas demokrasi formal tersebut melalui berbagai agenda-agenda politik yang bersifat partisipatoris dan emansipatoris lainnya – seperti misalnya negara kesejahteraan yang kian lama kian digerogoti oleh rejim kapitalisme-neoliberal.

Berangkat dari titik ini, maka kita perlahan-lahan dapat membongkar mitos mengenai kelas borjuis  – dan borjuis kecil alias kelas menengah – yang ‘demokratis’ dan segenap rakyat pekerja – wabil khusus kaum buruh yang ‘lemah,’ ‘bodoh,’ ‘kurang bisa mengorganisir dirinya,’ ‘gampang dihasut’ dan segenap label-label lainnya yang biasanya disematkan kepada kaum buruh. Andaikata ada sebagian saja, tidak perlu semua, kelas menengah Indonesia mau meluangkan sedikit saja waktunya untuk membaca sejarah secara analitis dan cermat, maka sebenarnya kita tidak perlu panjang lebar membahas mengenai  peranan kelas buruh dalam memperjuangkan sosialisme, demokrasi dan agenda-agenda politik emansipatoris lainnya. Sayangnya, harapan saya cuma lamunan belaka. Namun, daripada mengomel, lebih baik kita teruskan pembahasan kita…

Sejarah menunjukkan, dari Komune Paris hingga Musim Semi Arab, dari Gerakan Chartist di Inggris hingga Protes Solidarność di Polandia, hal-hal abstrak yang kita labeli sebagai ‘demokrasi’ dan ‘emansipasi’ hingga hal-hal riil yang seringkali kita sepelekan, seperti pembatasan kerja delapan jam per hari, hari libur, kebebasan berserikat, dan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan lainnya, tidak akan mungkin terwujud tanpa gerakan buruh yang kuat, tanpa sejarah perjuangan kelas.

Setelah dihadapkan pada fakta sejarah tersebut, menurut saya ada dua pilihan bagi kelas menengah, termasuk kelas menengah Indonesia: antara menyadari bahwa kelas menengah yang tiap harinya mengalami proses ‘proletarianisasi’ memiliki kesamaan nasib dengan kelas buruh dan karenanya mendukung perjuangan mereka atau bergetar ketakutan atas ‘amuk massa’ yang ‘anarkis’ dan karenanya cenderung bersekutu dengan para kapitalis dan kelompok elit lainnya dalam menekan aksi-aksi kelas buruh. Sayangnya, setidaknya bagi saya, saya melihat ada kecenderungan dari kelas menengah Indonesia untuk memilih pilihan yang kedua, dengan kata lain, ada kecenderungan dari kelas menengah Indonesia untuk menjadi otoriter dan represif atas upaya-upaya politik dari kaum buruh.

Tak heran, apabila Marx sudah jauh-jauh hari mengingatkan kita mengenai kecenderungan otoriter dan represif tersebut dalam 18th Brumaire of Louis Bonaparte, dan menyerukan pentingnya ‘kediktatoran proletariat’ yang secara vulgar seringkali disalahpahami baik oleh para Stalinis dan kelas menengah. Kalau saja mereka mau membaca sedikit saja karya Marx yang lain, Civil War in France, maka mereka akan segera mendapati bahwa di dalam pembukaan Engels atas karya tersebut, dia berujar:

‘Sedari awal, Komune mengakui bahwa kelas pekerja, setelah merebut kekuasaan, tidak bisa bertahan dengan perangkat ketatanegaraan yang lama; bahwa agar supremasi yang baru direbutnya tidak dikalahkan, kelas pekerja harus di satu sisi menghapuskan perangkat-perangkat represif yang sebelumnya digunakan untuk untuk melawan mereka dan di sisi lain menjaga dirinya dari para wakil yang mewakilinya dengan cara menegaskan bahwa mereka dapat diganti kapanpun.’

Engels kemudian menutup pembukaannya dengan menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai ‘kediktatoran proletariat’ sesungguhnya adalah Komune Paris, yang digambarkannya sebagai ‘Runtuhnya kekuasaan rejim negara lama yang digantikan oleh negara yang baru dan demokratis’. Yang bersifat ‘diktatorial’ dari kediktatoran proletariat adalah, mengutip Jodi Dean (2012) dalamThe Communist Horizon, kemampuan rakyat, untuk membatasi aksi-aksi opresif dan represif dari para penindasnya. Lebih lanjut lagi, Ellen Meiksins Wood (2008) dalam Citizens to Lords juga menunjukkan bahwa sejarah demokrasi, termasuk dalam bentuk awalnya di zaman Yunani Kuno, sesungguhnya adalah sejarah perjuangan kelas.

Menanggapi pemahaman tersebut, setidaknya ada lima kelompok yang tidak senang akan konsepsi demokrasi sebagai perjuangan kelas: Fasis, Stalinis dan juga kaum Liberal-Demokrat, Kapitalis dan Konservatif. Kita tentu sudah tahu karakter despot dari kaum Fasis dan Stalinis. Namun, kita perlu menelisik lebih lanjut apakah jangan-jangan tendensi despotik juga diam-diam diidap oleh kaum Liberal-Demokrat, Kapitalis dan Konservatif? Indonesia tahun 1965, Thailand tahun 1976, Chile tahun 1973, Timor Leste tahun 1975, kasus Marsinah, Wiji Thukul, Munir, dan masih banyak lagi adalah bukti dari dukungan ‘suam-suam kuku’ kaum liberal dan konservatif atas demokrasi sebagai situs perjuangan kelas. Apakah kemudian demokrasi berarti sekedar taming the masses, ‘menjinakkan massa?’ senada dengan Montesquieu dan William Riker, yang sekedar merayakan demokrasi prosedural ala Schumpeter, yang mereduksi demokrasi hanya sekedar persoalan pemilu dan segenap aktivitas politik transaksional lainnya, menjadikan demokrasi tak ubahnya belanja sayur dan buah di pasar yang pilihannya itu-itu saja. Demokrasi prosedural yang ‘menjinakkan massa’ juga kemudian didukung oleh tesis-tesis teori modernisasi dan fungsionalisme struktural, yang menekankan pentingnya ‘stabilitas’ dan menganggap segala jenis ‘dinamika sosial’ termasuk demonstrasi dan protes buruh, sebagai ‘gangguan atas stabilitas’ – sebuah pemahaman yang tidak berbeda jauh dari pemahaman Orde Baru.

Tak heran apabila Ben Anderson (1998, hlm. 267) dalam The Spectre of Comparisons berpendapat:

…sistem pemilu yang terbuka bagi kelompok-kelompok yang menerima aturan mainnya adalah karakter dari dominasi politik borjuis sebagaimana monarki absolut adalah karakter dari hegemoni kaum bangsawan…’ (penebalan oleh penulis).

Nah, pertanyaanya sekarang adalah, apakah kelas menengah Indonesia diam-diam mengamini pemahaman demokrasi yang seperti itu? Apakah kelas menengah Indonesia diam-diam menghayati ‘demokrasi’ yang bertujuan ‘menjinakkan massa,’ sekedar merayakan aktivitas politik elektoral namun diam seribu bahasa atas sejumlah masalah lainnya, seperti marjinalisasi ruang-ruang partisipasi publik, komodifikasi politik, ekspansi kapitalisme-neoliberal yang semakin vulgar, represi atas kaum buruh dan petani melalui aksi-aksi premanisme, dan lain sebagainya, alih-alih memperjuangkan demokrasi yang benar-benar partisipatoris dan emansipatoris?

Adakah Jalan Lain?: Menelaah Kemungkinan Solusi Alternatif

‘Tapi’, tanya beberapa teman, ‘bagaimana jadinya kalau perusahaan asing menutup usahanya kemudian hengkang dari Indonesia, kan jadinya lapangan kerja hilang?’

Argumen ini seringkali kita dengar dari banyak orang. Namun, yang sering kali luput dari perhatian adalah, sesungguhnya pemahaman seperti ini adalah bagian dari ortodoksi neoliberal (ngomong-ngomong, ini istilah ilmiah lho, bukan sekedar label atau slogan) yang semakin hegemonik akhir-akhir ini. Yang dibutuhkan adalah pemahaman dan analisa yang lebih menyeluruh mengenai bagaimana kapitalisme global bekerja terutama dalam varian neoliberalnya. Dari pemahaman yang lebih menyeluruh tersebut, kita dapat mencoba merumuskan alternatif atas ortodoksi kapitalisme neoliberal. Saya tidak berpretensi memiliki gambaran yang utuh mengenai seperti apa solusi alternatif tersebut (Marx saja pun tidak), namun saya pikir kuncinya ada pada tiga hal: analisa sejarah, praktek-praktek sosial dan ekonomi alternatif dan berhimpun.

Tiga hal kunci tersebut dapat membantu kita menjawab salah satu persoalan utama yang seringkali diajukan kepada kaum Kiri/Marxis: bisakah kita menjaga efisiensi, produktivitas dan taraf hasil dalam ekonomi yang dikelola secara demokratis, yang dikontrol dan dikelola secara langsung oleh kaum pekerja sendiri? Karena saya bukanlah ahli nujum tentu saya tidak akan memberikan jawaban akhir yang definitif di sini, namun saya pikir bisa. Untuk menjawab persoalan tersebut, saya akan bersandar pada buku Ours to Master And To Own yang dieditori oleh Immanuel Ness dan Dario Azzelini (2011) (ringkasan dan ulasannya dapat dilihat di sini http://indoprogress.com/lbr/?p=28) dan artikel  Tom Malleson (2013) dalam jurnal ilmu politik progresif New Political Science yang berjudul Economic Democracy: The Left’s Big Idea for the Twenty-First Century?

Dalam bukunya, Ness dan Azzelini menunjukkan bahwa, meskipun tidak mudah, kontrol buruh secara langsung dan demokratis (yang tidak serta merta sama dengan nasionalisasi) atas aktivitas-aktivitas ekonomi adalah mungkin. Sejarah menunjukkan, dari Perang Sipil Spanyol hingga Indonesia di masa awal kemerdekaan, dari Yugoslavia hingga Italia, kaum buruh telah (dan masih!) terus berupaya untuk memperjuangkan demokratisasi ekonomi –  yang seiring sejalan dengan demokratisasi ranah politik yang lebih luas. Argumen yang lebih menyeluruh dalam konteks kontemporer juga dijelaskan secara rinci oleh Malleson, yang membahas demokrasi ekonomi dalam beberapa aspek, yaitu demokrasi tempat kerja (workplace democracy), demokrasi sektor keuangan atau finansial (financial democracy), dan demokratisasi penanaman modal atau investasi(democratizing investment). Kebebasan dan dukungan atas berbagai aktivitas serikat dan politik kaum buruh misalnya, adalah bagian dari demokrasi tempat kerja. Namun itu saja tidak cukup. Kontrol atas kapital misalnya, terutama di masa krisis adalah tantangan atas demokrasi finansial. Solusi atas permasalahan tersebut tentu tidak mudah, namun meluasnya upaya koperasi kredit misalnya, dapat menjadi titik awal perumusan atas solusi tersebut (hlm. 93-94). Demokratisasi investasi juga dapat dicapai, misalnya, dengan investasi negara pada sektor publik yang juga melibatkan partisipasi warga dalam berbagai kebijakan yang menyangkut sektor tersebut, sebagaimana telah dijalankan dalam kebijakan penganggaran partisipatoris (participatory budgeting) di Porto Alegre, Brazil (hlm. 95). Demokratisasi ekonomi juga tidak identik dengan hasil yanginefisien – Malleson mengutip sejumlah studi yang menyebutkan bahwa di Amerika Serikat (AS), Inggris, Denmark, Spanyol, Swedia, Perancis, Italia dan Polandia, koperasi dan berbagai upaya kontrol langsung atas aktivitas produksi memiliki tingkat produktivitas yang sama dengan firma-firma kapitalis (hlm. 101-102). Singkat kata, kaum Kiri/Marxis ternyata punya jawaban yaitu bahwa praktek-praktek sosial dan ekonomi alternatif bukan hanya mungkin namun pernah dan masih berlangsung hingga sekarang.

Strategi kunci terakhir namun tidak kalah penting adalah upaya politik yang memperjuangkan agenda-agenda yang saya sebut di atas atau dengan kata lain pentingnya berhimpun dan berorganisasi. Melalui upaya kolektif dan membangun organisasi, maka perumusan-perumusanteoretik sekaligus upaya-upaya kongkrit, yang melampaui lamunan, omelan atau obrolan-obrolanpseudo-transformatif di gerai-gerai kopi terkemuka di ibu kota yang membuat kita merasa seakan-akan telah mengbubah keadaan namun sejatinya tidak mengubah apa-apa, dapat dilakukan. Ini juga menjadi jawaban dalam bentuk pertanyaan bagi kita – kelas menengah Indonesia: sudahkah kitaberhimpun?

Kembali ke Realita

Setelah panjang lebar mendiskusikan pentingnya peranan kelas buruh dalam mewujudkan transformasi sosial dan pendalaman demokrasi di Indonesia, sepertinya lagi-lagi saya harus meminta maaf dan membela diri, terutama atas tuduhan berikut: ‘Oi, anak muda penulis artikel, situ kan cuman mahasiswa perantau, yang sibuk ngoceh tapi kagak ngerasain ‘panasnya’ situasi di sini!’

Pertama-tama, mohon maaf apabila saya sekedar penulis artikel, yang bukan orang pabrik maupun orang kantoran. Adalah betul, bahwa saya tidak berada langsung di lokasi ketika ‘panasnya’ situasi memuncak. Saya juga tidak berpretensi mengetahui secara mendetail dinamika gerakan buruh kontemporer di Indonesia dewasa ini, apalagi mengklaim bahwa dukungan saya terhadap aksi kaum buruh dan kritik saya atas bias kelas dan  tendensi otoriter kelas menengah Indonesia berangkat dari ‘posisi moral’ yang lebih tinggi hanya karena saya –yang mungkin juga masuk dalam kategori kelas menengah – bersimpati  terhadap perjuangan kaum buruh Indonesia. Yang saya lakukan hanyalah memberikan justifikasi teoretik atas perjuangan kaum buruh Indonesia.

Tentu, tiap-tiap gerakan, termasuk gerakan buruh, memiliki dinamikanya masing-masing. Gerakan buruh tentu bukanlah sekelompok malaikat yang tidak pernah salah. Namun, alih-alih mereduksi permasalahan menjadi persoalan cocokologi dengan semakin dekatnya pemilu 2014 atau berbagai teori konspirasi yang memahami aksi buruh sebagai sekedar aksi orderan – yang berarti semakin meneguhkan pemahaman konservatif nan otoriter par excellence atas kaum buruh (dalam bahasa yang lebih gamblang: rakyat kecil itu bodoh, gampang ngamuk dan mudah dihasut), mungkin segenap rakyat Indonesia, terutama kelas menengah Indonesia, perlu mengkaji lebih dalam dan mencoba memahami alasan dan relevansi dari demonstrasi dan aksi-aksi politik dari kaum buruh, terutama dari perspektif kesejarahan. Karena, apa yang disebut sebagai emansipasi, demokrasi dan hak-hak warga negara bukanlah sesuatu yang datang dari langit, bukannya sekedar hasil negosiasiala Mario Teguh, tapi merupakan hasil dari perlawanan baik dalam ranah teoretik maupun praktik.

Perlu diingat bahwa selagi kita sibuk mendiskusikan persoalan ini, ada sejumlah kawan buruh yang musti berhadapan dengan bogem mentah dan pentungan dari preman-preman yang menjadi perpanjangan tangan perselingkuhan negara dan kapital. Menerima hasil perlawanan tersebut namun enggan berjibaku dalam proses perlawanan itu sendiri bagaikan, mengutip dan sedikit memelintir Slavoj Zizek, bagaikan minum kopi tanpa kafein: merasa telah berbuat namun sejatinya hanya berkutat dalam perjuangan semu. Apakah, jangan-jangan, diam-diam ada Suharto, Pinochet atau Fadli Zon kecil dalam tiap-tiap diri kita, sehingga kita enggan ‘mengotori diri’ dalam perjuangan politik kelas yang kerap kali tidaklah mudah, dan karenanya memilih ‘jalan pintas’ yang bernama kapitalisme dan despotisme? Mungkin, sudah waktunya saya, anda, kita, kelas menengah Indonesia, yang sesungguhnya juga mengalami proses proletarianisasi setiap harinya, menyadari bahwa ‘jalan pintas’ tersebut bukanlah jawaban dan karenanya kita perlu mulai ‘mengotori diri’ dalam perjuangan kelas.

Bagi kawan-kawan kelas buruh, saya hanya bisa mendoakan dari jauh dan berucap teruskan perlawanan. Karena, perlawanan tersebut membuktikan bahwa perjuangan kelas menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ingatlah, sebagaimana dikatakan Allende, ‘Sejarah adalah milik kita, dan adalah rakyat yang membuat sejarah.’***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc