Rekonstruksi Kembali Agenda Gerakan Kita

https://indoprogress.com/2018/07/rekonstruksi-kembali-agenda-gerakan-kita/

LAGI-LAGI Gerakan Rakyat di Indonesia dan berbagai belahan dunia kembali berada di dalam posisi defensif. Mungkin tidak terhitung sudah beberapa kali kita terpaksa mengambil atau berada di dalam posisi ini. Kita mulai dulu ulasannya dari tatanan global. Naiknya partai-partai dan gerakan-gerakan sosial kiri-progresif di Eropa Selatan kemudian berujung kepada kapitulasi kepada kelas yang berkuasa sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan SYRIZA di Yunani; atau serangkaian kompromi terhadap agenda-agenda politik progresif seperti yang terjadi terhadap Podemos dalam menghadapi isu pembebasan nasional Catalunya. Populisme sayap kanan kembali merajalela di berbagai kawasan sebagai tantangan kepada konsensus liberal, mulai dari Eropa Barat dan Timur hingga Amerika Serikat (AS) dan Asia Tenggara. Di Indonesia, kalangan gerakan sosial kembali tergagap-gagap menghadapi kebangkitan populisme, ‘moderatisme’ dengan nuansa militeris-Orbais, dan konstelasi politik elite menghadapi pilpres 2019.

Konjungtur politik dan pengetahuan progresif pun juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak kalah rumit. Dalam konteks politik Tiongkok misalnya, terdapat ketegangan antara garis ideologis resmi rezim Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan lingkar-lingkar sosialis dan progresif muda dan alternatif[1] yang menemukan kesenjangan antara retorika resmi dengan ketidakadilan sosio-ekonomi yang semakin parah. Di ranah pengetahuan, naiknya kajian-kajian tentang “materialisme baru” (new materialism) setelah mentok­-nya berbagai perspektif dan kajian yang terlampau menekankan aspek-aspek linguistik, diskursif, representasi, dan antroposentris dari kenyataan material membuat kita harus berpikir ulang mengenai implikasi politis dari cara pandang materialis kontemporer atas realitas politik yang ada di hadapan kita.[2] Di ranah yang lebih ‘praktis’ dan ‘sehari-hari,’ seperti ranah pengorganisiran, perumusan kebijakan, dan pendidikan popular, kerumitan pun tak terhindari, mulai dari pembahasan mengenai materi pendidikan seperti apa yang pas untuk generasi millennials hingga skema hunian partisipatoris yang cocok untuk kaum miskin kota.

Kondisi kita saat ini mengingatkan saya pada ucapan Gramsci dalam Prison Notebooks-nya yang termasyhur itu, ‘the crisis consists precisely in the fact that the old is dying and the new cannot be born; in this interregnum a great variety of morbid symptoms appear.’ Krisis terjadi ketika tatanan lama mulai sekarat tetapi yang baru belumlah lahir. Mungkin terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa kita sekarang berada di dalam fase krisis yang besar seperti yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya, tetapi berbagai ‘gejala sosial’ yang ada sekarang menunjukkan bahwa kita berada di satu kondisi yang cukup dekat dengan krisis. Dalam konteks ofensif kapital global yang semakin mengemuka dewasa ini, kita perlu merumuskan strategi untuk melakukan ‘serangan balik.’

Dalam keadaan seperti ini, tidak ada jalan lain kecuali untuk kembali berefleksi tentang pembacaan teoretik sekaligus agenda-agenda kita di tataran praksis. Kembali mengingatkan diri kita untuk berpikir ulang dan menggiatkan kembali kerja-kerja teori dan praksis boleh jadi terdengar seperti khutbah yang sama, menjemukan, dan selalu diulang-ulang, tetapi buat saya lebih menjemukan dan bahkan menjengkelkan apabila kita kembali terjebak dalam persoalan dan kesalahan yang sama karena kita enggan untuk mengevaluasi langkah yang sudah kita ambil. Bukankah keengganan semacam itu merupakan sebuah bentuk empirisisme (normalisasi keadaan empiris yang ada tanpa mempersoalkan kontradiksi dan problematika di dalamnya) dan subjektivisme (afirmasi dan validasi atas langkah dan posisi individu tanpa proses evaluasi kolektif yang tepat dan menyeluruh)? Dan bukankah subjektivisme dan empirisme merupakan tanda-tanda dari tersusupinya kita oleh pandangan-pandangan idealis dan borjuis kecil?[3] Karenanya, kembali saya tegaskan, tidak ada cara lain. Kritik, otokritik, dan rekonstruksi kembali posisi kita dan para kawan sejawat merupakan sebuah keharusan. Ibarat perang, apa-apa yang kita lakukan sekarang merupakan bagian dari perjuangan gerakan rakyat – perjuangan kelas – yang membutuhkan perencanaan jangka panjang.[4] Bahkan, meskipun kita hanyalah pasukan gerilya – suatu ilustrasi yang saya pikir dengan tepat menggambarkan kondisi gerakan rakyat hari ini – kita tetap membutuhkan perencanaan yang matang agar dengan kemampuan dan sumber daya kita yang terbatas kita tetap bisa melakukan terobosan untuk secara konsisten menghajar jantung kapitalisme dan tatanan yang berkuasa saat ini.

Bagaimana membangun tatanan yang baru dalam keadaan yang terseok-seok ketika tatanan lama sedang runtuh pelan-pelan namun benih-benih kebaruan belumlah bersemai? Inilah problematika kita. Problematika ini bolehlah kita sebut sebagai ‘Problematika Besar Gerakan Rakyat.’ Persoalan klasik ini dihadapi oleh berbagai gerakan rakyat di berbagai konteks sejarah dan regional, mulai dari Revolusi Bolshevik dan gerakan pembebasan nasional di Dunia Ketiga hingga eksperimen sosialis libertarian yang dilakukan oleh kombatan revolusioner di Spanyol di masa Perang Sipil dan orang-orang Kurdi saat ini. Suatu persoalan yang tidak mudah, yang jawabannya juga tidak akan ditemukan dalam waktu sekejap. Sebagai contoh, mari kita angkat upaya revolusioner demokratik yang dilakukan oleh orang-orang Kurdi di Suriah Utara. Dunia boleh saja memuji dan terpukau oleh eksperimen-eksperimen progresif nan radikal yang dilakukan oleh orang-orang Kurdi, seperti upaya mereka dalam membangun tatanan demokratik dalam segala lini kehidupan, melawan fasisme ISIS dan represi pemerintahan Suriah dan Turki, membangun komune-komune sosial dan ekonomi,dan mempromosikan feminisme. Tetapi, tidak banyak yang mencoba berusaha memahami kesulitan-kesulitan serta dilema-dilema yang dihadapi oleh para kombatan Kurdi, dalam hal mengurangi korban perang yang berlebihan, meniti jalan geopolitik yang terjal dan sempit dalam struktur imperialisme global, dan berbagai tantangan berat lainnya dalam konteks membangun ‘dunia yang baru’ di tengah-tengah kesulitan medan perang yang berat.[5] Mengapa penting untuk memahami persoalan-persoalan yang dihadapi gerakan-gerakan rakyat dalam konteks dan lintasan politik yang lain? Karena sesungguhnya apa-apa yang dihadapi mereka juga adalah permasalahan-permasalahan yang kita hadapi di sini. Persoalan mereka adalah persoalan kita. Tantangan yang dihadapi oleh para revolusioner lokal tanah air dalam memperjuangkan revolusi sosial di daerah Pantai Utara Jawa pasca kemerdekaan juga adalah persoalan yang dihadapi oleh revolusioner Bolshevik dan massa rakyat Russia ketika mereka membangun tatanan demokrasi sosialis di atas puing-puing keruntuhan otokrasi Tsaris. Tantangan yang dihadapi oleh rakyat desa Marinaleda dalam upaya mereka untuk membangun ekonomi kolektivis-demokratik juga adalah tantangan yang dihadapi oleh berbagai serikat rakyat di Indonesia dalam perjuangan mereka membangun ekonomi solidaritas. Rasa-rasanya akan sangat sulit bagi kita – jikalau bukan tidak mungkin sama sekali – untuk mengatasi kesulitan-kesulitan kita, lebih-lebih bersolidaritas dengan gerakan rakyat lain, apabila kita tidak dengan sunguh-sunguh mencoba melakukan diagnosis yang tepat atas persoalan-persoalan kita.

Untuk melakukan diagnosis serta merumuskan preskripsi secara jitu, lagi-lagi kita perlu melakukan kajian. Dengan kata lain, yang perlu kita lakukan adalah rekonstruksi kembali agenda gerakan kita. Di sini saya memakai istilah ‘kajian’ yang konteksnya lebih umum alih-alih ‘riset’ yang lebih spesifik untuk menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ilmiah haruslah menjadi pedoman dan semangat dari tiap langkah gerakan progresif. Di kesempatan kali ini, saya tidak berpretensi untuk memberikan suatu pemaparan yang utuh, melainkan sekadar mencoba untuk menyentuh beberapa persoalan pokok yang mendesak di Indonesia, yang memerlukan pembacaan dan perumusan posisi dari kita. Apa yang akan saya jabarkan pada dasarnya hanyalah sebuah pemetaan masalah serta strategi dan taktik alias stratak. Di sini, fokus saya sedikit banyak adalah persoalan-persoalan yang khas gerakan. Akan tetapi, di luar persoalan-persoalan klasik – yang sudah barang tentu sangat pelik itu – saya juga mencoba mengidentifikasi persoalan-persoalan yang relatif baru bagi kalangan gerakan sosial, yang cepat atau lambat perlu ditanggapi. Saya juga membatasi diri untuk tidak banyak membahas persoalan yang terlampau teoretik di sini. Persoalan-persoalan tersebut tentu sangat penting, tetapi pembahasannya membutuhkan ruang diskusi yang lebih luas dan khusus, yang bisa kita bahas di lain kesempatan.

Berikut adalah identifikasi sejumlah agenda gerakan tersebut. Untuk lebih memudahkan, saya akan paparkan secara garis besar dalam format pointers, meski catatan tambahan juga saya sertakan untuk memperjelas beberapa pokok permasalahan.

Politik

  • Arena elektoral dan politik negara:
    • Pembangunan partai berbasis gerakan berorientasi
    • Kritik, revisi, dan pengajuan RUU tandingan atas berbagai peraturan kepemiluan yang cenderung menguntungkan oligarki.
    • Identifikasi ruang-ruang elektoral di mana kader-kader gerakan dapat memenangkan pertarungan elektoral dan – lebih penting lagi – menjalankan mandat elektoralnya sembari menjaga kontrol demokratik dari para konstituennya terhadap kader-kader tersebut. Identifikasi ruang yang tepat ini menjadi penting agar ‘intervensi elektoral’ tidak sekadar menjadi semacam upaya coba-coba belaka atau berujung ke demoralisasi, avonturisme, dan oportunisme.[6]
    • Identifikasi ruang-ruang birokrasi di mana kader-kader gerakan dapat berperan serta atau setidaknya memengaruhi dinamika birokrasi. Peringatan yang sama sebagaimana stratak dalam mengintervensi ranah elektoral juga berlaku – lihat catatan di atas.
    • Beberapa catatan mengenai dinamika intervensi elektoral gerakan sosial Indonesia akhir-akhir ini dapat dilihat di rubrik
  • Arena ekstra-elektoral dan gerakan sosial:
    • Pengarusutamaan orientasi progresif dan pada akhirnya orientasi perjuangan kelas.
    • Identifikasi isu-isu yang memiliki imbas yang luas dan memungkinkan menaikkan posisi tawar gerakan secara keseluruhan (misal: perlindungan sosial yang komprehensif dan transformatif, kerentanan kerja lintas sektor, represi aparatus negara, dan lain sebagainya).
    • Identifikasi prioritas agenda dan format-format kerjasama lintas organisasi yang diperlukan – misalnya, untuk melakukan konter-ofensif terhadap rezim infrastruktur Jokowi, kerjasama lintas organisasi dapat dilakukan di fase aliansi taktis dulu, sebelum membangun kerjasama yang lebih luas, kuat, dan mengikat.
    • Identifikasi penyebab fragmentasi gerakan sosial.
  • Arena masyarakat:
  • Arena politik elite:
    • Pembacaan politik elite yang mencakup, tetapi tidak terbatas kepada, analisis konflik antar elite, aparatus dan jejaring elite di berbagai lini (negara, masyarakat, bahkan elemen-elemen gerakan sosial itu sendiri), sumber daya elite (finansial, politik, sosial, koersif, dan lain sebagainya), hingga imbas politik elite ke dinamika dan ruang gerak gerakan sosial dan massa rakyat pada umumnya.

Ekonomi

  • Analisis ekonomi-politik Indonesia:
    • Klarifikasi cara pandang atas realitas objektif ekonomi-politik Indonesia, termasuk penggunaan istilah-istilah yang seringkali menjadi ‘terms of abuse’ (misal: oligarki, kapitalisme, feodalisme, dan lain sebagainya).
    • Analisis kondisi ekonomi-politik Indonesia di berbagai sektor, mulai dari manufaktur dan sumber daya alam hingga ekonomi digital dan pariwisata.
  • Pengorganisiran ekonomi:
    • Analisis hubungan antara ekonomi dengan sektor-sektor lain, dengan tujuan untuk melampaui pemisahan/separasi antara ekonomi dengan aktivitas hidup lain yang dilanggengkan di dalam kapitalisme.
    • Perumusan strategi makro pembangunan ekonomi post-kapitalis berdasarkan analisis ekonomi-politik Indonesia.
    • Identifikasi dan evaluasi atas berbagai strategi dan praktik pembangunan ekonomi solidaritas di yang dilakukan oleh berbagai serikat rakyat dan komunitas di Indonesia, mulai dari kelas buruh, petani, hingga nelayan dan masyarakat adat.
    • Diseminasi dan replikasi stratak pengorganisiran ekonomi yang bersifat lintas sektor dan ideologis.

Sosial

  • Relasi gender, terutama persoalan the women’s question dan perjuangan melawan patriarki dan heteronormativitas.[7]
  • Isu-isu minoritas etnik, agama, dan seksual, termasuk persoalan masyarakat adat dan persoalan Papua (untuk beberapa catatan mengenai persoalan Papua lihat rubrik Papua Bicara).
  • Analisis atas persoalan-persoalan seputar politik identitas dan batasan-batasan dari artikulasi politik yang berdasarkan kepada politik identitas, baik dalam varian konservatif-ekslusif maupun liberal-pluralis.

Kebudayaan

  • Analisis atas berbagai ekspresi kebudayaan rakyat.
  • Pembangunan dan promosi kebudayaan rakyat, baik budaya tinggi maupun budaya populer, serta demokratisasi proses-proses produksi dan konsumsi produk-produk kebudayaan.
  • Tipologi modalitas perlawanan rakyat:
    • Pemetaan modalitas perlawanan rakyat, dari mulai yang bersifat keseharian dan ‘halus’ (everyday politics/everyday forms of resistance) hingga yang secara terbuka bersifat konfrontasional dan terorganisir, dengan tujuan untuk memetakan modalitas dan narasi perlawanan rakyat dan perumusan narasi dan modalitas gerakan yang segar namun tetap ideologis dan dapat menjangkau massa secara luas.

Agama

  • Relasi agama dan politik progresif:
    • Identifikasi irisan-irisan agama dan politik progresif, terutama dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia di mana artikulasi agama dan artikulasi politik progresif/kelas bisa saling beririsan.
    • Identifikasi peririsan organisasi-organisasi agama dengan jejaring oligarki terutama analisis bagaimana oligarki menggunakan institusi-institusi keagamaan untuk melanggengkan kekuasaannnya, baik di ranah yang lebih material maupun ideologis.
    • Identifikasi aktor-aktor progresif di dalam gerakan dan organisasi keagamaan dan aktor-aktor gerakan sosial yang reseptif dengan gagasan bekerjasama dengan gerakan agama untuk menjajaki kemungkinan aliansi yang lebih luas antara elemen-elemen gerakan agama dan gerakan sosial.
  • Formulasi teologi materialis
    • Perumusan teologi materialis yang lebih maju dari gagasan-gagasan keagamaan progresif yang telah beredar sebelumnya seperti teologi pembebasan maupun Islam Kiri.[8]
    • Partisipasi dari massa rakyat sebagai produsen valid teologi dalam proses perumusan teologi tersebut.

Pendidikan

  • Pembangunan dan keberlanjutan lingkar-lingkar pendidikan popular:
    • Pendataan atas berbagai lingkar-lingkar pendidikan popular baik di tataran penggerak maupun basis massa di berbagai sektor, baik yang masih berjalan maupun yang sudah vakum.
    • Perluasan upaya-upaya pendidikan popular baik di ranah penggerak maupun basis massa yang dilakukan secara teratur.
    • Dokumentasi aktivitas lingkar-lingkar pendidikan popular dan pembuatan modul pendidikan popular di berbagai sektor sebagai upaya untuk melakukan transmisi dan diseminasi pengetahuan tentang cara-cara melakukan kegiatan pendidikan popular secara lebih sehat dan berkelanjutan, meminalisir kultur patronase, membaca diktat, dan senioritas yang konterproduktif dan eksesif.
    • Diseminasi format dan materi pendidikan popular.

Teknologi dan Industri

  • Agenda otomasi:
    • Secara lebih menyeluruh persoalan ini telah dibahas oleh kawan Yosie dalam tulisannya, tapi secara singkat urgensi dari agenda ini adalah untuk menganalisis implikasi dari otomatisasi ekonomi yang tidak terelakkan dan merumuskan agenda otomasi alternatif dari gerakan.
  • Konstruksi sibernetika alternatif:
    • Apabila kontrol informasi di negara-negara Blok Timur secara langsung oleh aparatus-aparatusnya sering dideskripsikan sebagai sebentuk totalitarianisme, maka kontrol informasi oleh para kapitalis digital kelas kakap yang disokong oleh negara di ‘negara-negara bebas’ bolehlah kita sebut sebagai sebuah bentuk totalitarianisme baru. Tantangan bagi perencanaan ekonomi-politik dan kehidupan sosial radikal-demokratik adalah juga untuk mewujudkan demokratisasi diseminasi informasi dan proses pengambilan keputusan berbasis informasi dan data secara real time. Chile di masa Allende adalah sebuah contoh di mana ‘sibernetika sosialis’ – proses pengambilan keputusan-keputusan mengenai penghidupan berdasarkan akses dan sirkulasi data dan informasi yang bersifat sangat cepat dan dilakukan dalam skala besar dan secara demokratik – adalah suatu upaya yang mungkin, suatu persoalan yang perlu dipikirkan secara serius oleh kalangan gerakan.
  • Promosi industrialisasi berskala besar dengan kontrol demokratik dari para pekerja dan massa luas.

Agraria dan Perburuhan

  • Analisis problematika agraria dan perburuhan Indonesia, yang mencakup antara lain isu-isu seperti perampasan tanah dan represi sehari-hari di lingkungan pabrik, proses-proses diferensiasi kelas dan imbasnya kepada massa rakyat di pedesaan dan perkotaan, dan isu-isu lain yang berkaitan dengannya sebagai basis kerja-kerja advokasi.
  • Demokratisasi kemampuan-kemampuan teknokratis di proses-proses produksi industrial dan pertanian, mulai dari produksi manufaktur ringan dan berat hingga manajemen saluran irigasi dan distribusi pupuk sebagai dasar untuk membangun ekonomi solidaritas dengan daya produksi yang tinggi.

Tentu saja, daftar ini jauh dari lengkap dan mengandung bias-bias pribadi saya. Tetapi, saya pikir ada konsensus yang cukup luas mengenai pentingnya isu-isu yang saya paparkan dalam penjelasan singkat saya. Melalui pemarapan ini, saya juga mengundang rekan-rekan gerakan rakyat lain untuk turut mengidentifikasi isu-isu kunci apa yang luput dari perhatian saya dan berpartisipasi dalam diskusi dan debat mengenai perumusan stratak kita.

Apa yang sedang saya coba lakukan di sini bukanlah hal yang benar-benar baru. Kuan-Hsing Chen (2010, hal. 223-224) dalam refleksi teoretiknya sebagai sarjana kajian kebudayaan dan aktivis gerakan sosial di Taiwan, Asia as Method, melabeli upaya perlawanan seperti ini sebagai ‘lokalisme internasionalis’ (internationalist localism), yang mengakui kenyataan sosiologis dari proses-proses modernisasi (kapitalis) termasuk tatanan ekonomi-politik dan sosial berdasarkan kapitalisme dan negara bangsa, tetapi di saat yang bersamaan melakukan upaya-upaya perlawanan di tingkat lokal, bukan sebagai bentuk romantisasi naif nan nativis dan esensialis atas yang lokal maupun afirmasi fatalis atas modernitas kapitalis di skala nasional dan global, melainkan untuk mensubversi batas-batas geografis artifisial tersebut dan meradikalisasi berbagai upaya perlawanan popular-demokratis vis-à-vis modernitas kapitalis-poskolonial. Mungkin upaya yang coba kita rintis di sini masih jauh dari agenda besar untuk mengkonstruksi kembali materialisme Indonesia – dan juga sosialisme Indonesia. Tetapi, setidaknya catatan singkat ini saya harap dapat menjadi pengingat bagi kita untuk tetap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan panjang dalam kerangka agenda tersebut. Kapitalisme-neoliberal boleh jadi universal, but so does the resistance against it.

Tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya mungkin akan kembali menjadi another long season of people’s struggle, musim panjang perjuangan rakyat.***

 

Penulis adalah pegiat Forum Islam Progresif (FIP). Baru saja menyelesaikan pendidikan doktoral ilmu politik dan Kajian Asia Tenggara di Northern Illinois University, AS.

 

—————-

[1] Di dalam Tiongkok sendiri terdapat perdebatan yang begitu dinamis mengenai relevansi kajian-kajian kontemporer atas Marxisme, yang marak dengan perdebatan dan disensus, baik di dalam tubuh PKT sendiri, lebih-lebih di ruang-ruang non-partai. Dengan kata lain, ‘Marxisme Negara’ bukanlah satu-satunya artikulasi teoretik Marxis (dan juga bukan satu-satunya garis politik Marxis) yang ada dan berkembang di Tiongkok dewasa ini. Topik ini mungkin membutuhkan kajian yang lebih serius dan pemaparan yang lebih panjang. Tentu, pembacaan saya atas fenomena ini terbatasi oleh fakta bahwa saya tidak bisa berbahasa Mandarin, sehingga saya harus bertumpu kepada teks-teks berbahasa Inggris yang meskipun sangat membantu tetapi tentu saja hanya memberikan informasi yang terbatas mengenai perkembangan diskursus dan kajian Marxis di Tiongkok dan implikasi-implikasi politiknya. Sebagai referensi mengenai persoalan ini lihat misalnya He Li, Political Thought and China’s Transformation (New York: Palgrave Macmillan, 2015), Robert Ware, “Reflections on Chinese Marxism,” Socialism and Democracy, 27, 1, hal. 136-160, 2013, dan Shi Anshu, François Lachapelle, dan Matthew Galway, “The Recasting of Chinese Socialism: The Chinese New Left since 2000,” China Information, 32, 1, hal. 139-159, 2018.

[2] Untuk pembahasan singkat mengenai apa itu materialisme baru dan implikasi politisnya lihat tulisan William E. Connolly, “The New Materialism and the Fragility of Things,” Millennium: Journal of International Studies, 41,3, hal. 399-412, 2013. Untuk selayang pandang mengenai kajian-kajian dan perdebatan tentang materialisme baru silahkan tengok beberapa terbitan open access terbaru di http://www.openhumanitiespress.org/books/titles/new-materialism/

[3] Sebagai ilustrasi anekdotal: dalam suatu forum yang mengundang pegiat dan pengkaji agraria, ada seorang peserta diskusi yang bertanya mengenai apa indikator keberhasilan gerakan petani di dalam suatu kasus perjuangan merebut hak atas tanah – sebuah pertanyaan yang tentu saja valid. Yang membuat saya terkejut adalah jawaban dari seorang peserta diskusi yang lain: apabila telah terjadi ‘transformasi mentalitas’ teman-teman petani dari ‘korban’ menjadi ‘survivor’ dan lantas ‘pejuang’ maka proses advokasi bisa dikatakan berhasil. Tentu hal tersebut merupakan pencapaian yang sangat penting dan patut diapreasiasi – tapi kita tahu dari berbagai laporan dan hasil kajian bahwa laju perampasan tanah justru cenderung meningkat – sebuah fakta keras yang objektif! Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada banyak rekan gerakan yang terlibat dalam kerja-kerja advokasi yang melelahkan, persis dalam konteks inilah saya ingin bertanya: bukankah ini contoh pandangan yang empirisis dan subjektivis dan karenanya problematis?

[4] Dalam hal ini, pihak ‘lawan’ kadang jauh lebih baik dalam melakukan perencanaan jangka panjang. Lihat misalnya profil Helmuth von Moltke, panglima dan militeris Prussia, dalam Max Boot, War Made New: Technology, Warfare, and the Course of History: 1500 to Today (New York: Gotham Books, 2006).

[5] Sebagaimana dapat kita lihat dalam komentar-komentar vulgar yang beranggapan bahwa milisi-milisi Kurdi berada dalam bayang-bayang – atau bahkan lebih parahnya – menjadi kaki tangan imperialisme Barat dalam operasi-operasi militer melawan ISIS. Ini tentu komentar-komentar yang ahistoris, seakan-akan lupa bahwa kekuatan-kekuatan Sekutu dan Uni Soviet bernah bersekutu menghadapi ancaman Blok Fasis di masa Perang Dunia ke-II.

[6] Saya menemukan gejala-gejala ini di beberapa konteks dalam riset lapangan saya.

[7] Persoalan ini sesungguhnya membutuhkan pembahasan dalam artikel terpisah. Diskusi-diskusi yang intens dengan berbagai kawan di gerakan sosial juga membuat saya berkali-kali sadar, terkejut, dan prihatin bahwa permasalahan-permasalahan yang menyangkut relasi gender masih saja marak baik di level pegiat gerakan sosial maupun masyarakat yang lebih luas. Lihat misalnya pemaparan singkat soal ini di sini dan sini.

[8] Pemaparan lebih lengkap dari saya mengenai persoalan ini saya tuliskan di kata pengantar untuk terjemahan dari Pamflet Chris Harman, The Prophet and the Proletariat (Nabi dan Proletariat) yang diterbitkan oleh IndoProgress di https://www.dropbox.com/s/blsq6xqiatrk6ij/Nabi_dan_Proletariat.pdf?dl=0

Dissertation Acknowledgement

The saying “it takes a village to raise a child” could not be more true. In the process of producing this dissertation, I have relied on so many people and accumulated a lot of debt from their generous help. The next couple of pages are therefore dedicated to thanking their tremendous contribution. As usual, naming names risks missing some people. In that case, the error of omission is all mine.

First and foremost, as a field researcher, I have to thank my primary local interlocutors in the field – the ordinary peasants and villagers, who kindly welcomed, chatted with, provided shelter for, and most importantly, embraced this clueless city boy as one of their own. They opened up their homes to me and shared their rich life stories. I learned a lot from them not only about my dissertation topic but also about life in general. For that, I would be forever grateful. A luta continua.

The gruelling dissertation writing process was greatly helped by guidance from my dissertation committee and some other mentors. Kheang Un is the model dissertation adviser that anyone could hope. My time working with him at Northern Illinois University (NIU) has been pleasant and fulfilling both professionally and personally. I really appreciate his commitment to and support for this dissertation project, even when I did not have yet a clear idea of what it would look like. The help of other committee members is also significant. Scot Schraufnagel guides my thinking to be more “PoliSci-y” and methodologically-sounding and is always ready to help with administrative matters. Eric Jones infects me with the historical way of inquiry and convinced me to learn Dutch. Michael Buehler sets a high standard for the study of Indonesian local politics and his willingness to work with me even after his departure to SOAS is highly appreciated. Michele Ford from the University of Sydney did not sit at the dissertation committee, but for me she effectively served as the unofficial fifth member. She took me under her wing and encouraged me to publish and participate in the Southeast Asianist tribe. Her support is always motivating. This dissertation also bears the mark of the late Danny Unger, who read early drafts of the dissertation proposal and gave some important suggestions. Ajarn Danny, you will be missed. Needless to say, the contribution of these mentors has been immense.

Writing this dissertation requires long fieldwork, which in turn requires a lot of logistical support. Thanks to the generous funding from the NIU Political Science Department Russell Smith Scholarship, the Transparency for Development (T4D) Predoctoral Fellowship from the Ash Center at Harvard Kennedy School and Results for Development Institute, the Visiting PhD Scholar Fund from the University of Sydney’s Southeast Asia Center, and the ENITAS Scholarship from the Institute of Thai Studies at Chulalongkorn University, I was able to conduct two-years of fieldwork in Indonesia. In particular, I would like to thank Steve Kosack, Courtney Tolmie, and Jessica Creighton from the T4D Project for their trust in my work and invitation to collaborate with them. My time in Sydney was also a fruitful one, since I was able to connect with Australia’s Southeast Asian Studies community. My research also benefits from the institutional support of the Institute for Economic and Social Research, Education, and Information (LP3ES) in Jakarta, which warmly welcomed me as a Visiting Research Fellow and provided office space throughout my fieldwork period. I thank my colleagues at LP3ES, especially the Institute’s Deputy Director, Triyaka Lisdiyanta, for their support.

The role of my home institution, NIU, is also equally significant. Both the Department of Political Science and the Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) on campus have been  lively and supportive intellectual homes in the middle of DeKalb’s flatland and its bone-crushing winter, not to mention their financial support and excellent training. I would like to thank the following faculty members in the Department for their professional advice in assisting me to enter Academia Obscura: Michael Clark, Colin Kuehl, Aarie Glas, and Ches Thurber. At the Center, the support of Judy Ledgerwood during her tenure as the Center’s director is very appreciated. Besides intellectual guidance, institutional and collegial support is also crucial. Without the administrative support of April Davis and Jackie Joiner in the Department as well as Kim Wilson and Angie Dybas before their departure, I would be lost in navigating the University’s paperwork. The Center also gave me the opportunity to interact with wonderful Southeast Asianists across campus and take “weird” courses on Southeast Asia’s pre-colonial history and ghosts for instance. The Center’s staffs are also lovely people. Special thanks to Liz Denius for her help in editing my funny English.

Different parts of this dissertation have been presented at the Department and CSEAS on campus, LP3ES, Kyoto University’s Southeast Asian Studies in Asia Conference, workshops at the University of Sydney, Chulalongkorn University’s ENITAS Awardee Presentation, Sanata Dharma University in Yogyakarta at the invitation of the American Institute for Indonesian Studies (AIFIS), Akatiga Center for Social Analysis in Bandung, the worker-owned Diskaz Labor House Coffee shop in Jakarta, and Akar Foundation in Bengkulu. I thank the participants of these forums who gave me the opportunity to test my hunches and hypotheses, corroborate my empirical findings, and correct me when I was wrong. Additionally, conversations with Jeffrey Neilson, Edward Aspinall, Hanny Wijaya, and Muhammad Yunus Rafiq helped me to sharpen my arguments.

Additional support throughout my PhD is also appreciated. Kristen Borre from the Department of Anthropology on campus gave a good grounding on anthropological methods and was a key supporter for my fellowship and job applications. Gail Jacky at the University Writing Center saved me from any formatting errors. Scholarships from the American-Indonesian Cultural and Educational Foundation and a travel grant from the Rajawali Foundation helped me to stay afloat during my studies. The Dissertation Completion Fellowship from NIU Graduate School allowed me to focus on my dissertation writing and job hunting without teaching duties. I also thank Mas Nico Harjanto for his continuous support, Bang Umar Abdullah for his help with several grant applications, Bang Djayadi Hanan for convincing me to go to the United States for graduate training, and Thushara Dibley at the University of Sydney for her help with my job search documents. Special thanks also to coffeehouses in DeKalb and elsewhere –places at which I did a significant portion of my writing throughout my Ph.D. program and injected myself with an unhealthy amount of caffeine on a regular basis – without which, I would never have survived grad school.

This logistics-heavy research would not be possible without the support of so many people on the field. In Serang, my entry to the villages was facilitated by the T4D Project and its local NGO partner, PATTIRO. I would like to thank Jenna Juwono from the T4D Project and the PATTIRO staffs – Panji, Subhan, Angga, Ari, and Anty – for their help. I would also like thank activists at Rekonvasi Bhumi, particularly Nana Rahadian and Nuril who shared their experience and facilitated my entry to the Cidanau peasant communities. But above all, I would like to thank the community members in the villages in which I conducted my research. They must be wondering why on earth this random city boy became interested in their lives, but nonetheless they invited me for late-night talks over coffee and cigarettes and all sorts of community events. In particular, I should mention the great contribution of Kang Rohili, one of my best friends in the field. Kang Rohili’s family kindly hosted me during my fieldwork period. Thank you, Bu Haji, kakangs, and teteh. Kang Rohili’s willingness to share his rich life and collaborate with me for our ongoing research project – his life history – is very much appreciated. I promise that we will get it done! Conversations with Uday Suhada, Oom Dipo, Utang A. Madjid, and several officials helped me to better understand their views and the local context and dynamics. Mas Abdul Hamid, a veteran Banten researcher, connected me with some key informants and shared his insights on all things Bantenese. Any researcher interested in the study of Banten Province should consult him and will certainly benefit from doing that. I would also like to recognize the help of my research assistant, Abdul Haris “Djarot” Djiwandono, and his willingness to share his perspectives as a student activist.

In Makassar and Bulukumba, tons of individuals also helped me. Thanks to Bang Taslim, Bang Asfar, Kak Asrul, and Kak Amran, for facilitating my entry to Bulukumba and opening so many doors. Kak Yani and Bung Rahmat in Makassar convinced me to share my research experience and engage with key activists and scholarly communities in the town. Mustaqim helped to locate some key articles at Fajar daily. Comrades at the Bulukumba branch of the Alliance for Agrarian Reform Movement (AGRA) – Bung Njet, Bung Gatot, Bung Purna, Bung Edi, Kak Lolo, Che’ Konang, and many others – kindly shared their experience and welcomed me in their activities – including impromptu dinners with all sorts of fresh seafood, including grilled stingray (boy it was really good – your generosity knows no limit, Che’ Konang!). To the peasant communities in both upland and lowland Bulukumba, I also express my gratitude. Special thanks to Pak Sukardi and Pak Amiruddin as well as their families for hosting me and sharing their advocacy experience. I also appreciate the help of other activists, journalists, and members of the peasant community and the indigenous people of Kajang. In particular, I must name Kak Armin, Kak Iwan, Pak Salassa, Anto, Amrul, Bu Sunarti Sain, Bung Adam, and Bung Ari. To these people, let me say it out loud once more: panjang umur perlawanan! Insights from several local officials, particularly Tomy Satria, Andi Bau Amal, and Misbawati A Wawo, also helped me gain a more comprehensive understanding of agrarian politics in the district.

In North Bengkulu, my last district case study, I thank the following individuals: Bang Erwin, Bang Yogi, Bang Andom, Bang Warman, Mba Dinar, and Bung Oky at Akar Foundation. Bang Giran, Bang Wawan, Bang Marhen, Bang Dedi, Pak Parno, Pak Hari, and other members of the Bengkulu Peasant Union (STaB). Pak Parno and Pak Hari as well as their families also kindly hosted me during my field research in their communities. Muspani, for sharing his insights. Bang Karjiyo and Pak Warsiman at North Bengkulu’s local daily, Radar Utara. Pihan Pino and Zaky Antoni at Rakyat Bengkulu. Bang Rheeno and Bang Mardhian, who kept me company in Arga Makmur. These people have shared their experience, helped in locating key data and archives, and encouraged me to share my research experience with the broader activist and peasant communities in North Bengkulu. Equally important, I would also like to thank Rahmi Hartarti’s family in Arga Makmur and Kota Bengkulu, who convinced me to take the needed occasional breaks from research to enjoy the good things in life, such as devouring grilled fish, taking a long walk at the traditional markets, or simply chilling around over a glass of fresh pineapple juice. Thank you, Oom, Tante, Pakde, and Bude.

Sadly, over the course of my PhD studies, I lost a number of friends and mentors who passed away. The passing of Utomo Dananjaya, a long-time progressive Muslim activist; Dede Farokhah, a young female worker and a community activist in Serang; and Syahrir Abu Rahmat, a preacher-turned-movement organizer in Bulukumba, is surely a blow for Indonesia’s social movement landscape and a great personal loss for me. Mas Tom was a great supporter for my intellectual development. Teh Ojong and Ustadz Bucek went beyond their “call of duty” as local interlocutors and became my close friends in the field.

I also thank the following people’s organizations for their help with my fieldwork and continuing collaboration in research and movement organizing activities: AGRA, STaB, the Confederation of Indonesian People’s Movements (KPRI), the Working People’s Party (PRP), the Progressive Islam Forum (FIP), the Nahdliyyin Front for Natural Resource Sovereignty (FNKSDA), Purusha Research Cooperative, Pusaka Foundation, the Mining Advocacy Network (JATAM), the Consortium for Agrarian Reform (KPA), Sajogyo Institute, and the Church of Grace Community – Reformed Baptist Salemba (GKA). The help of the following individuals during my research also deserves to be mentioned: Aip Saifullah, Anwar “Sastro” Ma’ruf, Gunawan, Hizkia Yosie Polimpung, Iwan Nurdin, Muhammad Zaki Hussein, Parid Ridwanuddin, and Roy Murtadho. Support from IndoProgress comrades, especially Coen Pontoh – the Chief Editor, keeps my effort to bridge activism and scholarly endeavors on track. I would also like to recognize the help of several other activists. Although we had a fair share of disagreements and parted ways, it is only fair that I acknowledge their help for my research.

Without the help and inspiration of mentors at my previous institutions – Edgar Porter, A Mani, and Joseph Progler at Ritsumeikan Asia Pacific University and Elizabeth Collins at Ohio University – I would not have been convinced and/or able to undertake a Ph.D. in the United States. So thank you, Porter-Sensei, Mani-Sensei, Progler-Sensei, and Ibu Collins.

My stay in DeKalb would be much less enjoyable without the cheerful support from the Indonesian community and my fellow graduate school colleagues. For that, I thank my DeKalb Mafia Housemates – Afrimadona, Azriansyah Agoes, and Eunji Won – as well as others, in alphabetical and household order – Ali Akrom and Lily Akrom, Dani Muhtada and Hikmi Zain, Lensi Handayani and Elvi Gogo, Sirojuddin Arif and Iim Halimatussadiyah, Ronnie Nataatmadja and Gantina Setiawati, Rahmi Hartarti Aoyama, Riza Alen, Sinta Febrina, Silvia Ginting, Sura Ginting, Testriono and Nurseha, Titik Firawati, the kids, and obviously, Srie Ramli and Tunru Lambogo, the chief elders and godparents of Indonesians in the town. The support of my departmental colleagues, especially the 2012 cohort and fellow international students in the department, has been crucial in every step of the arduous Ph.D. training: the long coursework phase, the painful rite of initiation called the Ph.D. candidacies, the adventurous field research, and the never-ending dissertation writing. I also thank the Indonesian community in Athens, Ohio, who welcomed me during my nine-month stay at Ohio University before transitioning to NIU. In particular, I have to thank Airlangga Dermawan, Lina Himawan, and Yazid Sururi for their help.

And this leads me to the more personal part. For the newfound and sustained friendship, I thank, in alphabetical order – Achmad Ramadhan, Aini Wilinsen, Azhar Irfansyah, Azka Fahriza, Fajar Arrizque, Fildzah Izzati, Henny Meilina, Prita Rifianti, Rilla Qalbi, Rio Apinino, and Yogie Permana. Folks, thank you for helping me keep my sanity during my stay in Jakarta. I also thank my fellow comrades at FIP and other social movement collectives. Gilang Andi Pradana is one of my best friends and a fellow racer in this hell of a ride called the Ph.D. training. Sony Karsono and Yusran Darmawan are my gurus. They convinced me not to quit during my most pessimistic moments. In brief, I owe these guys a lot.

Of course, the last paragraph should be dedicated for my family – my parents and my siblings. They wait patiently and continue to be my biggest supporters. They encourage life exploration and tolerate my unusual life choices. My apologies for my absence. I cannot thank them enough. I hope I can continue on a less traveled path and take care of them. My biggest thanks go to my mom – thank you for showing me through example to be a stubborn, critical, and committed life fighter. I will continue to fight the good fight.

May God bless all of them. Victoria acerta!

DEDICATION

For peasants and other working people in Indonesia and elsewhere

Come, join in the only battle wherein no man can fail,

Where whoso fadeth and dieth, yet his deed shall still prevail.”

(William Morris, “The Day is Coming”)

Call for Paper: Land Rights Movements in Asia, ASAA 2018, Sydney, July 3-5, 2018

I’m organizing a panel on land rights movements in Asia for the Asian Studies Association in Australia next year in Sydney. Proposals are welcome!

Call for Papers

Land Rights Movements in Asia

Looking for contributors to join this panel for the Asian Studies Association of Australia

Conference, Sydney, July 3-5, 2018. 

Throughout Asia, land-grabbing and other forms of agrarian dispossession have intensified

in recent decades. As a result, various social movements, such as peasant, environmental, indigenous people’s, and urban poor movements, have sprung up and mobilized to advocate for land rights and influence state land policies. Plenty have been written on local and national case studies, but multi-country and region-wide analyses of this phenomenon are still relatively underexplored. This panel, therefore, seeks to comparatively discuss Asian land rights movements. We welcome paper proposals on any aspects of movements for land rights (and other related topics) in the region

Abstracts are due on 31 October 2017. Please send your abstract to convenor, Iqra Anugrah (ianugrah1[at]niu.edu)

For further information about the conference, please visit:

https://sydney.edu.au/sydney-southeast-asia-centre/events/Asian-Studies-Association-of-Australia-Conference-2018.html

It’s a Wrap!

Finally, after spending two years in Indonesia for dissertation research I have an announcement: my fieldwork has come to an end!

What was expected to be a year-long research ended up as two-years stay in the country – in fact, my longest stay after high school. Over the course of my fieldwork, I – rather unsurprisingly I’d say – ended up doing or getting involved in things outside of my research activities too. Essentially, it is a re-engagement with the Indonesian social movement landscape. I have to emphasize that this is not a bad thing. In fact, it helps a lot with my research.

Now, my days in Indonesia are numbered. I got my visa already and booked my flight back to my home institution, NIU. On August 21 I’ll be heading back to the US. Time indeed flies.

I will still go back for sure, but for now, let me say thank you very much for the many people, informants and good samaritans, comrades and colleagues, friends and families, who’ve helped me along the way. I can never repay your kindness – but let it be known that your contribution will always be remembered and acknowledged.

So au revoir! On to the writing phase!

Ramadhan’s To-Read-List

The last week of my fieldwork in Bengkulu coincides with the first week of Ramadhan – the Muslim fasting month. Given that I have more time for reading (for pleasure) in the last one month or so, I somehow managed to come up with this reading list:

On Political Islam

On Labor Politics

Having something to read on the side while working on your dissertation project is fun. It keeps your sanity too.

For the Late Ajarn Danny

Ajarn DannyThis was literally my last picture with the late Professor Danny Unger. Taken last year when I attended a conference in Bangkok, it was also my last time to meet him in person. Great minds oftentimes gone too soon.
A specialist on Comparative Politics and Southeast Asian Studies particularly Thailand, his vast knowledge on politics and stuff never failed to fascinate me (though I figured he had more collections of novels and other literary works than books on politics at his house). This is the guy whom I referred to as, just like the way I introduced him to my students, “the guy who knows (almost) everything.” Like, seriously he can talk about stuff – Chinese rural politics in revolutionary transition, early modern state formation processes in Western Europe, debates in philosophy of science, you name it. I had the privilege to work with him as a teaching assistant, a graduate student, and a junior colleague. I also enjoyed every class that I took with him.I will remember many things about him – his intelligence, warmth, and supportive attitude toward young scholars in training. His hilarious expressions and clumsiness (once he asked me to google search and put some pictures for his class presentations, oh and don’t even start asking me about those unfoldered files flooding his desktop). Oh, mustn’t forget his peculiar hobby of woodworking.

My colleagues and I will certainly cherish our memories of him. He set the example for many of us in the field.

Goodbye, Ajarn Danny Unger. May you rest in peace. You will be greatly missed.

*For another beautiful obituary by T.F. Rhoden, see this link.

Quick Updates from the Field

It’s been a while since I write a blog post on this website! The last couple of months have been very busy for me – I wasn’t only doing my research but also, inevitably, involved in some activist work. So I ended up staying in Jakarta longer than I expected, but eventually I was able to spare some time for my last round of fieldwork. I made it, so here I am, in Bengkulu. To be more exact, I will spend the next two months in North Bengkulu District, looking at the evolving relationship between the Bengkulu Peasant Union (Serikat Tani Bengkulu, STaB) and the local elites in post-authoritarian era. Some elaboration on this dynamics have been written here (especially in this chapter), but the data only cover up until 2007. More still needs to be written about STaB and the North Bengkulu peasants, which is why I am here.

So far it’s been a productive fieldwork – I finished conducting several interviews and got hold of some key documents on the land conflict between local peasants and plantation companies. Overall, it’s a good start. I’m gonna be busy, and expect more to come in the next couple of weeks.

Ah, it feels good to be back on the field again.

Para Pejuang Kendeng

Oleh: Iqra Anugrah

NYARIS tiga tahun sudah para petani Kendeng melakukan perlawanan menghadapi PT Semen Indonesia. Terhitung sejak Juni 2014, para petani melakukan protes dengan berbagai cara, termasuk dengan mendirikan tenda – yang kemudian beserta mushalla warga juga diluluhlantakkan – di depan pabrik semen. Jikalau dihitung dari tahun 2006, ketika lawan masih bernama PT Semen Gresik, maka hampir satu dekade sudah gelombang perlawanan para petani Kendeng berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, saya mencoba terlibat dalam aksi perlawanan ini, terutama akhir-akhir ini ketika para sedulur melancarkan aksi cor kaki di depan Istana Negara.

Tujuan perlawanan ini jelas: ini masalah penghidupan, juga lingkungan, dan yang terpenting, hak. Rasanya, tidak sulit untuk memahami ini. Dalam kenyataannya, pesan ini begitu kabur dan terdistorsi. Para sedulur Kendeng mungkin sudah kenyang mendapatkan segala macam cap: warga-warga lugu yang gampang ditipu dan dihasut, massa bayaran, provokator, hingga yang paling lucu menurut saya, anti-NKRI. Sialnya lagi, liputan berita ini juga hanya sayup-sayup terdengar, tertutupi oleh berita-berita konflik elit – termasuk soal pilkada Jakarta sialan itu.

Tapi para sedulur tidak menyerah.

Tidak sekali saya dengar celetukan bernada resah yang muncul di kalangan aktivis: Bagaimana mungkin berita tentang upaya perlawanan ini dipelintir sedemikian rupa? Kok bisa? Lantas, saya menjawab: mengapa heran?

Tidak perlu heran apabila perlawanan para sedulur di Kendeng dan juga perlawanan-perlawanan kaum tani di berbagai tempat lainnya di Indonesia sering mendapatkan cap-cap peyoratif. Karena, dalam sejarahnya, para penguasa dan kelas-kelas yang menindas selalu berkepentingan untuk mendiskreditkan gerakan rakyat. Gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri jajahan dicap sebagai ‘para provokator’, gerakan hak-hak sipil di Barat dilabeli ‘terlalu radikal’, gerakan buruh dianggap sebagai ‘tukang bikin onar yang bikin macet jalan’, gerakan perempuan dituding ‘melanggar norma-norma kesusilaan’, gerakan kaum miskin kota dicurigai ‘rawan ditunggangi.’ Dan seterusnya dan seterusnya.

Sudah dari sononya, bahwa, dalam masyarakat kelas, tudingan-tudingan picik terhadap gerakan rakyat seperti ini akan selalu muncul.

Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila dalam beberapa minggu terakhir muncul komentar-komentar bernada nyinyir dan melecehkan maupun sikap diam seribu bahasa yang tidak kalah memuakkannya. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Azam Azman Natawijaya adalah triumvirat penguasa dari lapis kekuasaan yang berbeda – kepala eksekutif nasional, kepala daerah, dan unsur pimpinan parlemen – yang sikap politiknya melegitimasi berdirinya pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng. Atau, dalam bahasa yang lebih gamblang, jikalau anda anti political correctness yang berlebihan, melegitimasi perampasan tanah besar-besaran, penghancuran penghidupan masyarakat agraris, dan krisis ekologis akut di daerah tersebut serta memberi bahan bagi proyek-proyek pembangunan skala besar yang menghisap hasil kerja dan penghidupan rakyat di banyak tempat di nusantara.

Ganjar, si Marhaen gadungan itu, mengeluarkan izin baru pembangunan pabrik PT Semen Indonesia yang berarti melanggar putusan Mahkamah Agung yang sudah membatalkan izin tersebut. Kata Jokowi, “urusan daerah bukan urusan saya.” Apa yang mau diharapkan dari seorang presiden developmentalis pro-investasi berjubah baru? Komentar si bedebah Azam? Tidak perlu ditanggapi, karena isi kepalanya mungkin tidak lebih berharga dari adukan semen yang sudah terlalu lama ditinggal. Toh, dengan komentar sopan maupun kurang ajar, diinjak penguasa bajingan mau bagaimanapun tidak enak rasanya.

Kita daftar dan sebut lagi contoh-contoh lain yang tidak kalah menjengkelkannya. Sebut saja dua nama ‘tokoh kebudayaan’ apkiran: Timur Sinar Suprabana dan Denny Siregar. Si Pak Tua Timur dengan pongahnya membuat komentar nyinyir atas aksi cor kaki para sedulur. Seakan berlomba dengan Timur, Denny Siregar – yang tidak mau datang ke diskusi dan debat terbuka karena baper duluan (yaelah katanya Deadpool, belum diserang kok sudah kalah walkout?) – menuding bahwa aksi para sedulur Kendeng, yang telah berlangsung berhari-hari itu hingga sekarang, adalah aksi yang dikompori oleh aktivis dengan tujuan-tujuan tertentu yang menyengsarakan rakyat. Mereka, entah sadar maupun tidak, dengan orderan maupun tidak, sesungguhnya telah melakukan kekerasaan kebudayaan untuk mendiskreditkan gerakan-gerakan rakyat. Mereka, dengan puisi-puisi dan esai-esai mereka yang lebih hancur kualitasnya dengan kertas pembungkus gorengan atau tisu toilet, telah melayani kepentingan rezim.

Dengan kata lain, para penguasa dan budayawan gadungan ini adalah musuh-musuh rakyat baru!

Bagaimana dengan para ‘aktivis’ di lingkaran kekuasaan istana. Oh kawan, janganlah kau mimpi di siang bolong. Mungkin perlu kau baca lagi debat-debat teoretik dan rujukan-rujukan sejarah soal gerakan rakyat, bukan hanya laporan riset empirisis maupun laporan donor hasil dari agitprop – agitasi proposal maksudnya. Mengharapkan mereka yang sudah masuk di dalam lingkaran kekuasan untuk mendorong perubahan tapi lupa akan potensi emansipatoris dari gerakan rakyat adalah tendensi borjuis kecil! Terakhir kali saya cek, sejumlah ‘intelektual-aktivis’ yang tergabung dalam Kantor Staf Presiden, seperti Teten Masduki dan Noer Fauzi Rachman hanya menjadi resepsionis dan jubir bagi presiden. Paling-paling komentar soal KLHS. Di mana suara mereka soal reforma agraria? Mudah-mudahan, sebagai seorang pegiat yang masih hijau dalam dunia gerakan rakyat, saya berdoa supaya mereka terhindar dari virus karirisme. Jikalau tidak, mungkin KSP sebaiknya ganti nama saja menjadi ini: Komprador Suruhan Pemodal!

Tentu saja, bagi para musuh rakyat – atau mereka yang mungkin pelan-pelang berpaling dari gerakan rakyat – tidaklah penting apabila klaim-klaim mereka sesungguhnya adalah klaim-klaim kontrarian yang berisi logika otak atik gathuk. Tidaklah penting juga apabila tuduhan-tuduhan mereka bersifat ahistoris dan tidak ilmiah. Toh, di zaman kapitalisme digital yang serba instan nan medioker ini, yang terpenting adalah bagaimana suatu klaim dapat secara cepat dan mudah dipakai untuk melayani kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik tertentu – yang pada ujungnya adalah reproduksi dan penguatan hierarkhi dari masyarakat kelas itu sendiri. Hoax maupun onggokan informasi-informasi sampah lainnya memiliki fungsi yang sama dengan desas-desus seputar Peristiwa G30S atau Kebakaran Reichstag: digunakan untuk melayani kepentingan yang berkuasa dan mendiskreditkan gerakan rakyat.

Tetapi, justru persis di masa seperti inilah, adalah penting untuk kembali melihat sejarah perjuangan rakyat. Kaum tani di nusantara punya sejarah perlawanan panjang melawan ragam-ragam bentuk penindasan, mulai dari tarif pajak yang terlalu tinggi hingga gangguan atas corak hidup subsisten mereka oleh apa yang disebut sebagai relasi sosial kapitalis. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Abad ke-20, sebagaimana dicatat oleh Eric Wolf, menyaksikan perlawanan skala besar kaum tani menghadapi neokolonialisme dan imperialisme yang semangatnya sering sekali berkelit-kelindan dengan semangat perjuangan pembebasan nasional, mulai dari Russia, Meksiko, Tiongkok, Aljazair, Kuba, hingga Vietnam. Bahkan, ketika perlawanan kaum tani tidak mengambil corak yang terbuka atau manifes, perlawanan tersebut tetap berlanjut dalam ranah yang lebih keseharian, melalui gosip, memberikan hasil ternak dan tani berkualitas rendah di kala penarikan pajak sebagai bentuk protes, sarkasme, dan lain sebagainya.

Juga, kaum tani, sebagaimana bagian dari kelas yang tertindas, memiliki imajinasi atas dan kemampuan untuk membayangkan tatanan yang lebih baik – dunia di mana kesejahteraan dan kemajuan dapat dimiliki dan dinikmati secara bersama. Sebagai contoh, satu episode sejarah yang orang sering lupa dari masa-masa awal pergolakan Restorasi Meiji adalah partisipasi petani dalam episode ‘Zaman Bergerak’ tersebut. Dalam The Culture of the Meiji Period, Daikichi Irokawa mencatat bagaimana para petani dan pemuda desa di banyak tempat bereksperimen dalam bidang ketatanegaraan dengan merancang draft-draft konstitusi menyambut zaman yang baru. Contoh lain: dalam amatan saya dalam kerja-kerja lapangan yang saya lakukan untuk penelitian, saya menyaksikan bagaimana para bapak dan ibu tani mengasah insting ekonomi mereka, merumuskan aksi-aksi politik kolektif dan membayangkan tatanan ekonomi yang lebih baik, serta memiliki kemampuan humor dan sarkasme yang luar biasa jenakanya: dalam satu kesempatan, saya pernah ngobrol dengan sejumlah kawan petani di Sulawesi yang menyindir sejumlah pejabat dan politisi yang ngotot dengan usulan konservasi anti-manusia. Kata mereka, “ya silahkan saja bapak usir kami dari tempat tinggal kami, tapi nanti kalau ada penyuluhan atau pemilu biar yang datang paling rusa dan babi hutan, kan mereka yang bapak lindungi, bukan kami.” Sebuah lelucon satir yang hanya dapat muncul dari mereka yang tetap konsisten melawan sembari mencintai hidup.

Ini semua mungkin dianggap tidak penting oleh para musuh rakyat itu. Atau, lebih tepatnya, mereka jangan-jangan tidak memiliki kemampuan untuk memahami hal-hal seperti itu. Jangankan terlibat dalam gerakan rakyat, membaca literatur soal kehidupaan petani pedesaan (atau mencoba memahami strategi subsistensi para petani yang berbasis pada hubungan kekerabatan sosial pedesaan, yang menjelaskan mengapa para petani Kendeng tidak mau menjadi buruh pabrik semen dan dapat meninggalkan keluarga mereka di kampung halaman), atau melakukan riset-riset kecil soal keagrariaan saja mungkin mereka tidak mampu dan tidak mau. Mungkin karena mereka kebanyakan makan rente pemodal atau menulis dengan ejaan untuk bahan lawakan receh se!per!ti! i!ni! Toh, mereka dengan senang hati merayakan bias-bias kelas, urban, dan gender yang mereka idap – sebuah simptom dari penyakit waham borjuis yang sudah begitu mendarah daging di dalam diri mereka. Mereka, yang imajinasinya kerdil dan miskin itu, sesungguhnya hanya merapal dan memamah biak sangkaan-sangkaan dan mantra-mantra Orde Baru – oh, warga (kategori subyek politis yang dinetralkan dan didepolitisasi) butuh pembangunan (ya, pembangunan kapitalis yang mengekstraksi surplus dari pedesaan untuk kepentingan orang-orang kota dan elit-elit desa) dan mereka yang melawan kalau bukan provokator (orang desa/petani bodoh dan gampang kena hasutan) berarti pasukan bayaran (lupa bahwa solidaritas kolektif dapat muncul dari pengalaman bersama dalam ketertindasan, lagipula, soal bayaran, hello, ngaca dulu dong). Sialnya, retorika-retorika sampah ini kemudian dilepeh lagi dan dikunyah beramai-ramai oleh lapisan-lapisan borjuis unyil karbitan yang makin hari kian kelihatan bagai jamur yang tumbuh setelah hujan.

Saya tidak heran: toh klaim gerakan rakyat memang selalu membuat penguasa bergetar. Karenanya, berjuta fitnah dilancarkan untuk melemahkan klaim tersebut. Tetapi para sedulur tidak menyerah.

Aksi cor semen bukanlah suatu kesia-siaan. Besar kemungkinan, proyek investasi besar-besaran rezim Jokowi tetap berjalan, pembangunan pabrik semen hanya berhenti untuk sementara, dan isu-isu agraria kembali akan menjadi ‘angin lalu’ yang tertutupi oleh isu-isu elit yang lain – perang oligark dalam pilkadal Jakarta misalnya (buzzer Anies maupun Ahok, I’m looking at you). Tetapi, ia telah berhasil mengundang gelombang perlawanan yang lebih besar. Pertama-tama dan terutama, para sedulur telah memberikan teladan yang luar biasa: keberanian dan konsistensi dalam melawan. Aksi cor kaki bukanlah aksi siksa diri yang egoistis, sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak. Jauh dari itu, aksi cor kaki adalah aksi perlawanan yang politis, militan, dan penuh integritas. Aksi tersebut hanya dapat muncul dari mereka yang mencintai hidup dan penghidupannya dan setia akan cita-cita kemajuan bersama – alih-alih bagi segelintir elit – yang dapat dinikmati oleh semua. Aksi cor kaki para sedulur juga mengingatkan kita kembali akan satu hal yang penting: perlunya untuk tetap setia di garis massa. Kita bisa memproblematisir dan mengkritik strategi dan taktik dari aksi tersebut (tentu saja, secara konstruktif alih-alih nyinyir), tetapi, setidak-tidaknya, aksi ini telah berhasil menjadi momentum untuk mengumpulkan energi perlawanan, memperluas titik perlawanan, dan menjadi bahan untuk merumuskan lokus perlawanan baru melawan rezim developmentalis pro-investasinya Jokowi.

Tugas untuk kita ke depan adalah untuk mempertajam dan semakin memprogresifkan perlawanan ini. Untuk itu, izinkanlah saya menyebutkan beberapa usulan yang dapat didiskusikan dan diperdebatkan lebih lanjut. Pertama, orientasi ke depan dari gelombang perlawanan anti-semen, yang mulai menjamur dari Jawa hingga Sulawesi, perlu diperluas, diperdalam, dan dimajukan, bukan hanya mencakup persoalan Pegunungan Kendeng dan berorientasi defensif-moderat untuk menolak pembangunan pabrik semen, tapi dimajukan menjadi suatu formasi aliansi nasional yang menolak pembangunan infrastruktur ala rezim investasi Jokowi dengan orientasi dan tendensi politik anti-neoliberalisme.

Kedua, skala dan cakupan waktu dari aksi-aksi perlawanan ini perlu diperluas dan diperpanjang secara strategis, mengingat keterbatasan waktu dan logistik yang kita punya. Agenda-agenda mobilisasi ke depan dalam momen-momen tertentu, termasuk agenda internasionalisasi isu pabrik semen di Pegunungan Kendeng dan isu-isu agraria lain di Indonesia menjadi penting.

Ketiga, identifikasi kasus-kasus agraria lain yang tidak kalah penting dan mendesak menjadi penting, di Tulang Bawang (Lampung) dan Sukamulya (Jawa Barat) misalnya, serta kasus-kasus kriminalisasi petani dan aktivis agraria di banyak tempat. Kasus pabrik semen di Pegunungan Kendeng yang sekarang sedang mendapatkan spotlight perlu dijadikan bahan untuk menaikan leverage atau posisi tawar gerakan sosial dalam mengadvokasi isu-isu agraria lain tersebut.

Keempat, upaya kerja-kerja ilmiah (atau dalam bahasa yang lebih ortodoks, saintifik dan teoretik) dan kerja-kerja framing advokasi (atau, lagi-lagi dalam bahasa yang lebih ortodoks, agitasi dan propaganda) juga menjadi penting dalam aksi-aksi perlawanan seperti ini. Studi-studi agraria dan kajian-kajian teoretik soal strategi gerakan sosial menjadi semakin perlu untuk dikaji untuk menjadi bahan advokasi dan pendidikan publik serta pembuatan strategi politik. Setidaknya, ada dua poin penting yang dapat kita tarik dari aksi perlawanan para sedulur yaitu 1) bahwa perjuangan para sedulur dan kelas tertindas lainnya adalah perjuangan atas hak yang berarti memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat lain yang juga tertindas – kita dan 2) perjuangan gerakan sosial perlu meninggalkan strategi bergantung dan berharap kepada elit – termasuk para aktivis yang sudah masuk ke dalam lingkaran rezim – dan perlu kembali serius memperbincangkan strategi politik yang lebih independen dan progresif, termasuk strategi untuk merebut kekuasaan dan melampaui logika kedaulatan negara.

Terakhir, pelajaran berharga lain yang tidak kalah pentingnya dari strategi perlawanan para sedulur Kendeng adalah keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam gerakan sosial. Ini dibutuhkan bukan hanya untuk meradikalisasi arah dan tujuan dari gerakan sosial itu sendiri tapi juga untuk mendorong terwujudnya emansipasi seluas-luasnya dengan berlatih di ranah yang paling dekat.

Perlawanan tentu saja masih panjang. Hari-hari penuh protes belum akan berakhir, dan semangat perlawanan masih terasa pekat di udara. Namun, setidaknya kita tahu, bahwa klaim-klaim para elit dan makelar kariris pendukungnya semakin lama semakin terblejeti, gelombang perlawanan semakin meluas, dan tentu saja, pengorbanan Yu Patmi dan para kawan-kawan tani lainnya tidak akan sia-sia.***

Saya berterima kasih kepada sejumlah rekan terutama kawan-kawan Forum Islam Progresif (FIP) atas diskusi dan kerja bersama yang cukup intens dalam persoalan Kendeng yang hasilnya menjadi bahan untuk penulisan artikel ini.

Penulis adalah editor IndoPROGRESS dan pembelajar isu-isu agraria