Neoliberalisme di Asia: Antara Mitos dan Realitas

Neoliberalisme di Asia: Antara Mitos dan Realitas

OLEH INDOPROGRESS ⋅ MARET 1, 2011 ⋅ TINGGALKAN KOMENTAR

Iqra Anugrah

Iqra Anugrah
Iqra Anugrah, Kandidat Master di Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang. 

http://indoprogress.com/2011/03/01/neoliberalisme-di-asia-antara-mitos-dan-realitas/

PERTUMBUHAN, kemajuan, dan inovasi. Kata-kata ini seakan-akan menggambarkan citra Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara, dalam pentas politik dan ekonomi global. Disebut-sebut sebagai kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, Asia menjadi salah satu penggerak transaksi ekonomi global dan berbagai aktivitas trasnasional lainnya. Berbagai klaim atas kemajuan di Asia, seringkali dialamatkan kepada kebijakan ekonomi yang pragmatis dan “nilai-nilai Asia” (Asian Values). Penjelasan triumfalisme Asia ini kembali menghangat setelah Kishore Mahbubani (2008) menulis bahwa kebangkitan Asia juga merupakan kebangkitan peradaban non-Barat (The Rise of the Rest), yang berdasarkan kepada pragmatisme Asia dalam menghadapi tantangan global. Meskipun penafsiran ini dapat menggambarkan perkembangan taraf sosio-ekonomi dan posisi strategis global Asia, pembacaan ini cenderung simplisitik dan karenanya diperlukan suatu analisa yang lebih komprehensif

Dengan demikian,  pengujian kembali terhadap tesis-tesis ini diperlukan karena Asia sebagai sebuah entitas, meskipun memiliki banyak pencapaian, tidak lepas dari berbagai masalah. Berbagai macam survei, laporan, dan berita menunjukkan bahwa Asia masih merupakan salah satu ladang subur kemiskinan, kesenjangan, dan otoritarianisme. Kelesuan ekonomi Jepang, kebangkitan Cina, meningkatnya persaingan geopolitik dan keamanan serta arus demokratisasi semakin menambah kompleksitas Asia. Di tengah-tengah arus perubahan ini, neoliberalisme tetap bertahan sebagai sebuah pedoman bagi pemerintahan negara-negara dan regional order di Asia. Dominasi Neoliberalisme di Asia pada akhirnya berujung pada dua pertanyaan: bagaimana Neoliberalisme bekerja dan memengaruhi diskursus politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Asia dan bagaimana masa depan Neoliberalisme di Asia?

Apa itu Neoliberalisme?

Kesenjangan dan kontradiksi di Asia, muncul disebabkan oleh dominasi logika transnasionalitas dan logika pasar dalam dimensi politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dominasi ini seringkali menaklukkan otoritas negara-bangsa (nation-state) dan memarginalisasikan konsep lokalitas dan nilai-nilai lokal. Atas nama globalisasi dan kemajuan ekonomi, hasrat untuk mengundang arus kapital dan investasi menjadi panglima yang menuntut baik negara dan masyarakat untuk beroperasi menurut diskursus tersebut, yaitu Neoliberalisme, yang dapat diartikan sebagai free-marketism atau dominasi pasar bebas dan ekonomi laissez-faire sebagai suatu pandangan yang mendikte struktur pemerintahan dan hubungan internasional dalam suatu kawasan. Pengertian Neoliberalisme di sini, tidak hanya merujuk kepada konteks filsafat dan politik-ekonominya, tetapi juga merujuk kepada aspek sosiologis dan historisnya, yang sedikit banyak memengaruhi tata pemerintahan di Asia.

Berdasarkan asumsi-asumsi dasar bahwa manusia dan institusi adalah agen rasional yang bergerak berdasarkan logika pasar yang murni, Neoliberalisme pada dasarnya memimpikan suatu utopia di mana efisiensi mekanisme pasar menjadi dasar dari segala aktivitas politik, ekonomi, dan sosial. Sosiolog kenamaan asal Perancis, Pierrer Bourdieau (1998) mengkritisi utopia ini sebagai sekedar sebuah fiksi matematis yang alih-alih mendasarkan klaim-klaimnya pada pembacaan yang objektif atas kondisi riil masyarakat, utopia ini malah dibangun atas dasar-dasar yang abstrak. Lebih lanjut lagi, Thorsen (2009) dalam penjelasannya mengenai Neoliberalisme menyatakan, Neoliberalisme secara esensial memiliki fitur-fitur yang berbeda dengan Liberalisme modern dikarenakan oleh penekanannya pada mekanisme pasar yang sedikit atau tidak teregulasi sebagai pedoman yang utama dan menyeluruh bagi kehidupan publik.

Lalu, seperti apa mitos dan realitas neoliberalisme ini? Berikut ini beberapa contohnya:

Mitos 1: Neoliberalisme membawa kesejahteraan, keterbukaan dan perubahan

Realitas: Neoliberalisme meningkatkan kesenjangan dan justru melanggengkan kecenderungan otokratik pada sistem politik-ekonomi yang ada

Neoliberalisme (dengan huruf ‘N’ besar), selain dijadikan panduan kesuksesan ekonomi dan legitimasi politik berbagai rejim pemerintahan di Asia yang cenderung semi-demokratik, iliberal, atau otoriter, juga banyak dikritisi sebagai penyebab jatuhnya Asia ke dalam jurang Krisis Finansial 1998 dan merebaknya kebijakan publik yang kurang demokratis dan kurang peka terhadap permasalahan sosial, seperti pemangkasan anggaran sosial, kontrol terhadap serikat buruh, dan pengurangan intervensi pemerintah dalam ekonomi (Crotty & Dimsky, 1998; Hart-Landsberg, 2002). Neoliberalisme mengklaim, dengan memberikan komando politik dan ekonomi kepada pasar bebas maka kesejahteraan, keterbukaan, dan perubahan dapat digaransi. Namun demikian, ada beberapa fakta yang menarik bahwa janji-janji ini seakan-akan hanyalah bentuk lain dari “kesuksesan statistik” belaka.  Program restrukturisasi ekonomi a la IMF, Bank Dunia, dan institusi keuangan global lainnya, seperti relaksasi kontrol kapital oleh negara justru semakin menambah masalah baru, seperti yang terjadi di Indonesia dan Korea Selatan. Kesenjangan dalam standar hidup dan level sosio-ekonomi masyarakat semakin melebar dikarenakan kurang atau ketiadaan program-program sosial terutama di sektor kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Tidak hanya itu, kecenderungan otokratik dan koruptif pada sistem politik-ekonomi yang ada justru semakin langgeng. Tidak heran jika kartunis politik asal Meksiko, El Fisgon (2005) mengkritisi visi Neoliberal sebagai jauh panggang dari api. Indikator-indikator ekonomi secara makro ternyata tidak (pernah) cukup untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi di masyarakat.

Mitos 2: Neoliberalisme dapat bersanding mesra dengan retorika nilai-nilai Asia

Realitas : Neoliberalisme memanipulasi komunitarianisme Asia demi lancarnya arus kapital

Ada sebuah fakta yang menarik bahwa rejim neoliberal di Asia bekerja di bawah panjí “nilai-nilai Asia” yang berbasis komunitarianisme, baik itu Konfusianisme, Islam, dan lain-lain. Ironisnya, melalui slogan-slogan komunitarian inilah, rejim pembangunan otokratik (developmental state) menerapkan segenap agendanya yang berupa gabungan antara pendekatan liberal demi ekonomi pasar bebas transnasional dan pendekatan konservatif terhadap hak-hak sipil dan politik, atau disebut juga sebagai conservative free-marketism. Vedi Hadiz (2006) mengungkapkan bahwa meskipun retorika Asian Values seringkali dijadikan simbol perlawanan oleh para elit pemegang kekuasaan dan modal di Asia, pada kenyataannya kebijakan Neoliberal justru dipraktekkan oleh para elit di masing-masing negara tempat mereka berkuasa.

Lebih lanjut lagi, secara etnografis, hegemoni neoliberalisme dapat dilihat pada studi kasus Katharyne Mitchell (2004) tentang komunitas diáspora Hong Kong di Vancouver, Kanada, yang selain bermigrasi ke Kanada juga membawa sejumlah kapital yang cukup besar. Migrasi manusia dan kapital ini mengakibatkan perubahan pada lanskap sosial kota Vancouver, yang ditandai dengan menjulangnya gedung-gedung pencakar langit dan menyebarnya rumah-rumah megah yang disebut “rumah monster.” Migrasi dan perubahan lanskap sosial ini menyebabkan ketegangan antara warga Kaukasian, yang merupakan mayoritas di Kanada (White Canadians), yang menjunjung nilai-nilai liberalisme sosial yang bertumpu pada solidaritas dan kesetaraan dan pihak pemerintah yang didukung oleh asosiasi bisnis, akademisi, dan birokrasi yang memandang bahwa memastikan arus kapital dan daya saing dalam arus ekonomi global adalah keharusan sesuai semangat neoliberalisme. Pertentangan diskursus ini tercermin dalam manajemen dan konflik tata kota yang diwarnai oleh berbagai sentimen, dari kelas hingga etnisitas.

Dalam kaitannya dengan neoliberalisme, komunitarianisme Asia ibarat pepesan kosong, karena nilai-nilai yang dianggap identik dengan semangat komunitarianisme seperti solidaritas sosial, toleransi atas perbedaan dan keragaman serta penghargaan terhadap komunitas semakin tergerus oleh neoliberalisme.

Mitos 3: Neoliberalisme melemahkan kuasa negara-bangsa

Realitas: Negara-bangsa tidak melemah, melainkan bertransformasi dan memperkuat dirinya sesuai dengan logika neoliberal

Salah satu perdebatan terhangat mengenai Neoliberalisme adalah menafsirkan bagaimana Neoliberalisme memengaruhi negara dalam arus transnasionalitas. Kolumnis The New York Times Thomas Friedman (2005) dan ideolog Neokonservatif Francis Fukuyama (1992) menyatakan,  globalisasi (neoliberal) akan memudarkan batas-batas antar negara, membuat dunia datar (the world is flat), yang merupakan akhir dan puncak dari sejarah peradaba manusia (the end of history). Dalam nafas yang sama, meskipun memakai pradigma yang berbeda, dua pemikir kiri kontemporer, Michael Hardt dan Antonio Negri (2000) dalam Empire menafsirkan bahwa negara akan tunduk mengikuti arus kapital global. Bagi Hardt dan Negri, globalisasi neoliberal adalah kancah pertarungan antara kedaulatan modern yang ‘transedental,’  yang terpusat pada kekuasaan sang Pangeran (The Prince), yang ekuivalen dengan otoritas negara dalam berbagai bentuknya di konteks modern, vis-a-vis arus kapital yang ‘imanen’ yang menerjang batas-batas artifisial negara dan kedaulatan. Meskipun pada dasarnya kekuasaan negara dan kapital berpadu mesra pada awal perkembangannya, evolusi kuasa negara dari sekedar kedaulatan nasional (sovereignty) menjadi governmentalitas (governmentality) atau mekanisme untuk mengontrol warga negara menjadi titik mula perceraian dan konflik antara kedaulatan modern versus arus kapital transnasional yang mendikte kedaulatan dan melampaui batas-batas negara.

Sebaliknya, Aihwa Ong (2006), seorang antropolog terkemuka asal Asia Tenggara, berpendapat bahwa kapitalisme neoliberal tidaklah serta-merta melemahkan otoritas negara. Negara, dalam pandangan Ong, tidaklah melemah, melainkan menjadi semakin kuat karena ia bertransformasi dalam menghadapi transnasionalisme berdasarkan logika neoliberal. Dengan demikian, neoliberalisme, menurut Ong, adalah sebuah pengecualian (neoliberalism as exception) yang menjustifikasi berbagai praktek kekuasaan dan tata negara demi lancarnya arus kapital global ke dalam negara-bangsa. Praktek kekuasaan ini dijuluki sebagai graduated sovereignty, sebuah konsep pemerintahan yang menerapkan berbagai teknologi, dalam paradigma Foucaldian atau mekanisme inklusi dan eksklusi, memberi akses dan keuntungan dan juga membatasi akses tersebut terhadap sebagian kelompok dalam populasi suatu negara-bangsa. Kontrol militer atas aktivitas serikat buruh di Indonesia, promosi Islam Hadhari sebagai bukti kompabilitas nilai-nilai Asia dengan kapitalisme global, suka duka buruh migran perempuan, hingga berbagai zona ekonomi spesial di China dan Hong Kong adalah beberapa contoh bagaimana graduated sovereignty telah berhasil membawa developmentalisme menuju fase yang lebih sesuai dengan kuasa arus kapital global, yaitu post-developmentalisme yang juga tidak meninggalkan elemen-elemen otokratiknya.

Oleh karena itu, selain sebagai sebuah ideologi hegemonik, neoliberalisme (dengan huruf ‘n’ kecil) juga perlu dipahami sebagai seperangkat teknologi yang menyelaraskan dan memanipulasi kuasa negara, terutama dalam politik dan budaya, terhadap arus kapital global (Ong, 2007).

Perlunya Diskursus Alternatif

Derasnya pengaruh media sosial seperti Facebook dan Twitter serta pengaruh Revolusi Arab, membuat Asia kembali menyaksikan pergolakan dunia pasca Krisis Finansial 1997. Pergolakan ini sedikit banyak juga memengaruhi konstelasi politik-ekonomi dan keamanan di Asia Timur dan evolusi norma-norma regional di Asia Tenggara, yang merupakan suatu pertanda bahwa another Asia is possible. Namun demikian, perlu disadari bahwa Neoliberalisme masih merupakan diskursus hegemonik di Asia. Hardt dan Negri berpesan bahwa runtuhnya batas-batas dan kemunduran otoritas negara-bangsa baik dalam konteks global maupun nasional karena neoliberalisme, juga akan melumpuhkan wacana-wacana alternatif yang progresif dan internasionalis. Karena itu, diskursus alternatif yang kritis terhadap wacana neoliberalisme di Asia menjadi sebuah keperluan, jika tidak keniscayaan.***

Kepustakaan:

Bourdieau, Pierre. (1998). The essence of neoliberalism. Le Monde Diplomatique. Retrieved from http://mondediplo.com/1998/12/08bourdieu

Crotty, Jim & Dymski, Gary. (1998). “Can the Global Neoliberal Regime Survive Victory in Asia? The Political Economy of Asian Crisis”. International Papers in Political Economy, 5(2), 1-47.

El Fisgon. (2005). Menghadapi Globalisasi: Kiat Gombal Buat Pengusaha Kecil. Serpong: Marjin Kiri.

Fukuyama, Francis. (1992). The End of History and the Last Man. New York, NY: The Free Press

Friedman, Thomas. (2005). The World is Flat. New York, NY: Farrar, Straus, and Giroux.

Hadiz, Vedi R. (2006). Introduction. In Hadiz, Vedi R. (Eds.), Empire and Neoliberalism in Asia (pp. 1-20). Oxon, OX & New York, NY: Routledge.

Hardt, Michael & Negri, Antonio. (2000). Empire. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Hart-Landsberg, Martin. (2002). “The Mexican Experience with Neoliberalism: Critical Lessons for Korea and East Asia”. Retrieved from http://iss.gsnu.ac.kr/upfiles/publications/proceedings/martinhartlandsberg.pdf

Mahbubani, Kishore. (2008). The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East. New York, NY: Public Affairs.

Mithchell, Katharyne. (2004). Crossing the Neoliberal Line: Pacific Rim Migration and the Metropolis. Philadelphia, PA: Temple University Press.

Ong, Aihwa. (2006). Neoliberalism as Exception: Mutations in Citizenship and Sovereignty. Durham and London: Duke University Press.

Ong, Aihwa. (2007). “Boundary Crossings: Neoliberalism as a mobile technology”.  Transactions of the Institute of British Geographers, 32(3), 3-8.

Thorsen, Dag Einar. (2009). “The Neoliberal Challenge: What is Neoliberalism?”. Department of Political Science, University of Oslo Working Paper, 1-25.

The Decline of the West, the Rise of the Rest?

Book Review: The New Asian Hemisphere by Kishore Mahbubani

By Iqra Anugrah, APS3, 2011

Looking into our daily life, it seems that world is moving very fast. The winner today might be the loser tomorrow. Since the future is always uncertain, the dominator has always to be careful because the other may catch-up the position. In this kind of situation, new order will emerge, and cooperation will be the answer. This narrative is exactly the condition of our global politics today, as eloquently presented in The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East by Kishore Mahbubani, Former Singaporean Ambassador for the United Nations and Dean of Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapore.

Coming from Singapore, Mahbubani knows how Asia tries to develop and catch-up with Western power. Mahbubani argued that the strategy is to mix the best practice of the West within the framework of Asian values, something that he called as ‘Asian Pragmatism’ in his words. Nevertheless, as the rest of the world increase the speed of progress, the West feel challenged. In Mahbubani’s view, this is the proof of Western inconsistence and incompetence. In his words, the West should be happy that their mission to “civilize” other societies is successful. However, this mission brings another unexpected consequence: rising geopolitical power of Asian countries.  The West, particularly US, reluctant to see this, is massively trying to stop others from taking its position as the leader of the world. In other words, Western values are often not in the line with Western interests. This is why the high-speed growth of China and India is seen as threat.

In response to this phenomenon, Mahbubani answers with a very convincing statement: the West should respect other values and see the rest of the world as its partner. The failure of democratization of the Middle East for example, is happened because of Western ignorance to establish election without necessary democratic institutions and cultures such as rights of minority and rule of law. For Mahbubani, Asia already succeeded in applying best practices from the West, such as free-market economics, meritocracy, rule of law, culture of peace and education. Thus, it is the time for Asia not to dominate, but replicate Western success, and be the co-driver of human civilization. The solution, then, is to apply the three Ps: common principles for peaceful co-existence, partnership for the future, and pragmatism in solving the problem.

Until now, probably we can say that Mahbubani is one of the best representatives of the East to Western world. In his book, he showed the arrogance of the West, particularly US in dealing with other nations in international context. He showed how the West has been incompetent in answering today’s problems, and how Asian competence could be the answer to that problem. However, there are some things that we should keep in mind: although we probably have been successful, we should not close our eyes to lack of freedom in the so-called Asian societies. If we can have an open market, that why don’t we have open politics? If we can have free flow information, then doesn’t it mean that we should have free society? Recent movements and reforms in several Asian countries for greater freedom are the real proof. We already accomplished great achievements, and we can do even more. Mahbubani’s thesis brings a clear message for us: aim higher, and never abandon our hope.

*Published in The APU Times 21 January 2010 http://aputimes.com/index.php?option=com_content&view=article&id=213:the-decline-of-the-west,-the-rise-of-the-rest%3F&catid=2:insight&Itemid=189&lang=en