Katakan TIDAK Kepada Penjajahan Ekonomi: Mengapa Kemenangan Yunani adalah Kemenangan Kita

Katakan TIDAK Kepada Penjajahan Ekonomi: Mengapa Kemenangan Yunani adalah Kemenangan Kita

“Adalah…perlu untuk mengingat kembali satu aksiom dari materialisme historis: bahwa perjuangan antar kelas di dunia ini pada akhirnya diselesaikan di ranah politis –bukannya ekonomi atau kebudayaan – dari masyarakat.” (Sejarawan Marxis Perry Anderson (1974) dalam Lineages of the Absolutist State, hal. 11).

MOMEN yang mendebarkan itu akhirnya selesai sudah. Setelah berbulan-bulan menunggu sembari harap-harap cemas, rakyat Yunani berhasil mengekspresikan kedaulatannya. Perundingan pemerintahan Kiri-radikal SYRIZA yang dipimpin oleh duo Alexis Tsipras dan Yanis Varoufakis sebagai Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Yunani dengan pihak Troika – Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), Uni Eropa (European Union,EU), dan Bank Sentral Eropa (European Central Bank, ECB) – yang berlangsung secara alot dan tegang itu akhirnya membuahkan hasil. Melalui referendum ekonomi yang berlangsung 5 Juli kemarin – sebuah upaya inovatif dan radikal untuk memperluas partisipasi demokratik massa di luar isu-isu politik tradisional – sekitar 61% rakyat Yunani yang menyuarakan pendapatnya dalam referendum tersebut mengatakan OXI alias TIDAK kepada paket talangan ekonomi (bailout) yang mengedepankan kebijakan pengetatan (austerity) neoliberal ala Troika.

Kemenangan ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa bukan hanya bagi rakyat Yunani tetapi bagi seluruh rakyat pekerja dan gerakan-gerakan progresif di berbagai belahan dunia yang lain. Pencapaian ini menjadi penting karena ini menandakan kembalinya gelombang perlawanan kepada kapitalisme-neoliberal dengan berbagai moda ekspansi dan tatanan ekonomi-politiknya yang semakin ekspansif dewasa ini. Pencapaian ini juga memiliki dampak dan implikasi yang signifikan bagi masa depan politik rakyat pekerja di berbagai tempat lain. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari dan memahami secara baik bagaimana gerakan rakyat pekerja di Yunani yang menemukan artikulasinya melalui SYRIZA dapat membangun perlawanan mereka dan menerapkan agenda-agenda mereka secara cukup sukses dalam ranah kebijakan publik.

Sejarah politik di Yunani merupakan sejarah yang penuh pergolakan. Di masa-masa ‘turbulensi politik’ Yunani, yang kira-kira berlangsung menjelang Perang Dunia ke-II sampai dengan demokratisasi di tahun 1970an. Pertentangan di antara kubu Kiri dan Kanan yang ditambah dengan iklim politik internasional yang ekstrim berupa nuansa konfliktual dalam konteks anti-Fasisme dan Perang Dingin semakin mempertajam polarisasi politik di dalam negeri. Selama bertahun-tahun, kelompok-kelompok sayap Kanan mendominasi politik dan kebijakan publik di Yunani, sampai dengan liberalisasi politik di tengah dekade 1970an dan merebaknya kembali gerakan massa setelahnya. Alhasil, agenda-agenda dan organ-organ politik Kiri – mulai dari Kiri-reformis sampai dengan Kiri-radikal – mulai kembali mendapat panggung dalam politik Yunani.

Sampai kemudian Yunani bergabung dalam Uni Eropa (EU). Sebagaimana negara-negara anggota EU lain, Yunani harus ‘menyerahkan’ sebagian ranah kedaulatannya kepada institusi-institusi EU. Beberapa institusi tersebut dapat dikatakan cukup demokratik dalam artian mereka mengakomodir partisipasi massa dalam penyusunan lembaganya dan penerapan kebijakan produk lembaga atau institusi tersebut – seperti misalnya Parlemen EU. Tetapi tidak sedikit juga institusi-institusi EU yang cenderung ‘teknokratis’ dalam artiannya yang pejoratif, yang melihat politik, ekonomi, dan perkara kebijakan publik sebagai persoalan teknis semata dan akibatnya cenderung skeptis terhadap partisipasi dan kemampuan massa rakyat dan mencoba membatasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Almarhum Peter Mair (2015) dalam karya anumertanya, Ruling the Void: The Hollowing of Western Democracy,mencatat bagaimana kecenderungan ‘teknis’ tersebut semakin mencabut politik dan kebijakan publik dari ranah rakyat menjadi ranah elit, lebih tepatnya sekelompok elit yang menjadi ‘kelas politik profesional’ yang memiliki berbagai kewenangan yang ekstensif dalam banyak hal di tengah-tengah kurangnya kontrol dan partisipasi publik terhadapnya.

Untuk kasus Yunani, akibat dari teknokratisme neoliberal yang mengatasnamakan ‘kepentingan kawasan EU’ ini sangat fatal: sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya, kebijakan reformasi ekonomi dengan tendensi austerity yang sangat kencang pasca Krisis Finansial Global 2008 telah membawa Yunani ke dalam jurang kemelaratan dan perampasan yang tak berujung – kontraksi ekonomi yang tak berkesudahan, angka pengangguran yang terus bertambah, kemiskinan yang terus merebak, gaji yang terus turun dan makin tak berharga, dan akhirnya masalah-masalah sosial yang makin merebak, mulai dari kesulitan akses layanan kesehatan dan naiknya tingkat tunawisma.

SYRIZA menemukan momentum politiknya dalam konteks ekonomi-politik yang carut marut seperti itu. Tentu SYRIZA tidak lahir dari suatu kevakuman historis; ia lahir ketika organ-organ politik Kiri tradisional di Yunani seperti Partai Komunis Yunani (KKE) tergagap-gagap menghadapi perubahan zaman dan di saat yang bersamaan ada gelombang perlawanan yang dimotori oleh berbagai organisasi massa dan gerakan sosial di Yunani yang semakin merebak dan militan dan membutuhkan suatu artikulasi politik, suatu artikulasi elektoral dalam bentukpartai Kiri-radikal, partai sosialis-radikal, yang inisiasinya dimulai di tahun 2001 dan berlangsung hingga sekarang.

Dalam konteks perundingan lima bulan yang alot kemarin, satu hal yang secara jitu ditangkap oleh SYRIZA dan karenanya membuat Troika kesal setengah mati adalah ini: paket bailout danausterity Troika bukanlah sekedar kebijakan ekonomi yang bersifat ‘teknis’ dan ‘bebas nilai’ – kebijakan tersebut sesungguhnya juga bersifat politis. Dengan kata lain, paket penyelematan ekonomi yang disodorkan oleh Troika kepada Yunani sesungguhnya merupakan suatu usulan kebijakan dengan agenda politik sendiri. Bahkan Bank Sentral Eropa (ECB), terlepas dari berbagai dalih ‘teknokratis’nya, sesungguhnya adalah suatu institusi dengan agenda politik tersendiri. Mark Weisbrot (2015), ekonom dan direktur Center for Economic and Policy Research yang berbasis di Washington DC, menjabarkan bahwa sesungguhnya ECB memiliki berbagai opsi kebijakan alternatif, termasuk kebijakan yang masih mempertahankan beberapa paket kesejahteraan (welfare policies) yang dapat membantu warga biasa menghadapi gempuran krisis ekonomi, tetapi alih-alih memilih opsi tersebut, ECB memilih untuk ngototmenerapkan kebijakan austerity secara ekstrim di Yunani.

Sesungguhnya ini merupakan sebuah bentuk penjajahan ekonomi dan pembajakan neoliberal atas otonomi dan kedaulatan politik dan ekonomi rakyat pekerja di Yunani. Menghadapi tekanan dari sana-sini, baik dari Troika maupun dari berbagai pihak lain di Yunani, termasuk faksi-faksi dalam partainya sendiri, Tsipras melancarkan dua strategi – dua strategi yang menurut hemat saya tepat sasaran dan efektif. Pertama, ia memiliki Yanis Varoufakis – sang ekonom cerdas, provokatif, dan badass tersebut – sebagai Menteri Keuangannya. Sebagai seorang ekonom yang amat terbiasa dengan model-model matematik dan ekonometrik serta familiar dengan berbagai bahasa dan istilah ekonomi, Varoufakis berhasil berunding secara cukup sukses dengan Troika dan pemerintahan-pemerintahan pro-Troika, seperti administrasi Merkel di Jerman dan Hollande di Perancis, not to mention the fact that his badass style threatens these folks. Kedua, ini langkah yang tidak kalah dan bahkan justru lebih penting, administrasi SYRIZA melihat persoalan ekonomi yang pelik ini sebagai sebuah persoalan nasional yang penting, dan karenanya perlu diangkat sebagai sebuah isu dalam referendum nasional dengan partisipasi massa seluas-luasnya. Strategi ini bukan saja memperluas partisipasi demokratik massa secara radikal, tetapi juga menantang diktum utama, logika utama dari proyek kapitalisme-neoliberal yang berbaju ‘demokratik’: bahwa ekonomi dan politik merupakan dua domain yang terpisah, di mana ‘demokrasi’ hanya berlaku bagi domain yang kedua dan tidak cocok diterapkan ke domain yang pertama karena terlalu ribet dan beresiko. Sejatinya, ini adalah sebuah bentuk tantangan dan gugatan yang serius bagi salah satu ‘rukun iman’ kapitalisme-neoliberal – sebuah rukun yang ternyata, sebagaimana dibuktikan oleh rakyat Yunani, hanyalah sebuah tameng ideologis untuk menjustifikasi proyek-proyek ekspropriasi neoliberal dengan cita rasa ‘Eropa’.

Berkaca dari pengalaman SYRIZA dan rakyat Yunani baru-baru ini, apa saja yang dapat kita pelajari. Pertama, sekali lagi tentu saja pencapaian ini perlu diapresiasi terutama ditengah-tengah langkanya kemenangan gerakan rakyat akhir-akhir ini. Kedua, tetapi bukan berarti bahwa kita sama sekali tidak bisa mengkritik proyeksi politik ini – fakta bahwa kebijakan ekonomi SYRIZA dalam banyak hal masih berbau Keynesian dan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan agenda-agenda sosial demokrasi dan negara kesejahteraan di Eropa Barat pasca Perang Dunia ke-II menunjukkan bahwa ruang dan ranah struktural bagi rakyat pekerja dan gerakan Kiri untuk mewujudkan agenda-agendanya sesungguhnya masih terbatas, dan kita memerlukan strategi-strategi politik lain yang lebih inovatif, jitu, dan efektif untuk mewujudkan transisi menuju sosialisme yang demokratik dan partisipatoris. Ketiga,kemenangan program OXI di Yunani lagi-lagi menunjukkan bahwa ilusi teknokratisme dan separasi ranah politik dan ekonomi ala kapitalisme-neoliberal sesungguhnya lebih mirip sebuah dogma alih-alih hipotesa yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, dan karenanya dapat dipreteli dan diblejeti secara menyeluruh, sebagaimana dilakukan oleh SYRIZA dan rakyat Yunani. Karenanya, pembongkaran ilusi bahlul semacam itu tetap perlu menjadi satu agenda ilmiah dan politik utama bagi gerakan rakyat pekerja di seluruh dunia.Keempat, sebagaimana disebutkan oleh Perry Anderson di atas, pengalaman Yunani menunjukkan bahwa perjuangan kelas, termasuk perjuangan di ranah ekonomi, pada akhirnya membutuhkan intervensi dan organisasi politik yang kuat dan efektif. Terakhir, dan mungkin yang terpenting, pengalaman Yunani menunjukkan bahwa visi emansipatoris dan egalitarian dari gerakan rakyat pekerja selalu mensyaratkan suatu upaya pembangunan pengetahuanyang terbuka, ilmiah, dan demokratik.

Fakta bahwa sesungguhnya warga Yunani telah biasa berlawan secara politik dan memiliki jam kerja yang paling panjang di Eropa – suatu gambaran yang jauh berbeda dengan gambaran esensialis dan borderline-racist atas Yunani sebagai negara tourist trap dengan administrasi tak becus dan rakyat yang malas karena kebanyakan main-main dan tidur siang – menunjukkan bahwa proyek politik emansipatoris-radikal hanya akan berhasil dengan basis pengetahuan yang valid. Adalah suatu hal yang menyedihkan bahwa masih banyak miskonsepsi, kesalahpahaman, dan pemberitaan yang misleading mengenai krisis Yunani di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan kita di Indonesia masih banyak, dan cara terbaik untuk bersolidaritas dengan rakyat Yunani adalah dengan membangun basis pengetahuan dan gerakan yang valid dan solid demi cita-cita masyarakat yang betul-betul bebas dan egalitarian.

Kedepannya, tugas kita masih banyak, dan perjalanan kita masih panjang. Tetapi, tidak ada salahnya untu bersuka cita sejenak, menikmati manisnya buah perjuangan.***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitterland dengan id @libloc

Belajar dari Yunani

Belajar dari Yunani

http://indoprogress.com/belajar-dari-yunani/

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

APA yang menjadi kesamaan antara Indonesia dan Yunani? Sepintas, kita dan Yunani adalah dua negeri yang sangat berbeda. Namun, negeri para dewa ini juga memiliki masalah yang tidak terdengar asing bagi kita: krisis ekonomi, krisis politik dan naiknya sentimen politik sayap kanan. Yang berbeda adalah, Yunani memiliki gerakan rakyat dan partai politik yang mampu mengartikulasikan aspirasi politik ‘dari bawah’ di tengah-tengah krisis ekonomi dan kebuntuan politiknya. Tentu saja, konteks Indonesia dan Yunani memang jauh berbeda. Namun, demi pembelajaran, tidak ada salahnya apabila kita menengok dan berkaca dari pengalaman Yunani.

Krisis dan transformasi politik di Yunani

Baru-baru ini, sebuah artikel opini di koran kenamaan New York Times oleh duo ekonom James K. Galbraith dan Yanis Varoufakis (2013) berpendapat bahwa mendukung Partai Koalisi Kiri Radikal atau yang lebih dikenal dengan singkatannya, SYRIZA, adalah satu-satunya jalan menyelamatkan Yunani dari kebangkrutan. Mengapa? Sebelum melangkah lebih lanjut, ada baiknya kita sedikit memahami konteks ekonomi-politik dan sosial di Yunani akhir-akhir ini.

Di Uni Eropa, Yunani adalah satu dari beberapa negara yang mengalami dampak paling buruk dari Krisis Finansial Global di tahun 2008. Dampak dari krisis ini masih terasa dan berlanjut hingga sekarang. Kebangkrutan ekonomi Yunani juga berdampak kepada dimensi politiknya, yang mengakibatkan Perdana Menteri George Papandreou mundur, digantikan oleh  Pemerintahan Kesatuan Nasional (National Unity Government) dan troika IMF, Komisi Eropa dan Bank Sentral Eropa. Menurut Costas Douzinas dan Joanna Bourke (2012), dua orang profesor dari Birkbeck, University of London, tekanan dari Uni Eropa beserta segenap elit Eropa dan kebijakan penghematan ekonomi dan pemangkasan subsidi (austerity policy) dalam menghadapi krisis ekonomi di Yunani, justru telah mencederai partisipasi politik dan demokrasi di Yunani. Hasilnya bukan main-main: kontraksi ekonomi sebesar 20 persen selama 4 tahun terakhir, tingkat pengangguran mencapai 22persen, pengangguran kaum muda mencapai 54persen, kenaikan 24 poin di indeks kemiskinan, serta penurunan gaji dan pensiun untuk pegawai negeri sipil yang mencapai 50 persen, setidaknya sampai dengan tengah tahun lalu. Tidak hanya itu, upah minimum dan kompensasi pengangguran (unemployment benefit) juga dipotong hingga 32 persen, ditambah lagi dengan penghapusan hak negosiasi kolektif untuk para pekerja (collective bargaining).

Krisis ekonomi ini juga berimbas ke krisis kemanusiaan. Laporan dari harian terkemuka Inggris The Guardian, mungkin bisa menjadi salah satu gambaran parahnya kondisi Yunani pada tahun lalu: para warga kelas menengah yang terpaksa mengantri di dapur umum untuk mendapat jatah makanan, tingkat tunawisma dan penyakit kejiwaan yang meningkat secara tajam, serta kesulitan akses untuk fasilitas kesehatan yang dahsyat. Dengan kata lain, suatu proses ‘proletarianisasi’ besar-besaran sedang terjadi di Yunani. Agaknya, tidaklah berlebihan jikalau kita menyebut ini sebagai bagian dari apa yang disebut Slavoj Zizek sebagai ‘Apartheid Baru’ (The New Apartheid).

Di tengah-tengah kondisi Yunani yang seperti ini, Syriza hadir sebagai representasi politik dengan tuntutan paling radikal sekaligus realistis bagi Yunani. Syriza sebagai koalisi dari berbagai partai, gerakan sosial dan elemen gerakan Kiri di Yunani, sesungguhnya memiliki sejarah yang tidak singkat. Dalam sebuah pidatonya, Sotiris Martalis (2013), anggota Internationalist Workers Left atau DEA, salah satu organisasi pendiri dan pendukung Syriza berhaluan Trotskyis, sejarah Syriza sendiri bermula dari tahun 2001 sebagai upaya dari berbagai organisasi Kiri dengan berbagai macam tendensinya dan Synapsismos, partai Kiri yang merupakan partai terbesar dari koalisi Syriza yang juga dipimpin oleh Alexis Tsipras, yang sekarang menjadi pemimpin dari Syriza. Dalam upayanya untuk bertahan dalam kontes politik elektoral di Yunani sekaligus menyuarakan aspirasi dari rakyat Pekerja, menurut Martalis, Syriza berhasil melakukan berbagai strategi yang rupanya cukup efektif. Pertama, Syriza berhasil menyatukan dan menjembatani berbagai organisasi dan elemen gerakan Kiri dengan berbagai tendensinya dalam satu wadah. Dengan kata lain, Syriza berhasil mengatasi persoalan fraksionalisasi gerakan yang seringkali terjadi di gerakan Kiri dan progresif. Kedua, Syriza berhasil menyambut momentum politik pasca krisis ekonomi di Yunani yang mendorong berbagai komponen gerakan rakyat, mulai dari petani, buruh, anak muda dan lain-lainnya untuk melakukan aksi-aksi massa dan protes yang juga bertepatan dengan gerakan Pendudukan (Occupy) global. Syriza dianggap sebagai wadah politik yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat Yunani yang termarginalisasi oleh krisis ekonomi sekaligus kebijakan teknokratis di Yunani dan Eropa. Ketiga, di saat yang bersamaan, Syriza juga tetap berkomitmen terhadap penggunaan mata uang Euroa sekaligus keanggotan Yunani di Uni Eropa. Menurut Syriza, yang seharusnya menjadi fokus perjuangan adalah kebijakan ekonomi yang lebih demokratis pasca diberlakukannya kebijakan ekonomi pemangkasan yang teknokratis alih-alih keluar dari Uni Eropa atau Eurozone – suatu hal yang juga dikampanyekan oleh beberapa kelompok elit di Yunani demi kepentingan mereka sendiri.

Tantangan yang tidak kalah beratnya lagi adalah naiknya sentimen Fasisme dan Neo-Nazi di Yunani yang diwakili oleh Golden Dawn (Fajar Emas), suatu partai sayap kanan ekstremis yang, seperti halnya banyak partai ekstrim kanan lainnya seperti British National Party (Partai Nasional Inggris) di Inggris dan National Front (Front Nasional) di Perancis, menyalahkan krisis ekonomi kepada ‘para imigran’ dan menyerukan ‘kepentingan dan kedaulatan Yunani.’ Berbagai laporan media dan rekaman video di Youtube juga menunjukkan bagaimana simpatisan Fajar Emas melakukan aksi-aksi vigilantis dan premanisme serta menyerang berbagai kelompok minoritas di Yunani – suatu sentimen yang juga didukung oleh para politisi Fajar Emas dalam pidato dan retorika politik mereka (Mckenna, 2013).

Syriza juga berkomitmen untuk menghadang naiknya Fajar Emas dan sentimen Fasis di Yunani. Bahkan, boleh dikatakan, Syriza adalah partai yang paling terdepan dalam menghadapi Fajar Emas – setelah hilangnya kepercayaan publik terhadap para pemain lama dalam politik Yunani seperti partai kiri-tengah Gerakan Sosialis Panhellenik (PASOK) dan Demokrasi Baru (New Democracy).

Hasilnya? Meskipun Syriza kalah dalam pemilu legislatif Yunani pada Juni tahun lalu, ia berhasil memantapkan posisinya sebagai partai oposisi terbesar di parlemen nasional Yunani, dengan memenangkan 71 dari 300 kursi di parlemen. Apabila ditambah dengan suara dua partai Kiri lainnya, yaitu Partai Komunis Yunani (KKE) yang memenangkan 12 kursi dan Partai Kiri Demokratik (Democratic Left) yang memenangkan 14 kursi, maka blok Kiri memiliki sekitar 97 kursi atau sekitar sepertiga dari total jumlah kursi di parlemen Yunani. Kekuatan politik ini, yang juga didukung oleh kebijakan Syriza untuk menjaga komunikasi dengan partai-partai Kiri lainnya, diharapkan dapat menjadi benteng yang efektif untuk menghadang kekuatan politik teknokratis yang disebut Marx sebagai ‘pemerintahan teknikal’ (Musto, 2011) dan kebijakan ekonomi neoliberal di Yunani.

Keberhasilan Syriza dalam kontes politik elektoral dan parlementarian di Yunani, perlu kita sambut sebagai secercah harapan menuju kemenangan politik Kiri-progresif di berbagai belahan dunia. Dalam berbagai diskusi dalam forum Festival Subversif (Subversive Festival), sebuah festival film rutin yang baru-baru ini diadakan pada bulan Mei di Zagreb, Kroasia, yang juga mengundang berbagai aktivis gerakan Kiri-progresif, di tengah-tengah ‘meredanya’ gejolak gerakan Occupy, hilangnya momentum Arab Uprising yang ‘dibajak’ oleh gerakan Islamis pasca gerakan rakyat di Timur Tengah, keberhasilan Syriza merupakan suatu gebrakan di tengah mandeknya gerakan progresif dan pencapaian yang dapat menjaga momentum dan semangat perjuangan.

Pelajaran bagi kita

Berkaca dari pengalaman Yunani, adakah pelajaran yang dapat kita ambil? Tentu saja, konteks Indonesia dan Yunani amatlah jauh berbeda. Namun, bukan berarti tidak ada pelajaran yang dapat kita petik. Antusiasme politik pasca pilkada Jakarta, beberapa gebrakan kebijakan seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), serta pemilu nasional yang akan digelar tahun depan, merupakan beberapa hal yang perlu kita amati dengan seksama dan barangkali dapat menjadi momentum untuk setidaknya menjaga repertoire perjuangan.

Dalam hal ini, saya tidak berpretensi menjadi seorang pengamat politik atau ahli nujum yang dapat menebak tren politik ke depan. Namun, apabila ada hal yang bisa kita ambil dari ‘pelajaran Yunani,’ setidaknya pelajaran tersebut dapat kita ringkas menjadi tiga hal: pertama, kombinasi antara eksistensi wadah politik yang representatif ‘dari atas’ dan gerakan rakyat ‘dari bawah’ dapat mewujudkan transformasi politik; kedua, organisasi dalam politik adalah penting; dan ketiga, berangkat dari asumsi bahwa politik adalah suatu arena dominasi elit, maka memahami karakter para elit dan kelemahan mereka amatlah penting untung mencari celah di mana gerakan rakyat dapat mencari peluang dan memanfaatkan peluang tersebut untuk transformasi sosial sekaligus untuk mematahkan dan melampaui dominasi elit.

Poin kedua dan ketiga perlu dibahas lebih lanjut di sini. Mengenai poin kedua, Jodi Dean (2012) dalam refleksinya atas gerakan Occupy mengajak kita kembali ke perdebatan lama antara kaum anarkis dan Marxis. Dalam pemaparannya, ‘asosiasi’ atau ‘praktek-praktek sosial alternatif’ yang dengan pretensi egalitarianisme namun justru menghasilkan fenomena ‘kuasi-kepemimpinan’ justru akan mencederai gerakan. Bagi Dean, organisasi dengan fungsi yang jelas, adalah penting demi keberlangsungan dan keberhasilan gerakan itu sendiri. Dalam pengamatannya atas gerakan Occupy, Dean menjelaskan bahwa slogan ‘tanpa bentuk’ dan ‘tanpa pimpinan’ ala beberapa segmen dari gerakan Occupy,  justru memunculkan ‘pemimpin informal’ (quasi-leaders) dan agenda-agenda yang dianggap sebagai ‘konsensus bersama,’ yang padahal, hanyalah agenda-agenda yang muncul dari beberapa kelompok dominan dalam gerakan Occupy. Dalam konteks inilah, Dean berpendapat, organisasi dengan fungsi, hierarkhi dan kepemimpinan yang jelas justru dibutuhkan demi proses-proses politik yang deliberatif, transparansi dan keberlangsungan dari gerakan itu sendiri. Pengalaman Syriza adalah pengalaman bagaimana mengtransformasikan potensi gerakan progresif menjadi organisasi politik dengan tujuan, fungsi, dan hierarkhi yang jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam kaitannya dengan poin ketiga, agaknya tidaklah berlebihan untuk kembali melihat kepada ‘kondisi objektif’ politik Indonesia di lapangan, terutama pada tingkat subnasional atau lokal. Berbagai studi tentang politik Indonesia dewasa ini, terutama dari perspektif ekonomi politik, telah menggarisbawahi kenyataan dominasi elit pasca-Soeharto terutama di tingkat lokal. Dari perspektif yang lebih empirik, kita bisa melihat bahwa berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (2011) tentang latar belakang para kepala daerah pasca pemilihan umum kepala daerah tahun 2010, dominasi beberapa kelompok elit seperti birokrat (yang beberapa diantaranya dapat kita asumsikan mengalami hidup di bawah rezim Orde Baru dan karenanya mungkin juga mewarisi mentalitas Orba) dan pengusaha (yang memiliki kapital yang dapat dengan mudah ‘ditransfer’ menjadi kekuatan politik) nampaknya mengamini hipotesis dominasi elit di tingkat lokal.

Suatu saat, akankah kita memiliki organisasi progresif yang mewakili gerakan rakyat yang memiliki legitimasi yang kuat seperti Syriza? Tentu, hanya kita sendiri yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan

Dean, J. (2012). The Communist Horizon. London: Verso.

Douzinas, C., and Bourke, J. (2012, June 17). A Syriza victory will mark the beginning of the end of Greece’s tragedy. Retrieved June 25, 2013, from The Guardian: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/jun/17/syriza-victory-greece-austerity-crisis

Galbraith, J. K., and Varoufakis, Y. (2013, June 23). Only Syriza Can Save Greece. Retrieved 25 June, 2013, from New York Times: http://www.nytimes.com/2013/06/24/opinion/only-syriza-can-save-greece.html?_r=2&amp

Kementerian Dalam Negeri. (2011). Profil Kepala Daerah Hasil Pemilukada 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Republik Indonesia.

Martalis, S. (2013, June 5). The role of the left in SYRIZA. Retrieved June 25, 2013, from SocialistWorker.org: http://socialistworker.org/2013/06/05/role-of-the-left-in-syriza

Mckenna, T. (2013, February 10). Golden Dawn: The Development of Greek Fascism. Retrieved June 25, 2013, from Monthly Review: http://mrzine.monthlyreview.org/2013/mckenna100213.html

Musto, M. (2011, November 17). Political Crisis in Italy and Greece: Marx on ‘Technical Government.’ Retrieved June 25, 2013, from Monthly Review: http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html