Fenomena Jokowi dan Konstelasi Politik 2014

http://indoprogress.com/2014/03/fenomena-jokowi-dan-konstelasi-politik-2014/

MENJELANG musim pemilu suhu politik di tanah air semakin menghangat. Pasca pencalonan resmi Jokowi sebagai calon presiden (capres) dari PDIP, konstelasi politik terutama di antara para elit, jadi semakin menarik dan dinamis untuk diamati. Namun, hal lain yang tidak kalah penting adalah, apa implikasi pencalonan Jokowi bagi politik Indonesia ke depan? Kemudian, tidak hanya itu, bagaimana seharusnya gerakan rakyat menyikapi pencalonan Jokowi?

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menganalisa fenomena ‘Jokowi Effect’ secara lebih mendalam. Setidaknya, ada beberapa dimensi yang perlu kita lihat untuk lebih memahami fenomena Jokowi: rekam jejak politik Jokowi, kontestasi politik di antara para elit, dinamika politik di tingkat akar rumput, dan dilema politik elektoral. Berdasarkan pemahaman atas sejumlah hal tersebutlah, kita bisa menyikapi fenomena Jokowi secara lebih baik.

Pertama-tama, kiprah politik Jokowi dalam banyak hal sesungguhnya merupakan terobosan dalam politik Indonesia terutama dalam ranah politik lokal. Politik di Indonesia pasca Orde Baru, yang masih terjebak dalam logika teknokratis dan elitis bahkan pasca penerapan kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, dan pemilihan umum kepala daerah (pilkada), tidak serta merta memberikan ruang partisipasi yang lebih berarti bagi masyarakat, terutama mereka yang termarginalkan. Kiprah Jokowi dulu di Solo maupun di Jakarta, patut diapresiasi dalam hal memberikan ruang partisipasi warga yang lebih berarti dalam sejumlah hal yang penting, antara lain seperti komunikasi publik, reformasi birokrasi dan pelayanan publik, inisiasi layanan kesehatan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS), dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang memberikan kesempatan bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses politik, kebijakan publik, dan demokrasi dalam artiannya yang lebih luas, terutama dalam menghadapi sejumlah kekuatan politik lama yang mendominasi politik lokal. Tentu, dengan pencalonan Jokowi sebagai capres, dia berarti tidak akan menyelesaikan masa jabatannya, namun ini bukan berarti pengkhianatan janji politik dan komitmen atas jabatan publik, melainkan panggilan untuk berkompetisi dalam ranah politik yang memungkinkannya melakukan perubahan dalam skala yang lebih luas.

Kedua, peresmian pencalonan Jokowi sebagai capres juga memaksa sejumlah elit politik untuk mempertimbangkan kembali langkah-langkah politik mereka ke depan, terutama dalam konteks pemilu 2014 yang akan segera datang. Tentu saja, mereka tidak akan serta merta berkata ‘aku rapopo’ seperti digambarkan dalam beragam gambar-gambar dan kartun-kartun lucu di internet, melainkan akan memikirkan 1001 cara untuk menyeimbangkan posisi mereka di tengah-tengah antusiasme publik atas pencalonan Jokowi, jikalau tidak untuk menghadang naiknya popularitas dan elektabilitas Jokowi. Dalam hal ini, pencalonan Jokowi perlu diapresiasi. Karena, ini bukan hanya masalah kecocokan antara antusiasme publik terhadap proses politik yang memungkinkan aspirasi mereka lebih tersalurkan dengan pencalonan Jokowi, tetapi juga persoalan bagaimana menghadang kemungkinan naiknya popularitas dan elektabilitas sejumlah capres dan tokoh politik dengan catatan hitam nan kelam, seperti Aburizal Bakrie dengan kasus lumpur Lapindonya, Prabowo, Wiranto dan sejumlah jenderal pelanggar HAM yang mengidap post-power syndrome,maupun tokoh-tokoh titipan Dinasti Cikeas – dengan kata lain menghindari kemungkinan penetrasi kapitalisme neoliberal yang lebih dalam maupun naiknya fasisme gaya baru. Tentu saja Jokowi tidak 100 persen independen; bagaimanapun, Jokowi merupakan kader PDIP, yang dalam banyak hal tidak jauh bermasalahnya dengan banyak partai lain di tanah air, apalagi pengaruh elit-elit lama dalam PDIP seperti Megawati masih amat terasa di dalam tubuh partai. Namun, pencalonan Jokowi juga menandakan bahwa sindrom elitis yang menjangkiti PDIP dan banyak partai politik lain di Indonesia pelan-pelan dapat ditembus. Dengan kata lain, ada ruang politik, yang meskipun terbatas, memungkinkan Jokowi untuk bermanuver.

Ketiga peluang inilah, yang musti disambut oleh gerakan rakyat. Kita perlu camkan baik-baik, bahwa Jokowi bukanlah seorang Juru Selamat yang dengan sim salabim akan segera menyelesaikan segudang permasalahan di tanah air, terutama yang berkaitan dengan konsolidasi kapitalisme neoliberal yang semakin mengemuka akhir-akhir ini. Jokowi bukanlah Rosa Luxemburg atau Tan Malaka. Oleh karena itu, dari perhitungan politik strategis, maka langkah politik yang logis bagi gerakan progresif di Indonesia adalah mengawal fenomena naik daunnya Jokowi dengan perumusan agenda-agenda politik progresif ke depan serta konsolidasi dan mobilisasi rakyat yang lebih terorganisir dan militan. Sejarah gerakan rakyat di berbagai belahan dunia, mulai dari kaumChartists di Inggris hingga gerakan rakyat di Chile di masa Allende, menunjukkan bahwa pertama, peluang politik sekecil lubang jarum pun merupakan kesempatan yang musti dimanfaatkan dankedua, diperlukan mobilisasi massa yang sadar untuk mengawal pengejawantahan agenda-agenda politik progresif-demokratik yang lebih luas.

Tentu saja, ini bukanlah langkah yang mudah, terutama dalam konteks politik elektoral alias demokrasi ‘formal.’ Sungguh ironis, bahwa demokrasi formal, yang menekankan pada proses elektoral, yang pada awalnya merupakan tuntutan radikal dari kelas pekerja di berbagai belahan dunia, kemudian menjadi sekedar alat bagi keberlangsungan logika politik elitis dan oligarkis. Kerapkali, gerakan rakyat terpaksa harus ‘memoderasi’ agenda-agendanya agar tidak memancinggebukan dan sambitan dari para pemegang gudang uang dan mesiu beserta anjing-anjingnya. Namun, itulah kenyataan yang harus diakui dan dihadapi oleh gerakan rakyat. Nah, pertanyaannya adalah, bagaimana sebaiknya gerakan rakyat menghadapi dilema tersebut? Apakah lantas kemudian kita kembali ke slogan-slogan lama semacam ‘galang gerakan golput!’, ‘boikot pemilu!’, ‘jangan ikuti pemilu borjuis!’, sementara jutaan orang tetap saja berbondong-bondong memasuki bilik suara? Kalau begitu, apa bedanya kita dengan sejumlah kelompok politik yang sering kita ceng-cengin karena tendensi sok puris mereka yang rada-rada absurd macam kaum nihilis dan HTI? Dalam hal ini, terkadang kita musti berani mengambil resiko. Tentu saja, ini tidak sama denganmenyerahkan diri untuk diombang-ambing dalam logika politik elektoral. Jawaban atas persoalan semacam ini bukanlah sekedar ‘pro-pemilu’ atau ‘anti-pemilu,’ atau ‘pro-negara’ versus ‘anti-negara,’ melainkan, mengutip Nicos Poulantzas, sosiolog Marxis Yunani-Perancis yang makin jarang dibaca itu, ‘pertempuran strategis dengan negara’ (strategic engagement with the state). Dengan kata lain, partisipasi taktis dan strategis dalam kancah politik elektoral bukanlah merupakan barang najis, sekedar lompatan iman atau coba-coba macam abg labil ibukota, melainkan hasil dari proses dialektis antara kontemplasi teoretik dan praxis di lapangan.

Penutup

Lagi-lagi, musti saya pertegas: tentu kita tidak naïf, melainkan berusaha untuk cekatan dan cermat. Dua pengkaji gerakan sosial berhaluan Marxis terkemuka, Sara C. Motta dan Alf Gunvald Nilsen (2011) dalam buku mereka Social Movements in the Global South menunjukkan bahwa strategi ‘pertempuran strategis’ ala tradisi Poulantzasian terbukti bekerja di berbagai belahan dunia ketiga, mulai dari Brazil hingga India, di mana berbagai gerakan sosial berhasil memberi tekanan dari bawah melalui aksi-aksi massa yang partisipatoris dan perumusan, merebut negara dari atas melalui strategi politik elektoral, dan tidak berhenti di situ, perlahan melakukan transformasi atas logika kekuasaan dan kapital, meskipun tentu saja tidak mudah.

Kali ini, di Indonesia, kita menghadapi persoalan yang sama. Kita bisa membacanya sebagai sekedar sebuah dilema yang membuat kepala pening atau momentum perubahan yang dapat terlewatkan begitu saja, terutama pasca mandegnya agenda-agenda politik progresif pasca-1998. Pencalonan Jokowi sebagai calon presiden untuk pemilu 2014 adalah momentum tersebut. Maka, merupakan konsekuensi logis bagi gerakan rakyat untuk memberikan dukungan kritis atas Jokowi demi kesempatan untuk penerapan agenda-agenda politik pro-rakyat yang lebih luas di masa mendatang***

Penulis berterima kasih kepada rekan-rekan redaktur IndoPROGRESS yang bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan masukan dalam proses penulisan artikel ini.

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc.

Agama, Politik dan Pembebasan

Agama, Politik dan Pembebasan

Analisa Politik

http://indoprogress.com/agama-politik-dan-pembebasan/

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

AGAMA, dalam artiannya yang mencerahkan, dapat menjadi sumber kemajuan dan pembebasan. Tidak percaya? Mari kita membaca kembali sebuah cerita yang jarang didengar. Kali ini dari negeri sakura, sebuah cerita dari seorang novelis Jepang, Shusaku Endo, dalam novelnya, Hening (Silence atau Chinmoku dalam bahasa Jepang).

Abad ke-17. Alkisah, seorang Pastor Jesuit muda bernama Sebastião Rodrigues dikirim dari tanah Portugis ke negeri nun Jauh di sana: Zippangu atawa Nippon, begitu orang Barat di masa itu menyebutnya. Rodrigues dikirim bukan untuk misi sembarangan: santer terdengar kabar bahwa mentornya, Frater Cristóvão Ferreira, seorang misionaris ternama, telah murtad. Bukan hanya itu, Frater Ferreira bahkan telah kawin dengan seorang perempuan Jepang, menulis traktat anti-Kristen dan bahkan memiliki nama baru sebagai orang “Jepang”: Sawano Chuan.

Dengan tekad bulat, Pastor Rodrigues bertolak ke Jepang, tidak hanya untuk menyelidiki kasus mentornya Ferreira, melainkan juga untuk sebuah misi yang lebih penting: memberi layanan dan dukungan spiritual bagi para Kakure Kirishitan, umat Katolik Jepang yang terpaksa beribadah sembunyi-sembunyi demi menghindari persekusi oleh pemerintah Jepang di zaman Edo yang represif, terutama setelah diberangusnya pemberontakan Shimabara. Pemberontakan Shimabara yang sering dianggap sebagai pemberontakan keagamaan kaum Katolik melawan pemerintah Shogun, sejatinya merupakan ekspresi perlawanan para petani Jepang melawan negara yang semakin absolutis dan represif. Katolikisme, pada masa itu, dianggap berpihak kepada orang-orang kecil dan karenanya memberikan harapan bagi para petani miskin Jepang – yang kemudian banyak menjadi penganut Katolik.

Singkat cerita, Rodrigues berhasil masuk ke Jepang, menyapa para petani miskin dan umat Katolik yang tertindas, hingga kemudian ia tertangkap oleh pemerintah Shogun. Di saat itu pulalah ia bertemu Ferreira. Rodrigues menolak untuk murtad, bahkan sudah bersiap diri untuk disiksa, hingga kemudian ia dihadapkan pada suatu dilema keimanan yang dahsyat: yang disiksa bukanlah dirinya, melainkan para pengikutnya, dan para algojo pemerintah Shogun hanya akan berhenti menyiksa petani Katolik tersebut jika dan hanya jika Rodrigues bersedia mencampakkan iman Katoliknya: dengan kata lain, murtad.

Di tengah-tengah pergulatan batin Rodrigues, Ferreira mencoba meyakinkannya, rupa-rupanya itu yang dilakukan Ferreira bertahun-tahun yang lalu: ia akhirnya murtad karena tidak tahan menyaksikan penderitaan umatnya. Tapi Ferreira ternyata memiki alasannya sendiri. Katanya, ‘Kristus pastilah akan murtad untuk menyelamatkan mereka (para petani itu), bahkan jika itu berarti menyerahkan apa-apa yang telah Ia perjuangkan.’

Setengah dipaksa, tatkala Rodrigues akan menginjak fumie, pahatan bergambar Yesus, dalam ritual untuk menunjukkan apostasinya, mendadak dia mendengar figur Yesus dalam fumie tersebut berbicara!

‘Injak! Injaklah! Aku lebih tahu dari siapapun tentang rasa sakit di kakimu. Injaklah! Untuk diinjak-injak oleh umat manusialah maka Aku terlahir di dunia. Untuk menanggung penderitaan manusialah Aku memanggul Salib-Ku!’ (hal. 271).

Rodrigues akhirnya menginjak fumie itu dan secara resmi murtad. Tetapi, bagi Endo, aksi murtad Rodrigues itu justru merupakan manifestasi peribadatan yang sesungguhnya. Apostasi Rodrigues menjadi simbol pengejawantahan tertinggi dari keimanan: keberpihakan dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tertindas. Di novel tersebut, digambarkan bahwa Yang Transendental ikut memanggul penderitaan manusia.

Keimanan dan nilai-nilai keimananan rupa-rupanya dapat menjadi sumber politik pembebasan, emansipasi dan solidaritas, jika dan hanya jika, nilai-nilai tersebut berhasil keluar dari ortodoksi dogma dan doktrin dan diterjemahkan dalam praksis perlawanan. Bagi sebagian orang, ide ini terdengar revolusioner. Namun, bagi sebagian yang lain, ini hanyalah pembenaran bagi aksi kemurtadan.

Tak heran jika novel tersebut mengundang kontroversi

Agar tidak terlalu tegang, mari kita kembali menengok masa kini. Kali ini kita melompat ke tradisi Islam. Setidaknya akhir-akhir ini ada tiga peristiwa yang membuat orang kembali bertanya-tanya tentang peranan Islam dalam masyarakat modern: aksi kontroversial grup feminis Femen, kasus pengeboman Boston, dan kondisi diskursus keilmuan dan politik Islam di tanah air.

Dengan alasan solidaritas terhadap salah satu aktivis Femen asal Tunisia, Amina Tyler, yang mengalami persekusi setelah melakukan aksi topless di internet, berbagai aktivis Femen di berbagai belahan dunia melakukan aksi topless Jihad, berpose setengah bugil sembari menuliskan pesan-pesan yang menyamakan Islam dan tradisi keagamaan pada umumnya sebagai kemunduran peradaban. Mereka lupa dan alpa, bahwa aksi yang mereka anggap membela hak-hak perempuan itu justru semakin meneguhkan penggambaran rasis dan kolonialis atas para perempuan di komunitas Muslim: seakan-akan karena terlalu ‘lemah’ dan ‘tertindas,’ dikungkung oleh ‘tradisi’ dan ‘hijab’ mereka (tentunya dalam artiannya yang peyoratif),  para perempuan Muslim harus ‘dibebaskan’ oleh aktivis Femen – atau dengan kata lain para aktivis perempuan dari negeri Barat.

Lain lagi halnya dengan kasus pengeboman di kota Boston, Amerika Serikat, yang dilakukan oleh Tsarnaev Bersaudara, Dzhokhar dan Tamerlan, yang kebetulan berlatar belakang Muslim Chechnya. Di masa berkabung ini, berbagai komunitas Muslim di Amerika Serikat dan belahan dunia lain menyampaikan pesan simpati dan belasungkawa atas penderitaan para korban dan mengutuk tindakan pengeboman. Banyak orang cemas bahwa Islam akan kembali diasosikan dengan terorisme dan kekerasan. Namun, kenyataan berkata lain: sebagian besar umat Muslim adalah manusia biasa, yang memiliki aspirasi yang sama dengan warga dunia lain.

Di tanah air, para politisi, aktivis dan intelektual Islam sibuk berpolitik dan berdiskusi. Sebagian mengklaim memperjuangkan keadilan dan kemakmuran. Sebagian lain sibuk mengaku memperjuangkan Islam yang ‘pluralis’ dan ‘toleran.’ Semua atas panji-panji agama. Jangan-jangan mereka lupa dan alpa bahwa apa-apa yang mereka klaim tersebut bukanlah yang dibutuhkan oleh umat yang masih tertindas dan tereksploitasi.

Tentu saja, kritik ini tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap gerakan Feminis, rasa belasungkawa dan simpati saya terhadap korban pengeboman Boston, dan apresiasi saya terhadap warisan khazanah keilmuan dari tradisi Islam di Indonesia.

Narasi ini sekedar menunjukkan bahwa kenyataan tidaklah tunggal, melainkan penuh dengan kompleksitas. Rangkaian peristiwa ini juga menunjukkan bahwa ketidaktahuan dan ketidakpedulian ada di Barat maupun di Timur.

Karenanya, kita perlu menengok sejarah. Kita bisa saja mengasosiasikan KeKristenan dengan kolonialisme, Islam dengan terorisme, Buddhisme dan Konfusianisme dengan anti-modernitas, Barat dengan sekularisme dan lain sebagainya. Adalah lebih mudah untuk melakukan hal demikian. Namun, sejarah menolak tafsir tunggal. Sebaliknya, sejarah berkata lain. Tiap-tiap masyarakat dan peradaban memiliki dinamika dan khazanahnya sendiri yang perlu kita pahami.

Mari kita kembali ke ceritanya Endo. Dari Jepang, kita bertolak ke Amerika Latin.

Namanya Gustavo Gutiérrez, seorang pendeta Katolik ordo Dominikan asal Peru. Ia bukan pendeta biasa: refleksinya atas ketidakadilan dan penindasan atas kaum papa di negerinya dan Amerika Latin membuatnya tergerak. Pada tahun 1971, gebrakan pemikirannya diterbitkan: sebuah buku berjudul Teologi Pembebasan (A Theology of Liberation). Segera saja, Gutiérrez menjadi lokomotif ide-ide pembebasan dalam tubuh Gereja Katolik, baik di Peru maupun banyak tempat lain. Uskup Óscar Romero asal El Salvador yang menjadi martir melawan rejim otoriter di negerinya juga terinspirasi oleh ide-ide teologi pembebasan.

Dalam bukunya, Gutiérrez berujar, ‘teologi pembebasan mencoba merefleksikan pengalaman dan arti keimanan berdasarkan komitmen untuk memberantas ketidakadilan dan membangun masyarakat yang baru…Pembebasan dari setiap bentuk penindasan, kemungkinan akan kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat…yang dapat diwujudkan melalui perjuangan ini’ (hal,. 307)

Dari Amerika Latin, kita beranjak ke Afrika Selatan. Kali ini ide-ide pembebasan dari tradisi agama menulari Farid Esack, seorang intelektual dan aktivis Muslim kenamaan dari Cape Town. Bekal keilmuan yang didapat dari pendalamannya atas tradisi agama dipadukannya dengan kenyataan obyektif di negerinya: rejim apartheid yang otoriter dan rasis itu berkuasa dan karenanya rakyat Afrika Selatan tertindas. Ia tidak punya pilihan lain kecuali melawan. Selain tergabung dalam organisasi anti-apartheid Front Persatuan Demokratik (United Democratic Front) dan bekerja sama dengan Nelson Mandela, ia juga menulis argumen teologis dan religius tentang pembebasan dalam bukunya, Qur’an, Pembebasan dan Pluralisme (Qur’an, Liberation and Pluralism).

Iya, rupa-rupanya, agama dalam artiannya yang mencerahkan dapat menjadi sumber inspirasi politik pembebasan. Memang betul, agama bukan tanpa masalah, ada tendensi-tendensi konservatif dan reaksioner dalam beberapa bentuk penafsiran agama. Bahkan, sesungguhnya ide-ide apapun yang membawa janji-janji pencerahan dan emansipasi bisa terjebak dalam kemandekan dan dogmatisme. Dalam tradisi agama, kita menemukan bentuk-bentuk dogmatisme tersebut dalam praktek-praktek keagamaan ala abad pertengahan: mulai dari hasrat kekuasaan berbalut dalil teokratisme, pengerdilan makna agama jadi soal benar-salah dan boleh-tidak, hingga diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas dan perempuan.

Bung Karno menyebut kecenderungan ini sebagai ‘kehilangan Api Islam.’ Kita tidak mendapat apinya, hanya abunya saja. Namun, bukan berarti kecenderungan tersebut menihilkan potensi emansipatoris dan egalitarian dari agama. Tentu saja, potensi tersebut hanya akan hadir dalam penafsiran yang progresif yang diwujudkan dalam praktek-praktek sosial. Kepeloporan Sarekat Islam dalam pergerakan dan perjuangan pembebasan nasional, renaisans dunia Arab di era pasca-kolonial, sumbangan berbagai tradisi agama terhadap ilmu pengetahuan, hingga bentuk-bentuk penafsiran keagamaan yang kritis terhadap eksploitasi adalah bukti bahwa tradisi progresif itu ada dan layak dilestarikan.

Tidak heran jikalau Tan Malaka dalam pidatonya yang berjudul ‘Komunisme dan Pan-Islamisme’ pada Kongres Komunis Internasional yang Ke-empat pada 12 November 1922, menyerukan kesatuan tujuan dan perlunya menggalang kerjasama antara kaum Nasionalis, kaum Muslim, dan kaum Kiri.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.

Korupsi, Sebuah Pembelajaran Akan Pentingnya Analisa Struktural

Korupsi, Sebuah Pembelajaran Akan Pentingnya Analisa Struktural

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University

http://indoprogress.com/korupsi-sebuah-pembelajaran-akan-pentingnya-analisa-struktural/

BELUM lama kita mendengar serangkaian kasus korupsi yang semakin menghangatkan suhu politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Pertama-tama, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaq (LHI) dinyatakan sebagai tersangka korupsi kasus impor daging sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak lama sesudahnya, Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang dinyatakan sebagai tersangka korupsi oleh KPK dalam kasus proyek Hambalang. Tentu saja, dari sudut pandang normatif, ini merupakan suatu pertanda buruk dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tetapi untuk memahami permasalahan ini, sekaligus merumuskan sebuah solusi yang masuk akal, dibutuhkan lebih dari sekedar panggilan normatif. Kali ini, saya berargumen bahwa analisa struktural merupakan sebuah konsekuensi logis bagi kita untuk memahami persoalan korupsi dan politik Indonesia secara lebih baik dan mendalam.

Kasus Korupsi dan Kondisi Politik Tanah Air

Kasus LHI dan AU tentu bukan kasus korupsi yang pertama kali di Indonesia. Korupsi seakan-akan sudah menjadi persoalan klasik dan fitur utama dalam politik di tanah air. Ironisnya,  para politisi, pejabat publik, dan tokoh masyarakat yang tersangkut kasus korupsi juga memiliki latar belakang dalam Islam Politik – sebuah ironi karena tendensi politik yang koruptif justru lahir dari sebuah pemikiran dan aliran politik yang sempat digadang-gadang memiliki potensi memperjuangkan proses politik yang lebih bersih.

Yang tidak kalah menarik dari dua kasus korupsi terbaru ini adalah analisa terhadap kasus-kasus tersebut. Setidaknya dalam pengamatan saya, seringkali kita tergelincir ke dalam dua pandangan simplistik dalam analisa korupsi dan politik di Indonesia pada umumnya: pertama,pandangan ‘moralisasi’; dan kedua, pandangan yang terlalu menekankan pada agency atau peranan aktor politik. Terkadang, pandangan-pandangan ini juga tergelincir dalam ‘teori konspirasi’ atas politik Indonesia, yang meskipun mungkin saja memiliki sejumlah nilai kebenaran, tidak memiliki daya analitik yang kuat dalam menjawab persoalan. Pandangan-pandangan ini bermasalah setidaknya dalam tiga aspek. Pertama, ia cenderung mengalihkan perhatian dan mengaburkan pandangan kita akan inti persoalan. Kedua, pandangan-pandangan ini cenderung ahistoris dalam konteks tertentu. Dan ketiga,  pandangan-pandangan ini juga abai pada konteks dan pengaruh struktural di mana para aktor politik memainkan peranannya.

Persoalan pertama dapat segera terlihat dalam kecenderungan kita untuk memotret persoalan korupsi sebagai kasus ‘kurangnya moral dan akhlak’ dari ‘segelintir elit’ yang karena ‘nafsu kekuasaan’ terjerumus dalam praktek korupsi dan jenis-jenis politik yang merugikan masyarakat. Moral, dalam artiannya yang paling abstrak, memang diperlukan oleh manusia. Tetapi moralisasi dalam analisa politik menjadi suatu hal yang bukan hanya problematik namun juga berbahaya, karena perspektif ini cenderung mengabaikan akar permasalahan, mendiskon semua penjelasan menjadi penjelasan tentang human nature atau fitrah manusia yang pada dasarnya buruk, dan karenanya ‘nilai-nilai’ berpolitik yang baik perlu dipromosikan. Ini tak ubahnya khutbah Jumat atau ceramah Minggu yang dogmatis dan diulang-ulang, tidak menjawab persoalan dan justru menumpulkan daya analisa kita.

Kedua, perspektif moralistis dan agency-oriented dalam analisa kasus korupsi dan fenomena politik lainnya cenderung ahistoris dalam dua aspek, yaitu kecenderungan untuk melihat proses-proses sejarah di balik munculnya sebuah fenomena politik dan juga kecenderungan melihat proses sejarah sebagai rangkaian-rangkaian episodik yang atomistis, bisa dipecah dan dilihat trennya dalam analisa statistik, sembari melupakan interaksi kompleks atas berbagai faktor politik, ekonomi, dan sosial yang melatarbelakangi suatu peristiwa politik. Pemahaman akan sejarah politik kita menjadi sebuah bekal yang penting untuk melihat bagaimana kontinuitas dan perubahan terjadi dalam politik kita dalam kurun waktu tertentu. Kesadaran akan sejarah ini menjadi penting bagi siapa saja, tidak hanya terbatas untuk kalangan ilmuwan politik maupun politisi; dalam konteks ini kita perlu mengingat orang-orang seperti Pramoedya Ananta Toer, yang memiliki pemahaman sejarah yang kuat berdasarkan riset dan studi mendalam akan sejarah Indonesia.

Ketiga, kelemahan lain atas perspektif moralis dan bias aktor politik ini terlihat dalam abai atau enggannya melihat faktor-faktor struktural dalam memahami fenomena politik. Kasus korupsi juga perlu dilihat dalam kacamata struktural untuk membantu kita memahami lebih dalam mengapa setelah sekian tahun proses reformasi politik berjalan, korupsi masih menjadi permasalahan utama yang juga merambat ke sektor-sektor lain seperti politik lokal, kebijakan desentralisasi, hubungan agama-negara, profesionalisasi partai politik dan masih banyak bidang-bidang lain.

Di tengah kelemahan perspektif moralis ini, suatu pemahaman struktural akan korupsi bisa membantu kita lebih memahami merajalelanya praktek korupsi dan imbasnya terhadap memajukan praktek demokrasi di tanah air.

Dalam kaitannya dengan kasus LHI dan AU, analisa struktural diperlukan untuk lebih memahami persoalan ini secara lebih jernih. Sembari tetap mengawasi proses hukum dan kontestasi politik yang berkaitain dengan kedua kasus ini secara seksama, sebuah analisa structural, yang juga memperhatikan aspek kesejarahan, dapat membantu kita untuk memahami persoalan-persoalan seperti dinamika antar elit dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD), basis dukungan atas LHI dan AU dalam partai mereka masing-masing, latar belakang keorganisasian dari kedua tokoh tersebut, dan hubungan politik patronase dan bentuk-bentuk praktek politik yang berpotensi mempromosikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) oleh dua aktor politik tersebut. Tentu saja, tugas ini tidak mudah, terutama di tengah berbagai pemberitaan oleh media massa mainstream yang mewakili pengaruh kapital dan kepentingan politik tertentu.

Analisa Stuktural-Historis atas Korupsi dan Berbagai Fenomena Politik Lainnya

Beberapa studi terbaru dalam ilmu politik, terutama dalam konteks politik negara berkembang, sesungguhnya sudah menunjukkan pentingnya memperhatikan aspek struktur dan sejarah atas proses-proses politik, karena aktor-aktor politik tidak muncul secara tiba-tiba dari kevakuman sejarah dan lepas dari konteks struktural. Sebaliknya, aktor-aktor politik selalu terkait dengan konteks struktural dan sejarah di mana mereka berpolitik.

Studi Jeffrey Winters (2011) dalam bukunya Oligarchy, misalnya, menekankan bagaimana oligarki dapat bertahan dalam struktur politik yang demokratis. Menurut Winters, oligarki, yang diartikan sebagai politics of wealth defense, atau politik pembelaan dan perlindungan atas kekayaan dan harta yang dilakukan oleh para oligark, atau lapisan super kaya dalam sebuah masyarakat, dapat eksis dalam berbagai jenis rejim politik sepanjang sejarah, baik otoriter maupun demokratis, dari mulai zaman Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi hingga zaman politik modern di Amerika Serikat maupun Indonesia. Perilaku koruptif para elit politik, dalam kacamata ini, dapat dilihat sebagai tendensi para elit politik untuk menjadi bagian dari oligarki itu sendiri atau untuk menjadi proxy atau perantara atas kepentingan para oligark.

Yang tidak kalah penting dari aspek struktural dalam analisa politik adalah aspek material dalam konteks struktural, seperti akses ke uang dalam proses politik, seperti untuk pendanaan kampanye dan biaya operasional berpolitik. Dalam suatu wawancara, ilmuwan politik Marxis-Empirisis terkemuka Adam Przeworski (2003) menyatakan bahwa dalam mempelajari demokrasi, salah satu hal yang terpenting adalah mempelajari bagaimana akses ke uang dalam proses politik. Menurut Przeworski, kekuatan ekonomi (economic power) baik dalam bentuk akses dan penguasaan kapital dapat diubah menjadi kekuatan politik (political power), dan juga sebaliknya, memperlihatkan keterkaitan antara kedua faktor tersebut. Kemudian, perlu diingat bahwa sumber daya material dalam sebuah arena politik tidaklah sama bagi tiap-tiap kelompok, dan pemahaman ini menjadi penting dalam memahami pertarungan antar para aktor politik dalam merebut kuasa.

Sedangkan dari aspek kesejarahan, studi Dan Slater (2010) dalam bukunya Ordering Power,menunjukkan bagaimana respon elit terhadap gejolak politik massa menentukan bentuk rejim politik negara-negara di Asia Tenggara. Ketakutan para elit atas gejolak politik massa yang menuntut kebijakan-kebijakan redistribusionis, misalnya, akan mendorong para elit untuk menguatkan aliansi di antara mereka dan membentuk rejim otoriter. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi, kita dapat menggunakan kesadaran kesejarahan semacam ini untuk melihat bagaimana perilaku elit politik kita menanggapi berbagai gerakan sosial yang mendukung pemerintahan bersih dan tekanan publik atas para elit politik. Secara jangka panjang, kita perlu melihat pola interaksi antara negara, elit politik, dan masyarakat berkaitan dengan tindakan atas kasus korupsi. Bagi massa dan gerakan sosial, tentu saja ini penting untuk merumuskan strategi politik seperti apa yang efektif untuk tidak hanya menekan para elit, tetapi juga memberlakukan batasan-batasan struktural yang efektif atas perilaku koruptif mereka.

Dalam konteks politik lokal dan reformasi institusi atau kelembagaan, fenomena korupsi ini juga membuat pesan Vedi Hadiz (2004) dalam artikelnya berjudul Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspective  menjadi semakin relevan. ‘Demokratisasi,’ dalam artiannya yang teknis, ‘non-partisan,’ teknokratis, dan seringkali diboncengin oleh agenda-agenda ekonomi Neoliberal tidaklah cukup. Elitisme di tingkat lokal dan nasional, marginalisasi aspirasi-aspirasi rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan, terutama di tingkat lokal, merupakan segelintir agenda yang tidak tersentuh oleh reformasi kelembagaan. Dengan kata lain, reformasi kelembagaan saja tidak cukup. Eksistensi partai politik dan adanya mekanisme politik elektoral per se, bukan berarti selesainya masalah jikalau elit-elit tertentu masih mendominasi proses politik, patrimonialisme dan patronase masih bercokol, serta negara dan partai politik masih didominasi oleh agenda-agenda elitis dan logika kuasa dan kapital yang oligarkis.

Penutup

Kasus korupsi LHI dan AU hanya merupakan puncak dari ‘Gunung Es’ permasalahan politik di Indonesia. Andaikata media massa seperti televisi dan surat kabar memiliki kolom yang lebih realistis, seperti laporan tentang kesenjangan sosio-ekonomi dan daftar nama para aktor politik yang bermasalah, tentu kita dapat lebih menyadari bahwa pekerjaan rumah kita masih banyak dan panjang.

Setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa kasus korupsi LHI dan AU ini.Pertama, membangun partai politik bukanlah sebuah hal yang mudah, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini. Partai politik dari berbagai spektrum perlu belajar mengenai bagaimana membangun gerakan politik dan tidak hanya hadir dalam pemilu atau proses-proses politik yang bersifat seremonial belaka. Parpol juga perlu berbenah diri dalam memerangi praktek korupsi, memperluas basis keanggotaan dan dukungan di akar rumput, serta sumber-sumber pendanaan yang mandiri, lebih akuntabel, dan demokratis.

Kedua, kondisi politik di Indonesia menyadarkan kita bahwa semakin penting untuk menyadari dan memahami secara serius negara dan partai sebagai situs perjuangan kelas. Literatur-literatur filsafat dan politik Kiri-progresif sudah mengingatkan kita akan pentingnya memahami dan merebut negara dan proses politik elektoral. Indonesia pasca-Order Baru yang sedang menjalani proses demokratisasi menjadi sebuah kesempatan dan laboratorium untuk menguji dan merefleksikan kembali pemahaman-pemahaman kita atas sebuah visi politik yang progresif dan emansipatoris.

Ketiga, yang terakhir dan tidak kalah penting, sebelum ‘merebut negara’ dan menggunakan kesempatan proses demokrasi elektoral (baca: borjuis), gerakan sosial dan massa pertama-tama perlu menyadari dan me-ruqyah, mengusir tendensi koruptif dan oligarkis dalam gerakan sendiri. Robert Michels (1911) menunjukkan tendensi tersebut hadir dalam beberapa partai-partai sosialis dan gerakan buruh di Eropa. Dalam konteks kita, sudah menjadi rahasia umum bahwa benih-benih tindakan korupsi terlihat dan bahkan dipupuk dalam banyak organisasi pelajar ekstra kampus dan dunia masyarakat sipil (civil society).

Dalam proses mengatasi masalah dan gejala korupsi, kita sebagai bagian dari massa bisa berkontribusi dalam proses tersebut dengan memulai membersihkan halaman belakang kita sendiri dulu.***

Penulis berterima kasih atas diskusi dan masukan dari rekan Coen Husain Pontoh mengenai pentingnya perspektif struktural dalam analisa politik.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Bangkitnya Politik Rasional? Sebuah Analisa atas Kemenangan Jokowi

Selasa, 14 Agustus 2012

http://www.pelitaonline.com/read-opini/148/bangkitnya-politik-rasional-sebuah-analisa-atas-kemenangan-jokowi/#.UCmThw5ppnU.facebook

Bangkitnya Politik Rasional? Sebuah Analisa atas Kemenangan Jokowi

Oleh : Iqra Anugrah*

Kemenangan tak terduga pasangan Jokowi-Basuki (JB) dalam pilkada gubernur Jakarta 2012 yang bahkan tidak terdeteksi oleh berbagai lembaga survey ternyata telah membangkitkan animo masyarakat kepada politik. Berbagai ahli, berita dan artikel opini menyambut fenomena politik ini sebagai pertanda bahwa para pemilih, dan konsekuensinya, politik kita semakin lama semakin rasional dan bahkan menunjukkan peningkatan kesadaran politik kritis warga Jakarta. Namun demikian, apakah klaim tersebut sepenuhnya benar?

Klaim bangkitnya politik rasional didasarkan oleh beberapa fakta, seperti dukungan publik terhadap JB, mayoritas swing voters atau pemilih yang belum menentukan pilihannya yang memilih JB, hingga prestasi Jokowi di Solo dan agenda pembaharuan politiknya yang dianggap dapat mengubah Jakarta. Pernyataan-pernyataan tersebut dapat dikatakan cukup valid untuk menjustifikasi klaim rasionalitas politik. Tetapi, ada satu hal yang dapat dikatakan masih luput dari perhatian warga Jakarta dan para pengamat: sejauh apakah perilaku “rasionalitas” ini dihayati dan bekerja pada tingkatan yang lebih jauh, seperti pengetahuan dan kesadaran akan koordinasi dan kompetisi di antara para elit politik di belakang kemenangan JB serta manuver politik tandingan dari partai-partai yang mendukung pasangan Fauzi Bowo/Foke-Nara (FN)?

Di sinilah, klaim rasionalitas pemilih dapat kita uji ulang dan problematisasi. Kesuksesan JB di rekam jejak politik mereka sebelumnya tentu perlu diapresiasi. Tetapi, dalam konteks pilkada Jakarta, yang seringkali dijadikan barometer dan miniatur politik nasional, turut bermainnya beberapa elit politik kenamaan seperti Prabowo, Megawati dan Jusuf Kalla yang memberikan dukungan mereka dalam pertarungan politik JB merupakan hal yang tak terhindarkan jikalau bukan keniscayaan. Apalagi, beberapa figur, seperti Jusuf Kalla, sedang terlibat kompetisi politik dengan para rekan dan elit dari partainya sendiri, Oleh karena itu, pertanyaan pertama adalah, sejauh mana para pemilih sadar akan kenyataan politik ini?

Di kubu “seberang”, yaitu pasangan  FN, konsolidasi terutama pada tingkat partai dan elit juga dilakukan. Selain Demokrat, yang sedari awal memang merupakan bagian dari tim FN, Golkar juga melemparkan dukungannya kepada FN. Terakhir, PKS, terutama para elit partainya, juga turut menjadi bagian dari gerbong pendukung FN, yang berarti mengambil sikap berbeda jikalau tidak mengkhianati kritisisme awal PKS terhadap administrasi Foke dan aspirasi konstituen PKS di akar rumput yang cenderung pro-Jokowi. Ini membawa kita ke pertanyaan kedua: bagaimana para pemilih menghadapi perbedaan preferensi politik antara “garis partai” dan aspirasi pada tingkat grassroots akar rumput, terutama bagi partai-partai dengan tingkat soliditas pemilih yang relatif kuat seperti Golkar dan PKS.

Rasionalitas dan kedewasaan berpolitik kita juga diuji dengan berbagai manuver politik dan kampanye yang tidak etis, seperti memainkan isu SARA secara tidak tepat seperti mendiskreditkan kelompok etnis atau agama tertentu. Selain tidak mencerminkan politik rasional, strategi seperti ini juga tidak mencerdaskan rakyat dan akan makin mengalihkan perhatian kita dari kebobrokan politik dan administrasi yang dilakukan oleh para pemain politik di Jakarta selama ini.

Di satu sisi, kita tidak bisa menampikkan dukungan populer untuk pasangan JB di tingkat akar rumput. Publik tentu memiliki kapasitas untuk menilai kemampuan dan potensi kepemimpinan pasangan JB, yang dianggap sangat kompeten dalam menyelesaikan berbagai permasalahan ibukota dan problematika politik yang melingkupi masalah-masalah tersebut, sebagaimana ditunjukkan oleh perolehan suara pasangan JB.

Berdasarkan fakta tersebut, tantangannya adalah, bagaimana JB yang ditopang oleh dukungan populer publik dapat mengedepankan agenda pembaharuan politik di Jakarta? Sesungguhnya, tantangan ini terbagi menjadi dua. Pertama, ini adalah fenomena yang sering disebut sebagai structure-agency problem atau problema struktur-agensi dalam ilmu sosial, yaitu manakah yang lebih berpengaruh dan sejauh manakah dua elemen ini bisa saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam konteks pilkada Jakarta, problema ini dapat secara sederhana dirumuskan seperti berikut: sejauh mana JB, yang memilki dukungan populer, dapat memainkan agensi atau peranannya menghadapi struktur, yaitu permainan politik para elit politik lama yang secara potensial memiliki agenda dan kepentingan lain yang mungkin tidak sejalan dengan agenda reformasi JB dan warga Jakarta dan para parpol yang cenderung ingin mempertahankan status quo. Kedua, sejauh apa “rasionalitas” pemilih dan warga Jakarta juga makin diuji dalam situasi seperti ini, terutama dalam hal sejauh apa publik dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses pilkada melalui jalur-jalur non-elektoral, seperti mengadakan diskusi dengan warga sekitar mengenai pilihan terbaik untuk pilkada, turut mengawasi jalannya proses politik secara kritis dan lain sebagainya. Poin yang kedua ini mungkin lebih menantang untuk dilakukan, apalagi di dalam konteks masyarakat kita di mana sumber daya, baik secara sosial, ekonomi-politik dan informasi, untuk melakukan pendidikan politik masih kurang.

Tentu saja, ini bukan sesuatu yang mudah, apalagi jikalau agenda politik pembaharuan di Jakarta bertujuan untuk melawan dominasi para elit politik dan partai-partai yang agendanya seringkali tidak selaras dengan kemaslahatan publik. Baik JB dan publik juga harus ingat bahwa tidak selain tokoh-tokoh senior dan parpol, ada “musuh” besar lain yang harus dilawan di Jakarta, yaitu struktur ekonomi-politik dan sosial yang tidak adil dan eksploitatif yang didukung oleh aksi-aksi para politisi dan parpol itu sendiri dan ditopang oleh berbagai elemen atau “pemain” tambahan seperti birokrasi Jakarta yang tidak efisien dan konservatif terhadap perubahan hingga laskar-laskar berorientasi etno-religius dan sektarian yang seringkali melakukan tindak kekerasan dalam aktivitasnya.

Should we keep our hope alive? Haruskah kita optimis dengan prospek perubahan dari pilkada Jakarta kali ini? Saya pikir iya. Yang pasti, harapan ini perlu didukung oleh kehati-hatian atas manuver-manuver dari mereka yang ingin mengedepankan agenda elit dan partai di atas agenda rakyat dan juga usaha-usaha dari pemilih Jakarta –yang saya harap makin rasional– untuk memberikan sinyal kepada para politisi dan partai bahwa publik menginginkan pembaharuan. Apakah itu bisa dilakukan? Hanya publik Jakarta sendiri tentu yang dapat menjawabnya.

*Penulis adalah alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University dan Ohio University, akan melanjutkan studi doktoral ilmu politik di Northern Illinois University di AS pada akhir Agustus tahun ini.

Politik Bencana dalam Perspektif Etika

Politik Bencana dalam Perspektif Etika

Oleh Iqra Anugrah

Serangkaian bencana alam dan musibah kembali terjadi. Mulai dari banjir bandang di Wasior, letusan Gunung Merapi, hingga gempa dan tsunami di Mentawai.

Sejumlah pertanyaan dan kontroversi muncul ketika beberapa pejabat negara melontarkan pernyataan dan tanggapan mereka. Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan bahwa bencana adalah konsekuensi tinggal di pulau. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring di akun Twitter-nya menafsirkan bencana sebagai azab, sembari mengutip ayat-ayat Al Quran.

Tentu saja perilaku dua petinggi negeri ini mendapat kritik masyarakat. Respons mereka terhadap bencana dinilai tidak pantas dan tidak peka terhadap situasi dan kondisi korban bencana yang juga warga Indonesia.

Ada beberapa cara untuk menafsirkan bencana dan kuasa Tuhan di dalamnya. Kita bisa melihat Tuhan yang sedang marah dan menghukum hamba-Nya atau Tuhan yang penuh kasih sayang yang sedang menguji hamba-Nya. Pandangan-pandangan ini kemudian menemukan justifikasi dalam kisah-kisah bencana dalam semua tradisi agama-agama, terutama bagi mereka yang menafsirkan bencana sebagai azab.

Argumen-argumen ini, menurut penulis, hendaknya dipahami secara hati-hati dan tidak berlebihan. Sangatlah tidak bijak apabila kita terjebak dalam dikotomi biner seperti di atas.

Diperlukan empati

Dengan demikian, menafsirkan apa maksud Tuhan di balik bencana menjadi tidak begitu penting. Yang diperlukan adalah empati dan solidaritas sosial dalam ikatan kemanusiaan.

Introspeksi diri perlu dalam konteks keimanan dan tanggung jawab sosial. Baik rakyat biasa maupun pejabat, kita manusia tidak luput dari kesalahan.

Yang menjadi masalah adalah kalau kita tak pernah belajar dari kesalahan, sebagaimana terlihat dalam politik bencana kita yang tecermin dalam respons pemerintah. Sebaliknya respons masyarakat Indonesia, seperti biasa, sangatlah luar biasa. Solidaritas sosial tecermin dengan mengalirnya bantuan dari berbagai lapisan masyarakat.

Tentu kita tidak perlu menafikan kerja keras dari pemerintah. Namun, yang menjadi krusial di sini adalah fakta bahwa kita hidup berdampingan dengan bencana alam. Oleh karena itu, sistem peringatan bencana dan penanganan pascabencana menjadi krusial dan sudah sepatutnya menjadi perhatian dan agenda utama pemerintah.

Dalam disiplin ilmu politik dan hubungan internasional, bencana alam dikategorikan sebagai ancaman keamanan nontradisional. Paradigma baru ini dapat menjadi acuan pemerintah dalam melakukan manajemen dan mitigasi bencana, terutama jika kita memperhitungkan efek yang dapat ditimbulkan bencana pada negara-negara tetangga kita, seperti efek asap letusan gunung atau kebakaran hutan.

Di sini, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi penting. Masyarakat tentu dapat berjalan sendiri, tetapi pemerintah sepatutnya dapat menjadi pelayan dan pengayom warga negara.

Mengedepankan etika

Wasior, Merapi, dan Mentawai, semuanya merupakan momentum bagi kita semua untuk merenungkan dan mengkaji kembali pemahaman dan pengelolaan bencana kita. Di tengah-tengah arus besar solidaritas kemanusiaan, kita kekurangan satu elemen penting yang merupakan dasar bagi setiap tindakan, yaitu etika.

Sikap Ketua DPR dan Menkominfo adalah contoh nyata kurangnya etika dalam pribadi pemimpin dan penyelenggara negara kita. Alih-alih memberikan contoh dan kepemimpinan dalam menyelamatkan korban bencana, para pejabat kita malah berkomentar yang tidak perlu. Hal ini juga merupakan cerminan betapa karut-marutnya pemahaman politik dan keagamaan yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi serta kurangnya modal sosial dan tenggang rasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pusatkan ke sosial

Ke depan, segala perdebatan dan diskusi tentang bencana alam hendaknya dipusatkan pada persoalan sosial. Yang terpenting adalah bagaimana kita melihat bencana sebagai ancaman dan tantangan nasional, terutama bagi keamanan, persatuan, serta kesejahteraan bangsa Indonesia.

Bencana juga harus dilihat sebagai kesempatan untuk menyegarkan kembali kemanusiaan kita dan menyadarkan bahwa sesungguhnya kemanusiaan melintasi batas-batas suku, agama, ras, kelompok etnis, strata sosial-ekonomi, jender, maupun perbedaan dalam pandangan politik, ekonomi, maupun teologi.

Deretan bencana kali ini hendaknya menjadi kesempatan bagi kita untuk meneguhkan kembali iman dan religiositas kita, serta mengejawantahkannya dalam solidaritas dan rekonsiliasi sosial antarsesama warga republik, dalam bingkai kebinekaan dan kedamaian.

Iqra Anugrah Mahasiswa Program Master di Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang

http://epaper.kompas.com/epaper.php?v=1.0

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/04/02560881/politik.bencana.dalam.perspektif.etika