Seluk Beluk Belajar di AS

Kolom

Seluk Beluk Belajar di AS

Senin, 03 September 2012 08:17

Alumni PII – Bagi sebagian orang, belajar di Amerika Serikat (AS) terdengar seperti sebuah cita-cita sekaligus mitos: cita-cita karena belajar di AS biasanya tidak mudah, baik dari segi pembiayaan, seleksi, maupun proses belajar dan adaptasi hidup di sana dan mitos karena belajar di AS biasanya diasosiasikan dengan kampus dan kualitas akademik terbaik di dunia. Klaim-klaim ini, dapat dikatakan baru setengah benar – kenyataannya, proses persiapan dan pengalaman studi di AS memiliki banyak dimensi.

Karenanya, saya ingin berbagi sedikit cerita dari pengalaman saya selama studi tingkat pascasarjana di AS. Kalau boleh jujur, pengalaman yang saya dapatkan belumlah banyak, namun saya berharap, refleksi personal saya dapat memberikan sedikit gambaran dan pencerahan mengenai studi di AS, baik dari segi teknis maupun substansi.

Proses Pendaftaran Sekolah dan Beasiswa

Secara garis besar, proses pendaftaran universitas dan beasiswa di AS dapat dibagi menjadi dua jalur: melalui lembaga beasiswa atau langsung ke universitas. Tiap-tiap pilihan ada plus dan minus-nya, tergantung bagaimana kita menilainya, tetapi dua-duanya dapat membantu meringankan beban studi dan memperkaya pengalaman hidup selama belajar di AS.

Untuk jalur beasiswa, ada beberapa lembaga pemberi beasiswa yang cukup ternama, seperti Aminef/Fulbright, Ford Foundation, Dikti dan beasiswa Prestasi. Program Fulbright yang dikelola oleh Aminef Indonesia ditujukan untuk dosen di perguruan tinggi dan juga kepada pendaftar yang memiliki potensi sebagai calon pemimpin masa depan seperti diplomat muda, intelektual, dan lain sebagainya. Karenanya, untuk proses seleksinya, penekanannya terletak pada kemampuan berbahasa Inggris, pengalaman dan proposal penelitian.

Di sisi lain, beasiswa Ford Foundation yang sayangnya sudah berakhir programnya memprioritaskan calon pendaftar yang memiliki karya dan basis nyata di masyarakat yang diperkirakan akan menjadi pemimpin di komunitasnya. Sehingga, untuk beasiswa Ford, kemampuan bahasa Inggris tidak terlalu diutamakan, sebaliknya karya nyata dan dedikasi di lapangan serta rencana riil pasca menyelesaikan studi menjadi kriteria utama di proses seleksi.

Beberapa program lain, seperti beasiswa Dikti dari Depdiknas dan beasiswa Prestasi yang didanai oleh USAID juga memberikan kesempatan beasiswa bagi mereka yang ingin belajar ke AS.

Untuk jalur non-lembaga atau melalui beasiswa kampus, seperti yang saya jalani, proses pendaftarannya bisa dibilang lebih mudah sekaligus lebih susah. Lebih mudah karena tidak harus menjalani proses seleksi dan persaingan yang ketat, tetapi juga lebih susah karena harus mengurusi dokumen-dokumen yang diperlukan dengan telaten plus membayar uang pendaftaran yang terkadang tidak murah.

Biasanya, beasiswa hampir pasti menyertai penerimaan – dengan kata lain, jikalau kita diterima program pascasarjana (terutama doktoral) maka itu sudah beserta beasiswanya juga. Terkadang, karena menerima beasiswa dari kampus, kita juga diharuskan untuk bekerja di departemen kita sebagai asisten dosen atau asisten riset (dikenal juga dengan istilah TA, RA dan GA) dengan tugas-tugas mulai dari membantu riset dosen, koreksi nilai hingga mengajar kelas sendiri.

Pengalaman Belajar dan Peta Kampus di AS

Belajar di AS untuk tingkat pascasarjana memiliki sistem yang agak berbeda dibanding negara lain. Untuk tingkat master, sistem yang berlaku relatif sama dengan sistem di Indonesia dan negara lain, yaitu kita harus mengambil kelas. Untuk lulus, biasanya ada tiga pilihan, yaitu antara menulis thesis, mengambil comprehensive exams (biasa disingkat sebagai comps) atau ujian komprehensif, atau mengerjakan project seperti film dokumenter untuk jurusan-jurusan tertentu.

Adapun untuk tingkat doktoral atau PhD, sistem di AS agak berbeda, dan bisa dibilang lebih menantang dibandingkan dengan negara lain. Jikalau di tempat-tempat lain mahasiswa/i doktoral bisa langsung riset, di AS, PhD student diwajibkan untuk mengambil kelas-kelas terlebih dahulu di luar bidangnya. Sebagai contoh, seandainya kita masuk departemen ilmu politik, meskipun kita ingin fokus ke jurusan Hubungan Internasional, kita diwajibkan untuk mengambil mata kuliah dari sub-bidang lain, seperti Politik Perbandingan, Politik Amerika, Filsafat Politik atau Metodologi.

Terkadang ada juga komponen teaching atau tutorial yang cukup signifikan. Tujuannya adalah supaya kita bisa mengetahui bidang-bidang lain di dalam disiplin ilmu kita yang di luar keahlian kita. Implikasinya, studi doktoral di AS bisa lama – dari 4-7 tahun, disbanding di negara lain yang rata-rata cuma 3-4 tahun. Bagi sebagian orang, ini terdengar merepotkan dan susah, tapi bagi yang ingin mengejar kedalaman pengetahuan dan kematangan metode riset, ini justru tantangan yang menarik untuk dicoba.

Untuk kampus, tentunya kampus-kampus besar, seperti Harvard, MIT, Cornell, punya kualitas program dan beasiswa yang bagus, tetapi tidak serta-merta kampus tersebut cocok buat kita. Untuk studi-studi politik Asia Tenggara misalnya, ada tempat-tempat seperti Ohio University, Northern Illinois University dan University of Hawaii yang memiliki pusat kajian Asia yang cukup kuat. Untuk yang tertarik studi politik dengan pendekatan kritis dan memiliki nuansa pendekatan Eropa Kontinental, maka tempat-tempat seperti New School University dan University of Wisconsin-Madison merupakan beberapa tempat yang cocok.

Untuk mengetahuinya, sisihkanlah sebagian waktu untuk “riset” kecil-kecilan mengenai informasi kampus dan pengajar, reputasinya, kualitas dan kekuatan programnya, kiprah alumninya, dan hal-hal lain yang kira-kira berkaitan. Memang agak sedikit makan waktu, tetapi informasinya akan sangat membantu dalam menentukan universitas pilihan. Lagipula, no pain no gain kan?

Refleksi Pribadi

Mungkin saya tidak akan banyak menghabiskan kata-kata di sini, tetapi untuk sedikit memberikan gambaran, berdasarkan pengalaman dapat disimpulkan bahwa selama saya sangat menikmati dinamika studi saya di AS, baik dalam konteks akademik maupun non-akademik. Selain lingkungan kampus yang mendukung dan fasilitas yang melimpah, komunitas mahasiswa/i asing, komunitas Muslim dan komunitas Indonesia juga sangat membantu saya dalam menjalani hari-hari di negeri orang.

Tantangan terbesar bagi saya, secara keilmuan sekaligus praxis, adalah untuk betul-betul kreatif dalam proses studi dan pengembaraan intelektual saya. Dengan kata lain, ketika membaca literatur dari kelas dan mengikuti perkuliahan, saya merasa tertantang untuk tidak hanya “menelan mentah-mentah” apa yang disampaikan dan didiskusikan dalam kelas, melainkan berdialektika dan membuat sintesa yang menarik dari apa-apa yang saya dapatkan.

Karena, jangan lupa, betapapun terbukanya dan kreatifnya ruang kelas, ada kemungkinan bias-bias poskolonial, bias kelas, dan bias-bias lainnya yang ada di dalam masyarakat kita mungkin terjadi kembali secara tidak sadar dan “menjangkiti” kita.

Satu hal yang dapat menjadi “senjata ampuh” buat kita adalah pengalaman kita sebagai pelaku dan “pengamat” sekaligus –  kita mengetahui realita di masyarakat kita, dan sekarang selama studi, kita melakukan “penjarakan” untuk melakukan refleksi atas realita tersebut.

Dengan menulis narasi kita dan membawanya ke ruang kelas, maka kita dapat semakin memperkaya proses pendidikan di kelas, baik bagi kita, rekan-rekan kita dan juga dosen-dosen kita. Karena, sebagaimana dikatakan oleh Tan Malaka, “belajarlah dari Barat, tetapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas.”

DeKalb, ILLINOIS, AS, 1 September 2012

Oleh Iqra Anugrah*

Iqra Anugrah adalah kader PII, sekarang sedang menempuh pendidikan doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS