Surat dari ‘Northern Illinois University’

Di tengah-tengah gempuran hedonisme, korporatisasi sekolah dan universitas, serta neoliberalisme, saya tidak tahu apakah semangat itu masih ada di angkatan muda kita sekarang, terutama yang di perkotaan – yang mungkin sudah puas dengan kuliah, pulang, nongkrong dengan teman, sibuk dengan mode pakaian dan gaya hidup terbaru sembari mencari peluh di pusat-pusat kebugaran terkemuka.


Kamis, 6 September 2012Iqra Anugrah*

Surat dari ‘Northern Illinois University’

TERKADANG, banyak hal besar bermula dari hal-hal kecil yang bersifat keseharian. Saya tidak ingin mengklaim bahwa saya sudah melakukan suatu gebrakan yang luar biasa dan sebagainya ataupun mengumbar narasi kehidupan saya, karena seperti kata Chomsky, cerita mengenai kehidupan seseorang terkadang justru mengaburkan pemahaman kita dari ide, gagasan serta aksi orang tersebut. Tetapi, saya ingin sedikit berbagi, siapa tahu cerita ini bisa bermanfaat. Berikut saya kirimkan surat dari Northern Illinois University, tempat saya berada sekarang.

Narasi saya mungkin biasa-biasa saja, mungkin juga tidak. Saya lahir di Jakarta, dibesarkan di keluarga kelas menengah. Tidak ada yang spesial dalam kehidupan saya, tapi mungkin beberapa kejadian dalam hidup saya sangat berpengaruh dalam pembentukan pandangan hidup dan politik saya. Kurang lebih ada tiga hal yang membentuk pandangan tersebut, yaitu masa-masa ketika keluarga saya harus berjuang secara finansial, pengalaman urban seperti menaiki bis kota yang memungkinkan saya melihat kesenjangan dalam masyarakat kota dan kehidupan secara umum dan persentuhan saya dengan dunia pergerakan Islam di Pelajar Islam Indonesia (PII) yang meskipun singkat dan mungkin tidak dalam, mengajari saya mengenai pentingnya politik, pendidikan dan aspek spiritual sekaligus melengkapi apa-apa yang saya ketahui mengenai dunia pergerakan dari keluarga saya – kebetulan, saya lahir dari keluarga dengan tradisi pergerakan, ibu saya dulunya adalah aktivis HMI. Meskipun kemudian saya berangkat ke luar negeri untuk studi, persentuhan saya di pergerakan tetap terjaga dengan menjalin kontak personal dengan teman-teman di tanah air sekaligus aktif dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), terutama ketika saya di Jepang. Pengalaman ini juga yang turut mendorong saya untuk terjun ke dunia sosial baik dalam ranah aksi dan pergerakan maupun keilmuan dan pemikiran.

Perjalanan hidup saya juga diwarnai oleh pengembaraan intelektual saya. Awalnya saya tertarik untuk mendalami ilmu agama Islam – ketika kecil, awalnya saya kira saya akan menjadi seorang pemuka agama atau sufi. Tetapi pengembaraan saya ternyata membawa saya ke arah pemikiran yang tak terduga. Semenjak SMP, saya mulai tertarik dengan kajian Islam (Islamic Studies) dan filsafat Barat – saya mulai membaca buku-buku dan bacaan “aneh” lainnya secara sporadis. Ketika SMA, saya memang masuk di kelas IPA, tetapi dunia sains dan eksakta yang menjadi rigid dalam sistem pendidikan Indonesia yang konservatif itu tidak menarik bagi saya – minat saya tetap di dunia sosial dan humaniora. Pada saat yang bersamaan, minat saya mulai bergeser, dari filsafat ke ilmu politik – yang saya pikir lebih empiris dan lebih dapat menjawab pertanyaan dan persoalan riil di masyarakat seperti eksploitasi dan kemiskinan.

Alhamdulillah, dengan bantuan beasiswa dari satu universitas internasional di Jepang, Ritsumeikan Asia Pacific University, saya dapat meneruskan dan mendalami minat saya itu. Sebenarnya, tidak ada jurusan “ilmu politik” di universitas saya seperti di Indonesia atau di Amerika – pada saat itu, yang terdekat dengan ilmu politik adalah jurusan Hubungan Internasional, maka jadilah saya bidang tersebut. Tidak disangka, “pencerahan” yang saya dapatkan di kampus justru datang dari dosen-dosen saya yang mendalami antropologi, sosiologi dan kajian kawasan seperti kajian Asia Tenggara. Dari seseorang yang berpikir akan menekuni karir sebagai ahli dan praktisi Hubungan Internasional yang mengerti seluk beluk masyarakat Eropa dan Barat pada umumnya yang akan bekerja di organisasi kepemerintahan atau LSM internasional, saya melakukan “loncatan intelektual” dengan menekuni studi politik Asia Tenggara – salah satunya karena saya berkesimpulan kita, orang Timur, perlu membuat narasi kita sendiri. Setelah menyelesaikan S1, yang kebetulan tempuh dalam waktu 3 tahun, saya memutuskan untuk mengambil S2 di bidang kajian Asia di universitas yang sama. Tahun 2011 kemarin, saya lulus dengan gelas M.Sc. In Asia Pacific Studies dengan tesis tentang partai politik dan perda syariah. Total, dalam waktu 4 tahun saya tuntaskan pendidikan S1 dan S2 saya.

Sebenarnya, saya dapat melanjutkan studi doktoral di Jepang dengan beasiswa penuh, tapi saya merasa harus keluar dari zona nyaman dan mencari tantangan baru. Akhirnya, saya memutuskan untuk melanjutkan studi saya di Amerika Serikat (AS). Tadinya saya ingin mendaftar untuk program doktoral, tetapi karena pendaftaran beasiswa ke kampus-kampus di AS sedang susah pada waktu itu, saya akhirnya memutuskan untuk mengambil gelar magister kedua, kali ini di bidang ilmu politik di Ohio University, yang kebetulan menyediakan beasiswa. Sebenarnya, beasiswa ketika saya studi di Ohio jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang saya terima di Jepang – sampai-sampai sebagian tabungan saya yang saya kumpulkan di Jepang harus terpakai. Alhamdulillah, berkat bantuan dan doa dari banyak pihak, saya berhasil diterima di program doktoral atau PhD di bidang ilmu politik di Northern Illinois University dengan beasiswa penuh dalam bentuk assistantship yang baru saja saya mulai akhir Agustus kemarin.

Sekarang, perjalanan intelektual saya semakin “meliar”. Saya tidak mau tunduk dan menelan bulat-bulat kerangka berpikir ilmu politik ala beberapa ilmuwan atau lulusan ilmu politik di tanah air yang mengidentikkan ilmu politik dengan survey dan konsultansi politik sembari abai dengan persoalan-persoalan politik di masyarakat kita yang musti segera diselesaikan – seperti kesenjangan sosial, eksploitasi ekonomi-politik, kekerasan bernuansa agama, kegagapan gerakan-gerakan sosial dalam melakukan perubahan, dlsb. Visi saya adalah menjadi intelektual organik yang eklektik dan misi saya adalah melakukan pemikiran dialektis dan sintesis yang kreatif dari apa-apa yang saya pelajari di kelas dan kehidupan. Tidak heran, jikalau sekarang arah pemikiran saya kembali membawa saya ke dunia filsafat postmodernisme dan Kiri kontemporer. Minat saya semakin meluas – dari mulai persoalan metode dan paradigma dalam ilmu politik, etnografi politik, pendekatan visual dalam riset ilmu politik, transisi dari feodalisme ke kapitalisme, hingga studi elit dan teori negara.

Berkaitan dengan hal tersebut, saya juga mulai memikirkan topik untuk riset doktoral – meskipun masih jauh untuk sekarang. Saya berkeinginan untuk meneliti tentang para elit dan bagaimana mereka mempengaruhi relasi kuasa dalam politik dalam kerangka demokrasi seperti yang kita sekarang miliki. Sesungguhnya, ini akan berujung pada persoalan-persoalan klasik dalam ilmu sosial, filsafat dan humaniora, seperti apakah para elit terkoordinasi sebagai kelas atau merupakan kumpulan oligarki yang berdiri sendiri-sendiri? Bagaimana hubungan negara dan “kelas elit” dalam hal ini?

Selain dari hal-hal tersebut di atas, beberapa teman juga sering bertanya mengenai pandangan saya mengenai beberapa hal, seperti hubungan Islam dan Politik, Islam politik di Indonesia, masa depan Islam Politik di Indonesia, krisis multidimensi dan prospek pergerakan kaum muda ke depannya. Jujur, saya tidak memiliki jawaban yang jelas bagi persoalan-persoalan rumit tersebut, apalagi berpretensi menjadi “ahli politik”, “pakar politik” atau “pengamat politik” yang seakan-akan dapat memberikan jawaban bagi semua persoalan dalam balutan permainan kata-kata dan istilah yang rumit padahal terjebak dalam suatu ritus selebritisasi kepakaran yang justru mereduksi daya analisa dari ilmu sosial itu sendiri. Tetapi, mungkin saya dapat memberikan beberapa pandangan saya mengenai hal-hal tersebut.

Bagi saya, tidak perlu ada ketegangan antara Islam dan modernitas atau politik. Dalam hal ajarannya, secara inheren tidak ada ajaran Islam yang menghalangi ummat Islam untuk maju, sebagaimana diungkapkan oleh pemikir-pemikir progresif seperti Maxime Rodinson, Edward Said, hingga Cak Nur dan Gus Dur. Pengalaman saya dalam dunia pergerakan juga menunjukkan demikian. Musuh bersama kita sesungguhnya adalah eksploitasi ekonomi-politik yang kita lihat dalam struktur ekonomi global saat ini, ekspansionisme dan jingoisme ala imperium yang dilakukan oleh negara-negara Barat terutama AS yang mengancam perdamaian dunia, sekaligus tendensi otoritarianisme, fundamentalisme dan kekerasan yang bersemayam di dalam jiwa para pemimpin dan pemuka agama kita atas nama “ummat” atau “rakyat”. Itulah yang harus kita lawan – tentunya dengan cara-cara yang demokratis, santun, berpihak pada massa dan dengan kerelaan untuk saling belajar dan mendidik satu sama lain alih-alih menggurui.

Karenanya, respon-respon yang dilakukan oleh para fundamentalis dan dogmatis – baik di Kanan, Tengah maupun di Kiri, di Barat maupun di Timur, sungguhlah reaksioner, menyedihkan dan seringkali memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebagai warga dunia, kita harus belajar untuk menyerap tradisi-tradisi terbaik baik dari Barat maupun Timur – dan itu memang tidak mudah. Saya teringat salah satu ucapan dari Oscar Wilde, sastrawan Inggris terkemuka itu. Ia berkata begini, “adalah lebih mudah untuk bersimpati kepada penderitaan dibandingkan terhadap pemikiran”. Kemarahan, kesedihan, rasa kasihan terkadang dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, seperti menyumbang, protes atau menolong sesama – tetapi terkadang hanya untuk sesaat, tanpa mengubah struktur ekonomi, politik, budaya dan sosial yang menyebabkan terjadinya penderitaan tersebut. Berpikir, karenanya, menyiratkan suatu aktivitas yang radikal sekaligus reformis, revolusioner sekaligus evolusioner, demi sebuah perubahan – bukankah para pemikir dan pemimpin besar dunia tidak membangun pemikiran dan aksi mereka dalam satu malam?

Karenanya, kaum muda dapat memikul tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan “tugas” tersebut. Saya katakan “dapat” karena itu semua tergantung pilihan. Di tengah-tengah gempuran hedonisme, korporatisasi sekolah dan universitas, serta neoliberalisme, saya tidak tahu apakah semangat itu masih ada di angkatan muda kita sekarang, terutama yang di perkotaan – yang mungkin sudah puas dengan kuliah, pulang, nongkrong dengan teman, sibuk dengan mode pakaian dan gaya hidup terbaru sembari mencari peluh di pusat-pusat kebugaran terkemuka. Di satu sisi yang lain, beberapa teman-teman yang terjun ke pergerakan justru menempuh jalan yang “kurang tepat”, dengan terjun dalam beberapa pergerakan Islam Politik yang justru memiliki varian dan tendensi reaksioner, politik praktis dan konservatif. Eksploitasi ekonomi-politik pun terus terjadi, buruh, tani, kaum miskin kota, kaum minoritas terus tertindas.

Saya tidak sedang menganjurkan kita untuk menjadi seorang “revolusioner puritan”. Bagaimanapun, kita perlu mengapresiasi hidup – saya sendiri melakukannya dengan sering-sering nongkrong dan bercanda dengan teman-teman saya, menonton film dan mendengarkan musik, berjalan-jalan, intinya menikmati hidup seperti kebanyakan anak muda pada umumnya. Tetapi, mungkinkah kita menghargai dan membela kemanusiaan dalam artiannya yang universal – membela kehidupan baik bagi kita maupun bagi mereka yang bukan kita?

Tetapi saya tidak pesimis. Mungkin kita ibarat lahan gambut – api yang pernah dinyalakan itu kini ‘tersembunyi’, menunggu musim panas untuk menyapu dan membangkitkan sang Api dari tidurnya. Bara perlawanan itu sudah pernah kita sulut, ia hanya menunggu untuk dinyalakan kembali.

(Penulis adalah kontributor PelitaOnline.com untuk kawasan Amerika Serikat)