Iqra Anugrah

Musings on Politics, Southeast Asia, and Theory

Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif

Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif

Oleh Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati

Islam politik sektarian menjadi wajah dominan dari Islam politik dewasa ini.

Aksi demonstrasi besar-besaran pada 4 November kemarin yang dilakukan oleh sejumlah elemen gerakan Islam sepertinya semakin mengonfirmasi penilaian tersebut. Gabungan dari berbagai ekspresi politik, mulai dari sentimen etno-religius yang puritan hingga rasis-sektarian, kekecewaan politik, politik patronase elit, hingga ekspresi kelas, bercampur baur menjadi satu dan sulit terbedakan satu sama lain.

Menghadapi kenyataan tersebut, adalah mudah untuk terjebak dalam pandangan-pandangan yang dualistis, yang meneguhkan oposisi-oposisi biner antara pihak establishment Jakarta dengan para pendemo. Narasi-narasi liberal dan developmentalis akan segera meringkus peristiwa 4 November kemarin sebagai pertarungan antara pematangan proses-proses demokratik dalam saluran politik yang ada dengan kekuatan-kekuatan politik yang sektarian. Di sisi lain, narasi-narasi Islamis dan populis, dengan segala gradasi dan variannya secara sempit melihat peristiwa itu sebagai pertarungan antara “ummat Islam” dengan “penguasa yang dzalim” atau, lebih parahnya lagi, “Cina Kafir.”

Bagaimanakah seharusnya Islam Progresif dan saudara-saudara seperjuangannya – kaum Kiri dan elemen-elemen progresif-demokratik yang lebih luas – membaca dan merespon aksi massa kemarin? Satu tawaran penafsiran dan preskripsi politik sudah dikemukakan oleh kawan Azhar dan Azka dalam editorial Islam Bergerak kemarin. Meskipun bersepakat dalam banyak hal dengan mereka, kami merasa perlu mengoreksi sejumlah pembacaan, mempertegas sejumlah posisi, dan menambahkan sejumlah argumen untuk kembali merumuskan posisi Islam Progresif vis-à-vis fenomena kemarin.

Untuk memulai, kita perlu melihat konteks struktural-historis dari kemunculan aksi tersebut dan profil sosiologis dari para demonstran. Uraian Ian Wilson dengan terang menjelaskan bahwa kebijakan penggusuran administrasi Gubernur Ahok semakin mengganas – yang mengorbankan sekitar 16,000 rumah tangga kaum miskin kota dan kelas pekerja menurut data LBH Jakarta – semakin memperkuat sentimen anti-penggusuran dan anti-Ahok terutama di antara lapisan-lapisan kelas sosial yang paling termarginalkan dalam model pembangunan Ahok. Kekecewaan dan kemarahan atas hilangnya tempat tinggal dan sumber penghidupan, kurangnya basis pengetahuan emansipatoris dan wadah politik alternatif, serta kuatnya organisasi-organisasi Islamis dengan tendensi fundamentalis dan vigilantis seperti FPI membuat ekspresi keagamaan menjadi satu ekspresi politik yang dominan dari “sentimen kelas” tersebut.

Profil sosiologis dari para demonstran kemarin juga beragam, meskipun artikulasi politik yang paling mengemuka adalah Islamisme dalam variannya yang sektarian. Tentu ada elemen-elemen dari kelompok-kelompok vigilantis seperti FPI, tetapi ada juga elemen-elemen dari gerakan Islam yang lain, seperti Tarbiyah-PKS, HTI, Salafi, PII, HMI, dan lain sebagainya. Profil demonstran sendiri dapat dikatakan bersifat lintas kelas, mempertautkan elemen-elemen kaum miskin kota, kelas menengah, pemuka agama sektarian, dan elit-elit (serta para bohir, broker, dan operator lapangannya) yang memiliki kepentingan politik dari mobilisasi massa kemarin.

Selanjutnya, kita perlu melihat pertautan antara dinamika politik elit dengan mobilisasi massa di lapangan. Ini merupakan tugas yang tidak mudah dan membutuhkan kepekaan politik yang tinggi. Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan adalah siapa saja elit-elit yang mempunyai kepentingan dan mendapatkan keuntungan dari aksi demonstrasi kemarin? Di titik ini, kita perlu melihat irisan antara aspirasi dan ekspresi politik “dari bawah” dengan kalkulasi politik “dari atas.” Misalnya, kita perlu mempertanyakan, apa hubungan antara aksi demonstrasi kemarin dan dampaknya dengan manuver-manuver sejumlah elit dan broker politik seperti Habib Rizieq, SBY, pendukung dan penentang Ahok (dan juga Jokowi), Fadli Zon,  Fahri Hamzah, Buni Yani, dan lain sebagainya. Kita juga perlu melihat dinamika tersebut dalam konteks politik lokal Jakarta dan nasional yang lebih luas. Kesadaran akan hal ini akan membantu kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang strategis dan krusial, seperti mengapa terjadi kericuhan di Penjaringan pasca aksi demonstrasi kemarin? Mengapa terjadi penggerebekan dan penangkapan terhadap sejumlah fungsionaris HMI? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita perhatikan dan jawab secara seksama terutama ketika menghadapi publik yang biasanya apatis dengan politik dan cenderung tidak familiar dengan dinamika berbagai jenis aksi demonstrasi dan mobilisasi massa di lapangan – dan karenanya cenderung ahistoris, naif,  dan konservatif dalam berpolitik.

Pertanyaan terakhir namun tidak kalah penting adalah sejauh mana kekuatan-kekuatan politik yang saling bertikai ini mempengaruhi penggerusan ruang demokrasi yang ada. Di satu sisi, sinisme dan pembatasan terhadap aksi demonstrasi memberi justifikasi terhadap tatanan ekonomi-politik yang ada untuk terus menerus melakukan “penertiban”, apalagi pasca terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Terlepas dari segala macam permasalahannya, aksi demonstrasi 4 November dalam derajat tertentu dapat dilihat sebagai satu ekspresi politik yang legitim – sama legitimnya dengan aksi massa buruh atau kelompok-kelompok minoritas etnis, agama, dan seksual. Kita juga harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam suatu bentuk esensialisme, memasukkan kelompok-kelompok Muslim konservatif dengan Islamis sektarian dalam satu wadah identitas yang sama. Di sisi lain, narasi-narasi rasis-sektarian dan agenda anti-penistaan agama yang dibawa oleh para demonstran juga tidak kalah problematiknya. Apabila tidak dilawan dan didelegitimasi, dalih sektarian dan anti-penistaan adalah “dalih karet” yang rawan dipakai untuk semakin meringkus dan menggerus ruang demokrasi yang ada, yang dicapai via perjuangan yang panjang dan tidak mudah.

Dengan kata lain, kita harus melihat demonstrasi kemarin dalam perspektif ekonomi-politik yang lebih kaffah untuk memahami sejauh mana batas potensi emansipatoris – atau reaksioner – dari mobilisasi massa yang kemarin terjadi, apalagi ketika kita sejauh ini hanya bisa memahami dinamika di lapangan secara parsial. Untuk itu, kita perlu menahan diri untuk membuat klaim empiris yang definitif mengenai aksi 4 November yang lalu. Dibutuhkan riset lapangan, kajian mendalam, serta, tentu saja, kemauan untuk bergumul dalam dinamika kehidupan rakyat sehari-hari untuk mengetahui artikulasi politik “Islam” apa yang paling mengemuka.

Tetapi sejauh ini, kenyataannya Islam politik di Indonesia pasca reformasi masih didominasi oleh sektarianisme yang menihilkan perspektif kelas dalam gerak dan wacananya. Artikulasi Islam politik di Indonesia dewasa ini masih belum banyak menyentuh persoalan yang menyangkut kehidupan dan penderitaan ummat sehari-hari. Sebagai ilustrasi, Islam politik belum banyak tampil di depan dalam berbagai permasalahan ummat seperti perampasan tanah, penggusuran, penolakan terhadap reklamasi pantai, perjuangan upah layak, dan sebagainya. Dalam ranah keseharian, banyaknya kelompok-kelompok pengajian dan majelis taklim dari ruang-ruang kantor hingga pemukiman nyatanya cenderung belum berkontribusi untuk membangun keterorganisiran ummat secara ideologis. Formasi isu dari berbagai kelompok dan organisasi Islam masih cenderung dipimpin oleh minat di seputarhabluminallah dan belum banyak mengakar dalam hal hamblumminannas. Padahal, problem tersebut merupakan problem aktual yang hadir membelenggu ummat, yang mayoritas, yang dipinggirkan dan dimiskinkan.

Alih-alih menjadi pembela ummat yang tersingkir (mustadhafin) sebagaimana spirit Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, Islam politik masih lebih banyak mengangkat isu-isu identitas dan sentimen sektarian. Ini menjadi problem serius bagi Islam politik di Indonesia yang indikatornya dapat dilhat pada menguatnya berbagai organisasi Islamis pasca reformasi. Artinya, konsepsi Islam sebagai agama pembebasan kaum tertindas pun belum menjadi wajah dari berbagai organisasi Islam maupun Islam politik secara keseluruhan.

Terkait dengan itu, mobilisasi massa pada aksi 4 November 2016 yang lalu pun lebih banyak menyuarakan tuntutan yang tidak berkaitan langsung dengan persoalan pembebasan ummat dari belenggu permasalahan aktual keseharian yang mencekiknya. Sebagai ilustrasi, pada aksi-aksi massa menolak reklamasi atau penggusuran misalnya, kemarahan dan keterlibatan organisasi-organisasi Islam justru tidak pernah terlihat massif. Sementara di sisi lain, ummat Islam cenderung lebih mudah tergerak untuk dimobilisasi secara massif misalnya pada isu solidaritas Palestina, Rohingya, atau Suriah. Tentu saja ini bukan hal yang buruk, akan tetapi menjadi menarik karena wajah Islam politik yang tampil justru terlihat seperti “pandang bulu” dalam kemanusiaan dan solidaritas kelas, dengan batas “Islam” sebagai identitas, untuk menggerakkan dan memobilisasi massa.

Kembali ke pertanyaan awal mengenai bagaimana seharusnya Islam Progresif menanggapi aksi demonstrasi 4 November kemarin, inilah usulan kami: berbeda dengan pembacaan Islamis dan liberal-developmentalis atas aksi kemarin, kami mengajukan pembacaan yang lebih bernuansa.

Perlu diakui bahwa narasi sektarian masih menjadi artikulasi politik yang paling dominan dari elemen-elemen gerakan Islam yang berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut. Dengan demikian, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa panji Islam politik atau populisme Islam yang dibawa oleh para demonstran kemarin betul-betul “progresif” atau “emansipatoris”, bahwa seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang terlibat kemarin merupakan “representasi” dari kaum miskin kota dan proletariat formal dan informal, bahwa gerakan-gerakan Islam yang menjadi motor demonstrasi merupakan “vanguard.” Namun demikian, kita juga tidak bisa menafikkan aspirasi kelas yang meskipun belum hegemonik turut mewarnai demonstrasi tertsebut.

Singkat kata, kita tidak boleh terjebak dengan tendensi buntutisme – bahwa setiap tindakan massa adalah benar – maupun elitisme – yang berjarak dan menyalahkan massa. Elemen-elemen gerakan progresif-demokratik, termasuk Islam Progresif, harus selalu bersama massa, bersama ummat dan percaya kepada potensi progresivitasnya sembari memahami batas-batas struktural yang menghambat terealisasinya potensi emansipatoris tersebut serta bergerak mengatasi problem-problem tersebut.

Untuk sampai pada pembacaan yang tepat mengenai realitas sosial ummat dan potensi emansipatorisnya, kita membutuhkan pembacaan materialis yang lebih menyeluruh terhadap realitas politik yang ada, termasuk realitas politik Jakarta. Ini mensyaratkan Islam Progresif untuk menggunakan pisau analisa Marxis dalam melihat realitas sosial yang ada. Meskipun ada kesulitan untuk mempertemukan tradisi keagamaan liberatif seperti Islam Progresif dan sains emansipasi yaitu Marxisme dalam ranah ontologis, setidaknya kedua tradisi tersebut dapat bertemu dalam ranah epistemologis, metodologis, dan praxis. Ini berarti kita harus memahami konteks struktural dalam politik ruang di Jakarta dan pertautan antara dinamika kapitalisme dan konstelasi politik yang ada terutama dalam konteks pilkada.

Dalam kaitannya dengan membangun aliansi dengan elemen-elemen Islam politik dan Islamis, Islam Progresif perlu memetakan elemen-elemen progresif dari tendensi gerakan tersebut. Tidak semua Islamis adalah FPI yang fundamentalis-vigilantis atau Ennahda yang Muslim demokrat. Juga, perlu diingat bahwa seringkali ada gap atau kesenjangan antara elit-elit organisasi Islam yang rawan terjebak dalam politik elit dan anggota-anggotanya. Kompleksitas realitas politik yang musti dipahami oleh pegiat-pegiat Islam Progresif dan gerakan progresif-demokratik yang lebih luas untuk memetakan mana lawan, mana kawan, dan mana segmen rakyat yang masih mengambang.

Islam Progresif tidak melihat antagonisme sosial yang terjadi di dalam masyarakat berdasarkan sentimen etno-religius, puritan, apalagi rasis-sektarian. Antagonisme sosial hanya terjadi akibat pertentangan kepentingan antara kelas yang menindas dan kelas yang ditindas. Persis di titik ini, Islam Progresif harus merebut narasi “keadilan sosial” semu a la fantasi fundamentalis, nativis, xenophobis, chauvinis, dan rasis di satu sisi dan narasi “pluralisme” semu a la liberalisme dan developmentalisme dalam berbagai variannya – termasuk a la Islam Liberal – di sisi lain. Untuk menjalankan misi ini, membangun basis keberIslaman yang kaffah, kontekstual, dan progresif saja tidak cukup. Kita juga membutuhkan basis pengetahuan yang lebih kokoh dan kemampuan untuk membaca realitas politik secara lebih berhati-hati, akurat, dan menyeluruh – dua hal yang sayangnya masih agak luput dan kurang eksplisit dari posisi editorial yang diajukan Islam Bergerak kemarin. Singkat kata, Islam Progresif memposisikan diri sebagai Islam yang mendukung agenda-agenda pluralisme dan juga keadilan sosial berdasarkan pengetahuan mengenai emansipasi dan transformasi sosial.

Kami berterima kasih kepada sejumlah kawan atas diskusi dan masukannya dalam proses penulisan artikel ini.

*Penulis adalah editor IndoProgress dan pegiat Forum Islam Progresif.

Moral Komunis

ADAKAH suatu teori Marxis mengenai moral? Perlukah seorang Kiri berbicara mengenai moralitas? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sejumlah pokok bahasan yang menjadi bahan diskusi dan debat yang intens di berbagai lingkaran-lingkaran intelektual.

Setidaknya ada dua sangkaan mengenai posisi moralitas dan dalam korpus pemikiran Marxis dan implikasinya. Yang pertama adalah sangkaan konservatif, yang menganggap bahwa 1) tidak ada ruang mengenai pembahasan moralitas dalam korpus Marxisme atau 2) prinsip utama moral politik Kiri adalah sebentuk Machiavellianisme yang vulgar, yang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan politiknya. Implikasinya, menurut pembacaan yang juga khas bernuansa Perang Dingin ini, adalah bahwa ujung dari penerapan Marxisme dalam politik adalah rezim-rezim Stalinis dengan segala macam permasalahan dan dosanya.

Yang kedua adalah sangkaan progresif, yang berargumen bahwa karena Marxisme adalah sains, maka tidak ada tempat untuk ‘urusan moral.’ Pembacaan seperti ini beresiko membuat Marxisme menjadi sebentuk pemikiran yang sifatnya ‘mengawang-ngawang’ dan menutup kesempatan baginya untuk melakukan upaya teoretisasi atas problem moralitas – sebuah upaya yang dilakukan dengan baik oleh tradisi pemikiran dan kekuatan politik lain, termasuk oleh kubu-kubu Kanan.

Dua sangkaan tersebut disatukan oleh asumsi yang sama: tidak ada tempat bagi pembahasan mengenai persoalan moralitas dalam Marxisme. Asumsi inilah yang kemudian diproblematisir oleh sejumlah intelektual Marxis seperti E.P. Thompson dan, di kemudian hari, Perry Anderson. Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan mengajukan suatu pemaparan teoretik mengenai persoalan moralitas dalam Marxisme, melainkan sekedar memantik perbincangan dan perdebatan yang lebih luas mengenai hal tersebut.

Sebelum masuk dalam pembahasan yang lebih lanjut, ada satu pertanyaan besar yang harus kita jawab: Mengapa kaum Kiri perlu peduli dan berbicara mengenai persoalan-persoalan moral dan etika? Bukankah dengan demikian itu membuat kita tidak terbedakan dengan kaum idealis-borjuis dan Kanan dengan segala macam variasinya? Setidaknya, kita bisa memberi satu jawaban atas pertanyaan tersebut dari segi aksiologis dan praksisnya: bahwa persoalan-persoalan moral dan etika merupakan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kaum Kiri dan massa rakyat dalam kesehariannya, baik dalam kerja-kerja politik maupun dinamika kehidupan sehari-hari. Karenanya, adalah penting untuk melakukan upaya abstraksi atas prinsip-prinsip moral yang dipakai dalam laku keseharian tersebut. Ketika kelompok-kelompok Kanan semakin naik daun dan selubung-selubung ideologis yang dipakai mereka – mulai dari varian kapitalisme-neoliberal hingga fundamentalisme keagamaan – semakin diperkuat denganjustifikasi ‘moral’ yang juga ‘ilmiah.’

Dalam sejarahnya, ada sejumlah prinsip-prinsip moral yang menjadi kaidah kerja-kerja lapangan untuk riset ilmiah dan pembangunan gerakan dalam sejarah gerakan Kiri di berbagai tempat. Tidak hanya itu, ada sejumlah prinsip moral yang dapat dan perlu menjadi pedoman dalam berbagai bidang kehidupan lain. Sudisman dalam Uraian Tanggung Jawab­nya yang terkenal itu mencoba merumuskan prinsip-prinsip tersebut, antara lain: 1) Bersikap jujur, 2) bersatu, 3) berdisiplin, 4) bersetia-kawan, dan 5) berkorban. Perlu diingat bahwa pengertian moral bagi Sudisman adalah: ‘norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai dengan kedudukan kelasnya.’ Frase terakhir menjadi sangat penting: sesuai dengan kedudukan kelasnya. Artinya, moralitas Kiri – atau, dalam bahasa Sudisman, moralitas Komunis – tetaplah bertumpu pada sains Marxis. Inilah yang membedakannya dengan teori-teori moral yang lain.

Jikalau saya boleh menambahkan, dan sedikit memodifikasi, moral Komunis ala Sudisman, maka saya akan mengajukan tiga prinsip tambahan, yaitu bersikap ilmiah, demokratik, dan kontekstual. Pertama-tama seorang Kiri haruslah seseorang yang bersikap ilmiah, terbuka, dan mau belajar. Ia bukanlah sekedar seorang foot soldier yang menelan begitu saja, memamah biak materi-materi dalam kursus-kursus politik, melainkan seorang kader yang mampu mengasah daya analitisnya dan memperluas cakrawala pengetahuannya.

Seorang Kiri haruslah juga bersikap demokratik, terbuka kepada pendapat kawan-kawannya yang lain, kepada perdebatan-perdebatan baik dalam forum-forum yang resmi maupun perbincangan-perbicangan informal, dan kepada keputusan mayoritas dalam praktik-praktik keorganisasian. Perlu diingat bahwa sikap demokratik tidak sama dengan sikap anti-hierarkhis dan anti-disiplin. Sebaliknya, ada keselerasan antara sikap demokratik dengan pengaturan organisasi yang disiplin, rapih, dan tertib. Seorang Kiri tidak merayakan bentuk-bentuk perkumpulan ahierarkhi dan nir-organisasi yang tampak bebas tapi sesungguhnya kuasi-demokratik karena tidak adanya prosedur, pembagian kerja, dan proses evaluasi tanggung jawab yang jelas.

Seorang Kiri juga haruslah kontekstual; ia musti memahami bagaimana ‘metode dakwah’ dan ‘strategi komunikasi massa’ yang tepat. Bahwasanya Marxisme itu benar bagi seorang Kiri mungkin merupakan satu kesimpulan yang sudah jelas baginya, yang didapat melalui proses penelusuran ilmiah yang tidak singkat. Tetapi, bagaimana menyampaikan ‘kabar baik’ tersebut kepada massa rakyat, yang meskipun memiliki potensi ilmiah dan revolusioner, juga terkungkung oleh keterbatasan yang dihadapinya sekarang, terutama dalam hal penghidupan sehari-harinya? Di sinilah, retorika penyampaian dan laku keseharian yang kontekstual menjadi penting. Adalah penting bagi seorang Kiri untuk menyelami realitas sosial massa, membangun relasi yang dialogis antara dirinya dengan rakyat pekerja, melakukan proses pembelajaran dan pengorganisasian secara bersama-sama sembari sadar atas bias-bias kelas dan kekurangan masing-masing, untuk kemudian merumuskan dan melakukan tindakan-tindakan politik secara bersama-sama.

Tiba-tiba saya teringat Gramsci. Beberapa gagasannya yang tersebar luas dengan jitu menyasar persoalan-persoalan yang saya bahas di atas. Sebagai seorang revolusioner yang terlibat langsung dalam perjuangan politik bersama kelas pekerja di Italia, Gramsci tidak pernah mengesampingkan kerja-kerja intelektual, yang menurutnya juga tidak kalah penting dengan kerja-kerja organisasional-lapangan. Gramsci juga tidak mengelakkan pentingnya membangun kedisiplinan dan militansi sekaligus kemampuan analitis yang kuat di antara para kader gerakan rakyat, sebagaimana ditulis dalam salah satu artikelnya yang terkemuka, Workers’ democracy. Bahwa untuk mempersiapkan diri melakukan ofensif terhadap kuasa kapital dan melampaui logika kedaulatan negara, maka kelas pekerja dan gerakan-gerakan rakyat harus melatih diri untuk mendisiplinkan dirinya, mempertebal militansinya, serta membangun solidaritas dan aksi-aksi kolektif, untuk kemudian melakukan aksi historis tersebut. Kedisiplinan dan militansi Marxis beda dengan kedisiplinan borjuis yang robotik, kering, dan karenanya cenderung otoriter – seakan-akan kita hanya menjadi sekrup dalam tatanan masyarakat kapitalis. Sebaliknya, kedisiplinan revolusioner tumbuh secara organik dan bersifat sukarela, yang berasal dari kesadaran bahwa rakyat pekerja perlu menyelaraskan upaya-upaya kolektifnya sebagai prasyarat bagi penerapan demokrasi yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya di seluruh aspek kehidupan bermasyarakat.

Prinsip-prinsip inilah yang harusnya timbul dalam perilaku hidup kita sehari-hari, bukan hanya dalam kerja-kerja keorganisasian, tetapi juga dalam laku keseharian. Perlu diingat bahwa kapitalisme adalah musuh yang sangat terorganisir, massif, dan bekerja secara elusif. Kita tidak bisa melawannya hanya dengan pretensi Bohemian, ultra-demokratis, dan pseudo-modern. Yang ada, sikap ‘perlawanan’ semacam itu hanya membuat orang-orang Kiri menjadi segerombolan pseudo-radikal, tak ubahnya seperti ABG labil yang hobi kebut-kebutan motor di jalan. Seorang Kiri haruslah jujur, ilmiah, dan adil dalam pikirannya. Seorang Kiri haruslah berbuat sopan dan beradab dengan sesama manusia dan alam. Seorang Kiri haruslah menyatakan oposisi yang jelas terhadap musuh rakyat dan sebaliknya, bersahabat dan mengasihi rakyat. Dalam laku keseharian, seorang Kiri berarti musti menjadi tetangga yang baik, warga yang baik, dan organizer yang baik. Seorang Kiri tidak berpretensi bohemian – ia sadar bahwa massa rakyat menjalani hidup yang teratur dan berguna dan hal-hal yang bermanfaat dari gaya hidup semacam itu yang perlu ditiru dalam laku kesehariannya. Seorang Kiri juga tidak berpretensi teknokratis – ia sadar bahwa transformasi sosial mensyaratkan hubungan yang organik dan dialogis antara dia dan massa rakyat dan karenanya ia perlu menyelami dan menyadari seperti apa realita sosial massa sehari-harinya. Seorang Kiri haruslah menjadi pendengar yang baik dan empatik terhadap penderitaan-penderitaan yang dialami oleh rakyat pekerja setiap harinya – ia mencoba memperkecil jarak dan bias kelas dalam interaksi tersebut.

Ada sebagian hal yang bersifat preskriptif dalam pemaparan ini yang mungkin terdengar remeh-temeh, tapi ingat, persis strategi inilah yang dipakai oleh kaum Kanan dengan segala macam variannya. Kita boleh saja mencemooh para ‘operator lapangan’ kelompok-kelompok keagamaan yang konservatif dan fundamentalis di sudut-sudut perumahan serta program-program pemberdayaan neoliberal di kampung-kampung, tetapi pada kenyataan mereka dapat secara efektif melakukan strategi yang sifatnya ‘remeh-temeh’ tersebut dan akhirnya mendulang dukungan.

Ada satu fragmen kecil dalam sejarah gerakan Kiri yang terdengar sederhana tetapi memiliki implikasi yang penting. Ceritanya jauh di Afrika Selatan sana, di masa apartheid. Ceritanya, seorang Nelson Mandela – masih menjadi pengacara muda pada waktu itu – sedang meniti karir sebagai seorang pegawai di firma hukum di Johannesburg. Di suatu siang, ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nat Bregman, seorang aktivis Komunis berkulit putih yang juga rekannya di firma hukum, tiba-tiba Bregman menawarkan sebagian makan siangnya untuk Mandela, diiringi dengan ucapan yang tidak pernah dilupakan oleh Mandela:

‘Nelson, pegang rotinya, dan potonglah…Itulah filosofi Partai Komunis – kita berbagi apa yang kita punya.’

Mandela sungguh terkesan atas sikap Bregman dan tidak pernah lupa atas solidaritas dan kesetiakawanannya –akhlak baiknya. Dan sisanya kita tahu adalah sejarah: Mandela terinspirasi untuk terlibat dan memimpin perjuangan pembebasan nasional melawan apartheid di Afrika Selatan. Sampai akhir hayat mereka, Mandela dan Bregman menjaga jalinan perjuangan dan persahabatan.

Kita berbagi apa yang kita punya – mungkin ini semacam versi lain dari moral Komunis-nya Sudisman. Apabila kita belum bisa bersepakat apakah kita perlu eksposisi teoretik Marxis atas moralitas, setidaknya kita perlu bersepakat mengenai bagaimana akhlak yang ideal bagi kader-kader gerakan rakyat dalam kerja-kerja organisasi maupun laku keseharian. Propaganda Orde Baru mengampanyekan bahwa orang-orang Kiri merupakan gerombolan yang haus kekuasaan, menghalalkan segala cara, dan karenanya najis laknatullah. Tapi dari sejarah kita tahu, mana yang haus kekuasaan dan menghalalkan segala cara, dan mana yang bersetia kepada cita-cita politik emansipasi dan pembebasan rakyat pekerja dari ketertindasan kelas.

Siapa yang bersetia kepada ‘jalan sunyi emansipasi’ itu? Singkat kata, mereka adalah orang-orang yang bersikap jujur, ilmiah, dan terbuka. Mereka juga berdisiplin, bersolidaritas, dan rela berkorban. Mereka adalah demokrat dalam artiannya yang paling radikal. Mereka terbiasa dengan perbedaan pendapat dan mau memahami realitas sosial yang ingin diubahnya. Mereka juga mau mendengarkan dan berempati kepada penderitaan massa.

Mereka adalah orang yang berpegang pada moralitas Kiri – moral Komunis.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University. Beredar di twitland dengan id @libloc

Refleksi atas Dua Muktamar

Refleksi atas Dua Muktamar

BULAN ini merupakan bulan yang penting bagi banyak umat Islam Indonesia. Apa pasal? Karena di bulan ini, dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar se-Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, menggelar muktamar regulernya. Sebagai dua ormas dengan puluhan juta anggota di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tentu saja hasil muktamar dan perkembangan dari dua ormas Islam tersebut akan berpengaruh, bukan hanya bagi para anggota mereka tetapi juga bagi umat Islam dan bangsa Indonesia kedepannya.

Oleh karena itulah, refleksi mengenai kiprah dua ormas tersebut menjadi penting. Kita bisa saja membahas panjang lebar mengenai siapa yang akan menjadi calon pimpinan masing-masing ormas dan politik di sekitar isu tersebut. Tetapi diskusi semacam itu, meskipun penting, bisa jadi hanya bersifat superfisial, terlampau fokus kepada hal-hal yang nampak di permukaan. Saya pikir, adalah lebih penting untuk menjadikan momen muktamar ini sebagai momen refleksi mengenai kiprah kedua ormas sejauh ini dan trajektorinya ke depan untuk sebuah alasan: karena Muhammadiyah dan NU bukan hanya sekedar ormas, melainkangerakan sosial berbasis Islam, yang pengaruhnya memiliki implikasi penting bagi perkembangan politik progresif di Indonesia.

Terlepas dari perdebatan mengenai penggunaan istilah ‘Islam Nusantara’ dan ‘Islam Berkemajuan’, kita tahu bahwa sejarah kedua ormas Islam tersebut di Indonesia sangat panjang – Muhammadiyah didirikan di tahun 1912, sedangkan NU didirikan di tahun 1926. Keduanya berkembang dengan pesat karena keberhasilannya memadukan Islam dengan konteks lokal serta modernitas, sejumlah persoalan yang penting bagi sebuah negeri Dunia Ketiga yang pada waktu itu masih dalam proses pembentukan dan berada di tengah-tengah pergolakan zaman yang begitu pesat. Sebagaimana banyak gerakan sosial lainnya, kedua ormas tersebut, yang bermula sebagai organisasi sosial keagamaan, mau tidak mau juga berurusan dengan banyak hal di luar ranah yang sepenuhnya ‘sosial’ maupun ‘keagamaan’, seperti ranah politik misalnya. Sebagai contoh, kita tahu bahwa di tahun-tahun bergolak dari 1945 hingga 1965, kedua ormas tersebut terlibat aktif dalam kancah politik nasional – NU bahkan sempat menjadi partai politik. Begitupun di masa Orde Baru. Keterlibatan kedua ormas tersebut, meskipun seringkali tidak langsung, dalam politik juga berlanjut hingga sekarang.

Di titik ini, kita perlu melakukan sedikit abstraksi teoretik dengan mengajukan satu pertanyaan: seperti apa hubungan antara dua ormas sosial-keagamaan tersebut dengan dunia politik dan apa implikasi politik dari hubungan atau keterlibatan tersebut? Dalam hal ini, menurut hemat saya, kita perlu melihat kiprah NU dan Muhammadiyah dalam konteks struktural-historis­-nya. Tulisan pengkaji politik Asia Tenggara terkemuka Dan Slater (2009; 2010), bisa menjadi satu referensi yang menarik. Dalam artikel jurnal yang kemudian dikembangkan menjadi buku, Slater menggarisbawahi peranan elit keagamaan dalam mendorong cross-class alliance atau aliansi lintas kelas (antara kelas bawah dan faksi dari kelas menengah) yang dapat mempengaruhi trajektori rezim politik di negara-negara Asia Tenggara. Dalam konteks Indonesia, kita mengenal distingsi antara regimist Islam dan civil Islam yang diperkenalkan oleh Robert Hefner (2000) untuk memetakan konstelasi politik antara berbagai kelompok Islam dan hubungan mereka vis-à-vis negara Orde Baru pada saat itu. Fenomena ini juga dapat ditemui di sejumlah kawasan lain: aktivisme Katolik dan partai Kristen-Demokrat di Eropa Barat dan berbagai tendensi gerakan Kristen di Amerika Latin, termasuk Teologi Pembebasan, misalnya, juga memiliki kecenderungan untuk melakukan aliansi lintas kelas dengan berbagai tendensinya.

Strategi seperti ini, baik secara sadar maupun tidak, juga ditempuh oleh NU dan Muhammadiyah dalam kiprah mereka selama ini. Meskipun ‘basis kelas’ dua ormas ini – kelas menengah dan borjuis kecil perkotaan untuk Muhammadiyah dan masyarakat desa serta alim ulama pemilik tanah untuk Nahdlatul Ulama – tidak serta merta bersifat lintas kelas, setidaknya di masa awal kedua ormas tersebut, pada perkembangannya, kedua ormas tersebut memiliki kecenderungan politik lintas kelas, yang kemudian juga diperluas melalui berbagai aliansi progresif multi-sektoral dengan berbagai elemen masyarakat lain, seperti kaum minoritas keagamaan, yang puncak manifestasi ketokohannya adalah figur-figur seperti Gus Dur dan Buya Ma’arif dan idenya tersebar dan digaungkan oleh berbagai kader dan aktivis NU dan Muhammadiyah di berbagai lini.

Potensi progresivitas inilah yang menjelaskan mengapa kiprah kedua ormas tersebut menjadi penting bagi kemajuan politik progresif di Indonesia. Pertama-tama, kedua ormas tersebut berperan besar dalam mempromosikan diskursus-diskursus Islam yang progresif, yaitu modernisme dan tradisionalisme Islam (bahasa kerennya) atau Islam Nusantara yang Berkemajuan (bahasa kekiniannya), secara berkesinambungan. Kedua, kedua ormas tersebut juga berperan besar dalam menyediakan ‘infrastruktur keorganisasian’ yang memungkinkan penyebaran dan penerapan dari gagasan-gagasan tersebut. Terakhir, namun tidak kalah penting, kedua ormas tersebut memiliki pengaruh dan otoritas besar bagi umat Islam di Indonesia.

Ini bukan berarti tidak ada masalah. Dalam perkembangannya, kedua ormas tersebut kerap kali menghadapi tantangan terhadap tendensi progresivitasnya, baik dari dalam maupun luar. Konjungtur politik eksternal misalnya, mempengaruhi perkembangan kedua gerakan sosial Islam tersebut dan hubungannya dengan rezim yang berkuasa, sebagaimana dapat kita lihat dalam benturan antara beberapa elemen NU dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam katastrofi 1965 di tengah-tengah ofensif nekolim. Dari dalam, tendensi progresif tersebut juga berbenturan dengan tendensi konservatif yang eksis di dalam kedua ormas tersebut. Bahkan apa yang disebut sebagai tendensi progresif itu sendiri bukanlah suatu entitas yang tunggal dan monolitik. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Fayyadl dalam esainya dan juga oleh sejumlah penulis lain[1], sesungguhnya ada ketegangan dan kontradiksi yang inheren antara tendensi liberal dan tendensi progresif dalam gerakan sosial Islam di Indonesia, termasuk tentu saja dalam tubuh NU dan Muhammadiyah. Poin Fayyadl tentang isu-isu kelas sebagai ‘test case bagi klaim “progresif” liberalisme Islam’ saya pikir tepat sasaran di sini: sejauh manakah berbagai varian dan kelompok yang mewakili tendensi progresif dalam tubuh NU dan Muhammadiyah berani mengambil konsekuensi logis dari posisi teoretiko-intelektual, politiko-etis, dan religius-moral yang radikal, liberatif, emansipatoris, dan pro-transformasi sosial? Jawaban bagi pertanyaan ini, dugaan saya, akan menentukan arah dan wajah kedua ormas Islam kita kedepannya.

Di ranah high politics, politik intra-elit, pertanyaan dan isu-isu tersebut di atas tidak kalah pentingnya. Sekali lagi, kita bisa saja meributkan siapa yang akan menjadi dewan formatur dan ketua umum di masing-masing ormas, tetapi isu yang lebih penting lagi sesungguhnya adalah apa arti muktamar kali ini bagi para muktamirin, kader, aktivis, dan ‘anggota’ kultural NU dan Muhammadiyah, serta umat Islam dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan? Secara lebih eksplisit, kita perlu mengajukan pertanyaan berikut: apa tawaran yang dapat diberikan oleh NU dan Muhammadiyah bagi isu-isu yang paling genting bagi lapisan-lapisan masyarakat yang paling tertindas dan termarginalkan, seperti ekspansi neoliberalisme, perampasan tanah, kekerasan negara dan korporasi, serta fundamentalisme dan vigilantisme keagamaan, yang mayoritas juga adalah Muslim? Ini merupakan pertanyaan yang perlu segera dijawab dan ditanggapi oleh lapis kepemimpinan kedua ormas tersebut. Ini juga merupakan sebuah panggilan untuk beranjak dari politik patronase yang rawan muncul di momen-momen ‘politis’ seperti muktamar.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terkesan problematis apabila diajukan oleh ‘orang luar’ kedua ormas tersebut, atau dalam kasus saya, ‘orang yang tidak dalam-dalam amat’. Tetapi saya, anda, kita semua saya pikir memilki hak dan kepentingan untuk menanyakan pertanyaan tersebut, persis karena jawaban atas pertanyaan tersebut memiliki implikasi yang penting bukan hanya bagi para anggota kedua ormas dan umat Islam di Indonesia, tetapi juga bagi masa depan politik progresif di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat banyak persoalan yang membutuhkan ‘pencerahan’ dari alim ulama, penggerak, dan kader keagamaan yang religius, progresif, dan mengakar, seperti isu-isu agraria dan perkotaan, konflik seputar berbagai macam sumber daya alam, hubungan antar umat beragama, isu-isu seputar konservatisme kelas menengah Muslim serta fundamentalisme dan vigilantisme keagamaan, berbagai isu-isu sosial dan ekonomi-politik kontemporer, dan lain sebagainya. Tahun ini juga menandai peringatan 50 tahun tragedi 1965 – suatu tragedi yang memiliki implikasi penting bukan hanya bagi bangsa Indonesia dan gerakan Kiri dan kalangan progresif internasional tetapi juga, sebagaimana dijelaskan oleh Arman Dhani dalam esainya, bagi umat Islam di Indonesia. Isu-isu ini, saya kira, menjadi PR bersama bagi dua gerakan sosial Islam kita yang setidaknya perlu mulai dikerjakan, apabila belum bisa diselesaikan secara tuntas.

Akhirul kalam, mungkin saja catatan dan amatan ringan ini lebih terlihat seperti sebuah daftar tuntutan yang tidak realistis, namun mengingat kiprah dan dampak Muhammadiyah dan NU selama ini, maka tidak ada salahnya kita menaruhkan harapan yang begitu besar bagi perkembangan politik progresif di dunia Islam dan Indonesia kepada kedua gerakan sosial ini. Apakah kedua ormas Islam kita dapat menjawab tantangan tersebut? Wallahu a’lam – tentu hanya mereka yang bisa menjawabnya.

Harapan saya sederhana: semoga NU dan Muhammadiyah dapat terus konsisten memperjuangkan Islam Nusantara yang Berkemajuan, kontekstual, progresif, dan transformatif.***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc.

 

Referensi


Hefner, R.W., 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Slater, D., 2009. Revolutions, Crackdowns, and Quiescence: Communal Elites and Democratic Mobilization in Southeast Asia. American Journal of Sociology , 115(1), pp.203-54.

Slater, D., 2010. Ordering Power: Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia. New York: Cambridge University Press.

 

————–

[1] Lihat misalnya tulisan Airlangga Pribadi, ‘Mendaras Islam Progresif, Melampaui Islam Liberal’, di http://indoprogress.com/2011/05/mendaras-islam-progresif-melampaui-islam-liberal/ Pertanggungjawaban intelektual saya dalam isu ini juga saya tuangkan dalam satu esai yang berjudul ‘Recent Studies on Indonesian Islam: A Sign of Intellectual Exhaustion?’ (manuscript under review).

Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

Iqra Anugrah, Mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/islam-dan-pembebasan-menurut-asghar-ali-engineer/

PADA 14 Mei, 2013, dunia Islam kehilangan salah satu putra terbaiknya, Asghar Ali Engineer, penulis dan aktivis Islam progresif asal India,  yang menghembuskan napas terakhirnya. Sebagaimana kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, begitupun juga Engineer. Pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif ini, meninggalkan begitu banyak buah pemikiran yang membahas berbagai topik: dari sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, studi pembangunan dan masih banyak lagi. Sebagai bagian dari apresiasi atas kontribusi Asghar Ali Engineer yang begitu besar bagi dunia Islam, negara-negara dunia ketiga, dan gerakan progresif pada umumnya, tulisan ini didedikasikan untuk mengulas pemikiran-pemikiran Engineer dan relevansinya di masa kini.

Dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan karya-karya Engineer, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan fokus kepada beberapa tema utama dalam pemikiran Engineer, yaitu sejarah Islam, teologi pembebasan, negara dan masyarakat dan studi konflik komunal.

Sekilas tentang Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim Dawoodi Bohra, sebuah cabang dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah. Komunitas Dawoodi Bohra pada masa awal perkembangannya sempat mengalami persekusi baik dari komunitas Sunni maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian mereka bermigrasi ke India dan aktif dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek komunitas dan filantropis, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan dan fasilitas umum lainnya, seminar dan berbagai program pendidikan komunitas, serta promosi kesenian dan arsitektur Islam. Dalam konteks inilah Engineer tumbuh. Sedari kecil, Engineer juga menekuni studi Islam dari berbagai aspeknya.

Sebelum memfokuskan dirinya pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer berprofesi sebagai insinyur di kota Mumbai selama 20 tahun. Kebetulan, sewaktu kuliah, ia mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Vikram. Latar belakang inilah yang menyebabkan ia mendapat julukan ‘Engineer.’ Selama karirnya, ia mendirikan dan mengepalai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide progresif, seperti Institute of Islamic Studies, Center for Study of Society and Secularism dan Asian Muslim Action Network, dan menjadi editor sejumlah jurnal seperti Indian Journal of Secularism, Islam and Modern Age dan Secular Perspective. Tidak hanya itu, Engineer adalah seorang pemikir yang amat produktif, menulis lebih dari 50 buku dan ratusan artikel lainnya, baik populer maupun ilmiah. Semasa hidupnya, ia juga aktif mempromosikan penghargaan atas keberagaman masyarakat di India. Atas dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood Award pada tahun 2004, yang juga disebut sebagai hadiah Nobel alternatif.

Islam dan Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer

Dalam kajian sejarah Islam dan teologi pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer dalam salah satu karyanya Islam and Its Relevance to Our Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh para pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat pengaruh Marxisme dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya tentang teologi pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun, di sisi lain, terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam masyarakat tersebut – seperti perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang revolusioner dari ajaran Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan revolusioner yang universal dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks sosial masyarakat Arab pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya, dilakukan secara gradual. Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan yang menarik dari Engineer: ada unsur teologis dan transedental dari sejarah munculnya Islam, namun ia tidak menegasikan atau menafikan peranan manusia dalam membuat sejarah itu. Pembacaan ‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga mempengaruhi rumusan Engineer mengenai teologi pembebasan. Engineer memulai pembahasannya mengenai sejarah sosial berbagai variasi teologi pembebasan dalam Islam. Saya menyebutnya sebagai ‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya membahas pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha mengaitkannya dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut muncul. Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.

Alirah Mu’tazilah muncul di masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang menantang Kekhalifan Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama kelompok-kelompok non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok Persia. Karenanya, di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia diakomodir dalam kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir. Dalam konteks inilah, aliran Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional dan peranan usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya (Qadariyah), muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan Abbasiyah mulai bersifat opresif dan mempersekusi lawan-lawan politiknya, aliran Mu’tazilah kemudian dijadikan dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham teologi resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi beberapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun juga ‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri Mazhab Hambali, bahkan tidak luput dari hukuman ini.

Aliran Qaramitah juga muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan Umayyah. Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah, yang juga terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani dalam perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap melanjutkan perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakkan tendensi opresifnya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili kemudian mendirikan Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan Fatimiyah, memberi justifikasi terhadap politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan melawan baik Kekhalifahan Abbasiyah maupun Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, aliran Qaramitah berusaha menghapuskan kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune. Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi untuk menjatuhkan rejim.

Aliran Khawarij, yang awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam, Ali bin Abi Thalib, yang kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya ‘tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok Islam lain di luar mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas dari perkembangannya di kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij sesungguhnya merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum ‘proletariat internal’ dalam Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi krisis kepemimpinan dalam masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud Isma’il, menurut Engineer, aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya mempromosikan semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.

Singkat kata, dalam eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial teologi pembebasan dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal Islam hingga sekarang. Kedua,pembacaan ‘materialis’ dan ‘sejarah sosial’ atas masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi ide-ide egalitarian dalam Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa memahami konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan atas aliran Mu’tazilah yang rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam satu tarikan napas.Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang egaliter dan bebas dari eksploitasi.

Isu-isu Kontemporer dalam Pandangan Asghar Ali Engineer

Sebagai aktivis sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai mempelajari isu-isu kontemporer seperti hubungan agama-negara, hak-hak perempuan dan kaum minoritas, isu-isu pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil, Engineer sendiri sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang Muslim. Agaknya, pengalaman itu juga yang membentuk pandangan Engineer mengenai berbagai isu kontemporer. Benang merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isu-isu tersebut adalah pentingnya menghindari esensialisme alias kecenderungan untuk melihat fenomena sosial sebagai kesatuan yang monolitik.

Dalam tulisannya tentang  hak-hak perempuan dalam Islam (2006), Engineer menyadari bahwa ada diskriminasi dan marginalisasi atas hak-hak perempuan dalam masyarakat Islam. Namun, Engineer juga berhati-hati di sini: patriarkhi dan pengekangan hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang melekat pada masyarakat Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya, melainkan patriarkhinya yang bermasalah. Patriarkhi, menurut Engineer, terjadi karena kenyataan sosiologis dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep atau doktrin teologis (hlm. 166). Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam analisanya mengenai hubungan agama-negara (2009). Engineer mengingatkan bahwa institusi keagaaman bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas dari berbagai kepentingan ‘duniawi.’ Engineer juga menyerukan pentingnya ‘mengembangkan kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam sejarah kaum Muslim’ (hlm. 117). Karenanya, meskipun Engineer mempromosikan nilai-nilai agama dalam bentuknya yang paling spiritual sekaligus paling progresif, ia juga kritikus terdepan atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama, baik di negerinya sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperti Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan agama-negara dan hak-hak kaum minoritas mengingatkan saya atas ide ‘toleransi kembar’ (twin tolerations) yang dipromosikan oleh Alfred Stepan (2000), yaitu ada perbedaan antara otoritas keagamaan dan politik sekaligus kebebasan bagi otoritas keagamaan untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi pengikutnya tanpa memegang kekuasaan politik secara langsung. Agaknya, posisi Engineer tidaklah jauh berbeda dengan ide ini.

Bidang lain yang sangat ditekuni oleh Engineer adalah studi konflik dan hubungan antar etnis. Engineer tidak hanya menulis artikel reguler di harian Economic and Political Weekly mengenai kondisi hubungan antar etnis di India, namun juga melakukan studi yang mendalam atas berbagai komunitas minoritas termasuk komunitas Muslim di India. Dalam studi-studinya, Engineer berusaha memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang ilmuan. Pertama, ia berusaha menggabungkan metode-metode sejarah dan antropologis dalam berbagai studinya tentang kelompok minoritas. Kedua, dalam melakukan studinya ia berkolaborasi dengan berbagai institusi dan ilmuwan-aktivis yang lain. Ketiga, studi yang mendalam ini juga dijadikan ‘senjata’ bagi Engineer untuk mempromosikan harmoni, toleransi dan pengertian dalam  hubungan antar etnis. Prinsip-prinsip ini dapat dilihat misalnya dalam studinya tentang komunitas Muslim di Gujarat (1989). Sekali lagi, benang merah yang menyatukan berbagai studi Engineer tentang komunitas Muslim dan minoritas adalah pandangannya yang anti-esensialis: Engineer menunjukkan bahwa terdapat keberagaman yang begitu luar biasa dalam komunitas Muslim, dan, komunitas Muslim tidaklah kurang kadar ‘keIndiaan’nya dibandingkan komunitas dan kelompok etnis yang lain.

Bukan kebetulan jika Engineer juga mendukung ‘nasionalisme campuran’ alih-alih nasionalisme Muslim ala Liga Muslim yang dipandangnya agak sektarian. Ia menyatakan kekagumannya terhadap Jami’atul Ulama ‘il-Hindi, sebuah organisasi Muslim yang mendukung perjuangan kemerdekaan India dan integrasi masyarakat Muslim ke dalam masyarakat India (2009).

Terakhir, Engineer juga merupakan seorang kritik atas praktek-praktek pembangunan yang eksploitatif. Ia misalnya, mengkritik rejim Jendral Zia-ul-Haq di Pakistan yang mempromosikan ‘Islamisasi’ dalam artiannya yang sempit namun menolak program-program nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis, reformasi pertanahan dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat redistribusionis. Di India, secara konsisten ia juga menolak politik sayap kanan yang dipromosikan oleh Partai BJP yang mempromosikan fundamentalisme Hindu di satu sisi dan kebijakan neoliberal di sisi lain.

Penutup: Engineer dan Kita

Melihat kiprah Asghar Ali Engineer, kiranya tak berlebihan apabila kita memberinya label ini: intelektual organik.

Dedikasi dan komitmen Engineer tentu bukan tanpa resiko. Beberapa kali ia mendapat ancaman dan kritik dari lawan-lawannya dan mereka yang tidak menyukai gagasannya. Namun, ia tetap menulis, bekerja dan melawan.

Ketika nasib masyarakat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para intelektual hanya doyan berdiskusi, warisan Engineer terasa semakin relevan.

Selamat Jalan, Dr. Engineer. Di tengah-tengah bulan puasa ini, sosoknya menjadi pengingat bagi kita semua: ia tidak menghamba, mengawang-ngawang, maupun mendakik-dakik.***

*Penulis berterima kasih kepada rekan Dani Muhtada atas masukan dan diskusinya tentang karya-karya Asghar Ali Engineer.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

 

Kepustakaan

Engineer, A. A. (1987). Islam and Its Relevance to Our Age. Kuala Lumpur: Ikraq.

Engineer, A. A. (1989). The Muslim Communities of Gujarat. Delhi: Ajanta Publications.

Engineer, A. A. (2006). The Rights of Women in Islam. In A. I. Alwee, & M. I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical Perspective (pp. 161-177). Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd.

Engineer, A. A. (2009). Governance and Religion: An Islamic Point of View. In C. Muzaffar,Religion and Governance (pp. 109-119). Selangor Darul Ehsan: Arah Publications.

Engineer, A. A. (2009). Islam dan Pluralisme. In D. Effendi, Islam dan Pluralisme Agama (pp. 25-41). Yogyakarta : Interfidei.

Stepan, A. C. (2000). Religion, Democracy, and the “Twin Tolerations”. Journal of Democracy, 11 (4), 37-57.

 

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/rakyat-jelata-sejarah-dan-perjuangan/

SEORANG pejabat terkemuka di Republik kita baru saja meninggal dunia. Kepergiannya langsung disambut oleh ratusan pesan pendek, ucapan belasungkawa, liputan yang ekstensif dari media massa dan barisan karangan bunga. Perlu dicatat, saya tidak sedang mempermasalahkan ucapan belasungkawanya, yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban kita sebagai manusia. Yang saya persoalkan lebih pada glorifikasi atas pejabat tersebut.

Belum lama ini juga, di tengah-tengah kebingungan para elit Indonesia atas ‘krisis kepemimpinan’ di antara mereka, beberapa figur pejabat publik dengan ‘reputasi internasional,’ yang memiliki ‘integritas’ dan ‘profesionalisme’ digadang-gadang sebagai ‘figur alternatif’ untuk pemilu presiden 2014 mendatang. Berbagai tokoh alternatif ini, terlepas dari berbagai perbedaan mereka, memiliki satu kesamaan: para pendukungnya selain datang dari kelompok elit predatoris dan kelas menengah reaksioner, atau gabungan dari keduanya.

Di saat hiruk-pikuk dan gegap-gempita ucapan belasungkawa, transaksi politik dan proses saling dukung mendukung, serta manuver-manuver politik menjelang ajang pemilu, kita menyaksikan betapa semakin langkanya pemberitaan mengenai rakyat miskin yang meninggal karena kelaparan, buruh yang mengalami ketidakadilan kerja, kaum tani yang dirampas haknya, hingga kelompok minoritas keagamaan yang terusir dari rumah ibadah dan kampungnya sendiri. Tuduhlah saya sebagai seorang romantik, namun saya pikir kita patut kesal terhadap keadaan ini. Karena itu selama koran, televisi dan media masih melaporkan pertumbuhan dan bukannya kesenjangan ekonomi, naik-turunnya harga saham dan bukannya harga-harga kebutuhan pokok, upacara dan penghargaan para pejabat dan bukannya pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik warga biasa dan menganggap kemiskinan serta pelanggaran HAM sebagai statistik belaka, maka kita patut kesal – dan karenanya kita, rakyat jelata, perlu menulis sejarah kita sendiri.

***

Fenomena glorifikasi elit, usianya jauh melampaui umur Republik. Juga bukan cerita eksklusif Indonesia semata. Dalam berbagai narasi tentang perang dari zaman Kekaisaran Romawi hingga invasi Iraq, sejarah pada dasarnya adalah cerita yang didominasi oleh para elit. Sejarah dan politik bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ para tokoh yang menggerakkan roda zaman dan perubahan. Rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan sejarah. Parahnya lagi, kultus individu dan mesianisme merebak terus.

Penyakit ini juga menjangkiti semua kelompok: Stalin mengkhianati Revolusi Bolshevik; Partai Komunis Cina mempromosikan Neoliberalisme di China; Revolusi Iran menghasilkan rezim yang represif; dan berbagai gerakan pembebasan nasional menghasilkan negara-negara poskolonial dengan berbagai macam masalah yang tak kunjung usai.

Agar kita tidak terlalu lama mengernyitkan dahi dan mengelus dada, mari kita mencari petunjuk ke dunia lain: seni dan sastra.

Seni dan sastra bisa menjadi sumber inspirasi bagi perjuangan dan kritik terhadap mereka yang berkuasa. Namun, ia tak melulu berbicara mengenai hal-hal yang ‘berat,’ seperti politik dan partai. Justru, seni dan sastra terkadang banyak berbicara mengenai keindahan dan kejenakaan dari hal-hal yang bersifat keseharian – hal-hal yang kemudian menjadi pendorong pergerakan dan pengingat akan pentingnya perjuangan.

Tak percaya? Coba simak kisah Alberto ‘Mial’ Granado dan Ernesto ‘Fuser’ Guevara dalam kisah The Motorcycle Diaries. Ini adalah catatan harian Fuser, kemudian diangkat menjadi film, yang berkisah tentang petualangan dua anak muda nekat ‘menaklukkan’ jalanan benua Amerika Latin dengan mengendarai motor.  Melalui petualangan itu, Fuser – yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘Che’ (‘kawan’ dalam Bahasa Spanyol dialek Argentina) Guevara – dan Mial, mendulang banyak sekali inspirasi dari pertemuan dengan ‘orang-orang biasa’ dari berbagai negara dan karya-karya sastra yang mengangkat kehidupan orang-orang biasa tersebut. Dalam buku hariannya itu, Che bercerita bagaiamana ia kerapkali meluangkan waktu untuk membaca puisi-puisi karya Federico Garcia Lorca atau Pablo Neruda. Di versi layar lebarnya, Che digambarkan sering melantunkan barisan-barisan puisi, kemudian Mial atau orang yang kebetulan mereka tumpangi kendaraannya, akan menebak-nebak: Garcia Lorca? Neruda?

Kebetulan, dua penyair berbahasa Spanyol itu memiliki kesamaan dalam kegemaran mereka mengangkat cerita dan kisah sederhana tentang alam, tradisi, dan kehidupan rakyat jelata.

Dari negeri sendiri, coba simak syair dan puisi dari Wiji Thukul, seorang intelektual organik kelas pekerja Indonesia. Thukul dikenang karena orisinilatas dan militansinya, yang terpatri dalam frase dan ungkapan seperti ‘hanya ada satu kata, lawan!’ atau ‘aku pengin meledak sekaligus jadi peluru’. Namun, orang lupa dengan sisi Wiji Thukul yang lain. Dalam pengantarnya dalam salah satu buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Mencari Tanah Lapang, Arief Budiman mengungkapkan bahwa Wiji ‘Bukan mau menjadi pahlawan kaum miskin di dunia ini. Dia cuma mau bercerita tentang nasibnya yang tidak kunjung bertambah baik.’ Berangkat dari keinginan yang sederhana ini, ‘tiba-tiba Wiji Thukul menjadi penyair nasional…juga internasional. Padahal Wiji Thukul cuma ingin menulis puisi kampung.’

Dalam dunia seni lukis, ada juga Affandi. Pelukis yang sering dilabeli sebagai bagian dari aliran ekspresionisme itu, suatu label yang seringkali ia pertanyakan, sering mengangkat tema-tema sederhana, seperti para pengemis, orang-orang tak berumah, atau terkadang dirinya sendiri.

***

Kembali ke perbincangan kita sebelumnya soal sejarah. Dalam pandangan saya, para seniman tersebut adalah pengingat: perubahan tidak selalu berasal dari hal-hal ‘besar’ dan ‘berat.’ Ia tidak selalu identik dengan sejumlah tangan yang mengepal di udara, atau suara-suara lantang yang menyanyikan lagu-lagu mars perjuangan. Terkadang, ia berangkat dari hal-hal yang sederhana, seperti menyapa dan belajar dari banyak orang biasa, dari mereka yang terpinggirkan dan dianggap ‘tidak tahu apa-apa’ oleh paradigma developmentalis ala teori modernisasi dan ambivalensi kelas berpunya dan kelas menengah.

Oleh karena itu, sejarah tidak musti melulu bercerita tentang ‘orang-orang besar’ yang mengubah dunia. Ia juga bisa bercerita tentang para buruh dan tani, kaum budak, masyarakat asli dan berbagai kaum minoritas lainnya yang terpinggirkan dalam sejarah. E.P. Thompson, sejarawan Marxis terkemuka asal Inggris, misalnya, dalam magnum opus-nya, The Making of the English Working Class, membahas tentang kelas bukan hanya sebagai kategori sosial, namun juga sebagai proses dan kesamaan pengalaman yang kemudian membentuk suatu identitas kelas buruh di Inggris. Thompson mengingatkan kita bahwa kelas buruh bukanlah sebuah kategori statistik atau abstraksi teoretik belaka, melainkan sebuah entitas sosial yang hadir dan tumbuh karena suatu proses sejarah. Ada agency atau peranan kelas buruh itu sendiri di sana.

Dalam kajian-kajian tentang kaum petani, James C. Scott dan Benedict Kerkvliet juga menunjukkan bagaimana kaum tani, di tengah-tengah proses eksploitasi yang dilakukan oleh institusi negara dan pasar, rupa-rupanya mampu melakukan perlawanan, meskipun secara kecil-kecilan dan simbolik, melalui apa yang disebut sebagai everyday forms of resistance atau perlawanan keseharian, seperti tindakan mengemplang pajak, mengurangi jumlah dan kualias setoran hasil panen wajib, dan lain sebagainya. Beberapa kajian antropologis, seperti yang diungkapkan oleh antropolog radikal David Graeber dalam rekaman kuliahnya, juga menunjukkan bagaimana praktek-praktek politik di beberapa kelompok masyarakat adat membuka peluang bagi bentuk-bentuk praktek politik yang lebih demokratis, deliberatif dan egaliter – seperti proses rapat dan pengambilan keputusan yang meskipun memakan waktu lama, namun memastikan bahwa setiap anggota komunitas mendapat kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan berkontribusi.

Namun, ada pertanyaan penting yang terlewatkan di sini: berangkat dari cerita tentang perubahan dan perlawanan yang bersifat lokal dan partikular, tidakkah kita melewatkan ‘tujuan utama’ kita untuk melakukan transformasi sosial yang lebih besar? Menurut saya, ini pertanyaan yang cukup mengena. Gugusan perjuangan yang bersifat lokal harus bertransformasi menuju perjuangan yang bertujuan dan berskala lebih besar. Tetapi, dalam hemat saya, beberapa hal perlu diperhatikan di sini.

Pertama adalah tantangan dalam melewati dan melampaui logika negara. Sejarah menunjukkan, seringkali perebutan institusi negara oleh gerakan rakyat tidaklah cukup. Dari berbagai kajian mengenai negara, saya pikir buku James C. Scottt, Seeing Like a State, adalah pengingat yang baik tentang bagaimana perebutan institusi negara oleh kaum High Modernists atau ‘Modernis Tinggi,’ mereka yang percaya akan proses pembentukan negara (state formation) dan pembangunan yang bersifat top-down, dengan segala variasinya, pada akhirnya justru akan melemahkan dan bahkan melumpuhkan gerakan rakyat itu sendiri. Scott kemudian berkesimpulan bahwa proses-proses politik membutuhkan penghargaan akan metis atau pengetahuan yang bersifat lokal – tentunya tanpa terjebak oleh ‘idealisasi’ dan pandangan yang esensialis atas apa-apa yang disebut sebagai pengetahuan lokal tersebut.

Kedua, perlawanan dan narasi yang bersifat lokal, particular, dan keseharian sesungguhnya bisa ditempatkan dalam narasi sejarah yang bersifat lebih besar dan universal. Tiap-tiap tempat dan daerah punya ‘hukum’ dan konteksnya sendiri, namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil abstraksi dan refleksi dari gugusan perlawanan lokal tersebut. Perlawanan dan narasi ‘kecil-kecilan’ ini sesungguhnya merupakan bagian dan kesinambungan dari apa-apa yang dilakukan oleh kaum Jacquaries di Perancis, levellers dan chartists di Inggris, dan petani penggarap serta masyarakat adat mulai dari zaman Yunani Kuno hingga di berbagai belahan Dunia Ketiga.

Tentunya, perlawanan juga adalah proses dan praktek pembelajaran. Kita musti berhati-hati agar ia tidak terjebak menjadi semacam ‘ratu-adil-isme’ atau romantisme ala anak muda yang baru belajar. Untuk mengujinya, tentu tidak bisa hanya sekedar bergelut di ranah produksi pemikiran atau diskusi wacana-wacana terbaru. Karenanya politik menjadi keniscayaan dan proses yang senantiasa dialektis.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Walter Benjamin mengingatkan bahwa selain optimisme akan masa depan yang lebih baik, kita juga perlu mengaitkan ‘yang sekarang’ (the present) dengan ‘yang lalu’ (the past). Kenangan akan kekalahan dan terkubur dalam narasi sejarah juga akan mendorong kita melangkah lebih jauh.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Tanggapan dan Tambahan untuk Airlangga Pribadi
Iqra Anugrah,
 mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS.

http://indoprogress.com/muslim-demokrat-yang-tunduk-kepada-oligarki/

APA KABAR kaum Muslim Demokrat Indonesia? Dinamika diskursus dan aktivisme kaum Muslim Demokrat dengan berbagai tendensi dan variannya di Indonesia, telah membawa mereka dan juga gerakan sosial serta gerakan Islam di Indonesia pada persimpangan jalan: apakah kaum Muslim Demokrat akan terjebak di dalam logika kuasa yang oligarkis, ataukah mereka akan konsisten terhadap cita-cita pergerakan mereka dengan memperjuangkan politik demokratis yang lebih radikal?

Menanggapi gugatan kawan Airlangga Pribadi atas problematika dan dilema kaum Muslim Demokrat di Indonesia, kali ini saya ingin mengamini argumen Airlangga, sekaligus menambahkan beberapa kritik terhadap tesis Muslim Demokrat di Indonesia. Kritik ini meliputi kritik epistemologis, metodologis, dan praxis. Melalui tulisan ini, saya berharap bahwa kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia pada umumnya, dapat melakukan refleksi yang lebih dialektis atas kiprahnya selama ini.

Pentingnya Realisme dalam Membaca Masyarakat Islam

Sebagaimana pernah saya sampaikan sebelumnya dalam tulisan saya tentang metode Marxis dalam studi Islam, kali ini saya ingin memaparkan kembali tentang kegunaan metode Marxis dalam memahami masyarakat Islam. Sedikit banyak, saya terinspirasi oleh karya-karya Maxime Rodinson (1973; 1980; 1981). Dalam karya-karyanya, Rodinson mencoba mengalihkan fokus studi Islam dan Orientalisme secara keseluruhan dari pembacaan yang simplistis atas masyarakat Islam, menuju sebuah pembacaan yang lebih komprehensif dan kritis, yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek kesejarahan, kuasa, dan ekonomi-politik yang membentuk budaya dan tatanan nilai masyarakat Islam. Namun, dalam menanggapi tuduhan ‘determinisme basis ekonomi’ atau ‘determinisme ekonomi-politik’ dalam analisa Marxis atas masyarakat Islam, Rodinson sendiri menegaskan bahwa faktor-faktor ideasional dan kultural atau kebudayaan, bukanlah sekedar cerminan epifenomenal superstruktur atas basis material suatu masyarakat, suatu argumen yang juga ditegaskan oleh Georg Lukács (1971). Ada dinamika dan pertautan antara faktor-faktor material dan ideasional dalam perkembangan sejarah suatu masyarakat. Lebih lanjut lagi, aspek-aspek ideasional seperti perkembangan diskursus keagamaan dalam suatu masyarakat dapat muncul dalam berbagai bentuknya yang terkadang dapat berbenturan atau berkonflik satu sama lain.

Berangkat dari argumen inilah, kita dapat memahami dinamika Islam dan politik di Indonesia serta kelemahan argumen-argumen kaum Muslim Demokrat.

Beberapa Kritik tambahan atas Kaum Muslim Demokrat di Indonesia

Beberapa kelemahan argumen kaum Muslim Demokrat dalam dinamika demokratisasi di Indonesia, dijelaskan secara gamblang oleh Airlangga dalam artikelnya. Pertama, argumen kaum Muslim Demokrat sebagai salah satu lokomotif demokratisasi di Indonesia terlampau menekankan pada aspek agensi, namun abai pada kondisi dan hambatan struktural di mana agensi itu bekerja. Kedua, kemunculan gagasan-gagasan progresif, terutama dalam varian liberal  ala kaum Muslim Demokrat, juga tidak lepas dari faktor-faktor material yang memungkinkan gagasan tersebut muncul  – seperti ketersediaan dana untuk berbagai lembaga non-pemerintah (LSM) baik dari dalam maupun luar negeri. Ketiga, kaum Muslim Demokrat abai akan fakta bahwa perspektif modal sosial (social capital) yang sering menjadi landasan bagi argumen mereka, merupakan ‘kuda troya’ (trojan horse) atas agenda-agenda developmentalisme ala institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank dan Lembaga Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), dan juga merupakan bagian dari agenda kapitalisme neoliberal (Carroll, 2009; 2010; Sommers, 2008).

Selain kritik-kritik tersebut di atas, beberapa tambahan kritik lain perlu disebut. Pertama, kaum Muslim Demokrat abai terhadap kesenjangan  basis material dan aspek-aspek ekonomi-politik lain antara para ‘intelektual Islam’ dengan realitas objektif umat dan masyarakat yang mereka perjuangkan. Tatkala kaum Muslim Demokrat sibuk berdiskusi dan melakukan kegiatan-kegiatan ‘produksi intelektual,’ di saat yang bersamaan berbagai kelompok masyarakat yang tertindas dan termarginalisasi masih saja tereksploitasi. Sesekali, kaum Muslim Demokrat ‘turun gunung’ dan turut aktif dalam berbagai agenda politik progresif, seperti perlindungan terhadap hak-hak minoritas, namun komitmen dan partisipasi mereka berhenti hanya di situ.

Kedua, kesenjangan ekonomi-politik ini juga tercemin dalam kesenjangan diskursif antara para intelektual dan umat yang katanya diwakilkan oleh mereka. Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, aspek diskursif dari transmisi suatu pengetahuan keagamaan penting untuk diperhatikan, karena aspek ini dapat dipahami secara berbeda oleh berbagai kelompok masyarakat dan menimbulkan berbagai interpretasi (Kendhammer, 2013). Sebelum agenda-agenda pembaharuan Islam dan keagamaan secara umum dapat disebarkan, yang tidak kalah penting adalah mengetahui bagaimana persepsi dan pemahaman publik atas diskursus keagamaan secara umum. Hemat saya, untuk mengetahui kecakapan diskursif publik atas agenda-agenda pembaruan keagamaan dan ide-ide progresif lainnya, barangkali yang diperlukan bukan hanya kecakapan membaca dan memahami teks-teks keagamaan dan perdebatan paling mutakhir dalam kajian ilmu sosial dan humaniora. Tak kalah penting adalah adanya kepekaan atas faktor-faktor material yang membentuk pemahaman masyarakat, sekaligus kerelaan untuk belajar bersama berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang tertindas, dalam hubungan yang setara, pedagogis dan dialektis (Freire, 2006).

Tentu saya mengapresiasi komitmen berbagai kalangan kaum Muslim Demokrat Indonesia atas agenda-agenda politik progresifnya, seperti pembelaan terhadap kelompok minoritas keagamaan dan isu-isu sosial dan politik yang mendesak. Namun, menurut saya, mereka telah gagal dalam menganalisa permasalahan yang lebih besar dari berbagai permasalahan yang terkait dengan diskursus keagamaan di Indonesia, serta dalam memperjuangkan agenda demokrasi yang lebih luas, mendalam dan partisipatoris. Fenomena munculnya kelompok-kelompok vigilantis yang bernuansa kegamaan dan etnis, misalnya, tidak dapat disimplifikasi menjadi sekedar masalah ‘fundamentalisme versus moderatisme dan liberalisme Islam.’ Kita perlu melihat bagaimana sejarah dari berbagai kelompok tersebut, dampak transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi, serta perubahan pola politik kuasa dan patronase, serta aliran dana yang memungkinkan kelompok-kelompok tersebut terus aktif (Wilson, 2006; 2010). Begitupun persoalan munculnya berbagai perda bernuansa syari’ah, yang tidak lepas dari dorongan akumulasi kapital dan populisme politik dalam konteks politik lokal yang terdesentralisasi (Buehler, 2008). Tentu faktor-faktor yang bersifat ideologis, seperti pemahaman fundamentalis atas agama berperan dalam penyebaran fenomena seperti ini. Namun, bukankah diseminasi ide-ide seperti itu lebih mudah terjadi di dalam konteks masyarakat perkotaan dengan praktek-praktek politik yang koruptif dan kesenjangan sosio-ekonomi yang makin meningkat? (Kendhammer, 2013). Kemudian, diseminasi ide-ide pembaharuan keagamaan dan agenda-agenda sosial progresif ala kaum Muslim Demokrat juga terkesan elitis. Akibatnya, ide-ide kaum Muslim Demokrat justru terdengar asing bagi umat Islam Indonesia itu sendiri. Kesenjangan ini juga diperparah dengan praktek politik dari berbagai tokoh kaum Muslim Demokrat yang memutuskan untuk merapat dengan kekuatan-kekuatan bisnis dan politik yang oligarkis atau bergabung dengan politik kepartaian tanpa kalkulasi yang matang atas berbagai dilema dalam politik elektoral. Secara mengherankan, beberapa tokoh terkemuka dari kaum Muslim Demokrat juga mengadvokasi keunggulan agenda-agenda ekonomi politik pasar bebas, namun tidak melangkah lebih jauh dengan membongkar berbagai ortodoksi asumsi dari agenda-agenda tersebut.

Akibatnya, kaum Muslim Demokrat Indonesia justru terjebak dalam praktek-praktek politik yang oligarkis dan anti-demokratik yang berlawanan dengan agenda yang mereka perjuangkan selama ini. Kemudian, asosiasi masyarakat antara kaum Muslim Demokrat dengan keterlibatan mereka dalam politik praktis – suatu asosiasi yang ingin ‘diceraikan’ oleh kaum Muslim Demokrat namun nampaknya tidak berhasil – akhirnya memberikan dampak negatif bagi agenda-agenda pembaruan Islam itu sendiri. Imajinasi kolektif berbagai kelompok masyarakat, termasuk beberapa kelompok kelas menengah, atas kaum Muslim Demokrat, sebagai penyebar pemahaman keagamaan yang ‘sesat’ atau ‘nyeleneh,’ sedikit banyak berakar dari abainya kaum Muslim Demokrat atas faktor-faktor material-struktural yang berkaitan dengan aktivitas dan agenda intelektual mereka. Pada akhirnya, hal ini menjadi hambatan bagi agenda-agenda progresif dari kaum Muslim Demokrat itu sendiri dan agenda-agenda pembaruan Islam yang lebih luas.

Refleksi dan Penutup

Berkaca dari kegagalan kaum Muslim Demokrat dalam memperjuangkan agenda-agenda politik yang lebih demokratik dan anti-oligarki, untuk kedepannya saya melihat setidaknya ada dua catatan yang perlu diperhatikan kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia.

Pertama, kita perlu melihat pada proses sejarah sosial (social history) dari pembentukan suatu diskursus. Dalam pemikiran politik Barat, analisa sejarah sosial ini pernah dilakukan oleh Wood (2008; 2012) secara bernas untuk melihat apa sesungguhnya ketegangan utama dalam sejarah filsafat politik Barat. Kaum Muslim Demokrat dan kita, bagian dari gerakan sosial yang lebih luas di Indonesia, perlu belajar dari karya intelektual tersebut. Sejarah sosial pembentukan suatu diskursus intelektual, termasuk diskursus tentang peranan utama kaum Muslim Demokrat, tidak terlepas dari berbagai faktor material yang berada di sekelilingnya. Khususnya faktor pembentukan elit (elite formation), yaitu proses perkembangan intelektual dari para cendekiawan Muslim Demokrat itu sendiri dan juga proses perkembangan elit-elit ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan yang secara potensial dapat membantu perkembangan dan diseminasi diskursus para kaum Muslim Demokrat, misalnya perkembangan kelompok diskusi, lembaga tangki pemikir (think tank), dan sumber dana yang dapat membantu keberlangsungan lembaga-lembaga semacam itu. Tujuan dari analisa sejarah sosial atas suatu diskursus intelektual, tidak terkecuali diskursus Muslim Demokrat, adalah untuk mengetahui bagaimana suatu diskursus intelektual dalam perkembangannya dapat terdistorsi dan alih-alih mewakili kepentingan kelompok yang tertindas, justru menjadi perwakilan dan perpanjangan tangan dari kelas yang berkuasa.

Kedua, kooptasi diskursif dan ekonomi-politik atas agenda kaum Muslim Demokrat juga tidak lepas dari internasionalisasi dan ekpansi kapitalisme neoliberal yang memungkinkan kooptasi itu terjadi. Kaum Muslim Demokrat di Indonesia, juga tidak lepas dari jeratan proses kooptasi ini.

Apakah kaum Muslim Demokrat hanya menjadi kaum Muslim ‘Demokrat,’ pandai bercakap dan berdebat dalam diskursus dan leksikon agenda-agenda sosial dan politik liberal, namun abai pada struktur oligarkis yang menopangnya? Apakah kaum Muslim Demokrat, sebagaimana banyak elemen dari gerakan sosial yang lain, pada akhirnya tunduk kepada oligarki? Mungkin, hanya kaum Muslim Demokrat sendirilah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Namun, seingat saya, bukankah sejarah menunjukkan, sebagaimana dapat kita lihat dalam perjuangan berbagai elemen progresif dalam Sarekat Islam (SI) melawan kolonialisme, bahwa Islam hanya dapat menjadi kekuatan pembebas apabila ia berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas?

Ah, lagi-lagi saya lupa. Agaknya sudah lama kita enggan membaca kembali sejarah kita.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Buehler, M., 2008. ‘Shari’a By-Laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption.’ Southeast Asia Research, 16(2), pp. 165-195.

Carroll, T., 2009. ‘Social Development’ as Neoliberal Trojan Horse: The World Bank and the Kecamatan Development Program in Indonesia. Development and Change, 40(3), pp. 447-66.

Carroll, T., 2010. Delusions of Development: The World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. 1st ed. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Freire, P., 2006. Pedagogy of the Oppressed. 30th ed. New York: Continuum.

Kendhammer, B., 2013. ‘The Sharia Controversy in Northern Nigeria and the Politics of Islamic Law in New and Uncertain Democracies.’ Comparative Politics, 45(3), pp. xx-xx.

Lukacs, G., 1971. History and Class Consciousness. 1st ed. Cambridge: The MIT Press.

Rodinson, M., 1973. Islam and Capitalism. New York, NY: Pantheon Books.

Rodinson, M., 1980. Muhammad. New York: Pantheon Books.

Rodinson, M., 1981. Marxism and the Muslim World. New York, NY and London: Monthly Review Press.

Sommers, M., 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness, and the Right to Have Rights. 1st ed. New York: Cambridge University Press.

Wilson, I., 2010. ‘Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State in Post-New Order Jakarta.’ In: E. Aspinall & G. van Klinken, eds. The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press, pp. 239-259.

Wilson, I. D., 2006. ‘Continuity and Change: The Changing Contours of Organized Violence in Post-New Order Indonesia.’ Critical Asian Studies, 38(2), pp. 265-297.

Wood, E. M., 2008. Citizens to Lords: A Social History of Western Political Thought from Antiquity to the Middle Ages. 1st ed. New York: Verso.

Wood, E. M., 2012. Liberty & Property: A Social History of Western Political Thought from Renaissance to Enlightenment. 1st ed. New York: Verso.

Agama, Politik dan Pembebasan

Agama, Politik dan Pembebasan

Analisa Politik

http://indoprogress.com/agama-politik-dan-pembebasan/

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

AGAMA, dalam artiannya yang mencerahkan, dapat menjadi sumber kemajuan dan pembebasan. Tidak percaya? Mari kita membaca kembali sebuah cerita yang jarang didengar. Kali ini dari negeri sakura, sebuah cerita dari seorang novelis Jepang, Shusaku Endo, dalam novelnya, Hening (Silence atau Chinmoku dalam bahasa Jepang).

Abad ke-17. Alkisah, seorang Pastor Jesuit muda bernama Sebastião Rodrigues dikirim dari tanah Portugis ke negeri nun Jauh di sana: Zippangu atawa Nippon, begitu orang Barat di masa itu menyebutnya. Rodrigues dikirim bukan untuk misi sembarangan: santer terdengar kabar bahwa mentornya, Frater Cristóvão Ferreira, seorang misionaris ternama, telah murtad. Bukan hanya itu, Frater Ferreira bahkan telah kawin dengan seorang perempuan Jepang, menulis traktat anti-Kristen dan bahkan memiliki nama baru sebagai orang “Jepang”: Sawano Chuan.

Dengan tekad bulat, Pastor Rodrigues bertolak ke Jepang, tidak hanya untuk menyelidiki kasus mentornya Ferreira, melainkan juga untuk sebuah misi yang lebih penting: memberi layanan dan dukungan spiritual bagi para Kakure Kirishitan, umat Katolik Jepang yang terpaksa beribadah sembunyi-sembunyi demi menghindari persekusi oleh pemerintah Jepang di zaman Edo yang represif, terutama setelah diberangusnya pemberontakan Shimabara. Pemberontakan Shimabara yang sering dianggap sebagai pemberontakan keagamaan kaum Katolik melawan pemerintah Shogun, sejatinya merupakan ekspresi perlawanan para petani Jepang melawan negara yang semakin absolutis dan represif. Katolikisme, pada masa itu, dianggap berpihak kepada orang-orang kecil dan karenanya memberikan harapan bagi para petani miskin Jepang – yang kemudian banyak menjadi penganut Katolik.

Singkat cerita, Rodrigues berhasil masuk ke Jepang, menyapa para petani miskin dan umat Katolik yang tertindas, hingga kemudian ia tertangkap oleh pemerintah Shogun. Di saat itu pulalah ia bertemu Ferreira. Rodrigues menolak untuk murtad, bahkan sudah bersiap diri untuk disiksa, hingga kemudian ia dihadapkan pada suatu dilema keimanan yang dahsyat: yang disiksa bukanlah dirinya, melainkan para pengikutnya, dan para algojo pemerintah Shogun hanya akan berhenti menyiksa petani Katolik tersebut jika dan hanya jika Rodrigues bersedia mencampakkan iman Katoliknya: dengan kata lain, murtad.

Di tengah-tengah pergulatan batin Rodrigues, Ferreira mencoba meyakinkannya, rupa-rupanya itu yang dilakukan Ferreira bertahun-tahun yang lalu: ia akhirnya murtad karena tidak tahan menyaksikan penderitaan umatnya. Tapi Ferreira ternyata memiki alasannya sendiri. Katanya, ‘Kristus pastilah akan murtad untuk menyelamatkan mereka (para petani itu), bahkan jika itu berarti menyerahkan apa-apa yang telah Ia perjuangkan.’

Setengah dipaksa, tatkala Rodrigues akan menginjak fumie, pahatan bergambar Yesus, dalam ritual untuk menunjukkan apostasinya, mendadak dia mendengar figur Yesus dalam fumie tersebut berbicara!

‘Injak! Injaklah! Aku lebih tahu dari siapapun tentang rasa sakit di kakimu. Injaklah! Untuk diinjak-injak oleh umat manusialah maka Aku terlahir di dunia. Untuk menanggung penderitaan manusialah Aku memanggul Salib-Ku!’ (hal. 271).

Rodrigues akhirnya menginjak fumie itu dan secara resmi murtad. Tetapi, bagi Endo, aksi murtad Rodrigues itu justru merupakan manifestasi peribadatan yang sesungguhnya. Apostasi Rodrigues menjadi simbol pengejawantahan tertinggi dari keimanan: keberpihakan dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tertindas. Di novel tersebut, digambarkan bahwa Yang Transendental ikut memanggul penderitaan manusia.

Keimanan dan nilai-nilai keimananan rupa-rupanya dapat menjadi sumber politik pembebasan, emansipasi dan solidaritas, jika dan hanya jika, nilai-nilai tersebut berhasil keluar dari ortodoksi dogma dan doktrin dan diterjemahkan dalam praksis perlawanan. Bagi sebagian orang, ide ini terdengar revolusioner. Namun, bagi sebagian yang lain, ini hanyalah pembenaran bagi aksi kemurtadan.

Tak heran jika novel tersebut mengundang kontroversi

Agar tidak terlalu tegang, mari kita kembali menengok masa kini. Kali ini kita melompat ke tradisi Islam. Setidaknya akhir-akhir ini ada tiga peristiwa yang membuat orang kembali bertanya-tanya tentang peranan Islam dalam masyarakat modern: aksi kontroversial grup feminis Femen, kasus pengeboman Boston, dan kondisi diskursus keilmuan dan politik Islam di tanah air.

Dengan alasan solidaritas terhadap salah satu aktivis Femen asal Tunisia, Amina Tyler, yang mengalami persekusi setelah melakukan aksi topless di internet, berbagai aktivis Femen di berbagai belahan dunia melakukan aksi topless Jihad, berpose setengah bugil sembari menuliskan pesan-pesan yang menyamakan Islam dan tradisi keagamaan pada umumnya sebagai kemunduran peradaban. Mereka lupa dan alpa, bahwa aksi yang mereka anggap membela hak-hak perempuan itu justru semakin meneguhkan penggambaran rasis dan kolonialis atas para perempuan di komunitas Muslim: seakan-akan karena terlalu ‘lemah’ dan ‘tertindas,’ dikungkung oleh ‘tradisi’ dan ‘hijab’ mereka (tentunya dalam artiannya yang peyoratif),  para perempuan Muslim harus ‘dibebaskan’ oleh aktivis Femen – atau dengan kata lain para aktivis perempuan dari negeri Barat.

Lain lagi halnya dengan kasus pengeboman di kota Boston, Amerika Serikat, yang dilakukan oleh Tsarnaev Bersaudara, Dzhokhar dan Tamerlan, yang kebetulan berlatar belakang Muslim Chechnya. Di masa berkabung ini, berbagai komunitas Muslim di Amerika Serikat dan belahan dunia lain menyampaikan pesan simpati dan belasungkawa atas penderitaan para korban dan mengutuk tindakan pengeboman. Banyak orang cemas bahwa Islam akan kembali diasosikan dengan terorisme dan kekerasan. Namun, kenyataan berkata lain: sebagian besar umat Muslim adalah manusia biasa, yang memiliki aspirasi yang sama dengan warga dunia lain.

Di tanah air, para politisi, aktivis dan intelektual Islam sibuk berpolitik dan berdiskusi. Sebagian mengklaim memperjuangkan keadilan dan kemakmuran. Sebagian lain sibuk mengaku memperjuangkan Islam yang ‘pluralis’ dan ‘toleran.’ Semua atas panji-panji agama. Jangan-jangan mereka lupa dan alpa bahwa apa-apa yang mereka klaim tersebut bukanlah yang dibutuhkan oleh umat yang masih tertindas dan tereksploitasi.

Tentu saja, kritik ini tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap gerakan Feminis, rasa belasungkawa dan simpati saya terhadap korban pengeboman Boston, dan apresiasi saya terhadap warisan khazanah keilmuan dari tradisi Islam di Indonesia.

Narasi ini sekedar menunjukkan bahwa kenyataan tidaklah tunggal, melainkan penuh dengan kompleksitas. Rangkaian peristiwa ini juga menunjukkan bahwa ketidaktahuan dan ketidakpedulian ada di Barat maupun di Timur.

Karenanya, kita perlu menengok sejarah. Kita bisa saja mengasosiasikan KeKristenan dengan kolonialisme, Islam dengan terorisme, Buddhisme dan Konfusianisme dengan anti-modernitas, Barat dengan sekularisme dan lain sebagainya. Adalah lebih mudah untuk melakukan hal demikian. Namun, sejarah menolak tafsir tunggal. Sebaliknya, sejarah berkata lain. Tiap-tiap masyarakat dan peradaban memiliki dinamika dan khazanahnya sendiri yang perlu kita pahami.

Mari kita kembali ke ceritanya Endo. Dari Jepang, kita bertolak ke Amerika Latin.

Namanya Gustavo Gutiérrez, seorang pendeta Katolik ordo Dominikan asal Peru. Ia bukan pendeta biasa: refleksinya atas ketidakadilan dan penindasan atas kaum papa di negerinya dan Amerika Latin membuatnya tergerak. Pada tahun 1971, gebrakan pemikirannya diterbitkan: sebuah buku berjudul Teologi Pembebasan (A Theology of Liberation). Segera saja, Gutiérrez menjadi lokomotif ide-ide pembebasan dalam tubuh Gereja Katolik, baik di Peru maupun banyak tempat lain. Uskup Óscar Romero asal El Salvador yang menjadi martir melawan rejim otoriter di negerinya juga terinspirasi oleh ide-ide teologi pembebasan.

Dalam bukunya, Gutiérrez berujar, ‘teologi pembebasan mencoba merefleksikan pengalaman dan arti keimanan berdasarkan komitmen untuk memberantas ketidakadilan dan membangun masyarakat yang baru…Pembebasan dari setiap bentuk penindasan, kemungkinan akan kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat…yang dapat diwujudkan melalui perjuangan ini’ (hal,. 307)

Dari Amerika Latin, kita beranjak ke Afrika Selatan. Kali ini ide-ide pembebasan dari tradisi agama menulari Farid Esack, seorang intelektual dan aktivis Muslim kenamaan dari Cape Town. Bekal keilmuan yang didapat dari pendalamannya atas tradisi agama dipadukannya dengan kenyataan obyektif di negerinya: rejim apartheid yang otoriter dan rasis itu berkuasa dan karenanya rakyat Afrika Selatan tertindas. Ia tidak punya pilihan lain kecuali melawan. Selain tergabung dalam organisasi anti-apartheid Front Persatuan Demokratik (United Democratic Front) dan bekerja sama dengan Nelson Mandela, ia juga menulis argumen teologis dan religius tentang pembebasan dalam bukunya, Qur’an, Pembebasan dan Pluralisme (Qur’an, Liberation and Pluralism).

Iya, rupa-rupanya, agama dalam artiannya yang mencerahkan dapat menjadi sumber inspirasi politik pembebasan. Memang betul, agama bukan tanpa masalah, ada tendensi-tendensi konservatif dan reaksioner dalam beberapa bentuk penafsiran agama. Bahkan, sesungguhnya ide-ide apapun yang membawa janji-janji pencerahan dan emansipasi bisa terjebak dalam kemandekan dan dogmatisme. Dalam tradisi agama, kita menemukan bentuk-bentuk dogmatisme tersebut dalam praktek-praktek keagamaan ala abad pertengahan: mulai dari hasrat kekuasaan berbalut dalil teokratisme, pengerdilan makna agama jadi soal benar-salah dan boleh-tidak, hingga diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas dan perempuan.

Bung Karno menyebut kecenderungan ini sebagai ‘kehilangan Api Islam.’ Kita tidak mendapat apinya, hanya abunya saja. Namun, bukan berarti kecenderungan tersebut menihilkan potensi emansipatoris dan egalitarian dari agama. Tentu saja, potensi tersebut hanya akan hadir dalam penafsiran yang progresif yang diwujudkan dalam praktek-praktek sosial. Kepeloporan Sarekat Islam dalam pergerakan dan perjuangan pembebasan nasional, renaisans dunia Arab di era pasca-kolonial, sumbangan berbagai tradisi agama terhadap ilmu pengetahuan, hingga bentuk-bentuk penafsiran keagamaan yang kritis terhadap eksploitasi adalah bukti bahwa tradisi progresif itu ada dan layak dilestarikan.

Tidak heran jikalau Tan Malaka dalam pidatonya yang berjudul ‘Komunisme dan Pan-Islamisme’ pada Kongres Komunis Internasional yang Ke-empat pada 12 November 1922, menyerukan kesatuan tujuan dan perlunya menggalang kerjasama antara kaum Nasionalis, kaum Muslim, dan kaum Kiri.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.

Kembali Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

Kembali Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

Liberty-and-Property

Judul Buku: Liberty and Property: A Social History of Western Political Thought from Renaissance to Enlightenment
Pengarang: Ellen Meiksins Wood
Penerbit: Verso, London/New York, 2012
Tebal: x + 325 h.

 http://indoprogress.com/lbr/?p=1021&fb_source=pubv1

PEMIKIRAN politik Barat seringkali dipahami dan dipelajari secara parsial atau setengah-setengah. Baik dalam diskursus politik di tanah air maupun di kelas-kelas ilmu politik di negara industrialis maju, pemikiran politik Barat seringkali direduksi menjadi pengetahuan akan jargon-jargon belaka. Akibatnya, pemahaman  kita menjadi jargonistik dan ahistoris, memakai istilah-istilah seperti ‘hak,’ ‘negara,’ ‘kedaulatan,’ ‘kebebasan’ dan ‘kapitalisme’ tanpa memahami konteks historis dari istilah-istilah tersebut.

Di tengah-tengah kondisi tersebut, Ellen Meiksins Wood berusaha memberikan analisanya tentang Pemikiran Politik Barat melalui perspektif sejarah sosial dari Abad Renaisans hingga Abad Pencerahan. Buku ini, yang merupakan lanjutan dari buku Wood sebelumnya, yaitu Citizens to Lords, membahas berbagai pemikiran filsuf politik Barat, dari Machiavelli hingga Spinoza, dari Montesquieu hingga Locke dengan meletakkannya pada konteks sosio-historis pembentukan negara, perkembangan awal kapitalisme dan kelas borjuis, perebutan klaim kedaulatan, hingga benturan dan dialektika antara faktor-faktor ideasional dan material.

Kali ini, Wood berusaha membongkar mitos “keterkaitan” antara modernitas, kapitalisme, dan demokrasi. Menurut Wood, kapitalisme perlu dipahami sebagai bentuk perkembangan unik dari fase perkembangan modernitas Barat. Wood juga berpendapat bahwa secara historis, ada ketegangan yang tak terelakkan antara demokrasi dan kapitalisme – sebuah ketegangan yang juga belum terselesaikan hingga sekarang.

Transisi Historis Peradaban Barat: Menuju Modernitas atau Kapitalisme

Wood membagi bukunya dalam delapan bab yang disusun kurang lebih secara kronologis. Bab pertama membahas tentang debat-debat dalam transisi feodalisme ke kapitalisme, metode penafsiran sejarah pemikiran politik Barat, dan pentingnya sejarah sosial dalam membahas filsafat politik Barat. Bab kedua hingga ketujuh masing-masing membahas tentang sejarah pemikiran politik mulai dari masa Negara Kota Renaisans, Reformasi Protestan, Kekaisaran Spanyol, Republik Komersial Belanda, Absolutisme Perancis hingga Revolusi di Inggris. Di bab terakhir, Wood kembali menegaskan argumennya tentang ketegangan antara modernitas, kapitalisme, dan demokrasi serta implikasinya terhadap konteks sekarang ini.

Di bab pertama, Wood mengkritik dua tendensi dalam penulisan sejarah, yaitu pendekatan posmodernis dan revisionis. Dalam berbagai debat tentang penulisan sejarah, Wood menyadari bahwa ada sejumlah argumen yang menolak adanya sejarah dan karenanya mempertanyakan apa yang disebut sebagai modernitas. Wood mengritik tendensi tersebut karena menurutnya kesadaran historis itu penting untuk memahami kondisi masa kini yang bisa jadi merupakan hasil dari suatu proses sejarah yang panjang di masa lampau. Kesadaran akan proses dan konteks sejarah inilah yang digunakan Wood untuk membedah sejumlah pemikiran filsuf Barat dan meletakkannya pada konteks sosial di mana pemikiran-pemikiran tersebut lahir.

Namun, Wood juga mengingatkan kita akan satu hal: pentingnya memperhatikan keragaman kondisi di tiap-tiap tempat dan perkembangan zaman. Sejumlah hal yang perlu kita perhatikan dalam memahami sejarah sosial pemikiran politik Barat antara lain adalah kondisi tatanan sosial di masing-masing tempat, pola hubungan antara institusi kerajaan, kaum bangsawan, tuan tanah, dan rakyat (petani, kaum perempuan, pekerja, dan lain sebagainya), perebutan klaim atas kedaulatan, definisi akan konsep-konsep kunci dalam diskursus politik pada masa itu seperti ‘kebebasan,’ ‘rakyat,’ ‘kedaulatan,’ dan lain sebagainya

Bab kedua dibuka dengan pembahasan akan latar belakang sejarah Negara-Kota (City-State) di Italia. Di konteks Italia, sejumlah Negara-Kota Italia seperti Venesia dan Firenze menjadi pusat perdagangan dan juga kota penghubung jaringan perdagangan di Eropa pada masa itu. Namun, perlu diingat bahwa embrio kapitalisme modern sudah berkembang di Italia. Faktanya, sebagian besar pendapatan para penguasa seperti kaum bangsawan justru didapat dari kegiatan-kegiatan ‘ektra-ekonomi’ (‘extra-economic’ factors) seperti pajak dari para petani penggarap dan rakyat jelata serta fasilitas dan gaji dari jabatan negara. Kemudian, kota-kota seperti Venesia dan Firenze, karena kemajuan ekonominya, juga menghadapi tantangan militer dari negara-negara lain. Konteks inilah yang perlu dipahami dalam menganalisa pemikiran Machiavelli, terutama dalam dua karya utamanya yaitu The Prince dan The Discourses.

Pertanyaan politik terpenting bagi Machiavelli kira-kira adalah sebagai berikut: bagaimana seorang penguasa bisa mewujudkan ketertiban (order) sosial dan politik sekaligus mempertahankan kedaulatannya dari serangan musuh dari luar. Terlepas dari berbagai perdebatan dan kontroversi di seputar penggambaran Machiavelli baik sebagai perintis nilai-nilai ‘republikan modern’ sekaligus seorang ‘Machiavellian’ yang menghalalkan segala cara, Wood mencoba menelaah dua wajah dari pemikiran Machiavelli. Menurut Wood, dalam konteks politik domestik, sesungguhnya konsepsi politik Republikan ala Machiavelli lebih condong kepada tatanan politik yang memberikan ruang lebih besar kepada para warga negara dan membatasi kekuasaan kaum bangsawan atau aristokrasi. Dengan kata lain, pemikiran kenegaraan Machiavelli cenderung lebih demokratis dibandingkan oligarkis. Namun, dalam konteks kebijakan luar negeri, Machiavelli berpendapat bahwa Negara-Kota Italia perlu memiliki pertahanan dan militer yang kuat untuk menghadapi musuh-musuhnya – sebuah pemikiran yang juga menjadi dasar pemikiran Realisme modern dalam disiplin Hubungan Internasional.

Di Bab ketiga, Wood memfokuskan pembahasannya kepada pemikiran dua tokoh agama terkemuka di Eropa, Martin Luther dan John Calvin, dalam konteks Reformasi Protestan dan tantangan terhadap kekuasaan Gereja Katolik pada waktu itu. Dalam pemaparan kali ini, kita akan fokus kepada pemikiran Luther.

Martin Luther, sang reformer Protestan itu, berusaha menantang legitimasi Gereja sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Menurut Luther, semua manusia, semua orang beriman, memiliki kesamaan derajat di depan Tuhan. Luther mengakui bahwa manusia memang cenderung akan tergelincir kepada perbuatan dosa, namun karena kesamaan derajat manusia dan kasih sayang serta pengampunan Tuhan yang universal, maka umat manusia akan diselematkan oleh Tuhan. Singkat kata, karena semua manusia sama derajatnya di depan Tuhan dan berhak mendapatkan ampunan-Nya, maka peranan Gereja sebagai perantara kehilangan legitimasinya. Inilah konsep teologi Luther yang terkenal dan kontroversial itu.

Namun, ini baru sisi lain. Dalam kaitannya dengan hubungan antara Gereja, mereka yang beriman, dan kekuasaan negara yang sekuler, Luther justru berpendapat bahwa mereka yang beriman harus tunduk terhadap kekuasaan negara yang sekuler, betapapun kejam dan sewenang-wenangnya kekuasaan negara, karena hanya dengan negaralah sebuah ketertiban sosial dapat terwujud. Luther memang menyebutkan bahwa orang-orang Kristen memiliki hak untuk melanggar aturan-aturan negara tatkala kekuasaan negara itu menyimpang terlalu jauh dari ajaran Kristen, tetapi itu tidak melegitimasi hak untuk memberontak terhadap negara tersebut – Luther justru menganjurkan kaum Kristiani untuk menerima hukuman dari negara apabila mereka menolak mematuhi aturan-aturan yang dianggap bertentangan dengan prinsip ajaran Kristen. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, doktrin kesetaraan manusia di hadapan Tuhan dan ketaatan manusia pada Tuhan ala Luther justru menjadi justifikasi bagi berbagai pemberontakan petani di Eropa – suatu hal yang Luther sendiri tidak menghendakinya.

Dalam bab ini, Wood juga mencoba membongkar persepsi populer akan tesis Weberian tentang kapitalisme: bahwa ide-ide Protestanisme mempromosikan perkembangan kapitalisme di Eropa. Meskipun Wood berbeda pendapat dengan Max Weber mengenai perkembangan awal kapitalisme di Eropa, menurut Wood, Weber sendiri tidak pernah mengatakan bahwa ide-ide Protestanisme per se lah yang mendorong perkembangan kapitalisme. Menurut Wood, Weber mengakui bahwa embrio berupa perkembangan politik dan ekonomi yang kondusif terhadap perkembangan kapitalisme di Eropa sudah ada sebelum munculnya Protestanisme. Ide-ide Protestan hanya menjadi katalisator  bagi perkembangan dan penyebaran kapitalisme.

Bab keempat membahas tentang Kekaisaran Spanyol dan kolonialismenya. Para pemikir dan filsuf politik di Spanyol pada waktu itu berusaha menjawab berbagai permasalahan di seputar praktek kolonialisme Spanyol di Amerika Latin dan berbagai macam dampaknya. Di satu sisi, perebutan klaim atas kekuasaan politik dan keagamaan antara Kekaisaran Spanyol, kaum bangsawan dan pihak Gereja mendorong Spanyol untuk memperluas Kekaisarannya. Ketergantungan ekonomi Spanyol dengan berbagai sumber daya di tanah jajahannya seperti emas dan perak juga semakin meneguhkan pentingnya kolonialisme bagi ekonomi Spanyol. Namun, di sisi lain, Kekaisaran Spanyol juga memiliki kesulitan untuk menjustifikasi praktek kolonialismenya terhadap bangsa Indian di Amerika Latin, yang menurut banyak pemikir politik di Spanyol, juga memiliki peradaban yang sangat maju.

Dalam konteks inilah, berbagai pemikir dalam suatu aliran pemikiran yang disebut sebagai Mazhab Salamanca (Salamanca School) berusaha menanggapi berbagai dilema dalam praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme Kekaisaran Spanyol. Mereka yang mendukung penjajahan Spanyol atas Amerika Latin mencetuskan doktrin ‘Perang Adil’ (Just War) sebagai dalilnya. Perang Adil berangkat dari asumsi bahwa Kekaisaran Spanyol memiliki misi untuk memajukan peradaban manusia dan menyebarkan agama Kristen. Bangsa Indian di Amerika Latin, betapapun majunya peradaban mereka, masih memeluk praktek-praktek ‘Pagan’ dan karenanya Kekaisaran Spanyol memiliki kewajiban untuk ‘menyebarkan’ agama Kristen dan membuat bangsa Indian menjadi ‘beradab’ – melalui praktek-praktek seperti pemindahan agama secara paksa, perampasan tanah-tanah adat bangsa Indian, dan eksploitasi tenaga kerja bangsa Indian di lahan-lahan pertanian dan tanah-tanah kaum penjajah Spanyol di Amerika Latin. Sebaliknya, mereka yang menentang praktek kolonialisme mengatakan bahwa sekalipun bangsa Indian bukanlah orang Kristen dan karenanya kaum ‘Pagan’ atau ‘Kafir’ (Heretic), peradaban Indian adalah peradaban yang maju dan karenanya Kekaisaran Spanyol tidak memiliki hak untuk menjajah mereka.

Bab kelima membahas tentang Republik Belanda, kebijakan perdagangannya, dan pengaruh dua hal tersebut pada tatanan dan pemikiran politik pada masa itu. Pertumbuhan kota-kota di Republik Belanda menjadikannya sebagai pusat perdagangan di Eropa pada masa itu. Bahkan, pertumbuhannya jauh lebih pesat dibandingkan dengan berbagai Negara-Kota di Italia. Tetapi, aktivitas komersial di Belanda berkembang pesat bukan karena aktivitas ekonomi kapitalis yang merespon impuls pasar, namun karena akvitas ‘ekstra-ekonomi’ sebagai perantara perdagangan (commercial mediators), alih-alih produsen (producers). Selain perdagangan, berbagai aktivitas ‘ekstra-ekonomi’ yang lain adalah ekspansi militer, pajak yang tinggi yang diperoleh dari rakyat, dan fasilitas yang tersedia untuk jabatan-jabatan negara. Aktivitas-aktivitas komersial dan ‘ekstra-ekonomi’ di Belanda dan juga Italia pada masa itu bukanlah akvititas ekonomi yang bersifat (proto-)kapitalis, karena aktivitas-aktivitas ini pada dasarnya kurang merespon impuls pasar dan tidak didorong oleh prinsip produksi yang kompetitif.

Liberty Leading the People,  Eugène Delacroix, 1830

Perubahan sosial ini, yang mengakibatkan bangkitnya sejumlah elit lokal, kemudian memunculkan persoalan baru: bagaimana ‘mendamaikan’ berbagai klaim atas kedaulatan negara dan hak-hak rakyat. Dalam konteks inilah, ide-ide resistensi dan tantangan terhadap kedaulatan dan kekuasaan institusi monarki atau kerajaan muncul. Tetapi, ide-ide resistensi ini bukan berarti melegitimasi usaha resistensi dari warga negara terhadap kekuasaan negara atau kerajaan. Bagi banyak filsuf politik pada masa itu, warga negara atau rakyat secara individual tidak memiliki legitimasi untuk mewakili dirinya sendiri dalam politik – ia harus direpresentasikan oleh institusi kolektif yang mewakili kekuatan politik lokal (lesser magistrates) seperti kaum bangsawan, badan-badan korporasi, maupun pejabat lokal.

Implikasi perubahan sosial ini dalam tataran filsafat politik sangatlah menarik. Ada pemikir seperti Hugo Grotius misalnya, bapak hukum internasional, yang mencetuskan konsep tentang hak-hak korporasi internasional, dalam konteks ini yaitu East India Company atau VOC, sebagai individu di dalam hukum internasional. Grotius juga memberikan dalil-dalil yang melegitimasi kolonisasi sejumlah tanah dan sumber daya di negara-negara lain – yang nantinya menjadi tanah jajahan Belanda. Ada juga pemikir seperti Spinoza, yang mendobrak ‘transendensi’ dalam konsepsi kekuasaan politik. Ketika banyak filsuf politik berpendapat bahwa kekuasaan politik bersumber dari ‘luar’, dari institusi kerajaan, Tuhan, atau suatu tatanan hukum alam misalnya, dan karenanya meniscayakan kekuasaan yang absolutis, Spinoza berpendapat bahwa sumber kekuasaan berasal dari rakyat, warga negara, sebagai kumpulan individu yang menempati negara itu sendiri – dengan kata lain, sumber kekuasaan yang bersifat ‘imanen’, dari rakyat, alih-alih transenden. Terlepas dari kecenderungan Spinoza untuk membatasi implikasi transformatif dari konsepsinya tentang sumber kekuasaan yang imanen, ide imanensi kekuasaan ala Spinoza merupaka gebrakan yang radikal dan demokratis pada zamannya – dan menjadi sumber inspirasi bagi sejumlah pemikir Marxis kontemporer seperti Etienne Balibar, Michael Hardt, dan Antonio Negri.

Bab keenam dan ketujuh membahas tentang sejumlah pemikir politik terkemuka dalam konteks Absolutisme Negara di Perancis dan Revolusi di Inggris. Kontras antara kondisi sosial-politik di Perancis dan Inggris dapat membantu kita memetakan perbedaan corak pemikiran politik di antara kedua negara tersebut. Di Perancis, terdapat ketegangan politik antara institusi negara atau monarki yang ingin memperbesar kekuasaan absolutisnya versus kaum bangsawan dan tuan tanah yang ingin melawan kecenderungan tersebut. Di Inggris, sebaliknya, terdapat institusi negara yang sudah kuat sebagai hasil kompromi dan kerja sama antara pihak monarki dan aristokrasi. Kemudian, di Perancis, kaum petani atau peasantry cenderung bebas, dan meskipun para tuan tanah serta negara tetap berusaha untuk mengeksploitasi kaum petani melalui pajak dan iuran, tuan tanah dan bangsawan di Perancis lebih tertarik untuk memperkaya diri mereka melalui jalur ‘ekstra-ekonomi’ yang disediakan oleh negara. Sebaliknya, di Inggris, sebagian besar tanah dikuasai oleh para tuan tanah dan para bangsawan yang merespon impuls pasar, impuls komersial di masa proto-kapitalisme. Persaingan antara para tuan tanah di Inggris dalam memperkaya diri mereka membuat para tuan tanah berusaha menerapkan strategi pertanian yang meningkatkan produktivitas dan efisiensi produk pertanian – suatu strategi yang kemudian melahirkan kapitalisme agraria di Inggris.

Sejumlah pemikir dibahas di dua bab ini, mulai dari Montesquieu, Jean Bodin, Rousseau, Hobbes, dan Locke. Namun kita hanya akan membahas Rousseau dan Locke kali ini, sekaligus membongkar persepsi populer atas karya-karya mereka. Rousseau yang seringkali dituduh memiliki kecenderungan totaliter dalam karya-karyanya, justru merupakan pemikir yang paling berani menggugat kecenderungan absolutisme negara di Perancis. Keunikan pemikiran Rousseau adalah analisanya yang jeli akan negara absolutis di Perancis sebagai bagian dari dan bukan solusi atas masalah eksploitasi terhadap rakyat terutama kaum petani penggarap. Meskipun solusi yang diajukan oleh Rousseau jelas adalah sebuah solusi utopis – komunitas petani yang bebas dari eksploitasi dan bebas menentukan proses produksi di antara mereka sendiri – Rousseau merupakan salah satu pemikir pertama yang menyadari persoalan eksploitasi dalam politik dan solusi atasnya. Sebaliknya, Locke, yang seringkali dianggap sebagai pencetus egalitarianisme dan konsep ‘pemerintahan yang terbatas’ (limited government) justru memiliki kecenderungan anti-demokratik. Ide kepemilikan pribadi sebagai hak alamiah (private property as natural rights) justru bersifat ahistoris, karena kepemilikan pribadi sesunguhnya merupakan produk sejarah dan kreasi institusional manusia, dan cenderung memarginalkan sejumlah kelompok masyarakat, seperti perempuan, pekerja, para petani penggarap dalam proses demokrasi yang lebih luas dan popular, atas nama ‘pemerintahan yang terbatas.’

Bab kedelapan atau yang terakhir merupakan ulasan singkat dan afirmasi Wood atas tesis utamanya: bahwa sejarah modernitas melahirkan kapitalisme, sebuah momen sejarah yang memiliki ketegangan yang inheren dengan demokrasi dan menghambat proses demokrasi yang lebih luas dan radikal.

Ulasan Kritis

Karya Wood kali ini, seperti karyanya yang sebelumnya, patut mendapatkan apresiasi.

Pertama, pendekatan historiografi Wood atas pemikiran politik Barat perlu diacungi jempol. Kemampuannya untuk memberikan narasi yang lengkap dan utuh, tanpa terjebak dalam penulisan sejarah yang ‘teleologis’ dalam artinya yang simplistis dan normatif adalah keunggulan pendekatannya. Dalam hal ini, Wood menunjukkan keahliannya sebagai seorang ahli politik yang membahas sejarah sosial dari ide-ide politik.

Kedua, Wood juga berhasil menunjukkan bahwa baik faktor ideasional maupun faktor material sama-sama penting dan keduanya sama-sama membentuk proses sejarah. Dari perspektif historiografi Marxis, Wood tentu ingin menunjukkan bagaimana faktor material terutama kontestasi kelas membentuk faktor-faktor ideasional yang mempengaruhi corak pemikiran berbagai filsuf politik di Eropa pada masa awal era modern. Namun, Wood juga tidak abai dengan kekuatan ide dalam menggerakkan aktor-aktor sejarah seperti para tuan tanah dan petani serta implikasi ide-ide tersebut dalam perkembangan sejarah.

Dalam hal ini, Wood bisa dikatakan berhasil menyajikan suatu pendekatan sejarah sosial pemikiran politik Barat, suatu historiografi Marxis atas pemikiran politik Barat, tanpa terjebak dalam historisisme, idealisme, voluntarisme naïf, maupun partikularisme yang ahistoris.

Ketiga, Wood juga berhasil membongkar mitos akan dua hal: pertama, persepsi populer atas karya-karya pemikiran politik Barat dan kedua, persepsi populer atas konsep-konsep politik modern. Dua persepsi ini cenderung tergelincir dalam pandangan-pandangan yang ahistoris. Pemikiran John Locke dan Montesequieu misalnya, dalam banyak hal justru tidak begitu demokratis karena keberpihakannya atas institusi-institusi serta kolektif-kolektif dan marginalisasinya atas hak-hak invidivual warga negara serta abainya dua pemikir tersebut atas eksploitasi politik, ekonomi, dan sosial. Konsep-konsep politik modern seperti “hak”, “kebebasan”, “rakyat” juga perlu diletakkan dalam konteks historis – apakah kita berbicara kebebasan bagi para pemilik modal dan tanah saja? Apakah kita akan menegasikan hak-hak politik yang bersifat ekstra-parlementer? Kesadaran historis akan konsep-konsep ini perlu dikembalikan dalam diskursus politik kita – satu hal yang berhasil dilakukan oleh Wood.

Namun demikian, apresiasi ini tidak menghalangi kita untuk memberikan sejumlah kritik atas karyanya.

Pertama, dalam hal metode, meskipun inovatif, metode sejarah sosial atas pemikiran politik Barat dapat membingungkan pembaca dan pengkaji ilmu sosial serta humaniora karena fokusnya yang terbelah: Apakah fokus karya ini ke konteks transisi feodalisme ke kapitalisme? Atau bagaimana ide-ide para filsuf politik berkembang dalam konteks tersebut? Di beberapa bagian, sepertinya penjelasan tentang bagaimana suatu pemikiran politik lahir dalam suatu konteks sosial-politik agak hilang atau kurang jelas. Ini tentu akan menyulitkan pembaca, tidak hanya bagi pembaca pemula, namun juga bagi para pengkaji yang sudah berkecimpung dengan isu-isu seperti ini setelah sekian lama.

Kedua, metode ini sesungguhnya dapat dikembangkan lebih jauh lagi, menjadi semacam kajian sejarah komparasi atau sejarah konektif atas sejarah sosial pemikiran politik Barat di konteks Eropa. Bahkan, proyek intelektual ini dapat diteruskan dalam konteks interaksi antara masyarakat Barat dan non-Barat. Metode historiografi Wood yang memberikan porsi yang adil baik terhadap faktor-faktor ideasional maupun material sesungguhnya memiliki potensi untuk melakukan studi yang tersebut di atas.

Ketiga, dan yang terakhir, lebih merupakan kritik yang sifatnya teknis. Beberapa penjelasan di dalam buku ini cenderung diulang-ulang, misalnya pembahasan tentang pertarungan antara berbagai klaim kedaulatan oleh berbagai entitas atau implikasi sosial politik dari konsep tentang hukum alam sebagai dalil atas kekuasaan dan kedaulatan. Kemudian, beberapa pemaparan Wood tentang transisi dari feodalisme ke kapitalisme bisa dikatakan tidak ada yang baru, kecuali dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran politik Barat.

Kesimpulan

Sebagaimana karya Wood yang sebelumnya, dapat dikatakan bahwa karya Wood patut dijadikan rujukan bagi para pengkaji dan penggerak gagasan Kiri dan ilmu sosial serta humaniora pada umumnya. Topik-topik yang dibahas Wood dalam bukunya kali ini juga merupakan topik-topik besar yang perlu dipelajari bagi para ilmuwan dan penggerak sosial, seperti persoalan negara, evolusi konsep kepemilikan pribadi, implikasi sosial politik dari perkembangan sebuah ide, pertautan antara hubungan tuan tanah dan kaum tani dengan ide-ide tentang kewarganegaraan dan proses-proses politik, dan lain sebagainya. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai penangkal atas mitos bahwa modernitas, nilai-nilai borjuis, kapitalisme, dan demokrasi adalah hal-hal yang datang dalam satu paket. Buku ini juga mengingatkan kita bahwa ide-ide tidak muncul dari suatu kevakuman sejarah, namun merupakan hasil dari proses sejarah dan material yang membentuknya.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Bacaan tambahan:

Althusser, L. (1972). Politics and History: Montesquieu, Rousseau, Hegel and Marx. London: New Left Books.

McNally, D. (1994). Political Economy and the Rise of Capitalism. Berkeley, CA: University of California Press.

Moore, B. (1966). The Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World. Boston, MA: Beacon Press.

Wood, E. M. (1995). Democracy Against Capitalism: Renewing Historical Materialism. Cambridge: Cambridge University Press.

Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

Sumber: http://indoprogress.com/lbr/?p=399

Diposkan pada 15/11/2012 oleh Tinggalkan balasan

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

 

Judul Buku: Citizens to Lords: A Social History of Western Political Thought from Antiquity to the Late Middle Ages

Pengarang: Ellen Meiksins Wood

Penerbit: Verso, London/New York, 2008

Tebal: ix + 245 h.

 

Membedah Pemikiran Politik Barat Melalui Sejarah Sosial

USAHA untuk membahas dasar-dasar pemikiran politik Barat, merupakan hal yang jarang dilakukan. Di tanah air, terdapat kecenderungan untuk ‘melupakan’ kanon-kanon teori politik klasik, apalagi membahas konteks sejarah dari pemikiran tersebut. Cap ‘kuno’ atau ‘tidak relevan’ sering menjadi alasan mengapa tidak banyak dari kita – pengkaji ilmu sosial dan filsafat, serta aktivis gerakan sosial – mau menekuni kajian pemikiran politik klasik Barat secara serius.

Di tengah-tengah kelangkaan kajian serius tentang filsafat politik klasik Barat, ahli ilmu politik Marxis terkemuka, Ellen Meiksins Wood, berusaha memberikan sebuah narasi lengkap tentang sejarah pemikiran politik. Yang menarik dari Wood, ia tidak hanya sekedar menarasikan sejarah intelektual atau history of ideas, melainkan berusaha membahas pemikiran politik Barat melalui pendekatan sejarah sosial (The Social History of Political Theory). Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah sosial di sini adalah usaha untuk menempatkan para pemikir politik Barat klasik sebagai subyek yang terus-menerus berinteraksi dengan konteks politik, ekonomi dan sosial masyarakatnya, yang tertuang dalam pemikiran mereka. Oleh karena itu, selain membedah inti-inti gagasan para pemikir politik Barat klasik, Wood juga membahas latar belakang sosial mereka dan interaksinya dengan masyarakat dan kekuasaan pada masa itu – dari zaman Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan.

Thesis utama Wood cukup jelas dan gamblang, yaitu sejarah pemikiran politik Barat dari zaman Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan, didominasi oleh dua ketegangan: pertama, ketegangan antara kelas yang menguasai kepemilikan aset terutama tanah vis-à-vis demos – yaitu rakyat banyak yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap; dan kedua, bagaimana menjustifikasi kekuasaan negara yang absolutis plusketimpangan politik, ekonomi, sosial dan legal yang dilembagakanberdasarkan dalil ‘kesetaraan manusia’ menurut hukum alam (natural law).Ketegangan inilah yang menjadi pembahasan utama dalam buku Wood.

Dari Masa Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan

Wood membagi bukunya dalam empat bab pembahasan: bab pertama tentang pendekatan sejarah sosial dalam filsafat politik, bab kedua hingga keempat masing-masing membahas tentang sejarah pemikiran politik mulai dari masa Yunani Kuno, Imperium Romawi, hingga Abad Pertengahan menjelang modernitas. Di bagian kesimpulan, Wood kemudian memaparkan dan menegaskan kembali argumennya tentang ketegangan dalam pemikiran politik Barat klasik dan implikasinya terhadap pemikiran politik Barat modern dan kontemporer.

Di bab pertama, Wood memberikan justifikasi tentang pentingnya memahami filsafat politik Barat dalam perspektif sejarah sosial. Metode penulisan Wood sesungguhnya merupakan gebrakan dalam penulisan sejarah filsafat politik Barat. Di Amerika Serikat, misalnya, pendekatan keilmuan dalam kajian filsafat politik di berbagai departemen ilmu politik cenderung dipengaruhi oleh pendekatan Straussian ala Leo Strauss. Menurut Leo Strauss, mengkaji filsafat dan teori politik berarti sekedar mengkaji pemikiran para pemikir besar politik Barat dengan cara membaca kanon-kanon pemikiran politik terkemuka tanpa berusaha untuk mengaitkannya dengan konteks sosio-historis pemikiran tersebut, atas nama ‘objektivitas ilmu pengetahuan’ dan karenanya memperjuangkan ‘anti-historisisme’ atau menghindari pembahasan konteks sosio-historis dalam mengkaji pemikiran politik Barat. Akibatnya, ide-ide pemikiran politik dibahas hanya secara normatif, seakan-akan muncul dengan sendirinya, dan karenanya bisa terjebak dalam solipsismenya sendiri. Di dalam ranah ilmu politik yang lebih ‘empirisis,’ pendekatan Straussian ini juga semakin melanggengkan hegemoni positivisme dalam ilmu politik, atas nama sains yang ‘objektif’ dan ‘bebas nilai dan kepentingan’ – suatu fenomena, yang sayangnya, sangat dominan dalam diskursus ilmu politik kita di tanah air.

Wood mengritik keras pendekatan semacam ini. Menurutnya, ide-ide filsafat politik Barat bukanlah gagasan yang muncul dalam konteks yang vakum, melainkan selalu berinteraksi dengan kenyataan sosial disekelilingnya. Konteks sosial inilah yang juga mempengaruhi bangunan argumentasi para filsuf politik Barat. Wood juga mengritik pendekatan dominan sejarah pemikiran politik Barat, yang selain terlalu menekankan pada aspek ide semata, juga cenderung abai terhadap berbagai proses sosial dan upaya berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang termarginalkan, seperti petani, perempuan, dan rakyat kebanyakan lainnya, dan karenanya, justru menjadi ahistoris. Selain memberikan konteks historis dari pemikiran politik Barat, pendekatan Wood juga bertujuan untuk menuliskan ‘history from below’ atau ‘sejarah dari bawah,’ yaitu sejarah filsafat politik dari kacamata rakyat biasa, terutama kaum petani penggarap.

Di dalam konteks inilah, Wood membuat gebrakan dan kritik tajam atas penulisan sejarah filsafat politik Barat, yang sekali lagi, cenderung menulis sejarah pemikiran politik dalam konteks yang vakum, ahistoris, atas nama ‘anti-historis.’

Berdasarkan perspektif inilah, Wood kemudian menganalisis secara cermat bagaimana ketegangan-ketegangan tersebut sudah ada dari masa awal perkembangan polis atau negara-kota di zaman Yunani Kuno dan masa awal perkembangan Imperium Romawi. Di masa Yunani Kuno, komunitas politik merupakan domain di luar negara, yang diwarnai bukan oleh interaksi antara penguasa dan rakyat jelata (rulers and subjects) tetapi merupakan hubungan yang setara antara warga negara (citizens). Namun demikian, pola relasi politik ini mengesampingkan pola relasi produksi antara para tuan tanah (appropriatorslandlords) dan para produsen yaitu warga negara, yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap (peasant-citizens). Pola relasi produksi antara tuan tanah dan petani penggarap inilah yang mewarnai ketegangan utama dalam pemikiran  politik Barat. Tiap-tiap era menanggapinya dengan reaksi yang berbeda. Yunani Kuno menanggapinya dengan institusi demokrasi yang memungkinkan tuan tanah dan rakyat petani berkonfrontasi secara beradab dalam ranah politik sebagai warga negara yang setara. Imperium Romawi menempuh jalan yang jauh berbeda: berdasarkan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam artian memberikan manusia hak sesuai kebijaksanaan dan kemampuannya, negara justru semakin memperkuat hierarkhi antara tuan tanah dan segenap penguasa lainnya (birokrat, pejabat negara dan militer) sebagai  kelas yang berkuasa versus para rakyat petani melalui status hukum yang didasarkan atas status kepemilikan properti. Abad Pertengahan kemudian menjadi saksi di mana gereja dan negara menjadi semakin tidak berkuasa di hadapan kelas yang menguasai kepemilikan pribadi yang semakin menggerogoti kedaulatan negara.

Di Bab kedua, Wood berfokus kepada para pemikir politik Yunani terkemuka pada zamannya, yaitu Sokrates, Plato, Aristoteles, dan kaum Sofis, terutama Protagoras. Wood memulai pembahasannya dari kemajuan demokrasi di polis-polis Yunani yang dipelopori oleh Solon, sang reformer demokrasi di Athena. Yang dimaksud dengan ‘demokrasi’ di sini bukanlah demokrasi elektoral semata seperti yang sering menjadi penyakit di masa modern sekarang, tapi merupakan arena kontestasi politik di mana warga-petani (peasant-citizen) bisa memperjuangkan hak-haknya dalam polis. Pengaruh aristokrasi dan para penyokong oligarki memang masih ada, tetapi itu semua diimbangi oleh kekuatan politik para warga-petani. Memang, demokrasi Athena tidaklah sempurna. Dalam hal kebijakan luar negeri misalnya, Athena menerapkan kebijakan luar negeri yang justru ekpansionis, seperti digambarkan oleh Thukidedes, sejarawan Yunani, dalam karyanya Sejarah Perang Peloponnesos (History of the Peloponnesian War). Tetapi, demokrasi Athena dalam banyak hal merupakan kemenangan sejarah bagi kaum petani dan warga biasa.

Sejarah pemikiran politik Yunani Kuno, yang dimotori oleh filsuf-filsuf seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles, sangat berkaitan dengan konteks ini. Pemikiran-pemikiran Sokrates, Plato dan Aristoteles dibangun berdasarkan interaksi dan refleksi mereka dengan kondisi sosial di sekitarnya. Yang menarik adalah, Wood lantas tidak berhenti di titik ini, melainkan bergerak lebih jauh lagi dengan menyodorkan sebuah argumen: Plato dan Aristoteles, yang memiliki latar belakang sebagai para pemikir yang dekat dengan kekuasaan dan golongan elit di Athena, sesungguhnya menawarkan pemikiran politik yang skeptis dengan kemampuan massa, yaitu petani dan warga biasa, untuk memerintah, jikalau tidak anti-demokrasi sama sekali. Terlepas dari berbagai perbedaan dari posisi filosofis para tiga filsuf tersebut, mereka semua mendasarkan filsafat politiknya dari argumen yang sama: bahwa terdapat perbedaan yanginheren dalam sifat dasar manusia (human nature), yang menjustifikasi perbedaan peranan dalam bentuk ketidaksetaraan (inequality) dalam kehidupan publik. Seorang budak atau petani, yang harus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan menggarap tanah, tidak memiliki kemampuan untuk memikirkan persoalan publik dibandingkan dengan seorang aristokrat terdidik yang memiliki kemampuan dan waktu luang untuk memikirkan politik, dan karenanya, penegasan hierarkhi antara penguasa dan yang diperintah menjadi lebih baik untuk keduanya.

Yang menarik, para pembela demokrasi Athena dan kemampuan kelas petani dan produsen lainnya dalam memerintah dirinya sendiri justru adalah kaum Sofis, terutama Protagoras. Berbeda dengan para filsuf Yunani yang menekankan pada aspek hierarkhi alamiah (order), Protagoras justru berargumen tentang kesetaraan alamiah (equality) yang juga tercermin dalam praktek politik dan kehidupan publik, dalam bentuk demokrasi. Berdasarkan kesetaraan inilah, maka demokrasi Athena perlu menjadi instumen politik bagi kaum tani dan rakyat jelata dalam memperjuangkan haknya melawan dominasi para aristokrat dan oligark.

Di bab ketiga, Wood menjelaskan transisi dari kemunduran polis-polis Yunani ke kejayaan Imperium Romawi. Perubahan besar-besaran ini juga mempengaruhi corak filsafat politik yang berkembang di masa Romawi. Tantangan terbesar bagi filsafat politik dan politik itu sendiri di masa imperium Romawi adalah bagaiamana menjustifikasi pemerintahan yang absolutis dan imperium yang ekspansionis berdasarkan konsep kesetaraan manusia dan kosmopolitanisme yang menjadi tradisi filsafat dan politik Yunani. Persoalan ini menjadi semakin kompleks dengan semakin menguatnya legislasi yang melindungi kepemilikan properti pribadi dan munculnya gereja sebagai kekuatan baru, baik di bidang pemikiran, politik, maupun properti atau ekonomi.

Perubahan ini bermula dari mundurnya komunitas polis, bergeser menjadi imperium yang kosmopolis, meliputi dan memerintah berbagai jenis suku bangsa dan golongan masyarakat, di bawah pimpinan raja sebagai hukum yang hidup atau the living law. Mulai dari masa ini, pemikiran Yunani yang menjadi tren dan mewarnai pemikiran politik di era Romawi adalah Stoikisme yang dipelopori oleh Zeno dari Citium. Filsafat Stoikisme melahirkan berbagai macam konsep, tetapi konsep yang paling mempengaruhi corak filsafat politik di masa Romawi adalah konsep kesatuan antara akal pikiran (mind) dan badan atau aspek-aspek badaniah dari manusia (body), yang disebut dengan istilah logos, yang juga sering diterjemahkan sebagai ‘nalar universal.’ Konsepsi ini jelas berbeda dengan dualisme antara badan dan pikiran yang dirumuskan oleh Plato, yang konsekuensinya adalah justifikasi untuk hierarkhi yang tegas antara penguasa dan yang diperintah. Sepintas, pemikiran politik Stoik akan menguatkan tradisi demokratis a la Athena, tapi pada perkembangannya, filsafat Stoik mengalami evolusi konsep yang kelak  dipakai untuk menjustifikasi kekuasaan yang absolut. Modifikasi atas Stoikisme dapat dilihat pada pemikiran Cicero, seorang negarawan Romawi kuno, dan Agustinus dari Hippo, seorang santo dan filsuf gereja di masa Romawi.

Cicero, yang menggunakan dalil Stoik tentang logos, pertama-tama bersentuhan dengan argumen kaum Stoik dari kacamata Plato. Dengan kata lain, Stoikisme Cicero sejatinya berbau Platonis, karena Cicero membaca Stoikisme melalui kritik tentangnya. Thesis utama dari pemikiran politik Cicero adalah pengakuan atas kemampuan akal budi manusia, kesetaraan dalam dimensi moral bagi seluruh manusia, penegakkan hukum dan perlindungan atas kepemilikan pribadi. Menariknya, berdasarkan atas prinsi-prinsip tersebut, Cicero melakukan pembelaan atas ketidaksetaraan dan hierarkhi sosial antara penguasa dan rakyat jelata, terutama kaum tani, yang dilembagakan melalui kedaulatan yang absolut dan sistem hukum, berdasarkan prinsip keadilan. Menurut Cicero, meskipun semua manusia setara dan memiliki kapasitas yang sama dalam menggunakan akal budinya dan memerintah, manusia juga memiliki potensi untuk mengabaikan akal budinya dan terjatuh dalam jurang kesalahan. Oleh karena itu, kekuasaan negara yang mutlak, jikalau tidak absolutis atau otoriter, dalam istilah yang lebih modern, diperlukan untuk menjaga manusia dari kecenderungannya untuk melakukan kesalahan. Kemudian, definisi keadilan Cicero berbeda dengan definisi keadilan ala masyarakat polis Yunani, yang menekankan pada kesetaraan kemampuan manusia, terlepas dari latar belakang sosial dan ekonominya, dalam merumuskan kebijakan publik dan memerintah. Keadilan, menurut Cicero, adalah memberikan manusia tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Tidaklah adil, bagi Cicero, untuk memberikan bobot yang sama dalam kebijakan pemerintahan bagi manusia yang memiliki kemampuan terbaik dan mereka yang memiliki kemampuan terburuk, karena negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh para warga negara yang terbaik – kaum aristokrat, tuan tanah, dan oligark.

Santo Agustinus dari Hippo, yang menjadi salah satu pemikir Gereja terkemuka di era naiknya agama Kristen di Imperium Romawi, juga memiliki pemikiran serupa, yang digunakan sebagai dalil bagi pihak Gereja untuk mendukung sekaligus mengambil keuntungan dari semakin besarnya kekuasaan negara dan semakin terpinggirnya peranan para warga-petani. Agustinus, yang terkenal dengan karya utamanya Kota Tuhan (The City of God), berada di tengah-tengah dilema antara otoritas Gereja dan negara. Agustinus ingin meyakinkan bahwa KeKristenan  bukanlah musuh para elit negara, dan sebalikya, Gereja tidak perlu takut dengan otoritas negara, sekalipun negara dipimpin oleh para elit yang sama sekali tidak Kristiani. Salah satu ide Agustinus untuk menjembatani ketegangan ini, sekaligus semakin menegaskan dukungannya untuk legitimasi negara yang mutlak, adalah doktrin tentang ‘dosa asal’ (original sin). Doktrin ini mengatakan,sekalipun manusia memiliki potensi untuk mengaktualisasikan potensi akal budinya untuk menjadi bijak, namun manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa dan menjauhi perintah Tuhan. Untuk itu, manusia, terutama umat Kristen, perlu mengikuti gereja sebagai otoritas spiritual demi menggapai kemenangan di bumi dan di hari akhir. Tetapi, institusi gereja memiliki keterbatasan dalam menegaskan kedaulatantemporal, kedaulatannya di bumi. Oleh karena itu, kedaulatan di bumi harus diserahkan kepada institusi negara, sekalipun negara tersebut sangat Pagan dan anti-Kristen, untuk menjaga manusia dari kecenderungannya untuk berdosa di bumi.

Perlu diingat bahwa baik pemikiran Cicero maupun Santo Agustinus merupakan reaksi atas munculnya tipe pemerintahan baru di masyarakat pada saat itu, yakni kekaisaran atau imperium yang bersifat ekspansif. Menariknya, pengalaman Imperium Romawi menunjukkan bahwa untuk semakin menguatkan otoritas dan jangkauan kekuasaannya, negara harus memperkuat rezim kepemilikan pribadi atas properti, terutama tanah, bagi para tuan tanah, pejabat publik, dan militer. Kedaulatan negara dan perluasan kekaisaran berkaitan erat dengan kekuatan para penguasa dan perlindungan atas rezim kepemilikan pribadi. Munculnya agama Kristen juga tidak terlepas dari konteks ini, yang akhirnya membuat Gereja harus mengambil suatu solusi yang bertujuan untuk melindungi penyebaran agama Kristen dan otoritas Gereja, yaitu mendukung rejim negara dan kepemilikan pribadi. Lagi-lagi, semua ini terjadi dengan mengorbankan hak-hak dan kontribusi produksi para warga, petani, dan budak.

Bab keempat menjelaskan tentang Abad Pertengahan dan transisi dari imperium Romawi ke feodalisme. Meskipun banyak sejarawan dan cendekiawan yang berfokus pada perubahan dan keterputusan sejarah antara era Romawi dan Abad Pertengahan, Wood justru menggarisbawahi kesinambungan (continuity) antara era Romawi dan Abad Pertengahan, terutama dari kacamata para petani yang semakin termarginalkan. Kesinambungan sejarah ini dapat terlihat pada hubungan yang makin pelik antara negara, Gereja dan kepemilikan pribadi dan batasan-batasan antara ruang sipil dan politik (civic and political spheres) versus ranah hukum (legality), yang menjadi fokus pembahasan para filsuf politik di masa itu, mulai dari Thomas Aquinas, John dari Paris, Marsilius dari Padua, William dari Ockham dan para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Rushd (Averroes). Tantangan utama pada masa Abad Pertengahan adalah menyusutnya kedaulatan mutlak negara di hadapan menguatnya rejim kepemilikan properti yang memberikan posisi tawar yang lebih besar kepada para tuan tanah, yang berujung kepada dilema antara otoritas untuk menjalankan pemerintahan versus kekuatan kepemilikan pribadi.

Terlepas dari berbagai perbedaan di tingkat varian pemikiran yang berkaitan dengan konteks di negara masing-masing, para filsuf politik Eropa di Abad Pertengahan yang menghadapi dilema antara negara atau akumulasi tanah dan kapital, memilih ‘jalan tengah’ dengan mendukungstatus quo, yaitu pembelaan atas kekuasaan negara sekaligus rejim kepemilikan pribadi. Aquinas, misalnya, melakukan pembelaan atas kekuasaan negara yang temporal atau sekuler dan kekuasaan spiritual Gereja yang berdasarkan konsep hukum alam (natural law). Konsep ini berbeda, misalnya, dengan konsep Ibn Rushd yang meniadakan dikotomi antara agama dan filsafat sebagai jalan menuju Kebenaran, yang berimplikasi pada struktur politik yang lebih fleksibel di dunia Islam dibandingkan Eropa di Abad Pertengahan pada saat itu. Marsilius dari Padua, juga membela usaha negara untuk mengembalikan kedaulatannya sekaligus menguatnya kekuasan para tuan tanah berdasarkan dalil bahwa negara dan kekuasaan tuan tanah merupakan representasi dari ‘perkumpulan warga’ (the corporation of citizens). Sedangkan William dari Ockham berpendapat bahwa otoritas negara, Gereja dan kepemilikan pribadi merupakan gambaran dari kehendak-kehendak individu bebas dan perkumpulan warga di dalam masyarakat.

Terakhir, dalam kesimpulannya, Wood kembali menegaskan argumennya tentang ketegangan utama dalam filsafat politik Barat menurut analisis sejarah sosialnya: kesenjangan antara kelas yang menguasai aset, terutama tanah dan kelas produsen, terutama petani penggarap, yang dilembagakan oleh negara, gereja, dan hukum, berdasarkan dalil filosofis tentang kesetaraan manusia. Paradoks inilah, menurut Wood, yang mewarnai pemikiran politik Barat pasca-Abad Pertengahan dan seterusnya, termasuk derivasi modernnya yaitu ide tentang ‘demokrasi’ yang ditautkan dengan pemerintahan yang terbatas dan kepemilikan pribadi (limited government and private property).

Ulasan Kritis

Karya Wood patut diapresiasi sebagai sebuah upaya untuk membaca sejarah pemikiran politik Barat secara baru, yaitu melalui pendekatan sejarah sosial dan analisa Marxis – suatu hal yang jarang dilakukan ketika mempelajari sejarah pemikiran Barat. Namun demikian, setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian sekaligus kritik untuk karya Wood.

Pertama, sebagaimana layaknya berbagai bentuk pemikiran, perlu ditegaskan bahwa filsafat politik dapat diinterpretasikan seluas-luasnya dalam berbagai cara. Dengan kata lain, dalam membaca karya Wood, kita tetap harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan mengenai corak pemikiran politik Barat dari masa Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan. Poin ini juga ditegaskan oleh Wood sendiri, yang menyebutkan bahwa analisis sejarah sosialnya tidak serta merta berpendapat bahwa seluruh bangunan pemikiran para filsuf politik Barat yang dikupas dalam buku Wood secara inheren anti-demokratik. Yang ditekankan oleh Wood adalah, ada elemen-elemen dari pemikiran Plato hingga Aquinas yang memang anti-demokratik, yang juga merupakan produk dari konteks sosial dan sejarah pada masa itu. Sebagai sebuah pemikiran, tentu saja pemikiran para filsuf Klasik tetap terbuka terhadap berbagai penafsiran. Yang ditekankan di sini adalah aspek keberkaitan antara pemikiran dan konteks sejarah sosialnya.

Kedua, Wood sudah mengerjakan tugasnya dengan baik dengan menyebutkan pengaruh masyarakat non-Barat atau yang liyan (the other) dalam pemikiran politik Barat, seperti pengaruh Ibn Rushd terhadap pemikiran Thomas Aquinas dalam mengkaji teks-teks politik Aristotelian.[1]

Namun, porsi yang diberikan dalam pembahasan Wood masih terbatas dan dapat dibilang kurang ekstensif. Tentu saja ini dapat dimaklumi karena memang fokus pembahasan Wood adalah sejarah pemikiran politik Barat. Namun, alangkah baiknya apabila porsi pembahasan tentang pengaruh pemikiran non-Barat terhadap filsafat politik Barat dapat ditambah – satu hal yang mungkin menjadi tugas kita di kalangan penggiat kajian dan gerakan Kiri untuk membahas persoalan serupa dalam konteks masyarakat kita.

Kesimpulan

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa buku Wood merupakan terobosan baik dalam hal kajian pemikiran politik, sejarah sosial, dan analisa Marxis dalam ilmu-ilmu sosial. Tidak banyak ilmuwan politik maupun sejarawan yang berupaya melakukan analisis yang sifatnya sintesis dan eklektik dari berbagai disiplin ilmu. Dalam hal ini, karya Wood patut diapresiasi.

Dalam hal kajian keilmuan dan pengembangan gerakan, buku ini juga menjadi pengingat bagi para pengkaji dan penggerak gagasan Kiri maupun ilmu sosial dan humaniora pada umumnya, untuk kembali mempelajari ‘kitab-kitab’ atau kanon klasik pemikiran politik Barat secara serius, tanpa terjebak oleh label ‘kuno’ atau ‘sudah tidak relevan.’ Kita perlu membangkitkan budaya belajar teks-teks pemikiran politik secara serius, terutama sekali untuk mengerti situasi hari ini secara lebih komprehensif. Dan buku Wood adalah sebuah bacaan pengantar yang sangat berguna.

 

 

Penulis beredar di Twitterland dengan id@libloc

 

Bacaan Tambahan

Lefebvre, G. (1947). The Coming of the French Revolution. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Macpherson, C. B. (1962).The Political Theory of Possesive Individualism.Oxford: Oxford

University Press.

Needham, J. (1954). Science and Civilisation in China. Cambridge: Cambridge University Press.

Skinner, Q. (1978). The Foundations of Modern Political Thought.Cambridge: Cambridge University Press.

Wilson, S. (1962). Politics and Vision: Continuity and Innovation in Western Political

            Thought. Princeton, NJ: Princeton University Press.

 

 


[1] Salah satu contoh karya yang paling ekstensif mengulas tentang pengaruh pemikiran peradaban non-Barat terhadap peradaban Barat adalah Science and Civilisation in China karya Joseph Needham, sejarawan asal Inggris, yang terbit dalam 27 buku, selama 1954-2008, tentang sains dan teknologi di peradaban China.

Membaca‘Islam’ Secara Ilmiah: Sebuah Kritik

Membaca Islam Secara Ilmiah: Sebuah Kritik

http://indoprogress.com/2012/09/24/membaca-islam-secara-ilmiah-sebuah-kritik/

Iqra Anugrah, Mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

WHAT Went Wrong? Demikianlah kata Bernard Lewis[i], sang orientalis ahli Islam kenamaan dari Inggris tersebut. Mulai dari tragedi 9/11 hingga tragedi Sampang, konflik Israel-Palestina hingga usulan absurd sertifikasi ulama dan kontroversi seputar penayangan film anti-Islam di Timur Tengah, seakan-akan menilai dan mengkaji Islam membutuhkan suatu kategori khusus. ‘Islam’ dianggap sebagai sebuah entitas tunggal dan dilupakan keberagamannya (Kendzior, 2012)[ii]. Tak heran, jikalau ada anggapan bahwa karena Islam maka ia ‘lain’ atau ‘khusus,’ seperti – karena ‘Islam’ maka komunitas imigran terutama mereka yang berlatar belakang Muslim tidak bisa berintegrasi di masyarakat Barat, karena ‘Islam’ maka demokrasi, kapitalisme, dan segala atribut lain yang diidentikkan dengan kemajuan dan modernitas menjadi susah diterapkan jikalau tidak mustahil. Benarkah demikian?

Dalam semangat menanggapi kecenderungan perkembangan studi Islam dan implikasi realpolitik-nya, seperti yang disebut di atas, sekaligus untuk meramaikan perdebatan serupa yang telah dimulai oleh kawan Airlangga Pribadi (Irshad Manji: Reformer Islam atau Suara Dominan Imperium) dan kawan Rolip Saptamaji Politik Kekerasan Komunal di Indonesia, maka tulisan ini bertujuan untuk memberikan suatu kritik metodologis dan praxis atas kondisi studi Islam dan implikasinya di dunia nyata. Secara singkat, kritik saya memiliki dua tujuan: pertama, untuk memberikan suatu kritik tajam terhadap pendekatan-pendekatan yang terlalu security-oriented, memberikan penekanan berlebihan terhadap peranan agensi tetapi abai pada pengaruh struktur, dan meneguhkan pandangan-pandangan orientalis, imperialis dan kulturalis; dankedua, untuk menawarkan kembali dan ‘menyegarkan’ perspektif yang dianggap klise tapi masih jitu dalam membaca Islam, yaitu perspektif Marxis – yang memungkinkan kita untuk melihat masyarakat Muslim secara lebih objektif dan memberikan ruang bagi masyarakat Muslim itu sendiri untuk memainkan peranannya sebagai subjek.

Kritik dan Alternatif

Terdapat suatu perdebatan klasik dalam mengkaji Islam pada khususnya dan agama, kosmologi atau suatu sistem kepercayaan pada umumnya mengenai apa yang seharusnya kita kaji dari Islam dan di level mana seharusnya kita mengkaji Islam. Menanggapi hal tersebut, Laitin (1978) membagi analisis hubungan antara sistem kepercayaan dan perilaku suatu masyarakat ke dalam beberapa level, seperti level doktrin dan ajaran dan level kemasyarakatan. Dalam tulisannya tersebut, Laitin akhirnya berkesimpulan bahwa untuk menilai suatu masyarakat, langkah yang harus dilakukan adalah menilai perkembangan masyarakatnya itu sendiri, bukan sekedar mempelajari sistem nilai atau kepercayaan masyarakat tersebut dan kemudian menarik kesimpulan tentang masyarakat tersebut – sebuah metode yang bukan saja bias, namun bisa jadi tidak akurat

Berangkat dari titik inilah, metode membaca ‘Islam’ dari perspektif Marxis yang dipopulerkan oleh Maxime Rodinson, ahli Islam kenamaan asal Perancis yang berhaluan Marxis itu, menjadi penting, karena perspektif inilah yang mengawali suatu tradisi baru dalam kajian tentang the Orient, tentang masyarakat non-Barat, yaitu seruan untuk mempelajari perkembangan masyarakat Muslim ketimbang doktrin dan ajaran itu sendiri (karenanya, ‘Islam’ dalam artian ini saya beri tanda kutip, ia merujuk kepada komunitasnya alih-alih doktrinnya). Pendekatan ini juga mendahului pendekatan pasca-kolonial yang ingin memberikan ruang kepada the Orientuntuk menceritakan narasinya yang dipopulerkan oleh Edward Said – yang ia sendiri akui dalam karya klasiknya Orientalism(1978).

Karenanya, saya ingin memberi suatu pemaparan singkat tentang metode Marxis dalam mengkaji Islam ala Rodinson, dengan merujuk pada dua karya utamanya, yaitu Islam and Capitalism (1973) dan Marxism and the Muslim World (1981)untuk menjawab tiga pertanyaan utama yaitu: 1) bagaimana membaca perkembangan masyarakat Muslim secara objektif, 2) bagaimana menciptakan (atau menemukan kembali) kemandirian masyarakat Muslim sebagai subjek sejarah tanpa terjebak oleh romantisme sejarah maupun orientalisme, dan 3) bagaimana menjawab persoalan ketidakadilan dan penindasan dalam masyarakat Muslim.

Sekilas tentang Maxime Rodinson[iii]

Secara singkat, saya akan sedikit menguraikan mengenai latar belakang Maxime Rodinson agar kita memiliki pemahaman yang lebih jernih mengenai asal-usul pemikirannya. Rodinson dilahirkan tahun 1915 di dalam sebuah keluarga Yahudi Polandia yang kental dengan nilai-nilai Marxis – kedua orangtuanya, yang menjadi korban rezim Nazi di Auschwitz, adalah anggota Partai Komunis.

Meskipun selalu hidup berkekurangan, berkat kecerdasannya, ia berhasil memasuki  École des Langues Orientales. Di sana ia mempelajari berbagai bahasa Timur Tengah, seperti Arab, Ethiopia klasik dan Ibrani, sebelum akhirnya menghabiskan tujuh tahun di Syria dan Lebanon. Setelahnya ia kembali ke Prancis dan menjadi profesor ahli bahasa Ethiopia klasik diÉcole Pratique des Hautes Etudes.

Rodinson tidak hanya aktif menulis dan riset, tetapi juga terlibat langsung di dalam praxis pergerakan; ia aktif membantu kawan-kawan seperjuangannya di Partai Komunis di Timur Tengah dan juga aktif di Partai Komunis Perancis, sebelum akhirnya mengundurkan diri sebagai bentuk protes atas tendensi Stalinis yang semakin menguat dalam tubuh Partai. Selama hidupnya hingga akhir hayatnya di tahun 2004, ia konsisten dengan perjuangan melawan obskurantisme dan otoritarianisme baik di dunia Arab maupun di dunia intelektual Barat.

Islam dan (Proto)Kapitalisme

Metodologi riset dan bangunan epistemologi Rodinson dalam studi Islam, dapat dilihat dalam dua karya utamanya yang saya sebut di atas. Pertama-tama, Rodinson berangkat dari titik permulaan yang berbeda dengan para orientalis: alih-alih mempelajari doktrin Islam per se dan kemudian mengambil generalisasi atas masyarakat atau peradaban Islam sembari menyuntikkan bias supremasi Barat (Occident) terhadap Timur (Orient), Rodinson menganjurkan untuk mempelajari masyarakat Muslim, terutama dari sisi perkembangan sejarah, dan sisi-sisi kemasyarakatan lainnya, untuk mengerti Islam dan Muslim secara lebih komprehensif. Di sini, perkembangan sejarah dan institusi-institusi kemasyarakatan seperti Khalifah, otoritas ulama, mekanisme pengaturan zakat dan lain sebagainya menjadi poin-poin penting yang harus diperhatikan.

Kemudian, Rodinson juga mencoba menunjukkan kelemahan analisis-analisis orientalis tentang masyarakat Islam dan juga akar dari analisis tersebut, yaitu analisis Weberian dalam artiannya sebagai analisis kulturalis atas kapitalisme. Bagi Rodinson, kelemahan analisis orientalis dan Weberian sesungguhnya sederhana namun sangat mendasar: bagaimana mungkin menjelaskan kapitalisme hanya dengan menggunakan kacamata budaya tetapi abai dengan perubahan dan dinamika struktur sosial, terutama ekonomi-politik, yang menjadi pendorong utama, the driving force, dari kapitalisme itu sendiri? Akan tetapi, Rodinson tidak kemudian terjebak pada penjelasan ekonomisme atau determinisme ekonomis a labeberapa analisis Marxis yang cenderung menyederhanakan persoalan menjadi perihal basis ekonomi semata. Rodinson menyadari bahwa ada otonomi relatif suprastruktur (dalam hal ini Islam sebagai ‘ideologi’ dan persoalan negara dalam pemikiran politik Islam)[iv]. Ini terlihat dalam penjelasan Rodinson mengenai Islam sebagai ideologi – yang diartikan secara general yaitu suatu susunan ide-ide yang dapat menggerakkan banyak orang mengenai bagaimana mengatur suatu masyarakat. Inilah ketegangan pertama dalam pemikiran Rodinson.

Ketegangan kedua dapat dilihat dalam titik berat pemikiran Rodinson terhadap struktur dan dinamika sosial serta ekonomi-politik dalam masyarakat Muslim. Dalam kaitannya terhadap structure-agency problem dalam ilmu sosial, beberapa kritik menganggap bahwa Rodinson terlalu menitikberatkan pada aspek struktur dan melupakan aspek agensi dan pengaruh aspek ide. Ini dapat terlihat misalnya, dalam biografi karya Rodinson tentang Nabi Muhammad, yang berjudulMuhammad (1960), yang dapat dikatakan cenderung ‘dingin’ sekaligus ‘objektif’ – Rodinson menulis tentang Nabi Muhammad bukan dari perspektif seorang Muslim yang taat, tetapi dari perspektif seseorang yang mencoba melihat Rasul sebagai manusia ‘biasa,’  yaitu sebagai individu, pemimpin agama, dan juga seorang politisi. Rodinson menyadari kritik tersebut, dan karenanya, ia berusaha untuk do justice,memberikan analisis dan porsi yang seimbang antara aspek struktur vis a vis peranan ide dalam analisis Marxisnya, sebagaimana dapat terlihat dalam penjelasannya mengenai ‘ideologi’ Islam.

Kesimpulan dari investigasi Rodinson terhadap masyarakat Muslim sangatlah jelas: dapat dikatakan bahwa tidak ada, atau sangat sedikit, faktor-faktor ‘kultural’ atau ‘religius’ yang inheren yang membuat masyarakat Muslim ‘tertinggal’ atau ‘susah menerima’ aspek-aspek dari modernitas, terutama apabila dibandingkan dengan ‘peradaban’ atau kebudayaan lain – atau dengan kata lain, kita dapat mengandaikan Rodinson bertanya, ‘apa sih yang membuat kaum Muslim seakan-akan berbeda secara inheren dengan kelompok-kelompok dan kebudayaan lain?’ Prinsip-prinsip ekonomi Islam sendiri juga dapat ditafsirkan secara ‘kapitalis’ maupun ‘sosialis.’[v] Namun, bukan berarti bahwa Rodinson mengamini bahwa kapitalisme adalah “cakrawala terujung” dari upaya kaum Muslim membuat sejarahnya sendiri. Rodinson memperjuangkan kesatuan antara teori dan praxis – karenanya, dalam berbagai kesempatan, sebisa mungkin ia membantu kawan-kawan Timur Tengahnya yang aktif di pergerakan progresif di negaranya masing-masing.

Untuk menjalankan metode ini dengan baik, menurut Rodinson, kuncinya adalah ‘kesadaran antropologis,’ yaitu pengetahuan yang mendalam akan karakter-karakter suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat Muslim, karena itu akan membantu kita dalam melaksanakan ‘cara berpikir yang materialis.’

Kritik Trend Studi Islam Kontemporer

Secara garis besar, baik di Indonesia dan di tataran global, kajian Islam (Islamic Studies) seakan-akan sudah mencapai ‘batasnya.’ Ini dapat kita lihat bahwa beberapa tahun terakhir ini, kerangka kajian Islam, terutama di Indonesia, cenderung mengulang-ulang narasi yang sama: seputar pergulatan Islam dan isu-isu modern, mulai dari tradisionalisme, modernitas, liberalisme, demokrasi, dunia Barat, dan lain sebagainya. Dalam banyak hal, kerangka ini cukup berhasil menggambarkan realita yang ada, namun tidak sepenuhnya.

Kerangka ini, seperti yang pernah saya kemukakan dalam artikel Islam Politik di Indonesia: Perkembangan Kapitalisme dan Warisan Perang Dingin maupun diskusi-diskusi sebelumnya di jurnal ini, mudah tergelincir dalam permasalahan yang sudah saya singgung di atas, yaitu ‘securitization’ sekaligus kulturalisme yang berlebihan. Akibatnya bisa jadi cukup fatal: seakan-akan untuk menjawab persoalannya, ummat Islam harus ‘menjauh’ dari Islam, sampai pada di satu titik di mana untuk menjadi Muslim yang ‘baik,’ dengan label seperti ‘liberal,’ ‘moderat,’ ‘demokratis,’ atau ‘toleran,’ kaum Muslim bisa jadi harus tunduk terhadap agenda imperialisme Barat dan kapitalisme global – Muslim harus berhenti menjadi Islam. Dengan kata lain, kita seakan-akan harus taking Islam out of Islam, tanpa memikirkan kondisi objektif umat yang terperangkap dalam kejumudan dan obskurantisme di satu sisi, dan eksploitasi dan represi, di sisi lain.

Kerangka, atau lebih tepatnya, retorika seperti inilah yang kemudian digaung-gaungkan, diresonansi oleh ‘para pengkaji Islam’ berhaluan konservatif-kolonialis, baik dari Barat maupun Timur, seperti Ayaan Hirsi Ali, Irshad Manji, Daniel Pipes, Robert Spencer, Sadanand Dhumme, dan lain sebagainya. Bukan kebetulan bahwa ‘ahli-ahli’ ini juga didukung oleh lembaga-lembaga sayap kanan terkemuka, seperti American Enterprise Institute[vi]dan lain sebagainya. Kecurigaan saya, yang mungkin berlebihan, jangan-jangan secara tidak sadar kita menggaungkan propaganda itu dalam membaca masyarakat kita sendiri.

‘Kemandekan’ dan ‘kegagapan’ kajian Islam juga bisa jadi menggambarkan masalah lain, yaitu mentoknya wacana pemikiran dalam kajian Islam, dalam masyarakat Islam dan juga dalam komunitas epistemik Islam itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, ini berarti seakan-akan ‘ujung terjauh’ dari pemikiran Islam adalah pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur.) Padahal, yang dilakukan oleh dua orang pemikir garda depan tersebut adalah ‘melompati”’pemikiran-pemikiran generasi sebelumnya. Alih-alih melakukan pekerjaan serupa, kita kemudian hanya terjebak pada ritus-ritus memorial dan ‘kegumunan’ terhadap para pemikir tersebut.

‘Menghilangnya’ perspektif Marxis dalam kajian Islam, juga terjadi berbarengan dengan kegagapan partai dan organisasi Kiri, terutama yang berjuang di jalan parlementer di negara-negara dunia pertama, dalam menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan komunitas Muslim di Eropa yang rata-rata adalah imigran. Baik partai-partai Sosialis maupun Komunis, terjebak dalam dua kacamata yang sama-sama ‘kulturalis’ dalam melihat Islam. Kacamata pertama, melihat komunitas Islam di Eropa memiliki hak-hak kultural dalam mengekspresikan dirinya, tetapi sembari menutup mata terhadap permasalahan genting dalam komunitas Islam di Eropa sendiri, seperti honor killing, ketidakadilan jender, meningkatnya fundamentalisme keagamaan dan lain sebagainya. Kacamata kedua, melihat komunitas Islam di Eropa sebagai komunitas yang harus ‘berintegrasi’ jikalau ingin hidup di masyarakat Barat yang menjunjung tinggi nilai ‘kebebasan’ dan lain sebagainya yang secara diametrikal berbeda dengan ‘Islam.’ Maka, tak heran jikalau Partai Buruh di Belanda, tutup mata terhadap isu represi jender dan fundamentalisme dalam komunitas imigran Muslim[vii], sedangkan beberapa elemen gerakan Kiri di Prancis justru mendukung pelarangan burqa dan jilbab[viii].

Munculnya analisis Postmodern pasca ‘tenggelamnya’ perspektif Marxis juga tidak lepas dari masalah. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Azmeh (2009), pembelaan terhadap sang Liyan, dalam hal ini Islam, dalam analisis Postmodern bisa berujung kepada pembelaan tidak kritis, tergelincir pada ‘esensialisme kulturalis,’ yang menganggap bahwa ‘Islam’ dan ‘komunitas Muslim’ itu ‘berbeda’ dengan Barat. Dengan begini, maka analisis Postmodern tak jauh berbeda dengan analisis dari kubu Kanan mengenai Islam. Ziauddin Sardar juga mengingatkan  bahwa relativisme sejarah ala Postmodernisme justru mengabaikan keberagaman terhadap posisi sang Liyan dan karenanya mereduksi upaya sang Liyan dalam menulis sejarahnya sendiri, ‘terkomodifikasikan’ dalam istilah-istilah asing dan diskursus akademik semata (Inayatullah & Boxwell, 2003).

Penutup: Implikasi Epistemologis dan Praxis bagi Gerakan

Apa yang terjadi akhir-akhir ini dalam konteks hubungan Islam dan Barat merupakan gugusan ironi. Belum lama terdapat usaha untuk mempromosikan ‘Pencerahan’ atau an-Nahda yang orisinil dalam dunia Arab-Islam, sebagaimana dikatakan Hourani (1983), yang mana merupakan bagian dari mata rantai potensi pencerahan serupa dalam gelombang pembebasan nasional di Dunia Ketiga. Sayang, potensi itu harus meredup, tidak hanya oleh agenda imperialisme, tapi bahkan lebih parahnya, oleh para komprador imperialis di jazirah Arab sendiri. Lebih ironisnya lagi, kegagapan kelompok Kiri justru semakin mengemuka di dalam revolusi Arab atau Arab Spring:memang betul bahwa banyak elemen organisasi kiri-progresif yang berorientasi popular yang ‘memantik’ api revolusi (LeVine, 2011), tapi pada akhirnya, kaum Islamis-lah yang ‘mereguk’ segarnya air kemenangan dalam bentuk sapu bersih kursi di pemilu parlementer.

Upaya untuk me-ruqyah atau ‘mengusir’ hantu orientalis dalam kajian Islam dan kaum Muslim sudah coba saya paparkan secara ekstensif. Bahkan, ‘mantera’ untuk melawan hantu-hantu tersebut dapat kita temukan dengan mudah di tradisi pemikiran Islam dan Marxis sendiri. Di satu sisi, kita dapat belajar bagaimana membaca Islam secara ilmiah dan realis dari Rodinson. Di sisi lain, tradisi serupa juga terdapat di dalam Islam, sebagaimana dipelopori oleh figur-figur seperti Hassan Hanafi dengan gagasan ‘kiri Islam’ (Nurhakim, 2003) dan Farid Esack (1997) dengan gagasan pembebasan dan pluralisme di dalam al-Qur’an. Kedua pemikir-aktivis ini memiliki kesamaan, yaitu pemahaman dan pergulatan yang mendalam atas realita sosial di masyarakat masing-masing (melalui keikutsertaan mereka dalam wacana keagamaan kritis dan gerakan politik progresif – yaitu oposisi terhadap otoritarianisme dan apartheid), perlawanan terhadap tendensi orientalisme di tingkat epistemologis (dengan menawarkan oksidentalismeatau studi Barat sebagai jawaban atas studi Timur), dan kesatuan antara teori dan praxis, yang seringkali berarti pentingnya sebuah ‘front popular’ yang lintas elemen dalam kondisi tertentu dengan komitmen terhadap politik emansipasi.

Upaya seperti inilah, yang mungkin dapat menjawab berbagai isu epistemologis maupun praxis yang berkaitan dengan masyarakat Muslim, sekaligus memberikan jawaban bagi persoalan-persoalan yang mengemuka akhir-akhir ini, seperti kontroversi seputar pemutaran film anti-Islam di Timur Tengah, kekerasan sektarian di Indonesia, hingga prospek revolusi di dunia Arab.

Posisi ini memang tidak berbeda jauh dengan apa yang saya tuliskan dalam tulisan saya sebelumnya. Tetapi, di tengah-tengah imperialisme dan obskurantisme yang semakin merajalela di Barat maupun Timur, sintesis yang kreatif antara ide-ide dan agenda politik progresif dari tradisi Kiri dan Islam masih merupakan suatu tawaran yang layak untuk dijajal.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc


[i] Diambil dari judul buku karangan Lewis, What Went Wrongyang ditulis menjelang tragedi 9/11 dan diterbitkan sesudahnya

[ii] Karenanya, sengaja saya beri tanda kutip untuk menegaskan pertanyaan dan posisi saya: Islam yang mana? “Islam” sebagai doktrin atau “Islam” yang merujuk kepada kebudayaan dan masyarakat Islam?

[iv] Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa analisis Rodinson tentang otonomi relatif ideologi/doktrin agama mirip dengan analisis Nicos Poulantzas tentang otonomi relatif negara – dua hal yang sama-sama masuk di dalam domain superstruktur

[v] Bandingkan misalnya, dengan klaim bahwa analisis Rodinson berakhir dengan thesis bahwa sistem ekonomi Islam lebih dekat dengan Kapitalisme. Selain tidak begitu berdasar, klaim ini juga bermasalah karena fokusnya sendiri melenceng dari metode Rodinson: memeriksa ‘doktrin’ alih-alih perkembangan masyarakat itu sendiri. Lihat dihttp://islamlib.com/id/artikel/norma-kapitalisme-dalam-etika-ekonomi-islam/

[vi] Dapat dicek langsung di laman American Enterprise Institute di http://www.aei.org/scholar/ayaan-hirsi-ali/ danhttp://www.aei.org/scholar/sadanand-dhume/

[vii] Dapat dilihat misalnya di perdebatan antara Marcel van Dam, politisi partai Buruh belanda, dengan Pim Fortuyn, politisi populis sekaligus kritikus Islam, dihttp://www.youtube.com/watch?v=1184h0MXfdU&feature=related

[viii] Lihat http://communisme-ouvrier.info/?On-the-banning-of-religious

Daftar Pustaka

Al-Azmeh, A. (1993). Islams and Modernities. London and New York, NY: Verso.

Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism. Oxford: Oneworld Publisher.

Hourani, A. (1983). Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939.Cambridge: Cambridge University Press.

Kendzior, S. (2012, Sep 16). The fallacy of the phrase, ‘the Muslim world’. Al-Jazeera. Retrieved fromhttp://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2012/09/20129168313878423.html

Inayatullah, S. & Boxwell, G. (2003). Islam, Postmodernism and Other Futures. London and Sterling, VA: Pluto Press.

Laitin, D. (1978). “Religion, Political Culture, and the Weberian Tradition”. World Politics, 30, 563-592.

LeVine, M. (2011, May 10). Breathless in Egypt. Al-Jazeera.Retrieved fromhttp://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2011/05/20115910100577565.html

Nurhakim, M. (2003). Islam, Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran Hassan Hanafi. Malang: Bayumedia Publishing.

Rodinson, M. (1973). Islam and Capitalism. New York, NY: Pantheon Books.

Rodinson, M. (1980). Muhammad. New York: Pantheon Books.

Rodinson, M. (1981). Marxism and the Muslim World. New York, NY: Monthy Review.

Said, E. (1979). Orientalism. New York, NY: Vintage Books.