‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 2)

‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 2)

SEBELUMNYA telah kita bahas secara cukup menyeluruh mengenai ketegangan di antara dua konsepsi demokrasi: penafsiran arus utama tentang demokrasi sebagai pelanggeng status quo dan penafsiran alternatif tentangnya sebagai proyek politik rakyat pekerja. Sebagai pengingat, mari kita jabarkan lagi sejumlah tesis alternatif mengenai demokrasi:

Demokrasi sebagai ekpresi politik kelas
Demokrasi sebagai ekspresi perjuangan kelas
Demokrasi sebagai mekanisme partisipasi aktif warga
Demokrasi bertujuan melampaui separasi antara elit dan warga dan memfasilitasi pertempuran strategis dengan negara (strategic engagement with the state)
Disensus sebagai sendi utama politik demokratik
Setelah merobek ‘jubah ideologis’ demokrasi untuk proyek-proyek politik yang konservatif dan reaksioner, setelah melakukan kritik imanen terhadap konsepsi demokrasi semacam itu, maka sekarang adalah saatnya bagi kita sebagai bagian dari kaum progresif untuk membaca ulang demokrasi sebagai proyek politik emansipasi rakyat pekerja.

Kita tahu bahwa bagi mereka yang berkuasa, istilah demokrasi perlu dibersihkan dari konotasi kelasnya. Tetapi kita tahu bahwa sepanjang sejarahnya, demokrasi tidak terlepas dari konteks konflik dan kontradiksi antar kelas dan perjuangan kelas yang menjadi niscaya karena kontestasi tersebut. Demokrasi dapat dibaca sebagai kekuatan politik kaum miskin, sebagaimana didefinisikan oleh Aristoteles dalam Politics, maupun sebagai apa yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson (2009) dalam Economic Origins of Dictatorship and Democracy sebagai bagian dari strategi dan konsesi elit dalam menghadapi situasi revolusioner dan tuntutan redistribusi material secara radikal yang dipelopori oleh massa rakyat. Intinya, istilah demokrasi sesungguhnya tidak pernah terlepas dari konteks konflik kelas yang melatarbelakanginya.

Karena demokrasi adalah ekspresi politik kelas, maka demokrasi juga merupakan sebuah ekspresi perjuangan kelas. Selama ini kita seakan-akan lupa dan secara terlalu romantik dan vulgar terkadang mengidentikkan perjuangan kelas dengan long march, revolusi, dan perjuangan insureksionis dan bersenjata. Kita lupa bahwa jauh-jauh hari Engels sempat berkata bahwa evolusi damai menuju masyarakat baru, yaitu masyarakat sosialis, adalah mungkin ketika perwakilan-perwakilan rakyat pekerja telah berhasil mengamankan dan melaksanakan kekuasaan sesuai kehendak rakyat. Ada dua implikasi dari pernyataan Engels: pertama, demokrasi, termasuk dalam konotasi modernnya sebagai politik elektoral, juga merupakan suatu situs atau arena perjuangan kelas bagi rakyat pekerja dan kedua, politik demokratik adalah aspirasi politik yang inheren dalam perjuangan rakyat pekerja.

Karena demokrasi adalah ekspresi perjuangan kelas, maka demokrasi juga perlu dibaca sebagai mekanisme partisipasi aktif warga. Jikalau penafsiran arus utama atas demokrasi menaturalisasi dan melegitimasi demokrasi sebagai sebuah tatanan ekonomi-politik yang legitim dari sononya, maka penafsiran alternatif terhadapnya harus merevitalisasi karakter demokrasi sebagai sebuah mekanisme partisipasi aktif warga yang bertujuan mewujudkan daulat rakyat secara langsung menuju tatanan masyarakat egalitarian – dengan kata lain masyarakat tanpa kelas. Visi inilah yang dicanangkan Rousseau jauh-jauh hari, yang menemukan gaungnya di berbagai eksperimen politik rakyat pekerja, mulai dari Komune Paris hingga periode singkat Revolusi Sosial di Indonesia di masa awal kemerdekaan. Dalam terang ini, maka demokrasi bertujuan untuk melampaui separasi antara rakyat pekerja sebagai warga dan aparatus pemerintahan yang mewakilinya. Dengan demikian maka tendensi degenerasi negara dalam masyarakat kapitalis menjadi sekedar apa yang disebut Marx sebagai pemerintahan teknis, sebagaimana dapat kita lihat dalam berbagai eksperimen neoliberalisme di beberapa dasawarsa terakhir, dapat dilampaui dan perlahan disudahi melalui perluasan ruang-ruang pertempuran strategis dengan negara.

Dua pembacaan ulang di atas mengenai premis-premis dasar demokrasi hanya mungkin juga apabila kita melakukan pembacaan ulang atas premis ketiga dari demokrasi: bahwa adalah disensus, alih-alih konsensus, yang menjadi sendi utama politik demokratik, politik perlawanan rakyat pekerja. Dalam banyak studi mengenai demokrasi terutama negara-negara demokrasi baru peranan konsensus terutama konsensus antar elit sering digarisbawahi dan digadang-gadang sebagai fakor utama yang mendukung stabilnya demokrasi. Pernyataan ini, meskipun tepat, baru separuh benar. Dalam banyak hal, konsensus memang diperlukan. Tetapi, apabila beberapa konsensus yang sifatnya sementara diperlakukan seakan-akan sebagai sebuah pakta politik yang tidak dapat diganggu gugat, maka itu sama saja dengan membatasi ruang diskursus publik dan menutup kemungkinan untuk memulai dan meneruskan percakapan publik yang lebih luas. Persis disinilah disensus diperlukan. Disensus berangkat dari ketidaksepakatan, pertentangan, dan kontestasi. Elan seperti inilah yang diperlukan untuk terus menerus memungkinkan percakapan dan perdebatan publik yang lebih sengit, luas, dan mendalam dan dengan demikian ‘memaksa’ publik untuk terus menerus mencoba merumuskan hipotesa politik yang paling mungkin mendekati kebenaran dan kepentingan publik. Inilah yang terjadi di Perancis di masa Republik Ketiga dan Venezuela di bawah Chavéz. Menggunakan perumpamaan spasial dalam analisa politik yang digunakan Jodi Dean, disensus bagaikan sebuah horizon atau cakrawala: sebagaimana pemandangan yang tampak di depan kita tidak mungkin dimengerti tanpa adanya garis yang membatasi langit dan bumi, maka demokrasi dan seluruh percakapan tentang politik tidak mungkin dipahami tanpa adanya pengakuan terhadap perbedaan-perbedaan yang susah direkonsiliasikan, terhadap kontradiksi yang inheren dalam tiap-tiap ‘tubuh politik’ (body politic), terhadap disensus yang selalu inheren dan kerapkali mengemuka dalam tiap-tiap masyarakat.

Kritik ‘Anti-Demokrasi’ Sebagai Upaya Radikalisasi Demokrasi

Setelah kita mencoba menelaah secara lebih mendalam mengenai dua konsepsi tentang demokrasi dan ketegangan-ketegangan diantaranya, maka jelaslah mengapa kritik terhadap konsep demokrasi dan perlunya merumuskan sebuah posisi ‘anti-demokratik’ dalam beberapa hal tertentu menjadi penting. Tanpa adanya upaya pembongkaran mengenai berbagai conventional wisdom mengenai demokrasi, resikonya posisi Kiri-radikal bisa jadi tidak terbedakan dengan posisi kubu liberal dan bahkan kubu konservatif dan reaksioner. Di masa ketika setiap orang bisa berteriak ‘untuk demokrasi!’ dan mendapuk dirinya sebagai seorang demokrat, maka persis di titik itulah kubu Kiri-radikal perlu mengambil jarak dan melakukan kritik ideologis yang mendalam dan menyeluruh atas konsep demokrasi beserta segenap premis-premis dasarnya dan kemudian merumuskan suatu konsepsi alternatif mengenai demokrasi.

Itulah yang coba kita jajaki dalam dua seri tulisan pendek ini. Tentunya kita membutuhkan lebih banyak pembahasan yang lebih mumpuni dan menyeluruh mengenai persoalan ini, tetapi saya pikir dua seri tulisan ini bisa menjadi titik tolak untuk pembasan yang lebih lanjut. Dari penjajakan awal ini, apabila ada benang merah yang menghubungkan tiga premis alternatif tentang demokrasi yang sudah saya sebut di atas, maka itu adalah sebuah gagasan tentang demokrasi sebagai daulat rakyat pekerja secara langsung yang mencoba melampaui separasi antara elit dan aparatus penyelenggara negara dan ekonomi di satu sisi dan rakyat pekerja di sisi lain menuju sebuah tatanan ekonomi-politik yang egalitarian. Dengan kata lain, visi demokrasi ini begitu dekat dengan hipotesa dan tatanan komunistik, dalam artiannya sebagai ‘komunitas proletariat revolusioner’ sebagai ‘perkumpulan individu-individu…yang meletakkan kondisi-kondisi perkembangan dan pergerakan tiap-tiap manusia dalam kuasa mereka’.[1] Visi demokrasi ini dalam beberapa hal bersifat ‘diktatorial’, karena ia melegitimasi aksi rakyat pekerja untuk mempertahankan diri dari sekaligus menindak para penindasnya, tetapi pada hakikatnya visi ini juga begitu egalitarian, karena ia menjadikan kebebasan, keseteraan, dan persaudaraan antar sesama rakyat pekerja sebagai pedoman, cara, dan tujuannya.

Dengan kata lain, kritik ‘anti-demokrasi’ sesungguhnya adalah sebuah upaya revitalisasi potensi emansipatoris radikal dari diskursus demokrasi itu sendiri.***

Penulis adalah kandidat doktor di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

————

[1] Sebagaimana dikatakan Marx dan Engels dalam The German Ideology. Teks aslinya, ‘the community of revolutionary proletarians’ as an ‘association of individuals…which puts the conditions of the free development and movement of individuals under their control.’ (hal. 86-9).

Mengenang Chávez: Tentang Politik dan Pembebasan

Mengenang Chávez: Tentang Politik dan Pembebasan

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/mengenang-chavez-tentang-politik-dan-pembebasan/

CARACAS, Venezuela, 5 Maret 2013. Amerika Latin dan Dunia berduka. Hugo Chávez Frías, sang Presiden Republik Bolivarian Venezuela itu menghembuskan nafas terakhirnya, setelah sekian lama berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya. Jalan-jalan di Caracas dan sejumlah kota di Venezuela memerah oleh barisan dari mereka yang berduka atas kematian Chávez – orang banyak dan rakyat biasa pada umumnya.

Chávez, bahkan setelah kepergiannya, merupakan sosok yang kontroversial – ada yang menganggapnya sebagai seorang pemimpin populis dengan kecenderungan kuasi-otoriter, tetapi tidak kalah banyak mereka yang mengganggapnya sebagai seorang demokrat dalam artiannya yang popular dan radikal, terutama dalam hal keberpihakannya terhadap rakyat banyak.

Tetapi, ‘meratapi’ kepergian Chávez saja tidak cukup, karena kita tidak sedang mempromosikan messianisme atau Ratu-Adil-isme di sini. Kali ini, sejenak kita bisa menengok Amerika Latin dan belajar dari sejarah panjang gerakan rakyat di sana – sebagai refleksi dan bahan pembelajaran bagi praktek-praktek politik di Indonesia dan di tingkat global.

Sejarah Perlawanan di Amerika Latin

El Salvador, tahun 1977. Seorang Uskup yang kikuk dan cenderung pendiam itu diangkat menjadi Uskup Agung di San Salvador. Matanya sendu, tapi pandangannya selalu tajam dan kontemplatif. Di masa itu, Rejim Junta Militer Sayap Kanan di El Salvador semakin menguatkan cengkeraman kekuasaannya. Atas nama pertumbuhan ekonomi, modernisasi, dan kemajuan, kesenjangan sosial dan ekonomi merebak. Hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga negara dilanggar. Kekerasan dan pembunuhan menjadi berita. Tak terkecuali, Gereja pun terkena imbasnya – Uskup-uskup dan Pendeta-pendeta yang pro-rakyat dan terinspirasi oleh gagasan-gagasan Kiri pun menjadi korban pembunuhan rejim junta militer.

Yosoy-Chavez

Dalam film dokumenter tentang sang Uskup Agung, Romero (1989), sang Uskup akhirnya terkejut. Ia menyadari – Gereja dan Agama bukanlah sebuah entitas maupun kumpulan ide-ide yang terisolir dari dinamika dunia nyata. Sebaliknya, seringkali Agama berada di tengah-tengah kekeruhan pertarungan politik. Romero musti mengambil sikap. Akhirnya, ia memilih bersama rakyat.

Pelan-pelan, Romero belajar dan bekerja bersama rakyat. Gereja Katolik memang institusi keagamaan yang memiliki hierarkhi – tapi Romero mencoba melampaui hierarkhi itu. Melalui ceramah-ceramah keagamaannya, hingga kerja-kerja dan ritual-ritual sosial, ia mencoba melampaui banyak pulau dengan sekali dayung: ia mencoba memahami kondisi objektif eksploitasi di masyarakat, sembari merumuskan kritik atas kondisi tersebut dan menyampaikannya kepada kekuasaan yang menjadi sumber eksploitasi. Ia mengritik tidak hanya pemerintah Junta, tetapi juga kekuatan imperium global yang menjadi penopangnya: Amerika Serikat. Di saat yang bersamaan, sang Uskup rupanya tidak kehilangan sisi romantiknya: meskipun bersimpati terhadap para gerilyawan Kiri, iya menolak cara-cara insurgensi yang dilakukan oleh para gerilyawan. Namun rupanya, kata-kata tajam dari Uskup yang bersuara lembut itu cukup membuat telinga para penindas menjadi merah.

Dengan mengutus seorang pembunuh bayaran, Rejim Junta memutuskan untuk menghabisi nyawa sang Uskup. El Salvador pun berduka. Namun, cerita tidak selesai di situ. Beberapa tahun kemudian, setelah perlawanan sengit dari gerakan rakyat, rejim diktator di El Salvador pun tumbang di tahun 1992.

Itu baru satu cerita perlawanan di Amerika Latin. Masih ada segudang cerita resistensi dari benua itu, mulai dari usaha para petani di Chiapas dalam gerakan Zapatista, cerita klasik tentang Allende di Chile, dan banyak kisah lainnya.

Sementara itu, di belahan dunia yang lain, baik di negeri-negeri industrialis maju maupun di berbagai negara berkembang, ide-ide politik progresif seakan-akan mengalami kebuntuan. Paska Perang Dingin dan tumbangnya Uni Soviet, gerakan progresif mengalami kemandekan sejarah. Di Barat, partai-partai Kiri, baik yang Sosialis maupun yang Komunis, yang parlementer maupun ekstra-parlementer, gagal dalam membuat terobosan politik baru, terjebak di antara dua ‘dosa sejarah’: antara pelanggaran HAM dan otoritarianisme dan konformitas terhadap logika Neoliberalisme. Sementara itu, para filsuf dan pemikir lebih sibuk berdebat dan silat pemikiran dan penafsiran dibandingkan memecah dikotomi antara teori dan praxis.

Di tataran global, tatanan dunia pasca Perang Dingin dan Tragedi 9/11 menjustifikasi praktek-praktek teror versi baru, terutama oleh negara. Di Indonesia, yang terjadi adalah sebuah gugusan ironi-ironi: sebuah bangsa yang mengaku bangsa Muslim terbesar yang menganut sistem demokrasi – yang disaat bersamaan juga menjadi ladang subur intoleransi serta praktek-praktek kekuasaan yang koruptif dan oligarkis. Akhir-akhir ini, praktek-praktek politik yang seperti ini juga didukung oleh sejumlah ‘intelektual’ dan ‘tokoh muda’ yang mengaku ‘bebas’ namun terjebak dalam logika politik yang oligarkis.

Di dalam konteks seperti inilah, ada baiknya kita mengingat cerita panjang perlawanan di Amerika Latin dan usaha yang dilakukan oleh Chávez untuk melanjutkan sejarah tersebut, melanjutkan kisah tentang perlawanan.

Paska keluar dari penjara karena usaha kudeta yang dilakukannya, Chávez akhirnya berhasil memasuki arena politik elektoral. Apabila para filsuf menekankan akan pentingnya Realisme dan Materialisme dalam pikiran dan tindakan, Chávez bergerak selangkah lebih maju dari mereka – ia menerapkan Realisme dalam pikiran dan tindakan politiknya. Bagaimanapun, seorang anak yang lahir dari keluarga kelas menengah-bawah yang pas-pasan ini lebih mengerti tentang Realisme politik, penindasan, dan emansipasi dari siapapun.

Namun, memenangi pertarungan politik di tingkat elektoral bukan akhir dari perjuangan. Chávez tahu betul itu. Pelan-pelan, ia mulai membangun aliansi dengan rakyat banyak, terutama mereka yang termarginalisasi, seperti para buruh, kaum tani, dan kaum miskin kota. Ia tidak mendikte, melainkan belajar dari mereka – satu kualitas yang jarang dimiliki oleh para politisi dan tokoh-tokoh publik kita yang mementingkan ‘blusukan’ sebagai sekedar pencitraan tanpa memperhatikan esensinya. Dari sinilah, ia mulai mencoba melakukan transformasi politik, mewujudkan suatu visi demokrasi yang radikal dan popular.

Chávez tidak berhenti hanya pada penyedian hak-hak warga dan fasilitas sosial, seperti  penyediaan layanan kesehatan, usaha-usaha mewujudkan kontrol demokratis atas faktor-faktor produksi, dan pemberantasan kemiskinan dan buta huruf. Ia bergerak lebih jauh dari itu dengan memberikan ruang-ruang bagi eksperimen demokratis yang deliberatif di tingkat akar rumput di Venezuela, serta menghilangkan sekat-sekat antara para politisi dan para warga. Dan jangan lupa peninggalannya yang tidak kalah progresif: sebuah konstitusi yang memungkinkan warga untuk mencopot presiden terpilih melalui proses referendum.

Sebagai seorang politisi, Chávez bukanlah seorang yang dogmatis. Dalam obrolannya dengan Tariq Ali, intelektual Inggris keturunan Pakistan itu, Chávez menyebutkan bahwa mungkin ia tidak percaya akan kemungkinan munculnya sebuah revolusi proletariat di masa sekarang. Ia juga tidak membayangkan sebuah masyarakat tanpa kelas atau penghapusan terhadap kepemilikan pribadi. Sebaliknya, Chávez berkata, ‘pelan-pelan coba wujudkan ide-ide revolusioner kita, majulah sedikit namun pasti, meskipun hanya satu millimeter’ (Ali, 2013). Chávez juga menyadari bahwa inspirasi tentang perlawanan bisa datang dari mana saja – ia membaca ide-ide politik para pemikir politik dari benuanya seperti Simon Bolivar dan ide-ide perlawanan dari agama Kristen yang dianutnya.  Terinspirasi dari ide-ide tersebut, ia mencoba merumuskan gagasan dan praktek perlawanan politik yang sesuai dengan kondisi negerinya.

Pencapaian-pencapaian seperti ini tentu bukan tanpa masalah. Praktek politik yang visioner ini rupa-rupanya mendapat tantangan dari berbagai kalangan oposisi. Dengan bantuan beberapa media berbasis korporasi, para ‘oposisi’ mencoba menggulingkan Chavez pada tahun 2002 melalui proses kudeta. Tetapi Chavez tetap melawan – dan menang bersama rakyat.

Namun, pengalaman tersebut tentu tidak terlupakan bagi Chávez. Mungkin, inilah yang menyebabkannya tergoda oleh populisme. Mungkin, inilah yang menyebabkannya harus mengandalkan proses-proses ‘executive domineering’ atau mekanisme-mekanisme politik melalui jalur eksekutif yang dominan (Slater & Simmons, 2012) dalam mempromosikan agenda-agenda reformisnya. Ia juga meninggalkan ekonomi dengan tingkat inflasi yang tinggi di Venezuela.

Namun, terlepas dari apa-apa yang diasosikan sebagai kesalahan semasa pemerintahan Chávez, kita tidak bisa menutup mata atas keberhasilan sekaligus tantangan eksperimen politik di Venezuela. Bagaimanapun, proyek Venezuela adalah usaha atas penciptaan praktek-praktek politik yang betul-betul emansipatoris dan liberatif. Terlepas dari berbagai masalahnya, kisah perlawanan dari Venezuela seakan ingin mengingatkan kita bahwa sebuah visi demokrasi yang radikal dan deliberatif adalah mungkin. Sebaliknya, permasalahan tersebut menjadi pemacu bagi kita untuk tetap melakukan kritik dan bergerak maju.

Penutup

Francis Fukuyama, sang pemikir Neokon itu, mencetuskan klaim bahwa kita telah mencapai ‘Akhir Sejarah’ – bahwa ujung terjauh peradaban manusia adalah Demokrasi Liberal dan Kapitalisme. Ironisnya, paradigma seperti ini juga yang menjangkiti banyak gerakan Kiri dan progresif pada umumnya – seperti kata Slavoj Zizek, gerakan Kiri berubah menjadi segerombolan ‘Fukuyaman Leftists,’ Kiri ala Fukuyama, yang alih-alih melampaui dan men-transformasi logika Kapitalisme justru malah mengafirmasinya. Implikasinya, bagi Zizek, seakan-akan adalah lebih mudah untuk berimajinasi tentang akhir dunia dibandingkan tentang akhir dari kapitalisme. Tentu saja visi sejarah ala Fukuyama terkesan ahistoris, utopis, dan pongah – terutama bagi mereka yang tinggal di bagian Selatan dunia (Global South) seperti kita.

Usaha mendiang Chávez adalah untuk merevitalisasi kreativitas dalam imajinasi dan praktek politik kita. Dan jangan lupa, Venezuela adalah bagian dari gugusan sejarah perlawanan di Amerika Latin dan dunia – sejarah panjang yang terbentang mulai dari pemberontakan para petani penggarap dari zaman Yunani Kuno hingga Revolusi Perancis, internasionalisme dan solidaritas global a la 1960an, hingga percikan-percikan gerakan dan pemikiran Kiri akhir-akhir ini.

Seperti sudah saya tegaskan sebelumnya, tentu kita bukan ingin membuat semacam kultus individu, cult of personality, atas ide-ide Chávez atau Revolusi Bolivarian. Sebaliknya, gerakan progresif harus berkaca dari pengalaman-pengalaman dan kegagalan-kegagalannya di masa lalu – mulai dari otoritarianisme di masa Uni Sovyet dan kegagalan kebijakan substitusi impor di Chile, hingga ekspansi Neoliberalisme di masa sekarang. Sikap yang sama harus kita terapkan dalam analisa kita terhadap Venezuela pasca Chávez – mengakui secara jujur tantangan dan kekurangan Revolusi Bolivarian sekaligus belajar dari kesuksesan proyek politik tersebut.

Sebagaimana kata Noam Chomsky, yang kita perlukan bukanlah figur-figur, melainkan gagasan-gagasan yang baru dan tetap relevan. Warisan terbesar Chávez bukanlah ketokohannya, melainkan Venezuela. Alih-alih mengharapkan “Chávez-Chávez” baru, kita perlu berjuang membangun Venezuela-Venezuela baru, sekecil apapun.

Pengalaman Venezuela menunjukkan bahwa hanya massa yang dapat memperjuangkan pembebasannya. Venezuela juga menunjukkan bahwa solidaritas internasional adalah keniscayaan  sejarah, yang bukan saja mungkin, namun juga perlu.

Atas kerja kerasmu, kami mengucapkan terima kasih dan selamat jalan, Bung Chávez!***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Melihat Amerika yang Lain

Melihat Amerika yang Lain
Analisa Politik
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/melihat-amerika-yang-lain/?fb_source=pubv1

APA KABAR Occupy Movement? Tidak terasa sudah berselang lebih dari setahun semenjak gerakan sosial Occupy Movement dicetuskan di Amerika Serikat (AS). Di tengah berbagai permasalahan ekonomi dan pertarungan politik menjelang pemilihan umum presiden, pesan-pesan yang disampaikan oleh Gerakan Occupy seperti ‘we are the 99%,’ ‘kitalah 99%!’ yang mewakili aspirasi banyak warga Amerika, mulai dari para pekerja hingga kelas menengah terasa begitu relevan – hingga kemudian pesan tersebut perlahan-lahan mulai terdengar pelan, ditelan oleh kesunyian dan kesenyapan. Gambaran ini seakan-akan membenarkan bahwa AS adalah bangsa yang ‘sentris,’ di mana berbagai konflik dapat teredam dan tersalurkan melalui berbagai wadah politik yang tersedia.
Tetapi, tunggu dulu, jangan-jangan klaim ini perlu pemeriksaan lebih lanjut – bagaimana dengan gejolak politik dan gerakan hak-hak sipil sekitaran 1960-an? Bagaimana dengan berbagai kebijakan luar negeri dan ekonomi internasional AS dengan Pax Americana-nya? Bagaimana dengan marginalisasi berbagai kaum minoritas di masa-masa awal pembentukan negara di AS? Sebuah telaah yang lebih kritis diperlukan untuk membongkar mitos-mitos di balik gambaran kita akan Amerika sang imperium dunia.

Membongkar Mitos-mitos Lockean dan Tocquevillean

‘Amerika adalah sebuah bangsa yang eksepsional (exceptional), yang berbeda secara kualitas (qualitatively different) dengan bangsa-bangsa lain.’ Demikian kata Alexis de Tocqueville, sang pengelana dan etnografer dari Perancis itu, yang menjelajahi Amerika untuk mencari jawaban atas sebuah pertanyaan: mengapa demokrasi berhasil di Amerika tetapi tidak di negaranya, Prancis? Dalam karya termasyhurnya, Demokrasi di Amerika (Democracy in America), Tocqueville menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan praktek-praktek demokrasi di Amerika, seperti ketiadaan feodalisme, kebebasan beragama, dan lain sebagainya – yang kemudian menjadi dasar atas sebuah konsep penting dalam diskursus politik Amerika, yaitu ‘Keistimewaan Amerika’ (American Exceptionalism).

Secara metode, penjelajahan yang dilakukan Tocqueville merupakan upaya kajian yang menarik dan bisa dibilang ilmiah. Yang menjadi persoalan adalah implikasi politik dari rumusan ‘Keistimewaan’ atas nilai-nilai Amerika itu. Ya, seperti yang sudah kita ketahui, mengutip ucapan sosiolog politik AS terkemuka, Seymour Martin Lipset, keistimewaan bisa bermakna ganda, lebih progresif, atau bahkan lebih konservatif dan reaksioner. Dan Amerika telah menunjukkan kepada dunia dua sisi dari ‘keistemewannya’ itu: ada Amerika yang menghargai kebebasan beragama, merayakan keberagaman dalam masyarakatnya, dan memiliki modal sosial yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi ada juga Amerika yang memiliki hasrat imperium dan ekspansionis: ke luar, dengan melakukan eksploitasi, perang dan agenda-agenda jingoisme lainnya lewat kebijakan-kebijakan luar negeri dan kepentingan geopolitik dan ekonomi internasionalnya dan ke dalam, dengan diabaikannya hak-hak warga negara Amerika dari akses terhadap layanan sosial dan sistem asuransi kesehatan universal atas nama ‘pasar,’ ‘kebebasan,’ dan ‘hak-hak individu’ dan marginalisasi multidimensi bagi berbagai kalangan minoritas sepanjang sejarah Amerika, mulai dari kelompok etnis Afro-Amerika, kaum minoritas seksual, hingga kaum Muslim Amerika.

Karenanya, untuk memahami kondisi Amerika dan juga politik global dewasa ini, sebuah upaya penyelidikan dan pembelajaran yang serius akan perkembangan masyarakat AS sungguh sangat diperlukan.

Mitos pertama, adalah tentang sejarah AS yang dianggap ‘berbeda’ dari banyak negara kapitalis maju lainnya. Tentu saja, dari sisi penulisan sejarah, tiap-tiap negara bisa dibilang berbeda, tidak sama, dan unik. Tetapi, sejarah AS juga memiliki banyak kesamaan dengan sejarah banyak negara lain dalam satu aspek, yaitu, sebuah kenyataan bahwa untuk mencapai kemajuan sejarahnya, Amerika harus membayar harga yang mahal dengan melewati episode sejarah yang berdarah-darah. Studi sejarah perbandingan dari sosiolog politik AS terkemuka, Barrington Moore (1966), dalam magnum opusnya, Asal-Usul Sosial Rejim-rejim Diktator dan Demokratis (Social Origins of Dictatorship and Democracy), menunjukkan bahwa demokrasi liberal di dunia Barat, termasuk di AS, yang seringkali dianggap sebagai jalur modernisasi yang lebih ‘aman’ dan ‘beradab’, rupa-rupanya tidak kalah berdarah dengan rejim Fasis dan Stalinis dalam hal korban jiwa dan pelanggaran hak-hak warga negara dalam proses modernisasinya. Kita tidak perlu membahas panjang lebar mengenai sejarah AS di sini: sejarah perang sipil dan perbudakan, gerakan hak-hak sipil dan Kiri Baru yang menuntut demokrasi yang lebih deliberatif dan keadilan ekonomi dan sosial, berbagai protes anti perang, hingga gerakan Occupy adalah bukti bahwa sejarah dan proses modernisasi Amerika tidaklah sebegitu berbedanya dalam banyak negara dan masyarakat lain.

Mitos kedua, adalah tentang masyarakat AS yang dinilai lebih ‘egaliter’ dibandingkan banyak negara-negara lain. Di sini, kita perlu memahami bahwa konsepsi ‘egaliter’ ala AS sendiri merupakan sebuah ide yang banyak diperdebatkan. Secara asal-usul pemikiran, egalitarianisme ala Amerika ini berakar dari filsafat politik individualisme Lockean (Lockean Individualism). Singkat kata, individualisme Lockean ini dapat dirumuskan sebagai sebuah pandangan hidup yang berasumsi bahwa manusia dan masyarakat adalah sebuah individu yang atomistis, yang hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Untuk mencapai tujuan masyarakat dan tujuan dari tiap-tiap individu tersebut tanpa harus memunculkan konflik di antara keduanya, maka ‘negara’ harus hadir, namun hanya dalam kapasitasnya yang minimalis, karena negara juga tidak boleh koersif agar tidak melanggar hak-hak individu.

Yang sering luput dari perhatian adalah, demokrasi ala individualisme Lockean ini hadir dalam konteks zaman di mana mereka yang bisa berpartisipasi dalam politik hanyalah White, Male, Land and Property-Owning majority – hanya laki-laki berkulit putih dan yang memiliki tanah dan properti yang dapat berpartisipasi dalam politik, ekonomi, dan segenap aktivitas bermasyarakat lainnya. Perempuan, para budak, kaum etnis minoritas, para pekerja, dan banyak kelompok masyarakat lainnya sesungguhnya termarginalisasi, hingga tahun 1960an, di mana berbagai gerakan sosial yang menuntut hak-hak warga negara dan demokrasi yang radikal dalam politik, ekonomi, budaya, dan sosial muncul ke permukaan.

Beberapa ilmuwan dan kritikus sosial terkemuka AS karenanya berpendapat bahwa masyarakat AS adalah masyarakat yang elitis. Studi dari Jeffrey Winters dan Benjamin Page (2009), dua ilmuwan politik terkemuka di Northwestern University, yang berjudul Oligarki di Amerika Serikat (Oligachy in the United States) menunjukkan bahwa sekalipun ada ruang demokrasi yang besar di bidang politik, namun terdapat kesenjangan yang juga besar di bidang ekonomi di AS. Kesenjangan ini dilanggengkan oleh sekelompok oligark, yaitu lapisan orang-orang super kaya yang berusaha melindungi dan mengembangkan kekayaannya dan karenanya mendukung politik pro-kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Kajian klasik sosiolog dan kritikus sosial kenamaan di AS, C Wright Mills (1956) dalam bukunya The Power Elite menunjukkan bahwa aktivitas publik yang demokratis di Amerika telah ‘dibajak’ oleh lapisan elit di bidang politik, ekonomi, birokrasi, militer, hingga budaya yang memarginalkan suara dan aspirasi warga negara biasa dalam proses-proses politik di Amerika. Senada dengan Mills, Michael Parenti dalam bukunya Power and the Powerless (1977) juga menunjukkan kecenderungan pemerintahan teknokratis-elitis dalam politik AS, yang seringkali menganggap elit politik dan para teknokrat maupun ilmuwan sebagai domain yang ‘bebas kepentingan,’ seraya mengabaikan berbagai aspirasi dan pertarungan gagasan yang terjadi di level masyarakat. Karenanya, Parenti berpendapat bahwa demokrasi tidak terlepas dari usaha dan tujuan perjuangan kelas. Visi politik AS yang ‘pluralis’ yang menggambarkan bahwa pertarungan ide, gagasan, dan kepentingan yang pada akhirnya akan saling menyeimbangkan satu sama lain, mengurangi dominasi kelompok tertentu, dan memajukan kepentingan umum dalam masyarakat, bisa jadi hanya sebuah pepesan kosong.

Mitos ketiga, dan yang terakhir, adalah sebuah imajinasi bahwa AS memiliki ‘kewajiban moral’ untuk menyelamatkan dunia dan mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil. Hanya ada dua jenis manusia yang menganggap bahwa klaim ini benar: pertama, kaum Neokonservatif; dan kedua, mereka yang tidak pernah dan tidak mau membaca sejarah. Bukan rahasia umum bahwa ini dapat dibilang sebagai sisi paling paradoksial dari Amerika. Perang Vietnam, Perang Teluk, Invasi Iraq, penyiksaan para napi di teluk Guantanamo yang menggunakan metode-metode ala rejim otoriter, dukungan terhadap rejim-rejim otoriter di negara-negara dunia ketiga demi ‘kepentingan nasional’ AS, semua ini hanyalah sedikit contoh dari daftar panjang dari jingoisme yang seringkali melanggar hukum internasional dan hak-hak asasi manusia dengan dalih ‘kepentingan global’ dan bahkan ironisnya, ‘demokrasi.’ Lebih parahnya lagi, proyek-proyek imperialisme baru ini terkadang juga mendapat sokongan intelektual dari para pemikir dan akademisi seperti Ayaan Hirsi Ali (yang sekarang berafiliasi dengan sebuah think-tank konservatif, pro-pasar bebas terkemuka, American Enterprise Institute), Irshad Manji, dan Fouad Ajami yang mendukung invasi Amerika ke tanah kelahiran mereka sendiri untuk ‘membebaskan’ masyarakat mereka dari rejim diktatorial dan membawa ‘peradaban’ bagi masyarakat tersebut. Faktanya, alih-alih disambut bunga, pasukan Amerika di berbagai tempat di belahan dunia kerepotan karena terjebak dalam sebuah kondisi Hobbesian, sebuah masyarakat di mana rasa aman seringkali terusik dan fasilitas umum seringkali nihil, yang ‘dibebaskan’ oleh AS.

Tapi, ini baru dua pertiga dari analisa dan cerita kita. Kritik tentu saja akan lebih berguna apabila disertai dengan solusi dan upaya untuk mewujudkan visi dari kritik tersebut.

Perkembangan Terkini, Kritik, dan Penutup

Sejenak, mari kita menengok gerakan Occupy. Rupa-rupanya, mereka masih bertahan, dan terus bergerak, meski luput dari liputan media-media besar seperti The New York Times maupun CNN. Taman Zucotti di New York boleh jadi sudah sepi dari para pemrotes dan demonstran yang mendudukinya, tetapi gerakan Occupy dan berbagai organisasi dan inisiatif-inisiatif yang mendukungnya masih terus bergerak, dengan caranya sendiri.

Berbagai upaya seperti forum diskusi rutin, lokakarya gerakan dan perubahan sosial, aksi solidaritas terhadap aksi mogok buruh dan pekerja di berbagai sektor industri, masih terus berlangsung di berbagai kota di AS. Baru-baru ini, di kota Chicago dan daerah sekitarnya, para guru juga melakukan aksi mogok kerja atas ketidakadilan dalam hal pengupahan dan intervensi atas kebebasan dan kreativitas akademik di sekolah-sekolah, yang juga didukung oleh berbagai kelompok sosial progresif lainnya.

Perlu juga diketahui bahwa beberapa daerah di AS, seperti Chicago, beberapa tempat di negara bagian Ohio dan Wisconsin, dan New York merupakan basis-basis tradisional berbagai pergerakan buruh dan gerakan sosial progresif lainnya. Salah satu serikat buruh paling progresif dan radikal di AS, the Industrial Workers of the World atau IWW juga didirikan di Chicago pada tahun 1905 – mendahului bahkan Revolusi Bolshevik di Russia sekalipun. Sewaktu saya tinggal di kota kecil Athens di Ohio, saya juga menyaksikan berbagai komponen gerakan sosial dan LSM lokal, seperti lingkaran studi pemikiran Kiri, LSM-LSM antar iman, gerakan pro-perdamaian, gerakan makanan lokal dan pertanian organik belajar dan bekerja sama satu sama lain, membuka ruang-ruang demokrasi, partisipasi, dan deliberasi di mana tiap-tiap individu yang terlibat bisa saling berdiskusi dan terlibat dalam kritik, persetujuan, maupun ketidaksetujuan. Ya, rupa-rupanya tradisi politik radikal itu juga pernah bersemi, dan masih hidup di Amerika.

Diskursus politik di Amerika juga pelan-pelan mulai berubah. Penerapan sistem asuransi kesehatan universal misalnya, adalah salah satu contohnya. Bahkan, menurut Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia itu, penerapan sistem asuransi kesehatan universal merupakan sebuah pencapaian karena kebijakan tersebut telah berhasil mengubah diskursus politik AS secara pelan-pelan namun radikal, dari diskursus tentang ‘kebebasan dan pilihan pribadi’ (choice) menjadi ‘kebebasan dan kepentingan bersama.’

Amerika, terlepas dari segala kekurangannya, juga melahirkan tokoh-tokoh seperti Rosa Parks dan Martin Luther King, yang menunjukkan kepada tiap-tiap kita bahwa kritik, otokritik, dan upaya untuk menciptakan praktek-praktek sosial baru tidak hanya mungkin, namun juga pernah dilakukan.

Tak heran, apabila pendiri studi perdamaian asal Norwegia, Johan Galtung, pernah mengatakan, ‘Republik Amerika (American Republic) akan jauh lebih baik apabila ia mau melepaskan hasratnya sebagai Imperium Amerika (American Empire).’ Bagi Galtung, Republik Amerika melambangkan Amerika yang memberi tempat bagi praktek-praktek politik yang progresif, sedangkan Imperium Amerika adalah hasrat kekuasaan Amerika yang bersifat eksploitatif dan ekspansionis bagi dirinya sendiri dan segenap masyarakat dunia. Baginya, tentu saja Republik Amerika akan lebih baik minus hasrat kekuasaan dan dominasinya.

Hemat saya, Amerika bukanlah sebuah visi final yang 100 persen ideal – saya bukanlah penganut Francis Fukuyama yang menganggap bahwa ‘demokrasi liberal’ dan ‘kapitalisme’ adalah ‘akhir sejarah’ dari peradaban manusia. Namun, kita bisa belajar banyak dari pengalaman Amerika, sebagai bahan acuan kita dalam pencarian abadi akan sebuah model politik dan masyarakat yang emansipatoris.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Setelah Memilih Sudah Itu Selesai: Bagaimana Menghindari Jebakan Populisme

Setelah Memilih Sudah Itu Selesai: Bagaimana Menghindari Jebakan Populisme

Tanggapan dan Tambahan untuk Coen Husain Pontoh
Iqra Anugrah,
 mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University

http://indoprogress.com/2012/12/07/setelah-memilih-sudah-itu-selesai-bagaimana-menghindari-jebakan-populisme/

DI TENGAH carut marut dan bobroknya negeri kita, rupa-rupanya ada semacam ‘angin segar’ yang berhembus di kancah politik tanah air. Ya, kita masih berbicara tentang ‘demam’ Jokowi-Ahok akhir-akhir ini yang melanda bukan hanya Jakarta dan sekitarnya tetapi juga seluruh negeri. Kelihatannya, ada semacam usaha menuju perubahan sosial dan politik yang betul-betul transformatif di Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok – tapi benarkah? Patutkah kita ragu, apalagi di saat banyak orang begitu yakin dan menaruh harapan pada duet maut ini?

‘Tunggu dulu, jangan senang dulu, jangan-jangan ini cuma sekedar varian dari populisme!’ begitu kata kawan Coen, dalam artikelnya minggu lalu. Tanggapan seperti itu, saya pikir ada benarnya. Karenanya, saya ingin menanggapi dan menambahkan beberapa poin yang saya rasa perlu didiskusikan dalam kaitannya dengan fenomena Jokowi-Ahok dan populisme. Pertama, pada intinya saya menyetujui kritik dari kawan Coen, sekaligus tawarannya tentang Anggaran Partisipatif – yang tentu perlu kita akui merupakan sebuah tawaran yang tidak mudah untuk diwujudkan. Kedua, saya ingin menambal ‘gap’ yang belum ditutupi oleh pemaparan Coen, yaitu bagaimana kita, para warga, atau lebih tepatnya, paramassa, musti menanggapi fenomena Jokowi-Ahok ini?

Sesudah Memilih, Sudah Itu Selesai: Sebuah Pertanda ‘Penyakit’ Individualisme Lockean

Adalah naif jikalau kita beranggapan bahwa setelah mengikutipilkada Jakarta tempo hari lalu berhasil menaikkan Jokowi-Ahok ke kursi kekuasaan maka sim salabim, seluruh persoalan akan segera selesai – tapi, jangan-jangan kita mengidap penyaki seperti itu.

Mungkin observasi ini terlalu pribadi, bisa juga bias, tapi mungkin ada benarnya: di putaran pertama pilkada Jakarta, pasca pencoblosan di pagi hari, sisa hari digunakan oleh warga Jakarta untuk bersantai-santai atau berjalan-jalan. Warga kelas menengah ke atas kemudian membanjiri mall dan pusat perbelanjaan karena libur. Kita tidak menjadi seorang pengkhotbah atau mengajukan sebuah argumen normatif di sini, tetapi ini faktanya.

Dengan kata lain, demokrasi hanya menjadi sebuah ritual kosong, yang direduksi menjadi sebuah ritus tahunan yang bersifat individualistis. Ini mengingatkan saya akan konsepsiLockean Liberalism di Amerika Serikat. Pada mulanya, Liberalisme Lockean adalah sebuah konsepsi tentang perlindungan kebebasan, yang pada perkembangannya dimanefestasikan oleh dua hal utama: pertama, sistem ekonomi pasar; dan kedua, pemerintahan yang ‘kecil’ dan ‘terbatas’ (limited government). Liberalisme Lockean juga merayakan ‘individualisme,’ saya beri tanda kutip karena individualisme yang dimaksud adalah konsepsi manusia yang bersifat ‘atomistis’ ala kaum Empirisis. Kesimpulan dari pemikiran-pemikiran ini adalah, negara yang ramping, pasar bebas, relasi antar manusia yang seakan-akan hanya bersifat ‘transaksional,’ plus masyarakat yang pasif atas nama stabilitas demokrasi.

Kembali dalam kaitannya dengan fenomena Jokowi-Ahok dan kualitas demokrasi kita, saya mulai curiga, jangan-jangan virus atau wabah individualisme Lockean mulai menyebar tanpa kita sadari di antara kita. Sesudah memilih habis itu selesai, lalu kita lupa pentingnya menjaga dan mengawal jalannya demokrasi. Jangankan memikirkan persoalan-persoalan seperti kesenjangan sosial ekonomi, maraknya kaum preman berjubah, hingga kualitas pendidikan di komunitas lokal kita; jangan-jangan kita sudah mulai enggan menyapa tetangga. Alih-alih semangat komunitarianisme kewargaan ala filsafat Republikanisme atau sikap progresif dalam menanggapi berbagai fenomena politik, kita dihadapka oleh sejumlah persoalan baru.

Pertama, kondisi massa, terutama rakyat dari latar belakang sosio-ekonomi yang termarginalkan. Senada dengan kritik Coen, saya khawatir: jangan sampai rakyat kita terjebak oleh Messianisme atau Ratu-Adil-isme dalam melihat Jokowi dan Ahok. Sosok pemimpin, terutama dengan kharisma, terkadang memang tetap perlu, bahkan di zaman modern seperti ini, tetapi jikalau berlebihan, ini hanya akan berujung pada kultus individu dan personalisasi potensi transformasi sosial dari massa. Tentu saya tidak berbicara mengenai kultus individu ala Suharto atau rejim otoriter dan totaliter lainnya, tetapi kultus individu, bahkan dalam bentuknya yang paling kecil, dapat pelan-pelan mengikis daya kritik dan praxis kita. Menjadi terpana, atau gumun dalam istilah Jawanya, tentu bukan pilihan bagi gerakan.

Kedua, adalah kebiasaan kritik ‘pepesan kosong’ ala kelas menengah Jakarta (yang dengan jujur musti saya akui bahwa saya adalah bagian di dalamnya, suka atau tidak suka). Sekedar mengritik keadaan sembari duduk-duduk di pusat perbelanjaan atau gerai kopi terkemuka di ibu kota tentu tidak akan mengubah keadaan – meskipun banyak yang merasa dengan melakukan itu mereka sudah mengubah keadaan.

Kedua hal ini, bisa berujung ke dua masalah yang serius, yaitu ketergantungan massa atau rakyat akan sosok atau figur pemimpin dan kepasifan atau sikap acuh tak acuh atas proses politik. Riset-riset dalam tradisi behavioralis dalam ilmu politik memang mengatakan bahwa dua hal ini ‘berpengaruh positif’ bagi ‘stabilitas demokrasi.’ Tetapi, tentu ini bukan jawaban yang memuaskan, apalagi dari perspektif progresif-kritis. Mengamini jawaban tersebut berarti mengamini bahwa kita musti ‘taking politics out of politics,’ mencabut elan partisipatoris dan radikal dari proses politik itu sendiri. Bila demokrasi hanya menjadi persoalan kampanye dan memilih kandidat A atau B lalu beres, maka itu laksana berbelanja di pasar atau toko: ada pilihan, tapi hanya yang itu-itu saja. Untuk membawa kembali politik ke dalam ranahnya yang betul-betul demokratis, partisipatoris, dan deliberatif, maka rakyat yang sadar akan hak-hak dan potensinya dan berkomitmen melakukan transformasi sosial menjadi suatu keniscayaan.

Menghindari Jebakan Populisme

Untuk Jokowi-Ahok, tantangan dan tugas terberat tentunya adalah menghindari jebakan kekuasan yang teknokratis dan populis dan mewujudkan kekuasaan yang merakyat dan transformatif. Yang ingin saya tekankan adalah tantangan dan tugas kita, bukan hanya sebagai bagian dari gerakan progresif, tetapi juga bagian dari massa rakyat, yaitu untuk membangun dan mempraktekkan demokrasi yang liberatif dan partisipatoris sedini mungkin, sekecil mungkin.

Pendidikan menjadi kunci. Ini penting, meskipun memang bukan hal yang seksi. Hanya dengan saling belajar, kita bisa ‘meruqyah’ atau mengusir hantu kegumunan, tendensi Messianik, dan sikap acuh tak acuh. Jangan lupa, seperti kata Paulo Freire, kita juga musti waspada akan kecenderungan otoriter dari tiap-tiap kita, yang mungkin bersemayam di dalam orang yang mengaku paling egaliter sekalipun.

‘Obat’ lain lagi yang bisa jadi mujarab adalah, meminjam slogan seorang ulama terkenal, yaitu memulai dari hal yang kecil, saat ini, dan dari diri sendiri. Kita bisa memulai dari membangun dan merawat suatu hal yang klise yaitu modal sosial (social capital) dengan cara-cara sederhana, seperti menjadi warga yang peduli dengan tetangga dan aktif dalam komunitas lokal – suatu hal yang mungkin juga semakin jarang di daerah perkotaan akhir-akhir ini. Untuk mewujudkan demokrasi dan transformasi sosial yang betul-betul partisipatoris, terkadang kita tidak perlu memulai dari hal-hal yang besar, atau gugusan istilah-istilah yang rumit, meringkus perlawanan hanya sekedar kata, kata, dan kata atau keren-kerenan belaka.

Ini memang tidak mudah, tetapi tidak ada perjuangan yang mudah. Skenario terburuk, jikalau Jokowi-Ahok tidak bisa menghindari jebakan populis yang teknokratis, minimal kita sebagai rakyat yang sadar bisa mengantisipasi persoalan tersebut, tanpa perlu menjadi anak ayam yang kehilangan induknya. Karena politik emansipasi dan realisasi aspirasi dari tiap-tiap individual menjadi mungkin apabila kita sebagai masyarakat ‘berlatih’ demokrasi sejati (partisipatif dan liberatif) sedini mungkin.***