Unknown's avatar

About libby

A wandering soul with sociological imagination

RIP Adi Sasono

Adi Sasono, a Muslim social democratic intellectual, passed away very recently, on August 13.

An engineer by training, he was more famous as an Islamic student activist and a champion of a people-centered economy, criticizing the rule of the conglomerates and crony capitalism groomed under Suharto’s New Order Regime. This earned him the reputation as “Indonesia’s most dangerous man.” He was part of the critical-yet-loyal-oppositionist intellectuals under the New Order, a role which propelled him to be appointed as Minister of Small Businesses and Cooperatives under the Habibie administration.

Given the situation, such a stance was quite a breakthrough. Of course, he never advocated for a radical rearrangement of the economy a la Latin American leftist parties, but his ideas had a strong anti-establishment bent.

The task for the next generation of scholars of Indonesian history is to write an intellectual history/biography of him and his cohort of intellectuals.

Organizational Mapping of Agrarian and Peasant Movements in Indonesia

One of the things that I look at in my dissertation research is the current landscape of agrarian and peasant movements in Indonesia at the national level in the post-authoritarian period. To the best of my knowledge the picture is pretty complicated, given that the movement is ridden with fragmentation.

Nonetheless, as a new person in this field I found it rather difficult to draw the map by myself. So I asked a good friend and comrade of mine, Andre Barahamin, to help me out with that. Andre is a fellow editor at IndoProgress and a researcher at Pusaka Foundation, an NGO focusing on indigenous people’s rights. So I went to his office, had a chat with him, and with the help of other Pusaka researchers, especially the executive director Y.L. Franky and April Parlindungan, I was able to come up with an organizational mapping of agrarian and peasant movements in Indonesia. Voila.

20160808_181820

(Please do not cite this without my permission!)

It’s a work in progress but nonetheless a good start. Credit goes to Andre and the Pusaka team for helping me out to come up with the map.

Reading Dutch Lessons Begin

Yesterday I just had my first Dutch class – it was an intense 3.5 hours!

Yup, that’s right. Starting from this month I will be learning Dutch for reading archives. It is an intensive course – a private tutoring session with the instructor.

So what got me thinking into learning Dutch? This is because of a conversation I once had with Eric Jones, who is also a member of my dissertation committee. A social historian of the female underclass in the Dutch East Indies, Dr. Jones managed to inspire me to learn Indonesian history seriously and learn one of the key methodological tools for that – surprise, surprise, the Dutch language.

It’s certainly challenging to juggle this with other activities – especially writing and research – but it’s certainly worth doing. Also, it’s good to have something else other than my own dissertation project to make life more productive and balanced.

Expect more to come.

URGENT-Polisi dan Brimob Penjaga PT. Sintang Raya Intimidasi Warga

Sebagai bentuk solidaritas dengan kaum petani dan kawan-kawan pejuang agraria di tanah berkonflik di area perkebunan PT. Sintang Raya yang sedang mengalami intimidasi aparat negara dan korporasi, saya meneruskan press release dari kawan-kawan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Barat. Segala bentuk kriminalisasi atas kaum tani, pejuang agraria, dan segenap rakyat pekerja di Indonesia dalam perjuangan demokratik atas hak-haknya haruslah dilawan!


Penempatan polisi, brimob dan TNI di perkebunan sawit sejak 22/7/16. Karena adanya rencana aksi warga di 5 desa menuntut penghentian proses pengambilan manfaat oleh PT. Sintang Raya di tanah yang yang berkonflik dan telah dibatalkan SK HGU nya oleh pengadilan, masih ada di dalam perkebunan hingga saat ini dan melakukan intimidasi.

Pasca aksi yang berujung kekerasan terhadap 11 orang dan 2 diantaranya ditangkap dan belum diketahui keberadaanya hingga siang ini pada 23/7/16. Hari ini intimidasi dialami oleh warga olak olak kubu bernama Jainal.

Kejadian berawal ketika Jainal bersama ibunya yang sedang mengantarkan barang sembako dengan menggunakan mobil pickup dari desa olak olak kubu, Kecamatan Kubu Kabupaten Kuburaya Kalimantan Barat menuju Camp buruh PT. Sintang Raya, tepatnya di devisi III sekitar pukul 12.30 wib.

Setelah selasai menurunkan barang dari mobil dan ketika ingin balik ke rumah, Jaenal bersama ibunya dalam Mobil dihampiri oleh polisi dan brimob. Sekitar 30 personil ada dilokasi, dan polisi bernama Saipul Bahri yang diketahui dari polres Mempawah meminta Jaenal untuk turun dari mobil, polisi beralasan mau memeriksa mobil untuk mencari senjata tajam. Jaenal di tarik turun dan diminta berdiri bergeser menjauh dari mobil, sedangkan Ibu Jaenal dibiarkan didalam mobil.

Setelah melakukan penggeledahan terhadap mobil Jaenal dan tidak ditemukan barang yang dikehendaki, Kemudian Saipul Bahri angota polisi menghardik jainal. Kalau kamu gak tau hukum jangan bicara hukum, ngerti undang undang atau tidak..kalau mau ngomong undang-undang harus kuliah dulu, begitu pengakuan Jainal ketika menirukan polisi yang memeriksa mobilnya. Jaenal mengaku terjadi juga intimidasi, sebab Samsul Bahri memepringatkan agar tidak ikut-ikut aksi lagi, polisi bisa memenjarakan Jaenal karena menghalangi tugas.

Menanggapi kejadian ini, Bara Pratama Sekjen AGRA Kalbar menyatakan bahwa Polda harus menarik pasukanya di lapangan, Polisi sebaiknya berkordinasi dengan pihak Pengadilan agar mengerti duduk perkaranya dan tidak dimanfaatkan oleh perusahaan. Polisi semestinya menegakan putusan pengadilan yang telah membatalkan HGU PT. Sintang Raya. Tama juga mendesak Komnas ham baik di daerah maupun pusat semestinya pro aktif dalam kasus ini, tidak perlu lagi meunggu laporan sebab kasus ini sudah masuk di komnas baik daerah maupun pusat. Warga juga pernah melakukan pengaduan ke propam mabes polri atas kriminalisai Bambang Kepala desa olak olak kubu. Namun Bambang tetap di vonis dan saat ini masih menjalani hukuman

Notes from Jakarta and Bangkok

I’ve been in Jakarta for quite a while and visited Bangkok very recently. There are some post-fieldwork updates for you, dear readers:

  1. First, I’m back to the LP3ES office, working and catching up on several writings before going to my third field site.Also, we’re moving to a new office (finally!). But unfortunately it’s rather far from where I live, so I might only come to the office once in a while.
  2. I presented a paper on my side research project, “Village Intermediaries in Public Service Provision in Serang District”, at the 6th JAI Symposium at the University of Indonesia (UI). This is a symposium organized by UI Anthropology Department’s flagship journal, Antropologi Indonesia. It was a great symposium – great panels, great conveners, great fellow presenters, great colleagues, and great locations. Nonetheless I do have some suggestions for future improvements, which I will mention later.
  3. Right after the symposium, I flew to Bangkok to give a talk for the 2016 ENIT/ENITAS Awardee Presentation. I was required to do so since I got the ENITAS grant from the Institute of Thai Studies at Chulalongkorn University for my fieldwork research. Overall it was a great event –  I enjoyed hearing so many interesting research projects from the other awardees, but I also have some suggestions for the event.

In between I managed to catch up with colleagues, friends, and advisors. The best one was in Bangkok, where I was able to have a drink (or two) with a grad school friend, Tom, who is also on the field and a professor who now teachers at Thammasat. Tom also kept me company for the whole event, since he also got the grant (the ENIT one).

Now, the comments: I think both Indonesian and Thai academia are trying really hard to – forgive my somewhat politically incorrect usage of the term here – “catch up”with the academic standards in the developed world, which is a good thing. More money are being poured in into this endeavor, but what is also, if not more, important is to push for institutional reforms in academia – including the whole “rituals” of conferences and the like. The fact that things like academic conferences can be organized on a regular basis is quite an achievement, but I think we can do more – we can, for example, improve the quality of the debate within conference panels, and the like.

That sounds like a pretty feasible proposal, I believe.

Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

APA tugas dan peranan kaum pekerja “non-tradisional” – aktivis, organizer, intelektual, peneliti, dan bermacam rupa kelas menengah yang bersolidaritas – dalam kehidupan dan upaya-upaya kolektif rakyat pekerja? Bisa dikatakan ini merupakan salah satu pertanyaan utama bagi gerakan progresif di seluruh dunia. Pertanyaan ini penting karena jawaban atasnya memiliki implikasi penting bagi dinamika internal dan trajektori dari gerakan progresif – terutama dalam hal hubungan antara rakyat pekerja, unsur-unsur pimpinan dalam gerakan, dan sekutunya – yang seringkali berlatar belakang bukan dari proletariat tradisional?

Ini adalah pertanyaan yang menghantui banyak middle-class allies dalam gerakan progresif, termasuk saya. Dalam tataran yang lebih praktis, pertanyaan tersebut dapat diparafrasekan seperti ini: bagaimana kaum pekerja non-tradisional dapat terlibat, bergumul, dan akhirnya mengerti realita sosialnya rakyat pekerja?

Pelan-pelan saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut di sela-sela penelitian disertasi saya. Dari amatan dan keterlibatan saya dalam kehidupan rakyat desa selama berbulan-bulan di Banten dan Sulawesi Selatan, saya mencoba untuk memahami dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh rakyat desa sehari-hari dan memikirkan ulang mengenai hubungan saya sebagai, katakanlah, peneliti kelas menengah yang simpatik dengan mereka. Saya menganggap, apa saya lakukan merupakan fardu kifayah – kewajiban bagi sebagian orang, terutama bagi yang berpengetahuan dan sadar atas pentingnya tugas tersebut.

Untungnya, saya tidak sendirian. Dalam antropologi, tradisi penelitian etnografis yang mengandalkan teknik pengamatan partisipatif (participant observation), yang mengharuskan seorang peneliti untuk tinggal di suatu komunitas dan going native merupakan fondasi dalam bidang keilmuan tersebut. Di gerakan Kiri, ada sejumlah teladan yang coba mengamalkan prinsip ini. Pertama tentu saja ada Frederick Engels, yang melakukan sebuah amatan antropologis dalam salah satu karya klasiknya, The Condition of the Working Class in England.Saya bayangkan Engels muda, yang pada waktu itu masih berusia 24 tahun dan bekerja di salah satu cabang perusahaan kapas milik ayahnya di Manchester, dengan ditemani Mary Burns berjalan-jalan di kampung-kampung kota yang kumuh di mana kaum buruh tinggal,mengobrol dan mencoba menjalin hubungan yang akrab dengan para buruh dan aktivis revolusioner di masanya. Saya bayangkan ada pertemuan antara letupan semangat masa muda, pemahaman yang mulai terbentuk mengenai sebuah dunia yang lebih baik, dan kemampuan untuk menerapkan prinsip dan metode ilmiah dalam melakukan suatu investigasi.

Dalam gerakan Kiri, prinsip ini kemudian dicoba diterapkan sebagai upaya untuk membangun tradisi ilmiah dan mempercepat pembangunan organisasi. Di Indonesia, PKI dan BTI mencoba melakukan riset-riset etnografis revolusioner untuk menjawab persoalan-persoalan agraria berdasarkan prinsip “tiga sama, empat jangan, empat harus” – sama kerja, sama makan, dan sama tidur; jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat setempat, dan belajar dari kaum tani. Ini dilakukan sebelum reflexive ethnography, participatory action research, dan segala jargon serta metode penelitian-penelitian yang menonjolkan aspek keterlibatan peneliti menjadi nge-tren – dan terkadang dipelintir untuk melancarkan pelaksanaan agenda-agenda developmentalis di pedesaan. Di Vietnam, prinsip ini juga dikenal dengan nama “tiga bersama” (three togethers), yang menjadi strategi inti dalam pembangunan partai, mobilisasi massa, dan kampanye reformasi pertanahan di sana.

Bagi para ‘sekutu kelas menengah’ rakyat pekerja, ini berarti kemauan untuk melakukan proses amatan-penelitian-keterlibatan yang menyeluruh dan terintegrasi dengan kehidupan sosial rakyat pekerja dan keharusan untuk memiliki kemampuan mencatat yang tekun dan rapih, yang prosesnya haruslah transparan dan sebisa mungkin melibatkan guru kita – rakyat pekerja – dalam pelaksanannya. Ini bisa dimulai dengan melakukan self-criticism yang cukup keras terhadap diri kita.

Saya misalnya, musti mengakui dengan jujur bahwa ada sejumlah bias dan keterbatasan saya sebagai seorang warga kelas menengah kota laki-laki dan heteroseksual yang beragama dan berlatarbelakang etnis mayoritas. Saya tidak bisa mencangkul dan melakukan kerja-kerja produksi di bidang pertanian misalnya. Atau memahami sejumlah kebingungan dan permasalahan yang dihadapi oleh ibu-ibu desa ketika mendadak anaknya demam setelah diberikan vaksinasi, mengurus administrasi dan biaya pengobatan di rumah sakit, atau menjelang kelahiran. Namun ini bukan berarti menjadi alasan bagi saya untuk kemudian tidak mencoba membangun hubungan profesional yang intens dan pertemanan yang tulus dengan rakyat desa.

Konsekuensinya, berarti adalah kewajiban bagi saya untuk sebisa mungkin terlibat, melakukan amatan yang dekat, dan menuliskan pengalaman dan narasi dari para warga desa. Konkretnya, ini berarti kemauan untuk menyapa dan berbincang-bincang dengan para tetangga, membantu tetangga memperbaiki pagarnya yang rusak, mencoba berkebun, menghadiri kawinan, pengajian, tahlilan, dan segala rupa hajatan, bertamu dan berbincang-bincang dengan penghulu, guru ngaji, petani, tukang jahit, dan sopir, nongkrong dengan pak RT dan pak RW dan memperhatikan apa saja persoalan-persoalan di lingkungan sekitar yang mendesak, mendengarkan cerita dan keluhan dari kawan-kawan buruh muda mengenai kondisi kerja di pabrik, dan lain sebagainya. Juga kemauan untuk memahami sense of humoryang luar biasa dari para warga desa dalam menertawakan himpitan hidup yang dialami mereka setiap harinya dan sinisme terhadap mereka yang berkuasa (termasuk misalnya gosip dan kritik-kritik halus ibu-ibu desa terhadap suami-suami mereka). Dan tentu saja, di daerah-daerah di mana konflik agraria terjadi, kemauan untuk mendengarkan dan mencatat cerita tentang perampasan, perlawanan, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh rakyat desa menghadapi penindasan, mulai dari menceramahi polisi, demonstrasi, hingga upaya-upaya pendudukan lahan.

Sebisa mungkin, proses ini haruslah transparan, partisipatif, dan dialektis. Ini berarti seorangmiddle-class ally – katakanlah dalam hal ini seorang intelektual radikal – harus terbuka dan jujur dengan niat-niat dan tujuan-tujuan dari upaya penelitian yang dilakukannya. Ia juga harus memikirkan bagaimana baik di ranah teoretik maupun yang lebih berorientasi praxis hasil penelitiannya dapat berguna bagi pembangunan gerakan rakyat. Sebisa mungkin, seorang intelektual radikal harus mengkomunikasikan dan membagi hasil amatan dan analisanya kepada para narasumbernya – misalnya para aktivis lain dan rakyat pekerja yang berkomunikasi dengannya. Bahkan, jikalau diperlukan, seorang intelektual radikal bisa meminta bantuan narasumbernya untuk turut serta dalam proses penelitannya melalui hal-hal yang simpel seperti meminta narasumber untuk menuliskan pengalaman hidupnya secara singkat, mengecek catatan penelitian mengenai suatu kegiatan, atau meminta warga untuk mengambil foto dan video dan kemudian menceritakan mengapa dia mengambil satu momen atau peristiwa tertentu.

Dalam konteks interaksi yang lebih akrab, tidak tertutup kemungkinan seorang intelektual radikal mengajak narasumber utamanya untuk bersama-sama menuliskan sejarah kehidupan narasumber tersebut.

Perlu diingat bahwa dalam keseluruhan proses ini bukan berarti kita lantas terjebak dalam suatu bentuk perspektivisme dan solipsisme ekstrim dan mengabaikan abstraksi untuk memahami kondisi keseluruhan, totalitas dari sepotong realitas sosial yang coba kita amati. Seorang intelektual radikal tidak boleh terjebak pada fetisisme ‘keterlibatan’ maupun bayangan empirisisme. Seorang intelektual radikal tidak boleh lupa mencatat dan tidak mencoba melakukan abstraksi dari realitas-realitas empiris yang berada di hadapannya. Adalah tugas utama dari seorang intelektual radikal untuk melakukan investigasi dan abstraksi yang sistematis, jujur, dan ilmiah dari realita yang coba dipahaminya. Karenanya, komunikasi yang terbuka dengan rekan penggerak dan rakyat pekerja yang menjadi narasumber, untuk mencoba bersama-sama melakukan abstraksi dari berbagai macam dinamika dan proses yang dialami oleh para narasumber selama ini, menjadi sangat penting.

Dari sinilah, kemudian kita semua bisa belajar untuk bersolidaritas satu sama lain. Hampir absennya suara-suara yang berlandaskan pada akal sehat dan solidaritas terhadap apa yang terjadi kepada kawan-kawan Papua misalnya, sedikit banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di sana – mengenai ekspropriasi sumber daya alam dan represi yang dimungkinkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang semakin kolonialis dan apartheid. Tugas intelektual radikal dewasa ini adalah membangun basis pengetahuan yang valid untuk bersolidaritas. Karena hanya dengan itulah suatu visi politik emansipatoris – bahwa terlepas dari warna kulit, latar belakang etnisitas atawa kebangsaan, dan segala bentuk identifikasi sektarian dan primordialis lainnya – kita semua merupakan korban dari penindasan kelas.

Kuncinya satu: belajar, dan percaya kepada massa.

Percaya kepada massa.*** 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitlan dengan id @libloc

Talk on Publishing and Research Funding at PPIM UIN

This week I’ll be giving a talk on publishing and research funding at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM) at Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN) in South Jakarta on Thursday, July 21. The talk will be on publishing book reviews and review articles – a rather unheard genre in Indonesia – and funding for fieldwork/doctoral research for your researchers and lecturers at the Center. A good friend of mine who is also a researcher at the Center kindly invited me to share my experience. This is a part of their regular brownbag series on research and publication.

It’s such an honor to be invited by an esteemed institution like PPIM/UIN. I’m excited and looking forward to having discussion with colleagues at PPIM!

Is Turkey’s Coup an Auto-Golpe?

We don’t have all the details yet, but several things are certainly suspicious, or at least worth-asking – things such as why the purge of suspected military officers and judges happened so swiftly, why the military didn’t manage to get their message across effectively, and all that.

Several sources to look at: here, here, and here.

Auto-golpe is a reference to Fujimori’s self-coup as a pretext to disband the parliament and amass excessive presidential power during the 1992 Peruvian constitutional crisis.

Turkey’s Attempted Coup

There was a coup attempt in Turkey just recently. The military declared that they took over power from the incumbent government. Erdogan, after a while, then showed up and declared the legitimacy of his government and condemned the coup. Opposition parties backed his administration. As expected, the military did not stay still. They blockaded the streets with tanks and soldiers. In response, government supporters came down to the streets. Inevitably, violence ensued – people died from shooting and officers got arrested. At the moment, we don’t have a clear sense of who is really in charge of the chaos.

Meanwhile, the fighting continues.

Turkey’s coup poses an important question for political scientists: how do we explain the occurrence of coup in an electoral democracy (though increasingly authoritarian) with a pretty high level of per capita income? If we are to trust the World Bank data Turkey’s GDP per capita in 2014 was US$ 10,515.01. This is far above the US$ 6,000 threshold for regime durability established by Przeworski and Limongi (1997).  In Southeast Asia, Thailand, whose income per capita is something around US$ 4,000, also “joined rather select company” of few countries with records of democratic breakdown or interruption at a pretty high income level (albeit less than the 6,000 threshold). These two recent cases are few examples of regime interruption or retooling in democratic countries.

This is an important question that we all should address. For now, let’s say this out loud: we condemn the attempted military coup in Turkey!