Islam dan Pembebasan Sosial
Oleh Iqra Anugrah
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama ? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan”
(Q.S. al-Ma’un 1-7)
Islam adalah agama yang menghargai dan menekankan solidaritas sosial. Kewajiban melakukan dan menyeru kebajikan, menjauhi kemunkaran, membela orang lemah dan tertindas (al-mustadh’afin) telah difirmankan oleh Allah SWT di berbagai surat di dalam al-Qur’an. Begitu juga, dengan perjalanan peradaban Islam mulai dari politik, sejarah dan budaya, menunjukan urgensinya hal tersebut.
Kesalehan Ritual vs Kesalehan Sosial
Di antara surat yang paling terkenal mengungkap pentingnya solidaritas sosial adalah surat al-Ma’un ayat 1-3. Surat ini mengajarkan bahwa membantu dan membela sesama yang kurang beruntung adalah bentuk lain peribadatan kepada Tuhan. Orang yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak memperdulikan orang-orang marginal, seperti orang miskin dan kaum dhu’afa. Lebih lanjut lagi, ayat ke 4-7 surat ini mengkritik orang yang hanya mengerjakan ritual-ritual agama, namun tidak memperhatikan keadaan orang lain di sekitarnya. Ini menunjukkan bagaimana Islam sangat memperhatikan tidak hanya aspek ritual namun juga aspek sosial dalam Ibadah.
Dalam Islam, iman dan taqwa tidak cukup hanya ditunjukkan dengan ibadah-ibadah ritual saja. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai dalam ibadah-ibadah yang bersifat ritual, seperti shalat dan sebagainya, tercermin dalam hubungan kita dengan sesama manusia.
Salah seorang sufi terkemuka pernah berujar bahwasanya peribadatan yang terbaik adalah pelayanan terhadap sesama. Oleh karena itu, kesalehan sosial tidak kalah penting dengan kesalehan ritual. Kesalehan sosial adalah konsekuensi logis dan mutlak dari kesalehan ritual sebagai seorang muslim.
Kesalehan sosial, dalam konteks surat al-Ma’un, adalah advokasi terhadap kaum yang lemah dan tertindas (al-mustadh’afin). Konsep ini bisa kita ulas kembali pada waktu awal da’wah Islam oleh Nabi Muhammad SAW.
Sejarah Awal Islam: Sejarah Pembebasan
Konsep kesalehan sosial dan advokasi terhadap orang kecil bukanlah sekedar doktrin. Sejarah awal penyebaran Islam di Mekkah oleh Rasul SAW menunjukkan bagaimana da’wah Islam sesungguhnya adalah perjuangan memanusiakan manusia, membebaskan manusia dari kungkungan yang tidak manusiawi, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan spiritual.
Kalimat syahadat merupakan inti dari perjuangan tersebut, yang diterjemahkan oleh Rasulullah sebagai jihad yang holistik. Tauhid yang dibawa dan diajarkan Nabi bukanlah sekedar perintah atau anjuran semata, melainkan sebuah slogan revolusioner yang menyerukan perubahan dan pembebasan umat manusia secara menyeluruh. Tauhid menggaungkan perubahan secara fundamental dalm berbagai aspek kehidupan manusia. Secara spiritual, tauhid membebaskan manusia dari takhayul dan berbagai ketidakpastian dalam berkeyakinan, menjadi kepercayaan kepada pencipta yang tunggal, yaitu Allah SWT. Sehingga manusia bisa menjalankan kehendaknya secara bebas, karena ia tidak bergantung kepada hal-hal yang klenik, irrasional, dan tidak pasti.
Dalam konteks politik, ekonomi, dan sosial, Tauhid adalah penegasan bahwasanya hanya ada penguasa tunggal yaitu Allah SWT. Manusia adalah hamba yang sama dihadapan Allah, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Karenanya, seorang muslim dituntut untuk menyerahkan diri hanya kepada Tuhannya, bukan kepada taghut-taghut kecil atau sesembahan yang lain, seperti harta, jabatan, kekuasaan, atau atasan.
Manifestasi terbesar dari pengertian ini adalah Tauhid menentang penghisapan dan eksploitasi sesama manusia oleh sesamanya, atau exploitation l’homme par homme. Inilah yang menjadi penyebab tumbuhnya penentangan terhadap Islam dari para pemuka dan petinggi suku Quraisy, karena mengancam posisi mereka.
Pengikut-pengikut awal Nabi juga banyak yang merupakan orang miskin atau budak, seperti Bilal (muadzin pertama dalam sejarah Islam). Nabi dan para sahabat juga berusaha keras untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan penghinaan atas harga diri manusia, misalnya, membeli dan membebaskan budak untuk menghapus perbudakan, serta mengangkat harkat dan derajat perempuan.
Apa yang dilakukan Rasulallah pada masa awal Islam adalah bukti bagaimana pembelaan dan keberpihakan Islam terhadap golongan yang termarginalkan baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari suatu masyarakat.
Puasa dan Misi Pembebasan Sosial
Bulan puasa adalah momentum yang tepat bagi kita semua untuk merenungkan makna Islam dan kesetiakawanan sosial. Puasa adalah kesempatan bagi kita semua untuk merasakan penderitaan orang-orang miskin dan orang-orang kecil di sekitar kita. Menahan lapar, dahaga, serta hawa nafsu adalah sarana kita untuk merasakan penderitaan mereka yang lemah dan terabaikan serta berempati dan bersimpati terhadap keadaan mereka.
Namun arti dan amanat puasa lebih dari sekedar perenungan. Puasa adalah sebuah komitmen akan misi pembebasan sosial, misi untuk membebaskan manusia dari kungkungan lahir dan bathin, sehingga siap untuk menyambut kemenangan, di mana semua manusia menjadi sama derajatnya di hadapan Allah SWT.
Karena itu, penerjemahan komitmen kita menjadi aksi-aksi untuk membela mereka yang kurang beruntung dan terpinggirkan adalah suatu keniscayaan. Sebab, sesungguhnya Islam adalah perjuangan untuk membebaskan mereka yang lemah dan tertindas, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Rasulullah semasa hidupnya.
Pembebasan kaum yang lemah dan terpinggirkan adalah agenda utama dari perjuangan besar untuk membebaskan manusia secara komprehensif dan menyeluruh, baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Perjuangan ini adalah perjuangan yang bersifat egalitarian, karena dengan membebaskan al-mustadh’afin dari segala kungkungan sosial, berarti mengembalikan manusia ke dalam tempat yang semestinya. Setara secara sosial dalam hubungannya dengan manusia yang dilandasi dengan persaudaraan berdasarkan iman kepada Allah.
Dalam skala besar upaya ini dapat diterjemahkan sebagai seluruh kegiatan perlawanan terhadap struktur sosial yang menindas mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini yang menyebabkan Islam dibenci pada masa awal penyebarannya. Itu sebabnya mengapa Islam memerintahkan zakat. Sebuah upaya untuk mencapai keadilan dengan melakukan redistribusi terhadap harta kekayaan diantara muslim.
Inti dari perjuangan ini adalah keadilan. Keadilan adalah benang merah agama. Kesetaraan diwujudkan dengan membuat mereka yang berlebih berbagi dengan mereka yang membutuhkan, sehingga terwujud keadilan di muka bumi.
Puasa, sekali lagi, adalah saat yang tepat bagi kita semua untuk memulai aksi tersebut. Puasa adalah perwujudan dari konsep yang disebut oleh salah satu intelektual muslim, Amien Rais, sebagai Tauhid sosial. Dengan kredo Laa Ilaaha Ilallah, Muhammad Rasulullah, sesungguhnya semua manusia adalah saudara yang sama dan setara dihadapan Tuhan.
Indonesia adalah negeri yang dipenuhi oleh para birokrat yang tidak berkomitmen, politisi yang tidak mempunyai prinsip, pengusaha yang tidak mau bekerja keras, praktek ekonomi minus moralitas, dan kesenangan tanpa nurani. Akibatnya, kondisi ini melahirkan ketimpangan sosial di mana-mana. Indonesia negeri yang membutuhkan minoritas kreatif untuk mendobrak segala macam bentuk korupsi dan kesewenangan.
Wallahu’alam
*Tulisan ini dimuat di Majalah GOZIAN, Edisi Perdana, Syawal 1429 H / Oktober 2008