Membaca‘Islam’ Secara Ilmiah: Sebuah Kritik

Membaca Islam Secara Ilmiah: Sebuah Kritik

http://indoprogress.com/2012/09/24/membaca-islam-secara-ilmiah-sebuah-kritik/

Iqra Anugrah, Mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

WHAT Went Wrong? Demikianlah kata Bernard Lewis[i], sang orientalis ahli Islam kenamaan dari Inggris tersebut. Mulai dari tragedi 9/11 hingga tragedi Sampang, konflik Israel-Palestina hingga usulan absurd sertifikasi ulama dan kontroversi seputar penayangan film anti-Islam di Timur Tengah, seakan-akan menilai dan mengkaji Islam membutuhkan suatu kategori khusus. ‘Islam’ dianggap sebagai sebuah entitas tunggal dan dilupakan keberagamannya (Kendzior, 2012)[ii]. Tak heran, jikalau ada anggapan bahwa karena Islam maka ia ‘lain’ atau ‘khusus,’ seperti – karena ‘Islam’ maka komunitas imigran terutama mereka yang berlatar belakang Muslim tidak bisa berintegrasi di masyarakat Barat, karena ‘Islam’ maka demokrasi, kapitalisme, dan segala atribut lain yang diidentikkan dengan kemajuan dan modernitas menjadi susah diterapkan jikalau tidak mustahil. Benarkah demikian?

Dalam semangat menanggapi kecenderungan perkembangan studi Islam dan implikasi realpolitik-nya, seperti yang disebut di atas, sekaligus untuk meramaikan perdebatan serupa yang telah dimulai oleh kawan Airlangga Pribadi (Irshad Manji: Reformer Islam atau Suara Dominan Imperium) dan kawan Rolip Saptamaji Politik Kekerasan Komunal di Indonesia, maka tulisan ini bertujuan untuk memberikan suatu kritik metodologis dan praxis atas kondisi studi Islam dan implikasinya di dunia nyata. Secara singkat, kritik saya memiliki dua tujuan: pertama, untuk memberikan suatu kritik tajam terhadap pendekatan-pendekatan yang terlalu security-oriented, memberikan penekanan berlebihan terhadap peranan agensi tetapi abai pada pengaruh struktur, dan meneguhkan pandangan-pandangan orientalis, imperialis dan kulturalis; dankedua, untuk menawarkan kembali dan ‘menyegarkan’ perspektif yang dianggap klise tapi masih jitu dalam membaca Islam, yaitu perspektif Marxis – yang memungkinkan kita untuk melihat masyarakat Muslim secara lebih objektif dan memberikan ruang bagi masyarakat Muslim itu sendiri untuk memainkan peranannya sebagai subjek.

Kritik dan Alternatif

Terdapat suatu perdebatan klasik dalam mengkaji Islam pada khususnya dan agama, kosmologi atau suatu sistem kepercayaan pada umumnya mengenai apa yang seharusnya kita kaji dari Islam dan di level mana seharusnya kita mengkaji Islam. Menanggapi hal tersebut, Laitin (1978) membagi analisis hubungan antara sistem kepercayaan dan perilaku suatu masyarakat ke dalam beberapa level, seperti level doktrin dan ajaran dan level kemasyarakatan. Dalam tulisannya tersebut, Laitin akhirnya berkesimpulan bahwa untuk menilai suatu masyarakat, langkah yang harus dilakukan adalah menilai perkembangan masyarakatnya itu sendiri, bukan sekedar mempelajari sistem nilai atau kepercayaan masyarakat tersebut dan kemudian menarik kesimpulan tentang masyarakat tersebut – sebuah metode yang bukan saja bias, namun bisa jadi tidak akurat

Berangkat dari titik inilah, metode membaca ‘Islam’ dari perspektif Marxis yang dipopulerkan oleh Maxime Rodinson, ahli Islam kenamaan asal Perancis yang berhaluan Marxis itu, menjadi penting, karena perspektif inilah yang mengawali suatu tradisi baru dalam kajian tentang the Orient, tentang masyarakat non-Barat, yaitu seruan untuk mempelajari perkembangan masyarakat Muslim ketimbang doktrin dan ajaran itu sendiri (karenanya, ‘Islam’ dalam artian ini saya beri tanda kutip, ia merujuk kepada komunitasnya alih-alih doktrinnya). Pendekatan ini juga mendahului pendekatan pasca-kolonial yang ingin memberikan ruang kepada the Orientuntuk menceritakan narasinya yang dipopulerkan oleh Edward Said – yang ia sendiri akui dalam karya klasiknya Orientalism(1978).

Karenanya, saya ingin memberi suatu pemaparan singkat tentang metode Marxis dalam mengkaji Islam ala Rodinson, dengan merujuk pada dua karya utamanya, yaitu Islam and Capitalism (1973) dan Marxism and the Muslim World (1981)untuk menjawab tiga pertanyaan utama yaitu: 1) bagaimana membaca perkembangan masyarakat Muslim secara objektif, 2) bagaimana menciptakan (atau menemukan kembali) kemandirian masyarakat Muslim sebagai subjek sejarah tanpa terjebak oleh romantisme sejarah maupun orientalisme, dan 3) bagaimana menjawab persoalan ketidakadilan dan penindasan dalam masyarakat Muslim.

Sekilas tentang Maxime Rodinson[iii]

Secara singkat, saya akan sedikit menguraikan mengenai latar belakang Maxime Rodinson agar kita memiliki pemahaman yang lebih jernih mengenai asal-usul pemikirannya. Rodinson dilahirkan tahun 1915 di dalam sebuah keluarga Yahudi Polandia yang kental dengan nilai-nilai Marxis – kedua orangtuanya, yang menjadi korban rezim Nazi di Auschwitz, adalah anggota Partai Komunis.

Meskipun selalu hidup berkekurangan, berkat kecerdasannya, ia berhasil memasuki  École des Langues Orientales. Di sana ia mempelajari berbagai bahasa Timur Tengah, seperti Arab, Ethiopia klasik dan Ibrani, sebelum akhirnya menghabiskan tujuh tahun di Syria dan Lebanon. Setelahnya ia kembali ke Prancis dan menjadi profesor ahli bahasa Ethiopia klasik diÉcole Pratique des Hautes Etudes.

Rodinson tidak hanya aktif menulis dan riset, tetapi juga terlibat langsung di dalam praxis pergerakan; ia aktif membantu kawan-kawan seperjuangannya di Partai Komunis di Timur Tengah dan juga aktif di Partai Komunis Perancis, sebelum akhirnya mengundurkan diri sebagai bentuk protes atas tendensi Stalinis yang semakin menguat dalam tubuh Partai. Selama hidupnya hingga akhir hayatnya di tahun 2004, ia konsisten dengan perjuangan melawan obskurantisme dan otoritarianisme baik di dunia Arab maupun di dunia intelektual Barat.

Islam dan (Proto)Kapitalisme

Metodologi riset dan bangunan epistemologi Rodinson dalam studi Islam, dapat dilihat dalam dua karya utamanya yang saya sebut di atas. Pertama-tama, Rodinson berangkat dari titik permulaan yang berbeda dengan para orientalis: alih-alih mempelajari doktrin Islam per se dan kemudian mengambil generalisasi atas masyarakat atau peradaban Islam sembari menyuntikkan bias supremasi Barat (Occident) terhadap Timur (Orient), Rodinson menganjurkan untuk mempelajari masyarakat Muslim, terutama dari sisi perkembangan sejarah, dan sisi-sisi kemasyarakatan lainnya, untuk mengerti Islam dan Muslim secara lebih komprehensif. Di sini, perkembangan sejarah dan institusi-institusi kemasyarakatan seperti Khalifah, otoritas ulama, mekanisme pengaturan zakat dan lain sebagainya menjadi poin-poin penting yang harus diperhatikan.

Kemudian, Rodinson juga mencoba menunjukkan kelemahan analisis-analisis orientalis tentang masyarakat Islam dan juga akar dari analisis tersebut, yaitu analisis Weberian dalam artiannya sebagai analisis kulturalis atas kapitalisme. Bagi Rodinson, kelemahan analisis orientalis dan Weberian sesungguhnya sederhana namun sangat mendasar: bagaimana mungkin menjelaskan kapitalisme hanya dengan menggunakan kacamata budaya tetapi abai dengan perubahan dan dinamika struktur sosial, terutama ekonomi-politik, yang menjadi pendorong utama, the driving force, dari kapitalisme itu sendiri? Akan tetapi, Rodinson tidak kemudian terjebak pada penjelasan ekonomisme atau determinisme ekonomis a labeberapa analisis Marxis yang cenderung menyederhanakan persoalan menjadi perihal basis ekonomi semata. Rodinson menyadari bahwa ada otonomi relatif suprastruktur (dalam hal ini Islam sebagai ‘ideologi’ dan persoalan negara dalam pemikiran politik Islam)[iv]. Ini terlihat dalam penjelasan Rodinson mengenai Islam sebagai ideologi – yang diartikan secara general yaitu suatu susunan ide-ide yang dapat menggerakkan banyak orang mengenai bagaimana mengatur suatu masyarakat. Inilah ketegangan pertama dalam pemikiran Rodinson.

Ketegangan kedua dapat dilihat dalam titik berat pemikiran Rodinson terhadap struktur dan dinamika sosial serta ekonomi-politik dalam masyarakat Muslim. Dalam kaitannya terhadap structure-agency problem dalam ilmu sosial, beberapa kritik menganggap bahwa Rodinson terlalu menitikberatkan pada aspek struktur dan melupakan aspek agensi dan pengaruh aspek ide. Ini dapat terlihat misalnya, dalam biografi karya Rodinson tentang Nabi Muhammad, yang berjudulMuhammad (1960), yang dapat dikatakan cenderung ‘dingin’ sekaligus ‘objektif’ – Rodinson menulis tentang Nabi Muhammad bukan dari perspektif seorang Muslim yang taat, tetapi dari perspektif seseorang yang mencoba melihat Rasul sebagai manusia ‘biasa,’  yaitu sebagai individu, pemimpin agama, dan juga seorang politisi. Rodinson menyadari kritik tersebut, dan karenanya, ia berusaha untuk do justice,memberikan analisis dan porsi yang seimbang antara aspek struktur vis a vis peranan ide dalam analisis Marxisnya, sebagaimana dapat terlihat dalam penjelasannya mengenai ‘ideologi’ Islam.

Kesimpulan dari investigasi Rodinson terhadap masyarakat Muslim sangatlah jelas: dapat dikatakan bahwa tidak ada, atau sangat sedikit, faktor-faktor ‘kultural’ atau ‘religius’ yang inheren yang membuat masyarakat Muslim ‘tertinggal’ atau ‘susah menerima’ aspek-aspek dari modernitas, terutama apabila dibandingkan dengan ‘peradaban’ atau kebudayaan lain – atau dengan kata lain, kita dapat mengandaikan Rodinson bertanya, ‘apa sih yang membuat kaum Muslim seakan-akan berbeda secara inheren dengan kelompok-kelompok dan kebudayaan lain?’ Prinsip-prinsip ekonomi Islam sendiri juga dapat ditafsirkan secara ‘kapitalis’ maupun ‘sosialis.’[v] Namun, bukan berarti bahwa Rodinson mengamini bahwa kapitalisme adalah “cakrawala terujung” dari upaya kaum Muslim membuat sejarahnya sendiri. Rodinson memperjuangkan kesatuan antara teori dan praxis – karenanya, dalam berbagai kesempatan, sebisa mungkin ia membantu kawan-kawan Timur Tengahnya yang aktif di pergerakan progresif di negaranya masing-masing.

Untuk menjalankan metode ini dengan baik, menurut Rodinson, kuncinya adalah ‘kesadaran antropologis,’ yaitu pengetahuan yang mendalam akan karakter-karakter suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat Muslim, karena itu akan membantu kita dalam melaksanakan ‘cara berpikir yang materialis.’

Kritik Trend Studi Islam Kontemporer

Secara garis besar, baik di Indonesia dan di tataran global, kajian Islam (Islamic Studies) seakan-akan sudah mencapai ‘batasnya.’ Ini dapat kita lihat bahwa beberapa tahun terakhir ini, kerangka kajian Islam, terutama di Indonesia, cenderung mengulang-ulang narasi yang sama: seputar pergulatan Islam dan isu-isu modern, mulai dari tradisionalisme, modernitas, liberalisme, demokrasi, dunia Barat, dan lain sebagainya. Dalam banyak hal, kerangka ini cukup berhasil menggambarkan realita yang ada, namun tidak sepenuhnya.

Kerangka ini, seperti yang pernah saya kemukakan dalam artikel Islam Politik di Indonesia: Perkembangan Kapitalisme dan Warisan Perang Dingin maupun diskusi-diskusi sebelumnya di jurnal ini, mudah tergelincir dalam permasalahan yang sudah saya singgung di atas, yaitu ‘securitization’ sekaligus kulturalisme yang berlebihan. Akibatnya bisa jadi cukup fatal: seakan-akan untuk menjawab persoalannya, ummat Islam harus ‘menjauh’ dari Islam, sampai pada di satu titik di mana untuk menjadi Muslim yang ‘baik,’ dengan label seperti ‘liberal,’ ‘moderat,’ ‘demokratis,’ atau ‘toleran,’ kaum Muslim bisa jadi harus tunduk terhadap agenda imperialisme Barat dan kapitalisme global – Muslim harus berhenti menjadi Islam. Dengan kata lain, kita seakan-akan harus taking Islam out of Islam, tanpa memikirkan kondisi objektif umat yang terperangkap dalam kejumudan dan obskurantisme di satu sisi, dan eksploitasi dan represi, di sisi lain.

Kerangka, atau lebih tepatnya, retorika seperti inilah yang kemudian digaung-gaungkan, diresonansi oleh ‘para pengkaji Islam’ berhaluan konservatif-kolonialis, baik dari Barat maupun Timur, seperti Ayaan Hirsi Ali, Irshad Manji, Daniel Pipes, Robert Spencer, Sadanand Dhumme, dan lain sebagainya. Bukan kebetulan bahwa ‘ahli-ahli’ ini juga didukung oleh lembaga-lembaga sayap kanan terkemuka, seperti American Enterprise Institute[vi]dan lain sebagainya. Kecurigaan saya, yang mungkin berlebihan, jangan-jangan secara tidak sadar kita menggaungkan propaganda itu dalam membaca masyarakat kita sendiri.

‘Kemandekan’ dan ‘kegagapan’ kajian Islam juga bisa jadi menggambarkan masalah lain, yaitu mentoknya wacana pemikiran dalam kajian Islam, dalam masyarakat Islam dan juga dalam komunitas epistemik Islam itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, ini berarti seakan-akan ‘ujung terjauh’ dari pemikiran Islam adalah pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur.) Padahal, yang dilakukan oleh dua orang pemikir garda depan tersebut adalah ‘melompati”’pemikiran-pemikiran generasi sebelumnya. Alih-alih melakukan pekerjaan serupa, kita kemudian hanya terjebak pada ritus-ritus memorial dan ‘kegumunan’ terhadap para pemikir tersebut.

‘Menghilangnya’ perspektif Marxis dalam kajian Islam, juga terjadi berbarengan dengan kegagapan partai dan organisasi Kiri, terutama yang berjuang di jalan parlementer di negara-negara dunia pertama, dalam menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan komunitas Muslim di Eropa yang rata-rata adalah imigran. Baik partai-partai Sosialis maupun Komunis, terjebak dalam dua kacamata yang sama-sama ‘kulturalis’ dalam melihat Islam. Kacamata pertama, melihat komunitas Islam di Eropa memiliki hak-hak kultural dalam mengekspresikan dirinya, tetapi sembari menutup mata terhadap permasalahan genting dalam komunitas Islam di Eropa sendiri, seperti honor killing, ketidakadilan jender, meningkatnya fundamentalisme keagamaan dan lain sebagainya. Kacamata kedua, melihat komunitas Islam di Eropa sebagai komunitas yang harus ‘berintegrasi’ jikalau ingin hidup di masyarakat Barat yang menjunjung tinggi nilai ‘kebebasan’ dan lain sebagainya yang secara diametrikal berbeda dengan ‘Islam.’ Maka, tak heran jikalau Partai Buruh di Belanda, tutup mata terhadap isu represi jender dan fundamentalisme dalam komunitas imigran Muslim[vii], sedangkan beberapa elemen gerakan Kiri di Prancis justru mendukung pelarangan burqa dan jilbab[viii].

Munculnya analisis Postmodern pasca ‘tenggelamnya’ perspektif Marxis juga tidak lepas dari masalah. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Azmeh (2009), pembelaan terhadap sang Liyan, dalam hal ini Islam, dalam analisis Postmodern bisa berujung kepada pembelaan tidak kritis, tergelincir pada ‘esensialisme kulturalis,’ yang menganggap bahwa ‘Islam’ dan ‘komunitas Muslim’ itu ‘berbeda’ dengan Barat. Dengan begini, maka analisis Postmodern tak jauh berbeda dengan analisis dari kubu Kanan mengenai Islam. Ziauddin Sardar juga mengingatkan  bahwa relativisme sejarah ala Postmodernisme justru mengabaikan keberagaman terhadap posisi sang Liyan dan karenanya mereduksi upaya sang Liyan dalam menulis sejarahnya sendiri, ‘terkomodifikasikan’ dalam istilah-istilah asing dan diskursus akademik semata (Inayatullah & Boxwell, 2003).

Penutup: Implikasi Epistemologis dan Praxis bagi Gerakan

Apa yang terjadi akhir-akhir ini dalam konteks hubungan Islam dan Barat merupakan gugusan ironi. Belum lama terdapat usaha untuk mempromosikan ‘Pencerahan’ atau an-Nahda yang orisinil dalam dunia Arab-Islam, sebagaimana dikatakan Hourani (1983), yang mana merupakan bagian dari mata rantai potensi pencerahan serupa dalam gelombang pembebasan nasional di Dunia Ketiga. Sayang, potensi itu harus meredup, tidak hanya oleh agenda imperialisme, tapi bahkan lebih parahnya, oleh para komprador imperialis di jazirah Arab sendiri. Lebih ironisnya lagi, kegagapan kelompok Kiri justru semakin mengemuka di dalam revolusi Arab atau Arab Spring:memang betul bahwa banyak elemen organisasi kiri-progresif yang berorientasi popular yang ‘memantik’ api revolusi (LeVine, 2011), tapi pada akhirnya, kaum Islamis-lah yang ‘mereguk’ segarnya air kemenangan dalam bentuk sapu bersih kursi di pemilu parlementer.

Upaya untuk me-ruqyah atau ‘mengusir’ hantu orientalis dalam kajian Islam dan kaum Muslim sudah coba saya paparkan secara ekstensif. Bahkan, ‘mantera’ untuk melawan hantu-hantu tersebut dapat kita temukan dengan mudah di tradisi pemikiran Islam dan Marxis sendiri. Di satu sisi, kita dapat belajar bagaimana membaca Islam secara ilmiah dan realis dari Rodinson. Di sisi lain, tradisi serupa juga terdapat di dalam Islam, sebagaimana dipelopori oleh figur-figur seperti Hassan Hanafi dengan gagasan ‘kiri Islam’ (Nurhakim, 2003) dan Farid Esack (1997) dengan gagasan pembebasan dan pluralisme di dalam al-Qur’an. Kedua pemikir-aktivis ini memiliki kesamaan, yaitu pemahaman dan pergulatan yang mendalam atas realita sosial di masyarakat masing-masing (melalui keikutsertaan mereka dalam wacana keagamaan kritis dan gerakan politik progresif – yaitu oposisi terhadap otoritarianisme dan apartheid), perlawanan terhadap tendensi orientalisme di tingkat epistemologis (dengan menawarkan oksidentalismeatau studi Barat sebagai jawaban atas studi Timur), dan kesatuan antara teori dan praxis, yang seringkali berarti pentingnya sebuah ‘front popular’ yang lintas elemen dalam kondisi tertentu dengan komitmen terhadap politik emansipasi.

Upaya seperti inilah, yang mungkin dapat menjawab berbagai isu epistemologis maupun praxis yang berkaitan dengan masyarakat Muslim, sekaligus memberikan jawaban bagi persoalan-persoalan yang mengemuka akhir-akhir ini, seperti kontroversi seputar pemutaran film anti-Islam di Timur Tengah, kekerasan sektarian di Indonesia, hingga prospek revolusi di dunia Arab.

Posisi ini memang tidak berbeda jauh dengan apa yang saya tuliskan dalam tulisan saya sebelumnya. Tetapi, di tengah-tengah imperialisme dan obskurantisme yang semakin merajalela di Barat maupun Timur, sintesis yang kreatif antara ide-ide dan agenda politik progresif dari tradisi Kiri dan Islam masih merupakan suatu tawaran yang layak untuk dijajal.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc


[i] Diambil dari judul buku karangan Lewis, What Went Wrongyang ditulis menjelang tragedi 9/11 dan diterbitkan sesudahnya

[ii] Karenanya, sengaja saya beri tanda kutip untuk menegaskan pertanyaan dan posisi saya: Islam yang mana? “Islam” sebagai doktrin atau “Islam” yang merujuk kepada kebudayaan dan masyarakat Islam?

[iv] Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa analisis Rodinson tentang otonomi relatif ideologi/doktrin agama mirip dengan analisis Nicos Poulantzas tentang otonomi relatif negara – dua hal yang sama-sama masuk di dalam domain superstruktur

[v] Bandingkan misalnya, dengan klaim bahwa analisis Rodinson berakhir dengan thesis bahwa sistem ekonomi Islam lebih dekat dengan Kapitalisme. Selain tidak begitu berdasar, klaim ini juga bermasalah karena fokusnya sendiri melenceng dari metode Rodinson: memeriksa ‘doktrin’ alih-alih perkembangan masyarakat itu sendiri. Lihat dihttp://islamlib.com/id/artikel/norma-kapitalisme-dalam-etika-ekonomi-islam/

[vi] Dapat dicek langsung di laman American Enterprise Institute di http://www.aei.org/scholar/ayaan-hirsi-ali/ danhttp://www.aei.org/scholar/sadanand-dhume/

[vii] Dapat dilihat misalnya di perdebatan antara Marcel van Dam, politisi partai Buruh belanda, dengan Pim Fortuyn, politisi populis sekaligus kritikus Islam, dihttp://www.youtube.com/watch?v=1184h0MXfdU&feature=related

[viii] Lihat http://communisme-ouvrier.info/?On-the-banning-of-religious

Daftar Pustaka

Al-Azmeh, A. (1993). Islams and Modernities. London and New York, NY: Verso.

Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism. Oxford: Oneworld Publisher.

Hourani, A. (1983). Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939.Cambridge: Cambridge University Press.

Kendzior, S. (2012, Sep 16). The fallacy of the phrase, ‘the Muslim world’. Al-Jazeera. Retrieved fromhttp://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2012/09/20129168313878423.html

Inayatullah, S. & Boxwell, G. (2003). Islam, Postmodernism and Other Futures. London and Sterling, VA: Pluto Press.

Laitin, D. (1978). “Religion, Political Culture, and the Weberian Tradition”. World Politics, 30, 563-592.

LeVine, M. (2011, May 10). Breathless in Egypt. Al-Jazeera.Retrieved fromhttp://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2011/05/20115910100577565.html

Nurhakim, M. (2003). Islam, Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran Hassan Hanafi. Malang: Bayumedia Publishing.

Rodinson, M. (1973). Islam and Capitalism. New York, NY: Pantheon Books.

Rodinson, M. (1980). Muhammad. New York: Pantheon Books.

Rodinson, M. (1981). Marxism and the Muslim World. New York, NY: Monthy Review.

Said, E. (1979). Orientalism. New York, NY: Vintage Books.

Interfaith tolerance challenges Indonesian Islam, democracy

Monday, Feb. 21, 2011
Interfaith tolerance challenges Indonesian Islam, democracy
By IQRA ANUGRAH
Special to The Japan Times

BEPPU, Oita Prefecture — During the heat of the Tunisian and Egyptian revolutions, which successfully toppled the respective autocratic regimes of Zine al-Abidine Ben Ali and Hosni Mubarak, some incidents in Indonesia appear to have dimmed the prospect of democracy on this side of the Islamic world.

In Pandeglang, Banten, the Ahmadiya community was attacked by mobs that caused at least three people to die and others to get injured. In the same week, just a couple of days after the Ahmadiya incident, three churches were destroyed by angry mobs in Temanggung, Central Java.

Ironically, these incidents happened in the middle of World Interfaith Tolerance Week. The rise of Islamism in the world’s biggest Muslim democracy reminds us of the warning from Farag Fouda, a prominent Egyptian progressive intellectual: Will the Islamic world pursue the path of enlightenment, or follow the path of orthodoxy and fundamentalism?

The responses to this issue of violation of religious freedom, sympathy and solidarity from people from all walks of life have been tremendous. In various online platforms, most notably Facebook and Twitter, intellectuals, public figures and laymen have expressed their solidarity toward their Ahmadi and Christian fellows.

This spirit has also moved a number of concerned citizens to immediately stage some demonstrations at Jakarta locations, including in front of the Presidential Palace. All of these street actions are driven mostly by the online activism of the middle class.

Unfortunately, the mindset of “blaming the victim” is still prevalent among a large part of the population, including public officials. It is not uncommon to hear some pejorative comments directed toward the Ahmadiya community, despite the discrimination and injustice that they have endured for a long time.

Fatwas or religious verdicts declaring Ahmadiya teachings as heretical were first issued by MUI or Indonesia’s Council of Religious Clerics in 1980. Recently Religious Affairs Minister Suryadharma Ali, who comes from the Islamist Party (PPP) also supported the banning of Ahmadiya teachings and practices.

Because of these fatwas, regulations and even statements from religious and state authorities, vigilantism conducted by the Islamic fundamentalist groups and other political thugs seem to find support.

In democratic polity, citizens’ participation is one of the most fundamental elements in the decision-making process. Nevertheless, democracy should not be understood merely as the will of the majority but also as the aspiration of minorities, including the Ahmadiya community. Thus, democracy should also be realized as the protection of minority rights, since majoritarianism alone will lead to the tyranny of majority. As a consequence, tolerance is inherently important in building a healthy democracy.

To make democracy flourish, it needs to be protected from anti-democratic and intolerant forces, because freedom cannot protect itself.

Sadly, these anti-democratic groups and associations are often protected by some particular political elites or public officials, politically or financially, for shortsighted, pragmatist interests, such as to garner more votes in elections — a proof of historical remains from the authoritarian era.

These violent acts toward Ahmadiya are not the first. They add to the long list of violent acts committed by state and society in Indonesia. It is not surprising that some observers on Indonesian politics, such as Henk Schulte-Nordholt (2002), argued that this is a continuation of the genealogy of violence in Indonesia.

Moreover, it is an indisputable fact that Ahmadis, Christians and other minorities are part and parcel of Indonesian society. They have been a part of Indonesia’s social fabric even before the state came into existence officially.

In fact, these minorities have contributed a lot in the process of nation building. Regardless of different interpretations of these incidents and allegations about who is the true mastermind, to respect and protect their rights to live and freely exercise their religious beliefs are the duty and obligation of the state and society. It is true that these minorities, particularly the Ahmadis, have doctrines significantly different from mainstream Islam, but that does not validate any hostilities and even killings toward them.

What we need rather is constructive theological debates and dialogues in the framework of tolerance and appreciation toward diversity, as stipulated in Islam and other religions.

As next step to addressing the current problems of lack of religious freedom and tolerance in Indonesia, several steps should be considered:

First, the state should not be absent in defending religious freedom and minority rights as enshrined in the Indonesian Constitution and Pancasila, the philosophical foundation of Indonesian state. Attacks and killings in the Ahmadiya community in Banten and churches in Central Java are another example of state failures to protect its citizens.

Second, there is a need for “securitization” of this issue. Various proofs and analyses have led to the conclusion that these incidents, considering numerous factors, are possibly orchestrated for short-term political and economic interests. Therefore, it is important to bring this case into the proper legal process.

Third, Indonesian Muslims and the Islamic world in general need to do theological and historical reflection in response to Ahmadiya and other “post-Islam” religions, such as Bahafi and indigenous religions. It is necessary to have greater understanding and tolerance despite the differing views, even if such view is considered as heretic.

Last, democracy should be translated not only as electoralism but also as protection for civil and political rights. This case basically is a litmus test for the prospect of democracy, freedom and justice in the Islamic world

Iqra Anugrah, a master’s candidate at the Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan, is active in various Islamic and student groups (twitter: @libloc). © 2011 Project Syndicate (www.project-syndicate.org)

Lifesaving dialogue past due between Islamic world and West

By IQRA ANUGRAH
Special to The Japan Times

BEPPU, Oita Pref. — The relationship between the West and the Islamic world is worrisome. Recent events in Western and Muslim countries show the tension between these two civilizations.

Last year the Swiss People’s Party, backed by a popular referendum, proposed a construction ban on mosque minarets. In neighboring France, the rising fear of Islamization has been reflected in the political debate on prohibitions against wearing the burqa. In the Netherlands, far-right politician Geert Wilders and his Freedom Party gained a significant number of votes in recent local elections.

Meanwhile, in Indonesia, thousands of sympathizers attended the burial of Dulmatin, the suspected terrorist, and the planned visit of U.S. President Barack Obama was criticized by Hizbut Tahrir, who argued that Obama is a colonizer and war criminal.

Why are these things happening?

It is true that Obama decided to increase the number of American troops in Afghanistan and that terrorist groups keep mushrooming, but does it mean there is no room left for dialogue?

The problem is mind-sets. First of all, both sides mistakenly adopt binary logic in their policymaking. This logic leads to a black-and-white, right-or-wrong perspective: One is either with us or with them. Consequently each side triggers fear toward the other. The ultimate manifestation of this belief is hatred and the desire to conquer the other.

Differences are seen as threats that deserve to be excluded and, if necessary, extinguished. Most people in the West and Islamic world aspire to and share similar basic needs. This reality, however, is diluted by the rise of rightwing populism in the West and extreme conservatism in the Muslim world.

Although these conflicting sides seem very different, they share the same need to exploit fear toward the other. They also make tactical use of populist jargon to target and grab the attention of the lower and middle classes — those who have a say in daily politics.

Unfortunately their rhetoric and activities bring both sides excessive media attention. They work hard to keep the spotlight and dominate public discourse about what society should be like.

The situation today is especially ironic when we consider that Islamic and Western societies contributed so much to the development of human civilization in the past. When the age of darkness and close-mindedness prevailed in the West, Muslims were working to enlighten the world with their culture of tolerance, openness and freedom of thought.

Thanks to the efforts of Islamic scholars and intellectuals, the great works of classical Greek philosophers and the introduction of Aristotelian logic triggered enlightenment, liberating the minds of Western citizens who had been oppressed by the state or religion.

Ibn Rushd (commonly known in the West as Averroes), a devout Muslim philosopher and jurist, is considered the father of secular modern thought. He is famous for the idea that the peaceful coexistence of religion and philosophy, faith and reason is the way to God: To move forward, we need to promote a culture of tolerance, openness and freedom.

As the West started to grasp and accept humanist principles of enlightenment, the Islamic world took a backward step by closing doors to reason and inquiry. The situation became more chaotic as shortsighted Western foreign policies focused more on political and economic expansion than on promotion of human values and cooperation.

More problems arose with the appearance of populist politicians and violent groups with neither the historical consciousness nor willingness for dialogue.

What should we do then?

Franklin D. Roosevelt, one of the most influential American presidents, was correct when he said the only thing we have to fear is fear itself. Fear paralyzes and prevents us from thinking rationally. To prevent the plague of narrow-mindedness and feelings of inferiority, we must not let ourselves be trapped by illogical paranoia.

Practically speaking, mental, intellectual and spiritual reform should translate into sound foreign and security policies. The failures of Western foreign policy should remind us that waging war is no longer an option. We must bring antiwar politics to the fore of discourse, and change it into cooperation-based tactics of moderation, to promote democratization in the Muslim world.

Counterterrorism measures are the key to making this policy work. Instead of shooting terrorists dead, we must bring suspects into court and subject them to official judgments so that society can see their mistakes. Education plays an important role. Schools and universities should be the place to foster tolerance and cooperation so that our children can interact with each other and respect different cultures and opinions.

We must stop acting as a silent majority. Moderate and progressive voices of Western and Islamic communities must unite and show to the world the real face of civilized and mature societies. We should convince the world that many avenues still exist for dialogue. After all, we know whom to blame for the current mess: Western and Islamic hardline conservatism.

Iqra Anugrah, a third-year student at College of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan, is active in various Islamic and student groups.
http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/eo20100328a1.html

Islam’s Place in Politics

Islam’s place in politics

By IQRA ANUGRAH
Special to The Japan Times

BEPPU, Oita Prefecture — The dynamics of Islam and politics in Indonesia are always worth following. Conventional wisdom says that moderates rule the game. In reality, this is not always true.

Sadanand Dhume, an expert on Islam and Indonesia, recently wrote an article arguing that the moderate is not always the winner. The myth of the moderate Muslim nation has started to change in the post-Suharto reformation era.

Political and economic liberalization has taken place, but not for religious and cultural values. We have had a number of improvements in civil and political freedom, but not in religious freedom. Islamic conservatism and fundamentalism are still widespread, as the battle of values goes on.

Living according to a strict interpretation of Islam in its early days is considered the new utopia. The call for shariah (Islamic law) is proffered as a panacea for our problems. This is not news. Religious interpretation is only the pull factor; the push factor is the daily experience of struggling to maintain a livelihood.

In this situation, religion is hardly distinguishable from delusion. Moreover, corrupted political elites often see it as an opportunity to get more votes, which makes the situation worse. That’s why we see some people trying to justify the establishment of religious bylaws, terrorism and other intolerant actions in the name of religion. Bombings in Jakarta and Aceh legislation allowing punishment by stoning are two recent examples of this phenomenon.

Tensions between the desire to maintain secular, democratic government and the growing force of Islamism present an important question: Is there any place for Islam in politics? We should know that enemy conservatives might be the bad guys, but not all of them are dangerous. As commentator Fareed Zakaria has said, radical Islam is a fact of life.

Our task now is learning how to live with that. It is very important to differentiate and categorize “conservative” and “radical,” since one is different from the other. Some groups might be conservative in matters of religion and culture, while their means of voicing their agenda are nonviolent and nonradical.

Dealing with someone from the FPI (Islamic Defender Front) or Hizbut Tahrir, for instance, is not the same as dealing with someone from Jamaah Tabligh. The government should recognize these differences so as not to become trapped by illogical paranoia. With such a policy, we can hope that these groups will learn from their own mistakes by entering democratic politics and engaging in real political debate. In such a case, the moderate voice matters — to show conservatives that Islam and democracy are much alike.

The message of the late Nurcholish Madjid now sounds stronger than ever. As there are many paths to God, there are many places for Islam in politics. In Cak Nur’s view, there is no absolute interpretation of politics, since Islam is not a particular ideology or political view, but rather a set of values and ethics for humanity. Thus any attempt to politicize Islam will reduce the meaning of Islam itself.

The legacy of the golden age of Islam and the moderate spirit must be championed all the time. As the church in the Western world has failed to maintain its hegemony due to its political intervention, political Islam should learn how to promote its ideas and survive within the framework of electoral democratic politics.

Moderate and progressive voices of Islam need to build alliances and spread their message through all levels of Indonesian society. The Indonesian government should promote moderate and tolerant ideas by working together with progressive groups.

The government should also stem the widespread trend of fundamentalism and radicalism in society through various educational means and institutions. As history has taught us, Islam and Indonesia will exist and contribute to humanity only within the environment of openness and tolerance toward one other.

The future of Islam and Indonesia depends on their ability to interact with other cultures and civilizations in the secular world. That is the only solution to the problem of inward-looking behavior in the Islamic community. We have the answer; they don’t.

*Iqra Anugrah, an activist in various student and Islamic movements in Indonesia, is a third-year student at College of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan.

http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/eo20100115a1.html

Islam dan Pembebasan Sosial

Islam dan Pembebasan Sosial

Oleh Iqra Anugrah

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama ? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan”

(Q.S. al-Ma’un 1-7)

Islam adalah agama yang menghargai dan menekankan solidaritas sosial. Kewajiban melakukan dan menyeru kebajikan, menjauhi kemunkaran, membela orang lemah dan tertindas (al-mustadh’afin) telah difirmankan oleh Allah SWT di berbagai surat di dalam al-Qur’an. Begitu juga, dengan perjalanan peradaban Islam mulai dari politik, sejarah dan budaya, menunjukan urgensinya hal tersebut.

Kesalehan Ritual vs Kesalehan Sosial

Di antara surat yang paling terkenal mengungkap pentingnya solidaritas sosial adalah surat al-Ma’un ayat 1-3. Surat ini mengajarkan bahwa membantu dan membela sesama yang kurang beruntung adalah bentuk lain peribadatan kepada Tuhan. Orang yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak memperdulikan orang-orang marginal, seperti orang miskin dan kaum dhu’afa. Lebih lanjut lagi, ayat ke 4-7 surat ini mengkritik orang yang hanya mengerjakan ritual-ritual agama, namun tidak memperhatikan keadaan orang lain di sekitarnya. Ini menunjukkan bagaimana Islam sangat memperhatikan tidak hanya aspek ritual namun juga aspek sosial dalam Ibadah.

Dalam Islam, iman dan taqwa tidak cukup hanya ditunjukkan dengan ibadah-ibadah ritual saja. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai dalam ibadah-ibadah yang bersifat ritual, seperti shalat dan sebagainya, tercermin dalam hubungan kita dengan sesama manusia.

Salah seorang sufi terkemuka pernah berujar bahwasanya peribadatan yang terbaik adalah pelayanan terhadap sesama. Oleh karena itu, kesalehan sosial tidak kalah penting dengan kesalehan ritual. Kesalehan sosial adalah konsekuensi logis dan mutlak dari kesalehan ritual sebagai seorang muslim.

Kesalehan sosial, dalam konteks surat al-Ma’un, adalah advokasi terhadap kaum yang lemah dan tertindas (al-mustadh’afin). Konsep ini bisa kita ulas kembali pada waktu awal da’wah Islam oleh Nabi Muhammad SAW.

Sejarah Awal Islam: Sejarah Pembebasan

Konsep kesalehan sosial dan advokasi terhadap orang kecil bukanlah sekedar doktrin. Sejarah awal penyebaran Islam di Mekkah oleh Rasul SAW menunjukkan bagaimana da’wah Islam sesungguhnya adalah perjuangan memanusiakan manusia, membebaskan manusia dari kungkungan yang tidak manusiawi, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan spiritual.

Kalimat syahadat merupakan inti dari perjuangan tersebut, yang diterjemahkan oleh Rasulullah sebagai jihad yang holistik. Tauhid yang dibawa dan diajarkan Nabi bukanlah sekedar perintah atau anjuran semata, melainkan sebuah slogan revolusioner yang menyerukan perubahan dan pembebasan umat manusia secara menyeluruh. Tauhid menggaungkan perubahan secara fundamental dalm berbagai aspek kehidupan manusia. Secara spiritual, tauhid membebaskan manusia dari takhayul dan berbagai ketidakpastian dalam berkeyakinan, menjadi kepercayaan kepada pencipta yang tunggal, yaitu Allah SWT. Sehingga manusia bisa menjalankan kehendaknya secara bebas, karena ia tidak bergantung kepada hal-hal yang klenik, irrasional, dan tidak pasti.

Dalam konteks politik, ekonomi, dan sosial, Tauhid adalah penegasan bahwasanya hanya ada penguasa tunggal yaitu Allah SWT. Manusia adalah hamba yang sama dihadapan Allah, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Karenanya, seorang muslim dituntut untuk menyerahkan diri hanya kepada Tuhannya, bukan kepada taghut-taghut kecil atau sesembahan yang lain, seperti harta, jabatan, kekuasaan, atau atasan.

Manifestasi terbesar dari pengertian ini adalah Tauhid menentang penghisapan dan eksploitasi sesama manusia oleh sesamanya, atau exploitation l’homme par homme. Inilah yang menjadi penyebab tumbuhnya penentangan terhadap Islam dari para pemuka dan petinggi suku Quraisy, karena mengancam posisi mereka.

Pengikut-pengikut awal Nabi juga banyak yang merupakan orang miskin atau budak, seperti Bilal (muadzin pertama dalam sejarah Islam). Nabi dan para sahabat juga berusaha keras untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan penghinaan atas harga diri manusia, misalnya, membeli dan membebaskan budak untuk menghapus perbudakan, serta mengangkat harkat dan derajat perempuan.

Apa yang dilakukan Rasulallah pada masa awal Islam adalah bukti bagaimana pembelaan dan keberpihakan Islam terhadap golongan yang termarginalkan baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari suatu masyarakat.

Puasa dan Misi Pembebasan Sosial

Bulan puasa adalah momentum yang tepat bagi kita semua untuk merenungkan makna Islam dan kesetiakawanan sosial. Puasa adalah kesempatan bagi kita semua untuk merasakan penderitaan orang-orang miskin dan orang-orang kecil di sekitar kita. Menahan lapar, dahaga, serta hawa nafsu adalah sarana kita untuk merasakan penderitaan mereka yang lemah dan terabaikan serta berempati dan bersimpati terhadap keadaan mereka.

Namun arti dan amanat puasa lebih dari sekedar perenungan. Puasa adalah sebuah komitmen akan misi pembebasan sosial, misi untuk membebaskan manusia dari kungkungan lahir dan bathin, sehingga siap untuk menyambut kemenangan, di mana semua manusia menjadi sama derajatnya di hadapan Allah SWT.

Karena itu, penerjemahan komitmen kita menjadi aksi-aksi untuk membela mereka yang kurang beruntung dan terpinggirkan adalah suatu keniscayaan. Sebab, sesungguhnya Islam adalah perjuangan untuk membebaskan mereka yang lemah dan tertindas, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Rasulullah semasa hidupnya.

Pembebasan kaum yang lemah dan terpinggirkan adalah agenda utama dari perjuangan besar untuk membebaskan manusia secara komprehensif dan menyeluruh, baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Perjuangan ini adalah perjuangan yang bersifat egalitarian, karena dengan membebaskan al-mustadh’afin dari segala kungkungan sosial, berarti mengembalikan manusia ke dalam tempat yang semestinya. Setara secara sosial dalam hubungannya dengan manusia yang dilandasi dengan persaudaraan berdasarkan iman kepada Allah.

Dalam skala besar upaya ini dapat diterjemahkan sebagai seluruh kegiatan perlawanan terhadap struktur sosial yang menindas mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini yang menyebabkan Islam dibenci pada masa awal penyebarannya. Itu sebabnya mengapa Islam memerintahkan zakat. Sebuah upaya untuk mencapai keadilan dengan melakukan redistribusi terhadap harta kekayaan diantara muslim.

Inti dari perjuangan ini adalah keadilan. Keadilan adalah benang merah agama. Kesetaraan diwujudkan dengan membuat mereka yang berlebih berbagi dengan mereka yang membutuhkan, sehingga terwujud keadilan di muka bumi.

Puasa, sekali lagi, adalah saat yang tepat bagi kita semua untuk memulai aksi tersebut. Puasa adalah perwujudan dari konsep yang disebut oleh salah satu intelektual muslim, Amien Rais, sebagai Tauhid sosial. Dengan kredo Laa Ilaaha Ilallah, Muhammad Rasulullah, sesungguhnya semua manusia adalah saudara yang sama dan setara dihadapan Tuhan.

Indonesia adalah negeri yang dipenuhi oleh para birokrat yang tidak berkomitmen, politisi yang tidak mempunyai prinsip, pengusaha yang tidak mau bekerja keras, praktek ekonomi minus moralitas, dan kesenangan tanpa nurani. Akibatnya, kondisi ini melahirkan ketimpangan sosial di mana-mana. Indonesia negeri yang membutuhkan minoritas kreatif untuk mendobrak segala macam bentuk korupsi dan kesewenangan.

Wallahu’alam

*Tulisan ini dimuat di Majalah GOZIAN, Edisi Perdana, Syawal 1429 H / Oktober 2008