Kala Perempuan Jadi Candaan

16 JANUARI 2013

http://indoprogress.com/kala-perempuan-jadi-candaan/

Analisa Politik
Iqra Anugrah
mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

MANUSIA  boleh berwacana dan berbicara tentang kemajuan, tetapi perilaku kita sebagai manusia dan bagian dari masyarakat justru seakan-akan menunjukkan kemunduran. Di saat jazirah Arab memunculkan figur perempuan seperti Gigi Ibrahim yang turut menumbangkan rezim otoriter Hosni Mubarak di Mesir, perkembangan di belahan dunia lain, termasuk negeri kita, justru menjadi berita buruk bagi kaum perempuan. Di Aceh, sebuah peraturan absurd melarang perempuan untuk duduk ‘mengangkang’ di atas sepeda motor. Selain tidak masuk akal dan tidak penting, larangan ini hanya memperpanjang daftar kekonyolan politik dan hukum atas nama ‘otonomi daerah’ dan ‘syariah.’ Di India, yang terjadi lebih tragis lagi: seorang perempuan muda diperkosa secara beramai-ramai dan dibunuh oleh enam pemuda. Kembali ke tanah air, baru-baru ini daftar pelecehan terhadap kaum perempuan bertambah panjang: seorang calon hakim agung, saya ulangi, seorang calon hakim agung, menyatakan bahwa dalam kasus pemerkosaan, baik korban maupun pelaku pemerkosaan sama-sama menikmati.

Alih-alih kemajuan, kita sebagai masyarakat sepertinya telah mundur seratus tahun ke belakang.

Tidak perlu kita sebut lagi berbagai kasus pelecehan terhadap kaum perempuan, mulai dari ranah publik hingga di ranah privat, seperti institusi keluarga dan pernikahan. Mulai dari berbagai bentuk pelecehan yang ringan, seperti ‘candaan’ yang diucapkan oleh beberapa pejabat publik, hingga pelanggaran hukum berat seperti pemerkosaan. Di sebuah masyarakat yang mengaku demokratis, tidaklah berlebihan jikalau kita menyebut kasus-kasus seperti ini sebagai sebuah kontradiksi; sebuah kontradiksi yang jangan-jangan sudah menjadi bagian yang inheren dari tiap-tiap kita.

Yang mengerikan dan menyedihkan adalah, ketimpangan gender dan patriarkhisme ini seakan-akan dilanggengkan oleh berbagai institusi di sekitar kita; mulai dari keluarga, masyarakat, hingga agama dan negara. Dalil ‘atas nama agama dan tradisi’ di Aceh untuk menjustifikasi larangan duduk mengangkang, tentu bukanlah yang pertama; kita juga bahkan tidak perlu mengetahui perkembangan keilmuan metode tafsir dan hermeneutika terbaru maupun pemikiran-pemikiran posmodernis dan filsafat paling mutakhir, untuk menyebutkan bahwa dalil-dalil seperti itu hanyalah merupakan hasil dari lamunan-lamunan liar yang dilembagakan atas nama agama, negara, maupun tradisi.

Di dalam situasi seperti ini, maka berpolemik menjadi sebuah keniscayaan dan kewajiban. Keniscayaan karena lewat polemik-polemik dan kritik-kritik tersebut kita dapat membongkar asumsi-asumsi dasar dari aturan-aturan yang membatasi emansipasi perempuan. Kewajiban karena kritik kita hanya menjadi sebuah pepesan kosong apabila tidak dijadikan sebuah pedoman untuk bertindak, untuk mengubah keadaan, untuk melakukan kritik yang lebih keras lagi.

Kembali ke kasus Aceh. Kita seakan-akan lupa dengan fakta bahwa Cut Nyak Dhien, seorang pahlawan perempuan asal Aceh, adalah contoh sekaligus sumber inspirasi bagi kesetaraan gender di masyarakat Indonesia, masyarakat Muslim, dan masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya. Tak perlu jauh-jauh mencari contoh untuk membongkar ‘mitos’ domestifikasi dan marginalisasi perempuan yang dipropagandakan oleh agen-agen pengusung patriarkhi. Dalam sejarah masyarakat Muslim, kita juga dapat melihat upaya-upaya kaum perempuan dalam memperjuangkan politik emansipasi dalam karya klasik sosiolog kenamaan dan penulis wanita asal Moroko, Fatima Mernissi (1997), dalam bukunya The Forgotten Queens of Islam (Ratu-ratu yang Terlupakan dalam Islam).Mernissi menunjukkan bahwa di berbagai masyarakat Muslim, berbagai figur perempuan telah memainkan berbagai peranan sejarah yang penting, termasuk menjadi pemimpin bagi masyarakatnya. Suatu episode sejarah, yang sayangnya, seringkali tidak pernah muncul ke permukaan, tertutupi oleh narasi-narasi dominan tentang sejarah yang ditentukan oleh tokoh-tokoh penting, yang biasanya adalah para lelaki.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya untuk dianalisa dalam kasus Aceh dan kasus-kasus serupa, adalah proses terbentuknya peraturan-peraturan daerah (perda) yang ‘bernuansa syari’ah.’ Di sini kita perlu jeli dalam melihat persoalan. Alih-alih melihat perda syari’ah sebagai ekspresi konservatisme dari masyarakat kita, perda –perda tersebut juga perlu dilihat sebagai ekpresi dari relasi ekonomi dan politik yang hegemonik di dalam masyarakat kita. Dengan kata lain, penjelasan bahwa perda syari’ah dan meningkatnya berbagai perundang-undangan yang memarginalkan kaum perempuan baru separuh benar.Analisa terhadap fenomena-fenomena yang menyangkut marginalisasi kelompok-kelompok yang lemah dan termaginalkan dalam masyarakat, seperti perempuan juga harus melihat berbagai persinggungan antara kepentingan-kepentingan politik (dan terkadang juga ekonomi), baik pada level lokal maupun nasional, konflik di antara berbagai kepentingan itu, dan juga peranan berbagai aktor yang terlibat pada kompetisi dan konflik kepentingan tersebut. Kontestasi antara berbagai kelompok dan kepentingan ini juga terlihat di dalam ‘bahasa’ atau diskursus yang dipakai. Studi Hooker (2008), misalnya, menunjukkan bahwa beberapa kelompok Islam yang konservatif dan literalis dalam menginterpretasikan syari’ah menggunakan retorika ‘desentralisasi’ dan ‘otonomi daerah’ sebagai justifikasi untuk mempromosikan, dan jikalau sukses, mengimplementasikan perda-perda bernuansa syari’ah. Di dalam konteks Aceh, penerapan syari’ah Islam juga tidak memperhatikan kebutuhan dan konteks masyarakat lokal (Salim & Azra, 2003). Dalam situasi seperti ini, maka kepentingan segelintir elit akan bersekutu dengan konservatisme sosial untuk melanggengkan peraturan-peraturan yang memarginalkan perempuan; hari ini pelarangan ‘duduk ngangkang,’ besok entah apa lagi yang dilarang.

Situasi di tingkat nasional juga tidak kalah mengkhawatirkan. Candaan calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi bukanlah sebuah candaan. Sebaliknya, itu merupakan sebuah bentuk penghinaan; sebuah penghinaan yang entah mengapa dirayakan secara beramai-ramai oleh beberapa anggota DPR di dalam sebuah forum nasional yang serius. Melihat kelakuan para pejabat publik kita yang seperti ini, maka kita bisa berimajinasi sedikit ‘liar’ bahwa jangan-janagan isu-isu emansipasi kaum perempuan tidak pernah ditanggapi secara serius oleh negara.

What Is To Be Done?

Ulasan tidak akan berarti jikalau tidak menjadi kritik. Kritik ini juga hanya akan berakhir sebagai khotbah di tengah-tengah gurun pasir apabila tidak disertai dengan upaya-upaya untuk mengubah keadaan. Di tengah-tengah langkanya kritik dan upaya yang serius, ada baiknya kita berpikir dan berefleksi sejenak mengenai apa yang harus dilakukan kedepannya.

Pertama, pelanggaran-pelanggaran akan hak-hak perempuan dalam bentuknya yang ekstrim, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan berbagai bentuk pembatasan akses dan gerak perempuan di ruang publik mulai dari ‘jam malam’ untuk perempuan hingga larangan ‘duduk ngangkang,’ rupa-rupanya masih marak terjadi di masyarakat kita. Upaya-upaya yang serius untuk menganalisa maraknya fenomena ini dari konteks sosial-politik yang lebih besar merupakan sebuah prasyarat untuk mengubah keadaan.

Kedua, di tengah-tengah kekacauan seperti ini, perjuangan politik emansipasi bagi kaum perempuan justru menjadi lebih penting dari sebelumnya. Perjuangan ini bukan sekedar ‘menambah jumlah keterwakilan’ perempuan di parlemen, tetapi lebih dari itu, memperjuangkan agenda politik yang betul-betul memperjuangkan hak-hak perempuan, di mana ketimpangan gender dapat betul-betul teratasi. Perjuangan kita juga perlu mempertimbangkan kondisi objektif kaum perempuan; seperti fakta bahwa sebagian besar kaum perempuan juga termarjinalkan dalam hal kelas sosial dan ekonomi.

Di saat para politisi dan pejabat publik semakin acuh tak acuh dan justru menjadikan perempuan sebagai bahan candaan, maka perjuangan politik emansipasi bagi kaum perempuan menjadi lebih penting dan relevan dari sebelumnya.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kata Pengantar – IndoProgress III Januari 2013

Indoprogress-3-Januari-2013_cover

Kata Pengantar

Muhammad Ridha dan Iqra Anugrah

‘KRISIS’ bukanlah termin yang asing dalam pengalaman khalayak di Indonesia. Pada tahun 1997, krisis ekonomi menghantam fondasi kemasyarakatan Indonesia. Hantaman tersebut memporakporandakan hampir seluruh dimensi kemasyarakatan. Tidak heran jika kemudian krisis ekonomi berimplikasi secara logis pada terjadinya bentuk-bentuk krisis yang lain, seperti krisis budaya, sosial bahkan politik.

Krisis ekonomi 1997 memberikan pemahaman kepada rakyat Indonesia bahwa rezim ekonomi politik otoriter Orde Baru Soeharto yang saat masih berkuasa, tidak bisa lagi dipertahankan. Rezim orba saat itu dinilai telah menjerumuskan mayoritas rakyat ke dalam jurang deprivasi dan kehancuran. Tidak heran jika kemudian momen krisis menjadi titik berangkat yang tidak dapat didatangi kembali bagi sejarah Indonesia, sehingga rakyat Indonesia bangkit melawan untuk menumbangkan rezim kekuasaan yang menyokong sistem ekonomi yang menghasilkan krisis. Pada tahap inilah massa rakyat terlibat aktif dalam panggung sejarah negeri ini.

Pada masa kekinian kita, krisis kembali masuk dalam perbincangan umum khalayak di Indonesia. Bedanya, krisis saat ini terjadi langsung di jantung kapitalisme itu sendiri, yakni Amerika Serikat. Ditandai dengan bangkrutnya Bank Investasi terbesar keempat di AS, Lehman’s Brother, karena gagal bayar kredit perumahan sekunder, ekonomi Amerika Serikat dihantam oleh krisis ekonomi yang serius. Imbas dari krisis ekonomi yang terjadi di AS segera merambat ke negara-negara lain. Yunani, Portugal, Spanyol dan Italia adalah negara-negara di kawasan Eropa yang mengalami dampak langsung dari krisis ekonomi di AS, yang membuat mereka kemudian harus terjerembab dalam krisis surat utang negara (sovereign debt)

Respon kelas kapitalis terhadap situasi krisis tersebut sesungguhnya sangat jelas: selamatkan kapitalisme dari para kapitalis, dan selamatkan para kapitalis dari kemarahan publik! Berbagai paket stimulus, stabilisasi kebijakan makroekonomi, pemangkasan anggaran-anggaran sosial dan bailout diberikan atas nama ‘penyelamatan’ ekonomi , sembari menyalahkan persoalan kepada para bankir dan pengusaha besar yang dianggap tidak bermoral – yang kemudian juga bebas melenggang kangkung dikala banyak warga dunia mengalami kesulitan menghadapi krisis. Di beberapa kesempatan, para kapitalis bahkan tidak segan-segan untuk berkoalisi dengan negara (baca: kuasa) dan bahkan menggunakan kekerasan untuk memadamkan gerakan massayang melawan kapitalisme, sebagaimana dapat dilihat pada kekerasan polisi terhadap para demonstran gerakan Occupy di beberapa tempat di AS.

Melihat situasi krisis ini, maka semakin benar adanya bahwa there’s nothing new under the sun, tidak ada yang baru d ibawah matahari, begitu setidaknya ungkapan Yunani Kuno mengenai kehidupan di dunia ini. Ungkapan ini sebenarnya hendak mengatakan kepada kita bahwa tidak pernah ada fenomena yang benar-benar baru dan unik sama sekali dalam pengalaman peradaban kemanusiaan. Fenomena yang tengah terjadi sekarang ini pada dasarnya memiliki fitur-fitur yang mirip dan identik dengan fenomena yang pernah terjadi sebelumnya di masa lampau. Dengan kata lain, fenomena sekarang tidak lebih sebagai repetisi dari apa yang pernah terjadi sebelumnya, dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda.

Dalam kacamata seperti inilah kita harus melihat krisis kapitalisme. Krisis kapitalisme, sebagaimana yang telah kita alami sekarang ini, pada dasarnya bukan sesuatu yang baru. Semenjak awal masa kelahirannya sampai dengan masa kontemporer sekarang, kapitalisme selalu dan pasti dirundung krisis. Kontradiksi internal yang menjadi motor bagi gerak serta dinamika kapitalisme, merupakan akar penyebab dari krisis kapitalisme itu sendiri: dorongan tak terbatas untuk selalu melakukan maksimalisasi keuntungan. Tidak heran jika kemudian perkembangan kapitalisme selalu berkait-kelindan dengan potensi kehancurannya sendiri.

Namun secara epistemologis, posisi ini bukan berarti tanpa masalah. Ungkapan ini menjadi pembenaran pandangan bahwa dunia yang tengah kita hidupi sekarang ini sudah seperti ini adanya, tidak ada lagi yang dapat kita lakukan dan karena itu harus menerimanya. Untuk itu, setiap upaya dalam melakukan perubahan tidak akan pernah dapat menciptakan perubahan sama sekali, karena hal tersebut hanya akan mengulang sekaligus meneguhkan kondisi kekinian yang identik dengan kondisi di masa lampau. Dengan kata lain, ungkapan ini dapat menjebak kita untuk larut dalam status quo tanpa bisa keluar dari koordinat yang sudah ada.

Satu-satunya cara untuk mengatasi kebuntuan ini adalah dengan melihat secara dialektis antara apa yang lama dengan yang baru. Bahwa apa yang baru merupakan ledakan imanen dalam yang lama. Bahwa yang baru hanya dimungkinkan ketika kita mengakui secara total bahwa yang lama selalu adalah situasi yang kita hadapi. Dalam hal ini kita bisa belajar banyak dari Theodore Adorno dalam bukunya Three Studies on Hegel. Adorno menolak pola pendekatan yang berupa pertanyaan yang bercirikan patronase, ’Apa yang masih tetap hidup dan apa yang telah mati dari Hegel?’ Menurut Adorno, pertanyaan seperti ini mengandaikan sebuah posisi seorang hakim yang dapat secara bijak mejawab, ’ya, mungkin ini masih tetap aktual sekarang…’ Namun Adorno menyatakan, ketika kita berhubungan dengan seorang pemikir besar, pertanyaan yang harus diajukan bukanlah bagaimana pemikir ini dapat mengatakan tentang kondisi kita, akan tetapi seharusnya yang berkebalikan dengan itu, bagaimana kesulitan-kesulitan kontemporer kita dalam kaca mata pemikir tersebut. Bagaimana epos kita (baca: baru) muncul dalam pemikiran dia (baca: lama).

Implikasi dari posisi epistemologis Adornoian terhadap pemahaman krisis kapitalisme-neoliberal sekarang ini adalah pentingnya untuk tidak terjebak dalam termin-termin baru mengenai krisis itu sendiri, seperti krisis (sekarang adalah murni) finansial, moneter, surat utang, dan lain-lain. Alih-alih, termin-termin tersebut harus ditempatkan secara struktural dalam penjelasan mengenai krisis kapitalisme itu sendiri. Posisi epistemologis ini penting dikarenakan sasaran utama dari penjelasan situasi apapun selalu harus mengarahkan pisau analisanya pada akar masalahnya itu sendiri, untuk kemudian mentransformasi akar masalah tersebut menjadi kesempatan bagi emansipasi kemanusiaan.

Terkait dengan hal tersebut, Kapitalisme-neoliberal yang digadang-gadang sebagai ‘akhir sejarah’ harus mengalami ‘masalah lama’ yang selalu merupakan bagian dari dinamika kapitalisme itu sendiri. Kondisi seperti ini tentu saja adalah situasi yang sangat menarik. Pertanyaan-pertanyaan serta keberatan-keberatan yang muncul terhadap doktrin resmi kapitalisme-neoliberal mengenai bagaimana cara mengorganisasikan masyarakat adalah situasi kontestasi ideologi yang sangat penting, khususnya sebagai upaya untuk keluar dari upaya untuk mempertahankan kondisi yang ada (status quo).

Mengatasi dan menjawab permasalahan dari kapitalisme-neoliberal dan memberikan jawaban alternatif terhadap sistem tersebut memang tidak mudah. ‘Adalah lebih mudah untuk bersimpati terhadap kesengsaraan manusia daripada kepada pemikiran’, demikian kata Oscar Wilde dalam bukunya The Soul of Man under Socialism, yang juga dikutip oleh Slavoj Zizek. Merasa ‘kasihan’ terhadap rakyat yang dihantam krisis dan mencoba meringankan beban mereka dengan sumbangan, dana bantuan langsung tunai, dan kebijakan-kebijakan ‘Keynesian’ adalah lebih mudah, dibanding berpikir mengenai sistem alternatif apa, bagaimana bentuknya, dan pengorganisasian masyarakat macam apa yang diperlukan untuk mewujudkan jawaban alternatif. Oleh karena itu, usaha untuk terus berpikir, berorganisasi, dan berlawan terhadap kapitalisme, terutama dalam varian neoliberalnya justru menjadi sebuah keniscayaan dan kebutuhan bagi masyarakat kita.

Dinamika itulah, yang akan dikupas secara mendalam dalam Jurnal IndoPROGRESS edisi kali ini. Edisi ini akan membahas neoliberalisme kurang lebih dalam empat aspek, yaitu tentang apa itu neoliberalisme, krisis neoliberalisme, gerakan massa menentang neoliberalisme, dan liputan tanggapan berbagai tokoh terkemuka tentang neoliberalisme. Beberapa rubrik lainnya juga tidak kalah menarik, seperti rubrik Sosok, yang akan membahas tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah gerakan kaum progresif, Liputan Khusus, yang akan memberikan reportase mendalam mengenai krisis neoliberalisme di sejumlah tempat, Resensi Buku, yang akan membahas buku-buku progresif terbaru, dan rubrik Gagasan, yang merupakan kajian akademik sejumlah persoalan berkaitan dengan neoliberalisme secara mendalam.

Untuk menutup, kami ingin berpesan bahwa membaca, menulis, dan mengkaji tentang neoliberalisme hanyalah satu langkah kecil. Pada akhirnya, pengetahuan kita akan krisis dan kapitalisme bukan hanya bermanfaat untuk menambah wawasan kita, namun juga untuk menginspirasi perlawanan dan menjadi pedoman dalam bertindak. Dalam semangat itulah, kami menyajikan edisi Jurnal IndoPROGRESS kali ini.

Selamat Membaca dan Salam. ¶

Untuk pemesanan hubungi: resistbook[at]gmail.com

http://indoprogress.com/indoprogress-iii-januari-2013/

Kata Pengantar untuk IP Versi Cetak, Januari 2012

Sumber: http://indoprogress.com/ip2januari2012/

Dari Redaksi

Dengan gembira, kami kembali hadir menyapa Anda, pembaca yang terhormat. Dengan terbitnya edisi II IndoPROGRESS versi cetak ini, kami membuktikan sanggup melewati ‘kutukan’ penyair kondang Chairil – si binatang jalang – Anwar, ‘setelah berarti sesudah itu mati.’

Dalam edisi kali ini, kami mengangkat tema utama ‘Merayakan Perdebatan.’ Seluruh artikel yang terhimpun dalam tema utama ini, telah muncul dalam IndoPROGRESS versi online. Dengan memunculkan tema Perdebatan ini, kami ingin merangsang bangkitnya kembali tradisi perdebatan ilmiah yang pernah menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan pergerakan dan intelektual di negeri ini.

Kemudian, mulai edisi ini kami mulai menggabungkan antara artikel opini yang bersifat advokasi, dengan artikel yang ditulis dengan lebih mendalam dan sistematis sesuai standar akademik, yang dimuat dalam rubrik Gagasan. Melalui kombinasi ini, kami berharap IndoPROGRESS menjadi jurnal yang bisa memfasilitasi kebutuhan pergerakan sekaligus wadah refleksi dan pengembangan pemikiran kiri yang berwibawa.

Selebihnya, seperti pada edisi perdana, tersedia rubrik Sosok, Liputan Khusus, dan Resensi Buku, tetap dipertahankan.

Oh ya,  kabar gembira lainnya, kalau Anda tengok jajaran redaksi IndoPROGRESS, kini telah bergabung Anto Sangaji, Airlangga Pribadi, Fahmi Panimbang, Iqra Anugrah, dan Martin Suryajaya. Anto kini sedang dalam tahap penulisan disertasi doktoral di York University, Kanada; sementara Airlangga adalah mahasiswa doktoral di Murdoch University, Australia; Fahmi Panimbang adalah direktur riset di Asia Resource Monitoring Center (ARMC), yang berbasis di Hongkong. Adapun Iqra Anugrah adalah mahasiwa tingkat master di Ohio University, Amerika Serikat, sedangkan Martin Suryajaya adalah mahasiwa tingkat master di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Kami berharap, dengan komposisi jajaran editorial seperti ini, maka IndoPROGRESS bisa terus hadir secara reguler dan makin berkualitas. Tujuannya, tidak lain untuk membantu pembangunan gerakan progresif di Indonesia.

Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada para penulis edisi kali ini.

Selamat membaca.¶