Universalitas Praksis Perjuangan

http://www.indoprogress.com/2015/universalitas-praksis-perjuangan/

TINGGAL di dunia saat ini, wa bil khusus tinggal di Indonesia, membutuhkan tingkat kesabaran dan kewarasan yang cukup tinggi. Mengapa demikian? Karena, setiap detiknya seakan-akan kita dibombardir dengan sejumlah berita yang membuat kita mengernyitkan dahi, mengepalkan tangan, atau menghela nafas panjang. Seakan-akan hidup adalah rentetan penderitaan yang tidak ada habisnya. Seakan-akan sejumlah isu seperti persoalan hukuman mati, korupsi, konservatisme dan fundamentalisme keagamaan dalam bentuknya yang vulgar, pengungsi Rohingya, instabilitas politik di Timur Tengah, perampasan tanah, hingga perjuangan kelas merupakan persoalan-persoalan yang terpisah satu sama lain.

Sesungguhnya, untuk bergerak melampaui kefrustasian tersebut, kita hanya perlu bergerak sedikit lebih jauh saja.

Kali ini, saya akan berfokus kepada empat persoalan yang sempat dan sedang menjadi bahan pembicaraan orang akhir-akhir ini: perjuangan kelas dan konservatisme keagamaan di Indonesia, penanganan isu pengungsi Rohingya, hingga prahara politik di Timur Tengah. Sepintas, sejumlah hal tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Tetapi, pembacaan dan analisa yang lebih ketat atas sejumlah persoalan tersebut dapat menyadarkan kita bagaimana sesungguhnya persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian dari permasalahan struktural yang lebih mendalam.

Lihat, misalnya, soal perkembangan perjuangan kelas di tanah air akhir-akhir ini. Wacana soal partai alternatif yang sempat mengemuka beberapa saat di kalangan gerakan buruh, merupakan sebuah contoh menarik yang dapat kita kupas lebih lanjut. Bagi saya, perkembangan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya terdapat evolusi dalam kesadaran politik rakyat pekerja di Indonesia. Rekam jejak perjuangan kelas pasca reformasi tak ubahnya sebuahprotracted struggle dalam kondisi non-insurgensi: ada kemajuan gerakan di satu sisi, ada juga kemunduran gerakan di sejumlah hal lain. Kesadaran politik rakyat pekerja Indonesia tidak serta merta berubah dari kesadaran sebagaiclass in itself (klasse en sich) yang bersifat teratomisasi, individual, dan parsial menuju kesadaran sebagai class for itself (klasse für sich) yang melampaui pengalaman-pengalaman invididual dan parsial menuju aksi politik kolektif yang sadar dan terorganisir, meskipun arah menuju ke sana cukup terlihat.

Bahwa wacana politik progresif seperti ini mulai bermunculan patut kita syukuri, tetapi itu saja tidak cukup. Dapat kita lihat bahwa diskursus dan imajinasi politik publik pada kenyataannya seringkali masih didominasi oleh diskursus-diskursus yang reaksioner, sebagaimana dapat kita lihat dari bentuk-bentuk konservatisme keagamaan yang cukup vulgar kali-kali ini, mulai dari sentimen anti-Syi’ah hingga sinisme terhadap pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Fenomena ini tentu tidak muncul begitu saja: familiaritas atas kekayaan khazanah Islam Nusantara perlahan-lahan hilang digantikan dengan kejumudan beragama tingkat tinggi di tengah-tengah absennya suatu gagasan kebudayaan dan politik alternatif. Dalam konteks negara kapitalis pinggiran seperti Indonesia, di mana banyak warga kelas menengah dengan pandangan hidup yang senantiasa ambivalen, kadang maju tapi lebih sering reaksioner, maka gagasan-gagasan vulgar macam sentimen anti-Syi’ah dan kecenderungan menyesatkan orang dapat menjadi jalan pintas, shortcut yang mudah bagi banyak orang. Di sini, saya tidak menihilkan agensi atau kemampuan manusia untuk memilah-milih gagasan dan praktek-praktek kebudayaan dan keagamaan, tetapi dalam suatu kondisi struktural tertentu maka ide-ide reaksioner yang saya sebut di atas dapat menemukan gaungnya.

Kontradiksi-kontradiksi semacam ini tidak hanya dapat kita lihat di dalam konteks politik domestik tetapi juga dalam dinamika politik luar negeri. Ambil contoh misalnya soal kasus pengungsi Rohingya akhir-akhir ini. Ribuan pengungsi Rohingya terpaksa terombang-ambing di laut lepas sebelum tekanan dari dunia internasional memaksa negara-negara Asia Tenggara untuk menampung orang-orang Rohingya – entah untuk tujuan kemanusiaan atau sekedar untuk menyelamatkan muka. Sementara ribuan saudara dan saudari mereka terlantar di laut lepas, nasib orang-orang Rohingya di Burma sendiri tidak jauh lebih baik: mereka mengalami persekusi, kekerasan, dan diskriminasi yang berlapis, baik secara ekonomi, politik, dan sosial, dari negara dan kelompok-kelompok Buddhis fundamentalis di sana. Melihat persoalan ini, maka bolehlah kita berujar sinis bahwa nampaknya yang ‘kosmopolitan’ dari pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara dan asosiasi regional yang menaunginya, ASEAN, hanya dua, yaitu kecenderungan otoritarianisme politik dan penghisapan rakyat pekerja melalui penetrasi neoliberalisme dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Contoh lainnya adalah instabilitas politik yang makin menjadi-jadi di Timur Tengah. Belum selesai persoalan ISIS, kawasan tersebut dihadapkan oleh dua persoalan yang tidak kalah gentingnya: invasi bersama Arab Saudi dan Amerika Serikat melawan pemberontak Houthi di Yaman dan penetapan hukuman mati bagi mantan presiden Morsi di Mesir. Jelas bahwa dalam konteks dua kasus ini sisa-sisa despotisme lama di Timur Tengah yang bersekutu dengan atau difasilitasi oleh gelombang imperialisme baru akhirnya melanggengkan praktek-praktek kekuasaan represif dalam bentuknya yang paling brutal.

Persoalan-persoalan ini dalam banyak hal memang sangat berbeda. Konteks di mana berbagai persoalan ini muncul juga jauh berbeda. Namun, bukan berarti kita tidak bisa menarik sebuah benang merah dari persoalan-persoalan ini. Justru di titik inilah menjadi penting bagi kita untuk mengabstraksikan persoalan-persoalan ini untuk melampaui partikularitasnya, merumuskan analisa yang lebih komprehensif, dan syukur-syukur merumuskan praksis bersama yang universal.

Pertama, sejumlah persoalan ini kembali mengingatkan kita bahwa sejarah pembentukan negara modern, yang terutama ditandai dengan bentuk-bentuk kedaulatan dalam kerangka Westphalian, adalah sejarah ekstrasi berbagai sumber daya, pendisiplinan warga, dan ‘racikan’ yang pas antara ekspansi kapital dan penggunaan kekerasan, sebagaimana dijelaskan secara gamblang oleh sosiolog politik terkemuka, almarhum Charles Tilly (1990), dalam salah satu karya utamanya, Coercion, Capital, and European States. Karenanya, tak heran apabila Tilly (1985) sebelumnya berargumen bahwa sesungguhnya pembentukan negara modern tak ubahnya praktek premanisme yang terlembaga. Tugas gerakan progresif adalah memahami logika ini, menghancurkannya, dan melampauinya, sehingga kedaulatan ‘modern’ berubah fungsinya dari organ ekstratif dan koersif dan diletakkan dalam mekanisme kontrol secara bebas dan langsung oleh rakyat pekerja.

Kedua, bahkan seandainya Marx dan Polanyi tidak pernah ada untuk menjelaskannya secara rinci kepada kita, kita lagi-lagi menyaksikan kecenderungan progresif dari rakyat pekerja untuk melawan logika ekstraktif murni ala mekanisme pasar dan sentralisme negara dan pranata-pranata politik dan hukum yang melegitimasikannya. Upaya-upaya untuk memunculkan diskursus dan intervensi politik alternatif dan progresif dan solidaritas yang dipraktekkan oleh orang-orang biasa untuk menyelematkan pengungsi Rohingya adalah sejumlah contoh bagaimana tendensi progresif tersebut bukan hanya mungkin tetapi juga nyata adanya. Kedepannya, tendensi politik tersebut perlu dikembangkan lebih jauh lagi untuk pemenuhan agenda-agenda progresif.

Ketiga, persoalan-persoalan ini menunjukkan bahwa, terlepas dari berbagai perbedaannya, sejumlah masalah yang saya sebut di atas sesungguhnya merupakan bagian dari gugusan-gugusan persoalan yang saling berkaitan satu sama lain. Maraknya konservatisme dan fundamentalisme keagamaan di ruang publik tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan sejauh mana diskursus politik progresif yang dirumuskan oleh dan memperjuangkan kepentingan rakyat pekerja memenangi kompetisi gagasan di ruang publik. Acuh dan diamnya banyak pihak terhadap apa yang terjadi di Burma dan Timur Tengah erat kaitannya dengan sejauh mana kosmopolitanisme sejati, yang melampaui logika otoritarianisme negara dan perampasan pasar, dalam bentuk solidaritas antar sesama kaum yang tertindas, bergaung di ranah internasional.

Implikasinya, ini menunjukkan bahwa kita tidak lagi bisa menganalisa berbagai persoalan-persoalan di dunia secara parsial. Persoalan-persoalan tersebut harus dan perlu dilihat sebagai bagian dari totalitas sebuah epos modernitas yang kita tinggali dan alami sekarang ini, yaitu modernitas kapitalis. Tugas bagi kaum progresif adalah untuk melakukan analisa yang komprehensif terhadap berbagai persoalan tersebut sebagai bagian dari totalitas persoalandan merumuskan intervensi-intervensi politik yang memungkinkan relasi-relasi sosial yang menindas digantikan oleh praktik-praktik sosial yang emansipatoris.

Untuk menuju ke arah sana, kita perlu memahami persoalan-persoalan tersebut dan merumuskan solusi terhadapnya sebagai bagian dari universalitas praksis perjuangan kaum yang tertindas.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/rakyat-jelata-sejarah-dan-perjuangan/

SEORANG pejabat terkemuka di Republik kita baru saja meninggal dunia. Kepergiannya langsung disambut oleh ratusan pesan pendek, ucapan belasungkawa, liputan yang ekstensif dari media massa dan barisan karangan bunga. Perlu dicatat, saya tidak sedang mempermasalahkan ucapan belasungkawanya, yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban kita sebagai manusia. Yang saya persoalkan lebih pada glorifikasi atas pejabat tersebut.

Belum lama ini juga, di tengah-tengah kebingungan para elit Indonesia atas ‘krisis kepemimpinan’ di antara mereka, beberapa figur pejabat publik dengan ‘reputasi internasional,’ yang memiliki ‘integritas’ dan ‘profesionalisme’ digadang-gadang sebagai ‘figur alternatif’ untuk pemilu presiden 2014 mendatang. Berbagai tokoh alternatif ini, terlepas dari berbagai perbedaan mereka, memiliki satu kesamaan: para pendukungnya selain datang dari kelompok elit predatoris dan kelas menengah reaksioner, atau gabungan dari keduanya.

Di saat hiruk-pikuk dan gegap-gempita ucapan belasungkawa, transaksi politik dan proses saling dukung mendukung, serta manuver-manuver politik menjelang ajang pemilu, kita menyaksikan betapa semakin langkanya pemberitaan mengenai rakyat miskin yang meninggal karena kelaparan, buruh yang mengalami ketidakadilan kerja, kaum tani yang dirampas haknya, hingga kelompok minoritas keagamaan yang terusir dari rumah ibadah dan kampungnya sendiri. Tuduhlah saya sebagai seorang romantik, namun saya pikir kita patut kesal terhadap keadaan ini. Karena itu selama koran, televisi dan media masih melaporkan pertumbuhan dan bukannya kesenjangan ekonomi, naik-turunnya harga saham dan bukannya harga-harga kebutuhan pokok, upacara dan penghargaan para pejabat dan bukannya pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik warga biasa dan menganggap kemiskinan serta pelanggaran HAM sebagai statistik belaka, maka kita patut kesal – dan karenanya kita, rakyat jelata, perlu menulis sejarah kita sendiri.

***

Fenomena glorifikasi elit, usianya jauh melampaui umur Republik. Juga bukan cerita eksklusif Indonesia semata. Dalam berbagai narasi tentang perang dari zaman Kekaisaran Romawi hingga invasi Iraq, sejarah pada dasarnya adalah cerita yang didominasi oleh para elit. Sejarah dan politik bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ para tokoh yang menggerakkan roda zaman dan perubahan. Rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan sejarah. Parahnya lagi, kultus individu dan mesianisme merebak terus.

Penyakit ini juga menjangkiti semua kelompok: Stalin mengkhianati Revolusi Bolshevik; Partai Komunis Cina mempromosikan Neoliberalisme di China; Revolusi Iran menghasilkan rezim yang represif; dan berbagai gerakan pembebasan nasional menghasilkan negara-negara poskolonial dengan berbagai macam masalah yang tak kunjung usai.

Agar kita tidak terlalu lama mengernyitkan dahi dan mengelus dada, mari kita mencari petunjuk ke dunia lain: seni dan sastra.

Seni dan sastra bisa menjadi sumber inspirasi bagi perjuangan dan kritik terhadap mereka yang berkuasa. Namun, ia tak melulu berbicara mengenai hal-hal yang ‘berat,’ seperti politik dan partai. Justru, seni dan sastra terkadang banyak berbicara mengenai keindahan dan kejenakaan dari hal-hal yang bersifat keseharian – hal-hal yang kemudian menjadi pendorong pergerakan dan pengingat akan pentingnya perjuangan.

Tak percaya? Coba simak kisah Alberto ‘Mial’ Granado dan Ernesto ‘Fuser’ Guevara dalam kisah The Motorcycle Diaries. Ini adalah catatan harian Fuser, kemudian diangkat menjadi film, yang berkisah tentang petualangan dua anak muda nekat ‘menaklukkan’ jalanan benua Amerika Latin dengan mengendarai motor.  Melalui petualangan itu, Fuser – yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘Che’ (‘kawan’ dalam Bahasa Spanyol dialek Argentina) Guevara – dan Mial, mendulang banyak sekali inspirasi dari pertemuan dengan ‘orang-orang biasa’ dari berbagai negara dan karya-karya sastra yang mengangkat kehidupan orang-orang biasa tersebut. Dalam buku hariannya itu, Che bercerita bagaiamana ia kerapkali meluangkan waktu untuk membaca puisi-puisi karya Federico Garcia Lorca atau Pablo Neruda. Di versi layar lebarnya, Che digambarkan sering melantunkan barisan-barisan puisi, kemudian Mial atau orang yang kebetulan mereka tumpangi kendaraannya, akan menebak-nebak: Garcia Lorca? Neruda?

Kebetulan, dua penyair berbahasa Spanyol itu memiliki kesamaan dalam kegemaran mereka mengangkat cerita dan kisah sederhana tentang alam, tradisi, dan kehidupan rakyat jelata.

Dari negeri sendiri, coba simak syair dan puisi dari Wiji Thukul, seorang intelektual organik kelas pekerja Indonesia. Thukul dikenang karena orisinilatas dan militansinya, yang terpatri dalam frase dan ungkapan seperti ‘hanya ada satu kata, lawan!’ atau ‘aku pengin meledak sekaligus jadi peluru’. Namun, orang lupa dengan sisi Wiji Thukul yang lain. Dalam pengantarnya dalam salah satu buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Mencari Tanah Lapang, Arief Budiman mengungkapkan bahwa Wiji ‘Bukan mau menjadi pahlawan kaum miskin di dunia ini. Dia cuma mau bercerita tentang nasibnya yang tidak kunjung bertambah baik.’ Berangkat dari keinginan yang sederhana ini, ‘tiba-tiba Wiji Thukul menjadi penyair nasional…juga internasional. Padahal Wiji Thukul cuma ingin menulis puisi kampung.’

Dalam dunia seni lukis, ada juga Affandi. Pelukis yang sering dilabeli sebagai bagian dari aliran ekspresionisme itu, suatu label yang seringkali ia pertanyakan, sering mengangkat tema-tema sederhana, seperti para pengemis, orang-orang tak berumah, atau terkadang dirinya sendiri.

***

Kembali ke perbincangan kita sebelumnya soal sejarah. Dalam pandangan saya, para seniman tersebut adalah pengingat: perubahan tidak selalu berasal dari hal-hal ‘besar’ dan ‘berat.’ Ia tidak selalu identik dengan sejumlah tangan yang mengepal di udara, atau suara-suara lantang yang menyanyikan lagu-lagu mars perjuangan. Terkadang, ia berangkat dari hal-hal yang sederhana, seperti menyapa dan belajar dari banyak orang biasa, dari mereka yang terpinggirkan dan dianggap ‘tidak tahu apa-apa’ oleh paradigma developmentalis ala teori modernisasi dan ambivalensi kelas berpunya dan kelas menengah.

Oleh karena itu, sejarah tidak musti melulu bercerita tentang ‘orang-orang besar’ yang mengubah dunia. Ia juga bisa bercerita tentang para buruh dan tani, kaum budak, masyarakat asli dan berbagai kaum minoritas lainnya yang terpinggirkan dalam sejarah. E.P. Thompson, sejarawan Marxis terkemuka asal Inggris, misalnya, dalam magnum opus-nya, The Making of the English Working Class, membahas tentang kelas bukan hanya sebagai kategori sosial, namun juga sebagai proses dan kesamaan pengalaman yang kemudian membentuk suatu identitas kelas buruh di Inggris. Thompson mengingatkan kita bahwa kelas buruh bukanlah sebuah kategori statistik atau abstraksi teoretik belaka, melainkan sebuah entitas sosial yang hadir dan tumbuh karena suatu proses sejarah. Ada agency atau peranan kelas buruh itu sendiri di sana.

Dalam kajian-kajian tentang kaum petani, James C. Scott dan Benedict Kerkvliet juga menunjukkan bagaimana kaum tani, di tengah-tengah proses eksploitasi yang dilakukan oleh institusi negara dan pasar, rupa-rupanya mampu melakukan perlawanan, meskipun secara kecil-kecilan dan simbolik, melalui apa yang disebut sebagai everyday forms of resistance atau perlawanan keseharian, seperti tindakan mengemplang pajak, mengurangi jumlah dan kualias setoran hasil panen wajib, dan lain sebagainya. Beberapa kajian antropologis, seperti yang diungkapkan oleh antropolog radikal David Graeber dalam rekaman kuliahnya, juga menunjukkan bagaimana praktek-praktek politik di beberapa kelompok masyarakat adat membuka peluang bagi bentuk-bentuk praktek politik yang lebih demokratis, deliberatif dan egaliter – seperti proses rapat dan pengambilan keputusan yang meskipun memakan waktu lama, namun memastikan bahwa setiap anggota komunitas mendapat kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan berkontribusi.

Namun, ada pertanyaan penting yang terlewatkan di sini: berangkat dari cerita tentang perubahan dan perlawanan yang bersifat lokal dan partikular, tidakkah kita melewatkan ‘tujuan utama’ kita untuk melakukan transformasi sosial yang lebih besar? Menurut saya, ini pertanyaan yang cukup mengena. Gugusan perjuangan yang bersifat lokal harus bertransformasi menuju perjuangan yang bertujuan dan berskala lebih besar. Tetapi, dalam hemat saya, beberapa hal perlu diperhatikan di sini.

Pertama adalah tantangan dalam melewati dan melampaui logika negara. Sejarah menunjukkan, seringkali perebutan institusi negara oleh gerakan rakyat tidaklah cukup. Dari berbagai kajian mengenai negara, saya pikir buku James C. Scottt, Seeing Like a State, adalah pengingat yang baik tentang bagaimana perebutan institusi negara oleh kaum High Modernists atau ‘Modernis Tinggi,’ mereka yang percaya akan proses pembentukan negara (state formation) dan pembangunan yang bersifat top-down, dengan segala variasinya, pada akhirnya justru akan melemahkan dan bahkan melumpuhkan gerakan rakyat itu sendiri. Scott kemudian berkesimpulan bahwa proses-proses politik membutuhkan penghargaan akan metis atau pengetahuan yang bersifat lokal – tentunya tanpa terjebak oleh ‘idealisasi’ dan pandangan yang esensialis atas apa-apa yang disebut sebagai pengetahuan lokal tersebut.

Kedua, perlawanan dan narasi yang bersifat lokal, particular, dan keseharian sesungguhnya bisa ditempatkan dalam narasi sejarah yang bersifat lebih besar dan universal. Tiap-tiap tempat dan daerah punya ‘hukum’ dan konteksnya sendiri, namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil abstraksi dan refleksi dari gugusan perlawanan lokal tersebut. Perlawanan dan narasi ‘kecil-kecilan’ ini sesungguhnya merupakan bagian dan kesinambungan dari apa-apa yang dilakukan oleh kaum Jacquaries di Perancis, levellers dan chartists di Inggris, dan petani penggarap serta masyarakat adat mulai dari zaman Yunani Kuno hingga di berbagai belahan Dunia Ketiga.

Tentunya, perlawanan juga adalah proses dan praktek pembelajaran. Kita musti berhati-hati agar ia tidak terjebak menjadi semacam ‘ratu-adil-isme’ atau romantisme ala anak muda yang baru belajar. Untuk mengujinya, tentu tidak bisa hanya sekedar bergelut di ranah produksi pemikiran atau diskusi wacana-wacana terbaru. Karenanya politik menjadi keniscayaan dan proses yang senantiasa dialektis.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Walter Benjamin mengingatkan bahwa selain optimisme akan masa depan yang lebih baik, kita juga perlu mengaitkan ‘yang sekarang’ (the present) dengan ‘yang lalu’ (the past). Kenangan akan kekalahan dan terkubur dalam narasi sejarah juga akan mendorong kita melangkah lebih jauh.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc