Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

APA tugas dan peranan kaum pekerja “non-tradisional” – aktivis, organizer, intelektual, peneliti, dan bermacam rupa kelas menengah yang bersolidaritas – dalam kehidupan dan upaya-upaya kolektif rakyat pekerja? Bisa dikatakan ini merupakan salah satu pertanyaan utama bagi gerakan progresif di seluruh dunia. Pertanyaan ini penting karena jawaban atasnya memiliki implikasi penting bagi dinamika internal dan trajektori dari gerakan progresif – terutama dalam hal hubungan antara rakyat pekerja, unsur-unsur pimpinan dalam gerakan, dan sekutunya – yang seringkali berlatar belakang bukan dari proletariat tradisional?

Ini adalah pertanyaan yang menghantui banyak middle-class allies dalam gerakan progresif, termasuk saya. Dalam tataran yang lebih praktis, pertanyaan tersebut dapat diparafrasekan seperti ini: bagaimana kaum pekerja non-tradisional dapat terlibat, bergumul, dan akhirnya mengerti realita sosialnya rakyat pekerja?

Pelan-pelan saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut di sela-sela penelitian disertasi saya. Dari amatan dan keterlibatan saya dalam kehidupan rakyat desa selama berbulan-bulan di Banten dan Sulawesi Selatan, saya mencoba untuk memahami dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh rakyat desa sehari-hari dan memikirkan ulang mengenai hubungan saya sebagai, katakanlah, peneliti kelas menengah yang simpatik dengan mereka. Saya menganggap, apa saya lakukan merupakan fardu kifayah – kewajiban bagi sebagian orang, terutama bagi yang berpengetahuan dan sadar atas pentingnya tugas tersebut.

Untungnya, saya tidak sendirian. Dalam antropologi, tradisi penelitian etnografis yang mengandalkan teknik pengamatan partisipatif (participant observation), yang mengharuskan seorang peneliti untuk tinggal di suatu komunitas dan going native merupakan fondasi dalam bidang keilmuan tersebut. Di gerakan Kiri, ada sejumlah teladan yang coba mengamalkan prinsip ini. Pertama tentu saja ada Frederick Engels, yang melakukan sebuah amatan antropologis dalam salah satu karya klasiknya, The Condition of the Working Class in England.Saya bayangkan Engels muda, yang pada waktu itu masih berusia 24 tahun dan bekerja di salah satu cabang perusahaan kapas milik ayahnya di Manchester, dengan ditemani Mary Burns berjalan-jalan di kampung-kampung kota yang kumuh di mana kaum buruh tinggal,mengobrol dan mencoba menjalin hubungan yang akrab dengan para buruh dan aktivis revolusioner di masanya. Saya bayangkan ada pertemuan antara letupan semangat masa muda, pemahaman yang mulai terbentuk mengenai sebuah dunia yang lebih baik, dan kemampuan untuk menerapkan prinsip dan metode ilmiah dalam melakukan suatu investigasi.

Dalam gerakan Kiri, prinsip ini kemudian dicoba diterapkan sebagai upaya untuk membangun tradisi ilmiah dan mempercepat pembangunan organisasi. Di Indonesia, PKI dan BTI mencoba melakukan riset-riset etnografis revolusioner untuk menjawab persoalan-persoalan agraria berdasarkan prinsip “tiga sama, empat jangan, empat harus” – sama kerja, sama makan, dan sama tidur; jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat setempat, dan belajar dari kaum tani. Ini dilakukan sebelum reflexive ethnography, participatory action research, dan segala jargon serta metode penelitian-penelitian yang menonjolkan aspek keterlibatan peneliti menjadi nge-tren – dan terkadang dipelintir untuk melancarkan pelaksanaan agenda-agenda developmentalis di pedesaan. Di Vietnam, prinsip ini juga dikenal dengan nama “tiga bersama” (three togethers), yang menjadi strategi inti dalam pembangunan partai, mobilisasi massa, dan kampanye reformasi pertanahan di sana.

Bagi para ‘sekutu kelas menengah’ rakyat pekerja, ini berarti kemauan untuk melakukan proses amatan-penelitian-keterlibatan yang menyeluruh dan terintegrasi dengan kehidupan sosial rakyat pekerja dan keharusan untuk memiliki kemampuan mencatat yang tekun dan rapih, yang prosesnya haruslah transparan dan sebisa mungkin melibatkan guru kita – rakyat pekerja – dalam pelaksanannya. Ini bisa dimulai dengan melakukan self-criticism yang cukup keras terhadap diri kita.

Saya misalnya, musti mengakui dengan jujur bahwa ada sejumlah bias dan keterbatasan saya sebagai seorang warga kelas menengah kota laki-laki dan heteroseksual yang beragama dan berlatarbelakang etnis mayoritas. Saya tidak bisa mencangkul dan melakukan kerja-kerja produksi di bidang pertanian misalnya. Atau memahami sejumlah kebingungan dan permasalahan yang dihadapi oleh ibu-ibu desa ketika mendadak anaknya demam setelah diberikan vaksinasi, mengurus administrasi dan biaya pengobatan di rumah sakit, atau menjelang kelahiran. Namun ini bukan berarti menjadi alasan bagi saya untuk kemudian tidak mencoba membangun hubungan profesional yang intens dan pertemanan yang tulus dengan rakyat desa.

Konsekuensinya, berarti adalah kewajiban bagi saya untuk sebisa mungkin terlibat, melakukan amatan yang dekat, dan menuliskan pengalaman dan narasi dari para warga desa. Konkretnya, ini berarti kemauan untuk menyapa dan berbincang-bincang dengan para tetangga, membantu tetangga memperbaiki pagarnya yang rusak, mencoba berkebun, menghadiri kawinan, pengajian, tahlilan, dan segala rupa hajatan, bertamu dan berbincang-bincang dengan penghulu, guru ngaji, petani, tukang jahit, dan sopir, nongkrong dengan pak RT dan pak RW dan memperhatikan apa saja persoalan-persoalan di lingkungan sekitar yang mendesak, mendengarkan cerita dan keluhan dari kawan-kawan buruh muda mengenai kondisi kerja di pabrik, dan lain sebagainya. Juga kemauan untuk memahami sense of humoryang luar biasa dari para warga desa dalam menertawakan himpitan hidup yang dialami mereka setiap harinya dan sinisme terhadap mereka yang berkuasa (termasuk misalnya gosip dan kritik-kritik halus ibu-ibu desa terhadap suami-suami mereka). Dan tentu saja, di daerah-daerah di mana konflik agraria terjadi, kemauan untuk mendengarkan dan mencatat cerita tentang perampasan, perlawanan, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh rakyat desa menghadapi penindasan, mulai dari menceramahi polisi, demonstrasi, hingga upaya-upaya pendudukan lahan.

Sebisa mungkin, proses ini haruslah transparan, partisipatif, dan dialektis. Ini berarti seorangmiddle-class ally – katakanlah dalam hal ini seorang intelektual radikal – harus terbuka dan jujur dengan niat-niat dan tujuan-tujuan dari upaya penelitian yang dilakukannya. Ia juga harus memikirkan bagaimana baik di ranah teoretik maupun yang lebih berorientasi praxis hasil penelitiannya dapat berguna bagi pembangunan gerakan rakyat. Sebisa mungkin, seorang intelektual radikal harus mengkomunikasikan dan membagi hasil amatan dan analisanya kepada para narasumbernya – misalnya para aktivis lain dan rakyat pekerja yang berkomunikasi dengannya. Bahkan, jikalau diperlukan, seorang intelektual radikal bisa meminta bantuan narasumbernya untuk turut serta dalam proses penelitannya melalui hal-hal yang simpel seperti meminta narasumber untuk menuliskan pengalaman hidupnya secara singkat, mengecek catatan penelitian mengenai suatu kegiatan, atau meminta warga untuk mengambil foto dan video dan kemudian menceritakan mengapa dia mengambil satu momen atau peristiwa tertentu.

Dalam konteks interaksi yang lebih akrab, tidak tertutup kemungkinan seorang intelektual radikal mengajak narasumber utamanya untuk bersama-sama menuliskan sejarah kehidupan narasumber tersebut.

Perlu diingat bahwa dalam keseluruhan proses ini bukan berarti kita lantas terjebak dalam suatu bentuk perspektivisme dan solipsisme ekstrim dan mengabaikan abstraksi untuk memahami kondisi keseluruhan, totalitas dari sepotong realitas sosial yang coba kita amati. Seorang intelektual radikal tidak boleh terjebak pada fetisisme ‘keterlibatan’ maupun bayangan empirisisme. Seorang intelektual radikal tidak boleh lupa mencatat dan tidak mencoba melakukan abstraksi dari realitas-realitas empiris yang berada di hadapannya. Adalah tugas utama dari seorang intelektual radikal untuk melakukan investigasi dan abstraksi yang sistematis, jujur, dan ilmiah dari realita yang coba dipahaminya. Karenanya, komunikasi yang terbuka dengan rekan penggerak dan rakyat pekerja yang menjadi narasumber, untuk mencoba bersama-sama melakukan abstraksi dari berbagai macam dinamika dan proses yang dialami oleh para narasumber selama ini, menjadi sangat penting.

Dari sinilah, kemudian kita semua bisa belajar untuk bersolidaritas satu sama lain. Hampir absennya suara-suara yang berlandaskan pada akal sehat dan solidaritas terhadap apa yang terjadi kepada kawan-kawan Papua misalnya, sedikit banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di sana – mengenai ekspropriasi sumber daya alam dan represi yang dimungkinkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang semakin kolonialis dan apartheid. Tugas intelektual radikal dewasa ini adalah membangun basis pengetahuan yang valid untuk bersolidaritas. Karena hanya dengan itulah suatu visi politik emansipatoris – bahwa terlepas dari warna kulit, latar belakang etnisitas atawa kebangsaan, dan segala bentuk identifikasi sektarian dan primordialis lainnya – kita semua merupakan korban dari penindasan kelas.

Kuncinya satu: belajar, dan percaya kepada massa.

Percaya kepada massa.*** 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitlan dengan id @libloc

Talk on Publishing and Research Funding at PPIM UIN

This week I’ll be giving a talk on publishing and research funding at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM) at Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN) in South Jakarta on Thursday, July 21. The talk will be on publishing book reviews and review articles – a rather unheard genre in Indonesia – and funding for fieldwork/doctoral research for your researchers and lecturers at the Center. A good friend of mine who is also a researcher at the Center kindly invited me to share my experience. This is a part of their regular brownbag series on research and publication.

It’s such an honor to be invited by an esteemed institution like PPIM/UIN. I’m excited and looking forward to having discussion with colleagues at PPIM!

Let’s Get Your Field Notes Published

In the rat-race of academic publishing, one has to think and publish not only extensively but also strategically. This means before getting our journal article or book manuscript ready, we also have to get our ready-to-be-published materials arranged – which is always a challenge for many of us, mortals (for seasoned and outstanding experts this shouldn’t be a problem I guess).

One strategic way to have those materials ready is to get them published. This might sound unusual and a bit of risky. First, why should we publish them at all? Second, doesn’t this risk revealing too much about our ongoing research?

My answer to those concerns is why not? And rather than a burden, publishing field notes can help researchers, academics, intellectuals, journalists, and concerned citizens to get their ideas disseminated more widely. This will not only help them to get their voices heard and suggestions for their future inquiries but also “market” themselves as committed researchers and experts on their topics of interests.

The last point certainly helps for young scholars – like myself and many others.

There are many opportunities these days to get our “half-baked” materials published – be it field notes, photo essays, thoughts and reflections on recent debates and events, and many others. But one of the best venues to publish those materials, I think, is journals and academic blogs.

Of course, there are different outlets for different disciplines, but for Political Science and Southeast Asian Studies I can think of several leading outlets: PS-Political Science and Politics, Inside Indonesia, New Mandalaand Indonesia at Melbourneamong others. The first one is run by American political scientists whereas the other three are run mainly by the Australian folks. These are to-go outlets which provide space not only for academics but also other scholarly-inclined folks to publish “half-baked” materials and “hidden dimensions” of intellectual enterprise: field notes, photo essays, ideas and tentative conclusions of ongoing research, research and teaching experience, and the like. Getting them published, I think, helps us to move forward with our research. In some cases publishing those “side products” can even lead to, or speed up, publications.

So far I’ve got several field notes published in Indonesia at Melbourne (here) and New Mandala (here and here). I have another one forthcoming in ExplorationsAll of them are from my ongoing fieldwork. I hope to publish a couple more before completing my field research.

Another Case for Academic Blogging

After a while, I’ve come to the conclusion that academic blogging is worth-doing. I won’t rehearse the arguments here, as they have been explained thoroughly elsewhere (in here, here, and here for instance). Probably I’ll just sum up some good enough reasons for academics to blog: 1) testing one’s arguments and ideas 2) finding one’s “voice” and writing style 3) sharing one’s ideas to the general public in a more accessible fashion 4) boosting one’s confidence in research and writing, among others. Academic blogging is also useful as 5) a place to summarize one’s ideas and 6) a platform for future collaboration. Obviously the usual disclaimer applies: academic blogging should promote, and not hinder, the effort to produce scholarly writings.

Notice the prefix “academic” here, which means that academic blogging is to a good extent is a form of academic writing. Academic blog is not a personal blog. This does not mean that academic blog can’t be personal; in some contexts academic blog can be peppered with personal contexts, views, and experience, but it should be put in the context of professional academic writing.

I myself have been experimenting with various forms of blogs in the last couple of years. I found out that apparently I suck at personal blogging, but do a pretty good job at maintaining a professional blog (which serves as a virtual archive for my writings). This time I decided to “step up” and join the rank of academic bloggers out there (among Southeast Asianists some leading scholars have maintained this healthy habit, such as Adrian Vickers, Max Lane, Kevin Fogg, and Tom Pepinsky – several prominent economists such as Yanis Varoufakis and Greg Mankiw have their own blogs too).

So here it is, my latest experimentation with the newest trend in academia. More to come in the coming weeks.

Lecture Series in Makassar

From late May to early June I gave a series of guest lectures at several universities in Makassar – Hasanuddin University (Unhas), Muhammadiyah University of Makassar (Unismuh), and Bosowa University (Unibos) – on social science methodologies, trends in research on Indonesian Islam, and state-society relations in Southeast Asia respectively. I wrote a bit about the lecture at Unismuh here. The other two events were great too – at Unhas, I had a lot of fun discussing about social science methodologies and philosophy of science with academic colleagues (graduate students and lecturers, whereas at Unibos I managed to spark a pretty lively discussion on capitalist transformation and state-society relations in Southeast Asia with international relations students. Again, many thanks for colleagues and friends in Makassar for these opportunities!

Some promotional posters of the lectures can be found below:

13332939_10206346278565318_3950655108342933840_n

At Unhas (Photo credit: Muhammad Harisah)

13245430_1739232002988178_6751146723275273156_n

At Unibos (Photo credit: Unibos IR Department)

Coverage on Local Press of Recent Lecture Series in Makassar

Several local news portals in Makassar – GoSulsel, Makassar Terkini, and the famous Tribun Timur – recently covered a lecture on recent trends in studies of political Islam in Indonesia that I gave at the Government Department at Muhammadiyah University of Makassar. Much of the point that I made has been made here so I won’t rehearse it here. Unfortunately the coverage did not really elaborate the crux of my argument in layperson’s language, but nonetheless it is better than nothing. The articles can be found in here, here, and here.

This is a good tradition and I hope we can continue doing this in Indonesian academia. Special thanks to friends and colleagues in Makassar who kindly invited me to give a lecture.

May 10, 2014 Commencement and Awards Ceremony

http://polisci.niu.edu/polisci/announcements/studentnews/2014%20Commencement.shtml

The Department of Political Science celebrated it’s annual spring commencement and awards ceremony on Saturday, May 10th, at Boutell Memorial Concert Hall.  Almost 450 family members and friends came to cheer on the students as they were recognized for their academic achievements.

Iqra Anugrah – Dr. Russell W. Smith Memorial Scholarship for travel to Southeast Asia to complete field work as part of a faculty approved research project.

Click to access Summer%202014.pdf

Iqra Anugrah was the recipient of the Russell W. Smith Award, and he and John Grove received the Morton Frisch travel award.

UBL Motivasi Studi melalui Teleconference

UBL Motivasi Studi melalui Teleconference

RADAR LAMPUNG –  KAMIS, 14 MARET 2013  # POSTED BY: AYEP KANCEE

http://www.radarlampung.co.id/read/pendidikan/57415-ubl-motivasi-studi-melalui-teleconference

BANDARLAMPUNG – Universitas Bandar Lampung (UBL) menyelenggarakan teleconference tentang pengalaman studi program master (S2) dan doktor (S3) di luar negeri bagi dosen dan mahasiswanya kemarin sore (13/3). Hal ini bertujuan memperluas wawasan mereka terkait beasiswa studi di luar negeri.

Rektor UBL Dr. Ir. M. Yusuf Sulfarano Barusman, M.B.A. menuturkan, kegiatan ini bertujuan memotivasi dosen dan mahasiswa untuk terus melanjutkan studinya hingga tingkat yang paling tinggi di dalam maupun luar negeri. Itu sejalan dengan diwajibkannya peningkatan jenjang pendidikan di setiap profesi/pekerjaan saat ini.

’’Pendidikan tinggi sangat penting demi meningkatkan kualitas diri. Namun, banyak kendala yang ditemui dalam proses itu, salah satunya biaya, khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Untuk itu, UBL menyelenggarakan teleconference untuk berbagi informasi dan pengalaman buat mendapatkan beasiswa sebagai solusi atas kendala biaya tersebut,” papar Yusuf.

Wakil Rektor 1 UBL Prof. Dr. Khomsahrial Romli, M.Si. menambahkan dalam teleconference ini, mereka mengundang mahasiswa dari Indonesia yang sedang menempuh studi di luar negeri dengan beasiswa. Di antaranya Achmad Adhitya dari Royal Netherland Institute of Sea Research, Belanda; Purba Purnama dari Korean Advance Institute of Science and Technology, Korea; serta Iqra Anugrah dari Northem Illinois University, Amerika Serikat.

Ketiga narasumber dalam teleconference ini memberikan banyak informasi terkait beasiswa studi ke luar negeri. Di antaranya beasiswa formal yang berasal dari pemerintah, universitas, maupun pengusaha. Serta beasiswa nonformal yang didapatkan melalui kerja sama dengan profesor di perguruan tinggi mahasiswa yang bersangkutan. Yakni dengan menjadi asisten profesor tersebut dalam melakukan penelitian-penelitian.

Sementara itu, Fritz Akhmad Nuzir, S.T., M.A. (LA), salah satu dosen UBL yang telah memperoleh beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk melanjutkan studi ke Jepang akhir Maret mendatang mengungkapkan, sebagai kalangan akademisi, seharusnya tidak cepat puas dengan pendidikan yang telah diraih saat ini.

’’Hal yang sangat penting untuk meraih pendidikan tinggi adalah motivasi dari diri sendiri maupun orang lain yang lebih berpengalaman. Melalui teleconference diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peningkatan studi atau jenjang pendidikan setinggi-tingginya,” ujar Fritz. (rud/p3/c1/ade)

 

UBL Sharing Beasiswa Studi di Luar Negeri Melalui Teleconference

UBL Sharing Beasiswa Studi di Luar Negeri Melalui Teleconference
Universitas Bandar Lampung (UBL) menyelenggarakan Tele Conference tentang Pengalaman Studi Lanjut Program Master (S-2) dan Program Doctor (S-3) di Luar Negeri bagi seluruh Civitas Akademika UBL khususnya Dosen dan Mahasiswa yang bertujuan untuk memperluas wawasan baik dosen maupun mahasiswa terkait Beasiswa Studi di luar negeri pada Rabu sore (13/3), kemarin.

 

Rektor UBL, Dr. Ir. M. Yusuf Sulfarano Barusman, M.B.A., menuturkan bahwa dengan diwajibkannya peningkatan jenjang pendidikan di setiap profesi/ pekerjaan saat ini, menuntut setiap orang untuk terus meningkatkan jenjang pendidikannya. Untuk itu, kegiatan ini bertujuan untuk memotivasi seluruh Civitas Akademika UBL khususnya Dosen dan Mahasiswa untuk terus melanjutkan studinya hingga tingkat yang setinggi-tingginya baik di dalam maupun di luar negeri.

“Pendidikan tinggi sangat penting demi meningkatkan kualitas diri, namun banyak kendala yang ditemui dalam proses meningkatkan jenjang pendidikan. Salah satunya yakni kendala biaya khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Untuk itu, UBL menyelenggarakan Tele Conference ini untuk berbagi informasi dan pengalaman untuk mendapatkan beasiswa sebagai solusi atas kendala biaya tersebut,” papar Rektor UBL.

Senada, Wakil Rektor 1 UBL Bidang Akademik, Prof. Dr. Khomsahrial Romli, M.Si., juga mengungkapkan bahwa kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya untuk berbagai informasi dan pengalaman mengenai studi di luar negeri dengan beasiswa.

“Dalam Tele Conference ini kami mengundang mahasiswa yang berasl dari Indonesia yang sedang menempuh studi di luar negeri dengan beasiswa diantaranya Achmad Adhitya dari Royal Netherland Institute of Sea Research, Belanda, Purba Purnama dari Korean Advance Institute of Science and Technology, Korea, dan Iqra Anugrah dari Northem Illinois University, Amerika Serikat,” ujar Wakil Rektor 1 UBL.

Ketiga narasumber dalam Tele Conference ini memberikan banyak informasi terkait beasiswa studi ke luar negeri yakni beasiswa yang tersedia untuk melanjutkan studi di luar negeri diantaranya beasiswa formal yakni beasiswa yang berasal dari Pemerintah, Universitas maupun Pengusaha dan beasiswa non-formal yakni beasiswa yang didapatkan melalui kerjasama dengan Professor di Perguruan Tinggi Mahasiswa yang bersangkutan yaitu dengan  menjadi asisten professor tersebut dalam melakukan penelitian-penelitian.

Sementara itu, Fritz Akhmad Nuzir, S.T., MA (LA), salah satu Dosen UBL yang telah memperoleh beasiswa dari Pemerintah yakni Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk melanjutkan studi ke Jepang pada akhir bulan Maret mendatang mengungkapkan sebagai kalangan akademisi, seharusnya tidak cepat puas dengan pendidikan yang telah diraih saat ini karena dengan pendidikan yang tinggi tentu akan meningkatkan kualitas diri.

“Hal yang sangat penting untuk meraih pendidikan tinggi adalah motivasi dari diri sendiri maupun dari orang lain yang lebih berpengalaman. Melalui Tele Conference diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peningkatan studi atau jenjang pendidikan setinggi-tingginya,” ujar Fritz

Sumber: http://ubl.ac.id/news-a-article/1440-ubl-sharing-beasiswa-studi-di-luar-negeri-melalui-teleconference.html

Kata Pengantar – IndoProgress III Januari 2013

Indoprogress-3-Januari-2013_cover

Kata Pengantar

Muhammad Ridha dan Iqra Anugrah

‘KRISIS’ bukanlah termin yang asing dalam pengalaman khalayak di Indonesia. Pada tahun 1997, krisis ekonomi menghantam fondasi kemasyarakatan Indonesia. Hantaman tersebut memporakporandakan hampir seluruh dimensi kemasyarakatan. Tidak heran jika kemudian krisis ekonomi berimplikasi secara logis pada terjadinya bentuk-bentuk krisis yang lain, seperti krisis budaya, sosial bahkan politik.

Krisis ekonomi 1997 memberikan pemahaman kepada rakyat Indonesia bahwa rezim ekonomi politik otoriter Orde Baru Soeharto yang saat masih berkuasa, tidak bisa lagi dipertahankan. Rezim orba saat itu dinilai telah menjerumuskan mayoritas rakyat ke dalam jurang deprivasi dan kehancuran. Tidak heran jika kemudian momen krisis menjadi titik berangkat yang tidak dapat didatangi kembali bagi sejarah Indonesia, sehingga rakyat Indonesia bangkit melawan untuk menumbangkan rezim kekuasaan yang menyokong sistem ekonomi yang menghasilkan krisis. Pada tahap inilah massa rakyat terlibat aktif dalam panggung sejarah negeri ini.

Pada masa kekinian kita, krisis kembali masuk dalam perbincangan umum khalayak di Indonesia. Bedanya, krisis saat ini terjadi langsung di jantung kapitalisme itu sendiri, yakni Amerika Serikat. Ditandai dengan bangkrutnya Bank Investasi terbesar keempat di AS, Lehman’s Brother, karena gagal bayar kredit perumahan sekunder, ekonomi Amerika Serikat dihantam oleh krisis ekonomi yang serius. Imbas dari krisis ekonomi yang terjadi di AS segera merambat ke negara-negara lain. Yunani, Portugal, Spanyol dan Italia adalah negara-negara di kawasan Eropa yang mengalami dampak langsung dari krisis ekonomi di AS, yang membuat mereka kemudian harus terjerembab dalam krisis surat utang negara (sovereign debt)

Respon kelas kapitalis terhadap situasi krisis tersebut sesungguhnya sangat jelas: selamatkan kapitalisme dari para kapitalis, dan selamatkan para kapitalis dari kemarahan publik! Berbagai paket stimulus, stabilisasi kebijakan makroekonomi, pemangkasan anggaran-anggaran sosial dan bailout diberikan atas nama ‘penyelamatan’ ekonomi , sembari menyalahkan persoalan kepada para bankir dan pengusaha besar yang dianggap tidak bermoral – yang kemudian juga bebas melenggang kangkung dikala banyak warga dunia mengalami kesulitan menghadapi krisis. Di beberapa kesempatan, para kapitalis bahkan tidak segan-segan untuk berkoalisi dengan negara (baca: kuasa) dan bahkan menggunakan kekerasan untuk memadamkan gerakan massayang melawan kapitalisme, sebagaimana dapat dilihat pada kekerasan polisi terhadap para demonstran gerakan Occupy di beberapa tempat di AS.

Melihat situasi krisis ini, maka semakin benar adanya bahwa there’s nothing new under the sun, tidak ada yang baru d ibawah matahari, begitu setidaknya ungkapan Yunani Kuno mengenai kehidupan di dunia ini. Ungkapan ini sebenarnya hendak mengatakan kepada kita bahwa tidak pernah ada fenomena yang benar-benar baru dan unik sama sekali dalam pengalaman peradaban kemanusiaan. Fenomena yang tengah terjadi sekarang ini pada dasarnya memiliki fitur-fitur yang mirip dan identik dengan fenomena yang pernah terjadi sebelumnya di masa lampau. Dengan kata lain, fenomena sekarang tidak lebih sebagai repetisi dari apa yang pernah terjadi sebelumnya, dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda.

Dalam kacamata seperti inilah kita harus melihat krisis kapitalisme. Krisis kapitalisme, sebagaimana yang telah kita alami sekarang ini, pada dasarnya bukan sesuatu yang baru. Semenjak awal masa kelahirannya sampai dengan masa kontemporer sekarang, kapitalisme selalu dan pasti dirundung krisis. Kontradiksi internal yang menjadi motor bagi gerak serta dinamika kapitalisme, merupakan akar penyebab dari krisis kapitalisme itu sendiri: dorongan tak terbatas untuk selalu melakukan maksimalisasi keuntungan. Tidak heran jika kemudian perkembangan kapitalisme selalu berkait-kelindan dengan potensi kehancurannya sendiri.

Namun secara epistemologis, posisi ini bukan berarti tanpa masalah. Ungkapan ini menjadi pembenaran pandangan bahwa dunia yang tengah kita hidupi sekarang ini sudah seperti ini adanya, tidak ada lagi yang dapat kita lakukan dan karena itu harus menerimanya. Untuk itu, setiap upaya dalam melakukan perubahan tidak akan pernah dapat menciptakan perubahan sama sekali, karena hal tersebut hanya akan mengulang sekaligus meneguhkan kondisi kekinian yang identik dengan kondisi di masa lampau. Dengan kata lain, ungkapan ini dapat menjebak kita untuk larut dalam status quo tanpa bisa keluar dari koordinat yang sudah ada.

Satu-satunya cara untuk mengatasi kebuntuan ini adalah dengan melihat secara dialektis antara apa yang lama dengan yang baru. Bahwa apa yang baru merupakan ledakan imanen dalam yang lama. Bahwa yang baru hanya dimungkinkan ketika kita mengakui secara total bahwa yang lama selalu adalah situasi yang kita hadapi. Dalam hal ini kita bisa belajar banyak dari Theodore Adorno dalam bukunya Three Studies on Hegel. Adorno menolak pola pendekatan yang berupa pertanyaan yang bercirikan patronase, ’Apa yang masih tetap hidup dan apa yang telah mati dari Hegel?’ Menurut Adorno, pertanyaan seperti ini mengandaikan sebuah posisi seorang hakim yang dapat secara bijak mejawab, ’ya, mungkin ini masih tetap aktual sekarang…’ Namun Adorno menyatakan, ketika kita berhubungan dengan seorang pemikir besar, pertanyaan yang harus diajukan bukanlah bagaimana pemikir ini dapat mengatakan tentang kondisi kita, akan tetapi seharusnya yang berkebalikan dengan itu, bagaimana kesulitan-kesulitan kontemporer kita dalam kaca mata pemikir tersebut. Bagaimana epos kita (baca: baru) muncul dalam pemikiran dia (baca: lama).

Implikasi dari posisi epistemologis Adornoian terhadap pemahaman krisis kapitalisme-neoliberal sekarang ini adalah pentingnya untuk tidak terjebak dalam termin-termin baru mengenai krisis itu sendiri, seperti krisis (sekarang adalah murni) finansial, moneter, surat utang, dan lain-lain. Alih-alih, termin-termin tersebut harus ditempatkan secara struktural dalam penjelasan mengenai krisis kapitalisme itu sendiri. Posisi epistemologis ini penting dikarenakan sasaran utama dari penjelasan situasi apapun selalu harus mengarahkan pisau analisanya pada akar masalahnya itu sendiri, untuk kemudian mentransformasi akar masalah tersebut menjadi kesempatan bagi emansipasi kemanusiaan.

Terkait dengan hal tersebut, Kapitalisme-neoliberal yang digadang-gadang sebagai ‘akhir sejarah’ harus mengalami ‘masalah lama’ yang selalu merupakan bagian dari dinamika kapitalisme itu sendiri. Kondisi seperti ini tentu saja adalah situasi yang sangat menarik. Pertanyaan-pertanyaan serta keberatan-keberatan yang muncul terhadap doktrin resmi kapitalisme-neoliberal mengenai bagaimana cara mengorganisasikan masyarakat adalah situasi kontestasi ideologi yang sangat penting, khususnya sebagai upaya untuk keluar dari upaya untuk mempertahankan kondisi yang ada (status quo).

Mengatasi dan menjawab permasalahan dari kapitalisme-neoliberal dan memberikan jawaban alternatif terhadap sistem tersebut memang tidak mudah. ‘Adalah lebih mudah untuk bersimpati terhadap kesengsaraan manusia daripada kepada pemikiran’, demikian kata Oscar Wilde dalam bukunya The Soul of Man under Socialism, yang juga dikutip oleh Slavoj Zizek. Merasa ‘kasihan’ terhadap rakyat yang dihantam krisis dan mencoba meringankan beban mereka dengan sumbangan, dana bantuan langsung tunai, dan kebijakan-kebijakan ‘Keynesian’ adalah lebih mudah, dibanding berpikir mengenai sistem alternatif apa, bagaimana bentuknya, dan pengorganisasian masyarakat macam apa yang diperlukan untuk mewujudkan jawaban alternatif. Oleh karena itu, usaha untuk terus berpikir, berorganisasi, dan berlawan terhadap kapitalisme, terutama dalam varian neoliberalnya justru menjadi sebuah keniscayaan dan kebutuhan bagi masyarakat kita.

Dinamika itulah, yang akan dikupas secara mendalam dalam Jurnal IndoPROGRESS edisi kali ini. Edisi ini akan membahas neoliberalisme kurang lebih dalam empat aspek, yaitu tentang apa itu neoliberalisme, krisis neoliberalisme, gerakan massa menentang neoliberalisme, dan liputan tanggapan berbagai tokoh terkemuka tentang neoliberalisme. Beberapa rubrik lainnya juga tidak kalah menarik, seperti rubrik Sosok, yang akan membahas tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah gerakan kaum progresif, Liputan Khusus, yang akan memberikan reportase mendalam mengenai krisis neoliberalisme di sejumlah tempat, Resensi Buku, yang akan membahas buku-buku progresif terbaru, dan rubrik Gagasan, yang merupakan kajian akademik sejumlah persoalan berkaitan dengan neoliberalisme secara mendalam.

Untuk menutup, kami ingin berpesan bahwa membaca, menulis, dan mengkaji tentang neoliberalisme hanyalah satu langkah kecil. Pada akhirnya, pengetahuan kita akan krisis dan kapitalisme bukan hanya bermanfaat untuk menambah wawasan kita, namun juga untuk menginspirasi perlawanan dan menjadi pedoman dalam bertindak. Dalam semangat itulah, kami menyajikan edisi Jurnal IndoPROGRESS kali ini.

Selamat Membaca dan Salam. ¶

Untuk pemesanan hubungi: resistbook[at]gmail.com

http://indoprogress.com/indoprogress-iii-januari-2013/