Catatan Kritis untuk Filantropi Islam di Indonesia

3 Juli 2022

Catatan Kritis untuk Filantropi Islam di Indonesia


KONDISI kerentanan akibat berbagai momen kritis yang kita hadapi dalam beberapa tahun terakhir—mulai dari pandemi Covid-19 hingga efek dari kebijakan-kebijakan kapitalistik—masih kita rasakan hingga sekarang. Salah satu respons cepat publik yang deras mengalir untuk mengatasi persoalan tersebut adalah berbagai bentuk sumbangan dan tindakan solidaritas yang bersifat karitatif—dengan kata lain filantropi. Reaksi cepat ini bertumpu pada satu asumsi bahwa berderma adalah solusi jitu dan tepat sasaran di momen-momen kritis atau bahkan di masa krisis panjang sekalipun.

Tentu narasi ini sangat familiar bagi umat Islam, terutama di periode antara bulan Ramadhan dan Idul Adha, ketika mereka yang memiliki kemampuan ekonomi wajib untuk menunaikan zakat fitrah dan berkurban untuk kaum fakir miskin dan golongan-golongan lain yang berjuang. Tidak perlu diragukan bahwa potensi kolektif dari berbagai jenis aktivitas sedekah ini amat besar, baik dalam hal pengumpulan dana maupun distribusinya.

Tetapi, pertanyaan yang lebih besarnya adalah, apakah pemahaman dan model konvensional dari filantropi Islam ini cukup? Mungkinkan kita membayangkan dan merumuskan model filantropi dan solidaritas sosio-ekonomi Islam yang lebih maju? Bagaimana kita memastikan pengelolaan dana umat atau dana publik secara akuntabel, transparan, dan demokratis, terutama di tengah kritik atas penyelewengan dana di sektor filantropi Islam? Inilah persoalan yang akan coba dijawab di dalam pemaparan singkat ini. Analisis dalam esai ini tidak bertujuan untuk memberikan analisis apalagi teroborosan fiqh atau jurisprudensi Islam—untuk itu, saya serahkan kepada ahlinya. Kali ini, yang ingin saya angkat adalah refleksi dan sejumlah tawaran tentang filantropi Islam dari perspektif seorang pegiat ekonomi gerakan dan pembelajar ekonomi-politik.


Membongkar Altruisme Efektif dan Praktik Filantropi Global

Salah satu argumen filosofis yang mempengaruhi gerakan filantropi kontemporer adalah Altruisme Efektif (Effective Altruism). Salah satu promotor terkemuka dari gagasan ini adalah filsuf utilitarian-analitik asal Australia, Peter Singer. Dalam artikel klasiknya yang berjudul ”Famine, Affluence, and Morality” (1971) Singer berpendapat bahwa mereka yang kaya dan berkecukupan, terutama yang tinggal di negara-negara kaya di Utara, memiliki kewajiban moral untuk membantu mengurangi jumlah kesengsaraan hebat di dunia melalui harta kekayaan mereka. Berangkat dari tradisi etika utilirarian dan rasa terenyuhnya melihat korban Perang Kemerdekaan Bangladesh, Singer memakai satu analogi untuk meyakinkan pembacanya: apabila kita akan segera tergerak menyelamatkan seorang anak kecil yang tenggelam di satu danau meskipun baju kita akan basah, mengapa lantas kita tidak tergerak untuk menyelamatkan warga sipil yang kelaparan dan membutuhkan penanganan medis dalam kondisi perang? Argumen ini secara lebih elaboratif kemudian dijabarkan oleh Singer dalam bukunya, The Life You Can Save (2009) yang menjelaskan secara detail salah satu strategi implementasi utama dari falsafah Altruisme Efektif: berdonasi kepada lembaga-lembaga filantropi dengan profesionalitas tinggi dan dedikasi kepada kaum marjinal. Dalam buku tersebut, Singer juga menyebutkan cerita-cerita tauladan dari berbagai figur (elite), mulai dari para profesional humanis di sektor korporat, oligark-oligark dermawan seperti Bill Gates, hingga figur politik dan intelektual dunia yang mendorong inisiatif filantropi dan bantuan untuk negara-negara Selatan.

 Singkat kata, bagi Singer, berderma adalah aksi etis nan politis, dengan para dermawan sebagai para pelopornya dan organisasi serta lembaga kemanusiaan dan filantropi sebagai kendaraan politiknya.

 Familiar? Tentu saja. Argumen inilah yang di kemudian hari dipakai oleh para kapitalis raksasa seperti investor Warren Buffett, pendiri Microsoft Bill Gates, dan miliarder kripto muda Samual Bankman-Fried alias SBF. SBF misalnya, membaca karya Singer saat remaja, dan ide-ide Altruisme Efektif meyakinkannya untuk menjadi pialang kripto-cum-dermawan.

 Sejatinya, tidak ada yang benar-benar baru dari filantropi kapitalis global ini, tetapi, packaging dan marketing-nya membuat bisnis donasi para filantropis pengemplang pajak ini terlihat ‘humanitarian’ dan bahkan ‘progresif.’ Tertarik mengembangkan pembangkit listrik hidroelektrik dan ekowisata? Howard Buffett, anak Warren Buffett, punya jawabannya. Panik menghadapi kiamat kecil berupa perubahan iklim? Bill dan Melinda Gates punya solusinya. Terenyuh melihat nasib para hewan di industri ternak? Tenang saja, SBF pun demikian. Slogannya, setiap dollar, rupiah, atau bitcoin anda akan membantu pengembangan obat malaria, vaksin baru, dan inisiatif kemanusiaan lainnya.

 Saya curiga, jangan-jangan paham Altruisme Efektif juga diam-diam diimani oleh umat Islam Indonesia, terutama para kelas menengah dan elitnya. Ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf, meskipun ditunaikan secara massif, direduksi menjadi persoalan preferensi donasi individu seorang Muslim untuk kegiatan dan penerima favoritnya, seperti santunan untuk anak yatim piatu, kesejahteraan kaum fakir miskin, atau wakaf tanah untuk aktivitas pendidikan.

 Apa yang bermasalah dengan Altruisme Efektif? Bukankah berdema adalah satu hal yang baik? Tentu saja membantu sesama yang menderita lebih baik dari berdiam diri. Tetapi, perlu kita ingat bahwa berderma tanpa membongkar struktur penindasan, tanpa memberikan alternatif, semacam memberikan salep dan obat penenang kepada pasien yang sakit keras.

 Matthew Snow, seorang pembelajar filsafat, mencatat sejumlah masalah dengan ide Altruisme Efektif. Kritik Snow berfokus kepada tiga aspek, yaitu asumsi interaksi/relasi sosial antara manusia dalam analogi yang dipakai Singer, absennya analisis mengenai kondisi struktural dan peranan kapital dalam perspektif Altruisme Efektif, dan preskripsi kebijakannya.

 Secara singkat, kritik Snow adalah sebagai berikut. Pertama, analogi Singer seakan-akan mengasumsikan bahwa interaksi/relasi sosial antara seorang manusia dengan manusia lainnya yang menderita adalah sebangun atau dapat direduksi menjadi hubungan antara calon donatur dengan penerima bantuan potensial. Kita tahu bahwa model ini, yang secara tidak langsung mengamini logika transaksional (pasar) dalam relasi sosial, tidak merepresentasikan kompleksitas masyarakat (dan relasi sosial produksi yang membentuknya) dengan baik.

 Kedua, abstraksi dan visi tentang masyarakat a la Altruisme Efektif tentu saja abai dengan konteks kapitalisme. Logika akumulasi kapital dan pengejaran keuntungan merampas hak mereka yang terpinggirkan dan berbagai sumber daya untuk memberikan hidup yang layak bagi para “penerima bantuan potensial” tanpa perlu bergantung dengan filantropi.

 Ketiga, preskripsi yang dianjurkan oleh Altruisme Efektif dapat diperas menjadi tiga pilihan, yaitu: 1) menjadi juragan kapitalis atau profesional berpenghasilan tinggi demi menyelamatkan dunia, 2) bekerja untuk lembaga filantropi kapitalis, atau 3) bekerja di sektor riset, advokasi, atau kebijakan pro-kapital.

Kita juga dapat menambahkan sejumlah keberatan bagi Altruisme Efektif, seperti struktur industri filantropi global yang tidak demokratis, bagaimana filantropi kapitalis berkontribusi kepada agenda privatisasi dan pemangkasan hak dan anggaran sosial, atau bagaimana asumsi utilitarian dalam pemikiran Singer dapat menjadi pembuka jalan bagi komodifikasi hak-hak warga yang marginal. Amatan di tingkat makro maupun di lapangan juga mengkonfirmasi masalah-masalah tersebut.

Sejumlah persoalan ini perlu menjadi catatan bagi pengkaji dan pegiat filantropi Islam di Indonesia. Untuk itu, kita perlu melihat dan mengevaluasi kondisi sektor tersebut.


Praktik dan Potensi Filantropi Islam di Indonesia

Sebagaimana telah saya singgung di atas, ada yang bermasalah dari penerimaan asumsi-asumsi Altruisme Efektif dalam praktik filantropi Islam. Salah satu konsekuensi yang problematis dari penerimaan tersebut adalah individualisasi ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). Proses individualisasi tersebut, dalam hemat saya, secara gradual menghilangkan dimensi kolektif/berjamaah, spirit solidaritas, dan tujuan penyucian harta dari ibadah ziswaf.

Saya teringat kisah sahabat Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, yang memerangi para pembangkang yang memilih membelot dari Islam dan menolak membayar zakat, sebuah kampanye militer yang kelak dikenang sebagai Perang Riddah. Dalam masa pemerintahannya sebagai Khalifah, Abu Bakar RA tidak hanya memerangi para murtadin dan nabi-nabi palsu, tetapi juga terhadap upaya untuk merampas hak-hak fakir miskin dan segenap kaum mustadh’afin lainnya. Tidaklah berlebihan saya pikir untuk menyebutkan bahwa ada aspirasi redistribusionis dan cita-cita emansipatoris dalam zakat dan berbagai jenis sedekah lainnya.

Individualisasi ziswaf dengan kata lain adalah suatu proyek yang ganjil, satu kebetulan yang lahir dalam konteks masyarakat Muslim yang terlempar dan hidup dalam kapitalisme. Padahal, potensi ziswaf sangatlah besar. Data terakhir dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) misalnya mencatat bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun. Data yang sama juga mencatat bahwa zakat yang terkumpul pada 2021 misalnya baru mencapai Rp 17 triliun. Artinya, jumlah pemasukan dan pengumpulan zakat sebenarnya bisa lebih digenjot.

Tetapi, tantangan filantropi Islam bukan hanya soal jumlah target donasi zakat semata. Skema pengelolaan dan pemanfaatan dana ziswaf misalnya adalah satu hal yang harus dipikirkan bersama secara lebih serius. Sejumlah kajian telah menunjukkan sejumlah implementasi kreatif dari filantropi Islam, seperti menargetkan pekerja migran Indonesia sebagai penerima zakat dan membangun klinik kesehatan bagi kaum fakir miskin dengan dana zakat. Di sisi lain, filantropi Islam di Indonesia juga rawan diapropriasi oleh kelompok elit seperti partai-partai politik arus utama atau para pemakan rente/kaum penghisap nilai lebih lainnya.

Yang juga tidak kalah problematis adalah basis kelas yang menjadi promotor dan penggerak utama dari praktik filantropi Islam di Indonesia, yaitu kelas menengah/borjuis kecil Muslim. Kecenderungan visi, misi, dan praktik filantropi Islam dari kelas ini adalah, seperti jenis aktivisme mereka yang lain, berwatak reformis. Para pegiat filantropi Islam ini, yang mengamini jalan evolusioner/gradual menuju keadilan sosial, ingin membentuk dunia seturut dengan citra diri dan pandangan hidup mereka sebagai kelas menengah reformis. Mereka lupa bahwa cita-cita seperti ini bisa berujung kepada keyakinan dan implementasi pada ide-ide yang terlihat inovatif tetapi sebenarnya karitatif. Tidak hanya itu, struktur pengelolaan filantropi dan bahkan dana publik yang dibayangkan oleh kelas ini bisa jadi jauh dari demokratis. Semua ide ini menemukan gaungnya dalam berbagai gagasan reformis-liberal hari ini seperti Altruisme Efektif. Lagi-lagi, kita hanya diberikan obat pilek untuk mengatasi bengek yang parah dan berkepanjangan akibat kapitalisme.


Sedikit Tawaran menuju Filantropi Islam Progresif

Bagaimana menghadapi kebuntuan dan involusi dari gagasan dan praktik kontemporer filantropi Islam dan global? Apa saja tawaran dan bahan refleksi yang perlu kita pelajari, rujuk, dan terapkan? Saya pikir ada sejumlah petunjuk untuk keluar dari kebuntuan teoretik dan politik ini.

Pertama-tama, filantropi Islam mau tidak mau harus ditempatkan dalam upaya membangun demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat pekerja. Ini berarti mengedepankan orientasi redistribusi dan dekomodifikasi dalam berbagai layaran penyaluran ziswaf, alih-alih sekedar menjadi perpanjangan tangan korporasi dan kaum mustakbirin dalam menggembosi dan memangkas berbagai jaminan sosial dan hak rakyat.

Kedua, orientasi politik dari proyek filantropi Islam haruslah ditempatkan dalam kerangka transformasi sosial menuju masyarakat pasca-kapitalis. Meminjam bahasa mendiang sosiolog Erik Olin Wright, filantropi Islam harus menjadi bagian dari strategi transformasi interstitial, yaitu pembangunan institusi-institusi alternatif di masyarakat berdasarkan prinsip demokratis dan berorientasi pro-pekerja sebagai tandingan dari institusi-institusi konvensional seperti bank, layanan finansial, dan layanan pendidikan seperti sekolah. Harapannya, efek akumulasi dari berbagai ikhtiar transformasi interstitial dapat memberikan daya gedor yang signifikan untuk menghajar institusi-institusi konvensional tersebut.

Ketiga, yang tidak kalah penting, filantropi Islam haruslah berangkat dari kolaborasi yang egalitarian antara mereka yang berhak dengan mereka yang memberikan sebagian hartanya. Bergerak dari orientasi yang karitatif dan penuh dengan nuansa ‘belas kasihan’ kaum elit dan kelas menengah Muslim terhadap penderitaan manusia menjadi sebuah ikhtiar yang dipandu oleh inisiatif dari kaum mustadh’afin atau rakyat pekerja itu sendiri.

Pendeknya, filantropi Islam haruslah diinspirasi dan dipersenjatai oleh upaya pembangunan ekonomi solidaritas. Sejumlah peneliti dan ekonom heterodoks, seperti Tom Malleson, Richard D. Wolff, dan Bruno Jossa telah merumuskan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk mendorong demokratisasi ekonomi dan kesejahteraan untuk semua, mulai dari kontrol atas sektor finansial dan investasi, koperasi pekerja, hingga transformasi firma kapitalis menjadi unit usaha buruh. Upaya transformasi dari bawah ini juga perlu didukung oleh upaya transformasi ekonomi dari atas, seperti industrialisasi bertahap dan kontekstual yang didorong negara. Dengan begitu, kita bisa menemukan dan menerapkan model filantropi Islam yang lebih maju.

Keempat, di tengah terkuaknya kasus penggelapan dana di satu lembaga ziswaf, para pegiat filantropi Islam juga harus berani melakukan otokritik terhadap praktik kelembagaan dan pengelolaan dana serta organisasi yang ada. Berkaca dari kasus tersebut, saya pikir para pegiat filantropi Islam harus memastikan terlaksananya mekanisme organisasional kolektif yang dapat mencegah penyelewangan dana publik. Pembatasan dana operasional dan fasilitas bagi para amil zakat alias pengelola dana filantropi Islam (mungkin kita bisa mengambil inspirasi dari upaya mengontrol politik uang dari negeri ini) yang disesuaikan dengan norma kepantasan publik merupakan satu solusi bagi masalah di atas.

Pertanyaannya, apakah kita mau mengerjakan eksperimen tersebut? Inilah pertanyaan yang harus dijawab bagi mereka yang ingin membangun kedaulatan umat secara rasional, saintifik, sistematis, sabar, istiqamah, dan amanah.***


Iqra Anugrah adalah ko-editor IndoProgress dan pegiat di Laziswaf Daulat Umat (daulatumat.or.id). Esai ini dirumuskan berdasarkan pemaparan yang disampaikan dalam diskusi “Mengulik Gerakan Filantropi Islam (Ziswaf) di Indonesia: Sejarah dan Respon Kritis Atasnya” yang diselenggarakan oleh Daulat Umat pada 16 April 2022.

Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

30 Juli 2021

PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua.

Ilusi bahwa kondisi pandemi di tahun 2021 akan menjadi lebih baik terbongkar sudah. Ketika jumlah kasus Covid-19 di negara-negara Utara menurun secara signifikan, jumlah penderita dan korban Covid-19 di negara-negara Selatan justru melonjak tajam. Di balik momen-momen ‘kehidupan normal’ di kawasan dan negara kapitalis maju, ada tragedi kemanusiaan di India dan kawasan pinggiran lainnya. Tak terkecuali Indonesia. Sampai tulisan ini dibuat, sudah tak terhitung kabar darurat dan duka yang saya dengar dari keluarga, kerabat, dan kawan-kawan saya. Bisa dikatakan, semua orang di Indonesia –termasuk keluarga saya– sudah terkena imbas pandemi Covid-19.

Kekalutan massal ini, hikmahnya, memaksa kita untuk berpikir kembali secara keras dan reflektif mengenai kapitalisme dan pandemi Covid-19. Sembari bertahan hidup bak seorang eksil, bromocorah, atau gerilyawan, berpikir keras bukanlah kemewahan, melainkan keharusan di sela-sela upaya, baik secara individual maupun kolektif, untuk mencari obat dan penanganan medis bagi orang-orang sekitar yang terkena Covid, untuk menggalang dana solidaritas dan ketersediaan pangan.

Bagi saya, arah dunia ke depan akan semakin tak menentu dan bergejolak. Sejak dulu saya skeptis dengan triumfalisme liberal bahwa dunia akan semakin bergerak ke arah yang lebih baik. Bahkan pengasong ide-ide liberal kelas kakap seperti Steven Pinker dan Yuval Noah Harari terpaksa menyajikan analisis yang lebih membumi, bahwa ‘kemajuan dunia’ yang mereka impikan tidak selalu mulus, bahwa masa depan dunia selanjutnya penuh dengan kontingensi dan ketidakpastian. Apa yang terjadi di depan  kita semua semasa pandemi adalah pertanda pergolakan yang semakin dekat. Sebagai seorang materialis, saya tidak sepenuhnya pesimis. Tetapi, bagi saya, tidaklah terlalu spekulatif untuk mengklaim bahwa kita perlu bersiap-siap untuk menghadapi letusan politik, ekonomi, sosial, dan ekologis yang akan muncul pasca-pandemi.

Pasca pandemi, ada tiga tantangan besar yang menanti, yaitu: 1) pemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat, 2) posisi sains di tengah masyarakat, dan 3) kenaikan politik Bonapartis untuk mendukung stabilitas tatanan kapitalis.

Di titik ini, ada baiknya kita menengok kembali sejumlah argumen, perdebatan, dan diskusi yang sudah ada. Tentu saya tidak berbicara mengenai akrobatik intelektual yang buang-buang pulsa dan waktu. Apa yang dilakukan oleh para pekerja ojek online jauh lebih riil, dalam, dan bermanfaat ketimbang ‘perdebatan’ tersebut. Perdebatan yang saya maksud adalah perdebatan di kalangan gerakan sosial dan implikasinya bagi perjuangan rakyat ke depannya.


Menengok Kembali Perdebatan tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

Ada dua argumen yang ingin saya tanggapi. Pertama, analisis Martin Suryajaya atas tatanan ekonomi dan politik dunia pasca krisis yang diakselerasi oleh pandemi. Kedua, elaborasi komprehensif mengenai asal-usul dan dampak ekonomi-politik dari pandemi Covid-19 sertakaitannya dengan krisis kapitalisme secara lebih luas yang disusun oleh kawan-kawan Intrans Institute di Malang. Ada sejumlah hal yang saya sepakati dan tidak sepakati dari analisis-analisis tersebut dan perlu kita klarifikasi ulang demi langkah kita ke depan.

Argumen Martin menurut saya baru separuh benar. Betul bahwa kali ini pandemi membawa disrupsi bagi tatanan kapitalisme global dan mau tidak mau memaksa elit negara dan kapitalis di manapun untuk mengadopsi sejumlah respon dan kebijakan beraroma ‘sosialis’ – de facto nasionalisasi atas sejumlah sektor ekonomi, subsidi skala besar, hingga resonansi gagasan ekonomi progresif seperti Universal Basic Income/Jaminan Pendapatan Semesta (UBI/Jamesta). Ada ‘tekanan struktural’ bagi para pemegang kekuasaan dan pengontrol kapital untuk menerapkan kebijakan tersebut – dengan menolong orang banyak, mereka juga menolong diri mereka sendiri. Namun, diagnosis ini baru sebagian benar. Hal yang absen dari analisis Martin adalah bagaimana kelas kapitalis besertaragam elit yang mendukungnya juga memiliki strategi untuk menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa menyelamatkan rakyat dan malah membebankan ongkos dari pandemi kepada rakyat pekerja. Kita juga dihadapkan oleh kemunafikan negara-negara kapitalis maju, yang menguasai sarana dan proses produksi vaksin Covid-19 serta suplainya, yang membuat pandemi semakin berkepanjangan.

Hal lain yang juga absen dan tidak kalah penting untuk dibahas ialah upaya aktif untuk menanggulangi dampak pandemi dan kapasitas politik untuk melakukan terobosan-terobosan politik pasca pandemi dari massa, rakyat pekerja. Apa saja inisiatif dan inovasi yang dilakukan oleh berbagai elemen dari rakyat pekerja, baik secara spontan dan organik maupun organisasional dan terkoordinir dalam mengatasi dampak pandemi, serta apa saja capaian dan batasan dari aktivitas-aktivitas tersebut? Seperti apa kekuatan politik riil dari massa sekarang dan apa langkah politik yang perlu dirumuskan setelah pandemi ini berakhir dengan kondisi massa yang terengah-engah bertahan hidup? Dengan kata lain, kita perlu membaca masalah dan merumuskan strategi-taktik yang lebih materialis.

Senada dengan kritik saya di atas, saya juga mempertanyakan prognosis dan proposal gegabah Martin mengenai tatanan politik dunia pasca pandemi. Gagasan datakrasinya terdengar lebih seperti kawin silang atau crossover mimpi-mimpi basahnya kaum libertarian pasar, fans determinisme teknologi, Budiman Sudjatmiko sang politisi boomer banyak gaya, dan golongan birokrat – baik Kanan, Kiri, maupun Tengah – yang mendambakan politik semudah menekan tombol piranti elektronik. Voila, Sim Salabim Abrakadabra! dan semuanya beres. Kritik Martin atas politik hak ada benarnya, tapi Martin mengabaikan fakta sejarah bahwa politik hak, merupakan salah satu konstituen utama dari politik manusia, setidaknya di Barat, dalam 2500 tahun terakhir. Diskursus dan konsepsi mengenai hak itu sendiri memang bisa diproblematisir dan bahkan dilampaui, tetapi mengeliminasinya sama sekali dari percakapan kita tentang politik menurut saya tidak produktif dan abai dengan peranan dan warisan dari politik hak itu sendiri. Kemudian, dikotomi simplistik antara ‘demokrasi’ dan ‘non-demokrasi’ bisa jadi mengecoh dan bahkan menipu. Faktanya, negara-negara yang mengimplan demokrasi elektoral menerapkan kebijakan lockdown dan sejumlah pembatasan mobilitas warga – sebuah hal yang tidak mengagetkan, mengingat demokrasi elektoral punya sejarah panjang membatasi hak di masa krisis, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat di masa kampanye anti-perbudakan ketika Abraham Lincoln menangguhkan habeas corpus (hak untuk diperiksa hakim dan tidak dipenjara sebelum disidang secara resmi) dan negara-negara Eropa yang membatasi aktivitas partai-partai politik yang dianggap ‘esktrimis’ di antara dua Perang Dunia. Di sisi lain, ada ruang-ruang inisiatif warga negara dan bahkan institusi-institusi demokratis dan partisipatoris di negara-negara ‘komunis otoriter.’ Pertanyaan yang lebih pas menurut saya adalah: apa argumen demokratis bagi pembatasan hak di masa pandemi dan seperti apa keputusan tersebut diambil dan diimplementasikan?

Lebih lanjut, pemaparannya dan pembelaannya atas datakrasi – setidaknya dalam versi yang ia pahami – membuang elemen-elemen politis dari operasi teknologi itu sendiri. Buat saya, sulit untuk memercayai hipotesis seperti ini. Bahkan kalau umat manusia sudah bisa tinggal di luar bumi dan terjadi interaksi antar-spesies (atau antar entitas manusia dan robotik) lintas galaksi; masyarakat dan relasi kelas kemungkinan besar tetap akan muncul. Selama ada interaksi sosial-produksi, sekalipun itu melibatkan genderuwo, plankton, mahluk Mars, atau droid Star Wars, maka relasi dan kesenjangan kelas kemungkinan besar akan selalu ada. Dengan kata lain, ini pada hakikatnya adalah persoalan ekonomi-politik dan masalah politik membutuhkan solusi politik. Apa yang seharusnya diperjuangkan bukanlah datakrasi per se, apalagi mengabsolutkannya. Apabila kita menjadikan pengetahuan dan sejarah Kiri sebagai basisnya, maka yang harusnya diperjuangkan adalah sosialisme sibernetik yang demokratis, terpimpin, dan dimotori rakyat pekerja, alih-alih datakrasi.

Analisis yang cenderung lebih analitis, materialis, dan membumi, menurut saya, dipaparkan oleh kawan-kawan Intrans. Di sini saya tidak akan banyak mengulang butir-butir pembahasan dari buku tersebut, melainkan hanya akan fokus ke beberapa bagian. Pertama, buku tersebut dengan cukup ekstensif membahas bagaimana kapitalisme turut berkontribusi kepada kerusakan alam, perpecahan metabolis antara manusia dan alam demi profit dalam tatanan kapitalis, dan pada akhirnya berkontribusi kepada merebaknya wabah penyakit termasuk Covid-19. Menurut saya, ini kontribusi penting yang perlu dibaca secara lebih luas oleh kalangan gerakan sosial di Indonesia sebagai referensi ilmiah maupun bahan diskusi untuk perumusan langkah-langkah konkret kedepannya, terutama di arena advokasi isu-isu kesehatan dasar publik, kesetaraan ekonomi, dan krisis sosio-ekologis.

Tetapi, ada satu hal yang luput dan perlu dibahas lebih lanjut, yaitu kritik internal dan simpatik terhadap eksperimen sosialis dan progresif di ranah kesehatan dan lingkungan hidup dalam berbagai bentuknya, antara lain solidaritas medis Kuba, politik ekososialisme partai-partai Kiri di Amerika Latin, dan politik Hijau di sejumlah negara Barat. Tentu saja keberhasilan dari proyek politik tersebut perlu diapresiasi, dipelajari, dan bahkan diemulasi dan diadaptasi di Indonesia. Akan tetapi, yang juga tidak kalah penting adalah melakukan kritik atas pencapaian tersebut. Kita bisa mengkritik imperialisme vaksin Barat dan mengapresiasi peranan Tiongkok dalam penyediaan vaksin bagi banyak negara berkembang dan di saat bersamaan mengkritik kualitas vaksin Sinovac dan intransparansi politik di belakangnya. Tanpa kritik internal, maka kita akan kesulitan dan bahkan gagal merumuskan solusi sosialis yang jitu terhadap persoalan kesehatan publik dan dalam masyarakat kapitalis.


Tiga Tantangan Besar pasca Pandemi

Kembali ke kondisi kita sekarang. Di Indonesia, kita menyaksikan inkompentensi pemerintah dan keabaian dari para elit – yang tidak pernah benar-benar peduli dengan rakyat pekerja – dalam menghadapi badai pandemi Covid-19. Apa yang membuat pilu dan membangkitkan amarah dari semua ini adalah fakta keras bahwa katastrofi ini bisa dihindari. Dengan penanganan yang lebih baik dan bahkan dari kacamata yang sangat utilitarian dan kapitalistik sekalipun, jumlah penderita Covid-19 dan korban kematian bisa ditekan secara lebih signifikan.

Namun, yang kita saksikan justru sebaliknya. Kebijakan yang buruk, pengabaian terhadap sains, dan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang elitis dan jangka pendek justru mendominasi penanganan pandemic Covid-19 di Indonesia. Hasilnya adalah ongkos nyawa dan kesehatan publik warga negara, terutama lapisan-lapisan paling marginal dari rakyat pekerja, yang menjadi bayarannya. Rezim Jokowi, ironisnya, melakukan kesalahan yang dilakukan oleh Rezim Modi beberapa waktu yang lalu. Rakyat pekerja, pada akhirnya, hanya bisa saling menolong satu sama lain dan menolong dirinya sendiri.

Sebelum kembali mengerjakan amanat-amanat yang lebih mendesak, baik dalam hal menjaga kesehatan bersama maupun tugas-tugas di gerakan sosial, izinkan saya memaparkan seperti apa kira-kira tiga tantangan yang akan kita hadapi di masa pasca pandemi ini ke depannya.

Pertama adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat. Kapitalisme memang senantiasa mengakibatkan krisis, tetapi pandemi Covid-19 kali ini semakin memperparah krisis tersebut. Pandemi semakin memperparah ketimpangan dan di saat yang bersamaan menyatukan banyak orang, terutama kelas-kelas pekerja dan lapisan yang rentan dari apa yang disebut sebagai ‘kelas menengah.’ Bahkan menurut Bank Dunia, status Indonesia turun dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah bawah. Dengan kata lain, proses-proses pemiskinan dan perampasan justru berjalan semakin intensif di kala pandemi (lihat bagaimana kapitalis raksasa seperti kapitalis vaksin alias Big Pharma dan Amazon meraup keuntungan besar selama pandemi).

Ini adalah bom waktu yang suatu saat akan meledak. Dengan kondisi publik secara umum yang babak belur dihajar pandemi, ketidakpuasan kepada kerja pemerintah, dan kondisi politik yang semakin illiberal alias represif secara perlahan, maka bagi saya tidak mengejutkan apabila terjadi letusan-letusan protes dan aksi massa di beberapa tahun ke depan. Tahun lalu, kita menyaksikan gelombang aksi massa yang besar bahkan di tengah-tengah kondisi pandemi. Ketika jumlah angka kasus dan kematian menurun dan kondisi kehidupan pelan-pelan kembali membaik, bukan tidak mungkin bahwa publik akan mengekspresikan ‘amarah demokratis’ mereka dengan jalur-jalur kontestasional.

Kedua adalah posisi sains di tengah masyarakat. Pandemi membuka fakta bahwa sikap anti-sains begitu mengemuka di kalangan elite politik, ekonomi, dan keagamaan. Tenang saja, ini bukan perkara yang khas Indonesia. Di Amerika Serikat, politisi Republikan Kanan-ekstrim seperti Marjorie Taylor Greene terus menerus mengampanyekan propaganda anti-vaksin. Tentu kita sering mendengar bagaimana misinformasi mengenai persoalan pandemi dan pengabaian terhadap sains dan ilmu pengetahuan juga marak menyebar di masyarakat. Tugas gerakan progresif ke depan adalah membangun perangai ilmiah atau scientific temper secara kontekstual dan masif di tengah-tengah massa. Politik emansipatoris haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan program sosialis haruslah mendorong demokratisasi akses kepada sains. Mungkin kita bisa sedikit menengok dan belajar dari Kerala tentang peranan gerakan Kiri dalam mendemokratisasikan sains dan mendorong kesehatan publik.

Tantangan ketiga dan yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah menguatnya tendensi politik Bonapartis dalam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia, para pengamat dan pengkaji politik melabeli ini sebagai illiberal turn (belokan illiberal) atau kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi ini bukan hanya persoalan kecenderungan illiberal dalam artian behavioral dan kultural, melainkan suatu fenomena struktural yang akan muncul dan menguat dalam konjungtur-konjungtur politik tertentu demi restorasi dan stabilitasi tatanan kapitalis.

Indonesia saat ini mengingatkan saya kepada Republik Weimar di Jerman (1918-1933). Capaian-capaian reformasi, sebagaimana nasib politik reformis di Republik Weimar, ternyata tidak sekokoh yang kita kira. Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia sama dengan Republik Weimar – jelas berbeda. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara konteks sejarah dunia dan kapitalisme global yang dihadapi dua entitas politik tersebut. Tetapi, Indonesia bisa belajar dari nasib Republik Weimar: dampak dari krisis kapitalisme yang akseleratif dapat berujung kepada keruntuhan tatanan liberal demokratik, krisis politik yang penuh letupan, dan kebangkitan politik otoriter.


Melihat tren politik Indonesia yang semakin mengkhawatirkan belakangan ini, serta kecenderungan lapisan oligarki, kelas kapitalis secara keseluruhan, dan elit negara pendukungnya untuk mengamankan ‘stabilitas’ bahkan dengan mengorbankan demokrasi dan nasib rakyat pekerja, maka kita perlu waspada dan bersiap dengan perkembangan ke depan.

Inilah tantangan-tantangan yang akan kita hadapi dalam beberapa tahun ke depan. Cepat atau lambat, suka tidak suka, siap tidak siap, kita akan menghadapinya. Sekali lagi, gerakan sosial dan rakyat pekerja di Indonesia kembali dihadapkan dalam sebuah situasi maha sulit dan dipaksa untuk mencari jalan keluar dari krisis yang pelik ini.***


Iqra Anugrah, co-editor IndoPROGRESS

Krisis Pangan akan Terjadi

LP3ES: Krisis Pangan akan Terjadi

Oleh Novitri Selvia – Selasa, 28 April 2020 | 14:40 WIB

https://padek.jawapos.com/utama/2363735981/lp3es-krisis-pangan-akan-terjadi

Pandemi covid-19 telah membawa dampak luas pada kehidupan masyarakat. Tak hanya menyebabkan resesi ekonomi, tapi juga berpotensi mengarah pada krisis pangan global.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pun telah memperingatkan masalah kelangkaan pangan ini. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan, juga selalu menyinggung terkait kemungkinan krisis pangan dunia.

Menyikapi kondisi ini, Peneliti Agraria LP3ES Iqra Anugrah menilai, dampak dari pandemi Korona patut diwaspadai bersama. Sebab, korban pertamanya pasti adalah kelas menengah ke bawah.

”Dari perspektif agraria, dampak pandemi Covid-19 ini memang mengkhawatirkan. Krisis pangan akan terjadi, dan yang akan terdampak adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan,” kata Iqra Anugrah dalam keterangan tertulis yang diterima Koran ini, Senin (27/4).

Menurut Peneliti di Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto Jepang ini, langkah mitigasi guna mencegah krisis pangan ini mutlak dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan mencegah alih fungsi lahan. ”Tentu saja, mencegah alih fungsi lahan sangat penting,” ujarnya.

Tapi tidak hanya itu, lanjut Iqra, yang harus didorong oleh pemerintah adalah pembangunan sektor agraria yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, alih-alih sekadar kebutuhan pasar semata.

”Kemudian, juga harus didorong lebih lanjut adalah agenda redistribusi lahan. Serta, penyelesaian konflik-konflik agraria. Terakhir, pemerintah juga perlu mengakomodir pola kepemilikan lahan yang bersifat komunal agar dikelola oleh organisasi dan komunitas rakyat di pedesaan,” ungkapnya.

Iqra juga menyarankan, sebaiknya pemerintah segera mengawasi dan menghentikan praktik spekulasi lahan yang dilakukan oleh bisnis skala besar yang cenderung terjadi di tengah masa krisis. Hal ini semata agar tidak ada alih fungsi lahan besar-besaran saat krisis terjadi.

Selain itu, Pemerintah juga perlu menggandeng komunitas rakyat dalam menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi ini. Gotong royong antar elemen ini penting guna memastikan tidak ada yang kekurangan pangan di masyarakat.

”Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan berbagai inisiatif yang dilakukan oleh komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi rakyat yang telah melakukan upaya untuk menyediakan stok pangan, baik bagi warga desa maupun konsumen di perkotaan,” pungkasnya. (jpg)