Iqra Anugrah

Musings on Politics, Southeast Asia, and Theory

Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif

Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif

Oleh Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati

Islam politik sektarian menjadi wajah dominan dari Islam politik dewasa ini.

Aksi demonstrasi besar-besaran pada 4 November kemarin yang dilakukan oleh sejumlah elemen gerakan Islam sepertinya semakin mengonfirmasi penilaian tersebut. Gabungan dari berbagai ekspresi politik, mulai dari sentimen etno-religius yang puritan hingga rasis-sektarian, kekecewaan politik, politik patronase elit, hingga ekspresi kelas, bercampur baur menjadi satu dan sulit terbedakan satu sama lain.

Menghadapi kenyataan tersebut, adalah mudah untuk terjebak dalam pandangan-pandangan yang dualistis, yang meneguhkan oposisi-oposisi biner antara pihak establishment Jakarta dengan para pendemo. Narasi-narasi liberal dan developmentalis akan segera meringkus peristiwa 4 November kemarin sebagai pertarungan antara pematangan proses-proses demokratik dalam saluran politik yang ada dengan kekuatan-kekuatan politik yang sektarian. Di sisi lain, narasi-narasi Islamis dan populis, dengan segala gradasi dan variannya secara sempit melihat peristiwa itu sebagai pertarungan antara “ummat Islam” dengan “penguasa yang dzalim” atau, lebih parahnya lagi, “Cina Kafir.”

Bagaimanakah seharusnya Islam Progresif dan saudara-saudara seperjuangannya – kaum Kiri dan elemen-elemen progresif-demokratik yang lebih luas – membaca dan merespon aksi massa kemarin? Satu tawaran penafsiran dan preskripsi politik sudah dikemukakan oleh kawan Azhar dan Azka dalam editorial Islam Bergerak kemarin. Meskipun bersepakat dalam banyak hal dengan mereka, kami merasa perlu mengoreksi sejumlah pembacaan, mempertegas sejumlah posisi, dan menambahkan sejumlah argumen untuk kembali merumuskan posisi Islam Progresif vis-à-vis fenomena kemarin.

Untuk memulai, kita perlu melihat konteks struktural-historis dari kemunculan aksi tersebut dan profil sosiologis dari para demonstran. Uraian Ian Wilson dengan terang menjelaskan bahwa kebijakan penggusuran administrasi Gubernur Ahok semakin mengganas – yang mengorbankan sekitar 16,000 rumah tangga kaum miskin kota dan kelas pekerja menurut data LBH Jakarta – semakin memperkuat sentimen anti-penggusuran dan anti-Ahok terutama di antara lapisan-lapisan kelas sosial yang paling termarginalkan dalam model pembangunan Ahok. Kekecewaan dan kemarahan atas hilangnya tempat tinggal dan sumber penghidupan, kurangnya basis pengetahuan emansipatoris dan wadah politik alternatif, serta kuatnya organisasi-organisasi Islamis dengan tendensi fundamentalis dan vigilantis seperti FPI membuat ekspresi keagamaan menjadi satu ekspresi politik yang dominan dari “sentimen kelas” tersebut.

Profil sosiologis dari para demonstran kemarin juga beragam, meskipun artikulasi politik yang paling mengemuka adalah Islamisme dalam variannya yang sektarian. Tentu ada elemen-elemen dari kelompok-kelompok vigilantis seperti FPI, tetapi ada juga elemen-elemen dari gerakan Islam yang lain, seperti Tarbiyah-PKS, HTI, Salafi, PII, HMI, dan lain sebagainya. Profil demonstran sendiri dapat dikatakan bersifat lintas kelas, mempertautkan elemen-elemen kaum miskin kota, kelas menengah, pemuka agama sektarian, dan elit-elit (serta para bohir, broker, dan operator lapangannya) yang memiliki kepentingan politik dari mobilisasi massa kemarin.

Selanjutnya, kita perlu melihat pertautan antara dinamika politik elit dengan mobilisasi massa di lapangan. Ini merupakan tugas yang tidak mudah dan membutuhkan kepekaan politik yang tinggi. Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan adalah siapa saja elit-elit yang mempunyai kepentingan dan mendapatkan keuntungan dari aksi demonstrasi kemarin? Di titik ini, kita perlu melihat irisan antara aspirasi dan ekspresi politik “dari bawah” dengan kalkulasi politik “dari atas.” Misalnya, kita perlu mempertanyakan, apa hubungan antara aksi demonstrasi kemarin dan dampaknya dengan manuver-manuver sejumlah elit dan broker politik seperti Habib Rizieq, SBY, pendukung dan penentang Ahok (dan juga Jokowi), Fadli Zon,  Fahri Hamzah, Buni Yani, dan lain sebagainya. Kita juga perlu melihat dinamika tersebut dalam konteks politik lokal Jakarta dan nasional yang lebih luas. Kesadaran akan hal ini akan membantu kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang strategis dan krusial, seperti mengapa terjadi kericuhan di Penjaringan pasca aksi demonstrasi kemarin? Mengapa terjadi penggerebekan dan penangkapan terhadap sejumlah fungsionaris HMI? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita perhatikan dan jawab secara seksama terutama ketika menghadapi publik yang biasanya apatis dengan politik dan cenderung tidak familiar dengan dinamika berbagai jenis aksi demonstrasi dan mobilisasi massa di lapangan – dan karenanya cenderung ahistoris, naif,  dan konservatif dalam berpolitik.

Pertanyaan terakhir namun tidak kalah penting adalah sejauh mana kekuatan-kekuatan politik yang saling bertikai ini mempengaruhi penggerusan ruang demokrasi yang ada. Di satu sisi, sinisme dan pembatasan terhadap aksi demonstrasi memberi justifikasi terhadap tatanan ekonomi-politik yang ada untuk terus menerus melakukan “penertiban”, apalagi pasca terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Terlepas dari segala macam permasalahannya, aksi demonstrasi 4 November dalam derajat tertentu dapat dilihat sebagai satu ekspresi politik yang legitim – sama legitimnya dengan aksi massa buruh atau kelompok-kelompok minoritas etnis, agama, dan seksual. Kita juga harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam suatu bentuk esensialisme, memasukkan kelompok-kelompok Muslim konservatif dengan Islamis sektarian dalam satu wadah identitas yang sama. Di sisi lain, narasi-narasi rasis-sektarian dan agenda anti-penistaan agama yang dibawa oleh para demonstran juga tidak kalah problematiknya. Apabila tidak dilawan dan didelegitimasi, dalih sektarian dan anti-penistaan adalah “dalih karet” yang rawan dipakai untuk semakin meringkus dan menggerus ruang demokrasi yang ada, yang dicapai via perjuangan yang panjang dan tidak mudah.

Dengan kata lain, kita harus melihat demonstrasi kemarin dalam perspektif ekonomi-politik yang lebih kaffah untuk memahami sejauh mana batas potensi emansipatoris – atau reaksioner – dari mobilisasi massa yang kemarin terjadi, apalagi ketika kita sejauh ini hanya bisa memahami dinamika di lapangan secara parsial. Untuk itu, kita perlu menahan diri untuk membuat klaim empiris yang definitif mengenai aksi 4 November yang lalu. Dibutuhkan riset lapangan, kajian mendalam, serta, tentu saja, kemauan untuk bergumul dalam dinamika kehidupan rakyat sehari-hari untuk mengetahui artikulasi politik “Islam” apa yang paling mengemuka.

Tetapi sejauh ini, kenyataannya Islam politik di Indonesia pasca reformasi masih didominasi oleh sektarianisme yang menihilkan perspektif kelas dalam gerak dan wacananya. Artikulasi Islam politik di Indonesia dewasa ini masih belum banyak menyentuh persoalan yang menyangkut kehidupan dan penderitaan ummat sehari-hari. Sebagai ilustrasi, Islam politik belum banyak tampil di depan dalam berbagai permasalahan ummat seperti perampasan tanah, penggusuran, penolakan terhadap reklamasi pantai, perjuangan upah layak, dan sebagainya. Dalam ranah keseharian, banyaknya kelompok-kelompok pengajian dan majelis taklim dari ruang-ruang kantor hingga pemukiman nyatanya cenderung belum berkontribusi untuk membangun keterorganisiran ummat secara ideologis. Formasi isu dari berbagai kelompok dan organisasi Islam masih cenderung dipimpin oleh minat di seputarhabluminallah dan belum banyak mengakar dalam hal hamblumminannas. Padahal, problem tersebut merupakan problem aktual yang hadir membelenggu ummat, yang mayoritas, yang dipinggirkan dan dimiskinkan.

Alih-alih menjadi pembela ummat yang tersingkir (mustadhafin) sebagaimana spirit Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, Islam politik masih lebih banyak mengangkat isu-isu identitas dan sentimen sektarian. Ini menjadi problem serius bagi Islam politik di Indonesia yang indikatornya dapat dilhat pada menguatnya berbagai organisasi Islamis pasca reformasi. Artinya, konsepsi Islam sebagai agama pembebasan kaum tertindas pun belum menjadi wajah dari berbagai organisasi Islam maupun Islam politik secara keseluruhan.

Terkait dengan itu, mobilisasi massa pada aksi 4 November 2016 yang lalu pun lebih banyak menyuarakan tuntutan yang tidak berkaitan langsung dengan persoalan pembebasan ummat dari belenggu permasalahan aktual keseharian yang mencekiknya. Sebagai ilustrasi, pada aksi-aksi massa menolak reklamasi atau penggusuran misalnya, kemarahan dan keterlibatan organisasi-organisasi Islam justru tidak pernah terlihat massif. Sementara di sisi lain, ummat Islam cenderung lebih mudah tergerak untuk dimobilisasi secara massif misalnya pada isu solidaritas Palestina, Rohingya, atau Suriah. Tentu saja ini bukan hal yang buruk, akan tetapi menjadi menarik karena wajah Islam politik yang tampil justru terlihat seperti “pandang bulu” dalam kemanusiaan dan solidaritas kelas, dengan batas “Islam” sebagai identitas, untuk menggerakkan dan memobilisasi massa.

Kembali ke pertanyaan awal mengenai bagaimana seharusnya Islam Progresif menanggapi aksi demonstrasi 4 November kemarin, inilah usulan kami: berbeda dengan pembacaan Islamis dan liberal-developmentalis atas aksi kemarin, kami mengajukan pembacaan yang lebih bernuansa.

Perlu diakui bahwa narasi sektarian masih menjadi artikulasi politik yang paling dominan dari elemen-elemen gerakan Islam yang berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut. Dengan demikian, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa panji Islam politik atau populisme Islam yang dibawa oleh para demonstran kemarin betul-betul “progresif” atau “emansipatoris”, bahwa seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang terlibat kemarin merupakan “representasi” dari kaum miskin kota dan proletariat formal dan informal, bahwa gerakan-gerakan Islam yang menjadi motor demonstrasi merupakan “vanguard.” Namun demikian, kita juga tidak bisa menafikkan aspirasi kelas yang meskipun belum hegemonik turut mewarnai demonstrasi tertsebut.

Singkat kata, kita tidak boleh terjebak dengan tendensi buntutisme – bahwa setiap tindakan massa adalah benar – maupun elitisme – yang berjarak dan menyalahkan massa. Elemen-elemen gerakan progresif-demokratik, termasuk Islam Progresif, harus selalu bersama massa, bersama ummat dan percaya kepada potensi progresivitasnya sembari memahami batas-batas struktural yang menghambat terealisasinya potensi emansipatoris tersebut serta bergerak mengatasi problem-problem tersebut.

Untuk sampai pada pembacaan yang tepat mengenai realitas sosial ummat dan potensi emansipatorisnya, kita membutuhkan pembacaan materialis yang lebih menyeluruh terhadap realitas politik yang ada, termasuk realitas politik Jakarta. Ini mensyaratkan Islam Progresif untuk menggunakan pisau analisa Marxis dalam melihat realitas sosial yang ada. Meskipun ada kesulitan untuk mempertemukan tradisi keagamaan liberatif seperti Islam Progresif dan sains emansipasi yaitu Marxisme dalam ranah ontologis, setidaknya kedua tradisi tersebut dapat bertemu dalam ranah epistemologis, metodologis, dan praxis. Ini berarti kita harus memahami konteks struktural dalam politik ruang di Jakarta dan pertautan antara dinamika kapitalisme dan konstelasi politik yang ada terutama dalam konteks pilkada.

Dalam kaitannya dengan membangun aliansi dengan elemen-elemen Islam politik dan Islamis, Islam Progresif perlu memetakan elemen-elemen progresif dari tendensi gerakan tersebut. Tidak semua Islamis adalah FPI yang fundamentalis-vigilantis atau Ennahda yang Muslim demokrat. Juga, perlu diingat bahwa seringkali ada gap atau kesenjangan antara elit-elit organisasi Islam yang rawan terjebak dalam politik elit dan anggota-anggotanya. Kompleksitas realitas politik yang musti dipahami oleh pegiat-pegiat Islam Progresif dan gerakan progresif-demokratik yang lebih luas untuk memetakan mana lawan, mana kawan, dan mana segmen rakyat yang masih mengambang.

Islam Progresif tidak melihat antagonisme sosial yang terjadi di dalam masyarakat berdasarkan sentimen etno-religius, puritan, apalagi rasis-sektarian. Antagonisme sosial hanya terjadi akibat pertentangan kepentingan antara kelas yang menindas dan kelas yang ditindas. Persis di titik ini, Islam Progresif harus merebut narasi “keadilan sosial” semu a la fantasi fundamentalis, nativis, xenophobis, chauvinis, dan rasis di satu sisi dan narasi “pluralisme” semu a la liberalisme dan developmentalisme dalam berbagai variannya – termasuk a la Islam Liberal – di sisi lain. Untuk menjalankan misi ini, membangun basis keberIslaman yang kaffah, kontekstual, dan progresif saja tidak cukup. Kita juga membutuhkan basis pengetahuan yang lebih kokoh dan kemampuan untuk membaca realitas politik secara lebih berhati-hati, akurat, dan menyeluruh – dua hal yang sayangnya masih agak luput dan kurang eksplisit dari posisi editorial yang diajukan Islam Bergerak kemarin. Singkat kata, Islam Progresif memposisikan diri sebagai Islam yang mendukung agenda-agenda pluralisme dan juga keadilan sosial berdasarkan pengetahuan mengenai emansipasi dan transformasi sosial.

Kami berterima kasih kepada sejumlah kawan atas diskusi dan masukannya dalam proses penulisan artikel ini.

*Penulis adalah editor IndoProgress dan pegiat Forum Islam Progresif.

Kembali Menengok Revolusi Mesir dan Problematikanya

Kembali Menengok Revolusi Mesir dan Problematikanya

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/kembali-menengok-revolusi-mesir-dan-problematikanya/

REVOLUSI Mesir yang sudah bergulir semenjak tahun 2011 kembali berada di persimpangan jalan. Di tengah berbagai desakan ‘dari bawah’ oleh gerakan Tamarod (‘Pemberontakan’) dan gerakan rakyat Mesir pada umumnya atas kepemimpinan Presiden Morsi yang berasal dari Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and Justice Party, FJP) yang mewakili kubu Ikhwanul Muslimin (IM), secara tiba-tiba pihak militer kemudian masuk ‘dari atas’ dan mengambil alih proses politik dengan melancarkan kudeta (satu istilah yang diperdebatkan) terhadap Presiden Morsi, membentuk pemerintahan interim dan menunjuk Adly Mansour, Mohamed El-Baradei dan Hazem Al-Beblawi sebagai presiden, wakil presiden dan perdana menteri sementara.

Tetapi, cerita tidak selesai di situ. Tidak lama setelah pengambilalihan kekuasaan oleh militer, terdapat sejumlah masalah baru. Berbagai media dan LSM internasional melaporkan bahwa sejumlah pemimpin FJP dan IM diamankan oleh militer, media yang disinyalir berafiliasi dengan FJP dan IM di ditutup dan lebih dari 50 demonstran pro-Morsi meninggal serta 435 lainnya luka-luka dalam aksi kekerasan yang dilakukan oleh militer.

Kemanakah Revolusi Mesir akan bergerak? Bagaimanakah tren politik Mesir pasca-Morsi? Untuk memahami persoalan ini secara lebih jelas, tulisan ini akan mencoba membahas lebih lanjut mengenai peta politik dan kekuatan politik di Mesir, dengan fokus kepada FJP dan IM, militer serta gerakan oposisi.

Ikhwanul Muslimin: Kolaborator Antar-Kelas atau Seksi dari Borjuasi?

Melihat dan melabeli IM dan FJP sebagai ‘Islamis’ terkadang memang mempermudah perbincangan, tetapi juga bisa berarti menghindari diskusi yang lebih serius. Konteks sejarah, sosio-politik dan ekonomi dari lahirnya IM serta ‘basis material,’ yaitu kelas yang memungkinkannya muncul dapat lebih memperjelas pemahaman kita mengenai posisi politik IM.

Didirikan oleh Hassan al-Banna di Ismailia pada tahun 1928, dalam perkembangannya IM berkembang menjadi salah satu kekuatan politik yang patut diperhitungkan di Mesir. Di kalangan Kiri, baik di Mesir maupun di luar Mesir, terdapat suatu ambivalensi dalam merespon kekuatan IM dan Islamisme secara umum: Apa label yang tepat buat mereka? Bagaimana posisi politik kalangan Kiri terhadap mereka?

Chris Harman (1994) dalam artikelnya, The Prophet and the Proletariat, berusaha menepis pandangan dan analisa yang simplisistis dalam melihat Islamisme. Menurutnya, Islamisme tidak otomatis ‘fasis’ atau ‘reaksioner’ karena pandangan mereka terhadap isu-isu hubungan agama dan negara, gender dan kebebasan sipil, juga tidak otomatis ‘progresif’ atau ‘revolusioner,’ hanya karena retorika anti-imperialisme dan anti-Barat mereka. Ada faktor-faktor sosial politik yang memungkinkan Islamisme bergerak dari satu tendensi ke tendensi lainnya, yang juga bergantung pada kondisi spesifik di tiap-tiap tempat. Namun, untuk kasus beberapa negara Timur Tengah, seperti Mesir dan Iran, Harman melihat Islamisme sebagai ekspresi politik darikelas menengah atau borjuis kecil. Ini dapat dilihat tidak hanya dari agenda politik Islamisme secara umum, namun juga konteks ekonomi-politik yang melatarbelakanginya: kelas borjuis pedesaan bermigrasi ke kota karena urbanisasi, kelompok yang mengalami kesulitan ekonomi dalam proses pembangunan, menjadi salah satu sumber ‘basis kelas’ Islamisme. Proses urbanisasi inilah, yang membentuk lapisan kelas menengah baru seperti komunitas bazaar,usaha kecil dan menengah, guru, pegawai pemerintahan dan lain sebagainya (Fischer, 1982).

Konteks ekonomi-politik yaitu perkembangan proses pembangunan di Mesir, juga mempengaruhi komposisi basis pendukung serta karakter politik dari IM. Sebnem Gumuscu (2010), dalam analisa perbandingannya antara Turki dan Mesir menyatakan bahwa perbedaan pola liberalisasi ekonomi di kedua negara menyebabkan perbedaan pola moderasi Islam politik. Di Turki, pola liberalisasi ekonomi menguntungkan kelompok borjuis pinggiran, usaha kecil dan menengah (UKM) dan kapitalis berorientasi ekspor yang rata-rata berbasis di luar Istanbul yang berafiliasi kepada Asosiasi Industrialis dan Pengusaha Independen (MUSIAD). Kelompok yang beruntung ini kemudian mengartikulasikan visi ekonomi, politik dan sosialnya via Islam politik terutama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), melalui perkawinan antara agenda ekonomi pasar terbuka dan demokrasi (borjuis) dengan religiusitas.

Di Mesir, liberalisasi ekonomi yang bermula dari kebijakan Infitah (Kebijakan Ekonomi Terbuka) di masa Presiden Anwar Sadat, alih-alih menguntungkan kelompok borjuis pinggiran, UKM dan kelas menengah, justru menguntungkan bisnis-bisnis besar dengan koneksi ke pemerintah pada waktu itu. Ini semakin diperparah dengan pemotongan subsidi sosial dan pengangguran yang meningkat. Elemen kelas menengah atau borjuis kecil yang termarginalisasi inilah yang kemudian tertarik bergabung kepada IM dan semakin mempertegas tendensi konservatif yang militan dalam tubuh IM.

Tentu ada proses moderasi dalam IM dan para penggiat IM pun bergumul dengan proses tersebut. Namun, rupa-rupanya, IM kesulitan untuk melakukan transformasi atas tendensi konservatif dari visi Islamisnya. Tadros (2012) mencatat sejumlah keterbatasan IM di era pasca-Mubarak. Pertama, ada kesenjangan dalam tubuh IM sendiri dalam merespon prospek tumbangnya Mubarak  dan perubahan sosial di masa-masa awal Revolusi Mesir. Sejumlah segmen pemuda dari IM, misalnya, meminta izin untuk bergabung dengan aksi massa lintas elemen pemuda di masa awal Revolusi Mesir dan mendesak pimpinan IM yang berasal dari generasi yang lebih tua untuk mendukung aksi tersebut. Pimpinan IM sendiri, yang pada masa itu masih bernegosiasi dengan pihak militer dan sejumlah pejabat di pemerintahan Mubarak, seperti Wakil Presiden Omar Suleiman, awalnya ragu untuk mendukung aksi elemen pemudanya sendiri, meskipun kemudian para pimpinan IM akhirnya mendukung dan bergabung dalam aksi tersebut. Kedua, dalam hal komitmennya terhadap pluralisme politik yang merangkul semua golongan, hak-hak kelompok minoritas seperti kaum Kristen Koptik dan kesetaraan gender,  komitmen IM lebih tepat dipandang sebagai retorika yang bergantung kepada kondisi politik dibandingkan upaya nyata untuk mereformasi pandangannya. Dengan kata lain, terlepas dari upayanya untuk menampilkan dirinya sebagai kelompok Islam ‘reformis’ atau ‘moderat,’ pandangan arus utama dalam tubuh IM mengenai pluralisme politik, hak-hak minoritas, dan kesetaraan gender pada dasarnya konservatif. Tak heran, secara agak profetik, Tadros sendiri menyatakan bahwa ‘Pada 12 Februari, terdapat indikator-indikator yang jelas bahwa kebijakan-kebijakan IM telah mengurangi kohesi sosial, memperdalam ketimpangan gender dan secara signifikan mempersempit batas-batas normatif di mana isu-isu panas dapat didiskusikan’ (hlm. x).

Lalu, bagaimanakah kiprah Morsi dan FJP selama satu tahun pemerintahannya? Sejumlah kritikus seperti Magdi Abelhadi (2012) dan Ahdaf Soueif (2012), menyebutkan sejumlah kesalahan yang dilakukan Morsi dan FJP selama berkuasa. Pertama, Morsi menerbitkan sejumlah dekrit kontroversial (secara eufemistis disebut ‘deklarasi konstitusional’) seperti dekrit yang melarang pihak pengadilan dan yudisial di Mesir untuk mencabut undang-undang atau dekrit yang disahkan oleh Morsi selama masa pemerintahan. Kedua, agenda-agenda Islamis yang bersifat sektarian. Ketiga, salah urus kebijakan ekonomi. Untuk poin ketiga ini, dapat dikatakan bahwa Morsi, FJP dan kelompok Islamis pada dasarnya tidak menawarkan visi ekonomi yang betul-betul egaliter melainkan hanya meneruskan kebijakan neoliberal ala Mubarak. Soueif menyebutkan bahwa ‘Morsi mengunjungi China ditemani oleh beberapa pebisnis yang juga kongsi-kongsinya Mubarak; komunitas perbankan membicarakan bahwa beberapa persetujuan telah dibuat antara pejabat tinggi negara dan kelompok-kelompok mereka, dan meminjam dana dari IMF dan Bank Dunia mendadak jadi tidak berdosa.’ Keempat, massa pendukung IM dan FJP sendiri juga terlibat dalam berbagai aksi vigilantis dan agitatif melawan berbagai elemen dari kelompok oposisi. Perlu diingat juga bahwa Morsi hanya menang tipis di pemilu presiden tahun lalu – bahkan, mereka yang memilih Morsi juga melakukannya karena pertimbangan strategis: agar elit lama di masa Mubarak, militer, dan elemen-elemen kontra-revolusioner lainnya tidak merebut kekuasaan dan membajak Revolusi Mesir.

Barangkali, karena faktor-faktor inilah, politik yang dijalankan oleh Morsi, FJP dan IM pada dasarnya adalah semacam konservatisme borjuis kecil, memicu jutaan rakyat Mesir untuk kembali melakukan aksi massa dan mobilisasi di jalan sebagai protes terhadapnya.

Bagaimana dengan Militer dan Gerakan Rakyat?

Lalu, setelah terjungkalnya Morsi dari kekuasaan, bagaimana dengan gerakan rakyat dan militer?

Di sini, saya pikir, sebuah pemahaman yang lebih komprehensif diperlukan untuk memahami konstelasi politik di Mesir dewasa ini. Alih-alih melihat politik Mesir secara dikotomis, dalam kacamata oposisi dan militer versus Morsi, FJP dan IM, kita perlu melihat persaingan antara berbagai kekuatan-kekuatan politik di Mesir secara lebih mendalam.

Melihat aksi-aksi kekerasan dan pemberlakuan ‘keadaan pengecualian’ (state of exception) yang dilakukan oleh pihak militer Mesir sekarang ini, maka patutlah kita mencurigai bahwa militer Mesir memiliki agendanya sendiri. Aksi kelompok militer dalam membatasi kebebasan informasi dan berekespresi, misalnya, dapat menjadi dalih untuk membungkam kritik apapun terhadap dominasi militer dalam politik Mesir. Oleh karena itu, di sini saya lebih bersepakat kepada posisi kawan Muhammad Ridha (2013) dan mengritik posisi kawan Ted Sprague (2013) yang menurut saya, mohon maaf, terlampau simplistik dalam melihat perkembangan politik Mesir dewasa ini.

Kondisi Revolusi Mesir pasca Morsi mengingatkan saya atas satu penggalan kisah Revolusi Rakyat di masa Romawi Kuno dalam buku Oligarchy karya Jeffrey Winters (2011). Di situ, disebutkan bahwa di masa Romawi Kuno, Revolusi dan Pemberontakan Rakyat yang asli dan berasal ‘dari bawah’ demi melawan para tiran dan diktator dan mewujudkan tatanan ekonomi-politik yang lebih egaliter dan distribusionis terkadang diinterupsi oleh para oligark ‘dari atas’ atas dasar kebencian mereka terhadap para tiran dan diktator yang berkuasa. Hasilnya? Sayang, bukan kemenangan rakyat, melainkan revitalisasi politik oligarkis yang didominasi oleh kelompok super kaya di masyarakat Romawi. Di dalam masa transisi menuju demokrasi, sebuah studi klasik juga menegaskan pentingnya memperhatikan keretakan dan dinamika politik di antara para elit (O’Donnell & Schmitter, 1986). Mungkin, dalam perspektif inilah, kita bisa lebih memahami konstelasi politik di Mesir saat ini.

Sisi lain yang secara perlahan-lahan mulai tersingkap adalah potensi kelompok Islamis Salafi yang terutama diwakili oleh Partai Cahaya (An-Nur) untuk menjadi salah satu pemain utama dalam politik Mesir pasca-Morsi. Menurut berbagai laporan media, posisi Partai Cahaya bahkan lebih konservatif dibandingkan IM dan FJP, yang setidaknya masih memiliki beberapa faksi moderat. Kemana arah politik Partai Cahaya akan bergerak tentunya  perlu kita perhatikan secara lebih seksama.

Kondisi ini tentu menimbulkan berbagai dilema dan pertanyaan yang lebih rumit lagi bagi Mesir pasca-Morsi. Terlepas dari perbedaan posisi teoretik dan politik yang jauh antara gerakan rakyat dan kelompok-kelompok Islamis, sebagaimana dijelaskan oleh Samer Shehata (2013), konsolidasi demokrasi di Mesir mensyaratkan inklusi kelompok-kelompok Islamis di dalam proses politik. Memang, persoalan inklusi ini bukan hal yang mudah, bahkan selalu menjadi persoalan yang rumit dalam setiap proses revolusioner dan transisi menuju demokrasi. Namun, yang rumit inilah yang musti dihadapi oleh gerakan rakyat di Mesir, apabila gerakan rakyat di Mesir – dan berbagai tempat lainnya – mau mewujudkan cita-cita mereka dan mendapatkan legitimasi yang kuat.

Tanpa bermaksud menggurui, mungkin kondisi Mesir sekarang bisa menjadi semacam momen reflektif bagi gerakan rakyat di Mesir dan di berbagai tempat lain. Rakyat Mesir memang berhasil dalam eksperimennya melampaui keterbatasan transisi demokrasi dan kerangka demokrasi liberal menuju sebuah bentuk demokrasi yang lebih radikal. Namun, mungkin mobilisasi massa saja tidak cukup; kita perlu melangkah (sedikit) lebih jauh lagi dari situ. Ini juga yang disampaikan oleh Tariq Ali (2013) dalam pesan videonya kepada para demonstran dan aktivis #OccupyGezi. Di tengah fragmentasi gerakan rakyat dan oposisi di Mesir dalam berbagai tendensinya (sekuler, liberal, nasionalis, kiri dan lain-lain), kepemimpinan politik dan bentuk-bentuk lain dari pengorganisasian menjadi penting, apalagi jikalau gerakan rakyat ingin merebut negara dan mentransformasikan logikanya, di tengah-tengah proses revolusi dan demokratisasi yang rawan ‘dibajak’ untuk menjadi permainan elit.

Pasca-Morsi, kemanakah angin politik di Mesir akan berhembus? Tentu, hanya Gerakan Rakyat Mesir sendirilah yang dapat menjawabnya.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan

Abelhadi, M., 2012. Mohamed Morsi and the fight for Egypt. [Online]
Available at: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/nov/27/mohamed-morsi-fight-for-egypt?INTCMP=SRCH
[Accessed 9 July 2013].

Ali, T., 2013. A Message to #OccupyGezi. [Online]
Available at: http://mrzine.monthlyreview.org/2013/ali170613.html
[Accessed 9 July 2013].

Fischer, M. M. J., 1982. Islam and the Revolt of the Petit Bourgeoisie. Daedalus, 111(1), pp. 101-25.

Gumuscu, S., 2010. Class, Status, and Party: The Changing Face of Political Islam in Turkey and Egypt. Comparative Political Studies, 43(7), pp. 835-61.

Harman, C., 1994. The prophet and the proletariat. [Online]
Available at: http://www.marxists.org/archive/harman/1994/xx/islam.htm
[Accessed 10 July 2013].

O’Donnell, G. & Schmitter, P. C., 1986. Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore, MD: The Johns Hopkins University Press..

Ridha, M., 2013. Revolusi Mesir Sekarang dan Pertanyaan Rumitnya. [Online]
Available at: http://indoprogress.com/revolusi-mesir-sekarang-dan-pertanyaan-rumitnya/
[Accessed 9 July 2013].

Shehata, S. S., 2013. In Egypt, Democrats vs. Liberals. [Online]
Available at: http://www.nytimes.com/2013/07/03/opinion/in-egypt-democrats-vs-liberals.html
[Accessed 9 July 2013].

Soueif, A., 2012. Egypt’s hopes betrayed by Morsi. [Online]
Available at: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/dec/09/egypt-hopes-betrayed-mohamed-morsi?INTCMP=SRCH
[Accessed 9 July 2013].

Sprague, T., 2013. Benarkah Ada Kudeta Militer di Mesir?. [Online]
Available at: http://indoprogress.com/benarkah-ada-kudeta-militer-di-mesir/
[Accessed 9 July 2013].

Tadros, M., 2012. The Muslim Brotherhood in Contemporary Egypt: Democracy redefined or confined?. Oxon and New York: Routledge.

Winters, J. A., 2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.

Islam Politik di Indonesia: Perkembangan Kapitalisme dan Warisan Perang Dingin

Islam Politik di Indonesia: Perkembangan Kapitalisme dan Warisan Perang Dingin

Ulasan dan Tinjauan Makalah Vedi R. Hadiz
Iqra Anugrah,
Kandidat Master ilmu politik di Ohio University, AS.

Sheikh Hassan Nasrallah; photo by Anton Nossik via Flickr

STUDI tentang Islam dan politik di Indonesia, kini menjadi salah satu topik marak di disiplin ilmu politik, kajian Asia Tenggara, dan kajian Islam. Sederetan pembahasan dan diskursus mengenai berbagai variasi dan fenomena Islam politik di Indonesia, mulai dari yang ‘modernis,’ ‘tradisionalis,’ ‘liberal-progresif,’ ‘fundamentalis,’ hingga ‘teroris’ menjadi tema-tema utama dalam studi Islam dan politik di Indonesia. Hingga sekarang, perspektif yang dipakai untuk melihat Islam Indonesia adalah sebuah ‘narasi besar’ berupa fakta bahwa Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar sedunia, berhasil menjalankan proses demokratisasi elektoral dan menjadi republik yang demokratis, yang meskipun mendapat tantangan dan ancaman dari segelintir kelompok fundamentalis dan teroris yang mengatasnamakan Islam, mendapat sokongan yang luar biasa dari mayoritas Muslim yang moderat dan progresif, yang menjadi pilar kehidupan berbangsa.

Sayangnya, wacana ini, meskipun mengandung kebenaran di beberapa aspek, juga memiliki berbagai kelemahan. Setidaknya ada tiga kelemahan dari kajian Islam dan politik di Indonesia saat ini. Pertama, terlalu banyak penekanan pada aspek agency (agen sosial) dari perubahan posisi dan peran Islam politik di Indonesia dalam perubahan sosial-politik masyarakat, seperti pada argumen tentang peranan kelompok dan organisasi Islam moderat dan progresif dalam demokratisasi Indonesia; kedua, dikotomi antara kelompok ‘moderat-progresif-liberal’ vis-à-vis kelompok ‘fundamentalis-militan’ dan bahkan ‘teroris’ dalam menganalisis pemetaan Islam dan politik di Indonesia; dan ketiga, seiring dengan perubahan politik global pasca 9/11 dan naiknya isu terorisme, studi Islam dan politik cenderung terlalu security-oriented, atau menitikberatkan pada dimensi keamanan.

Artikel jurnal terbaru dari profesor Vedi R. Hadiz (2011), yang bertajuk Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War terbitan Journal of Southeast Asian Affairs memberikan perspektif baru, atau setidaknya berbeda, dalam mengupas isu Islam dan politik di Indonesia. Dengan menghadirkan analisa politik-ekonomi dan sosiologis-historis dalam perspektif Marxis untuk mengupas fenomena Islam politik di Indonesia, usaha Hadiz patut diapresiasi. Dalam semangat tersebut, artikel ini bertujuan untuk memberi ulasan kritis atas makalah Hadiz.

Islam Politik dalam Perspektif Marxis

Sebelum membedah tulisan Hadiz secara lebih dalam, pemahaman dasar mengenai apa itu Islam politik dan bagaimana analisa Marxis melihat Islam politik menjadi penting untuk memahami esensi dan konteks dari tulisan tersebut.

Islam politik atau dalam bahasa Inggris disebut political Islam, secara garis besar, dapat dilihat sebagai sebuah istilah umum yang merujuk pada upaya-upaya dari kaum Muslim untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sosial-politik dalam lingkup suatu negara-bangsa atau entitas politik lainnya, sebagai respon atas perubahan regional maupun global. Seperti halnya dengan ide-ide dan ideologi lain, Islam politik memiliki berbagai variasi, mulai dari yang berkarakter moderat dalam hal-hal ritual dan peribadatan serta progresif dalam aspek penerimaan terhadap agenda politik demokratis dan mekanisme elektoral, fundamentalis dan literal dalam penerapan pola-pola keberagamaan namun masih menerima pranata politik modern dan sekular seperti pemilihan umum, hingga kelompok-kelompok yang menempuh jalan kekerasan dengan metode vigilantisme atau premanisme maupun terorisme. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian serta kejelian dalam memberi label dan membahas Islam politik tergantung konteksnya (Hirsckind, 1997).

Manifestasi Islam politik yang membawa retorika agama dengan nuansa fundamentalis, anti-perbedaan, anti-modern/Barat, dan terkadang mendukung kekerasan, sebenarnya adalah kelompok yang minoritas dan marginal dalam sejarah Islam. Olivier Roy (2004), seorang ahli Islam politik kenamaan asal Perancis, mengungkapkan bahwa sekte yang menempuh metode-metode kekerasan dan dapat dianggap sebagai melakukan metode ‘teroristik,’ yaitu Ismaili-Hashshashi, hanyalah kelompok kecil pada zamannya. Kemudian, konsep jihad sebagai fard ‘ayn atau kewajiban individual, terutama dalam konteks mengangkat senjata, juga merupakan suatu hal yang baru, yang dapat dilihat sebagai bid’ah atau inovasi dalam praktek beragama. Lucunya, dua hal ini sering menjadi justifikasi dan legitimasi oleh banyak kelompok Islam politik yang fundamentalis dan pro-kekerasan.

Dari kacamata Marxis, untuk memahami Islam politik, diperlukan juga pemahaman dan analisa mengenai karakter doktrin-doktrin dalam agama Islam, kondisi di mana Islam lahir, serta sejarah awal perkembangan Islam. Adalah Maxime Rodinson (1973), ahli Timur Tengah serta Islam berhaluan Marxis yang menyatakan bahwa pada prinsipnya, tidak ada hal-hal yang secara fundamental menghalangi masyarakat Muslim untuk menerapkan kapitalisme. Rodinson (1973) juga menunjukkan bahwa di era dinasti-dinasti Islam, sistem ekonomi pasar yang bersifat proto-kapitalis juga diterapkan, yang juga ditemukan di masyarakat Eropa abad pertengahan. Kemudian, secara inheren tidak ada tendensi tertentu dalam Islam yang menghalangi atau menganjurkan orientasi ide yang bersifat sosialis maupun kapitalis. Hal yang sama juga ditemui dalam hubungan antara Islam dan Kapitalisme di Asia Tenggara oleh Clammer (1978). Dengan kata lain, secara basis ekonomi dan politik bendera Islam dapat digunakan untuk mendukung jargon-jargon dan kampanye ideologi, politik, dan ekonomi apapun.

Lalu, pertanyaannya, bagaimana Islam politik lahir dan berkembang? Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi fenomena munculnya Islam politik: pertama, politik luar negeri Amerika Serikat yang bersifat imperialis demi meneguhkan hegemoni globalnya; kedua, kontradiksi dan pertarungan internal antara nasionalisme sekuler dan naiknya kecenderungan Stalinis dalam kelompok politik kiri dan nasionalis di dunia Arab, yang melemahkan kekuatan oposisi kiri-progresif, serta ketiga, gagalnya rejim otoriter-sekuler dalam memenuhi janji-janji ‘pembangunan’ di dunia Islam (Kumar, 2011). Semuanya berperan dalam naiknya Islam politik sebagai ideologi politik alternatif.

Islam Politik di Indonesia

Dalam artikelnya, Hadiz (2011) membeberkan beberapa argumen utama dari telaahnya. Pertama, menurut Hadiz, alih-alih hasil dari proses demokratisasi, Islam politik berasal dan berakar dari Orde Baru; kedua, Islam politik di Indonesia sesungguhnya adalah respon populis yang merupakan bagian dari naiknya Islam politik secara global di Afrika Utara dan Timur Tengah. Untuk memperkuat tesis-tesis dari makalah ini, data-data dari penelitian Hadiz di Solo juga diangkat sebagai studi kasus.

Hadiz memulai dengan argumen bahwa studi tentang Islam politik di Indonesia tidak cukup untuk menggambarkan berbagai fenomena yang muncul, terutama paska penyerangan teroris ke gedung World Trade Center pada September, 2011, yang membuat analisa berorientasi keamanan menjadi laku keras. Menurut Hadiz, pembacaan ini cenderung simplistik, dan melupakan keragaman realita berbagai macam variasi Islam, kaum Muslim, dan Islam politik. Dalam konteks Indonesia, ada tiga hal yang setidaknya perlu diperhatikan, yaitu pola hubungan Islam politik dan negara, absennya kekuatan oposisi alternatif yang bersifat kiri, liberal-progresif, atau sosial-demokrat dalam sejarah politik Indonesia, serta kondisi politik global terutama Perang Dingin yang berperan dalam membentuk karakter Islam politik di Indonesia.

Kemudian, Hadiz memperkuat klaim Islam politik sebagai respon populis atas kapitalisme global dengan mengangkat contoh-contoh paralel dari Timur Tengah dan Afrika Utara, sebagai representasi dari dunia Islam. Akar dari munculnya Islam politik di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah kevakuman politik yang disebabkan oleh absenya partai-partai berhaluan kiri dan progresif secara umum, baik yang beraliran komunis, sekular-liberal-progresif, hingga sosial-demokrat, yang disebabkan oleh tuntutan Perang Dingin pada saat itu yang membuat penggembosan sistemik atas kekuatan politik tersebut di atas dan juga proyek ‘Nasionalisme dan Sosialisme Arab’ yang cenderung otoriter, sehingga tidak memungkinkan adanya oposisi politik yang dinamis. Perlu diingat juga, posisi tawar jazirah Arab dalam kancah ekonomi dan politik global pada saat itu sedang meningkat karena adanya oil boom, limpahan minyak yang menghidupi ekonomi petrodollar. Namun, ekonomi minyak inilah yang menjadi pisau bermata dua. Seiring dengan derasnya permintaan akan minyak, kebijakan ekonomi neoliberal dan pemotongan atas anggaran publik menjadi marak, belum lagi ditambah dengan saluran aspirasi politik yang sangat terbatas dalam rejim otoriter. Kesenjangan sosial, pembatasan berekspresi di ruang publik, serta banyaknya angkatan kerja muda, tak heran jika gabungan dari faktor-faktor ini berujung pada frustasi sosial. Alhasil, sebagaimana diungkapkan Zakaria (2003), masjid menjadi satu dari sekian tempat di mana masyarakat bisa mengungkapkan kegelisahanya, sebuah momentum yang pada akhirnya ditangkap secara efektif oleh elemen fundamentalis dari Islam politik, terutama karena masjid tidak bisa dan tidak sepantasnya ditutup.

Hadiz kemudian kembali membahas mengenai Indonesia, dan bagaimana persamaan dan perbedaan antara pola di jazirah Arab dan Indonesia dapat menjelaskan fenomena Islam politik kontemporer. Islam politik di Indonesia dalam berbagai variannya juga menjadi sumber inspirasi bagi semangat egalitarianisme, keadilan sosial, serta kritik terhadap kesenjangan sosial dan korupsi, terutama di masa Orde Baru. Berangkat dari titik ini, Hadiz kemudian menjelaskan mengenai konteks sejarah dari naiknya Islam politik di Indonesia dari masa kolonial hingga sekarang, terutama dalam bentuknya yang berbau fundamentalis dan vigilantis, serta kaitannya dengan kemunduran politik kiri, dinamika hubungan Islam politik dengan negara, dan peranan middle class atau kelas menengah Muslim dalam politik.

Ada beberapa kesimpulan penting, menurut Hadiz, dalam interpretasinya mengenai Islam politik di Indonesia. Dalam hal basis ekonomi, Hadiz berpendapat bahwa Islam politik di Indonesia berasal dari kalangan kelas menengah, borjuasi kecil, dan borjuasi pada umumnya. Ini bisa dilihat di masa kolonial, di mana gerakan Islam politik seperti Sarekat Islam (SI) didominasi oleh kaum pedagang dan borjuis. Di masa Orde Baru, sebagai ekses dari perkembangan kapitalisme Orba, kelas menengah Indonesia mulai tumbuh secara pesat, terutama kalangan kelas menengah Muslim, yang nantinya berpengaruh dalam menentukan arah Islam politik. Perkembangan Islam politik, menurut Hadiz, juga tidak bisa dilepaskan dari konteks hubungan internasionalnya. Di masa kolonial, munculnya Islam politik tidak bisa dilepaskan oleh perkembangan nasionalisme di Indonesia dan maraknya gerakan anti-imperialis nasionalisme Dunia Ketiga. Dalam hal identitas, Islam politik juga dapat bersanding mesra dengan gagasan politik kiri secara luas, seperti dibuktikan pada masa kolonial ketika SI dan para anggotanya, yang juga merupakan embrio Partai Komunis Indonesia (PKI), mempromosikan agenda-agenda yang sosialis yang berorientasi pada keadilan sosial.

Lebih lanjut lagi, beberapa kesimpulan juga didapat dari pemetaan terhadap peranan Islam politik di masa Orde Baru dan setelahnya. Pertama, representasi kelas menengah Muslim dalam Islam politik berperan dalam kelahiran dan pembentukan politik di masa Orde Baru, sebagaimana juga dijelaskan oleh Hefner (1993) dan Rodison (1995). Kedua, tendensi vigilantisme dan fundamentalisme yang berbau kekerasan dalam Islam politik bersumber dari persekusi aspirasi Islam politik sekaligus pemanfaatan elemen-elemen pro-kekerasan tersebut oleh rejim Orde Baru demi legitimasi kekuasaannya – sesuatu yang berlanjut hingga di masa reformasi di mana kelompok-kelompok Islam pro-kekerasan dipelihara oleh negara. Ketiga, dan yang terakhir, adalah argumen bahwa dalam kevakuman politik kiri Indonesia paska pemberangusan PKI, Islam politik berperan penting sebagai kritik kelas menengah sekaligus kritik populis atas kebijakan-kebijakan Orde Baru, meskipun menurut Hadiz, Islam politik tidak memiliki misi yang jelas untuk mentransformasi maupun menumbangkan tatanan sosial Orde Baru yang represif.

Untuk melengkapi dan memperkuat argument-argumennya, Hadiz mengangkat studi kasus Solo dan memaparkan data-datanya dalam artikelnya. Hadiz menjelaskan beberapa fitur penting latar belakang sosial kota Solo, terutama basis ekonominya yang berpusat pada aktivitas ekonomi dan industri borjuasi kecil tradisional seperti tekstil dan batik. Keragaman latar belakang sosial-budaya dan identitas juga dapat terlihat dari persilangan antara sejarah Solo sebagai basis PKI melawan kolonialisme di tahun 1920an, kenaikan dan dominasi kelompok bisnis yang didominasi oleh etnis Tionghoa, dan berbagai macam kelompok Islam politik yang terutama tumbuh pasca Orde Baru, seperti FKAM (Forum Komunikasi Aktivis Masjid), FPIS (Forum Pemuda Islam Surakarta), Korps Hisbullah, dan FPI (Front Pembela Islam). Ada dua fakta menarik yang dikemukakan Hadiz di sini; pertama, vigilantisme dan fundamentalisme menjadi ekspresi populis Islam politik di Solo, yang genealogi pemikiran dan kiprahnya dapat ditarik ke masa Orde Baru; kedua, banyak pemain politik yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok Islam tersebut di atas adalah pemain-pemain baru yang tidak memiliki kiprah atau kontribusi politik yang jelas di masa Orde Baru, baik sebagai pendukung atau pengkritik rejim Orba, atau dengan kata lain, tendensi politik aktor-aktor baru Islam politik di kota Solo merupakan hal yang baru, karena sebelumnya mereka hanya berperan sebagai ‘pengamat’ yang sifatnya apolitis. Dua kesimpulan di atas sedikit banyak dapat menyiratkan bagaimana arus kekuasaan dan kapital, yang didukung oleh konteks historis-sosiologis kota Solo, dapat mendorong suburnya Islam politik.

Tinjauan Kritis

Sebagai upaya untuk mengapresiasi analisa Hadiz, sekaligus untuk semakin memahami Islam politik di Indonesia, sebuah tinjauan kritis diperlukan untuk menjawab dua kebutuhan tersebut. Beberapa bagian dari tulisan Hadiz, seperti analisa paralel antara Islam Indonesia dengan Islam di tempat-tempat lain dan perubahan peta politik global perlu diapresiasi. Namun demikian, kritik perlu dialamatkan ke beberapa pembahasan dari tulisan Hadiz, terutama soal sejarah, kajian akan kelas menengah, dan studi kasus di Solo.

Dalam hal sejarah, patut disadari bahwa interpretasi atas sejarah akan selalu menimbulkan pro dan kontra, dan setiap orang atau kelompok memiliki bias-bias pribadinya masing-masing. Dalam kaitannya dengan interpretasi sejarah dan historiografi atas fenomena politik Islam pasca 1965, perlu dipertanyakan apakah ada hubungan kausalitas yang langsung antara penghancuran PKI dan kemunduran politik kiri di Indonesia dengan naiknya Islam politik? Bisakah tindakan sebagian elemen dari Islam politik dalam penyerangan terhadap anggota PKI, seperti beberapa contoh yang diambil oleh Hadiz, diterjemahkan sebagai tindakan kelompok Islam secara keseluruhan? Kritisisme yang sama juga dapat dialamatkan kepada interpretasi Hadiz atas langkah-langkah Islam politik pada masa Orde Baru. Meskipun Hadiz cukup berhasil dalam menggarisbawahi perbedaan berbagai kelompok dan varian Islam politik pada Orde Baru, sebuah pertanyaan patut diajukan pada Hadiz mengenai analisanya terhadap manifestasi aksi kelompok Islam politik yang berhaluan moderat-progresif: apakah pada akhirnya kelompok Islam politik melakukan perlawanan hanya untuk sekedar mencapai kompromi tanpa komitmen terhadap keadilan sosial dan transformasi struktur sosial-politik dalam konteks yang lebih besar? Tidak adakah agenda-agenda transformasi sosial yang berhasil dicapai oleh terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Islam politik yang moderat-progresif, baik secara struktural (melalui berbagai bentuk organisasi dan lembaga alternatif) maupun agensi (figur-figur yang memimpin pergerakan Islam tersebut)?

Dalam kaitannya dengan peran kelas menengah Muslim, beberapa pertanyaan dapat juga ditujukan kepada Hadiz untuk diskusi lebih lanjut. Selain pertanyaan-pertanyaan serupa di atas, pertanyaan lain yang dapat diajukan adalah selain mengadopsi strategi ‘korporatisme kelas menengah’ ke dalam struktur negara Orba, adakah kiprah lain dari Islam politik, terutama kelompok-kelompok moderat-progresif seperti untuk melakukan proses perubahan dan demokratisasi (setidaknya secara elektoral) di Indonesia? Kajian lebih mendalam dan komprehensif mengenai peran kelas menengah Muslim dan kelas menengah secara kesuluruhan diperlukan terutama untuk memahami perilaku politik kelas menengah dalam kaitannya dengan agenda-agenda politik kiri-progresif dan sentimen keagamaan dalam politik – apakah kelas menengah cenderung reaksioner, reformis, atau revolusioner dalam berpolitik, terutama dalam menghadapi krisis politik, dan sejauh manakah kelas menengah menggunakan sentimen agama dan populisme, misalnya dalam bentuk Islam politik, untuk memperjuangkan agendanya?

Adapun kritik mengenai studi kasus di Solo lebih merupakan persoalan metodologis. Jika narasi-narasi dari para aktor lokal di Solo dapat dibahas secara lebih intensif, mendalam, dan menempati porsi yang lebih banyak di dalam artikel Hadiz, maka analisanya dapat menjadi lebih tajam. Namun demikian, dengan mempertimbangkan keterbatasan ruangan pada sebuah artikel jurnal, ulasan Hadiz yang singkat dan padat mengenai Solo dapat dimengerti.

Kesimpulan dan Penutup

Secara keseluruhan, artikel Hadiz berhasil memberikan perspektif baru dalam kajian Islam politik di Indonesia: bahwa naiknya Islam politik, baik dalam variannya yang moderat-progresif dan berbasis kelas menengah dan yang fundamentalis-vigilantis yang populis, merupakan bagian dari kecenderungan global yang terjadi di dunia Islam dan tendensi fundamentalisme dan vigilantisme dalam Islam politik, merupakan ekses dari 32 tahun otoritarianisme Orde Baru, yang muncul ke permukaan dalam bentuknya yang populis. Semuanya tidak bisa dilepaskan dari konteks perang dingin dan pengaruh perkembangan kapitalisme neoliberal di level internasional yang turut mempengaruhi perkembangan Islam politik.

Sebagai perbandingan, kecenderungan politik di Turki, misalnya, juga mengalami perkembangan serupa, seperti terlihat dari naiknya Partai Kesejahteraan atau Refah Party, yang sekarang berubah menjadi AKP, yang berbasis para professional dan kelas menengah Muslim dan mengampanyekan agenda ekonomi pasar (Gulalp, 2001; Yavuz, 1997). Dalam konteks perjuangan melawan kolonialisme di Afrika Utara, misalnya, Islam politik menjadi kanalisasi resistensi dan perjuangan yang efektif, menggantikan Marxisme (Henry, 2007).

Dalam rangka memperkuat demokrasi dan memajukan agenda-agenda politik progresif, representasi Islam politik dalam bentuknya yang fundamentalis, pro-kekerasan, dan populis sesungguhnya patut diwaspadai. Rodinson (1981) kembali mengingatkan bahwa Islam politik dengan karakter seperti ini cenderung memiliki tendensi ‘nationalitarian’ – mengaitkan sentimen nasionalisme yang sempit dan kekecewaan atas kondisi politik domestik dan internasional dengan suatu payung ideologi yang universal – seperti Islamisme, yang memilki tendensi totalitarian. Samir Amin (2001) juga menyebutkan bahwa Islam politik dengan karakter tersebut tidaklah membawa agenda transformatif, melainkan sebaliknya. Ia adalah rival dari ide-ide progresif dan emansipatoris seperti teologi pembebasan (liberation theology), karena alih-alih pesan pembebasan, Islam politik justru mengampanyekan penyerahan atau ketundukan (submission). Islam politik sebagai pembawa pesan fatalistik sangat klop dengan agenda-agenda politik dominasi dan hegemoni Amerika Serikat dan Barat, baik dengan panji ‘anti-komunisme’ dan kemudian ‘anti-terorisme,’ karena ia dapat dipakai menjadi perpanjangan justifikasi politik luar negeri yang ekspansionis baik sebagai alat (dengan label ‘pejuang pembebasan’ atau freedom fighters) maupun musuh baru (‘teroris’).

Dalam kaitannya dengan kondisi politik di tanah air, diperlukan suatu kehati-hatian dan kejelian dalam memahami fenomena Islam politik, terutama dalam hal keragamaan dan perbedaan yang ada dalam Islam politik. Pemahaman mengenai sejarah juga menjadi penting, terutama dalam memahami pemberantasan sistematik kekuatan politik kiri-progresif dan peranan Islam politik dalam politik Indonesia selama tiga atau empat dekade terakhir. Yang lebih penting lagi adalah, bagaimana kita tidak terjebak oleh luka-luka lama dari sejarah kita – yang tentunya perlu untuk disembuhkan – dan kategorisasi politik Indonesia ala teori ‘aliran’ dan teori-teori tentang politik Indonesia pada umumnya, karena pada prakteknya, identitas merupakan hal yang cair dan dinamis dalam politik kita. Pada akhirnya, yang perlu menjadi agenda kita ke depan adalah bagaimana kita bisa waspada dengan benih-benih absolutisme dan totalitarianisme dari Islam politik – dan dari ideologi politik apapun pada umumnya, dan bagaimana kita bisa mengapresiasi eksperimen politik yang dilakukan oleh Islam politik dalam transformasi sosial-politik di Indonesia. Sebuah sintesis dari agenda-agenda Islam politik dan kiri-progresif, alih-alih antagonisme, dapat menjadi sebuah kemungkinan dan terobosan politik di masa depan.***

Referensi:

Amin, S. (2001). ‘Political Islam.’ CovertAction Quarterly, 71 , 3-6.

Clammer, J. (1978). ‘Islam and Capitalism in Southeast Asia.’ Sociology Working Paper, 63, 5-19.

Gulalp, H. (2001). ‘Globalization and Political Islam: The Social Bases of Turkey’s Welfare Party.’ International Journal of Middle East Studies, 33 , 433-448.

Hadiz, V. (2011). ‘Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War.’ Journal of Current Southeast Asian Affairs, 30, 3-38.

Hefner, R. W. (1993). ‘Islam, State, and Civil Society: ICMI and the Struggle for the Indonesian Middle Class.’ Indonesia, 56 , 1-35.

Henry, C. M. (2007). ‘The Dialectics of Political Islam in North Africa.’ Middle East Policy, XIV , 84-98.

Hirschkind, C. (1997, Oct-Dec). Middle East Report, 205. Middle East Studies Networks: The Politics of a Field , pp. 12-14.

Robison, R. (1995). ‘The Emergence of the Middle Class in Southeast Asia.’ Asia Research Centre Working Paper, 57, 1-19.

Rodinson, M. (1973). Islam and Capitalism. New York, NY: Pantheon Books.

Rodinson, M. (1981). Marxism and the Muslim World. New York, NY and London: Monthly Review Press.

Roy, O. (2004). Globalized Islam: The Search for a New Ummah. New York, NY: Columbia University Press.

Yavuz, M. H. (1997). ‘Political Islam and the Welfare (Refah) Party in Turkey.’ Comparative Politics, 30 , 63-82.

Zakaria, F. (2003). The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad. New York, NY: W. W. Norton & Company.