Sejumlah Catatan Awal bagi Partai Politik Alternatif di Indonesia

Sejumlah Catatan Awal bagi Partai Politik Alternatif di Indonesia

Iqra Anugrah*

Buletin BERGERAK, Edisi Agustus-September 2016 – terbitan Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI).

Bertarung dalam kancah politik elektoral merupakan suatu kesempatan sekaligus dilema yang terus mengemuka bagi gerakan rakyat pekerja di dunia. Seruan “tolak pemilu borjuis!” saja tidaklah cukup. Meskipun partisipasi dalam pemilu borjuis bagaikan meniti jalan yang terjal, penuh onak duri, dan aral yang melintang, dalam kondisi-kondisi tertentu strategi tersebut dapat memperluas dan memperdalam ruang-ruang demokrasi bagi penerapan agenda-agenda politik progresif yang pro-kepentingan rakyat pekerja.

Oleh karena itu, partai politik alternatif diperlukan sebagai wadah perjuangan politik bagi gerakan-gerakan sosial yang mewakili berbagai elemen rakyat pekerja. Serikat-serikat rakyat – mulai dari sektor buruh, tani, nelayan, miskin kota, masyarakat adat, perempuan, dan kaum muda – sejauh ini memang telah menunjukkan kiprah dan kontribusinya yang penting bagi rakyat pekerja, tetapi itu saja tidak cukup. Proses dan hasil dari perjuangan tersebut perlu dikoordinasikan dan dikonsolidasikan bagi pemajuan kepentingan rakyat pekerja di Indonesia. Jelas sudah, kita memerlukan partai politik alternatif, yang bisa melawan dominasi dan hegemoni elit selama ini.

Sebagai bagian dari upaya melaksanakan strategi tersebut, pertama-tama kita perlu melihat sejarah perkembangan sistem kepartaian dan implikasinya bagi partisipasi elektoral gerakan rakyat. Di masa awal perkembangan sistem kepartaian di sejumlah kawasan, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat misalnya, ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh gerakan kelas pekerja, seperti absennya hak pilih universal (universal suffrage), dominasi partai-partai elit dan borjuis, dan peraturan pemilu yang belum sempurna. Mobilisasi yang militan dari gerakan kelas pekerja akhirnya berhasil memberikan tekanan politik bagi rezim-rezim yang berkuasa pada waktu itu. Strategi ini kemudian melahirkan kesempatan politik, yang akhirnya dimanfaatkan oleh kelas pekerja untuk membuat partai-partai yang mewakili kepentingannya.

Di Asia, terutama Indonesia, ada perbedaaan dalam hal tantangan yang dihadapi oleh gerakan rakyat pekerja untuk masuk ke dalam politik elektoral. Yang paling mendasar, secara struktural, terutama di masa-masa awal pembangunan ekonomi, jumlah kelas buruh industrial di Asia lebih sedikit dibandingkan negara-negara kapitalis maju. Dengan demikian, untuk membangun partai berbasis gerakan rakyat kelas buruh harus membangun aliansi multi-sektoral dengan gerakan-gerakan sosial lainnya. Kedua, tingkat represifitas di rezim-rezim birokratik-otoriter di Asia cenderung tinggi. Tatkala negara-negara kapitalis maju mulai masuk ke fase tatanan politik yang bersifat liberal-demokratik, yang memberikan ruang-ruang kebebasan politik bagi gerakan-gerakan rakyat untuk berpolitik (meskipun kebebasan tersebut tentu saja semu dan terbatas dan karenanya tidak sejati), negara-negara Asia justru berada dalam fase negara pembangunan (developmental state), suatu tatanan ekonomi-politik yang menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan “ongkos” yang tidak murah – pengekangan atas kebebasan politik bagi gerakan-gerakan rakyat yang dalam praktiknya tidak jarang menggunakan kekerasan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia di masa Orde Baru, tetapi juga di negara lain, seperti Korea Selatan di masa kediktatoran misalnya. Ketiga, konteks kelembagaan pemilu dan sistem kepartaian di Asia yang cenderung kurang terinstitutionalisasi. Pemilu di Indonesia misalnya meskipun sudah dilaksanakan sesuai dengan kaidah pemilu yang demokratis tetapi peraturannya masih saja bias terhadap partai-partai yang tidak memiliki sumber daya finansial yang memadai. Kemudian, sistem kepartaian di Indonesia cenderung terkartelisasi – partai-partai borjuasi yang ada sekarang cenderung susah dibedakan secara ideologis antara satu sama lain dan hanya berfungsi sebagai wadah untuk melakukan penggerogotan sumber-sumber dana negara di luar anggaran resmi dan membangun jejaring patronase (Ambardi, 2009).

Beban sejarah tersebut, ditambah semakin maraknya kebijakan neoliberal seperti privatisasi, pemangkasan anggaran-anggaran sosial, dan perluasan logika ekonomi pasar di berbagai ranah kehidupan yang semakin melemahkan kekuatan dan solidaritas gerakan rakyat, membuat amanat untuk membangun partai politik alternatif yang memperjuangkan kepentingan rakyat pekerja menjadi suatu tugas yang sangat berat. Inilah tantangan yang sedang kita hadapi di Indonesia. Tetapi persis karena alasan itulah, di tengah-tengah dominasi partai borjuis yang menguasai aturan dan kancah politik elektoral dan hegemoni neoliberalisme yang menyeruak bahkan ke praktik-praktik gerakan sosial, kebutuhan untuk membangun partai politik rakyat pekerja menjadi semakin relevan. Karena, jelas sudah, bahwa kita tidak bisa berharap lagi dengan rezim-rezim yang sudah ada di Indonesia ini setelah reformasi. Tidak bisa tidak, gerakan rakyat pekerja harus membangun partainya sendiri.

Tetapi apa saja tantangan kita depan? Dalam hemat saya, ada lima persoalan yang harus kita jawab: kenyataan ekonomi-politik neoliberal, fragmentasi dalam tubuh gerakan, bahaya borjuisasi gerakan, ketidakmampuan membaca konstelasi politik elit, dan kurangnya basis pengetahuan.

Yang pertama dan paling penting untuk kita pahami adalah tatanan ekonomi-politik neoliberal sebagai epos sejarah yang khas dari zaman kita dan kita alami saat ini. Neoliberalisme melalui berbagai salurannya – mulai dari program-program pembangunan di pedesaan hingga pendanaan untuk organisasi-organisasi masyarakat sipil – berupaya untuk melapangkan jalan bagi masuknya kapital dan investasi besar serta logika ekonomi pasar dalam berbagai ranah kehidupan, mulai dari aktivitas-aktivitas ekonomi hingga sosial (De Angelis, 2005). Pendek kata, neoliberalisme mempromosikan reproduksi relasi sosial kapitalis dalam bentuk-bentuk baru di berbagai lini. Akibatnya, himpitan hidup bagi rakyat pekerja semakin meningkat dan pembangunan solidaritas sosial dan politik menjadi semakin menantang.

Tantangan yang kedua adalah fragmentasi dalam tubuh gerakan sosial itu sendiri. Secara umum, terdapat lebih dari satu federasi atau konfederasi di sejumlah sektor gerakan rakyat, seperti buruh, tani, dan masyarakat adat misalnya. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi cita-cita unifikasi gerakan yang merupakan salah satu prasyarat pembangunan partai politik alternatif.

Yang ketiga adalah tantangan borjuisasi (embourgeoisement) gerakan dalam konteks politik elektoral. Logika politik elektoral yang bertumpu pada perolehan suara mensyaratkan partai-partai untuk mendulang suara dari sebanyak-banyaknya dari para pemilih. Dengan demikian, ada resiko bahwa rakyat pekerja akan memilih bukan sebagai kelas melainkan sebagai kumpulan individu-individu, seperti yang terjadi dengan partai-partai pekerja di Eropa Barat (Przeworski & Sprague, 1986). Dengan kata lain, adalah suatu tantangan tersendiri bagi partai politik alternatif kedepannya untuk menjaga blok suara yang kohesif dan membangun aliansi luas yang efektif – termasuk aliansi lintas kelas dengan faksi progresif dari kelas menengah.

Selanjutnya, yang keempat adalah kekurangmampuan, jikalau bukan ketidakmampuan, membaca konstelasi politik elit. Memang benar bahwa kelas borjuasi dan para penyokongnya – termasuk birokrasi dan aparatus kekerasan negara – pada prinsipnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya. Tetapi, ada kondisi-kondisi struktural dan momen-momen politik tertentu yang memungkinkan terbukanya peluang politik yang lebih luas, misalnya perbedaan preferensi kebijakan ekonomi di antara para elit borjuasi, kriris ekonomi, atau kondisi politik yang genting. Di dalam konteks tersebut, gerakan rakyat yang kuat, yang diwakili oleh partai politik alternatif, perlu memiliki kemampuan untuk membaca konstelasi politik elit, untuk mengetahui konflik terbatas di antara para elit tersebut, dan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan perundingan-perundingan politik – dengan kata lain, melakukan transformasi sosial “dari atas” untuk melengkapi proses transformasi sosial “dari bawah.” Ini mensyaratkan kemampuan analisa politik elit yang tajam dan cermat, yang masih harus kita asah.

Tantangan yang terakhir tetapi tidak kalah penting adalah masih kurangnya basis pengetahuan sebagai dasar teoretik untuk pembangunan partai alternatif. Sudah waktunya bagi kita semua, para pegiat gerakan sosial di Indonesia, untuk membuang dikotomi antara “teori” dan “praktik”, dan menyadari bahwa dikotomi itu sesungguhnya merupakan sebentuk propaganda borjuis. Pembangunan basis pengetahuan yang tepat bagi partai politik alternatif haruslah memperhatikan konteks keIndonesiaan, dan praktik politik gerakan rakyat di Indonesia haruslah bertumpu kepada abstraksi dari pengalaman historis perjuangan rakyat pekerja selama ini. Baik “kerja kobar” – kerja-kerja pembangunan organisasi dan partai rakyat pekerja – maupun “kerja tekun” kerja-kerja teoretik yang tidak selalu nampak ke permukaan – sesungguhnya sama-sama penting dan mendukung satu sama lain.

Adakah jawaban untuk sejumlah tantangan ini? Atau, setidaknya, adakah jalan keluar dari sejumlah permasalahan ini. Tentu saja, kita tidak bisa berpretensi bahwa kita memiliki jawaban final atas persoalan-persoalan penting tersebut. Tetapi, setidaknya kita bisa mulai memikirkan dan memberikan jawaban sementara untuk hal-hal tersebut. Dari segi teknis kepemiluan, ini berarti memikirkan dan merumuskan strategi yang berkaitan dengan pemenuhan syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu, seperti pemahaman atas aturan perundang-undangan, pemenuhan persyaratan jumlah keanggotaan dan kepengurusan, pendanaan yang cukup, legal, dan berkelanjutan bagi operasional partai, dan lain sebagainya. Dari dimensi lain, ini berarti memperkuat pembangunan basis organisasi di tingkat akar rumput dan mendorong pendidikan politik kader-kader gerakan dan partai politik rakyat pekerja secara lintas sektor. Dua langkah ini, kerapihan organisasi dan pembentukan kader-kader yang militan, sangatlah penting bagi pembangunan partai.

Satu jawaban lain yang bukan hanya tidak kalah penting tetapi juga merupakan salah satu jawaban kunci bagi persoalan-persoalan di atas adalah pengorganisasian ekonomi yang dilakukan secara kolektif dan demokratis yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan membangun gerakan-gerakan rakyat dan partai politik alternatif. Strategi ekonomi seperti ini sangatlah penting terutama di dalam konteks negara kapitalis seperti Indonesia, di mana tata cara pemilu dan aturan main dalam berpolitik masih dikuasai oleh para elit borjuasi, sehingga kancah politik elektoral masih saja didesain untuk menguntungkan kepentingan mereka. Ini diperparah dengan penguasaan sektor-sektor ekonomi – tidak hanya dari segi produksi tetapi juga distribusi dan konsumsinya – oleh para elit borjuasi tersebut. Sehingga, untuk mengatasi persoalan biaya operasional yang tinggi dalam politik elektoral dan himpitan hidup yang semakin meningkat karena ekspansi kapitalisme, maka pengorganisasian ekonomi mutlak dilakukan. Strategi ini tidak hanya sekedar untuk keperluan pembiayaan aktivitas partai – lebih dari itu, strategi tersebut perlu menjadi salah satu tulang punggung yang utama, yaitu pembangunan ekonomi yang berbasis solidaritas, yang mencakup secara komprehensif aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Ini mensyaratkan sejumlah hal, seperti perumusan strategi atau kebijakan ekonomi gerakan yang memperhatikan perimbangan antara pembangunan desa dan kota, identifikasi sektor-sektor ekonomi potensial, pembangunan jaringan distribusi dan pasar alternatif, hingga strategi pemasaran dan kerjasama lintas sektoral – misalnya antar sektor buruh, tani, dan nelayan yang merupakan sektor-sektor yang kaya dengan basis produksi.

Demikian sejumlah catatan awal bagi pembangunan partai politik alternatif di Indonesia. Tentu saja, pemaparan ini bukanlah merupakan jawaban final atas tantangan-tantangan yang akan kita hadapi kedepannya. Tetapi, setidaknya ini dapat menjadi semacam panduan atau referensi bagi perbincangan dan perdebatan yang lebih mendalam mengenai dilema partisipasi elektoral bagi gerakan-gerakan sosial dan serikat-serikat rakyat di Indonesia. Kedepannya, tantangan kita akan semakin berat: kita dituntut untuk bisa semakin taktis tanpa kehilangan prinsip. Persis di titik itulah, terang sudah bahwa berpolitik bukan hanya merupakan sains melainkan juga seni. Dan partai politik alternatif, yang berkarakter kelas, militan, dan demokratik, yang memperjuangkan kepentingan segenap rakyat pekerja, perlu menguasai kemampuan itu.***

Referensi

Ambardi, K., 2009. Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

De Angelis, M., 2005. The Political Economy of Global Neoliberal Governance. Review, 28(3), pp.229-57.

Przeworski, A. & Sprague, J., 1986. Paper Stones: A History of Electoral Socialism. Chicago: University of Chicago Press.

*Kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University.

https://www.academia.edu/29803661/2016._Sejumlah_Catatan_Awal_bagi_Partai_Politik_Alternatif_di_Indonesia_Some_Notes_on_Alternative_Political_Parties_in_Indonesia_in_Indonesian_._Buletin_Bergerak_August-September

Ofensif Kanan sebagai Tantangan Kita Bersama

SETIDAKNYA dalam hampir dua dekade terakhir kita, menyaksikan dinamika ekonomi-politik global yang begitu bergejolak. Di tahun 2001, pasca serangan 9/11 ke gedung WTC, proyek sekuritisasi dan invasi imperium global kembali mengemuka. Di tahun 2008, pasca Krisis Ekonomi dan Finansial Global yang bermula di Amerika Serikat (AS), perdebatan yang luas mengenai kapitalisme dan alternatif terhadapnya kembali marak. Pengaruh dari kedua peristiwa historis tersebut masih terasa hingga sekarang. Peristiwa tersebut juga merupakan gejala permukaan dari ‘ketegangan sejarah’ yang lebih luas antara elemen-elemen konservatif-reaksioner di satu sisi dan progresif di sisi lain, dengan pola pertarungan yang beragam di berbagai belahan dunia.

Dalam beberapa momen, kekuatan-kekuatan Kiri-progresif, baik yang diwakili oleh partai-partai Kiri kontemporer, eksperimen elektoral politik Kiri, gerakan-gerakan sosial yang terorganisir, maupun gerakan-gerakan rakyat yang lebih luas mencatat sejumlah pencapaian. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, sepertinya kaum Kanan lah yang lebih unggul, mulai dari AS, Uni Eropa, Amerika Latin, hingga Asia.

Tidaklah berlebihan saya pikir untuk menilai bahwa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini adalah ofensif Kanan. Ini adalah sebuah tantangan bagi kita semua.

Ofensif Kanan merebak mulai dari di pusat imperium hingga ke negara-negara lain. Di AS, Donald Trump dan agenda-agenda politiknya, mulai dari konservatisme statis yang pro-bisnis, nasionalisme xenofobik, hingga anti-imigran dan minoritas, memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kancah politik elektoral. Di Inggris, kekecewaan atas perlambatan ekonomi dan industri, peningkatan kesenjangan, dan ekses dari proses-proses politik yang teknokratis dan birokratis dari institusi Uni Eropa berujung pada Brexit, yang kemudian ditunggangi oleh kelompok-kelompok reaksioner dan rasis untuk mengembangkan sentimen anti-imigran yang sudah laten. Di negara-negara Uni Eropa, permasalahan-permasalahan ekonomi, imbas dari kebijakan pengetatan atau austerity, dan permasalahan imigrasi serta pengungsi memberi angin bagi naiknya kekuatan-kekuatan sayap Kanan. Di Amerika Latin, gelombang pink tide yang menandai naiknya partai-partai Kiri-progresif dan gerakan rakyat ke tampuk kekuasaan di berbagai negara mulai meredup, digantikan oleh rongrongan dan manipulasi para oposan karbitan dan komprador lokal. Di Asia Tenggara, reaksi terhadap kontradiksi dalam pembangunan, meningkatnya represi, mandeknya jalur-jalur politik tradisional, dan meningkatnya perampasan sumber daya alam dan masyarakat gagal menemukan artikulasi politik progresifnya, baik di Indonesia, Filipina, Thailand, hingga Kamboja dan Vietnam.

Ini bukan berarti tidak ada perlawanan sama sekali dari berbagai elemen politik progresif. Tentu saja ada upaya-upaya perlawanan yang dapat dikatakan cukup terorganisir. Sayangnya, pada kenyataannya, itu belum cukup. Eksperimen Syriza di Yunani, misalnya, mengalami involusi ketika sebagian unsur-unsur pimpinannya memutuskan untuk melakukan konsesi terhadap proyek neoliberal Troika – suatu hal yang membayang-bayangi dan menjadi catatan penting bagi eksperimen Podemos di Spanyol yang masih berlangsung hingga sekarang. Di AS, naiknya Bernie Sanders dan kemunculan Sanderistas merupakan capaian penting bagi gerakan progresif di AS, terutama dalam hal intervensi elektoral di dalam sistem politik yang melanggengkan duopoli partai-partai borjuis, tetapi inovasi tersebut belum mampu mengubah kenyataan struktural yang ada. Di Venezuela, oposisi Kanan dengan sokongan brokernya di pusat imperium sana mulai merongrong dan mencoba melucuti warisan-warisan Revolusi Bolivarian. Di Asia Tenggara, oposisi dan resistensi demokratik atas kebijakan-kebijakan rezim investasi Jokowi di Indonesia maupun pemerintahan junta militer di Thailand memang terus berlanjut dan bergema, tetapi upaya tersebut masihlah tercerai berai.

Perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti tidak ada pencapaian dari kerja-kerja politik tersebut yang belum begitu membuahkan hasil yang terlihat. Setidaknya, berbagai jenis pengalaman dari kerja-kerja tersebut – mobilisasi, penyadaran atas interseksionalitas, pembangunan solidaritas, komunikasi publik, hingga strategi lapangan dan perumusan kebijakan-kebijakan teknis – memberi pembelajaran dan bekal yang luar biasa bagi kedewasaan dan militansi berpolitik rakyat pekerja kedepannya. Namun perlu diingat bahwa para musuh selalu bergerak bukan hanya satu dua langkah melainkan jauh lebih cepat dari kita. Setiap proyeksi politik progresif-demokratik dan anti-kapitalis harus menyadari dan menyiasati kenyataan itu.

Ada berbagai variasi dari naiknya ofensif Kanan – mulai dari hegemoni, dominasi, hingga kondisi yang disebut Trotsky sebagai dual power. Pola kenaikan kekuatan-kekuatan politik Kanan di satu tempat bisa jadi tidak sama dengan tempat lain. Ini yang perlu kita sadari. Untuk memahami variasi ini, kita perlu membaca ‘kondisi objektif’ di tiap-tiap tempat dan konteks secara cermat, tepat, dan berhati-hati. Karena, dari pembacaan itulah kita bisa merumuskan strategi dan posisi gerakan, alias preskripsi politik, secara tepat.

Melihat maraknya ofensif Kanan di berbagai tempat, termasuk di Indonesia, kita bisa mengklaim bahwa posisi politik Kiri-radikal menjadi semakin penting dan relevan – karena, hanya politik Kiri lah yang dapat menyelamatkan cita-cita politik liberal-demokratik yang seringkali mandek artikulasinya dan tidak mampu mengambil konsekuensi logis dari premis-premis politiknya itu sendiri. Artinya, bahkan untuk ‘menyelamatkan’ atau ‘menjaga’ status quotatanan liberal-demokratik – suatu tatanan yang tentu saja masih berkarakter borjuis dan eksploitatif, meskipun termanifestasikan dalam penampakan-penampakan yang sangat elusif – konstelasi politik yang ada membutuhkan artikulasi dan kekuatan politik Kiri yang mumpuni. Tentu saja, proyek politik Kiri bukan merupakan apologi terhadap tatanan kapitalis-neoliberal dan liberal-demokratik – setiap Kiri dan sosialis haruslah berkomitmen untuk memajukan upaya transformasi menuju masyarakat post-kapitalis dan tatanan sosialis yang ilmiah dan demokratik – tetapi ruang-ruang demokrasi, bahkan dalam tatanan masyarakat kapitalis yang masih eksploitatif, setidaknya memberi kesempatan bagi kekuatan-kekuatan politik rakyat pekerja dan gerakan Kiri untuk melakukan upaya-upaya pengorganisiran dan kontestasi dalam berbagai level. Tugas ini makin relevan terutama di tengah-tengah naiknya ofensif Kanan seperti yang kita hadapi sekarang.

Dengan demikian, dalam tiap langkah kita, kita harus terbuka dan terbiasa dengan tradisi dan praktik berkritik, karena praktik-praktik demokrasi yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya bukanlah sekedar tujuan bagi kita melainkan juga cara yang harus menjadi aksiom bagi setiap proyek politik emansipasi. Sejauh ini respon kita terhadap tantangan politik yang ada cukup beragam dan sebagian di antaranya cukup efektif, tetapi dapat dikatakan masih kurang. Jawaban atas permasalahan tersebut bukanlah penarikan diri atau retreat dari kancah politik dan terjebak dalam suatu bentuk fetisisme movement atau gerakan semata, melainkan refleksi, evaluasi, dan kritik yang mendalam atas langkah dan strategi kita sejauh ini dan mencoba mengintegrasikan hasil renungan tersebut dalam strategi-strategi politik kita – termasuk strategi elektoral – kedepannya.

Ini adalah suatu tugas yang semakin mendesak dan relevan, terutama sekarang ketika kita di Indonesia sedang mencoba melakukan intervensi elektoral untuk menghadapi dan bertarung di Pemilu 2019 nanti.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Ofensif Kanan sebagai Tantangan Kita Bersama

The Morning After: Sejumlah Pelajaran bagi Gerakan Sosial di Indonesia (Bagian 2)

http://indoprogress.com/2015/02/the-morning-after-sejumlah-pelajaran-bagi-gerakan-sosial-di-indonesia-bagian-2/

Pendahuluan

SEBELUMNYA telah kita bahas bersama-sama kondisi gerakan sosial di tanah air dalam konteks politik yang baru, yaitu pemerintahan Jokowi-JK. Kemudian, kawan Ridha juga sudah menjelaskan mengenai tantangan dan kegamangan gerakan sosial dalam konteks agenda anti korupsi. Setelah kita mendapatkan gambaran yang cukup jernih tentang posisi dan kondisi gerakan sosial dalam kancah politik Indonesia, maka sekarang adalah saatnya untuk membahas mengenai strategi-strategi yang perlu kita tempuh untuk memenuhi tiga tugas yang saya pikir mendesak bagi gerakan sosial Indonesia, yaitu pembangunan posisi teoretik yang holistik namun inklusif, pembangunan tradisi keilmuan dalam gerakan, dan penggarapan tugas-tugas jangka panjang. Kemudian, kita juga perlu membahas strategi apa yang perlu kita terapkan sekarang di era pemerintahan Jokowi-JK. Sebagai ilustrasi atas pentingnya tiga strategi tersebut sekaligus pembuka diskusi, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk kembali melihat dan belajar dari sejarah salah satu gerakan dan organisasi rakyat terkemuka dalam sejarah Indonesia: Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI Sebagai Institusi Pendidikan

Memori dan imajinasi kita tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan di kalangan para penggerak gerakan sosial sendiri, terkadang adalah memori dan imajinasi yang terdistorsi. Biasanya PKI diidentikkan dengan aksi-aksi mobilisasi dan agitprop (agitasi dan propaganda) yang masif dan terorganisir – bukankah bayangan kita mengenai para kader dan simpatisan PKI identik dengan ‘aksi sepihak’ dan barisan-barisan ‘semut merah’?

Tetapi, warisan PKI jauh lebih banyak dari sekedar romantisme dan tragedi di masa lalu. Sesungguhnya satu hal yang memungkinkan PKI dan pasukan semut merahnya tampil sebagai kekuatan politik terkemuka adalah usaha-usaha pendidikannya. Ruth McVey (1990) membahas upaya tersebut secara dalam artikelnya, Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institutionyang akan saya sarikan inti argumennya di bawah ini.

Salah satu kerja politik yang dilakukan PKI adalah mendidik kader-kader pedesaan dan kaum tani untuk melakukan analisa ekonomi-politik atas kondisi pedesaan. Laporan-laporan yang ditulis oleh para kader desa dan kaum tani ini boleh jadi hanya ditulis dengan kertas dan pensil yang seadanya, namun analisa yang dihasilkan sangat jernih (hlm. 5). Awalnya, upaya pendidikan ini bukanlah hal yang mudah. Di kala PKI masih terseok-seok, di masa pra-kemerdekaan dan awal kemerdekaan, transfer pengetahuan antara para penggerak PKI dan kader-kadernya bagaikan hubungan antara guru spiritual, yang dianggap paham dan khatam dasar-dasar Marxisme-Leninisme, dan murid-muridnya (hlm. 6). Selanjutnya, PKI mulai memperbaharui metode-metode pendidikannya. Kegiatan-kegiatan olahraga dan kesenian digalakkan (hlm. 8), sebuah strategi yang dapat memupuk solidaritas antar kader dan simpatisan partai dan melestarikan ‘repertoir perjuangan’ (repertoire of struggle). Sebelum memperkuat kaderisasi ideologis mengenai dasar-dasar Marxisme-Leninisme, kampanye anti buta huruf digalakkan (hlm 9). Kemudian, PKI juga melakukan upaya-upaya pendidikan mengenai dasar-dasar berorganisasi, seperti tata cara mengelola keuangan organisasi, rapat resmi, perumusan posisi mengenai isu-isu sosial-ekonomi dan kebudayaan, dan lain sebagainya (hlm. 9; 14). PKI juga menerbitkan sejumlah teks-teks dasar mengenai ideologi dan posisi partai seperti ABC Revolusi Indonesia dan Bagaimana Masjarakat Berkembang (hlm. 9). Upaya pembangunan organisasi dan pendidikan berjalan beriringan di semua level dan bidang kelembagaan PKI dan organisasi-organisasi underbouw-nya (hlm. 10-11). Tidak hanya itu, PKI juga mendorong orang-orang biasa untuk berbicara dan melakukan pengorganisasi politik kelas secara terbuka, dan mengkontekstualisasikan, atau ‘mengindonesiakan’ (alih-alih ‘merusiakan’) Marxisme (hlm 11-13).

Tentu saja, upaya pendidikan ini tidak selalu berjalan mulus. Beberapa segmen dari kelas menengah dan kalangan terdidik dan profesional di Indonesia misalnya, tidak tertarik dengan upaya-upaya pendidikan PKI, karena mereka menganggap PKI sebagai bagian dari Demokrasi Terpimpin Sukarno yang ‘korup’ (hlm. 20-21). Karenanya, PKI juga mendorong kader-kader mahasiswanya untuk berjuang secara intelektual dalam gelanggang akademik arus-utama untuk menunjukkan bahwa golongan Kiri juga memiliki kemampuan manajerial dan teknokrasi, yang bahkan lebih maju karena penekanan pada aspek partisipatorisnya, (hlm. 23-24), suatu hal yang mungkin juga kita perlukan sekarang. Terakhir, PKI juga berusaha mengenali kader-kadernya di desa dengan cara mempelajarinya dan belajar bersama kader-kadernya (hlm. 25-26). Kader-kader kota didorong untuk belajar bersama rakyat desa secara antropologis: makan, kerja, dan tidur bersama kaum tani di pedesaan. Tak heran apabila hal pertama yang dilakukan tentara ketika merangsek markas PKI adalah ‘mengamankan’ arsip-arsip partai terlebih dahulu (hlm. 5), arsip-arsip yang berisi catatan mengenai kiprah upaya pendidikan PKI.

Setelah menengok ke masa lalu, maka terang sudah bahwa dari cerita ini, kita dapat melihat bahwa PKI sukses sebagai gerakan sosial karena melakukan tiga strategi tersebut: pembangunan gerakan dan posisi teoretik yang holistik namun inklusif dan kontekstual yang didukung oleh kerja-kerja jangka panjang, terutama dalam hal pendidikan kader-kadernya. Tiga dimensi inilah yang absen dalam pembangunan gerakan sosial akhir-akhir ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Ridha dan banyak penulis-penulis lain di IndoPROGRESS, agenda anti korupsi masih bersifat terbatas, teknokratis, moralis, dan abai terhadap dimensi politis dan struktural yang melingkupi persoalan korupsi yang sudah akut ini. Persolan korupsi dan keterbatasan respon dari gerakan anti korupsi juga diperparah dengan apatisme publik yang meningkat terhadap proses-proses politik, suatu hal yang sangat ironis karena berkebalikan 180 derajat dengan antusiasme publik yang tinggi dalam pemilu tahun kemarin. Melaksanakan sejumlah strategi taktis yang segera diperlukan untuk menghadapi konsolidasi oligarki, terutama dalam konteks kepemimpinan Jokowi yang semakin memblememang diperlukan, namun yang tidak kalah penting juga adalah bagaimana membangun solidaritas massa yang terpukul dengan perkembangan politik dewasa ini. Untuk itu, diperlukan sebuah platform minimal, dan di tengah-tengah kondisi gerakan sosial di Indonesia yang relatif masih berserakan dan terfragmentasi, maka ketiga tugas yang saya sebutkan di atas – perumusan kembali posisi teoretik, pendidikan, dan pembangunan organisasi jangka panjang – menjadi semakin penting untuk dilaksanakan. Di sini, saya tidak bermaksud untuk memberikan jawaban yang definitif mengenai program, isi, dan rumusan yang ideal untuk ketiga strategi tersebut. Dalam kesempatan kali ini, saya sekadar ingin mengingatkan kembali pentingnya ketiga strategi tersebut dan membuka diskusi dan perdebatan mengenai apa-apa yang musti kita kerjakan selain respon-respon yang bersifat taktis dan jangka pendek.

Bagaimana Dengan Sekarang?

Sembari mengerjakan tugas-tugas jangka panjang tersebut, pertanyaan lain yang muncul dan perlu kita jawab adalah bagaimana dengan sekarang? Apa yang perlu kita lakukan untuk menghadang konsolidasi oligarki dan mempromosikan agenda-agenda progresif? Lalu, bagaimana hubungan gerakan sosial dengan pemerintahan Jokowi-JK kedepannya?

Di sini, sebagaimana telah sering diutarakan oleh sejumlah rekan-rekan IndoPROGRESS yang lain, parameternya jelas: dukungan terhadap Jokowi diberikan sejauh dia dapat menunjukkan komitmen terhadap agenda-agenda progresif. Rekam jejak Jokowi sejauh ini cukup untuk memberikan alasan bagi kita untuk mengambil jarak terhadap Jokowi. Parameter inilah yang dapat menjustifikasi langkah-langkah politik kita sebagai gerakan sosial. Karenanya, apabila adalah logis untuk mendukung Jokowi di saat pemilu, maka sekarang adalah logis untuk bukan hanya mengkritisi tetapi juga mengambil jarak terhadap pemerintahan Jokowi. Ini memang bukan posisi yang dapat dengan mudah dijelaskan, tetapi ini merupakan sebuah langkah yang logis, di antara purisme naif ‘ultra-Kiri’ atau ‘anti-sistemik’ yang ujung-ujungnya menyalahkan langkah-langkah politik massa rakyat dan mengecapnya sebagai advonturisme, hanya karena antusiasme dan pilihan politik massa tidak sesuai dengan imperatif kategori dan angan-angan idealnya dan dogmatisme terhadap garis politik Jokowi. Kepada kubu pertama, saya akan menjawab, pengalaman berpartisipasi dalam kancah politik elektoral, seberapun tertatih-tatihnya, merupakan pengalaman yang berharga bagi rakyat pekerja – yang tidak kalah berharga dengan aksi-aksi insureksionis, upaya mengangkat bedil, atau bahkan perlawanan-perlawanan yang bersifat ‘keseharian’ (everyday forms of resistance) macam berkeluh kesah mengenai kesusahan hidup dan kelakuan para elit. Kepada kubu kedua, saya akan berkata, Jokowi bukanlah semacam Dewaraja yang tidak bebas dari kritik dan selalu benar. Mengkritik Jokowi bukan berarti ‘memberi angin’ kepada para oligark dan ‘kubu sebelah’ dan keterbatasan langkah-langkah politik Jokowi tidaklah bebas dari kritik. Keterbatasan manuver politik dan dalam beberapa hal ketidakmampuan Jokowi perlu dikritik, bukannya dijustifikasi dengan menggambarkan kritik terhadap Jokowi seakan-akan sama dengan upaya untuk memakzulkannya yang didasari oleh analisa-analisa sosial dan sejarah yang sifatnya agak serampangan dan mencocok-cocokkan, alias cocokologi.

Pengalaman gerakan-gerakan sosial progresif di tanah air dan tempat-tempat lain, seperti PKI, Syriza, Podemos, partai komunis di Bengal Barat dan Kerala, hingga segenap pemerintahan Kiri di Amerika Latin, menunjukkan bahwa hanya dengan ‘keterlibatan taktis dengan kekuasaan’ (strategic engagement with the state) dan kerja-kerja pembangunan gerakan dan pendidikan jangka panjang maka gerakan sosial dapat menggunakan kekuasaan untuk mewujudkan agenda-agenda progresif. Bagi kita sekarang, hanya dengan mengambil posisi kritis dan kembali menekuni pekerjaan-pekerjaan panjang, kita sebagai gerakan sosial dapat memecah kebuntuan politik yang ada dan sedikit demi sedikit membuka ruang bagi kemungkinan penerapan agenda progresif. Bukan dengan membaca pengalaman historis dan karya teoretik seperti merapal mantra, membangun semacam ‘kultus individual’ atas Jokowi, atau, atas nama ‘prinsip politik’, meladeni ajakan pertarungan jalanan dan sekedar menjadi bahan pergunjingan.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

 

Kepustakaan:

McVey, R.T., 1990. Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution. Indonesia, 50, pp.5-28.

The Morning After: Masa Depan Hubungan Pemerintahan Jokowi-JK dan Gerakan Sosial (Bagian 1)

iqra

“The mass movements that we have seen most recently, whether in Tahrir Square or Athens,
look to me like a pathetic ecstasy. What is important for me is the following day, the morning after.”

(Slavoj Žižek)

Setelah Memilih Sudah Itu Selesai?[1]

KEMENANGAN Jokowi-JK di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 memberikan banyak pelajaran bagi gerakan sosial di tanah air. Pasca pelantikan Jokowi dan kabinetnya, kita perlu kembali melihat pengalaman dan pencapaian kita sebagai bagian dari gerakan sosial terutama selama gegap gempita Pilpres 2014. Refleksi ini perlu dan penting untuk dilakukan karena hanya dengan berkaca kepada pengalamanlah kita dapat merumuskan langkah-langkah yang tepat untuk mendorong pelaksanaan sejumlah agenda progresif kedepannya[2]. Berangkat dari titik tersebut, maka seharusnya kita sadar: berkeluh kesah tidaklah cukup, dan tugas kita pada dasarnya belum selesai dan bahkan di beberapa aspek baru dimulai.

Dalam semangat refleksi itulah tulisan ini bermaksud untuk menganalisa pola hubungan pemerintahan Jokowi-JK dan gerakan sosial kedepannya dan implikasinya pada kemungkinan penerapan agenda-agenda progresif di berbagai bidang. Menurut hemat saya, ada tiga pelajaran utama yang dapat kita ambil berdasarkan pengalaman kita selama ini, setidaknya menurut pengamatan dan refleksi pribadi saya. Pertama, Jokowi-JK bisa melaksanakan berbagai agenda progresif yang dicanangkan dalam visi, misi, dan program aksi mereka dalam kerangka Visi Trisakti jika dan hanya jika mereka beraliansi dengan gerakan sosial popular yang selama ini menjadi penopang mereka. Kedua, gencarnya produksi, pengemasan, dan penguasaan diskursus yang hegemonik oleh berbagai kelompok reaksioner anti-demokrasi terutama yang berafiliasi dengan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) menyadarkan kita bahwagerakan sosial butuh perumusan teoretik yang solid dan pemahaman akan sains dan pengetahuan untuk pergerakan. Ketiga, kita sebagai bagian dari gerakan sosial perlu menggiatkan kembali berbagai strategi – tidak hanya jangka pendek namun juga jangka menengah dan panjang – yang sempat terbengkalai pasca Reformasi. Tentu saja tiga hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan, namun setidaknya kita perlu berusaha melakukan hal-hal tersebut apabila kita serius dan berkomitmen untuk mewujudkan berbagai agenda progresif.

Refleksi Hubungan Jokowi-JK dan Gerakan Sosial

Untuk memahami perkembangan hubungan Jokowi-JK dan gerakan sosial serta keadaan politik saat ini dan merumuskan sikap kita, kita perlu memakai kerangka analisa yang tepat. Pemahaman yang idealis-voluntaris akan segera membawa kita kepada kekecewaan, sedangkan pemahaman yang pragmatis-borjuis akan berujung kepada sebentuk optimisme yang naïf. Kita perlu melihat politik berdasarkan logika internal politik itu sendiri, yaitu logika kontestasi kepentingan dalam suatu struktur ekonomi-politik sudah terberi (given). Dengan kata lain, kita perlu memahami politik dari perspektif materialis-realis. Berdasarkan kerangka analisa inilah, kita dapat memahami kondisi politik sekarang secara lebih menyeluruh, tanpa terjebak pada rasa nelangsa yang tak berkesudahan maupun romantisme yang tak berpijak.

Meminjam istilah Marxis klasik, kita perlu secara jeli melihat ‘kontradiksi internal’ dari perkembangan ekonomi-politik Indonesia pasca Reformasi, yang akhirnya mengemuka dalam Pilpres 2014 kemarin, yaitu kontradiksi antara kekuatan sosial progresif di satu sisi dan kekuatan sosial konservatif-reaksioner di sisi lain dalam konteks struktural transisi ke demokrasi elektoral pasca otoritarianisme, konsolidasi kapitalisme-neoliberal pasca Orde Baru (OrBa), dan menguatnya kecenderungan pembajakan oleh elit dan oligarki (elite and oligarchic hijacking) dalam berbagai proses politik, ekonomi, dan sosial. Pada akhirnya, setidaknya untuk sementara, kecenderungan neo-OrBa ini berhasil ‘dijinakkan,’ kita tidak perlu meratapi nasib memasuki Fase Thermidor[3], suatu keberhasilan yang rasanya ngeri-ngeri sedap dan melegakan.

Namun, dalam dunia yang bergerak secara dialektis, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Sejumlah persoalan-persoalan lain muncul, mulai dari kemungkinan sejumlah jenderal pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) – alias jagal rakyat – seperti A.M. Hendropriyono, Wiranto, dan Ryamizard Ryacudu menduduki jabatan menteri, tarik menarik antara kepentingan elit partai dan oligarki ekonomi-politik di satu sisi dan tuntutan dari gerakan sosial di sisi lain, hingga usulan liar dari KMP – yang lebih layak dipanggil sebagai Koalisi Kapak Merah atau Koalisi Mabok Putaw ketimbang Koalisi Merah Putih – untuk menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Menanggapi segudang persoalan tersebut, tentu saja ada perlawanan, meskipun sporadis, dari berbagai elemen-elemen dari gerakan sosial melakukan berbagai upaya untuk menjinakkan atau minimal menghadangnya naiknya hegemoni para oligark dan kaum reaksioner yang bersekutu dalam sebuah unholy alliance.

Dari pengalaman ini, ada sejumlah pelajaran yang dapat kita ambil. Pertama dan yang terpenting, kontestasi dan konfrontasi politik, wa bil khusus politik kelas, merupakan sebuah keniscayaan. Ketegangan-ketegangan di tingkatan ‘basis’ dan pertarungan antara kekuatan-kekuatan sosial yang merepresentasikan ‘basis ekonomi-politik’ tersebut mengemuka dan memuncak di ranah politik – dengan kata lain tingkatan ‘superstruktur’, sebagaimana dipaparkan oleh Perry Anderson (1974) jauh-jauh hari:

“…pertarungan historis antara kelas-kelas pada akhirnya diselesaikan di tataran politik – dan bukannya ekonomi ataupun kebudayaan – dalam masyarakat.” (hal. 11)[4].

Kemenangan gerakan sosial sebagai organisasi politik (di tengah-tengah absennya partai Kiri yang bisa mengatasi kecenderungan sektarian dalam gerakan dan juga memiliki kemampuan elektoral yang mumpuni) yang mereprentasikan kelompok-kelompok subaltern (antara lain buruh, tani, karyawan upahan perkotaan, elemen dari kelas menengah, mahasiswa, pelajar, golongan muda, kaum miskin kota, perempuan, kaum minoritas keagamaan, kebudayaan, dan gender) ditentukan oleh kemampuan politik gerakan sosial dan konsekuensinya sejauh mana gerakan sosial dapat bekerja dalam tatanan politik.

 

iqra1Foto diambil dari Tribunnews.com

Keterbatasan sekaligus potensi dari gerakan sosial dalam kampanye politik pemenangan Jokowi-JK merupakan pelajaran kedua bagi kita, yaitu terdapat perbedaan antara koalisi politik elektoral dan koalisi politik programatik. Contoh sejarahnya sudah banyak, mulai dari kondisi kita menjelang dan pasca Reformasi (1998), Chile menjelang dan pasca tumbangnya Pinochet (1988), hingga Mesir dan berbagai negara Timur-Tengah lainnya selama Arab Spring (2011-sekarang). Koalisi elektoral dalam banyak hal bekerja secara temporal berdasarkan lowest common denominator alias konsensus yang terbatas. Pengalaman Filipina pasca tumbangnya kediktatoran Marcos di tahun 1986 dapat menjadi sebuah pengingat: restorasi dan penyelamatan demokrasi elektoral tidak serta merta berarti penerapan agenda-agenda politik emansipasi yang lebih luas, seperti redistribusi tanah dan lahan pertanian atau kepemilikan dan kontrol langsung rakyat pekerja atas alat-alat produksi alias penerapan demokrasi yang lebih luas dan menyeluruh, dan sosialis. Yang terjadi adalah perubahan pranata politik oligarki ekonomi-politik di Filipina: dari oligarki-otoritarian ke oligarki dalam tatanan demokrasi elektoral (Anderson, 1988). Dalam kasus kita, meskipun konteksnya berbeda, ada beberapa kemiripan dengan berbagai pengalaman tersebut. Gerakan sosial pasca kemenangan Jokowi-JK dapat dikatakan berada di persimpangan jalan. Koalisi luas yang mengemuka di tengah hiruk-pikuk Pilpres 2014 dalam sekejap menghadapi berbagai tantangan yang jauh lebih pentingsetelah kemenangan Jokowi-JK, yaitu bagaimana gerakan sosial dapat turut serta berpartisipasi dalam proses-proses politik yang kondusif untuk penerapan agenda-agenda progresif. Di titik inilah wanti-wanti dari Žižek terasa sangat relevan: yang lebih penting bukanlah ‘pesta’nya atau hiruk-pikuknya, melainkan apa yang terjadi setelah pesta tersebut usai. Kesaradan atas realita politik ini penting agar kita tidak terjebak pada sebuah romantisme sesaat yang kemudian berujung kekecewaan.

Perlu diingat, bahwa realisme dalam berpolitik juga bukan pesismisme dan sinisme yang tak berujung. Inilah pelajaran ketiga yang dapat kita ambil: terlepas dari berbagai keterbatasan internal maupun struktural yang membatasi manuver gerakan sosial, ada sejumlah pencapaian gerakan sosial yang perlu kita akui. Ryamizard Mengkudu memang jadi menteri, tapi dua jagal rakyat yang lain – Wiranto dan A.M. Hendropriyono – tidak mendapat pos kementerian. Kongsi haram jadah antara elit partai dan oligarki ekonomi-politik – yang diwakili oleh sosok-sosok seperti Puan Maharani dan Rini Soemarno memang belum sepenuhnya dijinakkan, tetapi masih ada ruang di mana gerakan sosial dapat melancarkan ‘aksi sepihak’ yang lebih terkoordinir untuk mendorong pelaksanaan agenda-agenda redistribusi ekonomi dan demokrasi ekonomi yang lebih luas, seperti elemen-elemen reformasi agrarian, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar. Kemudian, komitmen Jokowi-JK terhadap demokrasi – setidaknya demokrasi formal – memungkinkan mobilisasi massa-rakyat yang lebih massif dan militan. Dengan kata lain, daya tawar alias bargaining power dari gerakan sosial, setidaknya sampai dengan sekarang, cukup meningkat, meskipun masih terbatas. Sulit membayangkan bahwa ruang mobilisasi dan perluasan pengaruh dari gerakan sosial akan meningkat seandainya yang menang pada Pilpres 2014 kemarin adalah pasangan Prabowo-Hatta dan kubu neo-OrBa.

Tentu saja ini bukan berarti bahwa kita sebagai gerakan sosial akan serta merta mendukung Jokowi-JK secara taklid buta. Disinilah frase ‘dukungan kritis’ menemui relevansinya. Kita sebagai bagian dari gerakan sosial dan rakyat pekerja mendukung pemerintahan Jokowi-JKselama administrasi mereka membuka kemungkinan bagi penerapan agenda-agenda progresif.Setidaknya ada tiga agenda progresif yang mendesak yang perlu segera diperhatikan oleh Jokowi-JK, yaitu: 1) penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM; 2) perluasan kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar serta redistribusi ekonomi melalui reformasi agrarian, dan; 3) membuka ruang partisipasi masyarakat secara luas dan berkualitas dalam proses-proses politik. Sekali lagi perlu diperhatikan bahwa sejumlah kebijakan yang mendesak ini perlu diberlakukan di dalam konteks struktural yang tidak sepenuhnya menguntungkan kita. Mengutip slogan Maois jamanbaheula, perwakilan-perwakilan terkemuka dari kaum borjuis dan reaksioner berada persis di tengah-tengah jantung pemerintahan Jokowi-JK. Musuh rakyat, musuh kita, ada berada di tengah-tengah kita! Tetapi kita juga tidak boleh lupa bahwa kelompok reaksioner yang berada di luar kabinet, yaitu partai-partai dalam KMP (terutama Gerindra dan PKS) juga sedang menunggu ‘arah angin’ untuk ‘berpindah,’ mencari-cari cara untuk menjinakkan kemungkinan penerapan agenda progresif yang lebih luas (jangan tertipu dengan foto-foto instagram SBY maupun cipika-cipiki Prabowo, seolah-olah intrik-intrik, pertarungan, dan negosiasi politik antar elit tidak ada hanya karena hal-hal tersebut tidak ‘nampak’ ke permukaan, ke ranah publik). Inilah salah satu tugas berat bagi gerakan sosial dan rakyat pekerja pasca kemenangan Jokowi-JK: bagaimana bertarung di dua front sekaligus tanpa kehabisan amunisi di tengah jalan.

Untuk sekarang, masih terlalu dini untuk menyimpulkan akan seperti apa pola hubungan pemerintahan Jokowi-JK dan gerakan sosial untuk kedepannya. Namun, satu hal yang perlu dilaksanakan oleh kita sekarang juga adalah melakukan identifikasi atas elemen-elemen reaksioner dalam kabinet Jokowi-JK, mengawasi jalannya pemerintahan Jokowi-JK agar sejalan dengan Visi Trisakti yang mereka canangkan, dan melakukan berbagai tekanan – melalui mobilisasi massa misalnya – yang setidaknya dapat mempersempit ruang gerak para jagal dan oligark. Berbagai aksi protes terhadap penunjukan Ryamizard the Lizard sebagai Menteri Pertahanan yang mulai dan sedang berlangsung akhir-akhir ini merupakan satu dari sedikit hal yang musti kita lakukan sekarang. Hanya dengan cara itulah kita dapat secara efektif ‘membombardir’ musuh di dalam selimut.

Tugas Kita ke Depan

Berkaca dari pengalaman kita sepanjang musim pemilu hingga sekarang, dua hal yang perlu kita lakukan adalah merumuskan posisi teoretik yang solid atas posisi praxis politik – dengan kata lain sains mengenai gerakan sosial – dan penerapan strategi dan pembenahan organisasi yang dapat membantu perkembangan gerakan sosial di Indonesia kedepannya. Untuk dua hal ini, kita perlu belajar tidak hanya dari pengalaman kita sekarang, tetapi juga dari sejarah.

Tetapi, ini bukan berarti kita musti memulai dari titik nol. Pengalaman kita kemarin memang singkat, tetapi sebenarnya sangat berharga untuk dijadikan pijakan bagi langkah kita ke depan. Ambil contoh perumusan dan diseminasi diskursus progresif anti-hegemonik misalnya: pro-demokrasi, anti-oligarki, dan pembangunan solidaritas antar sesama rakyat pekerja. Untuk mengetahui secara persis sejauh mana tiga dimensi dari diskursus progresif ini telah menyebar dalam masyarakat memang perlu uji empiris yang lebih ketat, namun kita dapat merasakan bahwa tiga wajah dari diskursus progresif ini perlahan mulai menyebar dalam imajinasi publik, menjadi gagasan kontra-hegemoni dari ide-ide hegemonik yang selama ini berseliweran: ide-ide neo-OrBa, neoliberalisme ‘demokratis,’ maupun gabungan dari keduanya. Dari tiga dimensi tersebut, gagasan pro-demokrasi mendapat gaung yang paling luas, kemudian disusul dengan gagasan anti-oligarki, meskipun masih bersifat kabur (misalnya cenderung terjebak dalam dikotomi simplistis ‘rakyat’ versus ‘elit’ tanpa memperhatikan aspek struktural dan ekonomi-politiknya). Dimensi terakhir, solidaritas antar sesama rakyat pekerja, merupakan gagasan yang masih belum luas penyebarannya, meskipun perlahan mulai berkembang. Faksi konservatif dari kelas menengah alias #KelasMenengahNgehek masih signifikan jumlahnya dan kesadaran bahwa karyawan ‘kantoran’ atau ‘kerah putih’ (white collar workers) sesungguhnya adalah bagian dari kelas buruh dan rakyat pekerja karena sama-sama bergantung kepada kerja-upahan (wage-labor) juga masih rendah. Secara struktural, kelas menengah juga terkadang ambivalen terhadap demokrasi – kelas menengah baru akan menjadi kekuatan pro-demokrasi apabila ia relatif independen dari hegemoni ekonomi-politik dan diskursus kelas yang berkuasa dan menjalin aliansi dengan kelas bawah seperti kaum buruh dan tani (Rueschemeyer et al., 1992). Tetapi, secara keseluruhan, terlepas dari berbagai keterbatasan, diskursus alternatif kontra-hegemoni ini, dengan tiga karakteristiknya – pro-demokrasi, anti-oligarki, dan solidaritas antar sesama rakyat pekerja – telah berhasil memunculkan gaungnya di ruang publik. Inilah ‘program minimal’ yang kita harapkan dapat menjadi perekat utama dari koalisi progresif yang luas namun tetap memiliki sebentuk kekuatan untuk mendorong dan melaksanakan agenda-agenda progresif. Program minimal ini berfungsi cukup baik dalam kancah pertarungan politik elektoral. Apabila elemen-elemen dari program minimal ini berhasil dilaksanakan selama masa pemerintahan Jokowi-JK di termin 2014-2019, maka itu merupakan sebuah terobosan.

Kedepannya, bisa jadi hubungan antara pemerintahan Jokowi-JK dan gerakan sosial tidak akan selamanya mulus. Saat ini merupakan masa-masa ‘bulan madu’ antara keduanya, namun kedepannya banyak tantangan yang jauh lebih menantang. Maka merupakan konsekuensi logisbagi Jokowi-JK untuk mempertahankan aliansi dengan gerakan sosial dan membangun aliansi popular kerakyatan dengan karakter progresif yang lebih luas apabia keduanya serius dan berkomitmen melaksanakan agenda-agenda progresif.

Kewajiban bagi kita, rakyat pekerja, sekali lagi adalah membangun posisi teoretik yang menyeluruh namun inklusif, membangun tradisi keilmuan dalam gerakan, dan mengerjakan tugas-tugas jangka panjang. Tiga tugas penting tersebut dan relevansinya bagi kondisi kita sekarang akan saya bahas dalam bagian kedua dari tulisan ini.***

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Anderson, P., 1974. Lineages of the Absolutist State. London: Verso.

Anderson, B., 1988. Cacique Democracy in the Philippines: Origins and Dreams. New Left Review, 169, pp.3-31.

Rueschemeyer, D., Stephens, E.H. & Stephens, J.D., 1992. Capitalist Development and Democracy. Chicago: The University of Chicago Press.

——

[1] Judul ini saya sadur dari tulisan saya sebelumnya di http://indoprogress.com/2012/12/setelah-memilih-sudah-itu-selesai-bagaimana-menghindari-jebakan-populisme/

[2] Sejumlah tulisan terbaru di IndoProgress merupakan upaya refleksi teoretik tersebut.

[3] Reaksi Thermidor merupakan fase stabilisasi dan penegakan kembali ketertiban publik di masa Revolusi Perancis yang ditujukkan untuk menjinakkan mobilisasi dan radikalisasi massa buruh dan tani di waktu itu. Dalam konteks yang lebih umum, Fase Thermidor merujuk kepada fase stabilisasi yang – ironisnya – berujung kepada peneguhan kembali status quo dengan wajah baru. Uni Soviet di masa Stalin dan China (kapitalisme-neoliberal dalam kerangka negara-partai) dan Mesir (kediktatoran militer) di masa sekarang merupakan sejumlah contoh Fase Thermidor di era kontemporer.

[4] Teks aslinya “…secular struggle between classes is ultimately resolved at the political – not at the economic or cultural – level of society.”