Mempertanyakan Nasionalisme: Sebuah Tinjauan atas Transmutasi Konsep Nasionalisme*

Pendahuluan

HIRUK-PIKUK mengenai persoalan ‘bela negara’ menunjukkan bahwa aspek ritual dan ‘mobilisasi dari atas’ memang merupakan bagian yang inheren dari tiap-tiap usaha pembentukan negara modern, termasuk diantaranya adalah ide-ide tentang nasionalisme. Tetapi contoh ini bukanlah satu-satunya diskursus mengenai nasionalisme. Ada banyak narasi-narasi lain mengenai nasionalisme yang beragam dan kerap kali saling berbenturan satu sama lain.

Sebagai contoh, narasi-narasi nasionalisme Indonesia yang berkembang mengenai Papua baru-baru ini mengemuka dalam bentuk-bentuk seperti “NKRI Harga Mati!”, “Lawan Konspirasi Asing!”, “Lawan Separatisme!”, dan lain sebagainya, yang berkaitan erat dengan sejumlah steoreotip dan pandangan-pandangan esensialis tentang warga Papua – sebagai orang dari kelompok etnis Melanesia yang berkulit legam, pemalas, pemabuk, dan tukang bikin onar. Bandingkan narasi seperti ini dengan narasi-narasi nasionalisme yang berkembang di Masa Pergerakan Nasional, yang menekankan kemerdekaan politik, visi-visi radikal tentang keadilan sosial, dan persatuan lintas kelompok – singkat kata, cita-cita pembebasan nasional. Terdapat perbedaan yang begitu kontras di antara dua jenis narasi tersebut.

Perbedaan itulah yang menjadi fokus pembahasan tulisan kali ini: bagaimana dan mengapa perbedaan tersebut muncul? Dengan kata lain, saya mengajukan suatu pertanyaan: bagaimana dan mengapa transmutasi dari ide-ide nasionalisme bisa terjadi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini menggali lebih dalam perkembangan konsep nasionalisme ditinjau dari perjalanan kesejarahannya untuk menunjukkan interaksi antara diskursus-diskursus mengenai nasionalisme dan kondisi-kondisi sosial yang melatarbelakanginya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban yang definitif atas pertanyaan di atas, tetapi setidaknya ini dapat menjadi pembuka untuk perbincangan yang lebih dalam dan luas.

Asal Mula Nasionalisme dan Transmutasinya

Apabila kita menempatkan nasionalisme sebagai sebuah bentuk identitas politik, maka setidaknya ada dua pandangan besar mengenai “identitas nasional” sebagai “identitas politik”: esensialisme dan konstruktivisme kebudayaan. Esensialisme kebudayaan berpendapat bahwa terdapat inti dari tiap-tiap kebudayaan yang sifatnya statis, menetap, dan cenderung tidak berubah (Geertz, 1973; Huntington, 1996; Petersen, 2002), sedangkan kontruktivisme kebudayaan melihat budaya sebagai sebuah produk dari proses-proses struktural, sosial, historis, dan kelembagaan yang lebih luas, yang seringkali diasosikan dengan proses transisi menuju modernitas, yang karenanya meniscayakan perubahan dan transformasi atas suatu identitas sosial (Anderson, 1991; Gellner, 1983; Laitin, 1998; Posner, 2003; 2005).[1] Sepintas, divergensi antara kedua pandangan besar ini terlihat hanya sebagai sebuah debat akademis, tetapi teori-teori ini sesungguhnya juga merupakan sebuah lensa untuk memahami nasionalisme dan memiliki implikasi politis yang lebih luas.

Ekspresi-ekspresi nasionalisme yang bercorak nativis, sektarian, dan terkadang rasis, misalnya, berangkat dari asumsi-asumsi esensialisme kebudayaan, bahwasanya ada seperangkat kategori atau nilai kebudayaan tertentu yang secara definitif menentukan identitas dan kadar nasionalisme seseorang atau suatu kelompok. Dalam ekspresi yang seperti ini, the Other, sang Liyan, terus menerus diciptakan, dilanggengkan eksistensinya, dan direduksi keberagamannya sebagai bagian dari upaya untuk membedakan dan menarik garis batas yang tegas antara “kita” vs. “mereka”, us vs. them. Pandangan-pandangan konstruktivis mengkritik pembacaan dan tendensi seperti itu. Menurut mereka, bentuk-bentuk nasionalisme dan konstruksi mengenai sang Liyan tidak hadir dalam suatu kevakuman sejarah; yang ada, ekspresi-ekspresi tersebut muncul sebagai suatu produk sejarah yang muncul dalam konteks-konteks tertentu seperti hubungan antar kelas, proses-proses pembentukan negara modern beserta segenap aparatusnya, perkembangan dan transformasi kapitalisme, hubungan mayoritas-minoritas, dan lain sebagainya. Kritik konstruktivis juga menekankan evolusi dari hubungan kuasasebagai konsekuensi dari proses-proses sejarah tersebut dan bagaimana ia mempengaruhi dan berinteraksi dengan diskursus-diskursus mengenai nasionalisme. Ini dapat dilihat misalnya dalam kasus-kasus seperti proses pembentukan “identitas nasional” – identitas keperancisan misalnya (Weber, 1976), sejarah pembentukan aparatus negara modern di berbagai tempat (Scott, 1998), mobilisasi sentimen “solidaritas etnis” dan “nasionalistik” yang menggunakan kekerasan sebagai bentuk strategi elit politik di berbagai tempat, mulai dari negara-negara bekas Federasi Yugoslavia yang mengalami Balkanisasi (Horowitz, 2001) hingga negara-negara dengan ketegangan hubungan rasial seperti Afrika Selatan, Amerika Serikat (AS), dan Brazil (Marx, 1998; 2002). Di titik ini, kritik konstruktivis menemukan relevansinya: ia mencermati dan menggarisbawahi bagaimana sejumlah diskursus dan ekspresi nasionalisme merupakan sebuah mekanisme untuk melanggengkan hubungan kuasa yang tidak setara dan terkadang berdarah-darah itu.

Pola-pola seperti ini juga dapat kita lihat di dalam konteks Indonesia. Tetapi perlu diingat bahwa itu bukanlah merupakan satu-satunya ekspresi mengenai nasionalisme. Fakta ini, saya kira, perlu digarisbawahi di sini untuk menunjukkan bagaimana proses transmutasi itu terjadi. Nasionalisme modern Indonesia, setidaknya di masa-masa awal kelahirannya, berkelit-kelindan dengan berbagai tendensi politik anti-kolonial, radikal, dan emansipatoris yang lain dan memiliki potensi sebagai sebuah bentuk artikulasi politik yang progresif.

Konteks sejarahnya perlu dipahami di sini: setidaknya di masa-masa awal kelahirannya sampai dengan Pembunuhan Massal anti-Komunis di tahun 1965, artikulasi politik nasionalisme Indonesia merupakan bagian dari gelombang besar gairah Pembebasan Nasional dan upaya-upaya dekolonisasi secara komprehensif. Masyarakat Indonesia, sebagaimana negara-negara dunia ketiga lainnya, mencoba bergerak mengikuti alur telos yang dicanangkan oleh penulis-penulis anti-kolonial radikal seperti Frantz Fanon (1963) – suatu proses yang awalnya penuh harapan tetapi juga penuh dengan berbagai kontradiksi dan tantangannya sendiri. Dengan latar “Zaman Bergerak” (Shiraishi, 1990) inilah, nasionalisme Indonesia tumbuh dan berkembang. Tetapi perlu diingat bahwa proses kelahiran dan perkembangan politik nasionalis radikal ini jangan dibayangkan sebagai proses yang linear dan mulus; dalam perkembangannya, ia menemui kesulitan-kesulitannya sendiri.

Tetapi setidaknya di dalam epos sejarah inilah terjadi pertautan yang erat antara nasionalisme dengan politik anti-kolonial radikal. Mungkin kita bisa menganggap apa yang Sukarno konsepsikan sebagai NASAKOM dan interaksi serta dialog antara Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dalam Dibawah Bendera Revolusi sebagai suatu campuran yang bukan hanya idiosinkratik, tetapi, lebih dari itu, bagaikan air dan minyak. Namun itulah yang terjadi di masa-masa awal pembentukan republik. Nasionalisme bukan hanya berdialog tetapi juga berinteraksi erat dengan dua bentuk artikulasi politik lainnya di nusantara, yaitu Islam dan Marxisme. Di masa tersebut, semua orang yang menyadari realita masyarakat kolonial yang represif, rasis, dan timpang, baik dari kalangan Nasionalis, Islam, maupun Kiri, menyerukan berbagai platform politik yang bersifat anti-kolonial dan menyerukan keterbukaan politik serta keadilan sosial – pendek kata, diskursus politik yang bercorak sosialis dengan berbagai tendensi dan variasinya menjadi narasi (dan mungkin artikulasi) utama dari aspirasi nasionalisme Indonesia (Vu, 2010, hal. 208-33). Nasionalisme “sinkretik” yang bersenyawa dengan tendensi-tendensi politik emansipatoris radikal yang lain juga tidak berhenti hanya di lapis-lapis kelas menengah terdidik yang terpolitisasi dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda – yang dianggap sebagai “masinis” dari gerakan nasionalis Indonesia yang lintas kelompok. Tendensi nasionalis radikal juga menemukan gaungnya di kalangan kelas bawah, yang dianggap sebagai “mesin” alias foot soldiers dari upaya-upaya pembebasan nasional[2], yang meskipun perananannya penting namun seringkali dianggap sebelah mata dan rawan dicap sebagai sebentuk ugalan-ugalan politik atau avonturisme terutama karena artikulasi-artikulasi politik mereka yang dianggap terlalu “radikal.”

Sejumlah karya mencatat momen-momen sejarah di mana kalangan-kalangan marginal tersebut, mulai dari buruh, petani, hingga pemuda dan preman desa, mencoba melawan hegemoni pemerintah kolonial – dan pemerintah Indonesia yang hadir setelahnya[3] – mulai dari karya klasik Kahin (1952), rebuttal Benedict Anderson (1972) yang menggarisbawahi peranan kalangan pemuda, peranan serikat buruh dalam masa-masa awal pembentukan republik (Suryomenggolo, 2013), hingga karya-karya mengenai pergolakan di Bandung (Smail, 1964), beberapa tempat di Jawa Tengah (Lucas, 1989), hingga Surabaya (Frederick, 1989). Momen sejarah ini, yang periode paling intensnya berkisar antara 1945 hingga 1949, seringkali disebut sebagai periode Revolusi Fisik. Tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarawan-sejarawan tersebut, terutama oleh Lucas (1989) dan Suryomenggolo (2013), periode tersebut bukanlah merupakan persoalan perjuangan bersenjata semata. Ada tuntutan-tuntutan kelas,tuntutan-tuntutan politik, ekonomi, dan sosial yang lebih mendalam dan ekstensif. Di sini, terlihat bahwa periode 1945-1949 bukan hanya sekedar Revolusi Fisik. Lebih dari itu, periode tersebut merupakan jendela untuk melihat berbagai eksperimen Revolusi Sosial di tingkat lokal. Perlu dicatat bahwa saya sedang tidak meromantisir eksperimen sejarah tersebut. Kenyataannya, eksperimen-eksperimen revolusi sosial lokalan tersebut lebih sering gagal karena satu dan lain hal – karena “ditertibkan” oleh pemerintah pusat misalnya. Tetapi, refleksi dan analisa atas peristiwa tersebut memungkinkan kita untuk memahami lebih lanjut berbagai kemungkinan narasi dan artikulasi dari nasionalisme.

Di sisi lain, kita juga perlu menyadari bahwa artikulasi dari nasionalisme tidak selamanya progresif. Nasionalisme juga mengandung bibit-bibit konservatisme dan artikulasinya bisa mengemuka dalam bentuk-bentuk yang reaksioner, militeris, dan bahkan fasis. Benedict Anderson (1991) dalam karya klasiknya Imagined Communities menunjukkan salah satu contoh artikulasi nasionalisme dengan kecenderungan konservatif dan membahasnya secara cukup mendalam, yaitu “Nasionalisme Resmi” (Official Nationalism) sebagai sebuah respon terhadap tuntutan-tuntutan nasionalisme popular “dari bawah.” Dalam perjalanannya, narasi Nasionalisme Resmi tidak selamanya konservatif, tetapi persoalannya dimulai ketika Nasionalisme Resmi mau tidak mau mengambil jalur statis, negara-sentris, sebagai strategi politik untuk mengimplementasikan ideal-idealnya. Persoalannya adalah, menurut Anderson:

“Model Nasionalisme Resmi mengasumsikan bahwa relevansinya mencapai puncaknya terutama ketika mereka berhasil merebut kontrol atas negara dan untuk pertama kalinya berada dalam posisi untuk menggunakan kekuasaan negara dalam upaya untuk melaksanakan visi-visi mereka. Ini menjadi semakin relevan karena bahkan para revolusioner yang paling radikal sekalipun selalu, dalam beberapa derajat tertentu,mewarisi negara dari rejim terdahulu yang bangkrut.” (hal. 159, penekanan oleh penulis).[4]

Sebagai strategi politik, strategi tersebut memang efektif dan tepat guna, tetapi pertanyaannya, apa yang terjadi setelah itu? Lebih spesifik lagi, kita bisa bertanya: apa interaksi yang terjadi antara visi nasionalisme “dari atas” dan visi nasionalisme “dari bawah”? Interaksi ini sayangnya kerap kali termanifestasikan sebagai benturan di antara kedua visi tersebut. Tuntutan-tuntutan nasionalis radikal yang berasal dari bawah yang bertautan dengan harapan masyarakat mengenai “Dunia yang Baru”, yang menuntut pelaksanaan reformasi-reformasi dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat (post-)kolonial secara mendalam, komprehensif, dan segera seringkali diasosikan dengan avonturisme dan infantilisme politik dan gangguan terhadap tatanan ketertiban dan keamanan oleh pemerintah-pemerintah di negara-negara postkolonial yang baru dan penuh dengan kekerasan politik yang cenderung “totaliter” oleh pengamat-pengamat liberal dan konservatif.[5] Ini juga yang terjadi di Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan: Pemerintah Republikan yang baru memutuskan untuk “meredam” eksperimen revolusi sosial yang dikenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” di Jawa Tengah (Lucas, 1989). Bahkan, tokoh-tokoh pergerakan dengan kontribusi dan dedikasi yang luar biasa terhadap perjuangan rakyat pekerja, seperti S.K. Trimurti, pada suatu saat mengecap tindakan-tindakan sindikalis Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di masa awal kemerdekaan sebagai sebuah bentuk avonturisme politik (Suryomenggolo, 2013).

Tetapi solusi ‘tangan besi’ tersebut di atas juga bukan tanpa masalah. Kenyataannya, negara-negara pascakolonial seringkali mewarisi negara kolonial yang bangkrut. Dalam kondisi seperti itu, maka upaya ‘dekolonisasi total’ akan menemui berbagai tantangan yang berat. Pemerintahan pascakolonial yang baru, yang membutuhkan lapisan administrator dengan keterampilan teknis (baca: teknokrasi), mau tidak mau terpaksa harus melakukan ‘konsesi’ terhadap ambisi dekolonisasi totalnya. Perlahan, aspirasi radikal berubah menjadi aspirasi-aspirasi yang lebih ‘realitis’, yang menekankan pada ‘stabilitas’ dan ‘pertumbuhan’. Tetapi, aspirasi-aspirasi ini sejati membutuhkan peranan negara yang ekstensif. Alhasil, yang terjadi adalah replikasi dan reproduksi pola-pola penataan negara ala zaman kolonial di era postkolonial. Militerisme negara ala Orde Baru misalnya adalah salah satu contoh dari proses reproduksi tersebut (Anderson, 1983).

Yang juga tidak kalah ironis adalah bahkan imajinasi politik dari para aktivis anti-kolonial yang paling radikal sekalipun, bisa jadi secara sadar maupun tidak, menginternalisasi diskursus-diskursus kolonialis mengenai masyarakat yang dijajahnya. Ini bukan berarti menafikan upaya para tokoh pergerakan tersebut untuk ‘menarik batas’ yang tegas antara identitas penjajah dan orang terjajah. Tetapi, adalah suatu fakta sejarah bahwa imajinasi para tokoh pergerakan nasional di banyak tempat sedikit banyak terkondisikan oleh konteks masyarakat kolonial di mana mereka hidup. Tentu ada diskursus-diskursus progresif dari pusat-pusat metropolis kolonial yang juga merembes ke tanah-tanah jajahan – ide-ide mengenai Pencerahan dan Revolusi Perancis misalnya – yang berguna dan kondusif untuk pengembangan nasionalisme anti-kolonial yang lebih radikal. Tetapi, ada juga sejumlah asumsi dan gambaran kolonialis mengenai masyarakat terjajah yang secara tidak sadar juga diinternalisasi oleh para tokoh pergerakan anti-kolonial ini. Studi Penny Edwards (2007) tentang evolusi mengenai imajinasi tentang identitas nasional Kamboja merupakan salah satu contoh menarik dari proses internalisasi imajinasi kolonial tersebut ke dalam benak kolektif kalangan intelligentsia Kamboja. Narasi mengenai “Kamboja” sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari etnis “Khmer” yang “murni” sesungguhnya pertama-tama diimajinasikan oleh para kolonialis Perancis yang kemudian tertransmisikan ke dan diinternalisasi oleh kalangan intelligentsia Kamboja. Sebagai contoh, Edwards menunjukkan bagaimana Saloth Sar – yang di kemudian hari akan dikenal sebagai Pol Pot, sang Jagal Killing Fields – di masa-masa awal karir kepenulisannya merujuk dirinya sebagai Sang Khmer Pribumi, the Original Khmer.

Kembali ke konteks kita, terdapat satu peristiwa sejarah yang menjadi satu titik kritis (critical juncture) di mana proses transmutasi diskursus utama mengenai nasionalisme terjadi, dan itu adalah Katastrofi 1965. Menggunakan istilah Anderson, persis di titik itulah, Nasionalisme Resmi berhasil menang melawan Nasionalisme Popular dan Radikal. Dengan naiknya Orde Baru yang secara efektif kemudian memperkenalkan dan melanggengkan ritual-ritual Nasionalisme Resmi dengan sentuhan militerisme, maka secara efektif imajinasi populer tentang Nasionalisme Radikal perlahan-lahan hilang dari permukaan – meskipun tidak sepenuhnya hilang. Ditambah dengan pertumbuhan lapis kelas menengah dan jejaring oligarki Indonesia yang cenderung bersifat state-dependent, bergantung kepada negara dan rejim, maka narasi-narasi Nasionalisme Resmi menjadi semakin marak dan hegemonik di tengah-tengah masyarakat.

Kombinasi dari kondisi struktural dan diskursus politik inilah yang kemudian membentuk karakter konservatif kelas menengah kita. Alhasil, diskursus-diskursus soal nasionalisme dan identitas keindonesiaan belum bisa beranjak dari dan melampaui slogan-slogan militeris seperti “NKRI Harga Mati!” maupun slogan-slogan konsumeris seperti “Damn I love Indonesia!”. Ini juga diperparah dengan masih kurangnya diskusi dan debat publik yang terbuka mengenai “sisi gelap” dari sejumlah ekspresi dan artikulasi nasionalisme Indonesia dalam kaitannya dengan masyarakat lain yang diLiyankan – seperti misalnya kasus-kasus kekerasan negara di Aceh, Papua, dan Timor-Leste. Ditambah dengan semakin mengemukanya konsepsi kewarganegaraan pasar (market citizenship) yang mereduksi konsepsi kewargaan sebagai konsumen dari pasar dan merayakan berbagai komodifikasi ekspresi identitas dan aksi politik kolektif sebagai pilihan individual (Sommers, 2008), maka ruang bagi artikulasi-artikulasi nasionalisme dalam bentuknya yang lebih progresif dan radikal menjadi semakin sempit. 

Nasionalisme Popular, Mungkinkah?

Pemaparan ini akhirnya membawa kita kepada suatu pertanyaan: masih adakah kemungkinan bagi artikulasi progresif dari nasionalisme? Adakah kemungkinan untuk merevitalisasi kembali bentuk-bentuk nasionalisme popular? Kemudian, masih relevankah nasionalisme sebagai suatu bentuk artikulasi politik progresif?

Saya tidak berpretensi untuk memiliki jawaban-jawaban yang definitif atas pertanyaan di atas, tetapi saya pikir satu langkah yang memungkinkan kita untuk menemukan kembali nasionalisme dalam variannya yang progresif adalah dengan menggali kembali apa yang disebut sebagai tradisi-tradisi kecil, little traditions, yang bersifat keseharian namun memiliki makna yang penting bagi lapis-lapis masyarakat yang paling termarginalkan dan tersubordinasi (Scott, 1977a; 1977b). Ekspresi-ekspresi nasionalisme popular tampak begitu ‘radikal’ baik bagi para elit maupun kalangan kelas menengah terdidik dari masyarakat, tetapi bagi para “eksponen” nasionalisme popular – kaum petani dan berbagai lapisan masyarakat pedesaan lainnya misalnya – ekspresi tersebut hanyalah merupakan perpanjangan dari narasi kebudayaan dan aspirasi sosial mereka sehari-hari.

Mengapa menggali kembali tradisi-tradisi kecil dapat menjadi suatu alternatif terhadap narasi Nasionalisme Resmi yang hegemonik. Karena, sebagaimana upaya-upaya perwujudan demokrasi radikal oleh rakyat pekerja – mulai dari revolusi sosial di tingkat lokal hingga strategi sindikalis dan praktek demokrasi tempat kerja (workplace democracy) oleh serikat buruh di tingkat nasional – tradisi-tradisi kecil merupakan suatu lokus, suatu ruang di mana konsepsi-konsepsi alternatif tentang politik, termasuk tentang nasionalisme, dapat berkembang dan memicu aksi kolektif lebih lanjut. Tradisi-tradisi kecil adalah tempat di mana, mengutip istilah pembangkang Cekoslovakia Václav Havel (1992) “politik anti-politik” (anti-political politics) dan “kekuatan mereka yang lemah” (the power of the powerless) yang termanifestasikan dalam aksi-aksi pembangkaan yang elusif yang dapat melanggengkan resistensi dan bahkan mengubah rejim. Tradisi-tradisi kecil adalah ruang bukan hanya bagi pembangkaan keseharian (everyday forms of resistance) – seperti bermalas-malasan di hadapan tuan tanah dan bergosip tentang para tetangga yang pelit – yang tidak serta merta menimbulkan perubahan struktural (Scott, 1985) tetapi juga bagi upaya-upaya politik keseharian (everyday politics) yang tidak terkoordinasi namun dapat menimbulkan dampak kolektif yang begitu besar – sebagaimana keengganan kolektif para petani Vietnam untuk bercocok tanam di lahan-lahan kolektivisasi pemerintah pasca unifikasi Vietnam memaksa pemerintah untuk mengakomodasi keinginan petani dan bahkan mereformasi kebijakan pertanian (Kerkvliet, 2005).

Tentu ada satu hal dalam pemaparan ini yang belum begitu banyak terbahas, yaitu bagaimana ekspresi nasionalisme dan proyek emansipatorisnya harus berurusan dengan persoalan bagaimana mentransformasikan logika kedaulatan negara – terutama dalam konteks negara pascakolonial dengan segala beban sejarahnya – agar visi-visi politik emansipatoris tersebut dapat terwujud. Perbincangan soal ini tentu membutuhkan pembahasan terpisah yang lebih mendalam dan juga menjadi pekerjaan rumah yang besar dalam perumusan mengenai suatu visi nasionalisme yang lebih emansipatoris.

Tetapi, setidaknya pemaparan ini dapat sedikit membantu kita untuk lebih memahami kontras antar berbagai visi nasionalisme dan ketegangan-ketegangan di dalam proyek politik nasionalisme itu sendiri serta bagaimana transmutasi dari satu konsep nasionalisme ke konsep nasionalisme yang lain terjadi, terutama dalam konteks kita. Dalam konteks inilah perjuangan diskursif – yang juga mensyaratkan perjuangan di ranah gerakan sosial dan upaya-upaya kolektif dari lapis-lapis paling termarginalkan dalam masyarakat – menjadi penting. Upaya untuk menggali dan mengarusutamakan kembali diskursus-diskursus alternatif tentang nasionalisme – seperti bagaimana imajinasi kolektif tentang kehidupan kebangsaan yang adil, bebas, dan mandiri dalam tradisi-tradisi kecil – dapat menjadi satu langkah penting yang memiliki implikasi yang signifikan. Di tengah-tengah begitu hegemoniknya diskursus nasionalisme pasar – misalnya ala program pendidikan berbasis relawan yang notabene berasal dari lapisan kelas menengah terdidik yang “terpanggil” bagi masyarakat desa yang abai terhadap problem struktural ketersediaan pendidikan di desa-desa dan kecenderungan kariris para alumni pengajar di program tersebut (Gellert, 2015) – maupun Nasionalisme Resmi yang masih mengambil bentuk represif dan militeris dan semakin mengemuka akhir-akhir ini, maka upaya perumusan diskursus nasionalisme yang berorientasi popular yang didorong oleh aksi-aksi kolektif dari rakyat pekerja merupakan suatu langkah politik yang strategis.

Karena persoalan nasionalisme juga bukan hanya persoalan kebangsaan dan identitas, tetapi juga persoalan ketatanegaraan, kekuasaan, dan distribusi berbagai sumber daya – pendek kata, persoalan ekonomi-politik***

Penulis adalah editor IndoPROGRESS dan kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

*Artikel ini semula adalah makalah singkat untuk pengantar diskusi perdana Forum PembacaIndoPPROGRESS pada 22 Agustus 2015 di Owl House Coffee.

Kepustakaan:

Anderson, B., 1972. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca: Cornell University Press.

Anderson, B., 1983. Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective. Journal of Asian Studies, 42(3), pp.477-96.

Anderson, B., 1991. Imagined Communities. London: Verso.

Chandra, K., 2006. What Is Ethnic Identity and Does It Matter? Annual Review of Political Science, 9, pp.397-424.

Edwards, P., 2007. Cambodge: The Cultivation of a Nation, 1860-1945. Honolulu: Hawai’i University Press.

Fanon, F., 1963. The Wretched of the Earth. New York: Grove Press.

Fearon, J.D. & Laitin, D.D., 2000. Violence and the Social Construction of Ethnic Identity.International Organization, 54(4), pp.845-77.

Frederick, W.H., 1989. Visions and Heat: The Making of the Indonesian Revolution. Athens: Ohio University Press.

Geertz, C., 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Gellert, P.K., 2015. Optimism and Education: The New Ideology of Development in Indonesia.Journal of Contemporary Asia, 45(3), pp.371-93.

Gellner, E., 1983. Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press.

Havel, V., 1992. Open Letters: Selected Writings, 1965-1990. New York: Vintage Books.

Horowitz, D.L., 2001. The Deadly Ethnic Riot. Ithaca: Cornell University Press.

Huntington, S.P., 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster.

Kahin, G.M., 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Kerkvliet, B., 2005. The Power of Everyday Politics: How Vietnamese Peasants Transformed National Policy. Ithaca: Cornell University Press.

Laitin, D.D., 1998. Identity in Formation: the Russian-speaking Populations in the Near Abroad. Ithaca: Cornell University Press.

Lucas, A.E., 1989. Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Marx, A.W., 1998. Making Race and Nation: A Comparison of South Africa, the United States, and Brazil. Cambridge: Cambridge University Press.

Marx, A.W., 2002. The Nation-State and Its Exclusion. Political Science Quarterly, 117(1), pp.103-26.

Motyl, A.J., 2002. Review Article: Imagined Communities, Rational Choosers, Invented Ethnies.Comparative Politics, 34(2), pp.233-50.

Petersen, R.D., 2002. Understanding Ethnic Violence: Fear, Hatred, and Resentment in Twentieth-Century Eastern Europe. Cambridge: Cambridge University Press.

Posner, D.N., 2003. The Colonial Origins of Ethnic Clevages: The Case of Linguistic Divisions in Zambia. Comparative Politics, 35(2), pp.127-46.

Posner, D.N., 2005. Institutions and Ethnic Politics in Africa. Cambridge: Cambridge University Press.

Scott, J.C., 1976. Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. New Haven: Yale University Press.

Scott, J.C., 1977. Protest and Profanation: Agrarian Revolt and the Little Tradition, Part I. Theory and Society, 4(1), pp.1-38.

Scott, J.C., 1977. Protest and Profanation: Agrarian Revolt and the Little Tradition, Part II.Theory and Society, 4(2), pp.211-46.

Scott, J.C., 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press.

Scott, J.C., 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven: Yale University Press.

Shiraishi, T., 1990. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell University Press.

Smail, J., 1964. Bandung in the Early Revolution 1945-1946: A Study in the Social History of the Indonesian Revolution. Ithaca: Monograph Series, Modern Indonesia Project, Cornell University.

Sommers, M., 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness, and the Right to Have Rights. 1st ed. New York: Cambridge University Press.

Suryomenggolo, J., 2013. Organising under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945-1948. Kyoto and Singapore: NUS Press and Kyoto University Press.

Vu, T., 2010. Paths to Development in Asia: South Korea, Vietnam, China, and Indonesia. New York: Cambridge University Press.

Weber, E., 1976. Peasants into Frenchmen: The Modernization of Rural France, 1870-1914. Stanfod: Stanford University Press.

Wolf, E.R., 1999. Peasant Wars of the Twentieth Century. 2nd ed. Norman: University of Oklahoma Press.

————–

[1] Tentu saja, ada sejumlah perdebatan mengenai dua pandangan besar ini (esensialisme dan konstruktivisme kebudayaan) dan juga teori-teori lain mengenai nasionalisme dan bentuk-bentuk identitas politik lainnya. Lihat misalnya uraian Chandra (2006), Fearon dan Laitin (2000), dan Motyl (2002).

[2] Karena itu tidak heran apabila di dekade 1960an-1970an terjadi proliferasi karya-karya mengenai masyarakat petani dan revolusi pembebasan nasional di negara-negara dunia ketiga – yang notabene adalah masyarakat agraris – karena ada imajinasi populer mengenai kaum tani sebagai jiwa bangsa, the soul of the nation. Sejumlah karya klasik yang membahas topik tersebut antara lain adalah karya Scott (1976) dan Wolf (1999).

[3] Pandangan saya mengenai episode sejarah ini juga saya tuangkan dalam satu tulisan bertajuk “Indonesian Labour Movement in Historical Perspective: A View from Below” (Manuscript under review).

[4] Teks aslinya, “Thus the model of official nationalism assumes its relevance above all at the moment when revolutionaries successfully take control of the state, and are for the first time in a position to use the power of the state in pursuit of their visions. The relevance is all the greater insofar as even the most determinedly radical revolutionaries always, to some degree, inherit the state from the fallen regime.” (hal. 159).

[5] Persoalan ini juga saya bahas dalam salah satu artikel saya di IndoPROGRESS, “Revolusi Agustus, Revolusi Sosial” yang dapat diakses di http://indoprogress.com/2015/08/revolusi-agustus-revolusi-sosial/

Genosida* 1965: Tragedi Kemanusiaan dan Serangan atas Perjuangan Kelas

Genosida* 1965: Tragedi Kemanusiaan dan Serangan atas Perjuangan Kelas

50 TAHUN yang lalu, saya bayangkan ada malam-malam panjang di mana banyak orang diciduk, dibawa diam-diam, untuk kemudian dihabisi. Setidaknya setengah juta hingga satu juta – atau bahkan mencapai tiga juta menurut klaim Sarwo Edhie – orang komunis dan yang diduga ‘komunis’ – aktivis Kiri, intelektual dan seniman progresif, pegiat gerakan perempuan, hingga lapisan militan kaum buruh dan tani. Pendek kata, pejuang rakyat – dibantai dalam pembunuhan massal yang disponsori militer dan elemen-elemen masyarakat yang menjadi kaki tangannya dalam kurun waktu yang kurang dari setahun. Sisanya dibuang, disiksa, atau dipenjarakan dalam Gulag-nya Suharto.

Inilah fondasi bagi rezim Orde Baru yang berdiri setelahnya. Tentu saja, rangkaian kekerasan dan teror rezim Orba tidak berhenti di situ – DOM di Aceh, operasi-operasi militer ‘anti-separatisme’ di Papua, dan pendudukan di Timor-Leste (yang mengakibatkan kurang lebih seperlima penduduknya berpulang karena kekerasan aparat dan kelaparan paksa) – adalah beberapa contoh bagaimana kekerasan negara dilanggengkan sebagai bagian dari strategi rezim. Tentu saja, bagaikan kotoran dan debu yang disapu ke bawah karpet, catatan kelam ini perlu dan harus ditutup-tutupi, agar kita tetap bisa mengagumi ‘oh betapa hebatnya kemajuan yang dicapai oleh rezim Orba, betapa enaknya jaman dulu.’

Padahal, Walter Benjamin sudah jauh-jauh hari mengingatkan: there is no document of civilization which is not at the same time a document of barbarism. Tidak ada jejak-jejak peradaban yang tidak meninggalkan jejak-jejak kebiadaban.

Namun, apakah kita mau dengan terus terang menelusuri sejarah dengan segala kompleksitasnya dan mengakui kekerasan massal, untuk tidak mengatakan kebiadaban, yang dulu pernah kita lakukan sebagai sebuah kelompok masyarakat? Dalam terang inilah, peringatan 50 tahun genosida 1965 menjadi sangat penting dan relevan. Peristiwa tersebut adalah titik sejarah di mana terjadi perubahan yang begitu besar kepada identitas kita sebagai masyarakat dan bangsa, karena sifatnya sebagai sebuah kasus kekerasan massal yang disponsori oleh negara dan elemen masyarakat, skalanya, dan warisannya dalam berbagai bidang.

Tetapi, ada berbagai perspektif dalam melihat genosida 1965, yang menekankan aspek yang berbeda-beda dari peristiwa tersebut. Yang saya maksud tentu saja bukan narasi-narasi Orbais, tetapi sejumlah perspektif dan narasi kontemporer mengenai genosida 1965.

Salah satu perspektif yang paling dominan dalam memandang genosida 1965 adalah perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Perspektif ini melihat genosida 1965 sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Sebelum dituduh macam-macam, saya perlu tegaskan di sini bahwa perspektif HAM adalah penting dan sangat bermanfaat dalam melakukan analisa atas tragedi 1965 dan advokasi atas pentingnya penelusuran sejarah dan untuk hak-hak para korban dan penyintas. Inisiatif penting semacam International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) atau Mahkamah Rakyat Internasional untuk penyelesaian kasus Pembunuhan Massal 1965 adalah hasil dari kerja-kerja panjang para aktivis dan penggerak yang bergiat menelusuri kasus 1965, yang sedikit banyak menggunakan perspektif HAM dalam kerja-kerja mereka. Begitupun banyak contoh lain seperti upaya-upaya permintaan maaf dan rekonsiliasi di tingkat lokal, pemutaran film Senyap yang disponsori oleh Komnas HAM, perbincangan publik yang lebih luas mengenai tragedi 1965 dan lain sebagainya.

Namun, meskipun sangat penting dan berguna, perspektif ini menurut hemat saya belum cukup. Apabila kita ingin menelusuri sejarah seputar genosida 1965 secara jujur dan menyeluruh dan berupaya untuk mengambil usaha-usaha yang menjadi konsekuensi logis dari upaya investigasi sejarah tersebut, maka kita perlu mengintegrasikan perspektif-perspektif lain dalam melihat katastrofi 1965, yang lebih bersifat struktural dan holistik.

Satu contoh dari perspektif tersebut adalah fakta bahwa genosida 1965 bukan hanya sekedar pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara kepada sekelompok warganya, melainkan suatu ofensif, suatu serangan terhadap upaya perjuangan kelas di Indonesia dan Asia. Tragedi tersebut juga merupakan salah satu momen kekalahan yang besar bagi gerakan Kiri internasional. Tentu, bukan tanpa alasan apabila slogan Yakarta se acerca, ‘Jakarta akan segera datang,’ menjadi ungkapan ancaman favorit kaum sayap Kanan dan plotis di Chile atas pemerintahan sosialis Allende. Perlu diingat bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) pada saat itu adalah partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), yang bergerak melalui jalur parlementer (di tingkat negara) dan mobilisasi massa rakyat (di tingkat masyarakat), yang perkembangannya menggentarkan sejumlah lawannya. PKI juga memiliki sejarah yang panjang di Indonesia – memulai kiprahnya semenjak masa Hindia Belanda. Di saat yang bersamaan, periode 1960an merupakan periode di mana resistensi anti-kolonial dan perjuang pembebasan nasional sedang mencapai puncaknya, dan Asia Tenggara menjadi tempat di mana perjuangan kelas berlangsung sedemikian sengitnya – baik itu di Filipina, Thailand, dan lebih-lebih Vietnam.

Singkat cerita, dengan konteks konstelasi politik yang seperti itu, maka kekalahan permanenuntuk PKI merupakan kemenangan yang besar bagi jejaring ekspansionis kapitalisme dan nekolim global serta komprador-komprador lokalnya – seperti faksi kapitalis bersenjata alias militer Indonesia. Penghancuran PKI adalah, mengutip cover majalah Time,The West’s best news for years in Asia,’ yang dapat secara sistematis dan masif melemahkan perjuangan rakyat pekerja di berbagai lini[1] dan membuka jalan bagi ekspansi kapitalisme global di Indonesia.[2]

Tidak hanya itu, serangan terhadap perjuangan kelas di Indonesia dalam konteks tragedi 1965, juga bergerak di ranah politik pengetahuan. Sebagaimana disebutkan oleh Ruth McVey (1990), salah satu hal pertama yang dilakukan militer dalam prahara 1965 adalah menggerebek dan merampas arsip-arsip PKI, yang membuat mereka terkejut karena arsip-arsip tersebut menunjukkan kemampuan riset PKI yang mendalam dalam analisanya sekaligus mengakar ke realita sosialnya rakyat pekerja. McVey juga memaparkan bagaimana PKI berusaha menjadikan pendidikan rakyat dan kader rakyat sebagai salah satu program utamanya.

Ya, bahkan sebelum reflexive ethnography dan participatory action research nge-tren, dapat dikatakan bahwa PKI sudah mempelopori itu jauh-jauh hari. Ben White dalam artikel terbarunya menjelaskan bagaimana kader-kader PKI mencoba menerapkan strategi riset tersebut untuk memahami penghidupan rakyat dan membangun gerakan. Strategi riset untuk gerakan dan gerakan yang berbasis riset itu dimungkinkan dengan berpedoman kepada prinsip ‘3 sama, 4 jangan, 4 harus.’

Penekanan pada pendidikan dan riset inilah yang menjadi salah satu faktor utama dalam kesuksesan PKI membangun gerakan. Ini jugalah yang secara jitu dilihat sebagai salah satu bentuk ancaman terbesar dari PKI di mata kaum reaksioner dan kontrarevolusioner. Karenanya, adalah masuk akal bagi mereka untuk menghancurkan basis pengetahuan PKI: arsipnya diambil, lembaga dibubarkan, orang-orangnya ‘dibina’(sakan), dan dasar teoretik pengetahuannya, Marxisme-Leninisme, dibuat menjadi paham terlarang.

Ini juga yang menjelaskan mengapa perspektif kelas sempat absen dalam diskursus pengetahuan kita. Oleh karena itu, jangan heran apabila banyak orang di zaman sekarang mencari penjelasan dengan cara-cara yang serampangan dan jawaban-jawaban yang sektarian: anti Asing-Aseng, konspirasi Wahyudi dan Mama Rika, antek Syi’ah-Zionis-Amriki, dan lain sebagainya. Bagaimana tidak, wong tradisi marxis-leninis sebagai sebuah tradisi pengetahuan yang kaya, sebagai sebuah sains sejarah yang menopang proyek emansipasi sempat dilarang dan dikucilkan dan kader-kader penyebarnya mengalami proses dehumanisasi yang begitu nista?

Terakhir, untuk memahami tragedi 1965 secara lebih holistik, kita perlu melihat dan menempatkannya dari perspektif sejarah dunia. Dilihat dari kacamata tersebut, genosida 1965 adalah bagian dari rangkaian momen-momen kesejarahan dengan skala global (world historical events) kekerasan massal yang disponsori oleh otoritas yang berkuasa. Kita perlu melihat tragedi 1965 dalam rangkaian kekerasan massal yang lain: genosida di Rwanda, pendudukan dan kelaparan paksa di Timor Leste, pembantaian di Kamboja, dan bahkan holocaust Nazi di Jerman. Dari perspektif tersebut, terang sudah bahwa tragedi 1965 juga merupakan bagian dari sejarah kelam pembantaian di berbagai tempat di dunia – kecuali jikalau orang Kiri dianggap sebagai setengah manusia, binatang, atau seorang jalang.

Perspektif ini juga memungkinkan definisi ulang dari peristiwa 1965 bukan hanya sebagai sebuah tragedi kemanusiaan, tetapi juga sebagai sebuah pelanggaran HAM yang diakui oleh hukum internasional. Tragedi 1965 bisa dilihat sebagai sebuah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Bahkan, ia juga dapat disebut sebagai sebuah bentuk genosida. Riset Jess Melvin (2013) mengenai pembantaian 1965 di Aceh menunjukkan bahwa setidaknya di Aceh terdapat upaya sistematis untuk membunuh warga etnis Tionghoa bukan hanya karena dicurigai sebagai ‘antek komunis’ tetapi juga karena mereka ‘Cina.’ Dengan kata lain, mereka menjadi target kekerasan dan pembunuhan bukan hanya karena dugaan terhadap afiliasi politik mereka tetapi juga karena identitas etnis mereka. Ini sesuai dengan definisi hukum internasional yang menyatakan bahwa upaya pembantaian secara sistematis atas suatu kelompok etnis tertentu, berapapun skalanya, adalah sebuah bentuk genosida. Berdasarkan riset dan definisi tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tragedi 1965 juga dapat dibaca sebagai genosida 1965. Setidaknya, ada kejadian-kejadian dalam tragedi 1965 di mana pembunuhan massal terjadi bukan hanya karena faktor identitas politik, tetapi juga identitas etnis.

Perspektif-perspektif alternatif tersebut, menurut pandangan saya, dapat melengkapi dan memperkaya perspektif HAM yang menjadi perspektif dominan dalam menelaah genosida 1965. Dengan mengintegrasikan perspektif-perspektif tersebut, kita dapat melihat genosida 1965 secara lebih holistik.

Selanjutnya, apa implikasi dari pemahaman yang lebih holistik mengenai genosida 1965? Setidaknya ada dua. Pertama, pemahaman yang lebih menyeluruh ini menuntut kita untuk memahami sejarah gerakan Kiri di Indonesia dan hubungannya dengan tendensi-tendensi politik lain secara lebih menyeluruh. Ini mensyaratkan perdebatan dan diskusi publik yang lebih luas mengenai tragedi 1965 dan momen-momen sejarah lain yang berkaitan dengan PKI – seperti Pemberontakan Madiun di tahun 1948 dan Pemberontakan atas pemerintah kolonial di tahun 1926. Ini juga mensyaratkan perdebatan dan diskusi yang lebih luas mengenai hubungan PKI dengan kelompok-kelompok lain – wabil khusus kelompok Islam.

Dalam kaitannya dengan persoalan ini, saya ingin mengajukan satu pembacaan: bahwa terlepas dari berbagai kompleksitas sejarahnya, PKI, gerakan Kiri, dan tradisi keilmuan Kiri merupakan bagian integral dari sejarah Indonesia dan telah banyak berkontribusi bagi perjuangan bangsa. Bahwasannya ada momen-momen konfliktual antara PKI dengan kelompok-kelompok lain merupakan sebuah kenyataan sejarah, tetapi itu tidak menegasikan sumbangsih PKI dan juga kelompok-kelompok lain – Nasionalis, Islam, dan kelompok-kelompok minoritas – dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Lagipula, bukankah tiap-tiap kelompok dan tendensi politik punya cacatnya masing-masing, yang juga tidak mengurangi kontribusi mereka secara keseluruhan? Momen-momen tersebut lebih tepat dibaca sebagai sebuah kenyataan bahwa kompleksitas dalam upaya pembangunan tatanan emansipatoris yang baru dalam konteks negara post-kolonial memang tidak mudah. Kita juga musti ingat bahwa dalam bentuk yang berbeda-beda, tradisi intelektual di mana para aktivis pergerakan nasional tumbuh dan artikulasi politik mereka dalam banyak hal bisa dikatakan cukup ‘Kiri.’ Pada zaman itu, siapa sih yang tidak membaca Marx-Engels, Lenin, atu Hilferding?

Lagipula, jikalau kita serius dengan slogan ‘Islam Nusantara’ yang sering didengung-dengungkan dan diperdebatkan akhir-akhir ini, bukan berarti kita juga perlu mengakui bahwa terdapat banyak eksperimen antara Islam dengan sosialisme dan komunisme di Indonesia, mulai dari SI Merah, Haji Misbach, hingga generasi-generasi baru aktivis Islam yang tertarik dengan gagasan-gagasan Kiri dan menemukan sinerginya dengan gagasan-gagasan Islam terutama dalam aspek emansipasinya?

Kedua, pemahaman yang lebih menyeluruh ini juga menuntut kita untuk membangun gerakan sosial di Indonesia secara organik dan sadar dengan segala kompleksitasnya secara lebih giat lagi. Pelajaran dari kiprah PKI dan kekalahannya dalam tragedi 1965 patut menjadi pelajaran bagi kita para penggiat gerakan sosial di Indonesia mengenai apa yang perlu kita lakukan dan apa yang perlu kita hindari atau persiapkan kedepannya. Pelajaran tersebut juga menunjukkan bahwa ada banyak narasi lain selain narasi ‘kekalahan’ yang berkaitan dengan sejarah gerakan Kiri di Indonesia, dari mulai kemunculannya hingga kekalahannya di tahun 1965. Ada kerja-kerja gerakan Kiri di masa lalu yang patut kita apresiasi, tampilkan, dan pelajari relevansinya untuk kita, untuk masa sekarang. Bukankah Sudisman, pemimpin PKI yang berani itu, dalam uraian tanggung jawabnya berujar dalam kata-kata dan frase-frase yang bersifat nubuat dan penuh harapan atas masa depan gerakan rakyat di tanah air kita? Tetapi kesuksesan tersebut tidak akan datang dari langit; ia perlu diusahakan melalui intervensi politik yang organik dan sistematis. Imaji tentang kebahagian, sebagaimana kata Walter Benjamin, selalu berkaitan dengan imaji tentang penebusan – “our image of happiness is indissolubly bound up with the image of redemption.” Kebahagian rakyat banyak, dengan kata lain, memerlukan suatu upaya ‘penebusan’ – dengan kata lain, kerja-kerja panjang untuk pembangunan gerakan sosial di Indonesia.

Oleh karena itu, salah satu cara terbaik untuk memperingati genosida 1965, selain penelusuran sejarah yang lebih jujur dan usaha untuk memperjuangkan keadilan, adalah dengan membangun gerakan-gerakan sosial dan gerakan Kiri di Indonesia. Kita harus tetap berjuang, karena kita tahu, dan agar kita dapat memastikan, bahwa perjuangan mereka yang berpulang dan menjadi martir 50 tahun yang lalu, dan setelahnya, dan baru-baru ini – seperti almarhum Pak Salim Kancil – sesungguhnya tidak sia-sia.***

‘Come, join in the only battle wherein no man can fail,
Where whoso fadeth and dieth, yet his deed shall still prevail.’
(Chants for Socialists, oleh William Morris)

.
Banten, tempat kaum komunis dan ulama pernah berontak kepada penjajahan, awal Oktober.

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

*Catatan: Saya menggunakan istilah genosida karena dua alasan. Pertama, sejumlah riset terbaru terutama riset Jess Melvin (2013) menunjukkan bahwa Pembunuhan Massal 1965 selain bernuansa politis (anti-komunis) juga bernuansa etnis (anti-Tionghoa), setidaknya di beberapa tempat, seperti Aceh. Kedua, mengamini Joshua Oppenheimer, sejauh ini tidak ada istilah yang lebih baik yang dapat menyampaikan tragedi kemanusiaan berskala besar selain genosida.

Kepustakaan

Farid, H., 2005. Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66. Inter-Asia Cultural Studies, 6(1), pp.3-16.

McVey, R.T., 1990. Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution. Indonesia, 50, pp.5-28.

Melvin, J., 2013. Why Not Genocide? Anti-Chinese Violence in Aceh, 1965-1966. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32(3), pp.63-91.

———-
[1] Rekan Muhammad Ridha pernah mengutarakan bahwa penghancuran PKI yang bersifat sistematis baik di ranah negara maupun masyarakat menjelaskan mengapa terjadi kemunduran yang begitu besar dalam gerakan Kiri di Indonesia pasca-1965 (bandingkan misalnya dengan Amerika Latin di mana gerakan dan tradisi Kiri masih hidup di ranah masyarakat bahkan setelah represi negara yang begitu kuat). Sedikit banyak saya setuju dengan penilaian Ridha.

[2] Terdapat perdebatan mengenai mekanisme pembantaian dan implikasinya bagi ekonomi-politik Indonesia serta bagaimana ekspansi kapitalisme global berjalan pasca-1965. Artikel Hilmar Farid (2005) adalah tulisan pertama yang menawarkan satu pembacaan mengenai tragedi 1965, yang memantik perdebatan lebih lanjut akhir-akhir ini di jurnal Inter-Asia Cultural Studies (http://www.tandfonline.com/toc/riac20/16/2).

Dari Kampung Pulo Hingga Urut Sewu dan Keharusan Membangun Front Bersama

Dari Kampung Pulo Hingga Urut Sewu dan Keharusan Membangun Front Bersama

Dari Kampung Pulo hingga Urutsewu, perlawanan rakyat pekerja terus bergejolak

BELUM lama kita mendengar kabar mengenai berbagai kasus konflik dan sengketa antara negara dengan rakyat pekerja. Di Kampung Pulo, Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta berhadapan dengan warga sekitar yang enggan untuk ‘direlokasi.’ Di Urut Sewu, aparat bentrok dengan orang-orang desa yang mencoba mempertahankan haknya. Ini baru dua contoh dari banyak kasus serupa yang mendapat perhatian lebih karena masuk sorotan media. Di luar sorotan itu, mungkin lebih banyak lagi kasus yang melibatkan konflik antara negara dan kapital di satu sisi versus rakyat pekerja di sisi lain.

Tentu, terdapat perbedaan di antara dua kasus tersebut. Dari hal yang paling fundamental misalnya, bahwa kasus Kampung Pulo merupakan bagian dari persoalan masyarakat kota, sedangkan kasus Urut Sewu merupakan bagian dari persoalan agraria di Indonesia. Tetapi, dua kasus ini sesungguhnya merupakan bagian dari persoalan yang lebih besar, yaitu bagaimana ofensif kapitalisme-neoliberal bekerja dalam konteks struktural, spasial, dan sosial tertentu dan dampaknya terhadap kekuatan kolektif rakyat pekerja.

Untuk menganalisa masalah tersebut, kita bisa menggunakan berbagai perspektif. Tetapi, kali ini saya ingin menyoroti aspek lain dari dua konflik tersebut, yaitu persoalan politik kewargaan dan keruangan serta kesenjangan antara desa dan kota.

Mari kita mulai dengan dua kasus tersebut satu persatu secara lebih seksama. Di Kampung Pulo, Pemda DKI Jakarta mencoba ‘menertibkan’ tatanan ruang kota demi ‘mempercantiknya’. Suatu pilihan yang ironis untuk ditempuh, setelah upaya-upaya diskusi dengan warga Kampung Pulo mentok dan dianggap gagal. Akibatnya, warga Kampung Pulo dianggap sebagai ‘penghuni liar’ yang mengganggu keindahan kota, baik secara spasial, visual, maupun ekonomi-politik.

Pemukiman Kampung Pulo memang tidak lepas dari berbagai masalah khas Komunitas Miskin Kota (KMK). Mulai dari himpitan ekonomi, kesehatan komunitas, dan kekumuhan. Tetapi masalahnya tidak berhenti di situ. Ada permasalahan struktural yang lebih besar yang membuat warga-warga seperti di komunitas Kampung Pulo dan banyak tempat lainnya berada dalam suatu konteks relasi sosial dan spasial di mana mereka berada sekarang. Warga miskin tidak ujug-ujug muncul dari sononya. Dengan kondisi seperti itu, dan di tengah-tengah keterbatasan pilihan, maka warga harus bertahan dengan cara-cara dan aksi-aksi kolektifknya tersebut.

Konteks relasi sosial dalam komunitas marginal itulah yang luput dilihat oleh pihak Pemda DKI, para teknokratnya, dan juga faksi kelas menengah yang mendukung mereka. Kampung Pulo dan banyak tempat-tempat di mana KMK tinggal, bukanlah sekadar kumpulan ‘individu-individu dan keluarga-keluarga’ ala visi neoliberalnya Margaret Thatcher. Lebih dari itu, tempat-tempat tersebut adalah kampung, suatu masyarakat yang terjalin dalam konteks relasi sosial tertentu. Masyarakat kampung di perkotaan bukanlah sekedar kompleks perumahan kumuh, melainkan tempat di mana ekonomi warga terbangun, dan solidaritas sosial – meskipun tidak serta-merta menuju ke arah intervensi politik kelas bawah yang efektif – nyata adanya.

Episode perampasan lain juga terjadi di daerah pedesaan, kali ini di Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah. Resistensi warga terhadap bisnis penambangan yang dilakukan oleh PT MNC, ditambah dengan reaksi represif militer terhadap resistensi tersebut, berujung kepada ‘bentrok’ antar warga dengan militer. Korporasi melihat tanah hanya sebagai ‘komoditas’ dan militer melihat upaya perlawanan warga terhadap upaya komodifikasi tersebut sebagai aksi ‘anarkis’ terhadap ‘perjanjian pembebasan lahan’ yang sudah diteken sebelumnya yang perlu ‘ditertibkan’.

Lagi-lagi, upaya perampasan (dispossession) terjadi secara berkali-kali dan berlapis-lapis dalam kasus seperti ini. Logika kapital dan negara ‘modern’ melihat tanah sebagai komoditas yang tidak boleh dianggurin. Padahal, bagi kaum tani dan warga desa yang termarginalkan, tanah bukanlah sekedar komoditas. Ada cerita-cerita, mitos-mitos, dan berbagai tradisi lokal yang berkaitan dengan tanah dalam konteks kehidupan pedesaan. Ada dimensi kemandirian dan kedaulatan ekonomi yang dekat dengan kepemilikan tanah oleh masyarakat desa. Pendek kata, tanah bukan sekedar faktor produksi, tetapi juga merupakan sebuah way of life.

Kasus-kasus ini hanyalah merupakan gejala dari persoalan visi high-modernist atau modernisme tinggi dalam pembangunan. Negara dan kapital ingin menjadikan masyarakatlegible, gampang dilihat dan kemudian dibentuk dan ditaklukkan. Bukan tanpa sebab apabila penataan ruang di kota-kota besar seperti di Chicago dan Paris, berorientasi kepada pembuatan blok-blok yang gampang terlihat; mereka dibuat supaya ‘kerusuhan’ – suatu kategori yang mencampuradukkan keributan dengan aksi-aksi politik kolektif warga seperti demonstrasi dan protes – gampang terdeteksi dan dijinakkan. Bukan tanpa sebab apabila di Indonesia pembangunan kota-kota berorientasi kepada ‘percantikan’ kota dan pembangunan pedesaan berorientasi kepada ‘pembangunan infrastruktur dan peningkatan pendapatan daerah’, karena dengan begitu wajah buruk dari kota dan desa, yaitu komunitas-komunitas miskin dan marginal, dapat dengan mudah dipinggirkan dengan dalih ‘pembangunan dan perluasan taman kota’, ‘persiapan SEA GAMES’, ‘penguatan infrastruktur’, ‘peningkatan pendapatan daerah’, ‘penyerapan anggaran’, dan lain sebagainya. Apakah tidak ada yang protes dengan semua ini? Saudara-saudari, di zaman di mana kelas menengah puas dan senang dengan pemandangan kota yang ‘rapih’ dan ‘bersih’ yang dapat dengan mudah diunggah ke instagram, dikicaukan di twitter, dan disebarkan via facebook, siapa sih yang mau repot-repot berpikir sedikit lebih jauh ke arah situ? Singkat kata, ada politik perebutan ruang dan diskursus di sini.

Akar permasalahan ini adalah kebijakan pembangunan yang bias urban dan berorientasi akumulasi kapital (urban-biased and capital-centered development). Hasilnya adalah bias kategori kewargaan dan ketimpangan pembangunan, yang melahirkan ruang-ruang ‘apartheid baru’ di mana kompleks perumahan yang dibangun oleh pengembang yang berisikan sekumpulan individu dan keluarga yang ‘atomistis’ – persis seperti utopia/dystopia neoliberal Thatcherian – semakin meminggirkan warga kampung dan juga sawah-sawah, tanah-tanah, dan rumah-rumah mereka. Sisanya adalah sejarah: solusi mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengentaskan si miskin!

Tiba-tiba saya teringat umpatan Gubernur Ahok. Ketika ia berujar bahwa HAM versinya adalah ‘bila dua ribu orang menentang saya dan membahayakan 10 juta orang , maka dua ribu orang itu saya bunuh di depan anda,’ maka segera saya teringat ucapan Walter Benjamin yang terkenal itu: There is no document of civilization which is not at the same time a document of barbarism.

Di sini, terang bahwa solusi liberal, baik varian ‘efisiensi pasar’ maupun ‘modal sosial’nya tidaklah menjadi jawaban, apalagi solusi ‘modernisme tinggi dengan nuansa kemanusiaan’ (high modernism with a human face). Solusinya hanya satu: pembangunan front bersama yang menyatukan isu-isu kota dan desa dan kepentingan-kepentingan lapis-lapis masyarakat yang tertindas yang hidup didalamnya. Tawaran ini mungkin belum terealisasi sekarang, tetapi pelan-pelan manifestasinya sudah terlihat dalam berbagai bentuk resistensi partikularisme militan yang semakin mengemuka di tanah air akhir-akhir ini. Tapi kita harus bergerak lebih jauh dari itu, dari partikularisme militan menuju universalisme yang militan.

Karena, kalau tidak, maka perampasan akan semakin merajalela dan tembok-tembok penanda ‘apartheid baru’ akan semakin terpancang. Karena, hanya perjuangan kita yang akan menjamin masa depan kita***

 

Desa Dukuh, Banten, awal September

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Optimisme dan Harapan Sebagai Retorika Kapitalisme Kontemporer

http://indoprogress.com/2015/06/optimisme-dan-harapan-sebagai-retorika-kapitalisme-kontemporer/

Pendahuluan

BARU-BARU ini rekan Dede Mulyanto membahas optimisme sebagai asumsi teoretik sekaligus posisi etis dan politis yang kerap kali menjadi lubang sembunyi sisa-sisa filsafat idealisme. Optimisme ugal-ugalan, meminjam bahasa Dede, adalah sebuah proyek intelektual dan politik yang bermasalah dalam kacamata Marxis karena kecenderungannya untuk terlampau menyederhanakan realitas obyektif menurut ideal-ideal yang berada di dalam benak kepala, mereifikasi model-model penyederhanaan atas realitas tersebut, dan mempromosikan harapan yang kurang berjejak di ranah politik.

Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengembangkan argumen Dede sedikit lebih jauh: optimisme ugal-ugalan sebagai proyek etis dan politis bukan saja merupakan sebentuk sisa-sisa idealisme tetapi juga sebuah bentuk ideologi borjuis. Dengan kata lain, optimisme ugal-ugalan merupakan sebuah retorika kapitalisme kontemporer. Implikasi posisi teoretik tersebut, menurut saya, dapat bersifat konterproduktif bagi proyek-proyek politik emansipasi.

Optimisme dan Harapan: Selubung Ideologis Masyarakat Kapitalis

Satu dari sekian banyak hal yang menjadi tameng ideologis kapitalisme adalah premis bahwa di dalam masyarakat kapitalis, meskipun kesenjangan akan senantiasa ada, tetapi ‘kesempatan’ sesungguhnya selalu tersedia bagi siapa saja dan ‘kesuksesan’ akan ‘datang’ bagi mereka yang ‘bekerja keras’. Siapa saja bisa meraih ‘kesuksesan’ tersebut – yang sedikit banyak didefinisikan dengan seberapa banyak akumulasi (baca: ekspropriasi atau perampasan) nilai lebih dapat dilakukan. Meminjam ucapan seorang anggota tim penasehat Pinochet dalam film No, perhatikan bahwa penekanannya adalah pada kata siapa saja dan bukannya semua. Dalam konteks ini, retorika optimisme dan harapan dapat dibaca sebagai sebentuk selubung ideologis yang menjustifikasi tatanan ekonomi-politik tersebut. Dalam terminologi yang lebih formal, retorika optimisme dan harapan dalam beberapa bentuknya dapat dibaca sebagai seperangkat superstruktur – praktik-praktik sosial dan kebudayaan yang melegitimasi tatanan masyarakat kapitalis. Pelan-pelan kita digiring untuk berpikir bahwa tatanan masyarakat tersebut pada dasarnya memberikan ‘keniscayaan’ untuk ‘kesuksesan’ – Bukankah dalam masyarakat kapitalis alih-alih ‘sosialis’ kita dapat menemukan Steve Jobs, Bill Gates, dan J.K. Rowling? Bukankah iPhone dan MacBook edisi terbaru jauh lebih menarik dibandingkan Trabant dan produk-produk tua dari Blok Timur?

Buktinya tidak sedikit. Contoh-contoh dari retorika semacam itu dapat kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari diskursus politik hingga imajinasi kebudayaan masyarakat kita. Perhatikan misalnya ‘visi ideal’ pandangan hidup beberapa faksi kelas menengah kita – suatu contoh yang cukup dekat dan familiar buat saya. Kesuksesan dinilai dalam bentuk sejauh mana seseorang bisa memiliki ‘stabilitas’ dalam sektor-sektor pekerjaan kerah putih, partisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas ‘kewargaan’ yang sifatnya karitatif dan terkadang penuh dengan konotasi moralis dan terkadang religius seperti menjadi sukarelawan untuk berbagai kegiatan volunteer,atau dua-duanya. Kecenderungan moralis tersebut bahkan semakin mengemuka bagi beberapa elemen-elemen ‘tercerahkan’ dalam kelas menengah Indonesia. Sebagai bagian dari kalangan ‘terpelajar’ mereka memiliki ‘kewajiban moral’ dan ‘misi historis’ untuk ‘mencerahkan’ para anggota masyarakat – biasanya dari golongan bawah – yang masih ‘belum tercerahkan’ dan ‘bodoh’. Berbekal segumpal angan-angan mengenai visi masyarakat yang ‘ideal’, mereka mencoba merumuskan sejumlah program dan kegiatan yang bertujuan untuk ‘memperbaiki keterbelakangan’, tanpa sadar akan tendensi paternalistik yang inheren dalam visi ideal tersebut.

Contoh yang saya berikan di atas mungkin terkesan anekdotal dan karikatural, tetapi ada juga contoh-contoh lain di mana retorika optimisme dan harapan ugal-ugalan mewujud dalam bentuk yang lebih sistematis. Baca misalnyaartikel dan tulisan terbaru ekonom Greg Mankiw (2013) yang menjustifikasi eksistensi lapisan satu persen dalam masyarakat, bahwa kemunculan lapisan satu persen lengkap dengan segala bakat dan kreativitas mereka adalah sebuah hal yang natural dan kesenjangan ekonomi, sosial – dan mungkin politik – yang muncul sebagai konsekuensi dari eksistensi dan konsolidasi lapisan satu persen hanyalah sekedar ‘ongkos’ yang perlu dibayar untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. Bukankah lapisan satu persen adalah para anggota masyarakat pilihan yang bisa sukses karena kerja keras dan kebrilyanan mereka?

Retorika optimisme dan harapan ini biasanya juga erat berhubungan dengan satu tatanan ekonomi-politik tertentu yaitu, teknokrasi, tentu bukan dalam artiannya sebagai upaya saintifik untuk pembangunan masyarakat, melainkan lebih dalam artiannya yang cenderung terinsulasi dari kontrol publik, tercerabut dari konteks sosial yang melahirkannya, dan tentu saja cenderung alergi terhadap demokrasi – persis dengan apa yang disebut Marx sebagai ‘pemerintahan teknis’ (technical government)[1]. Optimisme dan harapan sebagai sebentuk idealisme sering sekali berkelit kelindan dan bersandingan dengan teknokrasi. Keduanya saling membutuhkan dan memperkuat satu sama lain. Dalam bahasa yang populer, retorika tersebut sering disampaikan kurang lebih seperti ini: kita harus tetap ‘optimis’, dan untuk mewujudkan ‘harapan’ kita, maka kita perlu melakukan sejumlah ‘usaha’, yang tidak lain tidak bukan hanyalah bentuk lain dari teknologi-teknologi berpemerintahan (technologies of governmentality) dalam artian Foucauldian. Persis di titik inilah kontradiksi internal dalam retorika optimisme dan harapan mengemuka: retorika tersebut tidak mampu berdiri sendiri, ia merupakan manifestasi dari ideologi borjuis yang membutuhkan aparatus-aparatus politik, sosial, dan kebudayaan yang memungkingkannya terinternalisasi di dalam masyarakat. Contoh dari strategi seperti ini banyak dan sudah cukup lama diterapkan mulai dari Lesotho (Ferguson, 1994) hingga Indonesia (Li, 2007), baik secara formal, misalnya melalui skema kebijakan teknokratis seperti Kecamatan Development Program-nya Bank Dunia (Carroll, 2010) maupun informal melalui program-program pendidikan yang bersifat sukarela tetapi bergantung kepada pola manajemen dan kapital dari korporasi-korporasi besar (Gellert, 2015). Mengutip Althusser, manifestasi dari retorika optimisme dan harapan dapat kita lihat sebagai contohaparatus ideologis negara (ideological state apparatuses) untuk mereproduksi dan melanggengkan ideologi borjuis.

Singkat kata, retorika optimisme dan harapan dalam berbagai bentuknya dewasa ini dapat dilihat sebagai diskursus borjuis. Apabila perjuangan politik emansipasi dalam konotasinya yang sosialis terkesan terlalu ‘idealis’ dan ‘utopis’, maka bukankah upaya ‘memajukan’ masyarakat dalam kerangka kapitalis terdengar lebih ‘menjanjikan’ dan ‘realistis’? Kita bisa saja tidak mengacuhkan retorika tersebut dan sekedar menanggapinya sebagai just another bourgeois nonsense dan menyalahkan banyak orang yang mempercayai retorika tersebut sebagai kelompok masyarakat yang ‘belum tercerahkan’ dan masih mengidap ‘kesadaran palsu’. Tetapi bagaimana jikalau massa mempercayai dan menginternalisasi retorika tersebut? Lantas, apa implikasi politik yang harus kita antisipasi dan strategi politik yang harus kita ambil?

Perlawanan Sebagai Narasi Politik Emansipasi

Sejarah gerakan Kiri dan gerakan rakyat di berbagai tempat di belahan dunia disatukan oleh sebuah narasi yang sama: perlawanan. Perlawanan, dengan kata lain, adalah narasi besar politik emansipasi. Dari segi psikologis, perlawanan tidak hanya identik dengan harapan tetapi juga kemarahan. Simak misalnya orasi-orasi Frederick Douglass, mantan budak dan pejuang abolisionis anti-perbudakan terkemuka di Amerika Serikat di masa Perang Sipil. Orasi-orasi Douglass yang keras bukanlah sekedar luapan kemarahan yang bersifat personal. William Sokoloff (2014) menyebutnya sebagai ‘kemarahan dialektis’ (dialectical rage) karena kemampuannya untuk menginterogasi realitas struktural yang menindas sekaligus merumuskan perhitungan politik yang matang dan mengerahkan mobilisasi politik yang efektif. Perlawanan dan kemarahan, terutama yang mengemuka dalam aksi dan organisasi kolektif, tidak selalu bersifat membabi buta, kekanak-kanakan, dan penuh dengan vandalisme dan kekerasan. Justru, dalam banyak hal perlawanan dan kemarahan perlu dilihat sebagai elemen yang penting bagi konsep kewargaan yang radikal, partisipatoris, dan demokratik.

Dalam konteks ini, narasi perlawanan menjadi penting sebagai diskursus alternatif dari retorika optimisme dan harapan ala borjuis kecil yang makin hegemonik. Di saat eksperimen politik radikal dan emansipatoris dicemooh dengan label ‘utopis’, di saat tatanan masyarakat borjuis dikesankan sebagai bagian yang alamiah dari evolusi masyarakat, di saat politik semakin lama semakin direduksi sebagai persoalan teknis, maka narasi perlawanan dan kemarahan sesungguhnya merupakan respon yang logis dan rasional untuk melawan hegemoni tersebut.

Dalam terang inilah, gerakan progresif harus berhati-hari agar tidak terjatuh kepada lubang filsafat idealisme maupun mengidap tendensi borjuis kecil. Optimisme dan harapan bagi gerakan progresif bukanlah satu hal yang murni bersifat nubuwah, bersifat messianik, cukup dengan ‘berusaha’ dan ‘berdoa’ maka bismillah simsalabim abrakadabra perubahan sosial akan datang cepat atau lambat. Kalau begini maka kita tidak jauh berbeda dengan kaum borjuis dan borjuis kecil yang mengidap waham seperti ini. Dengan begitu kita juga beresiko mengulang kesalahan gerakan-gerakan Kiri di Barat menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II yang berpikir setelah krisis berkepanjangan maka kapitalisme akan menjemput ajalnya dan sosialisme akan otomatis datang.

Kita memerlukan analisa yang mendalam mengenai kondisi objektif keadaan ekonomi-politik dan syarat-syarat struktural yang memungkinkan pelaksanaan transformasi sosial. Kita juga memerlukan perhitungan yang matang mengenai intervensi dan stategi politik apa yang tepat untuk memajukan proyek-proyek politik emansipasi. Kita bisa saja terkesima dan mengamini bahwa Marx membuka cakrawala baru mengenai ‘hukum gerak masyarakat’ sebagaimana dikatakan oleh Althusser dan ‘adalah rakyat yang membuat sejarah’ seperti dikatakan Allende. Tetapi kita tidak bisa sekedar mempercayainya sebagai postulat-postulat dan aksiom-aksiom yang seakan-akan sudah terbukti kebenarannya. Sebagai bagian dari gerakan progresif, kita harus memblejeti retorika optimisme dan harapan ala propaganda borjuis dan mempelajari sejarah perjuangan sebagaimana dihidupi oleh rakyat pekerja. Hanya dari situlah kita tahu bahwa kontradiksi internal masyarakat kapitalis memang nyata adanya, bahwa pembajakan teknokratis dan oligarkis atas demokrasi memang terjadi, dan yang paling penting bahwa rakyat pekerja memiliki kemampuan untuk membaca situasi dan merumuskan solusi untuk mengatasi dan melampaui ketertindasannya.

Optimisme dan harapan bagi kalangan progresif bukanlah retorika yang tidak berjejak; ia muncul dan dirumuskan berdasarkan praksis dan pengalaman perjuangan yang dihidupi oleh rakyat pekerja.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Carroll, T., 2010. Delusions of Development: the World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Ferguson, J., 1994. The Anti-Politics Machine. Minneapolis and London: University of Minnesota Press.

Gellert, P.K., 2015. Optimism and Education: The New Ideology of Development in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 45(3), pp.371-93.

Li, T.M., 2007. The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Durham: Duke University Press.

Mankiw, N.G., 2013. Defending the One Percent. Journal of Economic Perspectives, 27(3), pp.21-34.

Musto, M., 2011. MR Zine. [Online] Tersedia di: http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html [Diakses 7 Juni 2015].

Sokoloff, W.W., 2014. Frederick Douglass and the Politics of Rage. New Political Science, 36(3), pp.330-45.

————
[1] Untuk referensi mengenai konsep pemerintahan teknis menurut Marx, baca Musto (2011).

Universalitas Praksis Perjuangan

http://www.indoprogress.com/2015/universalitas-praksis-perjuangan/

TINGGAL di dunia saat ini, wa bil khusus tinggal di Indonesia, membutuhkan tingkat kesabaran dan kewarasan yang cukup tinggi. Mengapa demikian? Karena, setiap detiknya seakan-akan kita dibombardir dengan sejumlah berita yang membuat kita mengernyitkan dahi, mengepalkan tangan, atau menghela nafas panjang. Seakan-akan hidup adalah rentetan penderitaan yang tidak ada habisnya. Seakan-akan sejumlah isu seperti persoalan hukuman mati, korupsi, konservatisme dan fundamentalisme keagamaan dalam bentuknya yang vulgar, pengungsi Rohingya, instabilitas politik di Timur Tengah, perampasan tanah, hingga perjuangan kelas merupakan persoalan-persoalan yang terpisah satu sama lain.

Sesungguhnya, untuk bergerak melampaui kefrustasian tersebut, kita hanya perlu bergerak sedikit lebih jauh saja.

Kali ini, saya akan berfokus kepada empat persoalan yang sempat dan sedang menjadi bahan pembicaraan orang akhir-akhir ini: perjuangan kelas dan konservatisme keagamaan di Indonesia, penanganan isu pengungsi Rohingya, hingga prahara politik di Timur Tengah. Sepintas, sejumlah hal tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Tetapi, pembacaan dan analisa yang lebih ketat atas sejumlah persoalan tersebut dapat menyadarkan kita bagaimana sesungguhnya persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian dari permasalahan struktural yang lebih mendalam.

Lihat, misalnya, soal perkembangan perjuangan kelas di tanah air akhir-akhir ini. Wacana soal partai alternatif yang sempat mengemuka beberapa saat di kalangan gerakan buruh, merupakan sebuah contoh menarik yang dapat kita kupas lebih lanjut. Bagi saya, perkembangan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya terdapat evolusi dalam kesadaran politik rakyat pekerja di Indonesia. Rekam jejak perjuangan kelas pasca reformasi tak ubahnya sebuahprotracted struggle dalam kondisi non-insurgensi: ada kemajuan gerakan di satu sisi, ada juga kemunduran gerakan di sejumlah hal lain. Kesadaran politik rakyat pekerja Indonesia tidak serta merta berubah dari kesadaran sebagaiclass in itself (klasse en sich) yang bersifat teratomisasi, individual, dan parsial menuju kesadaran sebagai class for itself (klasse für sich) yang melampaui pengalaman-pengalaman invididual dan parsial menuju aksi politik kolektif yang sadar dan terorganisir, meskipun arah menuju ke sana cukup terlihat.

Bahwa wacana politik progresif seperti ini mulai bermunculan patut kita syukuri, tetapi itu saja tidak cukup. Dapat kita lihat bahwa diskursus dan imajinasi politik publik pada kenyataannya seringkali masih didominasi oleh diskursus-diskursus yang reaksioner, sebagaimana dapat kita lihat dari bentuk-bentuk konservatisme keagamaan yang cukup vulgar kali-kali ini, mulai dari sentimen anti-Syi’ah hingga sinisme terhadap pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Fenomena ini tentu tidak muncul begitu saja: familiaritas atas kekayaan khazanah Islam Nusantara perlahan-lahan hilang digantikan dengan kejumudan beragama tingkat tinggi di tengah-tengah absennya suatu gagasan kebudayaan dan politik alternatif. Dalam konteks negara kapitalis pinggiran seperti Indonesia, di mana banyak warga kelas menengah dengan pandangan hidup yang senantiasa ambivalen, kadang maju tapi lebih sering reaksioner, maka gagasan-gagasan vulgar macam sentimen anti-Syi’ah dan kecenderungan menyesatkan orang dapat menjadi jalan pintas, shortcut yang mudah bagi banyak orang. Di sini, saya tidak menihilkan agensi atau kemampuan manusia untuk memilah-milih gagasan dan praktek-praktek kebudayaan dan keagamaan, tetapi dalam suatu kondisi struktural tertentu maka ide-ide reaksioner yang saya sebut di atas dapat menemukan gaungnya.

Kontradiksi-kontradiksi semacam ini tidak hanya dapat kita lihat di dalam konteks politik domestik tetapi juga dalam dinamika politik luar negeri. Ambil contoh misalnya soal kasus pengungsi Rohingya akhir-akhir ini. Ribuan pengungsi Rohingya terpaksa terombang-ambing di laut lepas sebelum tekanan dari dunia internasional memaksa negara-negara Asia Tenggara untuk menampung orang-orang Rohingya – entah untuk tujuan kemanusiaan atau sekedar untuk menyelamatkan muka. Sementara ribuan saudara dan saudari mereka terlantar di laut lepas, nasib orang-orang Rohingya di Burma sendiri tidak jauh lebih baik: mereka mengalami persekusi, kekerasan, dan diskriminasi yang berlapis, baik secara ekonomi, politik, dan sosial, dari negara dan kelompok-kelompok Buddhis fundamentalis di sana. Melihat persoalan ini, maka bolehlah kita berujar sinis bahwa nampaknya yang ‘kosmopolitan’ dari pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara dan asosiasi regional yang menaunginya, ASEAN, hanya dua, yaitu kecenderungan otoritarianisme politik dan penghisapan rakyat pekerja melalui penetrasi neoliberalisme dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Contoh lainnya adalah instabilitas politik yang makin menjadi-jadi di Timur Tengah. Belum selesai persoalan ISIS, kawasan tersebut dihadapkan oleh dua persoalan yang tidak kalah gentingnya: invasi bersama Arab Saudi dan Amerika Serikat melawan pemberontak Houthi di Yaman dan penetapan hukuman mati bagi mantan presiden Morsi di Mesir. Jelas bahwa dalam konteks dua kasus ini sisa-sisa despotisme lama di Timur Tengah yang bersekutu dengan atau difasilitasi oleh gelombang imperialisme baru akhirnya melanggengkan praktek-praktek kekuasaan represif dalam bentuknya yang paling brutal.

Persoalan-persoalan ini dalam banyak hal memang sangat berbeda. Konteks di mana berbagai persoalan ini muncul juga jauh berbeda. Namun, bukan berarti kita tidak bisa menarik sebuah benang merah dari persoalan-persoalan ini. Justru di titik inilah menjadi penting bagi kita untuk mengabstraksikan persoalan-persoalan ini untuk melampaui partikularitasnya, merumuskan analisa yang lebih komprehensif, dan syukur-syukur merumuskan praksis bersama yang universal.

Pertama, sejumlah persoalan ini kembali mengingatkan kita bahwa sejarah pembentukan negara modern, yang terutama ditandai dengan bentuk-bentuk kedaulatan dalam kerangka Westphalian, adalah sejarah ekstrasi berbagai sumber daya, pendisiplinan warga, dan ‘racikan’ yang pas antara ekspansi kapital dan penggunaan kekerasan, sebagaimana dijelaskan secara gamblang oleh sosiolog politik terkemuka, almarhum Charles Tilly (1990), dalam salah satu karya utamanya, Coercion, Capital, and European States. Karenanya, tak heran apabila Tilly (1985) sebelumnya berargumen bahwa sesungguhnya pembentukan negara modern tak ubahnya praktek premanisme yang terlembaga. Tugas gerakan progresif adalah memahami logika ini, menghancurkannya, dan melampauinya, sehingga kedaulatan ‘modern’ berubah fungsinya dari organ ekstratif dan koersif dan diletakkan dalam mekanisme kontrol secara bebas dan langsung oleh rakyat pekerja.

Kedua, bahkan seandainya Marx dan Polanyi tidak pernah ada untuk menjelaskannya secara rinci kepada kita, kita lagi-lagi menyaksikan kecenderungan progresif dari rakyat pekerja untuk melawan logika ekstraktif murni ala mekanisme pasar dan sentralisme negara dan pranata-pranata politik dan hukum yang melegitimasikannya. Upaya-upaya untuk memunculkan diskursus dan intervensi politik alternatif dan progresif dan solidaritas yang dipraktekkan oleh orang-orang biasa untuk menyelematkan pengungsi Rohingya adalah sejumlah contoh bagaimana tendensi progresif tersebut bukan hanya mungkin tetapi juga nyata adanya. Kedepannya, tendensi politik tersebut perlu dikembangkan lebih jauh lagi untuk pemenuhan agenda-agenda progresif.

Ketiga, persoalan-persoalan ini menunjukkan bahwa, terlepas dari berbagai perbedaannya, sejumlah masalah yang saya sebut di atas sesungguhnya merupakan bagian dari gugusan-gugusan persoalan yang saling berkaitan satu sama lain. Maraknya konservatisme dan fundamentalisme keagamaan di ruang publik tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan sejauh mana diskursus politik progresif yang dirumuskan oleh dan memperjuangkan kepentingan rakyat pekerja memenangi kompetisi gagasan di ruang publik. Acuh dan diamnya banyak pihak terhadap apa yang terjadi di Burma dan Timur Tengah erat kaitannya dengan sejauh mana kosmopolitanisme sejati, yang melampaui logika otoritarianisme negara dan perampasan pasar, dalam bentuk solidaritas antar sesama kaum yang tertindas, bergaung di ranah internasional.

Implikasinya, ini menunjukkan bahwa kita tidak lagi bisa menganalisa berbagai persoalan-persoalan di dunia secara parsial. Persoalan-persoalan tersebut harus dan perlu dilihat sebagai bagian dari totalitas sebuah epos modernitas yang kita tinggali dan alami sekarang ini, yaitu modernitas kapitalis. Tugas bagi kaum progresif adalah untuk melakukan analisa yang komprehensif terhadap berbagai persoalan tersebut sebagai bagian dari totalitas persoalandan merumuskan intervensi-intervensi politik yang memungkinkan relasi-relasi sosial yang menindas digantikan oleh praktik-praktik sosial yang emansipatoris.

Untuk menuju ke arah sana, kita perlu memahami persoalan-persoalan tersebut dan merumuskan solusi terhadapnya sebagai bagian dari universalitas praksis perjuangan kaum yang tertindas.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Pilpres 2014: Kali Ini, Taruhannya Demokrasi Sob!

iqra1

Menjelang Ramadhan, kali ini kita kurangi sedikit teori dan perbanyak refleksi

PEMILU presiden (Pilpres) 2014 betul-betul menyedot perhatian banyak orang. Setidaknya, di berbagai media, lini masa media-media sosial seperti facebook dan twitter, hingga obrolan sehari-hari, diskusi dan debat mengenai pemilu mendominasi pembicaraan – sampai-sampai mengalahkan obrolan seputar Piala Dunia dan bulan puasa. Tidak heran, karena pemilu kali ini bukan pemilu biasa. Pemilu ini akan menentukan masa depan kita: antara kemajuan demokrasiatau kemunduran pencapaian-pencapaian yang sudah kita raih selama ini.

Peringatan ini bisa saja terdengar bombastis, tetapi apabila kita melihat perkembangan politik di tanah air beberapa tahun belakangan ini, maka jelaslah terlihat sejumlah perkembangan yang mengkhawatirkan. Dengan kondisi perkembangan politik yang mengkhawatirkan tersebut, apakah siapa yang nanti memenangkan pilpres dan menjadi presiden akan berpengaruh kepada kita? Lebih jelasnya, seandainya, ya, seandainya Prabowo-Hatta menang, akankah itu berpengaruh kepada kita sebagai sebuah bangsa?

Bagi saya, jawabannya jelas: YA.

Yang menarik buat saya, tampaknya hal tersebut seakan-akan tidak menjadi perhatian bagi beberapa kalangan di masyarakat, seperti sebagian dari kita yang berlatar belakang kelas menengah. Karena saya berusaha husnuzan, saya khawatir, jangan-jangan kita lupa berpikir lebih keras atas konsekuensi dari pilihan politik kita, tetapi terkadang saya juga merasa dilanda kekesalan: jangan-jangan kebanyakan dari kita memang punya kecenderungan ngehek.

Tidak akan saya ulangi secara panjang lebar penjelasan mengenai mengapa kemenangan Prabowo-Hatta merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Bagi saya, dan banyak orang-orang lain, Prabowo merupakan representasi dari ancien régime, sisa-sisa dari kediktatoran Orde Baru yang menindas itu. Prabowo, sebagaimana dijelaskan oleh Edward Aspinall (2014) dalam artikel terbarunya:

‘…adalah produk murni dari otoritarianisme Orde Baru…Perlu dicatat bahwa kedua kakak beradik ini (Prabowo dan Hasyim – red) ini menjadi kaya dari usaha perburuan rente ekonomi, misalnya dari kayu dan sumber daya alam…Prabowo diberhentikan dari militer sebagai akibat dari perbuatannya menculik aktivis demokrasi dan pembangkangan-pembangkangan lainnya.’

Dan itu hanyalah sedikit bagian dari rekam jejak Prabowo. Dan sekarang, sang capres militeris itu, maju dalam pilpres dengan dukungan koalisi ajaib yang rawan politik kartel dan bagi-bagi kursi, yang terdiri dari oligark macam Aburizal Bakrie, laskar-laskar vigilantis alias preman, hingga para pendukung agenda-agenda berbau fundamentalisme agama yang mengancam kehidupan kaum minoritas di Indonesia. Dengan slogan-slogan kabur seperti ‘Indonesia Bangkit’, ‘nasionalisasi’, ‘pertahanan nasional’, ‘anti-asing’, dan lain sebagainya, Prabowo dan rekan-rekan koalisinya tampaknya cukup berhasil mengecoh sejumlah orang. Ini mengkhawatirkan.

Yang mengherankan, banyak orang, wabil khusus kelas menengah ‘terdidik’ memamah biak slogan-slogan kosong seperti ini. Burhanuddin Muhtadi (2014), yang juga menyoroti hal serupa, baru-baru ini mengatakan bahwa ‘kelas menengah yang terdidik lebih suka dengan gagasan yang berapi-api, jatuh cinta dengan Prabowo.’ Tetapi, saya pikir alasannya bukan hanya itu.

 

iqra2Petani Karawang melawan 7000 pasukan Brimob yang hendak menggusur mereka dari tanahnya, Juni 2014

 

Saya menduga, ada imaji-imaji mengenai hidup dan tata pemerintahan yang ideal yang hadir dalam sosok Prabowo. Sebuah mimpi, ya, mimpi, yang berasal dari hasrat-hasrat mengenai kenyamanan, keamanan, dan stabilitas hidup. Mau pemerintahan yang efektif dan efisien? Pilih Prabowo! Ingin pemimpin yang tegas dan berwibawa? Jelas Prabowo! Agar Indonesia menjadi ‘kekuatan ekonomi’ dan ‘Macan Asia’ baru? Coblos Prabowo! Presiden yang ‘nasionalis’ (maksudnya xenophobia yang pro-kapital?), mampu melindungi ‘kekayaan nasional’ (untuk kroninya), dan ‘anti-asing’ (frase ‘asing’ bisa diganti dengan target kesukaan)? Dukung Prabowo! Capres yang paling ‘Islami’ dan ‘dekat dengan umat’? Prabowo solusinya! Dan yang tidak kalah absurd: Capres gagah dan ganteng? Prabowo dong! Singkatnya, dari yang doyan teknokrasi hingga rajin ngaji, mereka semua menemukan ‘jawabannya’ dalam sosok Prabowo.

Perkaranya, jawaban kelas menengah ini justru bermasalah. Karena, jawaban tersebut hanyalahshortcut, jalan pintas untuk persoalan yang sesungguhnya jauh lebih pelik dan rumit. Dan kita tahu, bahwa jalan singkat bisa buntu atau bahkan ketemu macet lagi. Ia bisa korslet. Jalan pintas tersebut secara singkat bisa dirumuskan sebagai berikut:

‘Prabowo tuh tegas, visioner. Kalau dia terpilih ekonomi kita bisa kuat, politik stabil, dan Indonesia disegani di luar negeri. Kita sudah lama terpuruk. Kita butuh pemimpin seperti itu. Dan dia juga nasionalis serta religius. Dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) itu kan cuman isu. Lagian, semua orang kan punya masa lalu. Jangan lupa, Prabowo juga nasionalis serta religius. Gak kayak Jokowi tuh, capres boneka antek asing anti-Islam. Lagian, capek-capek amat sih mikirin politik. Udahlah serahkan aja ke ahlinya!’

Kelas menengah seakan-akan lupa, bahwa di balik seribu justifikasi tersebut ada dua asumsi utama yang mendasari rangkaian justifikasi tersebut: 1) pemimpin yang ‘sempurna’ dan ‘kuat’ dan 2) teknokrasi yang elitis. Dua prinsip itulah yang kerap kali digaungkan oleh kubu Prabowo. Dua prinsip itu jugalah yang mendasari keberlangungan Orde Baru selama 32 tahun. Ya, 32 tahun!

Anehnya, di tengah-tengah era keberlimpahan informasi seperti ini, sepertinya ada kecenderungan ‘malas berpikir’ yang cukup akut di kalangan kelas menengah kita. Kelas menengah seakan-akan lupa, sejumlah aktivis yang diculik Tim Mawar masih belum kembali hingga sekarang. Kita seakan-akan lupa, bahwa isu HAM bukanlah isu lima tahunan sekali. Seakan-akan tidak pernah ada aksi para Ibu yang menuntut keadilan dalam aksi-aksi Kamisan di depan Istana Negara yang masih berlangsung hingga sekarang. Lebih lucunya lagi, kelas menengah dengan mudahnya begitu saja menelan mentah-mentah sejumlah kampanye hitam – mulai dari VOA-Islam, Ar-Rahmah, hinggaObor Rakyat – tanpa sadar bahwa rangkaian kampanye tersebut merupakan upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian kita dari rekam jejak Prabowo dan bahkan menggiring kita untuk memilihnya.

Akibatnya, ‘pertunjukkan sulap’ sang jenderal yang mengubah dirinya dari penculik, pengganyang rakyat, dan pemilik gurita bisnis serta ratusan ekor kuda menjadi pemimpin ‘kuat’ yang ‘anti-neoliberal’ dengan mudahnya nyangkut di dalam kepala dan hati kelas menengah yang perlahan jadi ngehek beneran ini. Padahal, sumber informasi – termasuk informasi ilmiah, dari jurnal-jurnal dan situs-situs web akademik seperti Inside Indonesia dan New Mandala – yang membahas mengenai rekam jejak Prabowo begitu berlimpah. Kesan tersebut semakin nyangkut di tengah-tengah kampanye hitam yang semakin vulgar, rasis, dan bahkan fasis – mulai dari Jokowi antek asing dan A Seng, adanya konspirasi asing (antara Amriki-Yahudi atau Zionis-Komunis), hingga pembelaan atas aksi kesenian fasis ala Ahmad Dhani dan propaganda anti-Komunis gaya Orde Baru ala Fadli Zon. Dude, are you serious?

 

iqra3Aksi Kamisan menuntut penuntasan kasus orang hilang dan pelanggaran HAM lainnya di depan Istana Merdeka

 

Apa artinya semua ini? Artinya, ‘hasrat terpendam’ kita mengenai Orde Baru, tendensi otoriter dari masing-masing kita tampaknya belum betul-betul hilang – dan sepertinya akan selalu menghantui kita.

Mengapa saya angkat bicara mengenai persoalan ini? Karena saya peduli dengan perkembangan demokrasi Indonesia. Tentu, kita juga harus fair – toh bukankah kelas menengah Indonesia juga berjibaku menghadapi tuntutan hidup yang semakin mencekik setiap harinya? Saya bisa memahaminya, karena saya dan banyak dari kita, berangkat menghadapi tuntutan yang serupa, seperti persoalan pekerjaan, penghasilan yang seadanya, hingga status yang masih jomblo (loh, kok jadi curcol).

Tetapi, keluh kesah dan apatisme saja tidak cukup untuk mengubah keadaan, apalagi menempuh jalan singkat dengan memilih Prabowo, seorang pribadi yang memiliki banyak dosa masa lalu dan tidak hanya itu, bertendensi otoriter dan oligarkis. Sesungguhnya obatnya mudah: kita perlu menengok kembali sejarah.

Sejarah menunjukkan, kelas menengah seringkali cenderung ambivalen terhadap demokrasi. Lebih parahnya lagi, kelas menengah terkadang justru memiliki kecenderungan otoriter. Buktinya jelas: Chile tahun 1973 (di mana Allende dan pendukung program kerakyatannya dilabeli ‘para komunis marxis yang menjijikkan’) dan sejumlah negara Amerika Latin di dekade 1970-1980an, Thailand tahun 1976 dan juga 2014, dan masih banyak lagi. Dan ingat, Orde Baru, yang belum lama kita tinggalkan itu, yang sekarang diam-diam kita hasrati kembali, dibangun di atas ongkos 500,000-3 juta jiwa yang dibantai di tahun 1965 dan masih banyak lagi. Kecenderungan ini terjadi di depan mata kita. Kita tidak perlu menjadi pelajar ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk melihat dan memahami kenyataan getir ini.

Bagi kelas menengah, yang bisa menemukan kenyamanan di ruang-ruang diskusi berpendingin udara, di kafe-kafe ternama di ibu kota, dan juga di berbagai kelompok pengajian, mungkin deretan angka dan tahun tersebut cuma sekedar statistik. Maklum, toh seringkali kita merasa dengan duduk-duduk, kritik dan mengomel, dan sesekali berdoa, kita sudah mengubah keadaan, baik dengan alasan ‘kebebasan individu’ atau ‘instruksi jamaah’Tetapi tidak bagi kaum buruh, yang setiap harinya harus berhadapan dengan gebukan kapital dan aparat, yang aksi demonstrasinya tahun lalu kita tanggapi dengan cibiran, sikap nyinyir, dan keluhan somplak macam ‘bikin macet aja nih demo buruh gak sekolahan!’. Tetapi tidak bagi bapak ibu tani, yang tiap harinya berjuang mempertahankan tanahnya dari rampasan aparatus negara dan korporasi. Tetapi tidak bagi orang-orang Syi’ah, Ahmadiyah, dan kelompok-kelompok minoritas kebudayaan dan keagamaan di Indonesia, yang merasakan gebukan laskar-laskar liar dan harus terusir dari tanah airnya sendiri. Tetapi tidak bagi rakyat Rembang dan Karawang, yang, di saat saya menulis artikel ini, harus menghadapi ribuan personil Brimob dan preman!

Netralitas, dalam kondisi seperti ini, entah atas nama (pseudo)heroisme ‘anti-sistem’, peranan intelektual yang ‘seharusnya objektif’, atau yang paling parah karena apatisme, kemalasan berpikir, atau kejumudan, hanya akan menjadi langkah politik yang tidak mengubah keadaan. Bahkan sastrawan dan intelektual besar semacam George Orwell memilih untuk berpihak membela Republik Spanyol yang dirongrong oleh kaum Fasis pimpinan Jenderal Franco. Netralitas adalah sebuah ilusi.

Konsekuensinya, hanya ada dua pilihan bagi kelas menengah Indonesia: antara menempuh jalan singkat dengan mencoblos pasangan Prabowo-Hatta dan karenanya menjadi ngehek seutuhnya atau menyadari bahwa saya, Anda, kita semua, yang setiap harinya menghadapi persoalan hidup, komodifikasi pasar, dan minimnya ruang publik yang demokratis, sesungguhnya merupakan bagian dari perjuangan rakyat untuk memperjuangkan ruang demokrasi yang lebih luas, deliberatif, dan partisipatoris. Prahara politik Thailand yang berawal dari keengganan para elit politik Bangkok, pendukung monarki, dan kelas menengah perkotaan untuk konsisten dalam berdemokrasi yang berujung kepada pembentukan junta militer yang diktatorial dan tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah seperti stabilitas makroekonomi, persoalan buruh migran, kebebasan politik, dan keamanan publik (Thearith, 2014) mungkin bisa jadi bahan refleksi mengenai apa yang terjadi apabila tendensi otoriter dalam diri kita ikuti. Be careful for what you wish for!

Demokrasi, keadilan ekonomi dan sosial, HAM, apa-apa yang kita cita-citakan pasca tumbangnya Orde Baru – semua itu adalah aspirasi universal yang terwujud, dan hanya terwujud, dengan perjuangan orang-orang biasa, perjuangan rakyat. Pencapaian tersebut tidak jatuh dari langit. Sepanjang sejarah, para tiran, diktator, dan kacung-kacungnya selalu berusaha untuk merebutnya dari kita. Adalah tugas kita untuk mempertahankan, memperjuangkan, dan memperdalam ruang demokratik untuk perjuangan segenap rakyat Indonesia! Memilih pasangan Prabowo-Hatta berarti memilih kemunduran sejarah dan mengkhianati cita-cita tersebut!

Karena, sekali lagi, pilpres kali ini, taruhannya demokrasi sob!***

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS yang sedang berusaha sebisa mungkin untuk sembuh dari virus #KelasMenengahNgehek. Beredar di twitterland dengan id @libloc

Selamat Jalan, Madiba

Selamat Jalan, Madiba

https://www.facebook.com/notes/pembaca-indoprogress/selamat-jalan-madiba/10152430126128084

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

MARI memulai obituari ini dengan sebuah cerita yang mungkin terdengar tidak begitunyambung.  Suatu saat, John Sidel, salah satu pengkaji politik Asia Tenggara terkemuka, bercerita dalam kuliahnya,

Dalam pemilihan walikota London kemarin saya begitu terkejut mendengar bahwa semua kandidat, dari berbagai partai politik yang berbeda aliran, mengidolakan Nelson Mandela, seakan-akan Mandela hanyalah seorang kakek tua yang bijak dan murah senyum. Mereka semua lupa bahwa Mandela adalah seorang komunis.’

Sidel benar. Semenjak Nelson Mandela menang pemilu demokratis pertama di Afrika Selatan dan menjadi presiden di tahun 1994 hingga kepulangannya baru-baru ini, citranya lebih mirip sebagai seorang negosiator daripada pejuang, yang siap berkompromi daripada melawan. Dengan kata lain, citra Mandela menjadi lebih ‘liberal’ dan ‘jinak.’ Citra inilah yang melekat di banyak bayangan orang, terutama di Barat, mengenai Mandela. Namun Madiba, panggilan kehormatan dari sukunya, suku Xhosa, menolak pencitraan itu. Bahkan, berkali-kali ia menegaskan dirinya sebagai bagian dari politik progresif-revolusioner dan gerakan pembebasan nasional di berbagai belahan Dunia Ketiga.

Di tengah-tengah suasana berkabung atas berpulangnya Mandela, penghormatan yang paling pantas atas kepergiannya adalah mengupas sisi revolusioner dari seorang pejuang anti-apartheid paling terkemuka di Afrika Selatan.

Lahirnya Seorang Revolusioner

Mandela, lahir 18 Juli 1918, adalah seorang keturunan bangsawan Xhosa. Ia bagian dari segelintir kalangan kulit hitam Afrika Selatan yang dapat mengenyam pendidikan di sebuah masyarakat yang tersegregasi secara rasial. Awalnya, ia tidak serta merta ‘tergerak’ untuk meruntuhkan sistem proto-apartheid tersebut. Generasi pribumi Afrika terdidik di masanya, yang dikenal dengan sebutan ‘orang-orang Inggris berkulit hitam’ (black Englishmen), lebih tertarik untuk mempromosikan status quo yang lebih ‘inklusif.’ Bahkan, Kongres Nasional Afrika (African National Congress, ANC), partai nasionalis yang nantinya akan dipimpin Mandela, berangkat dengan pedoman ‘reformis’ tersebut.

Tentu sudah ada bibit-bibit ‘pemberontak’ dalam diri Mandela muda. Sebagai contoh, alih-alih menyetujui perjodohan yang diusulkan oleh kepala suku sekaligus ayah angkatnya, ia dan saudara angkatnya memilih kabur ke Johannesburg. Tetapi, selain dari aksi minggat tersebut, Mandela lebih mirip dengan kebanyakan anak muda pribumi terdidik di generasinya. Sebagaimanaia ungkapkan dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom(1994)ketika ia bercerita mengenai masa mudanya:

‘Aku percaya gelar sarjana bukan hanya paspor untuk kepemimpinan di masyarakat namun juga kesuksesan finansial…Sebagai seorang sarjana, akhirnya aku bisa membantu ibuku meringankan beban keuangannya setelah ayahku meninggal. Aku akan membangun sebuah rumah yang pantas di Qunu, dengan sebuah taman dan berbagai perabotan rumah modern.’ (hlm. 43).

Sesederhana itu cita-cita awal Mandela: menjadi sarjana agar bisa membantu ibu danmembuat rumah untuknya. Hati siapa yang tidak terenyuh membaca cerita seperti ini?

Tapi kita tahu, gelombang sejarah menarik Mandela ke arah kehidupan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Di Johannesburg, sebuah kota yang kosmopolitan, Mandela menyelesaikan studi sarjananya, menjadi kolumnis, menjalani gaya hidup dengan nilai-nilai Victorian dan Edwardian Inggris, dan bekerja sebagai seorang pengacara muda. Awalnya, dia lebih mengidentifikasi diri sebagai seorang nasionalis ketimbang seorang Kiri. Bahkan, awalnya ia menentang hal-hal yang berbau Kiri – Marxisme, Sosialisme dan Komunisme – yang dianggapnya sebagai ‘ideologi asing’ yang kurang cocok dengan tanah Afrika. Namun, ia selalu kagum dengan dedikasi para kader gerakan Kiri di Afrika Selatan dengan perjuangan anti-kapitalisme dan anti-apartheid.

Sebagai seorang kulit hitam, Madiba menyadari bahwa ‘Menjadi seorang Afrika pribumi di Afrika Selatan berarti menjadi politis sedari lahir, terlepas dari kita menyadarinya atau tidak.’ (hlm. 83). Terpengaruh mentor politiknya, Walter Sisulu, Mandela kemudian bergabung dengan ANC, dan dengan segera menjadi salah satu pengurus utamanya. Awalnya, ia enggan menyambut orang-orang keturunan Asia Selatan dan kulit berwarna lainnya dalam ANC dan gerakan anti-apartheid, karena ia takut mereka akan mengungguli para pribumi kulit hitam. Namun Mandela di kemudian hari sadar akan pentingnya sebuah koalisi ‘front bersama’ yang bersifat multirasial dalam melawan apartheid, terutama dalam aksi-aksi massa yang terbuka. Di saat yang bersamaan, ia juga sadar bahwa perjuangan pembebasan orang-orang Afrika di tanah airnya berkaitan erat dengan perjuangan kelasyang lebih universal. Cerita selanjutnya kita tahu: Mandela dan ANC-nya bersama-sama dengan Kongres Serikat Buruh Afrika Selatan (Congress of South African Trade Unions,COSATU) dan Partai Komunis Afrika Selatan (South African Communist Party, SACP) memantapkan diri sebagai kekuatan politik Kiri terdepan di Afrika Selatan. Mandela sendiri adalah anggota ANC sekaligus SACP.

Dalam pengakuannya, segera setelah Mandela sadar akan pentingnya perjuangan kelas multirasial, ia segera

‘…membaca karya-karya Marx dan Engels, Lenin, Mao Tse-Tung, dan lain-lain dan mendalami filsafat materialisme dialektis dan historis…Aku segera tertarik dengan ide masyarakat tanpa kelas, yang dalam pandanganku, mirip dengan kebudayaan tradisional Afrika yang menekankan kehidupan bersama yang komunal. Aku mengamini prinsip dasar Marx…”Dari masing-masing sesuai kemampuannya; untuk masing-masing sesuai kebutuhannya.’’’ (hlm. 105).

Fase Perjuangan

Awalnya, ANC dan rekan-rekan koalisinya berjuang dalam kerangka gerakan non-kekerasan. Wajar saja, Mahatma Gandhi, pejuang anti-kolonialisme dari India sekaligus salah satu pelopor gerakan non-kekerasan terkemuka, pernah tinggal lama di Afrika Selatan. Tetapi, semakin lama rejim apartheid makin represif dan menindas. Tatkala keadaan mulai berubah, maka taktik dan strategi perjuangan juga harus berubah. Apa yang cocok di tanah India belum tentu cocok di tanah Afrika Selatan. Mandela sadar betul akan hal itu. Ia menyadari bahwa,

‘…jika protes damai dibalas dengan kekerasan, maka kegunannya telah berakhir. Bagiku, non-kekerasan bukanlah prinsip moral melainkan sebuah strategi; tidak ada kebaikan moral dalam memakai senjata yang tidak efektif. ‘ (hlm. 137).

Mandela amat mengagumi Gandhi dan keteguhan moralnya. Namun dia tahu, senjata yang tumpul tidak berguna untuk melawan musuh yang menyerang dengan membabi buta. Di tahun 1961, terinspirasi oleh Fidel Castro dan Revolusi Kuba, Mandela membentukUmkhonto we Sizwe (MK), sayap bersenjata ANC yang kira-kira berarti ‘Tombak Bangsa.’ Bagi banyak kalangan di Barat, MK adalah justifikasi untuk melabeli Mandela dan perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan sebagai ‘komunis’ dan ‘ekstremis’ – sebuah label yang mematikan dalam konteks Perang Dingin. ‘Nah, gua bilang juga apa, tuh Mandela dan pasukannya cuman teroris komunis yang menyerang para sekutu kita, kapitalis kulit putih di Afrika Selatan!’  Kira-kira begitulah tanggapan para penguasa di Barat yang terus menjalin kerja sama dengan rejim apartheid, seperti perdana menteri Margaret Thatcher yang dengan keblingernya mengecap Mandela sebagai ‘teroris’ dan memuji diktator militer Augusto Pinochet karena membangun ‘demokrasi’ di Chile.

Berlawanan dengan fitnah Barat, serangan-serangan MK adalah strategi yang terukur dengan tujuan yang jelas. Mandela, meskipun tidak memiliki latar belakang militer, mempelajari berbagai sejarah perjuangan dan taktik gerilya dari berbagai gerakan pembebasan nasional di banyak penjuru dunia secara seksama, sebagaimana diakuinya:

‘Aku membaca laporan Blas Roca, sekretaris jenderal Partai Komunis Kuba, mengenai masa-masa mereka sebagai organisasi illegal di bawah rejim Batista…Aku membaca taktik-taktik gerilya yang tak lazim a la para jenderal Boer di masa Perang Inggris-Boer. Aku membaca karya-karya oleh dan tentang Che Guevara, Mao Tse-tung, Fidel Castro.’ (hlm, 237).

Saya jadi teringat kata-kata Frantz Fanon dan Jean-Paul Sartre dalam bukunya Fanon yang terkenal itu, The Wretched of the Earth. Bagi Fanon dan Sartre, aksi kekerasan yang dilakukan mereka yang terjajah terhadap sang penjajah adalah sebuah aksi pembebasan; matinya sang penjajah adalah kelahiran bagi manusia merdeka yang dulunya terjajah. Mandela sepertinya memang tidak pernah membaca Fanon secara langsung. Namun menurut Elleke Boehmer (2008), strategi Mandela adalah ‘jalan tengah’ antara militansi non-kekerasan Gandhi dan kekerasan revolusioner Fanon. Dinamika India dan Algeria tentu berbeda dengan Afrika Selatan. Mandela bekerja dengan menyerap inspirasi dari banyak tempat dan menyesuaikannya dengan kondisi Afrika Selatan.

Tahun 1962, Mandela ditangkap oleh rejim apartheid, untuk dijebloskan ke dalam penjara selama kurang lebih 27 tahun, dan baru dibebaskan sekitar tahun 1990. Baik Mandela maupun ANC dan rekan-rekan koalisinya tidak tinggal diam. Di Penjara, Mandela memupuk harapan dengan berbagai cara, mulai dari mengikuti perkembangan perjuangan koalisi ANC, menyelenggarakan program pendidikan bagi para tahanan politik melalui kuliah bersama dan pementasan drama, merintis proses rekonsiliasi dengan mendekatkan diri dengan para sipir kulit putih, hingga bercocok tanam. Di luar sana, ANC dan koalisinya terus bergerak, melalui gabungan antara aksi-aksi massa, lobi-lobi internasional, serangan bersenjata terhadap rejim apartheid oleh MK dan pembentukan Front Persatuan Demokratik (United Democratic Front, UDF). Perlahan-lahan, hasilnya mulai terlihat. Mandela dibebaskan, ANC berjaya dan di pemilu presiden multirasial dan demokratis yang pertama di tahun 1994, ANC memperoleh suara terbanyak dan Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan hingga 1999.

Ketika Berkuasa

Mandela kemudian berkuasa, di tengah-tengah sebuah masyarakat dengan ‘tradisi’ segregasi berpuluh-puluh tahun dan ketidakpercayaan di antara berbagai kelompok, terutama antara para warga kulit putih dan kulit hitam. Karenanya, rekonsiliasi dan persatuan nasional segera menjadi prioritas utamanya.

Awalnya, tidak mudah bagi ANC dan dua rekan koalisinya, COSATU dan SACP, untuk segera menjalankan agenda-agenda progresif pasca-apartheid. Frederik de Klerk, presiden terakhir dari era apartheid yang juga seorang kulit putih, ditariknya sebagai wakil presiden, sebagai simbol persatuan nasional dan rekan pemerintahan yang berpengalaman  bagi koalisi ANC. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sipil dan politik, termasuk hak-hak kaum minoritas seksual, direstorasi. Kemudian, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi didirikan untuk mengusut berbagai kejahatan rejim apartheid. Singkat kata, rekonsiliasi nasional dan toleransi multirasial berhasil dibangun.

Tentu, Mandela bukan nabi dan Afrika Selatan bukan surga. Para rekan dan pendukungnya mulai mengritik abainya Mandela terhadap korupsi dan kapitalisme kroni yang dilakukan oleh para orang terdekatnya. Tak hanya itu, agenda-agenda ekonomi redistribusionis yang dicanangkan oleh Mandela tak kunjung dilaksanakan. Kawan-kawan Kiri-nya mulai kecewa dengan Mandela yang seakan-akan ‘menerima’ ekspansi kapitalisme neoliberal di Afrika Selatan. Penggantinya, Tabo Mbeki, terkenal sebagai presiden yang korup. Pertumbuhan ekonomi meningkat, namun begitu juga tingkat kesenjangan ekonomi, dan hanya segelintir elit Afrika Selatan yang dapat menikmati ‘pertumbuhan’ tersebut. Generasi muda kulit hitam di Afrika Selatan mulai kecewa dengan ANC yang dianggap ‘mengkhiatanati’ kepentingan mayoritas rakyat Afrika Selatan.

Terlepas dari segala kekurangannya, Madiba telah berbuat banyak. Selepas masa kepresidenannya, Madiba terus berjuang. Isu-isu kesehatan publik, terutama kesejahteraan anak dan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi perhatian utamanya setelah masa jabatannya habis, hingga ia berpulang.

Penutup: Madiba dan Warisannya

Kini, Madiba berpulang. Seluruh dunia berkabung. Barat dan media arus-utama mencitrakannya sebagai seorang sesepuh bangsa dengan orientasi humanitarian. Mereka lupa, atau sengaja melupakannya, bahwa Mandela pertama-tama adalah seorang revolusioner, yang berpedoman pada aksi massa, pemahaman teoretik dan solidaritas internasional.

Madiba tidak pernah lupa dengan Nat Bregman, seorang komunis yang selalu berbagi makan siang dengannya. Juga dengan Fidel Castro dan Olof Palme, yang membantunya dan rakyat Afrika Selatan sedari awal dalam perjuangan melawan apartheid. Meskipun sulit, ia selalu membela rakyat pekerja dan memperjuangkan keadilan ekonomi. Tak lupa, ia juga memperjuangkan solidaritas antara bangsa-bangsa dunia ketiga yang semakin meredup akhir-akhir ini. Garis politik anti-imperialismenya jelas, sebagaimana terlihat dalam kritiknya atas invasi Amerika Serikat ke Iraq dan aksi-aksi jingoisme lainnya. Tentu, keberhasilan perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan bukan karya Mandela seorang. Ada gerakan massa yang sadar di sana. ‘Aku cuman bagian dari massa,’ ujar Mandela. Benar, Mandela selalu dekat dengan massa. Namun, kita tahu, tanpa kepemimpinan dan jasa Mandela, tidak ada Afrika Selatan yang seperti sekarang.

Kaum liberal ‘demokrat,’ yang dukungannya terhadap gerakan rakyat selalu suam-suam kuku dan ini kagak itu kagak, tentu enggan mengupas sisi revolusioner seorang Mandela. Tetapi, dari refleksi kita atas perjuangan Mandela dan rakyat Afrika Selatan, maka teranglah bahwa rejim apartheid di Afrika Selatan tumbang bukan hanya karena keberhasilan ‘negosiasi,’ namun terutama karena gerakan massa yang konsisten dan berkesinambungan.

Berpulangnya Mandela mengingatkan saya akan kalimat terkenal dari Joe Hill, aktivis buruh militan dari Amerika Serikat, yang berkata, ‘jangan berkabung, berhimpunlah!’ Kepergian Mandela bukan untuk dijadikan ratapan, namun justru menjadi momentum untuk meningkatkan militansi gerakan rakyat. Ingatlah, penindasan dan kapitalisme sekedar berganti baju, dari epos kolonialisme dan apartheid menuju epos neoliberalisme. Oleh karena itu, militansi menjadi jauh lebih penting disaat sekarang.

Sebagaimana ada banyak jalan menuju Roma, ada juga banyak jalan menuju pembebasan dan sosialisme. Mandela menunjukkan, inspirasi yang mengilhami perlawanan bisa datang dari mana saja, dari Shakespeare maupun Marx, dari Gandhi maupun Mao, dari Barat maupun Timur. Semuanya bermuara pada tujuan yang sama. Madiba, dengan usahanya, telah menunjukkan jalannya bagi kita. Adalah kewajiban kita, anak-anaknya, untuk melanjutkan jalannya, jalan demokrasi popular, pembebasan rakyat dan solidaritas internasional.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Enam Lima dan Distorsi Besar ala OrBa

Enam Lima dan Distorsi Besar ala OrBa

Sebuah tanggapan atas R. William Liddle
Iqra Anugrah,
 mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/enam-lima-dan-distorsi-besar-ala-orba/

AWALNYA saya agak enggan untuk menulis sebuah artikel tentang genosida 65, apalagi dikala banyak artikel lain menulis hal serupa. Bukan apa-apa, namun seperti yang ditulis oleh kawan Windu Jusuf dalam artikelnya, Enam Lima dan Kita, beberapa waktu yang lalu, saya takut kembali terjebak dalam rutinitas ‘komodifikasi’ Peristiwa ’65 dan penekanan yang berlebihan atas narasi korban, melupakan fakta bahwa rakyat jelata pernah mencoba menjadi subyek sejarah dalam politik Indonesia.

Namun, ada satu tautan yang segera menarik perhatian saya dan membuat saya mengernyitkan dahi. Ya, benar, tautan itu adalah artikel Indonesianis senior R. William Liddle, Tantangan Negara Preman, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Profesor Liddle di Kompas, mengenai film The Act of Killing (TAoK) dan Peristiwa ’65. Setelah membaca artikel tersebut, mengingat konsekuensi yang bisa dihasilkan darinya dan pentingnya penerangan warisan peristiwa 65 bagi kita, saya memutuskan untuk menulis artikel ini dan sampai pada kesimpulan berikut: ‘buah pikiran dan sikap yang tercermin dalam tulisan Liddle mengonfirmasi bahwa beliau adalah seorang apologis Orde Baru (OrBa).’[1]

Membongkar sesat pikir ala OrBa

Setidaknya ada empat topik yang dapat kita bahas dan bongkar dari tulisan Liddle. Pertama,kejengkelan Liddle atas tafsir dan analisa sejarah dalam TAoK. Kedua, anjuran perlunya membaca sejarah ‘alternatif’ dibumbui dengan retorika ‘kejamnya Komunis’ di berbagai belahan dunia. Ketiga, pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar peristiwa 65 dan terakhir, kritik Liddle atas tafsir ‘negara preman’ atas politik Indonesia.

Pertama, kita tentu bertanya-tanya, mengapa Liddle ‘sebagai orang yang sudah lama mengikuti perkembangan politik Indonesia’ katanya, ‘jengkel pada pembuatnya, baik mengenai tafsiran sejarah maupun analisa kontemporernya?’ Oya, sebagai catatan tambahan, sebagai seorang ilmuwan politik dan  pengkaji studi Asia Tenggara, posisi teoretik Liddle pada dasarnya adalah anti-Marxis.[2]

Pertanyaan di atas berkaitan dan membawa kita ke pertanyaan kedua: tafsir sejarah macam apa yang dibela Liddle? Liddle menulis mengenai ‘membaca buku-buku sejarah yang lebih berimbang’ kemudian segera lompat ke lagu lama: kegelisahan elemen-elemen masyarakat non-komunis, totalitarianisme rejim-rejim Komunis, Komunis sebagai Atheisme dan seterusnya.

Dari pembacaan tersebut, perlahan-lahan kita bisa meraba posisi teoretik, politik dan moral Liddle. Izinkanlah saya mengeksplisitkan berbagai posisi yang sifatnya masih implisit tersebut.

Pertama-tama, Liddle memulai dengan mengritik TAoK yang ‘mengimplikasikan’ bahwa Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno adalah pemerintahan yang ‘sah’ – menurut standarnya Liddle, tentu saja. Ada dua kesesatan berpikir yang dilakukan secara bersamaan di sini: penarikan logika yang terburu-buru dan pengabaian atas konteks sejarah. Apa pemerintahan yang sah menurut Liddle? Bagaimana dengan ‘pengambilan kekuasaan’ ala Suharto dan Orde Barunya dan cara-caranya untuk berkuasa dan menindas – apakah itu pemerintahan yang ‘sah’? Tentu kita bisa berdebat panjang mengenai warisan sejarah macam apa yang ditinggalkan Bung Karno – namun ini berada di luar pembahasan kita kali ini. Namun, pembacaan sejarah seperti ini abai dengan fakta sejarah bagaimana berbagai kekuatan politik rakyat dan juga Bung Karno sendiri, berusaha memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di tengah-tengah imperialisme global – apa jangan-jangan bagi Liddle sejarah selamanya adalah cerita mengenai orang-orang besar, elit-elit yang ‘tercerahkan?’

Kemudian, Liddle dalam pengamatannya atas politik Indonesia semasa studi lapangan untuk penelitian doktoralnya berujar:

‘Kesan kuat saya: masyarakat nonkomunis di Siantar dan Simalungun waktu itu merasa teramat gelisah melihat kemajuan pesat PKI. Sebagai daerah perkebunan, Simalungun merupakan lahan subur bagi mobilisasi PKI berdasarkan perbenturan kelas. Selain itu, orang beragama meyakini, PKI adalah partai ateis. Orang terdidik yang mengikuti perkembangan internasional percaya bahwa Uni Soviet dan RRC adalah pemerintahan totaliter yang terbukti membunuh jutaan warganya sendiri setelah partai komunis berkuasa di sana.’

Oke, kita tahu bahwa berbagai rejim Stalinis di Barat dan di Timur membunuh dan menindas sejumlah warganya atas nama Sosialisme dan kesetaraan. Hal tersebut tentunya adalah tragedi kemanusiaan yang patut dikecam. Namun, pembacaan yang lebih cermat atas berbagai fragmen sejarah menunjukkan bahwa Sosialisme dan ide-ide Kiri tidak serta merta identik dengan gulag dan tiang gantungan – bahkan, Stalinisme sesungguhnya adalah penyimpangan dan pengkhianatan atas Marxisme. Lebih lanjut lagi, Marxisme dan Gerakan Kiri pernah dan masih menjadi panduan teoretik dan praxis serta harapan bagi berbagai kaum yang lemah dan tertindas untuk menuju pembebasannya – sebagaimana dapat kita lihat dalam berbagai Gerakan Pembebasan Nasional, Chile di masa Allende, Gerakan Kiri Baru di dekade 1960an di berbagai negeri Barat, berbagai Gerakan Rakyat di Amerika Latin dan Asia Timur, dan masih banyak lagi – termasuk PKI dan berbagai kelompok dari spektrum politik lain (Nasionalis dan Agama) di Indonesia. Lagipula, menyebut berbagai tragedi kemanusiaan di bawah rejim-rejim Stalinis dan totaliter lainnya namun abai terhadap genosida yang terjadi di depan mata di tanah air sendiri, terdengar seperti pepatah lama: gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak.

Sehingga, saya jadi bertanya-tanya apa yang dimaksud Liddle sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Lalu, apa kriteria yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Padahal, kita tahu bahwa historiografi hegemonik seputar peristiwa 65 dulunya didominasi oleh historiografi OrBa yang justru sangat tidak berimbang. Baru-baru ini saja berbagai pembacaan sejarah yang benar-benar lebih berimbang, seperti TAoK, bermunculan. Itupun penyebarannya masih terbatas meskipun pelan-pelan meluas. Jadi kalau begitu, kembali saya menantang Profesor Liddle dengan sebuah pertanyaan: apa yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Semoga saja bukan sejarah G30S versi Orde Baru, yang selain dinodai oleh propaganda militer dan OrBa, juga telah dimentahkan oleh berbagai hasil penelitian dari para pengkaji Asia Tenggara mengenai G30S, mulai dari Cornell Paper hingga Dalih Pembunuhan Massal. Lagipula, propaganda OrBa dalam film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ bukan hanya menyesatkan namun juga lebay dari sisi sinematografis: bayangkan pasukan Cakrabirawa yang menembaki berbagai gelas dan barang-barang pecah belah lainnya secara inefisien dan berlebihan sebelum mengeksekusi para jenderal.

Ini membawa kita ke persoalan ketiga, yaitu pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar peristiwa 65. Dari berbagai pernyataan Liddle, kita dapat mengidentifikasi sejumlah pembacaan yang meleset dari konteks dan berpotesi menyesatkan. Konteks kelas yang dipahami Liddle, misalnya, tidak mengangkat persoalan bagaimana eksploitasi kapitalis bekerja di banyak perkebunan dan sektor-sektor ekonomi lain di Sumatera Utara dan berbagai tempat di Indonesia – sampai dengan sekarang.[3] Kemudian, Liddle juga masih terjebak dalam pola pikir dikotomis dan simplistis ala OrBa, yang memosisikan Komunis(me) sebagai musuh bersama dan menyamakan Komunisme dengan Ateisme dan sejumlah ‘isme-isme’ yang buruk lainnya seperti sinisme dan entah apa lagi, abai dengan kompleksitas sejarah yang membentuk pola pikir dan pemahaman sejarah yang simplisistis seperti itu, seakan-akan tidak pernah ada agenda-agenda anti-Kapitalis dan anti-Kolonialis yang diperjuangkan oleh Sarekat Islam (SI), sosok seperti Haji Misbach, aliansi Islam dan Komunisme yang muncul di berbagai pemberontakan petani di masa kolonial seperti di Banten, gagasan aliansi antara Islam, Komunisme dan Nasionalisme yang diusulkan oleh Tan Malaka dan Soekarno, atau bagaimana tokoh-tokoh pergerakan nasional dari segala spektrum politik memperoleh inspirasi ide-ide progresif dari Marxisme dan sejumlah pemikiran Kiri lainnya.

Terakhir, Liddle mempersoalkan klaim TAoK yang dinilai terlalu bombastis. Untuk persoalan ini, jujur, pemahaman saya agak terbatas terutama soal detail sejarah dan keanggotaan berbagai ormas vigilantis yang ada di Nusantara. Yang ingin saya persoalkan adalah implikasi pembahasan Liddle yang terpaku pada debat angka dan detail historis dari premanisme dan sejumlah gejala penyakit predatorisme politik lainnya terkesan mengecilkan dampak persoalan tersebut. Padahal sejumlah karya ilmiah sudah membahas mengenai akutnya predatorisme ekonomi-politik yang tertanam di sejarah kita. Sejarawan Hilmar Farid (2005) misalnya membahas mengenai genosida 65 sebagai upaya ‘akumulasi primitif’ (primitive accumulation) untuk melebarkan jalan bagi ekspansi kapitalisme OrBa, sosiolog Vedi R. Hadiz (2010) membahas mengenai pembajakan proses desentralisasi oleh elit-elit predatoris lokal, kemudian terdapat juga berbagai karya lainnya yang membahas mengenai berbagai kelompok-kelompok vigilantis yang didukung oleh berbagai elit dan kepentingan predatoris, dan masih banyak lagi – dan kerap kali berbagai fenomena tersebut terletak dalam aliansi tidak suci antara negara, kapital dan sektarianisme. Mungkin Pak Liddle perlu melepaskan kacamata pluralisnya yang terlampau utopis untuk lebih memahami persoalan-persoalan tersebut secara lebih realistis.

Lalu, selanjutnya?

Sejarah bukanlah persoalan yang mudah untuk ditafsirkan, apalagi jikalau kita melihat masa lalu dari kacamata masa kini. Sejarah juga tidaklah monolitik – terdapat berbagai kompleksitas dalam fragmen-fragmen sejarah.  Namun, sejarah juga soal kejujuran dan juga kemanusiaan. Hanya melalui pembacaan sejarah yang jujur – yang mengakui dengan lantang fakta genosida 65 dan dampaknya hingga sekarang, kita bisa merumuskan posisi teoretik dan praxis kita dalam melihat peristiwa 65.

Kita tahu ada kompleksitas sejarah seputar 65, terutama mengenai konflik antara berbagai kelompok Islam santri dan PKI (disclaimer: saya juga seorang Muslim yang lahir dan besar dalam keluarga santri). Namun alih-alih terjebak dalam pembacaan sejarah 65 ala OrBa – yang secara tidak langsung kembali dipromosikan oleh Liddle dalam artikelnya, kita sesungguhnya bisa bergerak melampaui pembacaan tersebut. Dua tawaran dari kawan Windu, yaitu mengakui kontribusi elemen Kiri bangsa – termasuk PKI – dalam memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di Indonesia dan menjauhi komodifikasi peristiwa 65 patut dipertimbangkan secara serius. Kemudian, tawaran dari kawan Airlangga Pribadi dalam artikelnya Kita Adalah Korban, yang meletakkan baik kelompok Islam santri dan Kiri sebagai korban dari imperialisme dan kapitalisme internasional dan menjauhi pandangan yang monolitik dan esensialis atas kelompok Islam santri dalam persaingan politiknya vis-à-vis PKI, juga merupakan terobosan atas pembacaan sejarah 65. Tawaran-tawaran lain yang perlu kita pikirkan secara serius, apalagi jikalau kita mengaku demokratis, adalah rehabilitasi atas berbagai hak-hak korban 65 sebagai warga negara – dan bukannya sekedar formalitas rekonsiliasi dan permintaan maaf – dan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Dibandingkan dengan tawaran-tawaran yang saya sebut di atas, pembacaan sejarah 65 ala Liddle bukan hanya ketinggalan zaman, namun saya khawatir juga menyesatkan. Begitu mengejutkan bahwa rupa-rupanya masih ada seorang ilmuwan, wabil khusus pengkaji Indonesia, yang secara tidak langsung menyodorkan pembacaan ‘utilitarian’ ala OrBa, yang meskipun implisit, dapat menjerumuskan kita ke sebuah konsekuensi logis berupa justifikasi atas pembantaian massal atas kader-kader PKI, orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI dan ormas-ormasnya, serta penumpasan gerakan rakyat.

Oleh karena itu, saya rasa, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa posisi teoretik Liddle adalah seorang apologis OrBa.***

Saya mengucapkan terima kasih kepada sejumlah kawan yang mendorong saya untuk menulis artikel ini.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Farid, H., 2005. Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66. Inter-Asia Cultural Studies, 6(1), pp. 3-16.

Hadiz, V. R., 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. Palo Alto: Stanford University Press.

Winters, J. A., 2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.

 


[1] Pelabelan seperti in bukan yang pertama kalinya, bukannya tidak berdasar dan bukan sekedar gosip dunia akademik. Sebagai contoh misalnya, silahkan cek buku karya Jeffrey Winters (2011, hlm. 140), Oligarchy, di mana Winters membahas posisi teoretik Liddle yang berargumen bahwa terintegrasinya Indonesia ke dalam kapitalisme global adalah berkat ‘manajemen politik yang handal dari Presiden Suharto’ (‘the skillful political management of President Suharto’) dan karenanya menganjurkan ‘apresiasi terhadap Suharto sebagai seorang politisi’ (‘appreciation of Suharto the politician’) dan mengeluh bahwa ‘pengkaji asing dan berbagai pengamat politik Indonesia tidak terlalu tertarik untuk menghargai sang presiden atas pencapaiannya’ (‘foreign specialists and other observers of Indonesian politics have not been inclined to give the president much credit for his achivements’).

[2] Untuk pembahasan yang jernih mengenai persoalan ini, silahkan merujuk ke artikel kawan Airlangga Pribadi di tautan ini http://indoprogress.com/menuju-demokrasi-bermutu-zonder-lamunan/ Berkaca dari posisi anti-Marxis Liddle, mungkin juga kita bisa menarik kesimpulan bahwa implikasi praxis dari posisi teoretik Liddle yang anti-Marxis adalah anti-Gerakan Rakyat.

[3] Lihat tulisan kawan Windu Jusuf yang membahas mengenai hal ini dihttp://indoprogress.com/lkip/?p=55 dan film Globalization Tapes yang merupakan proyek awal Joshua Oppenheimer sebelum mengerjakan proyek film TAoK dihttp://www.youtube.com/watch?v=Xo2OOIMkYOE

Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/salvador-allende-yang-mati-namun-tetap-abadi/

Salvador Allende ‘dibunuh’ dan mati berkali-kali, tetapi bangkit kembali. Bagaimana mungkin?

MUNGKIN sudah terlampau sering kita dengar kisah klasik tentang Chile di masa Allende dan kudeta militer terhadapnya, ibarat lagu lama yang sering diputar berulang kali. Namun, tidak ada salahnya untuk kembali mengingat cerita ini – siapa tahu berguna di kemudian hari.

Untuk memulai cerita, kita bisa menonton film besutan sutradara asal Chile, Patricio Guzmán, salah satu pengantar termudah mengenai Allende dan kejatuhannya. Tidak hanya itu, kita bisa mengambil beberapa pelajaran darinya. Singkat kata, kira-kira begini ceritanya.

Salvador Allende, seorang dokter yang berkecimpung dengan berbagai isu kesehatan publik, ikut mendirikan dan berkecimpung di Partai Sosialis Chile semenjak muda, sebuah partai pekerja yang independen dari garis komando Moskow. Allende mungkin tidak pernah mempelajari literatur-literatur Kiri dan Marxisme secara ‘resmi’ di bangku perkuliahan, namun dia tahu, ada berbagai cara mempelajari – dan tidak hanya itu, meresapi – prinsip-prinsip politik Kiri. Allende sendiri meresapi prinsip-prinsip itu dengan banyak berkecimpung dengan rakyat biasa – suatu aktivitas politik yang akhir-akhir ini makin langkaBaginya, terdapat banyak pintu menuju tujuan yang sama. Di tengah gelombang revolusi dan gerakan pembebasan nasional yang menyapu negara-negara dunia ketiga, Allende menempuh jalan elektoral demi pembebasan rakyat pekerja.

‘Bagaimana bisa,’ tanya Guzmán, ‘seseorang menjadi revolusioner dan demokrat di saat yang bersamaan?’ Allende mungkin adalah contoh langka seorang demokrat revolusioner. Tak percaya? Buktinya, dengan sabar dan konsisten tiga kali ia kalah pemilu presiden di Chile. Baru di kali ke-empat, tahun 1970, Allende menang tipis, sekitar 36.2 persen, dan dinobatkan menjadi presiden Chile. Berbagai ilmuwan politik terutama mereka yang beraliran borjuis menganggap bahwa sistem pemilu Chile yang dapat meloloskan presiden dengan perolehan suara yang minim merupakan penyebab mengapa Allende dapat menang dan partai-partai Kiri enggan untuk ‘memoderasi’ agenda-agenda politiknya. Beberapa diantara mereka bahkan menyalahkan Allende dan pihak Kiri sebagai pihak yang ‘mengundang malapetakanya sendiri.’ Tentu saja logika ini absurd. Dalam konteks kita, ini semacam menyalahkan orang-orang Muslim Syia’ah atau Ahmadi atau para korban katastrofi 1965 yang ‘mengundang kekerasan’ – ‘salah lu sendiri!,’ begitu kata mereka. Namun, ada baiknya omelan ini kita simpan dulu.

Allende tahu itu, namun dia tetap ngotot. Politik bukan saja soal representasi tapi juga konfrontasi. Sekecil apapun peluang yang dimiliki oleh gerakan rakyat dan partai-partai Kiri, peluang tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Allende sendiri bukan orang baru di pemerintahan dan politik – dia sempat menjabat sebagai Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial periode 1938 – 1942 dalam koalisi Front Popular yang berhaluan reformis. Semasa jabatannya, dia mengegolkan berbagai kebijakan progresif, seperti undang-undang keselamatan kerja, tunjangan kehamilan dan penyediaan makan siang gratis di sekolah-sekolah. Ini jelas berbeda dengan para elit di negeri kita misalnya, yang beraksi bak pahlawan kesiangan,seakan-akan dirinya bisa menjadi ratu adil atau juru selamat baru namun enggan untuk mengetahui lebih-lebih menghidupi penderitaan rakyat. Para elit ini juga – yang biasanya memiliki elective affinityatau pertemuan pandangan dengan beberapa segmen kelas menengah Indonesia – adalah mereka yang gemetaran dan ketakutan ketika melihat aksi-aksi massa rakyat dengan alasan ‘stabilitas’. Perubahan tidaklah semudah omongan para ‘motivator,’ konvensi partai yang diadakan beberapa tahun sekali, atau diskusi sembari nongkrong-nongkrong di warung kopi dan merasa sudah mengubah keadaan. Perubahan mestilah diusahakan dan hanya mungkin dilakukan oleh massa yang sadar. Allende tahu bahwa, ibarat Roma, Sosialisme tidak dapat dibangun dalam satu malam, melainkan membutuhkan kerja keras dan perencanaan yang panjang di jalan yang kerap kali tidak mudah.

40th anniversary of Pinochets coup marked at Chilean embassy

40 tahun peringatan atas kudeta militer terhadap Salvador Allende. Photo by Aimee Valinski

Tentu saja, di masa itu, Sosialisme masih menjadi harapan bagi banyak rakyat dan kaum tertindas lainnya di berbagai belahan dunia. Sosialisme tidak serta merta diidentikkan dengan tiang gantungan, Stalinisme dan gulag-gulag Soviet. Sosialisme juga bukan berarti sekedar ‘sosial demokrasi’ atau ‘jalan ketiga’ ala kaum neolib berbaju sosdem dewasa ini. Pada waktu itu, masih ada tokoh-tokoh seperti Olof Palme dan tentunya Allende, reformis revolusioner yang menyerukan sebuah visi akan masyarakat yang egaliter di dalam negeri dan menentang aksi-aksi jingoisme imperial di luar negerimacam Perang Vietnam yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) maupun penumpasan protes rakyat oleh berbagai rejim Stalinis.

Setelah menjadi presiden, Allende memenuhi berbagai janjinya. Dia menasionalisasi berbagai cabang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tembaga dan perbankan. Sekarang, kita mungkin bisa mencibir nasionalisasi sebagai kebijakan ekonomi yang tidak efisien dan rawan korupsi. Memang, lebih mudah untuk menilai segala sesuatunya dari kacamata zaman kita. Namun, ada kondisi-kondisi yang khas dari tiap zaman yang perlu ditempatkan dalam konteks waktunya. Kebijakan nasionalisasi Allende adalah terobosan yang progresif. Lagipula, Allende tidak hanya sekedar memindahkan kontrol sektor-sektor produksi itu ke tangan negara. Lebih dari itu, dia mencoba memperluas kontrol buruh secara langsung atas sektor-sektor produksi tersebut. Menurut Victor Wallis, salah seorang pengkaji Chile, kebijakan-kebijakan Allende ‘memberikan kesempatan bagi mayoritas kaum buruh untuk menunjuk wakil-wakil yang mereka pilih di dewan administratif di tiap-tiap cabang usaha.’ Tidak hanya itu, meningkatnya level partisipasi buruh dalam aktivitas-aktivitas produksi juga diikuti dengan naiknya performa ekonomi – dan dampak ini tidak terbatas hanya pada sektor-sektor atau cabang-cabang industri tertentu, melainkan terasa lintas-sektoral dan secara umum. Bahkan, konon kabarnya, Project Cybersyn, sistem komunikasi dan manajemen yang dicetuskan Allende, disebut-sebut sebagai embrio ‘internet sosialis’ yang memungkinkan kontrol pekerja secara langsung yang lebih luas terhadap pengelolaan ekonomi. Selain mengurusi industri dan perburuhan, Allende juga melaksanakan reformasi agraria, mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, mengurangi inflasi dan memperluas akses ke pendidikan.

Tetapi, ada yang tidak senang dengan semua ini, yaitu kaum borjuis, para tuan tanah dan berbagai kelompok dan partai Kanan. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk kemudian membangun aliansi dengan AS terutama CIA dan militer. Poster-poster propaganda anti-Allende dari CIA bergambar tank-tank Soviet tersebar di Chile. Para pengusaha bus dan transportasi melakukan pemogokan – untungnya gerakan buruh dan rakyat di Chile cukup militan untuk menghadang pemogokan tersebut dengan tetap bekerja dan berakvititas seperti biasanya, meskipun di kemudian hari perbedaan pandangan dan sektarianisme di gerakan Kiri makin mengemuka. Agustus 1973 ada upaya untuk memakzulkan Allende, namun gagal di parlemen. Betapa dongkolnya kaum borjuis. Di film Guzman, terdapat satu adegan di mana seorang oposan borjuis berkata bahwa pemerintahan Allende ‘penuh kotoran’ dan Chile dipenuhi oleh ‘para Komunis Marxis yang menjijikan.’ Di adegan lain, terungkap bahwa Richard Nixon, presiden Amerika Serikat kala itu, menjuluki Allende sebagai ‘si bangsat.’ Ini semua tidak jauh berbeda dengan label-label yang disematkan terhadap siapapun yang diasosiasikan dengan PKI, gerakan rakyat dan ide-ide Kiri-progresif di Indonesia semenjak tahun 1965 sampai sekarang.

Akhirnya kita tahu. 11 September 1973, militer membombardir La Moneda, istana kepresidenan Chile. Setelah itu, Augusto Pinochet, darling of the West yang dibangga-banggakan dedengkot ekonom neoliberal Milton Friedman dan Friedrich Hayek, menjadi diktator Chile. Rejimnya meningkatkan kesenjangan ekonomi di Chile sekaligus mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi tahanan politik, disiksa, menghilang dan bahkan tewas. Tetapi rakyat Chile tidak pernah lupa. Tahun 1989 demokrasi direstorasi. Semenjak itu hingga sekarang, satu demi satu dosa-dosa rejim Pinochet diungkap.

Seringkali kita mengritik mesianisme dalam gerakan progresif karena kecenderungannya untuk mengarah ke semacam kultus individual. Tetapi, terkadang sebuah gerakan butuh figur yang kharismatik. Allende contohnya. Tentu saja dia menjadi semacam ‘juru selamat’ bukan karena berjarak dengan rakyat, melainkan dengan menghidupi kehidupan rakyat dan bergerak bersama mereka, karena pemerintahan Allende tidak mungkin bertahan tanpa massa rakyat yang militan. Mereka mendukung Allende karena ‘Allende mencetuskan utopia akan sebuah dunia yang lebih adil,’ kata berbagai aktivis pendukungnya.

Salvador Allende mungkin telah mati, namun namanya tetap abadi. Namanya akan selalu diingat oleh rakyat yang tertindas dan menderita di gang-gang sempit nan kumuh dari Santiago hingga Valparaiso, dari Jakarta hingga Ramallah, kini dan nanti.***

Film Patricio Guzmán dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=FTkY0mgvK7k

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

Iqra Anugrah, Mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/islam-dan-pembebasan-menurut-asghar-ali-engineer/

PADA 14 Mei, 2013, dunia Islam kehilangan salah satu putra terbaiknya, Asghar Ali Engineer, penulis dan aktivis Islam progresif asal India,  yang menghembuskan napas terakhirnya. Sebagaimana kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, begitupun juga Engineer. Pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif ini, meninggalkan begitu banyak buah pemikiran yang membahas berbagai topik: dari sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, studi pembangunan dan masih banyak lagi. Sebagai bagian dari apresiasi atas kontribusi Asghar Ali Engineer yang begitu besar bagi dunia Islam, negara-negara dunia ketiga, dan gerakan progresif pada umumnya, tulisan ini didedikasikan untuk mengulas pemikiran-pemikiran Engineer dan relevansinya di masa kini.

Dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan karya-karya Engineer, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan fokus kepada beberapa tema utama dalam pemikiran Engineer, yaitu sejarah Islam, teologi pembebasan, negara dan masyarakat dan studi konflik komunal.

Sekilas tentang Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim Dawoodi Bohra, sebuah cabang dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah. Komunitas Dawoodi Bohra pada masa awal perkembangannya sempat mengalami persekusi baik dari komunitas Sunni maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian mereka bermigrasi ke India dan aktif dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek komunitas dan filantropis, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan dan fasilitas umum lainnya, seminar dan berbagai program pendidikan komunitas, serta promosi kesenian dan arsitektur Islam. Dalam konteks inilah Engineer tumbuh. Sedari kecil, Engineer juga menekuni studi Islam dari berbagai aspeknya.

Sebelum memfokuskan dirinya pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer berprofesi sebagai insinyur di kota Mumbai selama 20 tahun. Kebetulan, sewaktu kuliah, ia mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Vikram. Latar belakang inilah yang menyebabkan ia mendapat julukan ‘Engineer.’ Selama karirnya, ia mendirikan dan mengepalai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide progresif, seperti Institute of Islamic Studies, Center for Study of Society and Secularism dan Asian Muslim Action Network, dan menjadi editor sejumlah jurnal seperti Indian Journal of Secularism, Islam and Modern Age dan Secular Perspective. Tidak hanya itu, Engineer adalah seorang pemikir yang amat produktif, menulis lebih dari 50 buku dan ratusan artikel lainnya, baik populer maupun ilmiah. Semasa hidupnya, ia juga aktif mempromosikan penghargaan atas keberagaman masyarakat di India. Atas dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood Award pada tahun 2004, yang juga disebut sebagai hadiah Nobel alternatif.

Islam dan Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer

Dalam kajian sejarah Islam dan teologi pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer dalam salah satu karyanya Islam and Its Relevance to Our Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh para pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat pengaruh Marxisme dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya tentang teologi pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun, di sisi lain, terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam masyarakat tersebut – seperti perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang revolusioner dari ajaran Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan revolusioner yang universal dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks sosial masyarakat Arab pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya, dilakukan secara gradual. Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan yang menarik dari Engineer: ada unsur teologis dan transedental dari sejarah munculnya Islam, namun ia tidak menegasikan atau menafikan peranan manusia dalam membuat sejarah itu. Pembacaan ‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga mempengaruhi rumusan Engineer mengenai teologi pembebasan. Engineer memulai pembahasannya mengenai sejarah sosial berbagai variasi teologi pembebasan dalam Islam. Saya menyebutnya sebagai ‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya membahas pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha mengaitkannya dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut muncul. Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.

Alirah Mu’tazilah muncul di masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang menantang Kekhalifan Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama kelompok-kelompok non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok Persia. Karenanya, di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia diakomodir dalam kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir. Dalam konteks inilah, aliran Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional dan peranan usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya (Qadariyah), muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan Abbasiyah mulai bersifat opresif dan mempersekusi lawan-lawan politiknya, aliran Mu’tazilah kemudian dijadikan dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham teologi resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi beberapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun juga ‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri Mazhab Hambali, bahkan tidak luput dari hukuman ini.

Aliran Qaramitah juga muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan Umayyah. Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah, yang juga terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani dalam perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap melanjutkan perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakkan tendensi opresifnya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili kemudian mendirikan Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan Fatimiyah, memberi justifikasi terhadap politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan melawan baik Kekhalifahan Abbasiyah maupun Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, aliran Qaramitah berusaha menghapuskan kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune. Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi untuk menjatuhkan rejim.

Aliran Khawarij, yang awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam, Ali bin Abi Thalib, yang kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya ‘tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok Islam lain di luar mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas dari perkembangannya di kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij sesungguhnya merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum ‘proletariat internal’ dalam Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi krisis kepemimpinan dalam masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud Isma’il, menurut Engineer, aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya mempromosikan semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.

Singkat kata, dalam eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial teologi pembebasan dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal Islam hingga sekarang. Kedua,pembacaan ‘materialis’ dan ‘sejarah sosial’ atas masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi ide-ide egalitarian dalam Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa memahami konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan atas aliran Mu’tazilah yang rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam satu tarikan napas.Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang egaliter dan bebas dari eksploitasi.

Isu-isu Kontemporer dalam Pandangan Asghar Ali Engineer

Sebagai aktivis sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai mempelajari isu-isu kontemporer seperti hubungan agama-negara, hak-hak perempuan dan kaum minoritas, isu-isu pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil, Engineer sendiri sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang Muslim. Agaknya, pengalaman itu juga yang membentuk pandangan Engineer mengenai berbagai isu kontemporer. Benang merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isu-isu tersebut adalah pentingnya menghindari esensialisme alias kecenderungan untuk melihat fenomena sosial sebagai kesatuan yang monolitik.

Dalam tulisannya tentang  hak-hak perempuan dalam Islam (2006), Engineer menyadari bahwa ada diskriminasi dan marginalisasi atas hak-hak perempuan dalam masyarakat Islam. Namun, Engineer juga berhati-hati di sini: patriarkhi dan pengekangan hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang melekat pada masyarakat Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya, melainkan patriarkhinya yang bermasalah. Patriarkhi, menurut Engineer, terjadi karena kenyataan sosiologis dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep atau doktrin teologis (hlm. 166). Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam analisanya mengenai hubungan agama-negara (2009). Engineer mengingatkan bahwa institusi keagaaman bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas dari berbagai kepentingan ‘duniawi.’ Engineer juga menyerukan pentingnya ‘mengembangkan kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam sejarah kaum Muslim’ (hlm. 117). Karenanya, meskipun Engineer mempromosikan nilai-nilai agama dalam bentuknya yang paling spiritual sekaligus paling progresif, ia juga kritikus terdepan atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama, baik di negerinya sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperti Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan agama-negara dan hak-hak kaum minoritas mengingatkan saya atas ide ‘toleransi kembar’ (twin tolerations) yang dipromosikan oleh Alfred Stepan (2000), yaitu ada perbedaan antara otoritas keagamaan dan politik sekaligus kebebasan bagi otoritas keagamaan untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi pengikutnya tanpa memegang kekuasaan politik secara langsung. Agaknya, posisi Engineer tidaklah jauh berbeda dengan ide ini.

Bidang lain yang sangat ditekuni oleh Engineer adalah studi konflik dan hubungan antar etnis. Engineer tidak hanya menulis artikel reguler di harian Economic and Political Weekly mengenai kondisi hubungan antar etnis di India, namun juga melakukan studi yang mendalam atas berbagai komunitas minoritas termasuk komunitas Muslim di India. Dalam studi-studinya, Engineer berusaha memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang ilmuan. Pertama, ia berusaha menggabungkan metode-metode sejarah dan antropologis dalam berbagai studinya tentang kelompok minoritas. Kedua, dalam melakukan studinya ia berkolaborasi dengan berbagai institusi dan ilmuwan-aktivis yang lain. Ketiga, studi yang mendalam ini juga dijadikan ‘senjata’ bagi Engineer untuk mempromosikan harmoni, toleransi dan pengertian dalam  hubungan antar etnis. Prinsip-prinsip ini dapat dilihat misalnya dalam studinya tentang komunitas Muslim di Gujarat (1989). Sekali lagi, benang merah yang menyatukan berbagai studi Engineer tentang komunitas Muslim dan minoritas adalah pandangannya yang anti-esensialis: Engineer menunjukkan bahwa terdapat keberagaman yang begitu luar biasa dalam komunitas Muslim, dan, komunitas Muslim tidaklah kurang kadar ‘keIndiaan’nya dibandingkan komunitas dan kelompok etnis yang lain.

Bukan kebetulan jika Engineer juga mendukung ‘nasionalisme campuran’ alih-alih nasionalisme Muslim ala Liga Muslim yang dipandangnya agak sektarian. Ia menyatakan kekagumannya terhadap Jami’atul Ulama ‘il-Hindi, sebuah organisasi Muslim yang mendukung perjuangan kemerdekaan India dan integrasi masyarakat Muslim ke dalam masyarakat India (2009).

Terakhir, Engineer juga merupakan seorang kritik atas praktek-praktek pembangunan yang eksploitatif. Ia misalnya, mengkritik rejim Jendral Zia-ul-Haq di Pakistan yang mempromosikan ‘Islamisasi’ dalam artiannya yang sempit namun menolak program-program nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis, reformasi pertanahan dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat redistribusionis. Di India, secara konsisten ia juga menolak politik sayap kanan yang dipromosikan oleh Partai BJP yang mempromosikan fundamentalisme Hindu di satu sisi dan kebijakan neoliberal di sisi lain.

Penutup: Engineer dan Kita

Melihat kiprah Asghar Ali Engineer, kiranya tak berlebihan apabila kita memberinya label ini: intelektual organik.

Dedikasi dan komitmen Engineer tentu bukan tanpa resiko. Beberapa kali ia mendapat ancaman dan kritik dari lawan-lawannya dan mereka yang tidak menyukai gagasannya. Namun, ia tetap menulis, bekerja dan melawan.

Ketika nasib masyarakat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para intelektual hanya doyan berdiskusi, warisan Engineer terasa semakin relevan.

Selamat Jalan, Dr. Engineer. Di tengah-tengah bulan puasa ini, sosoknya menjadi pengingat bagi kita semua: ia tidak menghamba, mengawang-ngawang, maupun mendakik-dakik.***

*Penulis berterima kasih kepada rekan Dani Muhtada atas masukan dan diskusinya tentang karya-karya Asghar Ali Engineer.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

 

Kepustakaan

Engineer, A. A. (1987). Islam and Its Relevance to Our Age. Kuala Lumpur: Ikraq.

Engineer, A. A. (1989). The Muslim Communities of Gujarat. Delhi: Ajanta Publications.

Engineer, A. A. (2006). The Rights of Women in Islam. In A. I. Alwee, & M. I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical Perspective (pp. 161-177). Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd.

Engineer, A. A. (2009). Governance and Religion: An Islamic Point of View. In C. Muzaffar,Religion and Governance (pp. 109-119). Selangor Darul Ehsan: Arah Publications.

Engineer, A. A. (2009). Islam dan Pluralisme. In D. Effendi, Islam dan Pluralisme Agama (pp. 25-41). Yogyakarta : Interfidei.

Stepan, A. C. (2000). Religion, Democracy, and the “Twin Tolerations”. Journal of Democracy, 11 (4), 37-57.