Kembali Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

Kembali Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

Liberty-and-Property

Judul Buku: Liberty and Property: A Social History of Western Political Thought from Renaissance to Enlightenment
Pengarang: Ellen Meiksins Wood
Penerbit: Verso, London/New York, 2012
Tebal: x + 325 h.

 http://indoprogress.com/lbr/?p=1021&fb_source=pubv1

PEMIKIRAN politik Barat seringkali dipahami dan dipelajari secara parsial atau setengah-setengah. Baik dalam diskursus politik di tanah air maupun di kelas-kelas ilmu politik di negara industrialis maju, pemikiran politik Barat seringkali direduksi menjadi pengetahuan akan jargon-jargon belaka. Akibatnya, pemahaman  kita menjadi jargonistik dan ahistoris, memakai istilah-istilah seperti ‘hak,’ ‘negara,’ ‘kedaulatan,’ ‘kebebasan’ dan ‘kapitalisme’ tanpa memahami konteks historis dari istilah-istilah tersebut.

Di tengah-tengah kondisi tersebut, Ellen Meiksins Wood berusaha memberikan analisanya tentang Pemikiran Politik Barat melalui perspektif sejarah sosial dari Abad Renaisans hingga Abad Pencerahan. Buku ini, yang merupakan lanjutan dari buku Wood sebelumnya, yaitu Citizens to Lords, membahas berbagai pemikiran filsuf politik Barat, dari Machiavelli hingga Spinoza, dari Montesquieu hingga Locke dengan meletakkannya pada konteks sosio-historis pembentukan negara, perkembangan awal kapitalisme dan kelas borjuis, perebutan klaim kedaulatan, hingga benturan dan dialektika antara faktor-faktor ideasional dan material.

Kali ini, Wood berusaha membongkar mitos “keterkaitan” antara modernitas, kapitalisme, dan demokrasi. Menurut Wood, kapitalisme perlu dipahami sebagai bentuk perkembangan unik dari fase perkembangan modernitas Barat. Wood juga berpendapat bahwa secara historis, ada ketegangan yang tak terelakkan antara demokrasi dan kapitalisme – sebuah ketegangan yang juga belum terselesaikan hingga sekarang.

Transisi Historis Peradaban Barat: Menuju Modernitas atau Kapitalisme

Wood membagi bukunya dalam delapan bab yang disusun kurang lebih secara kronologis. Bab pertama membahas tentang debat-debat dalam transisi feodalisme ke kapitalisme, metode penafsiran sejarah pemikiran politik Barat, dan pentingnya sejarah sosial dalam membahas filsafat politik Barat. Bab kedua hingga ketujuh masing-masing membahas tentang sejarah pemikiran politik mulai dari masa Negara Kota Renaisans, Reformasi Protestan, Kekaisaran Spanyol, Republik Komersial Belanda, Absolutisme Perancis hingga Revolusi di Inggris. Di bab terakhir, Wood kembali menegaskan argumennya tentang ketegangan antara modernitas, kapitalisme, dan demokrasi serta implikasinya terhadap konteks sekarang ini.

Di bab pertama, Wood mengkritik dua tendensi dalam penulisan sejarah, yaitu pendekatan posmodernis dan revisionis. Dalam berbagai debat tentang penulisan sejarah, Wood menyadari bahwa ada sejumlah argumen yang menolak adanya sejarah dan karenanya mempertanyakan apa yang disebut sebagai modernitas. Wood mengritik tendensi tersebut karena menurutnya kesadaran historis itu penting untuk memahami kondisi masa kini yang bisa jadi merupakan hasil dari suatu proses sejarah yang panjang di masa lampau. Kesadaran akan proses dan konteks sejarah inilah yang digunakan Wood untuk membedah sejumlah pemikiran filsuf Barat dan meletakkannya pada konteks sosial di mana pemikiran-pemikiran tersebut lahir.

Namun, Wood juga mengingatkan kita akan satu hal: pentingnya memperhatikan keragaman kondisi di tiap-tiap tempat dan perkembangan zaman. Sejumlah hal yang perlu kita perhatikan dalam memahami sejarah sosial pemikiran politik Barat antara lain adalah kondisi tatanan sosial di masing-masing tempat, pola hubungan antara institusi kerajaan, kaum bangsawan, tuan tanah, dan rakyat (petani, kaum perempuan, pekerja, dan lain sebagainya), perebutan klaim atas kedaulatan, definisi akan konsep-konsep kunci dalam diskursus politik pada masa itu seperti ‘kebebasan,’ ‘rakyat,’ ‘kedaulatan,’ dan lain sebagainya

Bab kedua dibuka dengan pembahasan akan latar belakang sejarah Negara-Kota (City-State) di Italia. Di konteks Italia, sejumlah Negara-Kota Italia seperti Venesia dan Firenze menjadi pusat perdagangan dan juga kota penghubung jaringan perdagangan di Eropa pada masa itu. Namun, perlu diingat bahwa embrio kapitalisme modern sudah berkembang di Italia. Faktanya, sebagian besar pendapatan para penguasa seperti kaum bangsawan justru didapat dari kegiatan-kegiatan ‘ektra-ekonomi’ (‘extra-economic’ factors) seperti pajak dari para petani penggarap dan rakyat jelata serta fasilitas dan gaji dari jabatan negara. Kemudian, kota-kota seperti Venesia dan Firenze, karena kemajuan ekonominya, juga menghadapi tantangan militer dari negara-negara lain. Konteks inilah yang perlu dipahami dalam menganalisa pemikiran Machiavelli, terutama dalam dua karya utamanya yaitu The Prince dan The Discourses.

Pertanyaan politik terpenting bagi Machiavelli kira-kira adalah sebagai berikut: bagaimana seorang penguasa bisa mewujudkan ketertiban (order) sosial dan politik sekaligus mempertahankan kedaulatannya dari serangan musuh dari luar. Terlepas dari berbagai perdebatan dan kontroversi di seputar penggambaran Machiavelli baik sebagai perintis nilai-nilai ‘republikan modern’ sekaligus seorang ‘Machiavellian’ yang menghalalkan segala cara, Wood mencoba menelaah dua wajah dari pemikiran Machiavelli. Menurut Wood, dalam konteks politik domestik, sesungguhnya konsepsi politik Republikan ala Machiavelli lebih condong kepada tatanan politik yang memberikan ruang lebih besar kepada para warga negara dan membatasi kekuasaan kaum bangsawan atau aristokrasi. Dengan kata lain, pemikiran kenegaraan Machiavelli cenderung lebih demokratis dibandingkan oligarkis. Namun, dalam konteks kebijakan luar negeri, Machiavelli berpendapat bahwa Negara-Kota Italia perlu memiliki pertahanan dan militer yang kuat untuk menghadapi musuh-musuhnya – sebuah pemikiran yang juga menjadi dasar pemikiran Realisme modern dalam disiplin Hubungan Internasional.

Di Bab ketiga, Wood memfokuskan pembahasannya kepada pemikiran dua tokoh agama terkemuka di Eropa, Martin Luther dan John Calvin, dalam konteks Reformasi Protestan dan tantangan terhadap kekuasaan Gereja Katolik pada waktu itu. Dalam pemaparan kali ini, kita akan fokus kepada pemikiran Luther.

Martin Luther, sang reformer Protestan itu, berusaha menantang legitimasi Gereja sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Menurut Luther, semua manusia, semua orang beriman, memiliki kesamaan derajat di depan Tuhan. Luther mengakui bahwa manusia memang cenderung akan tergelincir kepada perbuatan dosa, namun karena kesamaan derajat manusia dan kasih sayang serta pengampunan Tuhan yang universal, maka umat manusia akan diselematkan oleh Tuhan. Singkat kata, karena semua manusia sama derajatnya di depan Tuhan dan berhak mendapatkan ampunan-Nya, maka peranan Gereja sebagai perantara kehilangan legitimasinya. Inilah konsep teologi Luther yang terkenal dan kontroversial itu.

Namun, ini baru sisi lain. Dalam kaitannya dengan hubungan antara Gereja, mereka yang beriman, dan kekuasaan negara yang sekuler, Luther justru berpendapat bahwa mereka yang beriman harus tunduk terhadap kekuasaan negara yang sekuler, betapapun kejam dan sewenang-wenangnya kekuasaan negara, karena hanya dengan negaralah sebuah ketertiban sosial dapat terwujud. Luther memang menyebutkan bahwa orang-orang Kristen memiliki hak untuk melanggar aturan-aturan negara tatkala kekuasaan negara itu menyimpang terlalu jauh dari ajaran Kristen, tetapi itu tidak melegitimasi hak untuk memberontak terhadap negara tersebut – Luther justru menganjurkan kaum Kristiani untuk menerima hukuman dari negara apabila mereka menolak mematuhi aturan-aturan yang dianggap bertentangan dengan prinsip ajaran Kristen. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, doktrin kesetaraan manusia di hadapan Tuhan dan ketaatan manusia pada Tuhan ala Luther justru menjadi justifikasi bagi berbagai pemberontakan petani di Eropa – suatu hal yang Luther sendiri tidak menghendakinya.

Dalam bab ini, Wood juga mencoba membongkar persepsi populer akan tesis Weberian tentang kapitalisme: bahwa ide-ide Protestanisme mempromosikan perkembangan kapitalisme di Eropa. Meskipun Wood berbeda pendapat dengan Max Weber mengenai perkembangan awal kapitalisme di Eropa, menurut Wood, Weber sendiri tidak pernah mengatakan bahwa ide-ide Protestanisme per se lah yang mendorong perkembangan kapitalisme. Menurut Wood, Weber mengakui bahwa embrio berupa perkembangan politik dan ekonomi yang kondusif terhadap perkembangan kapitalisme di Eropa sudah ada sebelum munculnya Protestanisme. Ide-ide Protestan hanya menjadi katalisator  bagi perkembangan dan penyebaran kapitalisme.

Bab keempat membahas tentang Kekaisaran Spanyol dan kolonialismenya. Para pemikir dan filsuf politik di Spanyol pada waktu itu berusaha menjawab berbagai permasalahan di seputar praktek kolonialisme Spanyol di Amerika Latin dan berbagai macam dampaknya. Di satu sisi, perebutan klaim atas kekuasaan politik dan keagamaan antara Kekaisaran Spanyol, kaum bangsawan dan pihak Gereja mendorong Spanyol untuk memperluas Kekaisarannya. Ketergantungan ekonomi Spanyol dengan berbagai sumber daya di tanah jajahannya seperti emas dan perak juga semakin meneguhkan pentingnya kolonialisme bagi ekonomi Spanyol. Namun, di sisi lain, Kekaisaran Spanyol juga memiliki kesulitan untuk menjustifikasi praktek kolonialismenya terhadap bangsa Indian di Amerika Latin, yang menurut banyak pemikir politik di Spanyol, juga memiliki peradaban yang sangat maju.

Dalam konteks inilah, berbagai pemikir dalam suatu aliran pemikiran yang disebut sebagai Mazhab Salamanca (Salamanca School) berusaha menanggapi berbagai dilema dalam praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme Kekaisaran Spanyol. Mereka yang mendukung penjajahan Spanyol atas Amerika Latin mencetuskan doktrin ‘Perang Adil’ (Just War) sebagai dalilnya. Perang Adil berangkat dari asumsi bahwa Kekaisaran Spanyol memiliki misi untuk memajukan peradaban manusia dan menyebarkan agama Kristen. Bangsa Indian di Amerika Latin, betapapun majunya peradaban mereka, masih memeluk praktek-praktek ‘Pagan’ dan karenanya Kekaisaran Spanyol memiliki kewajiban untuk ‘menyebarkan’ agama Kristen dan membuat bangsa Indian menjadi ‘beradab’ – melalui praktek-praktek seperti pemindahan agama secara paksa, perampasan tanah-tanah adat bangsa Indian, dan eksploitasi tenaga kerja bangsa Indian di lahan-lahan pertanian dan tanah-tanah kaum penjajah Spanyol di Amerika Latin. Sebaliknya, mereka yang menentang praktek kolonialisme mengatakan bahwa sekalipun bangsa Indian bukanlah orang Kristen dan karenanya kaum ‘Pagan’ atau ‘Kafir’ (Heretic), peradaban Indian adalah peradaban yang maju dan karenanya Kekaisaran Spanyol tidak memiliki hak untuk menjajah mereka.

Bab kelima membahas tentang Republik Belanda, kebijakan perdagangannya, dan pengaruh dua hal tersebut pada tatanan dan pemikiran politik pada masa itu. Pertumbuhan kota-kota di Republik Belanda menjadikannya sebagai pusat perdagangan di Eropa pada masa itu. Bahkan, pertumbuhannya jauh lebih pesat dibandingkan dengan berbagai Negara-Kota di Italia. Tetapi, aktivitas komersial di Belanda berkembang pesat bukan karena aktivitas ekonomi kapitalis yang merespon impuls pasar, namun karena akvitas ‘ekstra-ekonomi’ sebagai perantara perdagangan (commercial mediators), alih-alih produsen (producers). Selain perdagangan, berbagai aktivitas ‘ekstra-ekonomi’ yang lain adalah ekspansi militer, pajak yang tinggi yang diperoleh dari rakyat, dan fasilitas yang tersedia untuk jabatan-jabatan negara. Aktivitas-aktivitas komersial dan ‘ekstra-ekonomi’ di Belanda dan juga Italia pada masa itu bukanlah akvititas ekonomi yang bersifat (proto-)kapitalis, karena aktivitas-aktivitas ini pada dasarnya kurang merespon impuls pasar dan tidak didorong oleh prinsip produksi yang kompetitif.

Liberty Leading the People,  Eugène Delacroix, 1830

Perubahan sosial ini, yang mengakibatkan bangkitnya sejumlah elit lokal, kemudian memunculkan persoalan baru: bagaimana ‘mendamaikan’ berbagai klaim atas kedaulatan negara dan hak-hak rakyat. Dalam konteks inilah, ide-ide resistensi dan tantangan terhadap kedaulatan dan kekuasaan institusi monarki atau kerajaan muncul. Tetapi, ide-ide resistensi ini bukan berarti melegitimasi usaha resistensi dari warga negara terhadap kekuasaan negara atau kerajaan. Bagi banyak filsuf politik pada masa itu, warga negara atau rakyat secara individual tidak memiliki legitimasi untuk mewakili dirinya sendiri dalam politik – ia harus direpresentasikan oleh institusi kolektif yang mewakili kekuatan politik lokal (lesser magistrates) seperti kaum bangsawan, badan-badan korporasi, maupun pejabat lokal.

Implikasi perubahan sosial ini dalam tataran filsafat politik sangatlah menarik. Ada pemikir seperti Hugo Grotius misalnya, bapak hukum internasional, yang mencetuskan konsep tentang hak-hak korporasi internasional, dalam konteks ini yaitu East India Company atau VOC, sebagai individu di dalam hukum internasional. Grotius juga memberikan dalil-dalil yang melegitimasi kolonisasi sejumlah tanah dan sumber daya di negara-negara lain – yang nantinya menjadi tanah jajahan Belanda. Ada juga pemikir seperti Spinoza, yang mendobrak ‘transendensi’ dalam konsepsi kekuasaan politik. Ketika banyak filsuf politik berpendapat bahwa kekuasaan politik bersumber dari ‘luar’, dari institusi kerajaan, Tuhan, atau suatu tatanan hukum alam misalnya, dan karenanya meniscayakan kekuasaan yang absolutis, Spinoza berpendapat bahwa sumber kekuasaan berasal dari rakyat, warga negara, sebagai kumpulan individu yang menempati negara itu sendiri – dengan kata lain, sumber kekuasaan yang bersifat ‘imanen’, dari rakyat, alih-alih transenden. Terlepas dari kecenderungan Spinoza untuk membatasi implikasi transformatif dari konsepsinya tentang sumber kekuasaan yang imanen, ide imanensi kekuasaan ala Spinoza merupaka gebrakan yang radikal dan demokratis pada zamannya – dan menjadi sumber inspirasi bagi sejumlah pemikir Marxis kontemporer seperti Etienne Balibar, Michael Hardt, dan Antonio Negri.

Bab keenam dan ketujuh membahas tentang sejumlah pemikir politik terkemuka dalam konteks Absolutisme Negara di Perancis dan Revolusi di Inggris. Kontras antara kondisi sosial-politik di Perancis dan Inggris dapat membantu kita memetakan perbedaan corak pemikiran politik di antara kedua negara tersebut. Di Perancis, terdapat ketegangan politik antara institusi negara atau monarki yang ingin memperbesar kekuasaan absolutisnya versus kaum bangsawan dan tuan tanah yang ingin melawan kecenderungan tersebut. Di Inggris, sebaliknya, terdapat institusi negara yang sudah kuat sebagai hasil kompromi dan kerja sama antara pihak monarki dan aristokrasi. Kemudian, di Perancis, kaum petani atau peasantry cenderung bebas, dan meskipun para tuan tanah serta negara tetap berusaha untuk mengeksploitasi kaum petani melalui pajak dan iuran, tuan tanah dan bangsawan di Perancis lebih tertarik untuk memperkaya diri mereka melalui jalur ‘ekstra-ekonomi’ yang disediakan oleh negara. Sebaliknya, di Inggris, sebagian besar tanah dikuasai oleh para tuan tanah dan para bangsawan yang merespon impuls pasar, impuls komersial di masa proto-kapitalisme. Persaingan antara para tuan tanah di Inggris dalam memperkaya diri mereka membuat para tuan tanah berusaha menerapkan strategi pertanian yang meningkatkan produktivitas dan efisiensi produk pertanian – suatu strategi yang kemudian melahirkan kapitalisme agraria di Inggris.

Sejumlah pemikir dibahas di dua bab ini, mulai dari Montesquieu, Jean Bodin, Rousseau, Hobbes, dan Locke. Namun kita hanya akan membahas Rousseau dan Locke kali ini, sekaligus membongkar persepsi populer atas karya-karya mereka. Rousseau yang seringkali dituduh memiliki kecenderungan totaliter dalam karya-karyanya, justru merupakan pemikir yang paling berani menggugat kecenderungan absolutisme negara di Perancis. Keunikan pemikiran Rousseau adalah analisanya yang jeli akan negara absolutis di Perancis sebagai bagian dari dan bukan solusi atas masalah eksploitasi terhadap rakyat terutama kaum petani penggarap. Meskipun solusi yang diajukan oleh Rousseau jelas adalah sebuah solusi utopis – komunitas petani yang bebas dari eksploitasi dan bebas menentukan proses produksi di antara mereka sendiri – Rousseau merupakan salah satu pemikir pertama yang menyadari persoalan eksploitasi dalam politik dan solusi atasnya. Sebaliknya, Locke, yang seringkali dianggap sebagai pencetus egalitarianisme dan konsep ‘pemerintahan yang terbatas’ (limited government) justru memiliki kecenderungan anti-demokratik. Ide kepemilikan pribadi sebagai hak alamiah (private property as natural rights) justru bersifat ahistoris, karena kepemilikan pribadi sesunguhnya merupakan produk sejarah dan kreasi institusional manusia, dan cenderung memarginalkan sejumlah kelompok masyarakat, seperti perempuan, pekerja, para petani penggarap dalam proses demokrasi yang lebih luas dan popular, atas nama ‘pemerintahan yang terbatas.’

Bab kedelapan atau yang terakhir merupakan ulasan singkat dan afirmasi Wood atas tesis utamanya: bahwa sejarah modernitas melahirkan kapitalisme, sebuah momen sejarah yang memiliki ketegangan yang inheren dengan demokrasi dan menghambat proses demokrasi yang lebih luas dan radikal.

Ulasan Kritis

Karya Wood kali ini, seperti karyanya yang sebelumnya, patut mendapatkan apresiasi.

Pertama, pendekatan historiografi Wood atas pemikiran politik Barat perlu diacungi jempol. Kemampuannya untuk memberikan narasi yang lengkap dan utuh, tanpa terjebak dalam penulisan sejarah yang ‘teleologis’ dalam artinya yang simplistis dan normatif adalah keunggulan pendekatannya. Dalam hal ini, Wood menunjukkan keahliannya sebagai seorang ahli politik yang membahas sejarah sosial dari ide-ide politik.

Kedua, Wood juga berhasil menunjukkan bahwa baik faktor ideasional maupun faktor material sama-sama penting dan keduanya sama-sama membentuk proses sejarah. Dari perspektif historiografi Marxis, Wood tentu ingin menunjukkan bagaimana faktor material terutama kontestasi kelas membentuk faktor-faktor ideasional yang mempengaruhi corak pemikiran berbagai filsuf politik di Eropa pada masa awal era modern. Namun, Wood juga tidak abai dengan kekuatan ide dalam menggerakkan aktor-aktor sejarah seperti para tuan tanah dan petani serta implikasi ide-ide tersebut dalam perkembangan sejarah.

Dalam hal ini, Wood bisa dikatakan berhasil menyajikan suatu pendekatan sejarah sosial pemikiran politik Barat, suatu historiografi Marxis atas pemikiran politik Barat, tanpa terjebak dalam historisisme, idealisme, voluntarisme naïf, maupun partikularisme yang ahistoris.

Ketiga, Wood juga berhasil membongkar mitos akan dua hal: pertama, persepsi populer atas karya-karya pemikiran politik Barat dan kedua, persepsi populer atas konsep-konsep politik modern. Dua persepsi ini cenderung tergelincir dalam pandangan-pandangan yang ahistoris. Pemikiran John Locke dan Montesequieu misalnya, dalam banyak hal justru tidak begitu demokratis karena keberpihakannya atas institusi-institusi serta kolektif-kolektif dan marginalisasinya atas hak-hak invidivual warga negara serta abainya dua pemikir tersebut atas eksploitasi politik, ekonomi, dan sosial. Konsep-konsep politik modern seperti “hak”, “kebebasan”, “rakyat” juga perlu diletakkan dalam konteks historis – apakah kita berbicara kebebasan bagi para pemilik modal dan tanah saja? Apakah kita akan menegasikan hak-hak politik yang bersifat ekstra-parlementer? Kesadaran historis akan konsep-konsep ini perlu dikembalikan dalam diskursus politik kita – satu hal yang berhasil dilakukan oleh Wood.

Namun demikian, apresiasi ini tidak menghalangi kita untuk memberikan sejumlah kritik atas karyanya.

Pertama, dalam hal metode, meskipun inovatif, metode sejarah sosial atas pemikiran politik Barat dapat membingungkan pembaca dan pengkaji ilmu sosial serta humaniora karena fokusnya yang terbelah: Apakah fokus karya ini ke konteks transisi feodalisme ke kapitalisme? Atau bagaimana ide-ide para filsuf politik berkembang dalam konteks tersebut? Di beberapa bagian, sepertinya penjelasan tentang bagaimana suatu pemikiran politik lahir dalam suatu konteks sosial-politik agak hilang atau kurang jelas. Ini tentu akan menyulitkan pembaca, tidak hanya bagi pembaca pemula, namun juga bagi para pengkaji yang sudah berkecimpung dengan isu-isu seperti ini setelah sekian lama.

Kedua, metode ini sesungguhnya dapat dikembangkan lebih jauh lagi, menjadi semacam kajian sejarah komparasi atau sejarah konektif atas sejarah sosial pemikiran politik Barat di konteks Eropa. Bahkan, proyek intelektual ini dapat diteruskan dalam konteks interaksi antara masyarakat Barat dan non-Barat. Metode historiografi Wood yang memberikan porsi yang adil baik terhadap faktor-faktor ideasional maupun material sesungguhnya memiliki potensi untuk melakukan studi yang tersebut di atas.

Ketiga, dan yang terakhir, lebih merupakan kritik yang sifatnya teknis. Beberapa penjelasan di dalam buku ini cenderung diulang-ulang, misalnya pembahasan tentang pertarungan antara berbagai klaim kedaulatan oleh berbagai entitas atau implikasi sosial politik dari konsep tentang hukum alam sebagai dalil atas kekuasaan dan kedaulatan. Kemudian, beberapa pemaparan Wood tentang transisi dari feodalisme ke kapitalisme bisa dikatakan tidak ada yang baru, kecuali dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran politik Barat.

Kesimpulan

Sebagaimana karya Wood yang sebelumnya, dapat dikatakan bahwa karya Wood patut dijadikan rujukan bagi para pengkaji dan penggerak gagasan Kiri dan ilmu sosial serta humaniora pada umumnya. Topik-topik yang dibahas Wood dalam bukunya kali ini juga merupakan topik-topik besar yang perlu dipelajari bagi para ilmuwan dan penggerak sosial, seperti persoalan negara, evolusi konsep kepemilikan pribadi, implikasi sosial politik dari perkembangan sebuah ide, pertautan antara hubungan tuan tanah dan kaum tani dengan ide-ide tentang kewarganegaraan dan proses-proses politik, dan lain sebagainya. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai penangkal atas mitos bahwa modernitas, nilai-nilai borjuis, kapitalisme, dan demokrasi adalah hal-hal yang datang dalam satu paket. Buku ini juga mengingatkan kita bahwa ide-ide tidak muncul dari suatu kevakuman sejarah, namun merupakan hasil dari proses sejarah dan material yang membentuknya.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Bacaan tambahan:

Althusser, L. (1972). Politics and History: Montesquieu, Rousseau, Hegel and Marx. London: New Left Books.

McNally, D. (1994). Political Economy and the Rise of Capitalism. Berkeley, CA: University of California Press.

Moore, B. (1966). The Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World. Boston, MA: Beacon Press.

Wood, E. M. (1995). Democracy Against Capitalism: Renewing Historical Materialism. Cambridge: Cambridge University Press.

Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

Sumber: http://indoprogress.com/lbr/?p=399

Diposkan pada 15/11/2012 oleh Tinggalkan balasan

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

 

Judul Buku: Citizens to Lords: A Social History of Western Political Thought from Antiquity to the Late Middle Ages

Pengarang: Ellen Meiksins Wood

Penerbit: Verso, London/New York, 2008

Tebal: ix + 245 h.

 

Membedah Pemikiran Politik Barat Melalui Sejarah Sosial

USAHA untuk membahas dasar-dasar pemikiran politik Barat, merupakan hal yang jarang dilakukan. Di tanah air, terdapat kecenderungan untuk ‘melupakan’ kanon-kanon teori politik klasik, apalagi membahas konteks sejarah dari pemikiran tersebut. Cap ‘kuno’ atau ‘tidak relevan’ sering menjadi alasan mengapa tidak banyak dari kita – pengkaji ilmu sosial dan filsafat, serta aktivis gerakan sosial – mau menekuni kajian pemikiran politik klasik Barat secara serius.

Di tengah-tengah kelangkaan kajian serius tentang filsafat politik klasik Barat, ahli ilmu politik Marxis terkemuka, Ellen Meiksins Wood, berusaha memberikan sebuah narasi lengkap tentang sejarah pemikiran politik. Yang menarik dari Wood, ia tidak hanya sekedar menarasikan sejarah intelektual atau history of ideas, melainkan berusaha membahas pemikiran politik Barat melalui pendekatan sejarah sosial (The Social History of Political Theory). Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah sosial di sini adalah usaha untuk menempatkan para pemikir politik Barat klasik sebagai subyek yang terus-menerus berinteraksi dengan konteks politik, ekonomi dan sosial masyarakatnya, yang tertuang dalam pemikiran mereka. Oleh karena itu, selain membedah inti-inti gagasan para pemikir politik Barat klasik, Wood juga membahas latar belakang sosial mereka dan interaksinya dengan masyarakat dan kekuasaan pada masa itu – dari zaman Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan.

Thesis utama Wood cukup jelas dan gamblang, yaitu sejarah pemikiran politik Barat dari zaman Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan, didominasi oleh dua ketegangan: pertama, ketegangan antara kelas yang menguasai kepemilikan aset terutama tanah vis-à-vis demos – yaitu rakyat banyak yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap; dan kedua, bagaimana menjustifikasi kekuasaan negara yang absolutis plusketimpangan politik, ekonomi, sosial dan legal yang dilembagakanberdasarkan dalil ‘kesetaraan manusia’ menurut hukum alam (natural law).Ketegangan inilah yang menjadi pembahasan utama dalam buku Wood.

Dari Masa Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan

Wood membagi bukunya dalam empat bab pembahasan: bab pertama tentang pendekatan sejarah sosial dalam filsafat politik, bab kedua hingga keempat masing-masing membahas tentang sejarah pemikiran politik mulai dari masa Yunani Kuno, Imperium Romawi, hingga Abad Pertengahan menjelang modernitas. Di bagian kesimpulan, Wood kemudian memaparkan dan menegaskan kembali argumennya tentang ketegangan dalam pemikiran politik Barat klasik dan implikasinya terhadap pemikiran politik Barat modern dan kontemporer.

Di bab pertama, Wood memberikan justifikasi tentang pentingnya memahami filsafat politik Barat dalam perspektif sejarah sosial. Metode penulisan Wood sesungguhnya merupakan gebrakan dalam penulisan sejarah filsafat politik Barat. Di Amerika Serikat, misalnya, pendekatan keilmuan dalam kajian filsafat politik di berbagai departemen ilmu politik cenderung dipengaruhi oleh pendekatan Straussian ala Leo Strauss. Menurut Leo Strauss, mengkaji filsafat dan teori politik berarti sekedar mengkaji pemikiran para pemikir besar politik Barat dengan cara membaca kanon-kanon pemikiran politik terkemuka tanpa berusaha untuk mengaitkannya dengan konteks sosio-historis pemikiran tersebut, atas nama ‘objektivitas ilmu pengetahuan’ dan karenanya memperjuangkan ‘anti-historisisme’ atau menghindari pembahasan konteks sosio-historis dalam mengkaji pemikiran politik Barat. Akibatnya, ide-ide pemikiran politik dibahas hanya secara normatif, seakan-akan muncul dengan sendirinya, dan karenanya bisa terjebak dalam solipsismenya sendiri. Di dalam ranah ilmu politik yang lebih ‘empirisis,’ pendekatan Straussian ini juga semakin melanggengkan hegemoni positivisme dalam ilmu politik, atas nama sains yang ‘objektif’ dan ‘bebas nilai dan kepentingan’ – suatu fenomena, yang sayangnya, sangat dominan dalam diskursus ilmu politik kita di tanah air.

Wood mengritik keras pendekatan semacam ini. Menurutnya, ide-ide filsafat politik Barat bukanlah gagasan yang muncul dalam konteks yang vakum, melainkan selalu berinteraksi dengan kenyataan sosial disekelilingnya. Konteks sosial inilah yang juga mempengaruhi bangunan argumentasi para filsuf politik Barat. Wood juga mengritik pendekatan dominan sejarah pemikiran politik Barat, yang selain terlalu menekankan pada aspek ide semata, juga cenderung abai terhadap berbagai proses sosial dan upaya berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang termarginalkan, seperti petani, perempuan, dan rakyat kebanyakan lainnya, dan karenanya, justru menjadi ahistoris. Selain memberikan konteks historis dari pemikiran politik Barat, pendekatan Wood juga bertujuan untuk menuliskan ‘history from below’ atau ‘sejarah dari bawah,’ yaitu sejarah filsafat politik dari kacamata rakyat biasa, terutama kaum petani penggarap.

Di dalam konteks inilah, Wood membuat gebrakan dan kritik tajam atas penulisan sejarah filsafat politik Barat, yang sekali lagi, cenderung menulis sejarah pemikiran politik dalam konteks yang vakum, ahistoris, atas nama ‘anti-historis.’

Berdasarkan perspektif inilah, Wood kemudian menganalisis secara cermat bagaimana ketegangan-ketegangan tersebut sudah ada dari masa awal perkembangan polis atau negara-kota di zaman Yunani Kuno dan masa awal perkembangan Imperium Romawi. Di masa Yunani Kuno, komunitas politik merupakan domain di luar negara, yang diwarnai bukan oleh interaksi antara penguasa dan rakyat jelata (rulers and subjects) tetapi merupakan hubungan yang setara antara warga negara (citizens). Namun demikian, pola relasi politik ini mengesampingkan pola relasi produksi antara para tuan tanah (appropriatorslandlords) dan para produsen yaitu warga negara, yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap (peasant-citizens). Pola relasi produksi antara tuan tanah dan petani penggarap inilah yang mewarnai ketegangan utama dalam pemikiran  politik Barat. Tiap-tiap era menanggapinya dengan reaksi yang berbeda. Yunani Kuno menanggapinya dengan institusi demokrasi yang memungkinkan tuan tanah dan rakyat petani berkonfrontasi secara beradab dalam ranah politik sebagai warga negara yang setara. Imperium Romawi menempuh jalan yang jauh berbeda: berdasarkan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam artian memberikan manusia hak sesuai kebijaksanaan dan kemampuannya, negara justru semakin memperkuat hierarkhi antara tuan tanah dan segenap penguasa lainnya (birokrat, pejabat negara dan militer) sebagai  kelas yang berkuasa versus para rakyat petani melalui status hukum yang didasarkan atas status kepemilikan properti. Abad Pertengahan kemudian menjadi saksi di mana gereja dan negara menjadi semakin tidak berkuasa di hadapan kelas yang menguasai kepemilikan pribadi yang semakin menggerogoti kedaulatan negara.

Di Bab kedua, Wood berfokus kepada para pemikir politik Yunani terkemuka pada zamannya, yaitu Sokrates, Plato, Aristoteles, dan kaum Sofis, terutama Protagoras. Wood memulai pembahasannya dari kemajuan demokrasi di polis-polis Yunani yang dipelopori oleh Solon, sang reformer demokrasi di Athena. Yang dimaksud dengan ‘demokrasi’ di sini bukanlah demokrasi elektoral semata seperti yang sering menjadi penyakit di masa modern sekarang, tapi merupakan arena kontestasi politik di mana warga-petani (peasant-citizen) bisa memperjuangkan hak-haknya dalam polis. Pengaruh aristokrasi dan para penyokong oligarki memang masih ada, tetapi itu semua diimbangi oleh kekuatan politik para warga-petani. Memang, demokrasi Athena tidaklah sempurna. Dalam hal kebijakan luar negeri misalnya, Athena menerapkan kebijakan luar negeri yang justru ekpansionis, seperti digambarkan oleh Thukidedes, sejarawan Yunani, dalam karyanya Sejarah Perang Peloponnesos (History of the Peloponnesian War). Tetapi, demokrasi Athena dalam banyak hal merupakan kemenangan sejarah bagi kaum petani dan warga biasa.

Sejarah pemikiran politik Yunani Kuno, yang dimotori oleh filsuf-filsuf seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles, sangat berkaitan dengan konteks ini. Pemikiran-pemikiran Sokrates, Plato dan Aristoteles dibangun berdasarkan interaksi dan refleksi mereka dengan kondisi sosial di sekitarnya. Yang menarik adalah, Wood lantas tidak berhenti di titik ini, melainkan bergerak lebih jauh lagi dengan menyodorkan sebuah argumen: Plato dan Aristoteles, yang memiliki latar belakang sebagai para pemikir yang dekat dengan kekuasaan dan golongan elit di Athena, sesungguhnya menawarkan pemikiran politik yang skeptis dengan kemampuan massa, yaitu petani dan warga biasa, untuk memerintah, jikalau tidak anti-demokrasi sama sekali. Terlepas dari berbagai perbedaan dari posisi filosofis para tiga filsuf tersebut, mereka semua mendasarkan filsafat politiknya dari argumen yang sama: bahwa terdapat perbedaan yanginheren dalam sifat dasar manusia (human nature), yang menjustifikasi perbedaan peranan dalam bentuk ketidaksetaraan (inequality) dalam kehidupan publik. Seorang budak atau petani, yang harus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan menggarap tanah, tidak memiliki kemampuan untuk memikirkan persoalan publik dibandingkan dengan seorang aristokrat terdidik yang memiliki kemampuan dan waktu luang untuk memikirkan politik, dan karenanya, penegasan hierarkhi antara penguasa dan yang diperintah menjadi lebih baik untuk keduanya.

Yang menarik, para pembela demokrasi Athena dan kemampuan kelas petani dan produsen lainnya dalam memerintah dirinya sendiri justru adalah kaum Sofis, terutama Protagoras. Berbeda dengan para filsuf Yunani yang menekankan pada aspek hierarkhi alamiah (order), Protagoras justru berargumen tentang kesetaraan alamiah (equality) yang juga tercermin dalam praktek politik dan kehidupan publik, dalam bentuk demokrasi. Berdasarkan kesetaraan inilah, maka demokrasi Athena perlu menjadi instumen politik bagi kaum tani dan rakyat jelata dalam memperjuangkan haknya melawan dominasi para aristokrat dan oligark.

Di bab ketiga, Wood menjelaskan transisi dari kemunduran polis-polis Yunani ke kejayaan Imperium Romawi. Perubahan besar-besaran ini juga mempengaruhi corak filsafat politik yang berkembang di masa Romawi. Tantangan terbesar bagi filsafat politik dan politik itu sendiri di masa imperium Romawi adalah bagaiamana menjustifikasi pemerintahan yang absolutis dan imperium yang ekspansionis berdasarkan konsep kesetaraan manusia dan kosmopolitanisme yang menjadi tradisi filsafat dan politik Yunani. Persoalan ini menjadi semakin kompleks dengan semakin menguatnya legislasi yang melindungi kepemilikan properti pribadi dan munculnya gereja sebagai kekuatan baru, baik di bidang pemikiran, politik, maupun properti atau ekonomi.

Perubahan ini bermula dari mundurnya komunitas polis, bergeser menjadi imperium yang kosmopolis, meliputi dan memerintah berbagai jenis suku bangsa dan golongan masyarakat, di bawah pimpinan raja sebagai hukum yang hidup atau the living law. Mulai dari masa ini, pemikiran Yunani yang menjadi tren dan mewarnai pemikiran politik di era Romawi adalah Stoikisme yang dipelopori oleh Zeno dari Citium. Filsafat Stoikisme melahirkan berbagai macam konsep, tetapi konsep yang paling mempengaruhi corak filsafat politik di masa Romawi adalah konsep kesatuan antara akal pikiran (mind) dan badan atau aspek-aspek badaniah dari manusia (body), yang disebut dengan istilah logos, yang juga sering diterjemahkan sebagai ‘nalar universal.’ Konsepsi ini jelas berbeda dengan dualisme antara badan dan pikiran yang dirumuskan oleh Plato, yang konsekuensinya adalah justifikasi untuk hierarkhi yang tegas antara penguasa dan yang diperintah. Sepintas, pemikiran politik Stoik akan menguatkan tradisi demokratis a la Athena, tapi pada perkembangannya, filsafat Stoik mengalami evolusi konsep yang kelak  dipakai untuk menjustifikasi kekuasaan yang absolut. Modifikasi atas Stoikisme dapat dilihat pada pemikiran Cicero, seorang negarawan Romawi kuno, dan Agustinus dari Hippo, seorang santo dan filsuf gereja di masa Romawi.

Cicero, yang menggunakan dalil Stoik tentang logos, pertama-tama bersentuhan dengan argumen kaum Stoik dari kacamata Plato. Dengan kata lain, Stoikisme Cicero sejatinya berbau Platonis, karena Cicero membaca Stoikisme melalui kritik tentangnya. Thesis utama dari pemikiran politik Cicero adalah pengakuan atas kemampuan akal budi manusia, kesetaraan dalam dimensi moral bagi seluruh manusia, penegakkan hukum dan perlindungan atas kepemilikan pribadi. Menariknya, berdasarkan atas prinsi-prinsip tersebut, Cicero melakukan pembelaan atas ketidaksetaraan dan hierarkhi sosial antara penguasa dan rakyat jelata, terutama kaum tani, yang dilembagakan melalui kedaulatan yang absolut dan sistem hukum, berdasarkan prinsip keadilan. Menurut Cicero, meskipun semua manusia setara dan memiliki kapasitas yang sama dalam menggunakan akal budinya dan memerintah, manusia juga memiliki potensi untuk mengabaikan akal budinya dan terjatuh dalam jurang kesalahan. Oleh karena itu, kekuasaan negara yang mutlak, jikalau tidak absolutis atau otoriter, dalam istilah yang lebih modern, diperlukan untuk menjaga manusia dari kecenderungannya untuk melakukan kesalahan. Kemudian, definisi keadilan Cicero berbeda dengan definisi keadilan ala masyarakat polis Yunani, yang menekankan pada kesetaraan kemampuan manusia, terlepas dari latar belakang sosial dan ekonominya, dalam merumuskan kebijakan publik dan memerintah. Keadilan, menurut Cicero, adalah memberikan manusia tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Tidaklah adil, bagi Cicero, untuk memberikan bobot yang sama dalam kebijakan pemerintahan bagi manusia yang memiliki kemampuan terbaik dan mereka yang memiliki kemampuan terburuk, karena negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh para warga negara yang terbaik – kaum aristokrat, tuan tanah, dan oligark.

Santo Agustinus dari Hippo, yang menjadi salah satu pemikir Gereja terkemuka di era naiknya agama Kristen di Imperium Romawi, juga memiliki pemikiran serupa, yang digunakan sebagai dalil bagi pihak Gereja untuk mendukung sekaligus mengambil keuntungan dari semakin besarnya kekuasaan negara dan semakin terpinggirnya peranan para warga-petani. Agustinus, yang terkenal dengan karya utamanya Kota Tuhan (The City of God), berada di tengah-tengah dilema antara otoritas Gereja dan negara. Agustinus ingin meyakinkan bahwa KeKristenan  bukanlah musuh para elit negara, dan sebalikya, Gereja tidak perlu takut dengan otoritas negara, sekalipun negara dipimpin oleh para elit yang sama sekali tidak Kristiani. Salah satu ide Agustinus untuk menjembatani ketegangan ini, sekaligus semakin menegaskan dukungannya untuk legitimasi negara yang mutlak, adalah doktrin tentang ‘dosa asal’ (original sin). Doktrin ini mengatakan,sekalipun manusia memiliki potensi untuk mengaktualisasikan potensi akal budinya untuk menjadi bijak, namun manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa dan menjauhi perintah Tuhan. Untuk itu, manusia, terutama umat Kristen, perlu mengikuti gereja sebagai otoritas spiritual demi menggapai kemenangan di bumi dan di hari akhir. Tetapi, institusi gereja memiliki keterbatasan dalam menegaskan kedaulatantemporal, kedaulatannya di bumi. Oleh karena itu, kedaulatan di bumi harus diserahkan kepada institusi negara, sekalipun negara tersebut sangat Pagan dan anti-Kristen, untuk menjaga manusia dari kecenderungannya untuk berdosa di bumi.

Perlu diingat bahwa baik pemikiran Cicero maupun Santo Agustinus merupakan reaksi atas munculnya tipe pemerintahan baru di masyarakat pada saat itu, yakni kekaisaran atau imperium yang bersifat ekspansif. Menariknya, pengalaman Imperium Romawi menunjukkan bahwa untuk semakin menguatkan otoritas dan jangkauan kekuasaannya, negara harus memperkuat rezim kepemilikan pribadi atas properti, terutama tanah, bagi para tuan tanah, pejabat publik, dan militer. Kedaulatan negara dan perluasan kekaisaran berkaitan erat dengan kekuatan para penguasa dan perlindungan atas rezim kepemilikan pribadi. Munculnya agama Kristen juga tidak terlepas dari konteks ini, yang akhirnya membuat Gereja harus mengambil suatu solusi yang bertujuan untuk melindungi penyebaran agama Kristen dan otoritas Gereja, yaitu mendukung rejim negara dan kepemilikan pribadi. Lagi-lagi, semua ini terjadi dengan mengorbankan hak-hak dan kontribusi produksi para warga, petani, dan budak.

Bab keempat menjelaskan tentang Abad Pertengahan dan transisi dari imperium Romawi ke feodalisme. Meskipun banyak sejarawan dan cendekiawan yang berfokus pada perubahan dan keterputusan sejarah antara era Romawi dan Abad Pertengahan, Wood justru menggarisbawahi kesinambungan (continuity) antara era Romawi dan Abad Pertengahan, terutama dari kacamata para petani yang semakin termarginalkan. Kesinambungan sejarah ini dapat terlihat pada hubungan yang makin pelik antara negara, Gereja dan kepemilikan pribadi dan batasan-batasan antara ruang sipil dan politik (civic and political spheres) versus ranah hukum (legality), yang menjadi fokus pembahasan para filsuf politik di masa itu, mulai dari Thomas Aquinas, John dari Paris, Marsilius dari Padua, William dari Ockham dan para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Rushd (Averroes). Tantangan utama pada masa Abad Pertengahan adalah menyusutnya kedaulatan mutlak negara di hadapan menguatnya rejim kepemilikan properti yang memberikan posisi tawar yang lebih besar kepada para tuan tanah, yang berujung kepada dilema antara otoritas untuk menjalankan pemerintahan versus kekuatan kepemilikan pribadi.

Terlepas dari berbagai perbedaan di tingkat varian pemikiran yang berkaitan dengan konteks di negara masing-masing, para filsuf politik Eropa di Abad Pertengahan yang menghadapi dilema antara negara atau akumulasi tanah dan kapital, memilih ‘jalan tengah’ dengan mendukungstatus quo, yaitu pembelaan atas kekuasaan negara sekaligus rejim kepemilikan pribadi. Aquinas, misalnya, melakukan pembelaan atas kekuasaan negara yang temporal atau sekuler dan kekuasaan spiritual Gereja yang berdasarkan konsep hukum alam (natural law). Konsep ini berbeda, misalnya, dengan konsep Ibn Rushd yang meniadakan dikotomi antara agama dan filsafat sebagai jalan menuju Kebenaran, yang berimplikasi pada struktur politik yang lebih fleksibel di dunia Islam dibandingkan Eropa di Abad Pertengahan pada saat itu. Marsilius dari Padua, juga membela usaha negara untuk mengembalikan kedaulatannya sekaligus menguatnya kekuasan para tuan tanah berdasarkan dalil bahwa negara dan kekuasaan tuan tanah merupakan representasi dari ‘perkumpulan warga’ (the corporation of citizens). Sedangkan William dari Ockham berpendapat bahwa otoritas negara, Gereja dan kepemilikan pribadi merupakan gambaran dari kehendak-kehendak individu bebas dan perkumpulan warga di dalam masyarakat.

Terakhir, dalam kesimpulannya, Wood kembali menegaskan argumennya tentang ketegangan utama dalam filsafat politik Barat menurut analisis sejarah sosialnya: kesenjangan antara kelas yang menguasai aset, terutama tanah dan kelas produsen, terutama petani penggarap, yang dilembagakan oleh negara, gereja, dan hukum, berdasarkan dalil filosofis tentang kesetaraan manusia. Paradoks inilah, menurut Wood, yang mewarnai pemikiran politik Barat pasca-Abad Pertengahan dan seterusnya, termasuk derivasi modernnya yaitu ide tentang ‘demokrasi’ yang ditautkan dengan pemerintahan yang terbatas dan kepemilikan pribadi (limited government and private property).

Ulasan Kritis

Karya Wood patut diapresiasi sebagai sebuah upaya untuk membaca sejarah pemikiran politik Barat secara baru, yaitu melalui pendekatan sejarah sosial dan analisa Marxis – suatu hal yang jarang dilakukan ketika mempelajari sejarah pemikiran Barat. Namun demikian, setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian sekaligus kritik untuk karya Wood.

Pertama, sebagaimana layaknya berbagai bentuk pemikiran, perlu ditegaskan bahwa filsafat politik dapat diinterpretasikan seluas-luasnya dalam berbagai cara. Dengan kata lain, dalam membaca karya Wood, kita tetap harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan mengenai corak pemikiran politik Barat dari masa Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan. Poin ini juga ditegaskan oleh Wood sendiri, yang menyebutkan bahwa analisis sejarah sosialnya tidak serta merta berpendapat bahwa seluruh bangunan pemikiran para filsuf politik Barat yang dikupas dalam buku Wood secara inheren anti-demokratik. Yang ditekankan oleh Wood adalah, ada elemen-elemen dari pemikiran Plato hingga Aquinas yang memang anti-demokratik, yang juga merupakan produk dari konteks sosial dan sejarah pada masa itu. Sebagai sebuah pemikiran, tentu saja pemikiran para filsuf Klasik tetap terbuka terhadap berbagai penafsiran. Yang ditekankan di sini adalah aspek keberkaitan antara pemikiran dan konteks sejarah sosialnya.

Kedua, Wood sudah mengerjakan tugasnya dengan baik dengan menyebutkan pengaruh masyarakat non-Barat atau yang liyan (the other) dalam pemikiran politik Barat, seperti pengaruh Ibn Rushd terhadap pemikiran Thomas Aquinas dalam mengkaji teks-teks politik Aristotelian.[1]

Namun, porsi yang diberikan dalam pembahasan Wood masih terbatas dan dapat dibilang kurang ekstensif. Tentu saja ini dapat dimaklumi karena memang fokus pembahasan Wood adalah sejarah pemikiran politik Barat. Namun, alangkah baiknya apabila porsi pembahasan tentang pengaruh pemikiran non-Barat terhadap filsafat politik Barat dapat ditambah – satu hal yang mungkin menjadi tugas kita di kalangan penggiat kajian dan gerakan Kiri untuk membahas persoalan serupa dalam konteks masyarakat kita.

Kesimpulan

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa buku Wood merupakan terobosan baik dalam hal kajian pemikiran politik, sejarah sosial, dan analisa Marxis dalam ilmu-ilmu sosial. Tidak banyak ilmuwan politik maupun sejarawan yang berupaya melakukan analisis yang sifatnya sintesis dan eklektik dari berbagai disiplin ilmu. Dalam hal ini, karya Wood patut diapresiasi.

Dalam hal kajian keilmuan dan pengembangan gerakan, buku ini juga menjadi pengingat bagi para pengkaji dan penggerak gagasan Kiri maupun ilmu sosial dan humaniora pada umumnya, untuk kembali mempelajari ‘kitab-kitab’ atau kanon klasik pemikiran politik Barat secara serius, tanpa terjebak oleh label ‘kuno’ atau ‘sudah tidak relevan.’ Kita perlu membangkitkan budaya belajar teks-teks pemikiran politik secara serius, terutama sekali untuk mengerti situasi hari ini secara lebih komprehensif. Dan buku Wood adalah sebuah bacaan pengantar yang sangat berguna.

 

 

Penulis beredar di Twitterland dengan id@libloc

 

Bacaan Tambahan

Lefebvre, G. (1947). The Coming of the French Revolution. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Macpherson, C. B. (1962).The Political Theory of Possesive Individualism.Oxford: Oxford

University Press.

Needham, J. (1954). Science and Civilisation in China. Cambridge: Cambridge University Press.

Skinner, Q. (1978). The Foundations of Modern Political Thought.Cambridge: Cambridge University Press.

Wilson, S. (1962). Politics and Vision: Continuity and Innovation in Western Political

            Thought. Princeton, NJ: Princeton University Press.

 

 


[1] Salah satu contoh karya yang paling ekstensif mengulas tentang pengaruh pemikiran peradaban non-Barat terhadap peradaban Barat adalah Science and Civilisation in China karya Joseph Needham, sejarawan asal Inggris, yang terbit dalam 27 buku, selama 1954-2008, tentang sains dan teknologi di peradaban China.