Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

APA tugas dan peranan kaum pekerja “non-tradisional” – aktivis, organizer, intelektual, peneliti, dan bermacam rupa kelas menengah yang bersolidaritas – dalam kehidupan dan upaya-upaya kolektif rakyat pekerja? Bisa dikatakan ini merupakan salah satu pertanyaan utama bagi gerakan progresif di seluruh dunia. Pertanyaan ini penting karena jawaban atasnya memiliki implikasi penting bagi dinamika internal dan trajektori dari gerakan progresif – terutama dalam hal hubungan antara rakyat pekerja, unsur-unsur pimpinan dalam gerakan, dan sekutunya – yang seringkali berlatar belakang bukan dari proletariat tradisional?

Ini adalah pertanyaan yang menghantui banyak middle-class allies dalam gerakan progresif, termasuk saya. Dalam tataran yang lebih praktis, pertanyaan tersebut dapat diparafrasekan seperti ini: bagaimana kaum pekerja non-tradisional dapat terlibat, bergumul, dan akhirnya mengerti realita sosialnya rakyat pekerja?

Pelan-pelan saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut di sela-sela penelitian disertasi saya. Dari amatan dan keterlibatan saya dalam kehidupan rakyat desa selama berbulan-bulan di Banten dan Sulawesi Selatan, saya mencoba untuk memahami dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh rakyat desa sehari-hari dan memikirkan ulang mengenai hubungan saya sebagai, katakanlah, peneliti kelas menengah yang simpatik dengan mereka. Saya menganggap, apa saya lakukan merupakan fardu kifayah – kewajiban bagi sebagian orang, terutama bagi yang berpengetahuan dan sadar atas pentingnya tugas tersebut.

Untungnya, saya tidak sendirian. Dalam antropologi, tradisi penelitian etnografis yang mengandalkan teknik pengamatan partisipatif (participant observation), yang mengharuskan seorang peneliti untuk tinggal di suatu komunitas dan going native merupakan fondasi dalam bidang keilmuan tersebut. Di gerakan Kiri, ada sejumlah teladan yang coba mengamalkan prinsip ini. Pertama tentu saja ada Frederick Engels, yang melakukan sebuah amatan antropologis dalam salah satu karya klasiknya, The Condition of the Working Class in England.Saya bayangkan Engels muda, yang pada waktu itu masih berusia 24 tahun dan bekerja di salah satu cabang perusahaan kapas milik ayahnya di Manchester, dengan ditemani Mary Burns berjalan-jalan di kampung-kampung kota yang kumuh di mana kaum buruh tinggal,mengobrol dan mencoba menjalin hubungan yang akrab dengan para buruh dan aktivis revolusioner di masanya. Saya bayangkan ada pertemuan antara letupan semangat masa muda, pemahaman yang mulai terbentuk mengenai sebuah dunia yang lebih baik, dan kemampuan untuk menerapkan prinsip dan metode ilmiah dalam melakukan suatu investigasi.

Dalam gerakan Kiri, prinsip ini kemudian dicoba diterapkan sebagai upaya untuk membangun tradisi ilmiah dan mempercepat pembangunan organisasi. Di Indonesia, PKI dan BTI mencoba melakukan riset-riset etnografis revolusioner untuk menjawab persoalan-persoalan agraria berdasarkan prinsip “tiga sama, empat jangan, empat harus” – sama kerja, sama makan, dan sama tidur; jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat setempat, dan belajar dari kaum tani. Ini dilakukan sebelum reflexive ethnography, participatory action research, dan segala jargon serta metode penelitian-penelitian yang menonjolkan aspek keterlibatan peneliti menjadi nge-tren – dan terkadang dipelintir untuk melancarkan pelaksanaan agenda-agenda developmentalis di pedesaan. Di Vietnam, prinsip ini juga dikenal dengan nama “tiga bersama” (three togethers), yang menjadi strategi inti dalam pembangunan partai, mobilisasi massa, dan kampanye reformasi pertanahan di sana.

Bagi para ‘sekutu kelas menengah’ rakyat pekerja, ini berarti kemauan untuk melakukan proses amatan-penelitian-keterlibatan yang menyeluruh dan terintegrasi dengan kehidupan sosial rakyat pekerja dan keharusan untuk memiliki kemampuan mencatat yang tekun dan rapih, yang prosesnya haruslah transparan dan sebisa mungkin melibatkan guru kita – rakyat pekerja – dalam pelaksanannya. Ini bisa dimulai dengan melakukan self-criticism yang cukup keras terhadap diri kita.

Saya misalnya, musti mengakui dengan jujur bahwa ada sejumlah bias dan keterbatasan saya sebagai seorang warga kelas menengah kota laki-laki dan heteroseksual yang beragama dan berlatarbelakang etnis mayoritas. Saya tidak bisa mencangkul dan melakukan kerja-kerja produksi di bidang pertanian misalnya. Atau memahami sejumlah kebingungan dan permasalahan yang dihadapi oleh ibu-ibu desa ketika mendadak anaknya demam setelah diberikan vaksinasi, mengurus administrasi dan biaya pengobatan di rumah sakit, atau menjelang kelahiran. Namun ini bukan berarti menjadi alasan bagi saya untuk kemudian tidak mencoba membangun hubungan profesional yang intens dan pertemanan yang tulus dengan rakyat desa.

Konsekuensinya, berarti adalah kewajiban bagi saya untuk sebisa mungkin terlibat, melakukan amatan yang dekat, dan menuliskan pengalaman dan narasi dari para warga desa. Konkretnya, ini berarti kemauan untuk menyapa dan berbincang-bincang dengan para tetangga, membantu tetangga memperbaiki pagarnya yang rusak, mencoba berkebun, menghadiri kawinan, pengajian, tahlilan, dan segala rupa hajatan, bertamu dan berbincang-bincang dengan penghulu, guru ngaji, petani, tukang jahit, dan sopir, nongkrong dengan pak RT dan pak RW dan memperhatikan apa saja persoalan-persoalan di lingkungan sekitar yang mendesak, mendengarkan cerita dan keluhan dari kawan-kawan buruh muda mengenai kondisi kerja di pabrik, dan lain sebagainya. Juga kemauan untuk memahami sense of humoryang luar biasa dari para warga desa dalam menertawakan himpitan hidup yang dialami mereka setiap harinya dan sinisme terhadap mereka yang berkuasa (termasuk misalnya gosip dan kritik-kritik halus ibu-ibu desa terhadap suami-suami mereka). Dan tentu saja, di daerah-daerah di mana konflik agraria terjadi, kemauan untuk mendengarkan dan mencatat cerita tentang perampasan, perlawanan, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh rakyat desa menghadapi penindasan, mulai dari menceramahi polisi, demonstrasi, hingga upaya-upaya pendudukan lahan.

Sebisa mungkin, proses ini haruslah transparan, partisipatif, dan dialektis. Ini berarti seorangmiddle-class ally – katakanlah dalam hal ini seorang intelektual radikal – harus terbuka dan jujur dengan niat-niat dan tujuan-tujuan dari upaya penelitian yang dilakukannya. Ia juga harus memikirkan bagaimana baik di ranah teoretik maupun yang lebih berorientasi praxis hasil penelitiannya dapat berguna bagi pembangunan gerakan rakyat. Sebisa mungkin, seorang intelektual radikal harus mengkomunikasikan dan membagi hasil amatan dan analisanya kepada para narasumbernya – misalnya para aktivis lain dan rakyat pekerja yang berkomunikasi dengannya. Bahkan, jikalau diperlukan, seorang intelektual radikal bisa meminta bantuan narasumbernya untuk turut serta dalam proses penelitannya melalui hal-hal yang simpel seperti meminta narasumber untuk menuliskan pengalaman hidupnya secara singkat, mengecek catatan penelitian mengenai suatu kegiatan, atau meminta warga untuk mengambil foto dan video dan kemudian menceritakan mengapa dia mengambil satu momen atau peristiwa tertentu.

Dalam konteks interaksi yang lebih akrab, tidak tertutup kemungkinan seorang intelektual radikal mengajak narasumber utamanya untuk bersama-sama menuliskan sejarah kehidupan narasumber tersebut.

Perlu diingat bahwa dalam keseluruhan proses ini bukan berarti kita lantas terjebak dalam suatu bentuk perspektivisme dan solipsisme ekstrim dan mengabaikan abstraksi untuk memahami kondisi keseluruhan, totalitas dari sepotong realitas sosial yang coba kita amati. Seorang intelektual radikal tidak boleh terjebak pada fetisisme ‘keterlibatan’ maupun bayangan empirisisme. Seorang intelektual radikal tidak boleh lupa mencatat dan tidak mencoba melakukan abstraksi dari realitas-realitas empiris yang berada di hadapannya. Adalah tugas utama dari seorang intelektual radikal untuk melakukan investigasi dan abstraksi yang sistematis, jujur, dan ilmiah dari realita yang coba dipahaminya. Karenanya, komunikasi yang terbuka dengan rekan penggerak dan rakyat pekerja yang menjadi narasumber, untuk mencoba bersama-sama melakukan abstraksi dari berbagai macam dinamika dan proses yang dialami oleh para narasumber selama ini, menjadi sangat penting.

Dari sinilah, kemudian kita semua bisa belajar untuk bersolidaritas satu sama lain. Hampir absennya suara-suara yang berlandaskan pada akal sehat dan solidaritas terhadap apa yang terjadi kepada kawan-kawan Papua misalnya, sedikit banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di sana – mengenai ekspropriasi sumber daya alam dan represi yang dimungkinkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang semakin kolonialis dan apartheid. Tugas intelektual radikal dewasa ini adalah membangun basis pengetahuan yang valid untuk bersolidaritas. Karena hanya dengan itulah suatu visi politik emansipatoris – bahwa terlepas dari warna kulit, latar belakang etnisitas atawa kebangsaan, dan segala bentuk identifikasi sektarian dan primordialis lainnya – kita semua merupakan korban dari penindasan kelas.

Kuncinya satu: belajar, dan percaya kepada massa.

Percaya kepada massa.*** 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitlan dengan id @libloc

Cementing dissent in Indonesia

Cementing dissent in Indonesia

May 2, 2016

Iqra Anugrah examines a dramatic demonstration in Jakarta that saw peasant women concrete their own feet for 36 hours to save their farms and local environment from a cement factory.

The accelerating rate of land and resource dispossession in post-authoritarian Indonesia has led to a number of confrontations between state and corporate authorities on one side and peasant communities on the other.

Many of these conflicts, though garnering much attention from sympathetic activists, remain localised. However, there are moments when peasants and their activist allies decide to scale up their direct action.

This can be seen in the recent protest of nine female peasants – famously known as the Kartinis – from Rembang regency in Central Java. After travelling over 500 kilometres to protest in front of the State Palace in Jakarta, they decided to cement their feet in opposition of the ongoing construction of a cement factory by the state-owned PT Semen Indonesia in their hometown.

The purpose was to halt the construction of the cement plant and have a dialogue with President Jokowi. It is a part of their longer-term strategy, stretching back to the early days of the plant’s construction in June, 2014. Approximately 680 days have passed since then.

According to Joko Prianto aka Prin, one of the protest coordinators, for almost two years protesting citizens have faced all sorts of threats and persecution from authorities, including being threatened by police and military officers as well as hired thugs. This time, they decided to voice their grievances directly in front of the State Palace because they felt that the government did not pay enough attention to their cause — in fact, the protest site is very near to the famous Kamisan human rights weekly demonstration held every Thursday.

The latest act was not their first demonstration in Jakarta. Last year, the citizens also staged a protest in front of the palace by making noise using alu and lesung – the traditional rice grinder and its mortar.

I had the privilege to observe and participate in the second day of this historic protest on Wednesday, 13 April. This session lasted until 5.50 pm, when the protesters decided to break the cement blocks off their feet.

Organisations whose representatives and activists were present included the Jakarta Legal Aid Foundation (LBH Jakarta), the Alliance of Indigenous People of the Archipelago (AMAN), the Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS), Migrant Care, the Indonesian Labour Union of Transportation-Struggle (SBTPI), the Confederation of All-Indonesia Workers’ Unions (KSPI), IndoPROGRESS, Perempuan Mahardhika, Jaringan Gusdurian, Politik Rakyat, and the National Student League for Democracy (LMND), among others.

Representatives from the National Human Rights Commissions (Komnas HAM) and the National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan) were also present. Despite their different emphases, these speakers essentially underlined similar points: the importance of peasant livelihoods, the rights of local communities as citizens, and environmental sustainability.

Two national MPs, Irma Chaniago from NasDem and Siti Mukaromah from the moderate Islamic PKB, were also present at the protest site and expressed their support for the protesters. On the first day of the protest, two high-ranking state officials, the President’s Executive Office Chief of Staff Teten Masduki and the Minister of State Secretary Pratikno also paid a visit to the protesters. Activists took this gesture with a grain of salt. Some even greeted it with suspicion. Considering the government’s continuing lack of attention to agrarian issues, such a critical stance is understandable.

But nothing is more powerful than the message from the protesters themselves, who reminded the establishment about the destruction that the cement plant will bring to their livelihood and the environment.

It is important to note however that despite all the excitement, the protesting crowd remained relatively small. Many of the sympathetic activists and middle-class allies, who knew about the protest from word of mouth and social media, know each other. Perhaps this is indicative of the lack of public awareness of the severity of agrarian problems in contemporary Indonesia.

This lack of public awareness notwithstanding, the acuteness of agrarian conflicts in post-authoritarian Indonesia has increased in the last seven years.According to the Consortium for Agrarian Reform’s (KPA) 2014 year-end report, during the second term of the Yudhoyono Presidency (2009-2014) agrarian conflicts involving peasant communities and state and corporate authorities had increased more than five times, from 89 cases in 2009 to 472 cases in 2014. These conflicts spanned across an area of more than 2.8 million hectares in 2014.

KPA also reports that throughout 2015, the first year of Jokowi’s presidency, there were at least 250 cases of agrarian conflicts in an area of 400,000 hectares. A series of working papers from another agrarian studies think-tank, Sajogyo Institute, also records different forms of multi-layered dispossession in numerous rural communities throughout Indonesia. This does not mean that success stories of peasant struggle are entirely absent. However, success stories remain few in number, and small and local in scale.

Given this bleak situation, the only logical collective response from Indonesian agrarian and peasant movements seems to be to build lower-class social movements and multi-sectoral alliances with other marginalised social forces. With the fragmentation and patronage that characterises Indonesian civil society, efforts to build such a movement are a Herculean task. But it is not totally impossible.

The courageous and exemplary action of the female peasants of Kendeng Mountains – the Kartinis – are an important step to revitalise peasants’ struggle for livelihood. While their small act of protest does not necessarily change the current situation, it at least keeps the struggle alive.

Iqra Anugrah is a PhD candidate in Political Science and Southeast Asian Studies at Northern Illinois University. He writes his dissertation on the politics of elite-peasant relations in post-authoritarian Indonesia. He is also an editor for IndoPROGRESS, an online journal connecting progressive scholars and activists in Indonesia.

A challenge from below? Social movements against oligarchy

A challenge from below? Social movements against oligarchy

February 18, 2016

The idea that post-Soeharto Indonesia is an oligarchic democracy is now a well-established thesis. Scholars such as Jeffrey Winters(link is external), Richard Robison and Vedi Hadiz(link is external) argue that, despite the reforms of the past 18 years, super-wealthy elites and their cronies have maintained political and economic dominance, and Indonesian democracy has suffered as a result. Rising inequality, a new wave of land grabs, urban evictions, and repressive policies cracking down on protests are cited as just a few of many indications of the continuation of oligarchic rule in democratic Indonesia.

Other scholars have criticised or added nuance to this thesis(link is external), suggesting that this now dominant understanding of democratic change in Indonesia does not pay sufficient attention to popular agency. Ed Aspinall, for example, has detailed the ways in which the lower classes have had significant policy influence in post-Soeharto Indonesia(link is external).

Another emerging “attempt from below” to challenge the dominance of oligarchs is the Confederation of Indonesian People’s Movements (KPRI(link is external)), an alliance of social movements and unions across different sectors, representing workers, peasants, fishermen, indigenous peoples, and women. Several leading social movements have participated in the KPRI(link is external), including the Association of Indonesian Women’s Unions (Hapsari), the Federation of Indonesian Fishermen’s Unions (FSNN), the Indonesian Workers Union (KBI), the Union of Indonesian Peasants Movements (P3I), the Indigenous Peoples Movement (Gema) and the Federation of Indonesian Workers and Labourers Union (FSPBI).

KPRI started out as a nongovernmental organisation called Pergerakan (Movement), or the People-Centred Advocacy Organisation for Social Justice. At its third national congress in Bandung in 2011(link is external), Pergerakan made the decision to transform into KPRI, and it is now making preparations to participate in elections as a political party.

While gaining public office will be a herculean task, it is not impossible. One of the reasons that popular agency is often overlooked by oligarchy theorists is the fragmented nature of working-class movements(link is external). The experience of KPRI so far – despite its many challenges – is an example of effective movement building. KPRI has been able to establish and maintain a multi-sectoral, cross-class alliance of various social movements. This in itself is a tremendous achievement, considering that different social forces often have conflicting policy preferences, and that can inhibit the formation of a broad and inclusive movement. Urban workers, for example, might support cheap price policies for basic foods, while the rural peasants who produce these agricultural commodities might argue for the opposite (despite evidence suggesting that rural producers are often net consumers of basic commodities like rice(link is external)).

In order to overcome these common collective action problems, social movements must focus not just on building and maintaining their organisation but also on tackling the pressing political and economic problems of the day. Yes, fiery political speeches are needed, but concrete policy proposals are needed even more. KPRI leaders recognise this. The confederation has attempted to devise an alternative policy framework with a clear anti-neoliberal, leftist orientation on major policy issues.

I saw these efforts in action at three KPRI conferences over the past five months. At regional conferences in Banten and Jakarta, for example, discussions were held on a number of specific national and local political issues. These discussions aimed to help the confederation formulate a cohesive national strategy, as well as detailed local strategies tailored to local conditions and concerns.

At the fourth national congress in Jakarta(link is external) last month, these national policies were beginning to take shape. One of the topics discussed in considerable detail was the notion of transformative social protection.(link is external) KPRI believes that the government has transferred its responsibility for providing national health insurance to the market, in the form of the Social Security Agency (BPJS). Transformative social protection argues for the de-commodification of social protection policy to make it more inclusive, extending coverage to as many marginalised groups as possible, including workers in the informal sector, such as rural peasants, fishermen, indigenous peoples, and the urban poor. The government does, in fact, alreadysubsidise premiums for 86.4 million Indonesians(link is external), including people working in the informal sector, and plans to expand subsidies to cover 92.4 million Indonesians in 2016. But KPRI argues social protection does not go far enough, and must be extended to cover public transportation, cheap housing and reproductive health care.

Further articulating strategies such as these will be important as KPRI prepares to contest the Jakarta gubernatorial election in 2017 and the national presidential and legislative elections in 2019. While KPRI has slim odds of actually securing office for any of its members, actively participating in these elections will expose the KPRI and its constituent organisations to a qualitatively different political experience. This, in turn, will better prepare them for the challenges and responsibilities that come with participating in politics long term.

Needless to say, the spectre of political failure still haunts(link is external). At least as far back as 2009 there were attempts by the left to enter politics, such as through the failed National Liberation Party of Unity (Papernas). Other labour activists have joined or made political contracts with existing political parties. Failure to develop a broad base of support and the high financial costs of running for office have played a role in previous unsuccessful attempts. KPRI believes it has reason to be optimistic, however, because of its organic efforts to unify diverse social movements with solid bases. Further, it also maintains an inclusive leftist platform, aiming to avoid the sectarianism that pervades leftist organisations.

Early attempts by the left to move into politics were highly contentious among activists. It remains to be seen how the Indonesian activist landscape will respond to KPRI’s foray into politics. Another question that KPRI needs to address is its relationship with other movements and unions outside the confederation. While KPRI has so far been able to maintain internal solidity, the social forces represented in the confederation are actually quite fragmented in terms of their representation. There are multiple national confederations and federations of labour unions and peasant movements, for example. This will be a major challenge for KPRI as it seeks to form tactical alliances and mobilise its rank-and-file members in facing elections.

Collective action of the lower classes can pose a serious challenge to the continuing political and economic dominance of oligarchs in post-authoritarian Indonesia. Will KPRI constitute such a challenge? Its attempt to unify Indonesia’s fragmented social movements suggests it just might.

Refleksi atas Dua Muktamar

Refleksi atas Dua Muktamar

BULAN ini merupakan bulan yang penting bagi banyak umat Islam Indonesia. Apa pasal? Karena di bulan ini, dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar se-Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, menggelar muktamar regulernya. Sebagai dua ormas dengan puluhan juta anggota di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tentu saja hasil muktamar dan perkembangan dari dua ormas Islam tersebut akan berpengaruh, bukan hanya bagi para anggota mereka tetapi juga bagi umat Islam dan bangsa Indonesia kedepannya.

Oleh karena itulah, refleksi mengenai kiprah dua ormas tersebut menjadi penting. Kita bisa saja membahas panjang lebar mengenai siapa yang akan menjadi calon pimpinan masing-masing ormas dan politik di sekitar isu tersebut. Tetapi diskusi semacam itu, meskipun penting, bisa jadi hanya bersifat superfisial, terlampau fokus kepada hal-hal yang nampak di permukaan. Saya pikir, adalah lebih penting untuk menjadikan momen muktamar ini sebagai momen refleksi mengenai kiprah kedua ormas sejauh ini dan trajektorinya ke depan untuk sebuah alasan: karena Muhammadiyah dan NU bukan hanya sekedar ormas, melainkangerakan sosial berbasis Islam, yang pengaruhnya memiliki implikasi penting bagi perkembangan politik progresif di Indonesia.

Terlepas dari perdebatan mengenai penggunaan istilah ‘Islam Nusantara’ dan ‘Islam Berkemajuan’, kita tahu bahwa sejarah kedua ormas Islam tersebut di Indonesia sangat panjang – Muhammadiyah didirikan di tahun 1912, sedangkan NU didirikan di tahun 1926. Keduanya berkembang dengan pesat karena keberhasilannya memadukan Islam dengan konteks lokal serta modernitas, sejumlah persoalan yang penting bagi sebuah negeri Dunia Ketiga yang pada waktu itu masih dalam proses pembentukan dan berada di tengah-tengah pergolakan zaman yang begitu pesat. Sebagaimana banyak gerakan sosial lainnya, kedua ormas tersebut, yang bermula sebagai organisasi sosial keagamaan, mau tidak mau juga berurusan dengan banyak hal di luar ranah yang sepenuhnya ‘sosial’ maupun ‘keagamaan’, seperti ranah politik misalnya. Sebagai contoh, kita tahu bahwa di tahun-tahun bergolak dari 1945 hingga 1965, kedua ormas tersebut terlibat aktif dalam kancah politik nasional – NU bahkan sempat menjadi partai politik. Begitupun di masa Orde Baru. Keterlibatan kedua ormas tersebut, meskipun seringkali tidak langsung, dalam politik juga berlanjut hingga sekarang.

Di titik ini, kita perlu melakukan sedikit abstraksi teoretik dengan mengajukan satu pertanyaan: seperti apa hubungan antara dua ormas sosial-keagamaan tersebut dengan dunia politik dan apa implikasi politik dari hubungan atau keterlibatan tersebut? Dalam hal ini, menurut hemat saya, kita perlu melihat kiprah NU dan Muhammadiyah dalam konteks struktural-historis­-nya. Tulisan pengkaji politik Asia Tenggara terkemuka Dan Slater (2009; 2010), bisa menjadi satu referensi yang menarik. Dalam artikel jurnal yang kemudian dikembangkan menjadi buku, Slater menggarisbawahi peranan elit keagamaan dalam mendorong cross-class alliance atau aliansi lintas kelas (antara kelas bawah dan faksi dari kelas menengah) yang dapat mempengaruhi trajektori rezim politik di negara-negara Asia Tenggara. Dalam konteks Indonesia, kita mengenal distingsi antara regimist Islam dan civil Islam yang diperkenalkan oleh Robert Hefner (2000) untuk memetakan konstelasi politik antara berbagai kelompok Islam dan hubungan mereka vis-à-vis negara Orde Baru pada saat itu. Fenomena ini juga dapat ditemui di sejumlah kawasan lain: aktivisme Katolik dan partai Kristen-Demokrat di Eropa Barat dan berbagai tendensi gerakan Kristen di Amerika Latin, termasuk Teologi Pembebasan, misalnya, juga memiliki kecenderungan untuk melakukan aliansi lintas kelas dengan berbagai tendensinya.

Strategi seperti ini, baik secara sadar maupun tidak, juga ditempuh oleh NU dan Muhammadiyah dalam kiprah mereka selama ini. Meskipun ‘basis kelas’ dua ormas ini – kelas menengah dan borjuis kecil perkotaan untuk Muhammadiyah dan masyarakat desa serta alim ulama pemilik tanah untuk Nahdlatul Ulama – tidak serta merta bersifat lintas kelas, setidaknya di masa awal kedua ormas tersebut, pada perkembangannya, kedua ormas tersebut memiliki kecenderungan politik lintas kelas, yang kemudian juga diperluas melalui berbagai aliansi progresif multi-sektoral dengan berbagai elemen masyarakat lain, seperti kaum minoritas keagamaan, yang puncak manifestasi ketokohannya adalah figur-figur seperti Gus Dur dan Buya Ma’arif dan idenya tersebar dan digaungkan oleh berbagai kader dan aktivis NU dan Muhammadiyah di berbagai lini.

Potensi progresivitas inilah yang menjelaskan mengapa kiprah kedua ormas tersebut menjadi penting bagi kemajuan politik progresif di Indonesia. Pertama-tama, kedua ormas tersebut berperan besar dalam mempromosikan diskursus-diskursus Islam yang progresif, yaitu modernisme dan tradisionalisme Islam (bahasa kerennya) atau Islam Nusantara yang Berkemajuan (bahasa kekiniannya), secara berkesinambungan. Kedua, kedua ormas tersebut juga berperan besar dalam menyediakan ‘infrastruktur keorganisasian’ yang memungkinkan penyebaran dan penerapan dari gagasan-gagasan tersebut. Terakhir, namun tidak kalah penting, kedua ormas tersebut memiliki pengaruh dan otoritas besar bagi umat Islam di Indonesia.

Ini bukan berarti tidak ada masalah. Dalam perkembangannya, kedua ormas tersebut kerap kali menghadapi tantangan terhadap tendensi progresivitasnya, baik dari dalam maupun luar. Konjungtur politik eksternal misalnya, mempengaruhi perkembangan kedua gerakan sosial Islam tersebut dan hubungannya dengan rezim yang berkuasa, sebagaimana dapat kita lihat dalam benturan antara beberapa elemen NU dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam katastrofi 1965 di tengah-tengah ofensif nekolim. Dari dalam, tendensi progresif tersebut juga berbenturan dengan tendensi konservatif yang eksis di dalam kedua ormas tersebut. Bahkan apa yang disebut sebagai tendensi progresif itu sendiri bukanlah suatu entitas yang tunggal dan monolitik. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Fayyadl dalam esainya dan juga oleh sejumlah penulis lain[1], sesungguhnya ada ketegangan dan kontradiksi yang inheren antara tendensi liberal dan tendensi progresif dalam gerakan sosial Islam di Indonesia, termasuk tentu saja dalam tubuh NU dan Muhammadiyah. Poin Fayyadl tentang isu-isu kelas sebagai ‘test case bagi klaim “progresif” liberalisme Islam’ saya pikir tepat sasaran di sini: sejauh manakah berbagai varian dan kelompok yang mewakili tendensi progresif dalam tubuh NU dan Muhammadiyah berani mengambil konsekuensi logis dari posisi teoretiko-intelektual, politiko-etis, dan religius-moral yang radikal, liberatif, emansipatoris, dan pro-transformasi sosial? Jawaban bagi pertanyaan ini, dugaan saya, akan menentukan arah dan wajah kedua ormas Islam kita kedepannya.

Di ranah high politics, politik intra-elit, pertanyaan dan isu-isu tersebut di atas tidak kalah pentingnya. Sekali lagi, kita bisa saja meributkan siapa yang akan menjadi dewan formatur dan ketua umum di masing-masing ormas, tetapi isu yang lebih penting lagi sesungguhnya adalah apa arti muktamar kali ini bagi para muktamirin, kader, aktivis, dan ‘anggota’ kultural NU dan Muhammadiyah, serta umat Islam dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan? Secara lebih eksplisit, kita perlu mengajukan pertanyaan berikut: apa tawaran yang dapat diberikan oleh NU dan Muhammadiyah bagi isu-isu yang paling genting bagi lapisan-lapisan masyarakat yang paling tertindas dan termarginalkan, seperti ekspansi neoliberalisme, perampasan tanah, kekerasan negara dan korporasi, serta fundamentalisme dan vigilantisme keagamaan, yang mayoritas juga adalah Muslim? Ini merupakan pertanyaan yang perlu segera dijawab dan ditanggapi oleh lapis kepemimpinan kedua ormas tersebut. Ini juga merupakan sebuah panggilan untuk beranjak dari politik patronase yang rawan muncul di momen-momen ‘politis’ seperti muktamar.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terkesan problematis apabila diajukan oleh ‘orang luar’ kedua ormas tersebut, atau dalam kasus saya, ‘orang yang tidak dalam-dalam amat’. Tetapi saya, anda, kita semua saya pikir memilki hak dan kepentingan untuk menanyakan pertanyaan tersebut, persis karena jawaban atas pertanyaan tersebut memiliki implikasi yang penting bukan hanya bagi para anggota kedua ormas dan umat Islam di Indonesia, tetapi juga bagi masa depan politik progresif di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat banyak persoalan yang membutuhkan ‘pencerahan’ dari alim ulama, penggerak, dan kader keagamaan yang religius, progresif, dan mengakar, seperti isu-isu agraria dan perkotaan, konflik seputar berbagai macam sumber daya alam, hubungan antar umat beragama, isu-isu seputar konservatisme kelas menengah Muslim serta fundamentalisme dan vigilantisme keagamaan, berbagai isu-isu sosial dan ekonomi-politik kontemporer, dan lain sebagainya. Tahun ini juga menandai peringatan 50 tahun tragedi 1965 – suatu tragedi yang memiliki implikasi penting bukan hanya bagi bangsa Indonesia dan gerakan Kiri dan kalangan progresif internasional tetapi juga, sebagaimana dijelaskan oleh Arman Dhani dalam esainya, bagi umat Islam di Indonesia. Isu-isu ini, saya kira, menjadi PR bersama bagi dua gerakan sosial Islam kita yang setidaknya perlu mulai dikerjakan, apabila belum bisa diselesaikan secara tuntas.

Akhirul kalam, mungkin saja catatan dan amatan ringan ini lebih terlihat seperti sebuah daftar tuntutan yang tidak realistis, namun mengingat kiprah dan dampak Muhammadiyah dan NU selama ini, maka tidak ada salahnya kita menaruhkan harapan yang begitu besar bagi perkembangan politik progresif di dunia Islam dan Indonesia kepada kedua gerakan sosial ini. Apakah kedua ormas Islam kita dapat menjawab tantangan tersebut? Wallahu a’lam – tentu hanya mereka yang bisa menjawabnya.

Harapan saya sederhana: semoga NU dan Muhammadiyah dapat terus konsisten memperjuangkan Islam Nusantara yang Berkemajuan, kontekstual, progresif, dan transformatif.***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc.

 

Referensi


Hefner, R.W., 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Slater, D., 2009. Revolutions, Crackdowns, and Quiescence: Communal Elites and Democratic Mobilization in Southeast Asia. American Journal of Sociology , 115(1), pp.203-54.

Slater, D., 2010. Ordering Power: Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia. New York: Cambridge University Press.

 

————–

[1] Lihat misalnya tulisan Airlangga Pribadi, ‘Mendaras Islam Progresif, Melampaui Islam Liberal’, di http://indoprogress.com/2011/05/mendaras-islam-progresif-melampaui-islam-liberal/ Pertanggungjawaban intelektual saya dalam isu ini juga saya tuangkan dalam satu esai yang berjudul ‘Recent Studies on Indonesian Islam: A Sign of Intellectual Exhaustion?’ (manuscript under review).

The Morning After: Sejumlah Pelajaran bagi Gerakan Sosial di Indonesia (Bagian 2)

http://indoprogress.com/2015/02/the-morning-after-sejumlah-pelajaran-bagi-gerakan-sosial-di-indonesia-bagian-2/

Pendahuluan

SEBELUMNYA telah kita bahas bersama-sama kondisi gerakan sosial di tanah air dalam konteks politik yang baru, yaitu pemerintahan Jokowi-JK. Kemudian, kawan Ridha juga sudah menjelaskan mengenai tantangan dan kegamangan gerakan sosial dalam konteks agenda anti korupsi. Setelah kita mendapatkan gambaran yang cukup jernih tentang posisi dan kondisi gerakan sosial dalam kancah politik Indonesia, maka sekarang adalah saatnya untuk membahas mengenai strategi-strategi yang perlu kita tempuh untuk memenuhi tiga tugas yang saya pikir mendesak bagi gerakan sosial Indonesia, yaitu pembangunan posisi teoretik yang holistik namun inklusif, pembangunan tradisi keilmuan dalam gerakan, dan penggarapan tugas-tugas jangka panjang. Kemudian, kita juga perlu membahas strategi apa yang perlu kita terapkan sekarang di era pemerintahan Jokowi-JK. Sebagai ilustrasi atas pentingnya tiga strategi tersebut sekaligus pembuka diskusi, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk kembali melihat dan belajar dari sejarah salah satu gerakan dan organisasi rakyat terkemuka dalam sejarah Indonesia: Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI Sebagai Institusi Pendidikan

Memori dan imajinasi kita tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan di kalangan para penggerak gerakan sosial sendiri, terkadang adalah memori dan imajinasi yang terdistorsi. Biasanya PKI diidentikkan dengan aksi-aksi mobilisasi dan agitprop (agitasi dan propaganda) yang masif dan terorganisir – bukankah bayangan kita mengenai para kader dan simpatisan PKI identik dengan ‘aksi sepihak’ dan barisan-barisan ‘semut merah’?

Tetapi, warisan PKI jauh lebih banyak dari sekedar romantisme dan tragedi di masa lalu. Sesungguhnya satu hal yang memungkinkan PKI dan pasukan semut merahnya tampil sebagai kekuatan politik terkemuka adalah usaha-usaha pendidikannya. Ruth McVey (1990) membahas upaya tersebut secara dalam artikelnya, Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institutionyang akan saya sarikan inti argumennya di bawah ini.

Salah satu kerja politik yang dilakukan PKI adalah mendidik kader-kader pedesaan dan kaum tani untuk melakukan analisa ekonomi-politik atas kondisi pedesaan. Laporan-laporan yang ditulis oleh para kader desa dan kaum tani ini boleh jadi hanya ditulis dengan kertas dan pensil yang seadanya, namun analisa yang dihasilkan sangat jernih (hlm. 5). Awalnya, upaya pendidikan ini bukanlah hal yang mudah. Di kala PKI masih terseok-seok, di masa pra-kemerdekaan dan awal kemerdekaan, transfer pengetahuan antara para penggerak PKI dan kader-kadernya bagaikan hubungan antara guru spiritual, yang dianggap paham dan khatam dasar-dasar Marxisme-Leninisme, dan murid-muridnya (hlm. 6). Selanjutnya, PKI mulai memperbaharui metode-metode pendidikannya. Kegiatan-kegiatan olahraga dan kesenian digalakkan (hlm. 8), sebuah strategi yang dapat memupuk solidaritas antar kader dan simpatisan partai dan melestarikan ‘repertoir perjuangan’ (repertoire of struggle). Sebelum memperkuat kaderisasi ideologis mengenai dasar-dasar Marxisme-Leninisme, kampanye anti buta huruf digalakkan (hlm 9). Kemudian, PKI juga melakukan upaya-upaya pendidikan mengenai dasar-dasar berorganisasi, seperti tata cara mengelola keuangan organisasi, rapat resmi, perumusan posisi mengenai isu-isu sosial-ekonomi dan kebudayaan, dan lain sebagainya (hlm. 9; 14). PKI juga menerbitkan sejumlah teks-teks dasar mengenai ideologi dan posisi partai seperti ABC Revolusi Indonesia dan Bagaimana Masjarakat Berkembang (hlm. 9). Upaya pembangunan organisasi dan pendidikan berjalan beriringan di semua level dan bidang kelembagaan PKI dan organisasi-organisasi underbouw-nya (hlm. 10-11). Tidak hanya itu, PKI juga mendorong orang-orang biasa untuk berbicara dan melakukan pengorganisasi politik kelas secara terbuka, dan mengkontekstualisasikan, atau ‘mengindonesiakan’ (alih-alih ‘merusiakan’) Marxisme (hlm 11-13).

Tentu saja, upaya pendidikan ini tidak selalu berjalan mulus. Beberapa segmen dari kelas menengah dan kalangan terdidik dan profesional di Indonesia misalnya, tidak tertarik dengan upaya-upaya pendidikan PKI, karena mereka menganggap PKI sebagai bagian dari Demokrasi Terpimpin Sukarno yang ‘korup’ (hlm. 20-21). Karenanya, PKI juga mendorong kader-kader mahasiswanya untuk berjuang secara intelektual dalam gelanggang akademik arus-utama untuk menunjukkan bahwa golongan Kiri juga memiliki kemampuan manajerial dan teknokrasi, yang bahkan lebih maju karena penekanan pada aspek partisipatorisnya, (hlm. 23-24), suatu hal yang mungkin juga kita perlukan sekarang. Terakhir, PKI juga berusaha mengenali kader-kadernya di desa dengan cara mempelajarinya dan belajar bersama kader-kadernya (hlm. 25-26). Kader-kader kota didorong untuk belajar bersama rakyat desa secara antropologis: makan, kerja, dan tidur bersama kaum tani di pedesaan. Tak heran apabila hal pertama yang dilakukan tentara ketika merangsek markas PKI adalah ‘mengamankan’ arsip-arsip partai terlebih dahulu (hlm. 5), arsip-arsip yang berisi catatan mengenai kiprah upaya pendidikan PKI.

Setelah menengok ke masa lalu, maka terang sudah bahwa dari cerita ini, kita dapat melihat bahwa PKI sukses sebagai gerakan sosial karena melakukan tiga strategi tersebut: pembangunan gerakan dan posisi teoretik yang holistik namun inklusif dan kontekstual yang didukung oleh kerja-kerja jangka panjang, terutama dalam hal pendidikan kader-kadernya. Tiga dimensi inilah yang absen dalam pembangunan gerakan sosial akhir-akhir ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Ridha dan banyak penulis-penulis lain di IndoPROGRESS, agenda anti korupsi masih bersifat terbatas, teknokratis, moralis, dan abai terhadap dimensi politis dan struktural yang melingkupi persoalan korupsi yang sudah akut ini. Persolan korupsi dan keterbatasan respon dari gerakan anti korupsi juga diperparah dengan apatisme publik yang meningkat terhadap proses-proses politik, suatu hal yang sangat ironis karena berkebalikan 180 derajat dengan antusiasme publik yang tinggi dalam pemilu tahun kemarin. Melaksanakan sejumlah strategi taktis yang segera diperlukan untuk menghadapi konsolidasi oligarki, terutama dalam konteks kepemimpinan Jokowi yang semakin memblememang diperlukan, namun yang tidak kalah penting juga adalah bagaimana membangun solidaritas massa yang terpukul dengan perkembangan politik dewasa ini. Untuk itu, diperlukan sebuah platform minimal, dan di tengah-tengah kondisi gerakan sosial di Indonesia yang relatif masih berserakan dan terfragmentasi, maka ketiga tugas yang saya sebutkan di atas – perumusan kembali posisi teoretik, pendidikan, dan pembangunan organisasi jangka panjang – menjadi semakin penting untuk dilaksanakan. Di sini, saya tidak bermaksud untuk memberikan jawaban yang definitif mengenai program, isi, dan rumusan yang ideal untuk ketiga strategi tersebut. Dalam kesempatan kali ini, saya sekadar ingin mengingatkan kembali pentingnya ketiga strategi tersebut dan membuka diskusi dan perdebatan mengenai apa-apa yang musti kita kerjakan selain respon-respon yang bersifat taktis dan jangka pendek.

Bagaimana Dengan Sekarang?

Sembari mengerjakan tugas-tugas jangka panjang tersebut, pertanyaan lain yang muncul dan perlu kita jawab adalah bagaimana dengan sekarang? Apa yang perlu kita lakukan untuk menghadang konsolidasi oligarki dan mempromosikan agenda-agenda progresif? Lalu, bagaimana hubungan gerakan sosial dengan pemerintahan Jokowi-JK kedepannya?

Di sini, sebagaimana telah sering diutarakan oleh sejumlah rekan-rekan IndoPROGRESS yang lain, parameternya jelas: dukungan terhadap Jokowi diberikan sejauh dia dapat menunjukkan komitmen terhadap agenda-agenda progresif. Rekam jejak Jokowi sejauh ini cukup untuk memberikan alasan bagi kita untuk mengambil jarak terhadap Jokowi. Parameter inilah yang dapat menjustifikasi langkah-langkah politik kita sebagai gerakan sosial. Karenanya, apabila adalah logis untuk mendukung Jokowi di saat pemilu, maka sekarang adalah logis untuk bukan hanya mengkritisi tetapi juga mengambil jarak terhadap pemerintahan Jokowi. Ini memang bukan posisi yang dapat dengan mudah dijelaskan, tetapi ini merupakan sebuah langkah yang logis, di antara purisme naif ‘ultra-Kiri’ atau ‘anti-sistemik’ yang ujung-ujungnya menyalahkan langkah-langkah politik massa rakyat dan mengecapnya sebagai advonturisme, hanya karena antusiasme dan pilihan politik massa tidak sesuai dengan imperatif kategori dan angan-angan idealnya dan dogmatisme terhadap garis politik Jokowi. Kepada kubu pertama, saya akan menjawab, pengalaman berpartisipasi dalam kancah politik elektoral, seberapun tertatih-tatihnya, merupakan pengalaman yang berharga bagi rakyat pekerja – yang tidak kalah berharga dengan aksi-aksi insureksionis, upaya mengangkat bedil, atau bahkan perlawanan-perlawanan yang bersifat ‘keseharian’ (everyday forms of resistance) macam berkeluh kesah mengenai kesusahan hidup dan kelakuan para elit. Kepada kubu kedua, saya akan berkata, Jokowi bukanlah semacam Dewaraja yang tidak bebas dari kritik dan selalu benar. Mengkritik Jokowi bukan berarti ‘memberi angin’ kepada para oligark dan ‘kubu sebelah’ dan keterbatasan langkah-langkah politik Jokowi tidaklah bebas dari kritik. Keterbatasan manuver politik dan dalam beberapa hal ketidakmampuan Jokowi perlu dikritik, bukannya dijustifikasi dengan menggambarkan kritik terhadap Jokowi seakan-akan sama dengan upaya untuk memakzulkannya yang didasari oleh analisa-analisa sosial dan sejarah yang sifatnya agak serampangan dan mencocok-cocokkan, alias cocokologi.

Pengalaman gerakan-gerakan sosial progresif di tanah air dan tempat-tempat lain, seperti PKI, Syriza, Podemos, partai komunis di Bengal Barat dan Kerala, hingga segenap pemerintahan Kiri di Amerika Latin, menunjukkan bahwa hanya dengan ‘keterlibatan taktis dengan kekuasaan’ (strategic engagement with the state) dan kerja-kerja pembangunan gerakan dan pendidikan jangka panjang maka gerakan sosial dapat menggunakan kekuasaan untuk mewujudkan agenda-agenda progresif. Bagi kita sekarang, hanya dengan mengambil posisi kritis dan kembali menekuni pekerjaan-pekerjaan panjang, kita sebagai gerakan sosial dapat memecah kebuntuan politik yang ada dan sedikit demi sedikit membuka ruang bagi kemungkinan penerapan agenda progresif. Bukan dengan membaca pengalaman historis dan karya teoretik seperti merapal mantra, membangun semacam ‘kultus individual’ atas Jokowi, atau, atas nama ‘prinsip politik’, meladeni ajakan pertarungan jalanan dan sekedar menjadi bahan pergunjingan.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

 

Kepustakaan:

McVey, R.T., 1990. Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution. Indonesia, 50, pp.5-28.

The Morning After: Masa Depan Hubungan Pemerintahan Jokowi-JK dan Gerakan Sosial (Bagian 1)

iqra

“The mass movements that we have seen most recently, whether in Tahrir Square or Athens,
look to me like a pathetic ecstasy. What is important for me is the following day, the morning after.”

(Slavoj Žižek)

Setelah Memilih Sudah Itu Selesai?[1]

KEMENANGAN Jokowi-JK di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 memberikan banyak pelajaran bagi gerakan sosial di tanah air. Pasca pelantikan Jokowi dan kabinetnya, kita perlu kembali melihat pengalaman dan pencapaian kita sebagai bagian dari gerakan sosial terutama selama gegap gempita Pilpres 2014. Refleksi ini perlu dan penting untuk dilakukan karena hanya dengan berkaca kepada pengalamanlah kita dapat merumuskan langkah-langkah yang tepat untuk mendorong pelaksanaan sejumlah agenda progresif kedepannya[2]. Berangkat dari titik tersebut, maka seharusnya kita sadar: berkeluh kesah tidaklah cukup, dan tugas kita pada dasarnya belum selesai dan bahkan di beberapa aspek baru dimulai.

Dalam semangat refleksi itulah tulisan ini bermaksud untuk menganalisa pola hubungan pemerintahan Jokowi-JK dan gerakan sosial kedepannya dan implikasinya pada kemungkinan penerapan agenda-agenda progresif di berbagai bidang. Menurut hemat saya, ada tiga pelajaran utama yang dapat kita ambil berdasarkan pengalaman kita selama ini, setidaknya menurut pengamatan dan refleksi pribadi saya. Pertama, Jokowi-JK bisa melaksanakan berbagai agenda progresif yang dicanangkan dalam visi, misi, dan program aksi mereka dalam kerangka Visi Trisakti jika dan hanya jika mereka beraliansi dengan gerakan sosial popular yang selama ini menjadi penopang mereka. Kedua, gencarnya produksi, pengemasan, dan penguasaan diskursus yang hegemonik oleh berbagai kelompok reaksioner anti-demokrasi terutama yang berafiliasi dengan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) menyadarkan kita bahwagerakan sosial butuh perumusan teoretik yang solid dan pemahaman akan sains dan pengetahuan untuk pergerakan. Ketiga, kita sebagai bagian dari gerakan sosial perlu menggiatkan kembali berbagai strategi – tidak hanya jangka pendek namun juga jangka menengah dan panjang – yang sempat terbengkalai pasca Reformasi. Tentu saja tiga hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan, namun setidaknya kita perlu berusaha melakukan hal-hal tersebut apabila kita serius dan berkomitmen untuk mewujudkan berbagai agenda progresif.

Refleksi Hubungan Jokowi-JK dan Gerakan Sosial

Untuk memahami perkembangan hubungan Jokowi-JK dan gerakan sosial serta keadaan politik saat ini dan merumuskan sikap kita, kita perlu memakai kerangka analisa yang tepat. Pemahaman yang idealis-voluntaris akan segera membawa kita kepada kekecewaan, sedangkan pemahaman yang pragmatis-borjuis akan berujung kepada sebentuk optimisme yang naïf. Kita perlu melihat politik berdasarkan logika internal politik itu sendiri, yaitu logika kontestasi kepentingan dalam suatu struktur ekonomi-politik sudah terberi (given). Dengan kata lain, kita perlu memahami politik dari perspektif materialis-realis. Berdasarkan kerangka analisa inilah, kita dapat memahami kondisi politik sekarang secara lebih menyeluruh, tanpa terjebak pada rasa nelangsa yang tak berkesudahan maupun romantisme yang tak berpijak.

Meminjam istilah Marxis klasik, kita perlu secara jeli melihat ‘kontradiksi internal’ dari perkembangan ekonomi-politik Indonesia pasca Reformasi, yang akhirnya mengemuka dalam Pilpres 2014 kemarin, yaitu kontradiksi antara kekuatan sosial progresif di satu sisi dan kekuatan sosial konservatif-reaksioner di sisi lain dalam konteks struktural transisi ke demokrasi elektoral pasca otoritarianisme, konsolidasi kapitalisme-neoliberal pasca Orde Baru (OrBa), dan menguatnya kecenderungan pembajakan oleh elit dan oligarki (elite and oligarchic hijacking) dalam berbagai proses politik, ekonomi, dan sosial. Pada akhirnya, setidaknya untuk sementara, kecenderungan neo-OrBa ini berhasil ‘dijinakkan,’ kita tidak perlu meratapi nasib memasuki Fase Thermidor[3], suatu keberhasilan yang rasanya ngeri-ngeri sedap dan melegakan.

Namun, dalam dunia yang bergerak secara dialektis, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Sejumlah persoalan-persoalan lain muncul, mulai dari kemungkinan sejumlah jenderal pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) – alias jagal rakyat – seperti A.M. Hendropriyono, Wiranto, dan Ryamizard Ryacudu menduduki jabatan menteri, tarik menarik antara kepentingan elit partai dan oligarki ekonomi-politik di satu sisi dan tuntutan dari gerakan sosial di sisi lain, hingga usulan liar dari KMP – yang lebih layak dipanggil sebagai Koalisi Kapak Merah atau Koalisi Mabok Putaw ketimbang Koalisi Merah Putih – untuk menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Menanggapi segudang persoalan tersebut, tentu saja ada perlawanan, meskipun sporadis, dari berbagai elemen-elemen dari gerakan sosial melakukan berbagai upaya untuk menjinakkan atau minimal menghadangnya naiknya hegemoni para oligark dan kaum reaksioner yang bersekutu dalam sebuah unholy alliance.

Dari pengalaman ini, ada sejumlah pelajaran yang dapat kita ambil. Pertama dan yang terpenting, kontestasi dan konfrontasi politik, wa bil khusus politik kelas, merupakan sebuah keniscayaan. Ketegangan-ketegangan di tingkatan ‘basis’ dan pertarungan antara kekuatan-kekuatan sosial yang merepresentasikan ‘basis ekonomi-politik’ tersebut mengemuka dan memuncak di ranah politik – dengan kata lain tingkatan ‘superstruktur’, sebagaimana dipaparkan oleh Perry Anderson (1974) jauh-jauh hari:

“…pertarungan historis antara kelas-kelas pada akhirnya diselesaikan di tataran politik – dan bukannya ekonomi ataupun kebudayaan – dalam masyarakat.” (hal. 11)[4].

Kemenangan gerakan sosial sebagai organisasi politik (di tengah-tengah absennya partai Kiri yang bisa mengatasi kecenderungan sektarian dalam gerakan dan juga memiliki kemampuan elektoral yang mumpuni) yang mereprentasikan kelompok-kelompok subaltern (antara lain buruh, tani, karyawan upahan perkotaan, elemen dari kelas menengah, mahasiswa, pelajar, golongan muda, kaum miskin kota, perempuan, kaum minoritas keagamaan, kebudayaan, dan gender) ditentukan oleh kemampuan politik gerakan sosial dan konsekuensinya sejauh mana gerakan sosial dapat bekerja dalam tatanan politik.

 

iqra1Foto diambil dari Tribunnews.com

Keterbatasan sekaligus potensi dari gerakan sosial dalam kampanye politik pemenangan Jokowi-JK merupakan pelajaran kedua bagi kita, yaitu terdapat perbedaan antara koalisi politik elektoral dan koalisi politik programatik. Contoh sejarahnya sudah banyak, mulai dari kondisi kita menjelang dan pasca Reformasi (1998), Chile menjelang dan pasca tumbangnya Pinochet (1988), hingga Mesir dan berbagai negara Timur-Tengah lainnya selama Arab Spring (2011-sekarang). Koalisi elektoral dalam banyak hal bekerja secara temporal berdasarkan lowest common denominator alias konsensus yang terbatas. Pengalaman Filipina pasca tumbangnya kediktatoran Marcos di tahun 1986 dapat menjadi sebuah pengingat: restorasi dan penyelamatan demokrasi elektoral tidak serta merta berarti penerapan agenda-agenda politik emansipasi yang lebih luas, seperti redistribusi tanah dan lahan pertanian atau kepemilikan dan kontrol langsung rakyat pekerja atas alat-alat produksi alias penerapan demokrasi yang lebih luas dan menyeluruh, dan sosialis. Yang terjadi adalah perubahan pranata politik oligarki ekonomi-politik di Filipina: dari oligarki-otoritarian ke oligarki dalam tatanan demokrasi elektoral (Anderson, 1988). Dalam kasus kita, meskipun konteksnya berbeda, ada beberapa kemiripan dengan berbagai pengalaman tersebut. Gerakan sosial pasca kemenangan Jokowi-JK dapat dikatakan berada di persimpangan jalan. Koalisi luas yang mengemuka di tengah hiruk-pikuk Pilpres 2014 dalam sekejap menghadapi berbagai tantangan yang jauh lebih pentingsetelah kemenangan Jokowi-JK, yaitu bagaimana gerakan sosial dapat turut serta berpartisipasi dalam proses-proses politik yang kondusif untuk penerapan agenda-agenda progresif. Di titik inilah wanti-wanti dari Žižek terasa sangat relevan: yang lebih penting bukanlah ‘pesta’nya atau hiruk-pikuknya, melainkan apa yang terjadi setelah pesta tersebut usai. Kesaradan atas realita politik ini penting agar kita tidak terjebak pada sebuah romantisme sesaat yang kemudian berujung kekecewaan.

Perlu diingat, bahwa realisme dalam berpolitik juga bukan pesismisme dan sinisme yang tak berujung. Inilah pelajaran ketiga yang dapat kita ambil: terlepas dari berbagai keterbatasan internal maupun struktural yang membatasi manuver gerakan sosial, ada sejumlah pencapaian gerakan sosial yang perlu kita akui. Ryamizard Mengkudu memang jadi menteri, tapi dua jagal rakyat yang lain – Wiranto dan A.M. Hendropriyono – tidak mendapat pos kementerian. Kongsi haram jadah antara elit partai dan oligarki ekonomi-politik – yang diwakili oleh sosok-sosok seperti Puan Maharani dan Rini Soemarno memang belum sepenuhnya dijinakkan, tetapi masih ada ruang di mana gerakan sosial dapat melancarkan ‘aksi sepihak’ yang lebih terkoordinir untuk mendorong pelaksanaan agenda-agenda redistribusi ekonomi dan demokrasi ekonomi yang lebih luas, seperti elemen-elemen reformasi agrarian, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar. Kemudian, komitmen Jokowi-JK terhadap demokrasi – setidaknya demokrasi formal – memungkinkan mobilisasi massa-rakyat yang lebih massif dan militan. Dengan kata lain, daya tawar alias bargaining power dari gerakan sosial, setidaknya sampai dengan sekarang, cukup meningkat, meskipun masih terbatas. Sulit membayangkan bahwa ruang mobilisasi dan perluasan pengaruh dari gerakan sosial akan meningkat seandainya yang menang pada Pilpres 2014 kemarin adalah pasangan Prabowo-Hatta dan kubu neo-OrBa.

Tentu saja ini bukan berarti bahwa kita sebagai gerakan sosial akan serta merta mendukung Jokowi-JK secara taklid buta. Disinilah frase ‘dukungan kritis’ menemui relevansinya. Kita sebagai bagian dari gerakan sosial dan rakyat pekerja mendukung pemerintahan Jokowi-JKselama administrasi mereka membuka kemungkinan bagi penerapan agenda-agenda progresif.Setidaknya ada tiga agenda progresif yang mendesak yang perlu segera diperhatikan oleh Jokowi-JK, yaitu: 1) penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM; 2) perluasan kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar serta redistribusi ekonomi melalui reformasi agrarian, dan; 3) membuka ruang partisipasi masyarakat secara luas dan berkualitas dalam proses-proses politik. Sekali lagi perlu diperhatikan bahwa sejumlah kebijakan yang mendesak ini perlu diberlakukan di dalam konteks struktural yang tidak sepenuhnya menguntungkan kita. Mengutip slogan Maois jamanbaheula, perwakilan-perwakilan terkemuka dari kaum borjuis dan reaksioner berada persis di tengah-tengah jantung pemerintahan Jokowi-JK. Musuh rakyat, musuh kita, ada berada di tengah-tengah kita! Tetapi kita juga tidak boleh lupa bahwa kelompok reaksioner yang berada di luar kabinet, yaitu partai-partai dalam KMP (terutama Gerindra dan PKS) juga sedang menunggu ‘arah angin’ untuk ‘berpindah,’ mencari-cari cara untuk menjinakkan kemungkinan penerapan agenda progresif yang lebih luas (jangan tertipu dengan foto-foto instagram SBY maupun cipika-cipiki Prabowo, seolah-olah intrik-intrik, pertarungan, dan negosiasi politik antar elit tidak ada hanya karena hal-hal tersebut tidak ‘nampak’ ke permukaan, ke ranah publik). Inilah salah satu tugas berat bagi gerakan sosial dan rakyat pekerja pasca kemenangan Jokowi-JK: bagaimana bertarung di dua front sekaligus tanpa kehabisan amunisi di tengah jalan.

Untuk sekarang, masih terlalu dini untuk menyimpulkan akan seperti apa pola hubungan pemerintahan Jokowi-JK dan gerakan sosial untuk kedepannya. Namun, satu hal yang perlu dilaksanakan oleh kita sekarang juga adalah melakukan identifikasi atas elemen-elemen reaksioner dalam kabinet Jokowi-JK, mengawasi jalannya pemerintahan Jokowi-JK agar sejalan dengan Visi Trisakti yang mereka canangkan, dan melakukan berbagai tekanan – melalui mobilisasi massa misalnya – yang setidaknya dapat mempersempit ruang gerak para jagal dan oligark. Berbagai aksi protes terhadap penunjukan Ryamizard the Lizard sebagai Menteri Pertahanan yang mulai dan sedang berlangsung akhir-akhir ini merupakan satu dari sedikit hal yang musti kita lakukan sekarang. Hanya dengan cara itulah kita dapat secara efektif ‘membombardir’ musuh di dalam selimut.

Tugas Kita ke Depan

Berkaca dari pengalaman kita sepanjang musim pemilu hingga sekarang, dua hal yang perlu kita lakukan adalah merumuskan posisi teoretik yang solid atas posisi praxis politik – dengan kata lain sains mengenai gerakan sosial – dan penerapan strategi dan pembenahan organisasi yang dapat membantu perkembangan gerakan sosial di Indonesia kedepannya. Untuk dua hal ini, kita perlu belajar tidak hanya dari pengalaman kita sekarang, tetapi juga dari sejarah.

Tetapi, ini bukan berarti kita musti memulai dari titik nol. Pengalaman kita kemarin memang singkat, tetapi sebenarnya sangat berharga untuk dijadikan pijakan bagi langkah kita ke depan. Ambil contoh perumusan dan diseminasi diskursus progresif anti-hegemonik misalnya: pro-demokrasi, anti-oligarki, dan pembangunan solidaritas antar sesama rakyat pekerja. Untuk mengetahui secara persis sejauh mana tiga dimensi dari diskursus progresif ini telah menyebar dalam masyarakat memang perlu uji empiris yang lebih ketat, namun kita dapat merasakan bahwa tiga wajah dari diskursus progresif ini perlahan mulai menyebar dalam imajinasi publik, menjadi gagasan kontra-hegemoni dari ide-ide hegemonik yang selama ini berseliweran: ide-ide neo-OrBa, neoliberalisme ‘demokratis,’ maupun gabungan dari keduanya. Dari tiga dimensi tersebut, gagasan pro-demokrasi mendapat gaung yang paling luas, kemudian disusul dengan gagasan anti-oligarki, meskipun masih bersifat kabur (misalnya cenderung terjebak dalam dikotomi simplistis ‘rakyat’ versus ‘elit’ tanpa memperhatikan aspek struktural dan ekonomi-politiknya). Dimensi terakhir, solidaritas antar sesama rakyat pekerja, merupakan gagasan yang masih belum luas penyebarannya, meskipun perlahan mulai berkembang. Faksi konservatif dari kelas menengah alias #KelasMenengahNgehek masih signifikan jumlahnya dan kesadaran bahwa karyawan ‘kantoran’ atau ‘kerah putih’ (white collar workers) sesungguhnya adalah bagian dari kelas buruh dan rakyat pekerja karena sama-sama bergantung kepada kerja-upahan (wage-labor) juga masih rendah. Secara struktural, kelas menengah juga terkadang ambivalen terhadap demokrasi – kelas menengah baru akan menjadi kekuatan pro-demokrasi apabila ia relatif independen dari hegemoni ekonomi-politik dan diskursus kelas yang berkuasa dan menjalin aliansi dengan kelas bawah seperti kaum buruh dan tani (Rueschemeyer et al., 1992). Tetapi, secara keseluruhan, terlepas dari berbagai keterbatasan, diskursus alternatif kontra-hegemoni ini, dengan tiga karakteristiknya – pro-demokrasi, anti-oligarki, dan solidaritas antar sesama rakyat pekerja – telah berhasil memunculkan gaungnya di ruang publik. Inilah ‘program minimal’ yang kita harapkan dapat menjadi perekat utama dari koalisi progresif yang luas namun tetap memiliki sebentuk kekuatan untuk mendorong dan melaksanakan agenda-agenda progresif. Program minimal ini berfungsi cukup baik dalam kancah pertarungan politik elektoral. Apabila elemen-elemen dari program minimal ini berhasil dilaksanakan selama masa pemerintahan Jokowi-JK di termin 2014-2019, maka itu merupakan sebuah terobosan.

Kedepannya, bisa jadi hubungan antara pemerintahan Jokowi-JK dan gerakan sosial tidak akan selamanya mulus. Saat ini merupakan masa-masa ‘bulan madu’ antara keduanya, namun kedepannya banyak tantangan yang jauh lebih menantang. Maka merupakan konsekuensi logisbagi Jokowi-JK untuk mempertahankan aliansi dengan gerakan sosial dan membangun aliansi popular kerakyatan dengan karakter progresif yang lebih luas apabia keduanya serius dan berkomitmen melaksanakan agenda-agenda progresif.

Kewajiban bagi kita, rakyat pekerja, sekali lagi adalah membangun posisi teoretik yang menyeluruh namun inklusif, membangun tradisi keilmuan dalam gerakan, dan mengerjakan tugas-tugas jangka panjang. Tiga tugas penting tersebut dan relevansinya bagi kondisi kita sekarang akan saya bahas dalam bagian kedua dari tulisan ini.***

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Anderson, P., 1974. Lineages of the Absolutist State. London: Verso.

Anderson, B., 1988. Cacique Democracy in the Philippines: Origins and Dreams. New Left Review, 169, pp.3-31.

Rueschemeyer, D., Stephens, E.H. & Stephens, J.D., 1992. Capitalist Development and Democracy. Chicago: The University of Chicago Press.

——

[1] Judul ini saya sadur dari tulisan saya sebelumnya di http://indoprogress.com/2012/12/setelah-memilih-sudah-itu-selesai-bagaimana-menghindari-jebakan-populisme/

[2] Sejumlah tulisan terbaru di IndoProgress merupakan upaya refleksi teoretik tersebut.

[3] Reaksi Thermidor merupakan fase stabilisasi dan penegakan kembali ketertiban publik di masa Revolusi Perancis yang ditujukkan untuk menjinakkan mobilisasi dan radikalisasi massa buruh dan tani di waktu itu. Dalam konteks yang lebih umum, Fase Thermidor merujuk kepada fase stabilisasi yang – ironisnya – berujung kepada peneguhan kembali status quo dengan wajah baru. Uni Soviet di masa Stalin dan China (kapitalisme-neoliberal dalam kerangka negara-partai) dan Mesir (kediktatoran militer) di masa sekarang merupakan sejumlah contoh Fase Thermidor di era kontemporer.

[4] Teks aslinya “…secular struggle between classes is ultimately resolved at the political – not at the economic or cultural – level of society.”

Fenomena Jokowi dan Konstelasi Politik 2014

http://indoprogress.com/2014/03/fenomena-jokowi-dan-konstelasi-politik-2014/

MENJELANG musim pemilu suhu politik di tanah air semakin menghangat. Pasca pencalonan resmi Jokowi sebagai calon presiden (capres) dari PDIP, konstelasi politik terutama di antara para elit, jadi semakin menarik dan dinamis untuk diamati. Namun, hal lain yang tidak kalah penting adalah, apa implikasi pencalonan Jokowi bagi politik Indonesia ke depan? Kemudian, tidak hanya itu, bagaimana seharusnya gerakan rakyat menyikapi pencalonan Jokowi?

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menganalisa fenomena ‘Jokowi Effect’ secara lebih mendalam. Setidaknya, ada beberapa dimensi yang perlu kita lihat untuk lebih memahami fenomena Jokowi: rekam jejak politik Jokowi, kontestasi politik di antara para elit, dinamika politik di tingkat akar rumput, dan dilema politik elektoral. Berdasarkan pemahaman atas sejumlah hal tersebutlah, kita bisa menyikapi fenomena Jokowi secara lebih baik.

Pertama-tama, kiprah politik Jokowi dalam banyak hal sesungguhnya merupakan terobosan dalam politik Indonesia terutama dalam ranah politik lokal. Politik di Indonesia pasca Orde Baru, yang masih terjebak dalam logika teknokratis dan elitis bahkan pasca penerapan kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, dan pemilihan umum kepala daerah (pilkada), tidak serta merta memberikan ruang partisipasi yang lebih berarti bagi masyarakat, terutama mereka yang termarginalkan. Kiprah Jokowi dulu di Solo maupun di Jakarta, patut diapresiasi dalam hal memberikan ruang partisipasi warga yang lebih berarti dalam sejumlah hal yang penting, antara lain seperti komunikasi publik, reformasi birokrasi dan pelayanan publik, inisiasi layanan kesehatan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS), dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang memberikan kesempatan bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses politik, kebijakan publik, dan demokrasi dalam artiannya yang lebih luas, terutama dalam menghadapi sejumlah kekuatan politik lama yang mendominasi politik lokal. Tentu, dengan pencalonan Jokowi sebagai capres, dia berarti tidak akan menyelesaikan masa jabatannya, namun ini bukan berarti pengkhianatan janji politik dan komitmen atas jabatan publik, melainkan panggilan untuk berkompetisi dalam ranah politik yang memungkinkannya melakukan perubahan dalam skala yang lebih luas.

Kedua, peresmian pencalonan Jokowi sebagai capres juga memaksa sejumlah elit politik untuk mempertimbangkan kembali langkah-langkah politik mereka ke depan, terutama dalam konteks pemilu 2014 yang akan segera datang. Tentu saja, mereka tidak akan serta merta berkata ‘aku rapopo’ seperti digambarkan dalam beragam gambar-gambar dan kartun-kartun lucu di internet, melainkan akan memikirkan 1001 cara untuk menyeimbangkan posisi mereka di tengah-tengah antusiasme publik atas pencalonan Jokowi, jikalau tidak untuk menghadang naiknya popularitas dan elektabilitas Jokowi. Dalam hal ini, pencalonan Jokowi perlu diapresiasi. Karena, ini bukan hanya masalah kecocokan antara antusiasme publik terhadap proses politik yang memungkinkan aspirasi mereka lebih tersalurkan dengan pencalonan Jokowi, tetapi juga persoalan bagaimana menghadang kemungkinan naiknya popularitas dan elektabilitas sejumlah capres dan tokoh politik dengan catatan hitam nan kelam, seperti Aburizal Bakrie dengan kasus lumpur Lapindonya, Prabowo, Wiranto dan sejumlah jenderal pelanggar HAM yang mengidap post-power syndrome,maupun tokoh-tokoh titipan Dinasti Cikeas – dengan kata lain menghindari kemungkinan penetrasi kapitalisme neoliberal yang lebih dalam maupun naiknya fasisme gaya baru. Tentu saja Jokowi tidak 100 persen independen; bagaimanapun, Jokowi merupakan kader PDIP, yang dalam banyak hal tidak jauh bermasalahnya dengan banyak partai lain di tanah air, apalagi pengaruh elit-elit lama dalam PDIP seperti Megawati masih amat terasa di dalam tubuh partai. Namun, pencalonan Jokowi juga menandakan bahwa sindrom elitis yang menjangkiti PDIP dan banyak partai politik lain di Indonesia pelan-pelan dapat ditembus. Dengan kata lain, ada ruang politik, yang meskipun terbatas, memungkinkan Jokowi untuk bermanuver.

Ketiga peluang inilah, yang musti disambut oleh gerakan rakyat. Kita perlu camkan baik-baik, bahwa Jokowi bukanlah seorang Juru Selamat yang dengan sim salabim akan segera menyelesaikan segudang permasalahan di tanah air, terutama yang berkaitan dengan konsolidasi kapitalisme neoliberal yang semakin mengemuka akhir-akhir ini. Jokowi bukanlah Rosa Luxemburg atau Tan Malaka. Oleh karena itu, dari perhitungan politik strategis, maka langkah politik yang logis bagi gerakan progresif di Indonesia adalah mengawal fenomena naik daunnya Jokowi dengan perumusan agenda-agenda politik progresif ke depan serta konsolidasi dan mobilisasi rakyat yang lebih terorganisir dan militan. Sejarah gerakan rakyat di berbagai belahan dunia, mulai dari kaumChartists di Inggris hingga gerakan rakyat di Chile di masa Allende, menunjukkan bahwa pertama, peluang politik sekecil lubang jarum pun merupakan kesempatan yang musti dimanfaatkan dankedua, diperlukan mobilisasi massa yang sadar untuk mengawal pengejawantahan agenda-agenda politik progresif-demokratik yang lebih luas.

Tentu saja, ini bukanlah langkah yang mudah, terutama dalam konteks politik elektoral alias demokrasi ‘formal.’ Sungguh ironis, bahwa demokrasi formal, yang menekankan pada proses elektoral, yang pada awalnya merupakan tuntutan radikal dari kelas pekerja di berbagai belahan dunia, kemudian menjadi sekedar alat bagi keberlangsungan logika politik elitis dan oligarkis. Kerapkali, gerakan rakyat terpaksa harus ‘memoderasi’ agenda-agendanya agar tidak memancinggebukan dan sambitan dari para pemegang gudang uang dan mesiu beserta anjing-anjingnya. Namun, itulah kenyataan yang harus diakui dan dihadapi oleh gerakan rakyat. Nah, pertanyaannya adalah, bagaimana sebaiknya gerakan rakyat menghadapi dilema tersebut? Apakah lantas kemudian kita kembali ke slogan-slogan lama semacam ‘galang gerakan golput!’, ‘boikot pemilu!’, ‘jangan ikuti pemilu borjuis!’, sementara jutaan orang tetap saja berbondong-bondong memasuki bilik suara? Kalau begitu, apa bedanya kita dengan sejumlah kelompok politik yang sering kita ceng-cengin karena tendensi sok puris mereka yang rada-rada absurd macam kaum nihilis dan HTI? Dalam hal ini, terkadang kita musti berani mengambil resiko. Tentu saja, ini tidak sama denganmenyerahkan diri untuk diombang-ambing dalam logika politik elektoral. Jawaban atas persoalan semacam ini bukanlah sekedar ‘pro-pemilu’ atau ‘anti-pemilu,’ atau ‘pro-negara’ versus ‘anti-negara,’ melainkan, mengutip Nicos Poulantzas, sosiolog Marxis Yunani-Perancis yang makin jarang dibaca itu, ‘pertempuran strategis dengan negara’ (strategic engagement with the state). Dengan kata lain, partisipasi taktis dan strategis dalam kancah politik elektoral bukanlah merupakan barang najis, sekedar lompatan iman atau coba-coba macam abg labil ibukota, melainkan hasil dari proses dialektis antara kontemplasi teoretik dan praxis di lapangan.

Penutup

Lagi-lagi, musti saya pertegas: tentu kita tidak naïf, melainkan berusaha untuk cekatan dan cermat. Dua pengkaji gerakan sosial berhaluan Marxis terkemuka, Sara C. Motta dan Alf Gunvald Nilsen (2011) dalam buku mereka Social Movements in the Global South menunjukkan bahwa strategi ‘pertempuran strategis’ ala tradisi Poulantzasian terbukti bekerja di berbagai belahan dunia ketiga, mulai dari Brazil hingga India, di mana berbagai gerakan sosial berhasil memberi tekanan dari bawah melalui aksi-aksi massa yang partisipatoris dan perumusan, merebut negara dari atas melalui strategi politik elektoral, dan tidak berhenti di situ, perlahan melakukan transformasi atas logika kekuasaan dan kapital, meskipun tentu saja tidak mudah.

Kali ini, di Indonesia, kita menghadapi persoalan yang sama. Kita bisa membacanya sebagai sekedar sebuah dilema yang membuat kepala pening atau momentum perubahan yang dapat terlewatkan begitu saja, terutama pasca mandegnya agenda-agenda politik progresif pasca-1998. Pencalonan Jokowi sebagai calon presiden untuk pemilu 2014 adalah momentum tersebut. Maka, merupakan konsekuensi logis bagi gerakan rakyat untuk memberikan dukungan kritis atas Jokowi demi kesempatan untuk penerapan agenda-agenda politik pro-rakyat yang lebih luas di masa mendatang***

Penulis berterima kasih kepada rekan-rekan redaktur IndoPROGRESS yang bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan masukan dalam proses penulisan artikel ini.

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc.

Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/salvador-allende-yang-mati-namun-tetap-abadi/

Salvador Allende ‘dibunuh’ dan mati berkali-kali, tetapi bangkit kembali. Bagaimana mungkin?

MUNGKIN sudah terlampau sering kita dengar kisah klasik tentang Chile di masa Allende dan kudeta militer terhadapnya, ibarat lagu lama yang sering diputar berulang kali. Namun, tidak ada salahnya untuk kembali mengingat cerita ini – siapa tahu berguna di kemudian hari.

Untuk memulai cerita, kita bisa menonton film besutan sutradara asal Chile, Patricio Guzmán, salah satu pengantar termudah mengenai Allende dan kejatuhannya. Tidak hanya itu, kita bisa mengambil beberapa pelajaran darinya. Singkat kata, kira-kira begini ceritanya.

Salvador Allende, seorang dokter yang berkecimpung dengan berbagai isu kesehatan publik, ikut mendirikan dan berkecimpung di Partai Sosialis Chile semenjak muda, sebuah partai pekerja yang independen dari garis komando Moskow. Allende mungkin tidak pernah mempelajari literatur-literatur Kiri dan Marxisme secara ‘resmi’ di bangku perkuliahan, namun dia tahu, ada berbagai cara mempelajari – dan tidak hanya itu, meresapi – prinsip-prinsip politik Kiri. Allende sendiri meresapi prinsip-prinsip itu dengan banyak berkecimpung dengan rakyat biasa – suatu aktivitas politik yang akhir-akhir ini makin langkaBaginya, terdapat banyak pintu menuju tujuan yang sama. Di tengah gelombang revolusi dan gerakan pembebasan nasional yang menyapu negara-negara dunia ketiga, Allende menempuh jalan elektoral demi pembebasan rakyat pekerja.

‘Bagaimana bisa,’ tanya Guzmán, ‘seseorang menjadi revolusioner dan demokrat di saat yang bersamaan?’ Allende mungkin adalah contoh langka seorang demokrat revolusioner. Tak percaya? Buktinya, dengan sabar dan konsisten tiga kali ia kalah pemilu presiden di Chile. Baru di kali ke-empat, tahun 1970, Allende menang tipis, sekitar 36.2 persen, dan dinobatkan menjadi presiden Chile. Berbagai ilmuwan politik terutama mereka yang beraliran borjuis menganggap bahwa sistem pemilu Chile yang dapat meloloskan presiden dengan perolehan suara yang minim merupakan penyebab mengapa Allende dapat menang dan partai-partai Kiri enggan untuk ‘memoderasi’ agenda-agenda politiknya. Beberapa diantara mereka bahkan menyalahkan Allende dan pihak Kiri sebagai pihak yang ‘mengundang malapetakanya sendiri.’ Tentu saja logika ini absurd. Dalam konteks kita, ini semacam menyalahkan orang-orang Muslim Syia’ah atau Ahmadi atau para korban katastrofi 1965 yang ‘mengundang kekerasan’ – ‘salah lu sendiri!,’ begitu kata mereka. Namun, ada baiknya omelan ini kita simpan dulu.

Allende tahu itu, namun dia tetap ngotot. Politik bukan saja soal representasi tapi juga konfrontasi. Sekecil apapun peluang yang dimiliki oleh gerakan rakyat dan partai-partai Kiri, peluang tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Allende sendiri bukan orang baru di pemerintahan dan politik – dia sempat menjabat sebagai Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial periode 1938 – 1942 dalam koalisi Front Popular yang berhaluan reformis. Semasa jabatannya, dia mengegolkan berbagai kebijakan progresif, seperti undang-undang keselamatan kerja, tunjangan kehamilan dan penyediaan makan siang gratis di sekolah-sekolah. Ini jelas berbeda dengan para elit di negeri kita misalnya, yang beraksi bak pahlawan kesiangan,seakan-akan dirinya bisa menjadi ratu adil atau juru selamat baru namun enggan untuk mengetahui lebih-lebih menghidupi penderitaan rakyat. Para elit ini juga – yang biasanya memiliki elective affinityatau pertemuan pandangan dengan beberapa segmen kelas menengah Indonesia – adalah mereka yang gemetaran dan ketakutan ketika melihat aksi-aksi massa rakyat dengan alasan ‘stabilitas’. Perubahan tidaklah semudah omongan para ‘motivator,’ konvensi partai yang diadakan beberapa tahun sekali, atau diskusi sembari nongkrong-nongkrong di warung kopi dan merasa sudah mengubah keadaan. Perubahan mestilah diusahakan dan hanya mungkin dilakukan oleh massa yang sadar. Allende tahu bahwa, ibarat Roma, Sosialisme tidak dapat dibangun dalam satu malam, melainkan membutuhkan kerja keras dan perencanaan yang panjang di jalan yang kerap kali tidak mudah.

40th anniversary of Pinochets coup marked at Chilean embassy

40 tahun peringatan atas kudeta militer terhadap Salvador Allende. Photo by Aimee Valinski

Tentu saja, di masa itu, Sosialisme masih menjadi harapan bagi banyak rakyat dan kaum tertindas lainnya di berbagai belahan dunia. Sosialisme tidak serta merta diidentikkan dengan tiang gantungan, Stalinisme dan gulag-gulag Soviet. Sosialisme juga bukan berarti sekedar ‘sosial demokrasi’ atau ‘jalan ketiga’ ala kaum neolib berbaju sosdem dewasa ini. Pada waktu itu, masih ada tokoh-tokoh seperti Olof Palme dan tentunya Allende, reformis revolusioner yang menyerukan sebuah visi akan masyarakat yang egaliter di dalam negeri dan menentang aksi-aksi jingoisme imperial di luar negerimacam Perang Vietnam yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) maupun penumpasan protes rakyat oleh berbagai rejim Stalinis.

Setelah menjadi presiden, Allende memenuhi berbagai janjinya. Dia menasionalisasi berbagai cabang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tembaga dan perbankan. Sekarang, kita mungkin bisa mencibir nasionalisasi sebagai kebijakan ekonomi yang tidak efisien dan rawan korupsi. Memang, lebih mudah untuk menilai segala sesuatunya dari kacamata zaman kita. Namun, ada kondisi-kondisi yang khas dari tiap zaman yang perlu ditempatkan dalam konteks waktunya. Kebijakan nasionalisasi Allende adalah terobosan yang progresif. Lagipula, Allende tidak hanya sekedar memindahkan kontrol sektor-sektor produksi itu ke tangan negara. Lebih dari itu, dia mencoba memperluas kontrol buruh secara langsung atas sektor-sektor produksi tersebut. Menurut Victor Wallis, salah seorang pengkaji Chile, kebijakan-kebijakan Allende ‘memberikan kesempatan bagi mayoritas kaum buruh untuk menunjuk wakil-wakil yang mereka pilih di dewan administratif di tiap-tiap cabang usaha.’ Tidak hanya itu, meningkatnya level partisipasi buruh dalam aktivitas-aktivitas produksi juga diikuti dengan naiknya performa ekonomi – dan dampak ini tidak terbatas hanya pada sektor-sektor atau cabang-cabang industri tertentu, melainkan terasa lintas-sektoral dan secara umum. Bahkan, konon kabarnya, Project Cybersyn, sistem komunikasi dan manajemen yang dicetuskan Allende, disebut-sebut sebagai embrio ‘internet sosialis’ yang memungkinkan kontrol pekerja secara langsung yang lebih luas terhadap pengelolaan ekonomi. Selain mengurusi industri dan perburuhan, Allende juga melaksanakan reformasi agraria, mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, mengurangi inflasi dan memperluas akses ke pendidikan.

Tetapi, ada yang tidak senang dengan semua ini, yaitu kaum borjuis, para tuan tanah dan berbagai kelompok dan partai Kanan. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk kemudian membangun aliansi dengan AS terutama CIA dan militer. Poster-poster propaganda anti-Allende dari CIA bergambar tank-tank Soviet tersebar di Chile. Para pengusaha bus dan transportasi melakukan pemogokan – untungnya gerakan buruh dan rakyat di Chile cukup militan untuk menghadang pemogokan tersebut dengan tetap bekerja dan berakvititas seperti biasanya, meskipun di kemudian hari perbedaan pandangan dan sektarianisme di gerakan Kiri makin mengemuka. Agustus 1973 ada upaya untuk memakzulkan Allende, namun gagal di parlemen. Betapa dongkolnya kaum borjuis. Di film Guzman, terdapat satu adegan di mana seorang oposan borjuis berkata bahwa pemerintahan Allende ‘penuh kotoran’ dan Chile dipenuhi oleh ‘para Komunis Marxis yang menjijikan.’ Di adegan lain, terungkap bahwa Richard Nixon, presiden Amerika Serikat kala itu, menjuluki Allende sebagai ‘si bangsat.’ Ini semua tidak jauh berbeda dengan label-label yang disematkan terhadap siapapun yang diasosiasikan dengan PKI, gerakan rakyat dan ide-ide Kiri-progresif di Indonesia semenjak tahun 1965 sampai sekarang.

Akhirnya kita tahu. 11 September 1973, militer membombardir La Moneda, istana kepresidenan Chile. Setelah itu, Augusto Pinochet, darling of the West yang dibangga-banggakan dedengkot ekonom neoliberal Milton Friedman dan Friedrich Hayek, menjadi diktator Chile. Rejimnya meningkatkan kesenjangan ekonomi di Chile sekaligus mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi tahanan politik, disiksa, menghilang dan bahkan tewas. Tetapi rakyat Chile tidak pernah lupa. Tahun 1989 demokrasi direstorasi. Semenjak itu hingga sekarang, satu demi satu dosa-dosa rejim Pinochet diungkap.

Seringkali kita mengritik mesianisme dalam gerakan progresif karena kecenderungannya untuk mengarah ke semacam kultus individual. Tetapi, terkadang sebuah gerakan butuh figur yang kharismatik. Allende contohnya. Tentu saja dia menjadi semacam ‘juru selamat’ bukan karena berjarak dengan rakyat, melainkan dengan menghidupi kehidupan rakyat dan bergerak bersama mereka, karena pemerintahan Allende tidak mungkin bertahan tanpa massa rakyat yang militan. Mereka mendukung Allende karena ‘Allende mencetuskan utopia akan sebuah dunia yang lebih adil,’ kata berbagai aktivis pendukungnya.

Salvador Allende mungkin telah mati, namun namanya tetap abadi. Namanya akan selalu diingat oleh rakyat yang tertindas dan menderita di gang-gang sempit nan kumuh dari Santiago hingga Valparaiso, dari Jakarta hingga Ramallah, kini dan nanti.***

Film Patricio Guzmán dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=FTkY0mgvK7k

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

Iqra Anugrah, Mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/islam-dan-pembebasan-menurut-asghar-ali-engineer/

PADA 14 Mei, 2013, dunia Islam kehilangan salah satu putra terbaiknya, Asghar Ali Engineer, penulis dan aktivis Islam progresif asal India,  yang menghembuskan napas terakhirnya. Sebagaimana kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, begitupun juga Engineer. Pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif ini, meninggalkan begitu banyak buah pemikiran yang membahas berbagai topik: dari sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, studi pembangunan dan masih banyak lagi. Sebagai bagian dari apresiasi atas kontribusi Asghar Ali Engineer yang begitu besar bagi dunia Islam, negara-negara dunia ketiga, dan gerakan progresif pada umumnya, tulisan ini didedikasikan untuk mengulas pemikiran-pemikiran Engineer dan relevansinya di masa kini.

Dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan karya-karya Engineer, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan fokus kepada beberapa tema utama dalam pemikiran Engineer, yaitu sejarah Islam, teologi pembebasan, negara dan masyarakat dan studi konflik komunal.

Sekilas tentang Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim Dawoodi Bohra, sebuah cabang dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah. Komunitas Dawoodi Bohra pada masa awal perkembangannya sempat mengalami persekusi baik dari komunitas Sunni maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian mereka bermigrasi ke India dan aktif dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek komunitas dan filantropis, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan dan fasilitas umum lainnya, seminar dan berbagai program pendidikan komunitas, serta promosi kesenian dan arsitektur Islam. Dalam konteks inilah Engineer tumbuh. Sedari kecil, Engineer juga menekuni studi Islam dari berbagai aspeknya.

Sebelum memfokuskan dirinya pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer berprofesi sebagai insinyur di kota Mumbai selama 20 tahun. Kebetulan, sewaktu kuliah, ia mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Vikram. Latar belakang inilah yang menyebabkan ia mendapat julukan ‘Engineer.’ Selama karirnya, ia mendirikan dan mengepalai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide progresif, seperti Institute of Islamic Studies, Center for Study of Society and Secularism dan Asian Muslim Action Network, dan menjadi editor sejumlah jurnal seperti Indian Journal of Secularism, Islam and Modern Age dan Secular Perspective. Tidak hanya itu, Engineer adalah seorang pemikir yang amat produktif, menulis lebih dari 50 buku dan ratusan artikel lainnya, baik populer maupun ilmiah. Semasa hidupnya, ia juga aktif mempromosikan penghargaan atas keberagaman masyarakat di India. Atas dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood Award pada tahun 2004, yang juga disebut sebagai hadiah Nobel alternatif.

Islam dan Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer

Dalam kajian sejarah Islam dan teologi pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer dalam salah satu karyanya Islam and Its Relevance to Our Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh para pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat pengaruh Marxisme dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya tentang teologi pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun, di sisi lain, terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam masyarakat tersebut – seperti perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang revolusioner dari ajaran Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan revolusioner yang universal dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks sosial masyarakat Arab pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya, dilakukan secara gradual. Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan yang menarik dari Engineer: ada unsur teologis dan transedental dari sejarah munculnya Islam, namun ia tidak menegasikan atau menafikan peranan manusia dalam membuat sejarah itu. Pembacaan ‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga mempengaruhi rumusan Engineer mengenai teologi pembebasan. Engineer memulai pembahasannya mengenai sejarah sosial berbagai variasi teologi pembebasan dalam Islam. Saya menyebutnya sebagai ‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya membahas pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha mengaitkannya dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut muncul. Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.

Alirah Mu’tazilah muncul di masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang menantang Kekhalifan Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama kelompok-kelompok non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok Persia. Karenanya, di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia diakomodir dalam kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir. Dalam konteks inilah, aliran Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional dan peranan usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya (Qadariyah), muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan Abbasiyah mulai bersifat opresif dan mempersekusi lawan-lawan politiknya, aliran Mu’tazilah kemudian dijadikan dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham teologi resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi beberapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun juga ‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri Mazhab Hambali, bahkan tidak luput dari hukuman ini.

Aliran Qaramitah juga muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan Umayyah. Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah, yang juga terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani dalam perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap melanjutkan perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakkan tendensi opresifnya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili kemudian mendirikan Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan Fatimiyah, memberi justifikasi terhadap politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan melawan baik Kekhalifahan Abbasiyah maupun Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, aliran Qaramitah berusaha menghapuskan kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune. Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi untuk menjatuhkan rejim.

Aliran Khawarij, yang awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam, Ali bin Abi Thalib, yang kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya ‘tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok Islam lain di luar mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas dari perkembangannya di kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij sesungguhnya merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum ‘proletariat internal’ dalam Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi krisis kepemimpinan dalam masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud Isma’il, menurut Engineer, aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya mempromosikan semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.

Singkat kata, dalam eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial teologi pembebasan dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal Islam hingga sekarang. Kedua,pembacaan ‘materialis’ dan ‘sejarah sosial’ atas masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi ide-ide egalitarian dalam Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa memahami konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan atas aliran Mu’tazilah yang rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam satu tarikan napas.Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang egaliter dan bebas dari eksploitasi.

Isu-isu Kontemporer dalam Pandangan Asghar Ali Engineer

Sebagai aktivis sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai mempelajari isu-isu kontemporer seperti hubungan agama-negara, hak-hak perempuan dan kaum minoritas, isu-isu pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil, Engineer sendiri sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang Muslim. Agaknya, pengalaman itu juga yang membentuk pandangan Engineer mengenai berbagai isu kontemporer. Benang merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isu-isu tersebut adalah pentingnya menghindari esensialisme alias kecenderungan untuk melihat fenomena sosial sebagai kesatuan yang monolitik.

Dalam tulisannya tentang  hak-hak perempuan dalam Islam (2006), Engineer menyadari bahwa ada diskriminasi dan marginalisasi atas hak-hak perempuan dalam masyarakat Islam. Namun, Engineer juga berhati-hati di sini: patriarkhi dan pengekangan hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang melekat pada masyarakat Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya, melainkan patriarkhinya yang bermasalah. Patriarkhi, menurut Engineer, terjadi karena kenyataan sosiologis dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep atau doktrin teologis (hlm. 166). Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam analisanya mengenai hubungan agama-negara (2009). Engineer mengingatkan bahwa institusi keagaaman bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas dari berbagai kepentingan ‘duniawi.’ Engineer juga menyerukan pentingnya ‘mengembangkan kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam sejarah kaum Muslim’ (hlm. 117). Karenanya, meskipun Engineer mempromosikan nilai-nilai agama dalam bentuknya yang paling spiritual sekaligus paling progresif, ia juga kritikus terdepan atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama, baik di negerinya sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperti Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan agama-negara dan hak-hak kaum minoritas mengingatkan saya atas ide ‘toleransi kembar’ (twin tolerations) yang dipromosikan oleh Alfred Stepan (2000), yaitu ada perbedaan antara otoritas keagamaan dan politik sekaligus kebebasan bagi otoritas keagamaan untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi pengikutnya tanpa memegang kekuasaan politik secara langsung. Agaknya, posisi Engineer tidaklah jauh berbeda dengan ide ini.

Bidang lain yang sangat ditekuni oleh Engineer adalah studi konflik dan hubungan antar etnis. Engineer tidak hanya menulis artikel reguler di harian Economic and Political Weekly mengenai kondisi hubungan antar etnis di India, namun juga melakukan studi yang mendalam atas berbagai komunitas minoritas termasuk komunitas Muslim di India. Dalam studi-studinya, Engineer berusaha memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang ilmuan. Pertama, ia berusaha menggabungkan metode-metode sejarah dan antropologis dalam berbagai studinya tentang kelompok minoritas. Kedua, dalam melakukan studinya ia berkolaborasi dengan berbagai institusi dan ilmuwan-aktivis yang lain. Ketiga, studi yang mendalam ini juga dijadikan ‘senjata’ bagi Engineer untuk mempromosikan harmoni, toleransi dan pengertian dalam  hubungan antar etnis. Prinsip-prinsip ini dapat dilihat misalnya dalam studinya tentang komunitas Muslim di Gujarat (1989). Sekali lagi, benang merah yang menyatukan berbagai studi Engineer tentang komunitas Muslim dan minoritas adalah pandangannya yang anti-esensialis: Engineer menunjukkan bahwa terdapat keberagaman yang begitu luar biasa dalam komunitas Muslim, dan, komunitas Muslim tidaklah kurang kadar ‘keIndiaan’nya dibandingkan komunitas dan kelompok etnis yang lain.

Bukan kebetulan jika Engineer juga mendukung ‘nasionalisme campuran’ alih-alih nasionalisme Muslim ala Liga Muslim yang dipandangnya agak sektarian. Ia menyatakan kekagumannya terhadap Jami’atul Ulama ‘il-Hindi, sebuah organisasi Muslim yang mendukung perjuangan kemerdekaan India dan integrasi masyarakat Muslim ke dalam masyarakat India (2009).

Terakhir, Engineer juga merupakan seorang kritik atas praktek-praktek pembangunan yang eksploitatif. Ia misalnya, mengkritik rejim Jendral Zia-ul-Haq di Pakistan yang mempromosikan ‘Islamisasi’ dalam artiannya yang sempit namun menolak program-program nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis, reformasi pertanahan dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat redistribusionis. Di India, secara konsisten ia juga menolak politik sayap kanan yang dipromosikan oleh Partai BJP yang mempromosikan fundamentalisme Hindu di satu sisi dan kebijakan neoliberal di sisi lain.

Penutup: Engineer dan Kita

Melihat kiprah Asghar Ali Engineer, kiranya tak berlebihan apabila kita memberinya label ini: intelektual organik.

Dedikasi dan komitmen Engineer tentu bukan tanpa resiko. Beberapa kali ia mendapat ancaman dan kritik dari lawan-lawannya dan mereka yang tidak menyukai gagasannya. Namun, ia tetap menulis, bekerja dan melawan.

Ketika nasib masyarakat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para intelektual hanya doyan berdiskusi, warisan Engineer terasa semakin relevan.

Selamat Jalan, Dr. Engineer. Di tengah-tengah bulan puasa ini, sosoknya menjadi pengingat bagi kita semua: ia tidak menghamba, mengawang-ngawang, maupun mendakik-dakik.***

*Penulis berterima kasih kepada rekan Dani Muhtada atas masukan dan diskusinya tentang karya-karya Asghar Ali Engineer.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

 

Kepustakaan

Engineer, A. A. (1987). Islam and Its Relevance to Our Age. Kuala Lumpur: Ikraq.

Engineer, A. A. (1989). The Muslim Communities of Gujarat. Delhi: Ajanta Publications.

Engineer, A. A. (2006). The Rights of Women in Islam. In A. I. Alwee, & M. I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical Perspective (pp. 161-177). Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd.

Engineer, A. A. (2009). Governance and Religion: An Islamic Point of View. In C. Muzaffar,Religion and Governance (pp. 109-119). Selangor Darul Ehsan: Arah Publications.

Engineer, A. A. (2009). Islam dan Pluralisme. In D. Effendi, Islam dan Pluralisme Agama (pp. 25-41). Yogyakarta : Interfidei.

Stepan, A. C. (2000). Religion, Democracy, and the “Twin Tolerations”. Journal of Democracy, 11 (4), 37-57.

 

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Tanggapan dan Tambahan untuk Airlangga Pribadi
Iqra Anugrah,
 mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS.

http://indoprogress.com/muslim-demokrat-yang-tunduk-kepada-oligarki/

APA KABAR kaum Muslim Demokrat Indonesia? Dinamika diskursus dan aktivisme kaum Muslim Demokrat dengan berbagai tendensi dan variannya di Indonesia, telah membawa mereka dan juga gerakan sosial serta gerakan Islam di Indonesia pada persimpangan jalan: apakah kaum Muslim Demokrat akan terjebak di dalam logika kuasa yang oligarkis, ataukah mereka akan konsisten terhadap cita-cita pergerakan mereka dengan memperjuangkan politik demokratis yang lebih radikal?

Menanggapi gugatan kawan Airlangga Pribadi atas problematika dan dilema kaum Muslim Demokrat di Indonesia, kali ini saya ingin mengamini argumen Airlangga, sekaligus menambahkan beberapa kritik terhadap tesis Muslim Demokrat di Indonesia. Kritik ini meliputi kritik epistemologis, metodologis, dan praxis. Melalui tulisan ini, saya berharap bahwa kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia pada umumnya, dapat melakukan refleksi yang lebih dialektis atas kiprahnya selama ini.

Pentingnya Realisme dalam Membaca Masyarakat Islam

Sebagaimana pernah saya sampaikan sebelumnya dalam tulisan saya tentang metode Marxis dalam studi Islam, kali ini saya ingin memaparkan kembali tentang kegunaan metode Marxis dalam memahami masyarakat Islam. Sedikit banyak, saya terinspirasi oleh karya-karya Maxime Rodinson (1973; 1980; 1981). Dalam karya-karyanya, Rodinson mencoba mengalihkan fokus studi Islam dan Orientalisme secara keseluruhan dari pembacaan yang simplistis atas masyarakat Islam, menuju sebuah pembacaan yang lebih komprehensif dan kritis, yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek kesejarahan, kuasa, dan ekonomi-politik yang membentuk budaya dan tatanan nilai masyarakat Islam. Namun, dalam menanggapi tuduhan ‘determinisme basis ekonomi’ atau ‘determinisme ekonomi-politik’ dalam analisa Marxis atas masyarakat Islam, Rodinson sendiri menegaskan bahwa faktor-faktor ideasional dan kultural atau kebudayaan, bukanlah sekedar cerminan epifenomenal superstruktur atas basis material suatu masyarakat, suatu argumen yang juga ditegaskan oleh Georg Lukács (1971). Ada dinamika dan pertautan antara faktor-faktor material dan ideasional dalam perkembangan sejarah suatu masyarakat. Lebih lanjut lagi, aspek-aspek ideasional seperti perkembangan diskursus keagamaan dalam suatu masyarakat dapat muncul dalam berbagai bentuknya yang terkadang dapat berbenturan atau berkonflik satu sama lain.

Berangkat dari argumen inilah, kita dapat memahami dinamika Islam dan politik di Indonesia serta kelemahan argumen-argumen kaum Muslim Demokrat.

Beberapa Kritik tambahan atas Kaum Muslim Demokrat di Indonesia

Beberapa kelemahan argumen kaum Muslim Demokrat dalam dinamika demokratisasi di Indonesia, dijelaskan secara gamblang oleh Airlangga dalam artikelnya. Pertama, argumen kaum Muslim Demokrat sebagai salah satu lokomotif demokratisasi di Indonesia terlampau menekankan pada aspek agensi, namun abai pada kondisi dan hambatan struktural di mana agensi itu bekerja. Kedua, kemunculan gagasan-gagasan progresif, terutama dalam varian liberal  ala kaum Muslim Demokrat, juga tidak lepas dari faktor-faktor material yang memungkinkan gagasan tersebut muncul  – seperti ketersediaan dana untuk berbagai lembaga non-pemerintah (LSM) baik dari dalam maupun luar negeri. Ketiga, kaum Muslim Demokrat abai akan fakta bahwa perspektif modal sosial (social capital) yang sering menjadi landasan bagi argumen mereka, merupakan ‘kuda troya’ (trojan horse) atas agenda-agenda developmentalisme ala institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank dan Lembaga Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), dan juga merupakan bagian dari agenda kapitalisme neoliberal (Carroll, 2009; 2010; Sommers, 2008).

Selain kritik-kritik tersebut di atas, beberapa tambahan kritik lain perlu disebut. Pertama, kaum Muslim Demokrat abai terhadap kesenjangan  basis material dan aspek-aspek ekonomi-politik lain antara para ‘intelektual Islam’ dengan realitas objektif umat dan masyarakat yang mereka perjuangkan. Tatkala kaum Muslim Demokrat sibuk berdiskusi dan melakukan kegiatan-kegiatan ‘produksi intelektual,’ di saat yang bersamaan berbagai kelompok masyarakat yang tertindas dan termarginalisasi masih saja tereksploitasi. Sesekali, kaum Muslim Demokrat ‘turun gunung’ dan turut aktif dalam berbagai agenda politik progresif, seperti perlindungan terhadap hak-hak minoritas, namun komitmen dan partisipasi mereka berhenti hanya di situ.

Kedua, kesenjangan ekonomi-politik ini juga tercemin dalam kesenjangan diskursif antara para intelektual dan umat yang katanya diwakilkan oleh mereka. Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, aspek diskursif dari transmisi suatu pengetahuan keagamaan penting untuk diperhatikan, karena aspek ini dapat dipahami secara berbeda oleh berbagai kelompok masyarakat dan menimbulkan berbagai interpretasi (Kendhammer, 2013). Sebelum agenda-agenda pembaharuan Islam dan keagamaan secara umum dapat disebarkan, yang tidak kalah penting adalah mengetahui bagaimana persepsi dan pemahaman publik atas diskursus keagamaan secara umum. Hemat saya, untuk mengetahui kecakapan diskursif publik atas agenda-agenda pembaruan keagamaan dan ide-ide progresif lainnya, barangkali yang diperlukan bukan hanya kecakapan membaca dan memahami teks-teks keagamaan dan perdebatan paling mutakhir dalam kajian ilmu sosial dan humaniora. Tak kalah penting adalah adanya kepekaan atas faktor-faktor material yang membentuk pemahaman masyarakat, sekaligus kerelaan untuk belajar bersama berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang tertindas, dalam hubungan yang setara, pedagogis dan dialektis (Freire, 2006).

Tentu saya mengapresiasi komitmen berbagai kalangan kaum Muslim Demokrat Indonesia atas agenda-agenda politik progresifnya, seperti pembelaan terhadap kelompok minoritas keagamaan dan isu-isu sosial dan politik yang mendesak. Namun, menurut saya, mereka telah gagal dalam menganalisa permasalahan yang lebih besar dari berbagai permasalahan yang terkait dengan diskursus keagamaan di Indonesia, serta dalam memperjuangkan agenda demokrasi yang lebih luas, mendalam dan partisipatoris. Fenomena munculnya kelompok-kelompok vigilantis yang bernuansa kegamaan dan etnis, misalnya, tidak dapat disimplifikasi menjadi sekedar masalah ‘fundamentalisme versus moderatisme dan liberalisme Islam.’ Kita perlu melihat bagaimana sejarah dari berbagai kelompok tersebut, dampak transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi, serta perubahan pola politik kuasa dan patronase, serta aliran dana yang memungkinkan kelompok-kelompok tersebut terus aktif (Wilson, 2006; 2010). Begitupun persoalan munculnya berbagai perda bernuansa syari’ah, yang tidak lepas dari dorongan akumulasi kapital dan populisme politik dalam konteks politik lokal yang terdesentralisasi (Buehler, 2008). Tentu faktor-faktor yang bersifat ideologis, seperti pemahaman fundamentalis atas agama berperan dalam penyebaran fenomena seperti ini. Namun, bukankah diseminasi ide-ide seperti itu lebih mudah terjadi di dalam konteks masyarakat perkotaan dengan praktek-praktek politik yang koruptif dan kesenjangan sosio-ekonomi yang makin meningkat? (Kendhammer, 2013). Kemudian, diseminasi ide-ide pembaharuan keagamaan dan agenda-agenda sosial progresif ala kaum Muslim Demokrat juga terkesan elitis. Akibatnya, ide-ide kaum Muslim Demokrat justru terdengar asing bagi umat Islam Indonesia itu sendiri. Kesenjangan ini juga diperparah dengan praktek politik dari berbagai tokoh kaum Muslim Demokrat yang memutuskan untuk merapat dengan kekuatan-kekuatan bisnis dan politik yang oligarkis atau bergabung dengan politik kepartaian tanpa kalkulasi yang matang atas berbagai dilema dalam politik elektoral. Secara mengherankan, beberapa tokoh terkemuka dari kaum Muslim Demokrat juga mengadvokasi keunggulan agenda-agenda ekonomi politik pasar bebas, namun tidak melangkah lebih jauh dengan membongkar berbagai ortodoksi asumsi dari agenda-agenda tersebut.

Akibatnya, kaum Muslim Demokrat Indonesia justru terjebak dalam praktek-praktek politik yang oligarkis dan anti-demokratik yang berlawanan dengan agenda yang mereka perjuangkan selama ini. Kemudian, asosiasi masyarakat antara kaum Muslim Demokrat dengan keterlibatan mereka dalam politik praktis – suatu asosiasi yang ingin ‘diceraikan’ oleh kaum Muslim Demokrat namun nampaknya tidak berhasil – akhirnya memberikan dampak negatif bagi agenda-agenda pembaruan Islam itu sendiri. Imajinasi kolektif berbagai kelompok masyarakat, termasuk beberapa kelompok kelas menengah, atas kaum Muslim Demokrat, sebagai penyebar pemahaman keagamaan yang ‘sesat’ atau ‘nyeleneh,’ sedikit banyak berakar dari abainya kaum Muslim Demokrat atas faktor-faktor material-struktural yang berkaitan dengan aktivitas dan agenda intelektual mereka. Pada akhirnya, hal ini menjadi hambatan bagi agenda-agenda progresif dari kaum Muslim Demokrat itu sendiri dan agenda-agenda pembaruan Islam yang lebih luas.

Refleksi dan Penutup

Berkaca dari kegagalan kaum Muslim Demokrat dalam memperjuangkan agenda-agenda politik yang lebih demokratik dan anti-oligarki, untuk kedepannya saya melihat setidaknya ada dua catatan yang perlu diperhatikan kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia.

Pertama, kita perlu melihat pada proses sejarah sosial (social history) dari pembentukan suatu diskursus. Dalam pemikiran politik Barat, analisa sejarah sosial ini pernah dilakukan oleh Wood (2008; 2012) secara bernas untuk melihat apa sesungguhnya ketegangan utama dalam sejarah filsafat politik Barat. Kaum Muslim Demokrat dan kita, bagian dari gerakan sosial yang lebih luas di Indonesia, perlu belajar dari karya intelektual tersebut. Sejarah sosial pembentukan suatu diskursus intelektual, termasuk diskursus tentang peranan utama kaum Muslim Demokrat, tidak terlepas dari berbagai faktor material yang berada di sekelilingnya. Khususnya faktor pembentukan elit (elite formation), yaitu proses perkembangan intelektual dari para cendekiawan Muslim Demokrat itu sendiri dan juga proses perkembangan elit-elit ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan yang secara potensial dapat membantu perkembangan dan diseminasi diskursus para kaum Muslim Demokrat, misalnya perkembangan kelompok diskusi, lembaga tangki pemikir (think tank), dan sumber dana yang dapat membantu keberlangsungan lembaga-lembaga semacam itu. Tujuan dari analisa sejarah sosial atas suatu diskursus intelektual, tidak terkecuali diskursus Muslim Demokrat, adalah untuk mengetahui bagaimana suatu diskursus intelektual dalam perkembangannya dapat terdistorsi dan alih-alih mewakili kepentingan kelompok yang tertindas, justru menjadi perwakilan dan perpanjangan tangan dari kelas yang berkuasa.

Kedua, kooptasi diskursif dan ekonomi-politik atas agenda kaum Muslim Demokrat juga tidak lepas dari internasionalisasi dan ekpansi kapitalisme neoliberal yang memungkinkan kooptasi itu terjadi. Kaum Muslim Demokrat di Indonesia, juga tidak lepas dari jeratan proses kooptasi ini.

Apakah kaum Muslim Demokrat hanya menjadi kaum Muslim ‘Demokrat,’ pandai bercakap dan berdebat dalam diskursus dan leksikon agenda-agenda sosial dan politik liberal, namun abai pada struktur oligarkis yang menopangnya? Apakah kaum Muslim Demokrat, sebagaimana banyak elemen dari gerakan sosial yang lain, pada akhirnya tunduk kepada oligarki? Mungkin, hanya kaum Muslim Demokrat sendirilah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Namun, seingat saya, bukankah sejarah menunjukkan, sebagaimana dapat kita lihat dalam perjuangan berbagai elemen progresif dalam Sarekat Islam (SI) melawan kolonialisme, bahwa Islam hanya dapat menjadi kekuatan pembebas apabila ia berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas?

Ah, lagi-lagi saya lupa. Agaknya sudah lama kita enggan membaca kembali sejarah kita.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Buehler, M., 2008. ‘Shari’a By-Laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption.’ Southeast Asia Research, 16(2), pp. 165-195.

Carroll, T., 2009. ‘Social Development’ as Neoliberal Trojan Horse: The World Bank and the Kecamatan Development Program in Indonesia. Development and Change, 40(3), pp. 447-66.

Carroll, T., 2010. Delusions of Development: The World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. 1st ed. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Freire, P., 2006. Pedagogy of the Oppressed. 30th ed. New York: Continuum.

Kendhammer, B., 2013. ‘The Sharia Controversy in Northern Nigeria and the Politics of Islamic Law in New and Uncertain Democracies.’ Comparative Politics, 45(3), pp. xx-xx.

Lukacs, G., 1971. History and Class Consciousness. 1st ed. Cambridge: The MIT Press.

Rodinson, M., 1973. Islam and Capitalism. New York, NY: Pantheon Books.

Rodinson, M., 1980. Muhammad. New York: Pantheon Books.

Rodinson, M., 1981. Marxism and the Muslim World. New York, NY and London: Monthly Review Press.

Sommers, M., 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness, and the Right to Have Rights. 1st ed. New York: Cambridge University Press.

Wilson, I., 2010. ‘Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State in Post-New Order Jakarta.’ In: E. Aspinall & G. van Klinken, eds. The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press, pp. 239-259.

Wilson, I. D., 2006. ‘Continuity and Change: The Changing Contours of Organized Violence in Post-New Order Indonesia.’ Critical Asian Studies, 38(2), pp. 265-297.

Wood, E. M., 2008. Citizens to Lords: A Social History of Western Political Thought from Antiquity to the Middle Ages. 1st ed. New York: Verso.

Wood, E. M., 2012. Liberty & Property: A Social History of Western Political Thought from Renaissance to Enlightenment. 1st ed. New York: Verso.