Some Recent Publications Since 2021

2021
Politics in and through Indonesia: Agrarian Change, Conservatism, and Many More. CSEAS Kyoto University Visitor’s Voices, August 24 (Commissioned article), https://kyoto.cseas.kyoto-u.ac.jp/en/staff/iqra-anugrah/?more=19970

Toby Carroll, Shahar Hameiri, Lee Jones. Eds. 2020. The Political Economy of Southeast Asia: Politics and Uneven Development under Hyperglobalisation. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia/BKI, Vol. 177, No. 4 (2021), 563-565 (Invited book review), https://brill.com/view/journals/bki/177/4/article-p563_5.xml?language=en

Slavoj Žižek. 2020. Pandemic! Covid-19 Shakes the World. Jurnal IndoProgress. Vol. 1, No. 1 (2021), 151-155 (Invited book review), https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2022/04/Jurnal-IP-Vol1No12021-English.pdf

2022
Facing the Double Crisis: Omnibus Law, Covid-19, and Social Movements in Indonesia (with Anwar Ma’ruf). In Lessons Learned from Covid-19: Transforming a Global Crisis into Global Solidarity? (Manila: Rosa-Luxemburg-Stiftung Southeast Asia Manila Office), pp. 48-60. https://rosaluxmanila.org/wp-content/uploads/2023/11/Global-Solidarity-ENG-Full.pdf

2023
2023. “Islamic Philanthropy, Effective Altruism, and Public Welfare: A Critique.” Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol. 11, No. 2, 168-180. DOI: https://doi.org/10.22500/11202348227

2023. “Land Control, Coal Resource Exploitation, and Democratic Decline in Indonesia.” TRaNS: Trans-Regional and -National Studies of Southeast Asia, Vol. 11, No. 2, 195-213. DOI: https://doi.org/10.1017/trn.2023.4

Okamoto Masaaki and Jafar Suryomenggolo. Eds. 2022. Indonesia at the Crossroads: Transformation and Challenges. Contemporary Southeast Asia, Vol. 45, No. 3 (2023), 548-550 (Invited book review). https://bookshop.iseas.edu.sg/publication/7882

John Ingleson. 2022. Workers and Democracy: The Indonesian Labour Movement, 1949-1957. South East Asia Research, Vol. 31, No. 4 (2023), 427-474 (Invited book review). DOI: https://doi.org/10.1080/0967828X.2023.2268345

2024
2024. “When the Ruling-Class Parties Harden: Indonesia and Great Power Politics in the Indo- Pacific.” Monthly Review, Vol. 76, No. 3, 98-115. https://monthlyreview.org/2024/07/01/when-the-ruling-class-parties-harden-indonesia-and-great-power-politics-in-the-indo-pacific/

2024. “Indonesia in 2023: Between Democracy and Dynasty.” Asian Survey, Vol. 64, No. 2, 267-277 (with Ehito Kimura). DOI: https://doi.org/10.1525/as.2024.64.2.267

Accidental Conservatives? Economic Technocrats and Modernization in Indonesia. The Newsletter, No. 98, 42-43. Republished in IndoProgress, July 12.

Young Democracy Clashed with Authoritarian Legacies in Indonesia – and It Lost. The Loop-ECPR’s Political Science Blog, April 9.

The Indonesian Democracy May Change once Prabowo is President, But We Need to Look at the Bigger Picture. Bliss-Blog by ISS. April 9. Republished in Jentayu, April 22 and IndoProgress, May 15.

Cawe-cawe Menuju 2024, Mempertahankan Demokrasi atau Syahwat Berkuasa

Jelang Pemilu, Quo Vadis Independensi Lembaga Negara?

Sabtu, 10 Juni 2023 

https://www.law-justice.co/artikel/151270/jelang-pemilu-quo-vadis-independensi-lembaga-negara/

Excerpts from my interview with Law & Justice.co

law-justice.co – Hawa politik semakin memanas di tahun politik.Hanya beberapa bulan menuju Pemilu 2024, intrik politik mulai diluncurkan oleh para elite politik. Sehingga rakyat seolah dibikin melihat dinamika perpolitikan kini hanya seputar pertarungan antara kelompok politik penguasa pro status quo melawan kelompok oposisi yang menghendaki peralihan kekuasaan. 

Ikut campurnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam politik elektoral jelang Pemilu, semakin membuat panas iklim politik dalam negeri. Mulanya, gelagat politik ini terkesan samar-samar, namun belakangan justru Jokowi mengakui dirinya sedang cawe-cawe untuk pemenangan capres dari partainya, PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo. 

Cawe-cawe sebuah frasa lama yang secara harafiah, menurut Kamus besar Bahasa Indonesia,  memiliki makna ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani. Namun, saat memasuki khazanah politik, kecenderungan aksi akan menentukan nilai dari kata cawe-cawe ini…..

Pertarungan Elit Hanya Untungkan Oligarki, Rakyat Dapat Apa?

Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden, Iqra Anugrah, mengungkapkan dinamika politik yang terjadi hari-hari ini jelang Pemilu merupakan pertikaian antar oligarki. Baik mereka yang berada dalam status quo kekuasaan maupun mereka kelompok oposisi. Ia menjelaskan, tesis oligarki dalam politik Indonesia ini merujuk ke bagaimana politik, bahkan dalam sistem demokrasi elektoral sekalipun, itu seringkali didominasi oleh jejaring elite ekonomi dan politik yang bermuara pada kepentingan segelintir elite. 

“Terkait dinamika politik hari ini, yang saya ingin tekankan jangan sampai kita lupa gambaran besarnya bahwa yang terjadi adalah sebenarnya kompetisi intra oligarki di antara aktor-aktor dalam jejaring oligarki itu sendiri. Mereka memiliki pertemuan kepentingan yang sangat erat. Jadi, kita bukan berbicara individu ke individu, tokoh ke tokoh, tapi mengenai jejaring elite politik yang senantiasa mereproduksi dirinya sehingga bisa membajak proses dan juga juga tujuan dari mekanisme demokrasi itu sendiri,” kata Iqra saat dihubungi Law-justice, Rabu (7/6/2023). 

Iqra menitikberatkan praktik oligarki yang menggerogoti sistem politik Indonesia hari ini merupakan manifestasi wajah politik Tanah Air sejak lama. Meski ada letupan-letupan kecil dari kalangan reformis pasca era Orde Baru untuk mengubah karakteristik politik, akan tetapi pada akhirnya luruh pada kekuasaan.  “Politik Indonesia pasca Reformasi bisa dibilang bagian dari reproduksi dari proses oligarki tersebut. Meskipun kerap disebut Jokowi di awal-awal kemunculannya sebagai tokoh reformis ketika naik takhta kepemimpinan nasional di 2014. Tapi pada perjalanannya, ia masuk dalam jejaring oligarki itu” ujar dia. 

Iqra Anugrah, Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden.

Ia berkata, dalam relasi oligarki, para elite partai politik yang ada ini memiliki kuasa untuk memframing arah demokrasi berdasar kepentingan. Lalu, berdaulat atas kontrol sumber daya politik, ekonomi dan sumber daya alam, macam tanah hingga batubara. Jika ditilik, di antar kubu politik yang tengah bertikai, terdapat karakteristik oligarki tersebut. Misal para elite politik yang memiliki jejaring bisnis di sektor ekstraktif.

Di kubu Jokowi, ada nama Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki korporasi tambang batubara bernama PT Toba Sejahtera. Sedangkan, di kubu Anies, bercokol Surya Paloh yang memiliki kapital melalui perusahaan tambang seperti PT Emas Mineral Murni dan PT Surya Energi Raya.   

Pandemi Bisa Sebabkan Krisis Pangan, Peneliti: Cegah Alih Fungsi Lahan Jadi Solusi

https://lipsus.kompas.com/pameranotomotifnasional2024/read/2020/04/29/075515326/pandemi-bisa-sebabkan-krisis-pangan-peneliti-cegah-alih-fungsi-lahan-jadi?page=all#page2

29 April 2020

KOMPAS.com – Peneliti agraria di Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto Jepang Iqra Anugrah mengatakan, dari perspektif agraria dampak dari pandemi Covid-19 cukup mengkhawatirkan dan patut diwaspadai. “Krisis pangan akan terjadi, dan yang akan terdampak adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan,” katanya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (29/4/2020).

Masalah ini pun sesuai dengan peringatan Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang menyebut dampak pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan resesi ekonomi, tapi juga berpotensi pada krisis pangan global.

Untuk itu, Iqra menilai, langkah mitigasi guna mencegah krisis kebutuhan pangan ini mutlak dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah dengan mencegah alih fungsi lahan.

“Mencegah alih fungsi lahan sangat penting, tapi tidak cukup itu. Selain itu, yang harus didorong adalah pembangunan sektor agraria yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, alih-alih sekadar pasar,” katanya.

Lalu, langkah berikutnya adalah mendorong adanya agenda redistribusi lahan dan penyelesaian konflik-konflik agraria.

“Terakhir, pemerintah juga perlu mengakomodasi pola kepemilikan lahan yang bersifat komunal agar dikelola oleh organisasi dan komunitas rakyat di pedesaan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, Iqra juga menyarankan agar pemerintah segera mengawasi dan menghentikan praktik spekulasi lahan yang dilakukan oleh bisnis skala besar yang cenderung terjadi di tengah masa krisis.

“Hal ini semata agar tidak ada alih fungsi lahan besar-besaran saat krisis terjadi,” ujar pria yang juga peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ini.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu pula menggandeng komunitas rakyat dalam menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi ini.

Gotong royong antar elemen ini penting guna memastikan tidak ada yang kekurangan pangan di masyarakat.

“Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan berbagai inisiatif yang dilakukan komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi rakyat yang telah melakukan upaya untuk menyediakan stok pangan, baik bagi warga desa maupun konsumen di perkotaan,” tandasnya.

Mentan akan tindak pelaku konversi lahan

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menegaskan, pihaknya akan menjaga eksistensi lahan pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan 267 juta masyarakat secara mandiri.

“Kalau alih fungsi lahan dibiarkan, besok anak-anak kita mau makan apa? Boleh ada perumahan, boleh ada hotel, tapi tidak boleh merusak lahan pertanian yang ada,” ujar menteri yang akrab disapa SYL ini.

Untuk itu, dia pun mengingatkan, kini sudah ada peraturan daerah (perda) perlindungan lahan abadi pertanian yang sudah ditandatangani untuk tidak dialihfungsikan oleh kepala daerah.

Bagi pihak yang melakukan alih fungsi lahan sesuai dengan UU Nomor 51 tahun 2009 akan dikenakan sanksi penjara 5 tahun.

Hal ini juga didukung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang telah memberikan surat edaran kepada seluruh gubernur, bupati dan wali kota seluruh Indonesia untuk turut dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan dan Penetapan Kawasan/Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

“Jangan sampai ada konspirasi tanda tangan pejabat, DPR atau segala macam untuk konversi lahan pertanian, penjaranya 5 tahun. Ada undang-undangnya itu,” jelasnya.

Perlu diketahui, pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).

Kementan dalam hal ini telah secara aktif melakukan upaya pencegahan alih fungsi lahan secara masif melalui pemberian insentif bagi pemilik lahan.

Insentif tersebut berupa pemberian berbagai bantuan sarana produksi tani (Saprodi) seperti alat mesin pertanian, pupuk, dan benih bersubsidi.

“Upaya pencegahan alih fungsi lahan, salah satunya dengan single data lahan pertanian. Data pertanian itu harus satu, sehingga data yang dipegang Presiden, Gubernur, Bupati, Camat sampai kepala desa semuanya sama, termasuk masalah lahan pertanian dan produksi,” tuturnya.

Mudahnya perizinan

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy menambahkan, makin berkurangnya lahan pertanian salah satunya disebabkan mudahnya izin alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

Hal itu dikarenakan, lahan pertanian pangan, terutama sawah, merupakan lahan dengan land rent yang rendah.

“Diharapkan dinas terkait khususnya pertanian mengetahui dan diikutsertakan juga dalam pembentukan Tim Teknis,” terang Sarwo.

Dia juga menjelaskan, dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kab/Kota (RTRWK) sangat penting dan perlunya peran serta Badan Pelayanan Perizinan Terpadu.

Penyebab lainnya, lanjut Sarwo, adalah permasalahan lambatnya penyusunan perda tentang RTRW Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Dia menerangkan, Perda RTRW Kabupaten/Kota yang sudah dibahas di tingkat pusat dalam hal ini Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) Pusat masih dibahas kembali dengan DPRD Kabupaten/Kota termasuk pembahasan (LP2B).

“Diharapkan Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten/Kota agar aktif mengikuti perkembangan penyusunan RTRW di masing-masing wilayahnya,” tukasnya.

Lahan Pertanian Kian Sulit Diakses, Aktivis Tidak Tinggal Diam

Ekspansi pasar ke daerah perdesaan berdampak negatif bagi kepemilikan tanah bagi petani (Terbit 2 Desember 2020)

https://www.genpi.co/berita/73424/lahan-pertanian-kian-sulit-diakses-aktivis-tidak-tinggal-diam

Forum Diskusi Publik bertajuk Konflik Agraria serta Akses Masyarakat Lokal dan Adat terhadap Tanah yang diselenggarakan secara virtual, Senin (30/11/2020).

GenPI.co – Akses petani terhadap lahan pertanian makin hari makin sulit di Indonesia. Hal ini mendorong diselenggarakan Forum Diskusi Publik bertajuk Konflik Agraria serta Akses Masyarakat Lokal dan Adat terhadap Tanah yang diselenggarakan secara virtual, Senin (30/11/2020).

“Demokrasi mengandaikan keadilan dan kesetaraan, tapi faktanya petani makin susah dan masyarakat adat terpinggirkan,” kata akademisi Musa Maliki. Ekspansi pasar ke daerah perdesaan berdampak negatif bagi kepemilikan tanah para petani. Para aktivis petani pun merespons keadaan ini, baik yang berfokus pada masyarakat maupun kebijakan. “Mereka yang fokus pada masyarakat lebih menekankan pada mobilisasi massa petani untuk memperjuangkan hak atas tanah mereka hingga pembentukan koperasi,” kata peneliti dan akademisi Iqra Anugrah. Sementara itu, aktivis petani yang berfokus pada kebijakan cenderung memperjuangkan perubahan kebijakan secara institusional.

“Para aktivis ini akan memperjuangkan hak atas tanah lewat advokasi hukum atau penetrasi produk tani secara gencar ke pasar untuk meningkatkan daya jual,” ujar Iqra.

It’s a Wrap!

Finally, after spending two years in Indonesia for dissertation research I have an announcement: my fieldwork has come to an end!

What was expected to be a year-long research ended up as two-years stay in the country – in fact, my longest stay after high school. Over the course of my fieldwork, I – rather unsurprisingly I’d say – ended up doing or getting involved in things outside of my research activities too. Essentially, it is a re-engagement with the Indonesian social movement landscape. I have to emphasize that this is not a bad thing. In fact, it helps a lot with my research.

Now, my days in Indonesia are numbered. I got my visa already and booked my flight back to my home institution, NIU. On August 21 I’ll be heading back to the US. Time indeed flies.

I will still go back for sure, but for now, let me say thank you very much for the many people, informants and good samaritans, comrades and colleagues, friends and families, who’ve helped me along the way. I can never repay your kindness – but let it be known that your contribution will always be remembered and acknowledged.

So au revoir! On to the writing phase!

Ramadhan’s To-Read-List

The last week of my fieldwork in Bengkulu coincides with the first week of Ramadhan – the Muslim fasting month. Given that I have more time for reading (for pleasure) in the last one month or so, I somehow managed to come up with this reading list:

On Political Islam

On Labor Politics

Having something to read on the side while working on your dissertation project is fun. It keeps your sanity too.

For the Late Ajarn Danny

Ajarn DannyThis was literally my last picture with the late Professor Danny Unger. Taken last year when I attended a conference in Bangkok, it was also my last time to meet him in person. Great minds oftentimes gone too soon.
A specialist on Comparative Politics and Southeast Asian Studies particularly Thailand, his vast knowledge on politics and stuff never failed to fascinate me (though I figured he had more collections of novels and other literary works than books on politics at his house). This is the guy whom I referred to as, just like the way I introduced him to my students, “the guy who knows (almost) everything.” Like, seriously he can talk about stuff – Chinese rural politics in revolutionary transition, early modern state formation processes in Western Europe, debates in philosophy of science, you name it. I had the privilege to work with him as a teaching assistant, a graduate student, and a junior colleague. I also enjoyed every class that I took with him.I will remember many things about him – his intelligence, warmth, and supportive attitude toward young scholars in training. His hilarious expressions and clumsiness (once he asked me to google search and put some pictures for his class presentations, oh and don’t even start asking me about those unfoldered files flooding his desktop). Oh, mustn’t forget his peculiar hobby of woodworking.

My colleagues and I will certainly cherish our memories of him. He set the example for many of us in the field.

Goodbye, Ajarn Danny Unger. May you rest in peace. You will be greatly missed.

*For another beautiful obituary by T.F. Rhoden, see this link.

Quick Updates from the Field

It’s been a while since I write a blog post on this website! The last couple of months have been very busy for me – I wasn’t only doing my research but also, inevitably, involved in some activist work. So I ended up staying in Jakarta longer than I expected, but eventually I was able to spare some time for my last round of fieldwork. I made it, so here I am, in Bengkulu. To be more exact, I will spend the next two months in North Bengkulu District, looking at the evolving relationship between the Bengkulu Peasant Union (Serikat Tani Bengkulu, STaB) and the local elites in post-authoritarian era. Some elaboration on this dynamics have been written here (especially in this chapter), but the data only cover up until 2007. More still needs to be written about STaB and the North Bengkulu peasants, which is why I am here.

So far it’s been a productive fieldwork – I finished conducting several interviews and got hold of some key documents on the land conflict between local peasants and plantation companies. Overall, it’s a good start. I’m gonna be busy, and expect more to come in the next couple of weeks.

Ah, it feels good to be back on the field again.

Asian Roundtable on Social Protection Network 2016

The 5th Regional Conference of Asian Roundtable on Social Protection Network (AROSP) 2016 in Jakarta kicked off today.

AROSP is “a network of grassroots workers’ organisations, trade unions, NGOs, and scholars in Asia” that “aims to support and consolidate the regional struggle for social protection for the poor across various sectors in Asia.” This time, AROSP works with the Research Centre for Crisis and Alternative Development Strategy (Inkrispena) as its local partner to organize the roundtable in Jakarta. The conference participants are activists, unionists, community organizers, and researchers from various people’s organizations and grassroots NGOs in Asia.

I had the pleasure to moderate the very first panel on the theoretical debates surrounding social protection, exemplary practices of social protection “from below”, and the politics of social protection in Indonesian context, with my comrades Muhammad Ridha from Inkrispena and Anwar Sastro Ma’ruf from the Confederation of Indonesian People’s Movements (KPRI) as the speakers.

It was a rather short panel – we only had around 1 hour and 15 minutes for the whole package. But nonetheless we had a very enlightening and engaging discussion. Unfortunately I cannot attend the whole conference since I have other events to attend, but I’m sure the conference will be a great learning opportunity for all participants!