Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis

APA tugas dan peranan kaum pekerja “non-tradisional” – aktivis, organizer, intelektual, peneliti, dan bermacam rupa kelas menengah yang bersolidaritas – dalam kehidupan dan upaya-upaya kolektif rakyat pekerja? Bisa dikatakan ini merupakan salah satu pertanyaan utama bagi gerakan progresif di seluruh dunia. Pertanyaan ini penting karena jawaban atasnya memiliki implikasi penting bagi dinamika internal dan trajektori dari gerakan progresif – terutama dalam hal hubungan antara rakyat pekerja, unsur-unsur pimpinan dalam gerakan, dan sekutunya – yang seringkali berlatar belakang bukan dari proletariat tradisional?

Ini adalah pertanyaan yang menghantui banyak middle-class allies dalam gerakan progresif, termasuk saya. Dalam tataran yang lebih praktis, pertanyaan tersebut dapat diparafrasekan seperti ini: bagaimana kaum pekerja non-tradisional dapat terlibat, bergumul, dan akhirnya mengerti realita sosialnya rakyat pekerja?

Pelan-pelan saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut di sela-sela penelitian disertasi saya. Dari amatan dan keterlibatan saya dalam kehidupan rakyat desa selama berbulan-bulan di Banten dan Sulawesi Selatan, saya mencoba untuk memahami dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh rakyat desa sehari-hari dan memikirkan ulang mengenai hubungan saya sebagai, katakanlah, peneliti kelas menengah yang simpatik dengan mereka. Saya menganggap, apa saya lakukan merupakan fardu kifayah – kewajiban bagi sebagian orang, terutama bagi yang berpengetahuan dan sadar atas pentingnya tugas tersebut.

Untungnya, saya tidak sendirian. Dalam antropologi, tradisi penelitian etnografis yang mengandalkan teknik pengamatan partisipatif (participant observation), yang mengharuskan seorang peneliti untuk tinggal di suatu komunitas dan going native merupakan fondasi dalam bidang keilmuan tersebut. Di gerakan Kiri, ada sejumlah teladan yang coba mengamalkan prinsip ini. Pertama tentu saja ada Frederick Engels, yang melakukan sebuah amatan antropologis dalam salah satu karya klasiknya, The Condition of the Working Class in England.Saya bayangkan Engels muda, yang pada waktu itu masih berusia 24 tahun dan bekerja di salah satu cabang perusahaan kapas milik ayahnya di Manchester, dengan ditemani Mary Burns berjalan-jalan di kampung-kampung kota yang kumuh di mana kaum buruh tinggal,mengobrol dan mencoba menjalin hubungan yang akrab dengan para buruh dan aktivis revolusioner di masanya. Saya bayangkan ada pertemuan antara letupan semangat masa muda, pemahaman yang mulai terbentuk mengenai sebuah dunia yang lebih baik, dan kemampuan untuk menerapkan prinsip dan metode ilmiah dalam melakukan suatu investigasi.

Dalam gerakan Kiri, prinsip ini kemudian dicoba diterapkan sebagai upaya untuk membangun tradisi ilmiah dan mempercepat pembangunan organisasi. Di Indonesia, PKI dan BTI mencoba melakukan riset-riset etnografis revolusioner untuk menjawab persoalan-persoalan agraria berdasarkan prinsip “tiga sama, empat jangan, empat harus” – sama kerja, sama makan, dan sama tidur; jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat setempat, dan belajar dari kaum tani. Ini dilakukan sebelum reflexive ethnography, participatory action research, dan segala jargon serta metode penelitian-penelitian yang menonjolkan aspek keterlibatan peneliti menjadi nge-tren – dan terkadang dipelintir untuk melancarkan pelaksanaan agenda-agenda developmentalis di pedesaan. Di Vietnam, prinsip ini juga dikenal dengan nama “tiga bersama” (three togethers), yang menjadi strategi inti dalam pembangunan partai, mobilisasi massa, dan kampanye reformasi pertanahan di sana.

Bagi para ‘sekutu kelas menengah’ rakyat pekerja, ini berarti kemauan untuk melakukan proses amatan-penelitian-keterlibatan yang menyeluruh dan terintegrasi dengan kehidupan sosial rakyat pekerja dan keharusan untuk memiliki kemampuan mencatat yang tekun dan rapih, yang prosesnya haruslah transparan dan sebisa mungkin melibatkan guru kita – rakyat pekerja – dalam pelaksanannya. Ini bisa dimulai dengan melakukan self-criticism yang cukup keras terhadap diri kita.

Saya misalnya, musti mengakui dengan jujur bahwa ada sejumlah bias dan keterbatasan saya sebagai seorang warga kelas menengah kota laki-laki dan heteroseksual yang beragama dan berlatarbelakang etnis mayoritas. Saya tidak bisa mencangkul dan melakukan kerja-kerja produksi di bidang pertanian misalnya. Atau memahami sejumlah kebingungan dan permasalahan yang dihadapi oleh ibu-ibu desa ketika mendadak anaknya demam setelah diberikan vaksinasi, mengurus administrasi dan biaya pengobatan di rumah sakit, atau menjelang kelahiran. Namun ini bukan berarti menjadi alasan bagi saya untuk kemudian tidak mencoba membangun hubungan profesional yang intens dan pertemanan yang tulus dengan rakyat desa.

Konsekuensinya, berarti adalah kewajiban bagi saya untuk sebisa mungkin terlibat, melakukan amatan yang dekat, dan menuliskan pengalaman dan narasi dari para warga desa. Konkretnya, ini berarti kemauan untuk menyapa dan berbincang-bincang dengan para tetangga, membantu tetangga memperbaiki pagarnya yang rusak, mencoba berkebun, menghadiri kawinan, pengajian, tahlilan, dan segala rupa hajatan, bertamu dan berbincang-bincang dengan penghulu, guru ngaji, petani, tukang jahit, dan sopir, nongkrong dengan pak RT dan pak RW dan memperhatikan apa saja persoalan-persoalan di lingkungan sekitar yang mendesak, mendengarkan cerita dan keluhan dari kawan-kawan buruh muda mengenai kondisi kerja di pabrik, dan lain sebagainya. Juga kemauan untuk memahami sense of humoryang luar biasa dari para warga desa dalam menertawakan himpitan hidup yang dialami mereka setiap harinya dan sinisme terhadap mereka yang berkuasa (termasuk misalnya gosip dan kritik-kritik halus ibu-ibu desa terhadap suami-suami mereka). Dan tentu saja, di daerah-daerah di mana konflik agraria terjadi, kemauan untuk mendengarkan dan mencatat cerita tentang perampasan, perlawanan, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh rakyat desa menghadapi penindasan, mulai dari menceramahi polisi, demonstrasi, hingga upaya-upaya pendudukan lahan.

Sebisa mungkin, proses ini haruslah transparan, partisipatif, dan dialektis. Ini berarti seorangmiddle-class ally – katakanlah dalam hal ini seorang intelektual radikal – harus terbuka dan jujur dengan niat-niat dan tujuan-tujuan dari upaya penelitian yang dilakukannya. Ia juga harus memikirkan bagaimana baik di ranah teoretik maupun yang lebih berorientasi praxis hasil penelitiannya dapat berguna bagi pembangunan gerakan rakyat. Sebisa mungkin, seorang intelektual radikal harus mengkomunikasikan dan membagi hasil amatan dan analisanya kepada para narasumbernya – misalnya para aktivis lain dan rakyat pekerja yang berkomunikasi dengannya. Bahkan, jikalau diperlukan, seorang intelektual radikal bisa meminta bantuan narasumbernya untuk turut serta dalam proses penelitannya melalui hal-hal yang simpel seperti meminta narasumber untuk menuliskan pengalaman hidupnya secara singkat, mengecek catatan penelitian mengenai suatu kegiatan, atau meminta warga untuk mengambil foto dan video dan kemudian menceritakan mengapa dia mengambil satu momen atau peristiwa tertentu.

Dalam konteks interaksi yang lebih akrab, tidak tertutup kemungkinan seorang intelektual radikal mengajak narasumber utamanya untuk bersama-sama menuliskan sejarah kehidupan narasumber tersebut.

Perlu diingat bahwa dalam keseluruhan proses ini bukan berarti kita lantas terjebak dalam suatu bentuk perspektivisme dan solipsisme ekstrim dan mengabaikan abstraksi untuk memahami kondisi keseluruhan, totalitas dari sepotong realitas sosial yang coba kita amati. Seorang intelektual radikal tidak boleh terjebak pada fetisisme ‘keterlibatan’ maupun bayangan empirisisme. Seorang intelektual radikal tidak boleh lupa mencatat dan tidak mencoba melakukan abstraksi dari realitas-realitas empiris yang berada di hadapannya. Adalah tugas utama dari seorang intelektual radikal untuk melakukan investigasi dan abstraksi yang sistematis, jujur, dan ilmiah dari realita yang coba dipahaminya. Karenanya, komunikasi yang terbuka dengan rekan penggerak dan rakyat pekerja yang menjadi narasumber, untuk mencoba bersama-sama melakukan abstraksi dari berbagai macam dinamika dan proses yang dialami oleh para narasumber selama ini, menjadi sangat penting.

Dari sinilah, kemudian kita semua bisa belajar untuk bersolidaritas satu sama lain. Hampir absennya suara-suara yang berlandaskan pada akal sehat dan solidaritas terhadap apa yang terjadi kepada kawan-kawan Papua misalnya, sedikit banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di sana – mengenai ekspropriasi sumber daya alam dan represi yang dimungkinkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang semakin kolonialis dan apartheid. Tugas intelektual radikal dewasa ini adalah membangun basis pengetahuan yang valid untuk bersolidaritas. Karena hanya dengan itulah suatu visi politik emansipatoris – bahwa terlepas dari warna kulit, latar belakang etnisitas atawa kebangsaan, dan segala bentuk identifikasi sektarian dan primordialis lainnya – kita semua merupakan korban dari penindasan kelas.

Kuncinya satu: belajar, dan percaya kepada massa.

Percaya kepada massa.*** 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitlan dengan id @libloc

Is Turkey’s Coup an Auto-Golpe?

We don’t have all the details yet, but several things are certainly suspicious, or at least worth-asking – things such as why the purge of suspected military officers and judges happened so swiftly, why the military didn’t manage to get their message across effectively, and all that.

Several sources to look at: here, here, and here.

Auto-golpe is a reference to Fujimori’s self-coup as a pretext to disband the parliament and amass excessive presidential power during the 1992 Peruvian constitutional crisis.

Turkey’s Attempted Coup

There was a coup attempt in Turkey just recently. The military declared that they took over power from the incumbent government. Erdogan, after a while, then showed up and declared the legitimacy of his government and condemned the coup. Opposition parties backed his administration. As expected, the military did not stay still. They blockaded the streets with tanks and soldiers. In response, government supporters came down to the streets. Inevitably, violence ensued – people died from shooting and officers got arrested. At the moment, we don’t have a clear sense of who is really in charge of the chaos.

Meanwhile, the fighting continues.

Turkey’s coup poses an important question for political scientists: how do we explain the occurrence of coup in an electoral democracy (though increasingly authoritarian) with a pretty high level of per capita income? If we are to trust the World Bank data Turkey’s GDP per capita in 2014 was US$ 10,515.01. This is far above the US$ 6,000 threshold for regime durability established by Przeworski and Limongi (1997).  In Southeast Asia, Thailand, whose income per capita is something around US$ 4,000, also “joined rather select company” of few countries with records of democratic breakdown or interruption at a pretty high income level (albeit less than the 6,000 threshold). These two recent cases are few examples of regime interruption or retooling in democratic countries.

This is an important question that we all should address. For now, let’s say this out loud: we condemn the attempted military coup in Turkey!

 

 

Red scares and Indonesian politics

Red scares and Indonesian politics

FATHIMAH FILDZAH IZZATI & IQRA ANUGRAH – 23 JUN, 2016

Virulent anti-communism has made a glorious comeback in the last couple of months.

What happens when the anti-leftist discourse of the authoritarian yesteryear is embraced through and through by conservative elites and social forces? A red scare. In Indonesia, virulent anti-communism a la the New Order has made a glorious comeback in the last couple of months, showing the nation’s inability to deal with its tumultuous past despite democratic reforms.

To be completely fair, in recent years there has been more open discussion about the 1965 massacre. Artistic and civil society initiatives such as Joshua Oppenheimer’s award-winning films The Act of Killing and The Look of Silence, the International People’s Tribunal of Genocide and Crimes Against Humanity (IPT 65), as well as the launching of a graphic history primer entitled “The History of Indonesian Leftist Movements for Beginners” have reframed the debate about the massacre. But we have begun to see backlashes.

First, in February, there was a protest against the Belok Kiri (Turn Left) Festival by a group of mass organisations which demanded the cancellation of the festival of leftist thinking. Then there wasanother raid against the screening of a documentary on Indonesia’s gulag for leftist political prisoners called Pulau Buru Tanah Air Beta (Buru Island: My Homeland) in March. To make matters worse, the notoriously conservative Minister of Defence, Ryamizard Ryacudu recently called for the confiscation of leftist books.

Even land grabbing by state, military, and corporate authorities has been justified under the grounds that the citizens who own the lands are “communists.” For instance, last year, in Cilacap, at least 8,000 hectares of land were taken away from local communities using that excuse.

In short, anti-communism has been effectively used as a pretext to stifle dissent and normalise dispossession.

Indonesia’s anti-communism did not emerge out of a historical vacuum. Anti-communist propaganda has been common since the 1965 mass killings of Communist Party members and alleged sympathisers.  Such propaganda has been used to legitimise and justify New Order authoritarianism. What is remarkable is that this rhetoric has regained popularity during the presidency of Joko ‘Jokowi; Widodo, the so-called civil society president.

Activists and observers have speculated that the reemergence of anti-communist rhetoric is indicative of the split between military reformers and hardliners in response to attempts to open up dialogue regarding the 1965 massacre and the military’s role in it. Jokowi himself seems to adopt a “wait-and-see” and “free-market” approach to the issue, waiting for whatever stance that will emerge from the generals’ quarrels. But whatever the truth is, we know that the return of New Order-style anti-communism has a huge impact on society.

Obviously this does not mean that there is a total absence of government initiative to deal with issues surrounding the 1965 massacre. In April the Indonesian government sponsored the National Symposium on the 1965 Tragedy with mixed results. While this step can be seen as a breakthrough from the state’s regular approach to the issue, there is no clear achievement from the symposium. What we know is since then the anti-communist campaign has got even louder.

The hysteria reached its peak in the “Securing Pancasila from the Threats of PKI and Other Ideologies” Symposium taking place in Jakarta and organised by a group of conservative retired generals and hardline Islamists on 1 June in commemoration of Pancasila Day. As expected, the symposium parroted New Order anti-communist propaganda and rejected any possibility of truth-seeking and reconciliation surrounding the 1965 massacre. Essentially, it merely served as a propaganda machine of reactionary elites and their supporters. Some of the symposium’s attendees even threatened a journalist who covered the event and labeled her as “pro-Communist.”

And we have not even counted individual remarks made by staunch anti-communist generals such as Kivlan Zein and Kiki Syahnakri who see rural welfare and human rights as proxies of a communist campaigns instead of basic citizenship demands. While activists may laugh at and dismiss the generals’ rhetoric as absurd, irrational propaganda, the fact is they continue to influence public imagination on “communist threats” in Indonesia.

At this stage, it is safe to say that the latest recent red scare in Indonesia represents an all-time high since the end of the New Order regime. What is worrying is that it has manifested in the most vulgar form – through acts including book banning, perverse historiography, and outright intimidation. Without a proper response from Indonesian social movements to counter these threats against civil, political, and socioeconomic rights, the chances are that authoritarian and illiberal practices under the guise of anti-communism will continue.

Given the current make-up of  elite power and interests surrounding Jokowi’s administration, it is most likely that the Indonesian state will turn a blind eye to such practices. This is a clear setback for democracy and attempts to promote impartial historiography, justice, reconciliation, and truth-seeking regarding the 1965 massacre in Indonesia.

Karl Marx once said “history repeats itself, first as tragedy, second as farce.” What has been going on in Indonesia seems to be the other way around: farcical moments of red scare have turned into a tragedy for Indonesian democracy.

Fathimah Fildzah Izzati is a researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Iqra Anugrah is a PhD candidate in Political Science and Southeast Asian Studies at Northern Illinois University. Both of them are editors for IndoPROGRESS, an online journal connecting progressive scholars and activists in Indonesia.

Cementing dissent in Indonesia

Cementing dissent in Indonesia

May 2, 2016

Iqra Anugrah examines a dramatic demonstration in Jakarta that saw peasant women concrete their own feet for 36 hours to save their farms and local environment from a cement factory.

The accelerating rate of land and resource dispossession in post-authoritarian Indonesia has led to a number of confrontations between state and corporate authorities on one side and peasant communities on the other.

Many of these conflicts, though garnering much attention from sympathetic activists, remain localised. However, there are moments when peasants and their activist allies decide to scale up their direct action.

This can be seen in the recent protest of nine female peasants – famously known as the Kartinis – from Rembang regency in Central Java. After travelling over 500 kilometres to protest in front of the State Palace in Jakarta, they decided to cement their feet in opposition of the ongoing construction of a cement factory by the state-owned PT Semen Indonesia in their hometown.

The purpose was to halt the construction of the cement plant and have a dialogue with President Jokowi. It is a part of their longer-term strategy, stretching back to the early days of the plant’s construction in June, 2014. Approximately 680 days have passed since then.

According to Joko Prianto aka Prin, one of the protest coordinators, for almost two years protesting citizens have faced all sorts of threats and persecution from authorities, including being threatened by police and military officers as well as hired thugs. This time, they decided to voice their grievances directly in front of the State Palace because they felt that the government did not pay enough attention to their cause — in fact, the protest site is very near to the famous Kamisan human rights weekly demonstration held every Thursday.

The latest act was not their first demonstration in Jakarta. Last year, the citizens also staged a protest in front of the palace by making noise using alu and lesung – the traditional rice grinder and its mortar.

I had the privilege to observe and participate in the second day of this historic protest on Wednesday, 13 April. This session lasted until 5.50 pm, when the protesters decided to break the cement blocks off their feet.

Organisations whose representatives and activists were present included the Jakarta Legal Aid Foundation (LBH Jakarta), the Alliance of Indigenous People of the Archipelago (AMAN), the Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS), Migrant Care, the Indonesian Labour Union of Transportation-Struggle (SBTPI), the Confederation of All-Indonesia Workers’ Unions (KSPI), IndoPROGRESS, Perempuan Mahardhika, Jaringan Gusdurian, Politik Rakyat, and the National Student League for Democracy (LMND), among others.

Representatives from the National Human Rights Commissions (Komnas HAM) and the National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan) were also present. Despite their different emphases, these speakers essentially underlined similar points: the importance of peasant livelihoods, the rights of local communities as citizens, and environmental sustainability.

Two national MPs, Irma Chaniago from NasDem and Siti Mukaromah from the moderate Islamic PKB, were also present at the protest site and expressed their support for the protesters. On the first day of the protest, two high-ranking state officials, the President’s Executive Office Chief of Staff Teten Masduki and the Minister of State Secretary Pratikno also paid a visit to the protesters. Activists took this gesture with a grain of salt. Some even greeted it with suspicion. Considering the government’s continuing lack of attention to agrarian issues, such a critical stance is understandable.

But nothing is more powerful than the message from the protesters themselves, who reminded the establishment about the destruction that the cement plant will bring to their livelihood and the environment.

It is important to note however that despite all the excitement, the protesting crowd remained relatively small. Many of the sympathetic activists and middle-class allies, who knew about the protest from word of mouth and social media, know each other. Perhaps this is indicative of the lack of public awareness of the severity of agrarian problems in contemporary Indonesia.

This lack of public awareness notwithstanding, the acuteness of agrarian conflicts in post-authoritarian Indonesia has increased in the last seven years.According to the Consortium for Agrarian Reform’s (KPA) 2014 year-end report, during the second term of the Yudhoyono Presidency (2009-2014) agrarian conflicts involving peasant communities and state and corporate authorities had increased more than five times, from 89 cases in 2009 to 472 cases in 2014. These conflicts spanned across an area of more than 2.8 million hectares in 2014.

KPA also reports that throughout 2015, the first year of Jokowi’s presidency, there were at least 250 cases of agrarian conflicts in an area of 400,000 hectares. A series of working papers from another agrarian studies think-tank, Sajogyo Institute, also records different forms of multi-layered dispossession in numerous rural communities throughout Indonesia. This does not mean that success stories of peasant struggle are entirely absent. However, success stories remain few in number, and small and local in scale.

Given this bleak situation, the only logical collective response from Indonesian agrarian and peasant movements seems to be to build lower-class social movements and multi-sectoral alliances with other marginalised social forces. With the fragmentation and patronage that characterises Indonesian civil society, efforts to build such a movement are a Herculean task. But it is not totally impossible.

The courageous and exemplary action of the female peasants of Kendeng Mountains – the Kartinis – are an important step to revitalise peasants’ struggle for livelihood. While their small act of protest does not necessarily change the current situation, it at least keeps the struggle alive.

Iqra Anugrah is a PhD candidate in Political Science and Southeast Asian Studies at Northern Illinois University. He writes his dissertation on the politics of elite-peasant relations in post-authoritarian Indonesia. He is also an editor for IndoPROGRESS, an online journal connecting progressive scholars and activists in Indonesia.

A challenge from below? Social movements against oligarchy

A challenge from below? Social movements against oligarchy

February 18, 2016

The idea that post-Soeharto Indonesia is an oligarchic democracy is now a well-established thesis. Scholars such as Jeffrey Winters(link is external), Richard Robison and Vedi Hadiz(link is external) argue that, despite the reforms of the past 18 years, super-wealthy elites and their cronies have maintained political and economic dominance, and Indonesian democracy has suffered as a result. Rising inequality, a new wave of land grabs, urban evictions, and repressive policies cracking down on protests are cited as just a few of many indications of the continuation of oligarchic rule in democratic Indonesia.

Other scholars have criticised or added nuance to this thesis(link is external), suggesting that this now dominant understanding of democratic change in Indonesia does not pay sufficient attention to popular agency. Ed Aspinall, for example, has detailed the ways in which the lower classes have had significant policy influence in post-Soeharto Indonesia(link is external).

Another emerging “attempt from below” to challenge the dominance of oligarchs is the Confederation of Indonesian People’s Movements (KPRI(link is external)), an alliance of social movements and unions across different sectors, representing workers, peasants, fishermen, indigenous peoples, and women. Several leading social movements have participated in the KPRI(link is external), including the Association of Indonesian Women’s Unions (Hapsari), the Federation of Indonesian Fishermen’s Unions (FSNN), the Indonesian Workers Union (KBI), the Union of Indonesian Peasants Movements (P3I), the Indigenous Peoples Movement (Gema) and the Federation of Indonesian Workers and Labourers Union (FSPBI).

KPRI started out as a nongovernmental organisation called Pergerakan (Movement), or the People-Centred Advocacy Organisation for Social Justice. At its third national congress in Bandung in 2011(link is external), Pergerakan made the decision to transform into KPRI, and it is now making preparations to participate in elections as a political party.

While gaining public office will be a herculean task, it is not impossible. One of the reasons that popular agency is often overlooked by oligarchy theorists is the fragmented nature of working-class movements(link is external). The experience of KPRI so far – despite its many challenges – is an example of effective movement building. KPRI has been able to establish and maintain a multi-sectoral, cross-class alliance of various social movements. This in itself is a tremendous achievement, considering that different social forces often have conflicting policy preferences, and that can inhibit the formation of a broad and inclusive movement. Urban workers, for example, might support cheap price policies for basic foods, while the rural peasants who produce these agricultural commodities might argue for the opposite (despite evidence suggesting that rural producers are often net consumers of basic commodities like rice(link is external)).

In order to overcome these common collective action problems, social movements must focus not just on building and maintaining their organisation but also on tackling the pressing political and economic problems of the day. Yes, fiery political speeches are needed, but concrete policy proposals are needed even more. KPRI leaders recognise this. The confederation has attempted to devise an alternative policy framework with a clear anti-neoliberal, leftist orientation on major policy issues.

I saw these efforts in action at three KPRI conferences over the past five months. At regional conferences in Banten and Jakarta, for example, discussions were held on a number of specific national and local political issues. These discussions aimed to help the confederation formulate a cohesive national strategy, as well as detailed local strategies tailored to local conditions and concerns.

At the fourth national congress in Jakarta(link is external) last month, these national policies were beginning to take shape. One of the topics discussed in considerable detail was the notion of transformative social protection.(link is external) KPRI believes that the government has transferred its responsibility for providing national health insurance to the market, in the form of the Social Security Agency (BPJS). Transformative social protection argues for the de-commodification of social protection policy to make it more inclusive, extending coverage to as many marginalised groups as possible, including workers in the informal sector, such as rural peasants, fishermen, indigenous peoples, and the urban poor. The government does, in fact, alreadysubsidise premiums for 86.4 million Indonesians(link is external), including people working in the informal sector, and plans to expand subsidies to cover 92.4 million Indonesians in 2016. But KPRI argues social protection does not go far enough, and must be extended to cover public transportation, cheap housing and reproductive health care.

Further articulating strategies such as these will be important as KPRI prepares to contest the Jakarta gubernatorial election in 2017 and the national presidential and legislative elections in 2019. While KPRI has slim odds of actually securing office for any of its members, actively participating in these elections will expose the KPRI and its constituent organisations to a qualitatively different political experience. This, in turn, will better prepare them for the challenges and responsibilities that come with participating in politics long term.

Needless to say, the spectre of political failure still haunts(link is external). At least as far back as 2009 there were attempts by the left to enter politics, such as through the failed National Liberation Party of Unity (Papernas). Other labour activists have joined or made political contracts with existing political parties. Failure to develop a broad base of support and the high financial costs of running for office have played a role in previous unsuccessful attempts. KPRI believes it has reason to be optimistic, however, because of its organic efforts to unify diverse social movements with solid bases. Further, it also maintains an inclusive leftist platform, aiming to avoid the sectarianism that pervades leftist organisations.

Early attempts by the left to move into politics were highly contentious among activists. It remains to be seen how the Indonesian activist landscape will respond to KPRI’s foray into politics. Another question that KPRI needs to address is its relationship with other movements and unions outside the confederation. While KPRI has so far been able to maintain internal solidity, the social forces represented in the confederation are actually quite fragmented in terms of their representation. There are multiple national confederations and federations of labour unions and peasant movements, for example. This will be a major challenge for KPRI as it seeks to form tactical alliances and mobilise its rank-and-file members in facing elections.

Collective action of the lower classes can pose a serious challenge to the continuing political and economic dominance of oligarchs in post-authoritarian Indonesia. Will KPRI constitute such a challenge? Its attempt to unify Indonesia’s fragmented social movements suggests it just might.

Pertahankan Hak-hak Demokratik Rakyat!

Pertahankan Hak-hak Demokratik Rakyat!

ANTI-KOMUNISME kembali bergema di Indonesia. Di sini, ungkapan bahwa ‘ada hantu bergentayangan, hantu komunisme’ seakan-akan dianggap benar dan betul-betul diamini keberadaannya oleh elemen-elemen represif negara dan kekuatan-kekuatan konservatif di masyarakat. Anti-komunisme menjadi bagian dari sentimen ‘anti-anti’ lain yang sempat menjadi kontroversi di masyarakat, seperti sentimen anti-Syiah, anti-LGBT, dan anti-separatisme. Tujuan akhirnya sama, yaitu sebagai alat untuk mengalihkan perhatian kita dari hal-hal lain yang lebih penting dan mendesak, menutup ruang kritik dan perbedaan, serta mendelegitimasi perlawanan rakyat.

Kali ini, anti-komunisme kembali muncul dalam bentuknya yang paling vulgar, mulai dari pembubaran diskusi, pelarangan buku, hingga kriminalisasi warga dan aktivis yang dianggap memakai memakai atribut-atribut ‘komunis.’ Tren ini mengingatkan saya atas aksi-aksi serupa di tahun-tahun awal reformasi, di mana sentimen anti-komunis begitu merebak. Anehnya, kita kembali menemukan hal serupa baru-baru ini.

Bagi para aktivis dan penggerak gerakan yang terbiasa dengan tindakan represif aparat serta ormas-ormas anti-demokrasi, ini mungkin bukan hal yang yang asing dan terlampau aneh. Tetapi bagi sebuah masyarakat di mana doktrin-doktrin anti-komunisme masih ditelan mentah-mentah, tindakan represif dan otoritarian tersebut dapat menemukan justifikasinya.

Kita tahu bahwa sentimen anti-komunisme memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Anehnya, bahkan setelah tumbangnya Orde Baru dan transisi menuju demokrasi, anti-komunisme masih tetap hidup dan berkembang. Sepertinya benar bahwa di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Ariel Heryanto (1999), anti-komunisme tidak pernah mati – isu tersebut terus dihembuskan, dibuat seakan-akan nyata, untuk meredam hal-hal yang dianggap melawan kepentingan rezim.

Ironisnya, sentimen konyol ini masih tetap hidup di masa sekarang, di era pemerintahan Jokowi-JK, sebuah pemerintahan yang bisa naik karena dukungan gerakan sosial. Dan sejauh ini, tidak ada respon yang berarti dari pemerintah kecuali berupa imbauan-imbauan kepada aparat untuk tidak melakukan tindakan yang ‘berlebihan.’ Bahkan, anggapan-anggapan ahistoris, simplistis, dan vulgar atas anti-komunisme justru kembali digaungkan. Ini aneh, seakan-akan kita masih hidup di jaman Orde Bau – padahal terakhir kali saya cek kalender, tahun ini sudah tahun 2016.

Yang menjadi masalah bukan hanya asosiasi-asosiasi vulgar terhadap komunisme dan ide-ide yang dianggap berbau kiri lainnya yang masih mengakar di masyarakat – bahwa PKI kejam, anti-agama, dan tidak bermoral, bahwa peristiwa 1965 adalah sebuah pengkhianatan alih-alih tragedi, bahwa Marxisme dan Komunisme adalah sinonim dengan Stalinisme, dan lain sebagainya, yang menyuburkan tendensi anti-demokratik dan anti-pengetahuan. Yang juga menjadi masalah besar adalah bahwa sentimen anti-komunis dipakai untuk membungkam kebebasan berekspresi dan melabeli perlawanan-perlawanan rakyat atas haknya yang semakin bergaung di banyak tempat sebagai aksi-aksi ‘komunis’ (seperti biasa, selain aparat, ormas-ormas ultra-konservatif juga dipakai untuk melakukan tugas teror sipil itu). Dengan kata lain, sentimen anti-komunisme dipakai untuk memberangus hak-hak dan perlawanan demokratik rakyat. Bahkan, sentimen tersebut secara efektif dapat dipakai sebagai pintu masuk yang lapang bagi militerisme. Ini bahaya!

Label komunis misalnya, sering disematkan kepada rakyat-rakyat desa yang melakukan berbagai aksi protes, pendudukan lahan, dan upaya politik lainnya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dan penghidupan mereka. Baru-baru ini di Cilacap misalnya, setidaknya delapan ribu hektar tanah rakyat dirampas oleh Perhutani, TNI AD, dan korporasi swasta dengan alasan bahwa para pemiliknya dianggap pernah terlibat dalam peristiwa G30S dan DI/TII. Saya ulangi, delapan ribu hektar tanah! Situasi pelik ini juga terjadi di banyak tempat lain. Perlawanan rakyat untuk hak-hak mereka atas tanah dan gerakan petani acapkali mendapatkan tuduhan ‘komunis.’

Tidak hanya itu, isu ‘PKI bangkit lagi’ atau, dalam bahasa yang lebih Orbais, ‘bahaya laten komunisme’ juga berhasil memecah dan mengalihkan perhatian kita dari isu-isu yang lebih genting, seperti kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak-anak, pembatasan atas kebebasan berekspresi dan hak-hak sipil dan politik lainnya, serta konflik agraria dan sumber daya alam terutama perampasan tanah.

Di tengah-tengah kondisi politik yang seperti ini, maka hanya ada satu pilihan: lawan! Kita harus melakukan perlawanan di berbagai lini, mulai dari produksi pengetahuan, diseminasi gagasan, di kota dan di desa, terutama di jalanan. Kita perlu mengangkat topi dan bersolidaritas kepada kawan-kawan kita yang tetap teguh dan berlawan menghadapi sweepingaparat dan ormas-ormas di saat mereka sedang asyik nonton bareng, berdiskusi, atau membedah buku, kepada mereka yang bergeming dan tidak mau kalah dalam ‘perang urat syaraf’ melawan ancaman elemen-elemen konservatif dari negara dan masyarakat, kepada rakyat pekerja yang terus melakukan aksi-aksi langsung dan perlawanan baik di desa maupun di kota – kepada kawan-kawan yang tetap berani dan konsisten melawan tindakan-tindakan fasis dan militeristik dengan dalih anti-komunisme.

Inilah tugas yang musti kita lakukan sebagai bagian dari gerakan sosial di Indonesia. Kita musti melakukan pertarungan baik di level gagasan maupun aksi langsung, baik di tulisan-tulisan dan mimbar-mimbar maupun di jalanan dan ruang-ruang publik lainnya melalui pembangunan aliansi-aliansi yang luas. Inilah sesungguhnya tugas dan strategi kita sebagai bagian dari gerakan progresif yang pro-demokrasi dan hak-hak rakyat – sebuah strategi yang, meskipun dalam pandangan kita manifestasinya sangat vulgar, dimainkan dengan sangat cantik oleh kaum konservatif dan militeris.

Adalah suatu kesalahan yang besar apabila kita berharap bahwa negara – dalam hal ini rezim investasi Jokowi-JK – akan mendorong kebijakan yang lebih tegas, konsisten, dan progresif untuk melindungi hak-hak demokratik rakyat dari tindakan-tindakan otoritarian dengan dalih anti-komunisme dalam waktu dekat. Tugas gerakan sosial adalah memperjuangkan hak-hak demokratik itu untuk sekarang dan menyebarkan informasi dan pendidikan mengenai pentingnya hak-hak demokratik rakyat untuk jangka panjang – tidak mungkin kan kita berharap kepada figur-figur seperti Ryamizard atau Luhut untuk melakukan itu? Di dalam kondisi di mana gerakan sosial kita sangat terkooptasi dan terfragmentasi, hal itu memang tidak mudah, tetapi bukan mustahil.

Sebagai penutup, kembali perlu diingat bahwa sentimen anti-komunisme merupakan sisa-sisa fosil Orde Baru yang masih bergentayangan hingga sekarang. Sentimen inilah yang terus menguatkan sikap anti-pengetahuan, anti-dialog, dan anti-demokratik di masyarakat kita. Sentimen ini juga menjadi salah satu pintu masuk yang melanggengkan pelanggaran atas hak-hak demokratik rakyat – untuk berekspresi, untuk berhimpun, dan untuk melawan penindasan dan mempertahankan penghidupannya. Oleh karena itu, kita perlu melawannya untuk mempertahankan hak-hak kita.

Kalau mempertahankan dan konsisten dengan itu saja susah, apalagi melaksanakan agenda-agenda progresif yang lain?***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Bernie Sanders dan Politik Gerakan Sosial di Amerika Serikat

Bernie Sanders dan Politik Gerakan Sosial di Amerika Serikat

“Socialist snow on the streets
Socialist talk in the Maverick
Socialist kids sucking socialist lollipops…”
(“Burlington Snow”, Allen Ginsberg)

MUSIM semi tahun 1981 menjadi sebuah kejutan tak terduga di Burlington, sebuah kota kecil di negara bagian yang tidak kalah kecil, Vermont. Seorang aktivis dengan gaya yang cukuphipster untuk standar kekinian – berambut kriwil ikal dan berkacamata besar – berhasil menang tipis, sekitar 10 suara, atas lawannya, sang petahana Gordon Paquette, dalam pemilihan walikota di Burlington. Sebelum jadi politisi independen dan walikota, Bernard “Bernie” Sanders, sang aktivis itu, bekerja serabutan – mulai dari guru, konselor, filmmaker,penulis, wartawan lepasan, hingga tukang kayu – tetapi, kiprahnya di dunia pergerakan begitu panjang. Di saat masih menjadi mahasiswa unyu-unyu di University of Chicago, Berniebergabung dan aktif dalam sejumlah organisasi mahasiswa dan gerakan sosial progresif, seperti Kongres Kesetaraan Rasial (Congress of Racial Equality, CORE) dan Komite Koordinasi Mahasiswa Nirkekerasan (Student Nonviolent Coordinating Committee, SNCC), di tengah-tengah gelombang Gerakan Hak-hak Sipil di Amerika Serikat di decade 1960-an.

Dalam konteks inilah kita musti memahami fenomena Bernie Sanders alias #FeelTheBern.Kemunculan Bernie Sanders, seorang kandidat presiden kuda hitam dengan ikatan yang cukup erat dengan berbagai elemen gerakan sosial progresif dalam kancah politik arus-utama di Amerika, merupakan hal yang menarik terutama di tengah-tengah duopoli politik Partai Demokrat dan Partai Republikan dan dilema besar yang selalu dihadapi oleh gerakan-gerakan sosial (dan juga Kiri) di Negeri Paman Sam: antara termarginalisasi atau terkooptasi dalam narasi liberal-demokratik ala Amerika. Dengan kata lain, kita musti melihat fenomena Bernie Sanders dalam konteks perkembangan historis gerakan sosial di Amerika, hubungan Bernie dengan elemen-elemen gerakan, dan berbagai peluang serta batasan politik yang muncul dari naiknya popularitas Bernie Sanders dalam pertarungan untuk merebut kursi kepresidenan di Amerika Serikat.

Kita bisa mulai dengan membahas karir politik Bernie dari masa jabatannya sebagai Walikota Vermont hingga sekarang. Masa-masa awal kiprah Bernie di kancah politik praktis merupakan titik sejarah yang krusial karena di masa inilah, menurut Sarah Lyall (2015) dalam liputannya untuk Koran The New York Times, “bibit-bibit revolusioner” dalam diri Bernie muda mulai bersemai. Kemenangannya yang tak terduga dalam pemilihan Walikota Vermont, setelah belasan tahun bereksperimen dalam aktivisme gerakan sosial dan partai alternatif berhaluan Kiri, Liberty Union Party, memberikan kesempatan, sekaligus tantangan, baginya untuk menerapkan ide-ide progresif dalam pemerintahan dan arena politik praktis. Greg Guma (1989) mencatat rekam jejak Bernie sebagai Walikota Vermont selama empat periode (1981-1989) dan gerakan sosial yang menjadi tulang punggungnya dalam bukunya, The People’s Republic: Vermont and the Sanders Revolution. Ada sejumlah prestasi Bernie dalam pemerintahan kota yang cukup menonjol, antara lain: penyehatan anggaran pemerintahan daerah, pembaharuan perkotaan, penghadangan atas gentrifikasi dengan cara menghadang upaya pembangunan properti mewah seperti kondominium serta kawasan perkantoran dan perhotelan, dan pembangunan berbagai fasilitas publik untuk warga kota seperti perumahan, taman-taman, dan ruang terbuka publik. Sepintas, sejumlah upaya ini terlihat sederhana, tetapi perlu diingat, bahwa upaya-upaya tersebut merupakan kebijakan yang berpihak pada elemen-elemen ‘warga biasa’ – warga kelas menengah dan bawah, pemilik UKM dan toko-toko tradisional, dan lain sebagainya – pendek kata, elemen-elemen rakyat pekerja. Dalam konteks Indonesia, kebijakan ini mungkin bisa diandaikan semacam upaya untuk meredam dan mengatur pertumbuhan pusat perbelanjaan dan minimarket seperti Indomaret dan Alfamart(maaf sebut merek) agar ruang publik dan upaya-upaya penghidupan rakyat banyak tidak serta merta tergerus oleh ekspansi kapital.

Tentu, di beberapa daerah perkotaan di Indonesia, wabil khusus Jakarta, di mana Gubernur teknokratis dengan tendensi tangan besi seperti Ahok dielu-elukan dan kelas menengahnya lebih ribut soal pelarangan gojek dan uber serta sentimen sektarian ketimbang implikasi politis dari penggusuran kaum miskin kota dan pentingnya solidaritas sosial, proyek politik seperti itu terdengar seperti imajinasi politik yang terlalu muluk-muluk – seakan-akan masalah fasilitas publik hanyalah persoalan teknis belaka, tanpa ada karakteristik politisnya.

Tetapi mari kita kembali ke Amerika. Selain urusan ‘domestik’ kota, Bernie juga aktif dalam perdebatan mengenai arah politik luar negeri selama menjadi walikota. Di tahun 1985 misalnya, Bernie mengundang intelektual Kiri Noam Chomsky untuk memberikan ceramah mengenai politik luar negeri Amerika yang kerap kali imperialis dan ekspansionis itu. Atas prestasinya, Bernie Sanders diberi penghargaan oleh majalah US News & World Reportsebagai salah satu walikota paling berprestasi se-Amerika. Warisan Bernie bagi Burlington masih terasa sampai dengan sekarang – hingga saat ini, Burlington merupakan salah satu kota yang paling layak untuk dihuni di Amerika Serikat dan para warga Burlington, dari berbagai spektrum dan aliran politik, memiliki kenangan yang begitu manis atas kontribusi dan dedikasi Bernie bagi kota mereka. Mungkin kesan inilah yang menginspirasi Allen Ginsberg untuk menulis puisi tentang Burlington. Di masa-masa ini juga, Bernie menyebut dan mendeklarasikan dirinya secara publik sebagai seorang sosialis.

Perlu diingat, Bernie Sanders berhasil bukan hanya karena gagasan dan kelihaian politiknya, tetapi juga karena dukungan dari berbagai gerakan sosial dan kerja-kerja kreatif dan mandiri para warga yang mendukungnya di tingkat akar rumput. Ini yang membedakan Sanders dengan kapitalis ngepet macam Donald Trump atau kapitalis liberal macam Hillary Clinton – yang di masa-masa awal karirnya memang sudah berada dalam stratum elit entah via warisan bokap atau nebeng pasangannya.

Setelah mengabdi di Burlington, Bernie kemudian menjajal peruntungan di kancah politik nasional. Di tahun 1990, dia terpilih untuk mewakili Vermont di House of Representativehingga tahun 2005. Kemudian, dia berhasil mendapatkan posisi di Senat di tahun 2005 dan mengabdi hingga sekarang. Reputasinya sebagai anggota kongres dengan kecenderungan liberal-progresif bisa dilihat dalam berbagai catatan rekam jejak dan rating posisi politik dan berbagai kebijakan dan undang-undang yang didukung atau disponsorinya (diantaranya ini,ini, dan ini). Ini terlihat dalam posisi politiknya atas berbagai isu-isu yang penting dan mendesak, seperti dukungan atas pembatasan dan pelarangan atas sejumlah jenis senjata api, penolakan atas invasi Iraq, kritik atas Alan Greenspan, Kepala Federal Reserve atau Bank Sentral Amerika, yang berhaluan libertarian dan kebijakan-kebijakan yang pro-bankir, dan lain sebagainya. Dalam hal popularitas, Bernie merupakan salah satu politisi kongres denganapproval rating atau tingkat kepuasan pemilih tertinggi – sekitar 83% pemilihnya di Vermont menyatakan dukungannya atas kinerja dan kiprah Bernie.

Dengan reputasi yang seperti ini, maka kemunculan Bernie dalam pertarungan pemilihan presiden Amerika Serikat di tahun ini memberikan warna politik yang berbeda – terutama di tengah-tengah narasi liberal arus utama ala Hillary Clinton dan populisme sayap-kanan Trump yang semakin menjadi-jadi. Dengan kata lain, ada ruang diskursif, dan lebih penting lagi, mobilisasi massa yang memungkinkan politisi pinggiran macam Bernie Sanders kemudian muncul di tengah-tengah duopoli oligarkis di Amerika Serikat.

Persis di titik inilah, kemudian kita perlu melakukan hitung-hitungan dan analisa yang lebih cermat mengenai peluang dan batasan politik yang dapat diberikan oleh fenomena#FeelTheBern

Pertama, perlu diakui bahwa kesempatan politik yang terbuka oleh kemunculan Bernie Sanders dalam politik arus utama Amerika Serikat merupakan sebuah peluang – tetapi peluang tersebut adalah peluang yang terbatas. Mengharapkan Amerika Serikat akan berubah menjadi People’s Republic of America apabila Bernie menang merupakan suatu mimpi di siang bolong – kita juga musti melihat perimbangan kekuatan antara presiden dan kongres, kubu Demokrat dan Republikan, dan musuh-musuh internal Bernie di dalam Partai Demokrat sendiri. Apalagi, Bernie mengambil jalan dengan menempuh jalur formal konvensi dalam Partai Demokrat, yang membuat posisi politiknya secara struktural baik ke dalam partai maupun ke luar partai berbeda dengan posisi sebelumnya sebagai politisi independen. Tetapi, dengan terpilihnya Bernie, ada sebuah peluang yang lebih besaar untuk menggegolkan agenda-agenda progresif (termasuk agenda-agendanya elemen-elemen gerakan Kiri di Amerika), bukan hanya dalam isu-isu sosial (hak-hak politik dan sipil) tetapi juga dalam isu-isu ekonomi – seperti regulasi yang lebih menyeluruh, jikalau tidak ketat, atas organ-organ oligarki di Amerika.

Kedua, harus diakui bahwa kampanye Bernie Sanders juga memberi peluang dan energi bagi mobilisasi gerakan sosial dan inisiatif warga yang lebih jauh dan mendalam. Sepintas, mobilisasi ini bisa saja dianggap hanya merupakan mobilisasi elektoral semata, tetapi, saya pikir ada berbagai sisi yang lain dalam proses mobilisasi dan partisipasi gerakan sosial dan inisiatif-inisiatif independen dari warga dalam kampanye Bernie Sanders: selain dimensi elektoral, pengalaman mobilisasi dan partisipasi politik dari elemen-elemen ini akan memperkaya pengalaman politik mereka, yang dapat menjadi bekal yang berguna bagi upaya mobilisasi gerakan yang lebih masif, popular, dan militan kedepannya – syukur-syukur memiliki kesadaran politik untuk menghantam oligarki dan kesenjangan ekonomi yang dihasilkannya.

Ketiga, pesan-pesan kampanye Bernie Sanders juga beresonansi dengan kegundahan publik atas kondisi Amerika Serikat dewasa ini – di mana ekpansionisme dan sektarianisme semakin merebak pasca kejadian 9/11 dan kesenjangan sosial dan ekonomi makin mengemuka pasca Krisis Finansial Global 2008. Trump dengan cerdik merespon kegelisahan publik yang muncul dari kondisi struktural tersebut dengan memanfaatkan sentimen nativisme untuk mendulang suara bagi pencalonannya sebagai calon presiden dari Partai Republik. Di kubu liberal sendiri, terdapat ketegangan antara pihak liberal establishment dengan liberal “kekiri-kirian” yang lebih reseptif dengan gagasan-gagasan dan figur-figur alternatif. Peluang Bernie untuk memenangkan konvensi Partai Demokrat ditentukan oleh hasil pertarungan dari dua kelompok dari kubu liberal sendiri.

Kita tahu, bahwa meskipun Bernie Sanders mendaku sebagai seorang sosialis, dalam konteks sekarang dia lebih pas disebut sebagai seorang sosdem, atau dalam bahasa Noam Chomsky, seorang New Dealer, yang mendukung ide-ide liberalisme progresif Amerika ala Roosevelt. Seandainya terpilih, kebijakannya tidak akan serta merta mengubah struktur oligarki Amerika Serikat secara substansial – meskipun akan lebih ada peluang untuk melakukan pembatasan dan pengaturan yang lebih mendalam atas organ-organ oligarki itu. Tetapi, kita tidak bisa memungkiri bahwa ada antusisasme publik dan mobilisasi gerakan sosial yang begitu besar – yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut bahkan pasca pemilihan presiden ini. Ditambah lagi, ada ancaman dari Kanan oleh Trump, seorang kapitalis demagog yang tidak malu-malu dengan nativisme dan menggunakan sentimen sektarian untuk meraih dukungan dari publik yang teralienasi oleh proses politik arus utama di Amerika Serikat. Dalam hal ini, kaum Kiri-progresif perlu menyambut ‘angin segar’ yang dibawa oleh Bernie Sanders tetapi juga sadar atas batasan-batasan yang muncul dari peluang tersebut – satu hal yang secara sadar didiskusikan secara kritis misalnya oleh sejumlah elemen gerakan Kiri-radikal di Amerika Serikat. Menariknya, peluang tersebut, dalam hemat saya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi pengorganisiran gerakan sosial dan kekuatan politik Kiri-progresif yang lebih mendalam untuk kedepannya – adalah suatu hal yang menarik apabila diskursus yang dulunya haram jadah seperti ‘sosialisme’ bisa berseliweran dalam perbincangan politik dan liputan media di Amerika Serikat (meskipun publik Amerika masih mengasosiasikannya dengan tatanan sosdem ala Skandinavia alih-alih suatu tatanan politik, ekonomi, dan sosial yang betul-betul emansipatoris).

Terakhir, kita perlu menyadari bahwa yang bisa mengakhiri politik imperium global – suatu bentuk dan tatanan tertinggi dalam kapitalisme kalau kata Lenin – bukan hanya krisis ekonomi,tetapi juga mobilisasi politik yang militan ‘dari bawah’ dalam jantung imperium global itu sendiri – yang dalam epos sejarah kita adalah Amerika
Serikat. Menghadang demagog seperti Trump dan mengantarkan politisi independen yang simpatik dengan mobilisasi massa seperti Sanders mungkin merupakan suatu cara yang memungkinkan mobilisasi militan rakyat Amerika muncul di kemudian hari.*** 

Terima kasih kepada Windu Jusuf yang telah menunjukkan puisi Allen Ginsberg tentang Burlington di masa Bernie Sanders.

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

 

Teror Jakarta dan Bagaimana Menyikapinya

http://indoprogress.com/2016/01/teror-jakarta-dan-bagaimana-menyikapinya/

BELUM lama Jakarta kembali diserang oleh teror bom. Tepat di jantung kota, daerah Sarinah Thamrin, salah satu titik pusat kegiatan perkantoran dan perbelanjaan. Serangan ini, meskipun berhasil diatasi secara cepat, disebut-sebut sebagai serangan teroris yang terbesar pasca rentetan aksi-aksi terorisme di tanah air beberapa tahun silam. Kepada para korban dan keluarganya, sudah sepantasnya kita haturkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya

Namun, yang bermasalah bukan hanya terorisme, tetapi juga sikap kita terhadapnya, baik yang berbau militeristik vulgar maupun pseudo-‘solidaritas.’ Sebuah bentuk solidaritas dalam menghadapi ancaman teror dan simpati dengan penderitaan korban dan warga kebanyakan yang terkena dampaknya memang perlu, tetapi kita perlu beranjak lebih jauh dari itu.

***

Bukan tanpa alasan apabila menurut perspektif Kiri aksi-aksi terorisme seringkali dicap sebagai sebuah bentuk ‘infantilisme’ dan ‘avonturisme.’ Sejarah gerakan Kiri sendiri penuh dengan eksperimen-eksperimen ‘teroristik’ yang bersifat sporadis. Di masa-masa awal perkembangannya, kaum anarkis acap kali bereksperimen dengan ‘propaganda dengan aksi’ yang menyasar perwakilan-perwakilan terkemuka dari kaum elit – para monark, bangsawan, dan industrialis tamak – sebelum kemudian mereka menyadari kelemahan aksi-aksi semacam itu dan beralih ke kerja-kerja pengorganisiran massa yang lebih ‘mengakar’ dan jangka panjang. Dalam tradisi Marxis, Marx dan Engels berpolemik dan berdebat keras dengan Louis Auguste Blanqui dan teorinya, Blanquisme, yang menekankan kepada peranan segelitir elit revolusioner yang bekerja secara rahasia untuk merebut kekuasaan melalui revolusi demi mewujudkan masyarakat sosialis. Bagi Marx dan Engels, Blanquisme adalah sejenis elitisme yang terlampaui voluntaris, tercerabut dari realitas sosial dan praksis kelas pekerja, dan karenanya bermasalah dan bisa menimbulkan resiko politik yang fatal. Dari sejumlah pengalaman inilah, kaum progresif bisa belajar mengapa terorisme adalah sebuah strategi yang problematis dan doomed to fail.

Dalam konteks kontemporer, sedikit banyak terorisme dapat dilihat sebagai ‘reaksi salah arah’ (dislocated response) terhadap efek dan ekses dari perkembangan negara-bangsa dan kapitalisme – termasuk dalam epos negara polisi (police state) dan neoliberal yang kita alami sekarang ini. Oleh karena itu, memahami aksi-aksi teroristik hanya pada level kondisi psikologis individual pelaku terorisme dan ranah ideasional di mana gagasan-gagasan teroristik muncul, meskipun penting, tidaklah cukup. Memahami kemunculan dan kiprah kelompok teroris totalitarian seperti ISIS, misalnya, memerlukan pemahaman mengenaikonteks struktural-historis yang memungkinkan ISIS muncul. Disinilah analisa materialis historis atas terorisme menjadi penting, baik untuk memahami kemunculannya, hubungannya dengan politik imperium global dan tendensi negara polisi dewasa ini, dan respon rakyat pekerja terhadapnya.

Kajian kritis terhadap terorisme menjadi penting terutama di konteks Indonesia, di mana praktik-praktik terorisme ‘individual’ atau ‘masyarakat’, baik yang berbau fundamentalisme keagamaan maupun varian lainnya, dapat menjadi justifikasi atas praktik-praktik terorisme negara, baik dengan dalih konter-terorisme, keamanan nasional, atau yang paling mutakhir, ‘bela negara.’ Sebagaimana dijelaskan oleh kawan Coen Pontoh dalam editorialnya, terorisme bukan hanya ‘memukul mundur kesadaran dan pengetahuan rakyat tertindas yang telah mekar’ tetapi juga ‘membuat otot-otot rezim semakin kuat dan semangat represifnya menjadi berlipat ganda.’ Dengan kata lain, terorisme bukan hanya merusak kehidupan dan penghidupan rakyat sehari-hari, tetapi juga berpotensi untuk memantik tendensi negara polisi yang lebih besar dan segala turunannnya – mulai dari pembunuhan ekstra-yudisial hingga…Guantanamo.

Kritik terhadap negara polisi sebagai solusi konter-terorisme inilah yang harus kita rumuskan dan propagandakan. Negara polisi dianggap bermasalah terutama karena kecenderungannya untuk melanggar dan meringkus hak-hak dan kebebasan sipil dan politik. Tetapi, ada juga alasan lain yang tidak kalah penting untuk menolak ekspansi negara polisi, yaitu karena fungsinya sebagai alat ekspansi ekonomi-politik proyek imperium global dan militerisme nasional yang sangat berpotensi mengancam kehidupan rakyat pekerja. Tentu saja kritisisme ini bukan berarti menihilkan upaya-upaya konter-terorisme dan penegakkan hukum. Pencegahan dan perlawanan terhadap terorisme tetap diperlukan, namun upaya tersebut haruslah berada dalam kontrol demokratis rakyat pekerja atas institusi koersif negara dan kaidah-kaidah supremasi hukum. Tanpa kontrol tersebut, maka operasi konter-terorisme rawan tergelincir menjadi suatu justifikasi untuk kebijakan-kebijakan sekuritisasi yang lebih represif dan berbau militeristik.

Di sisi lain, kita juga perlu berhati-hati untuk, sebagaimana dipaparkan oleh kawan Windu Jusuf, untuk tidak meromantisasi pengalaman rakyat pekerja dalam menghadapi ancaman terorisme dan mereduksinya dalam bentuk yang murahan. Pengalaman dan contoh ‘heroik’ yang ditunjukkan oleh Pak Jamal si Tukang Sate, misalnya, bukanlah suatu perilaku yang ‘wah’ karena diliput oleh media-media borjuis dan dirayakan oleh para penguasa dan mereka yang takut akan kehilangan kenyamanannya. Sebaliknya, santainya sikap Pak Jamal menanggapi ancaman teror yang hanya berjarak beberapa ratus meter darinya menjadi heroik justru karena itu merupakan bagian dari pengalamannya – dan pengalaman banyak rakyat pekerja lainnya – sehari-hari. Alih-alih meromantisasi dan mencabutnya dari konteks sosialnya, ketahanan atau resilience rakyat pekerja dalam menghadapi tantangan dan teror setiap harinya – baik dari kelompok ekstrimis maupun aparatus negara – seharusnya kita mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut – terutama untuk menggunakannya sebagai acuan bagi pengorganisiran solidaritas kolektif yang lebih luas, baik dalam konteks konter-terorisme terlebih-lebih dalam memajukan agenda-agenda politik progresif yang lain.

Singkat kata, kaum progresif bukan hanya harus mengutuk terorisme dan dampak yang ditimbulkannya kepada kehidupan rakyat banyak, tetapi juga menganalisanya secara kritis dan merumuskan solusi atasnya. Solusi ‘konter-terorisme’ bagi kaum progresif bukanlah solusi-solusi hawkish yang bersifat reaksioner – yang sayangnya sempat dipromosikan oleh sejumlah aktivis ‘Kiri’ dan ‘liberal’ untuk sejumlah kasus, misalnya, dalam Invasi Irak dan penggunaan penyiksaan dalam War on Terror,[1] yang membuat mereka tidak jauh dengan para ‘nasionalis’ kelas jawara dua meter yang berteriak ‘NKRI harga mati’ at all cost. Solusi progresif atas terorisme haruslah memastikan dan menguatkan, sekali lagi, kontrol demokratis rakyat pekerja atas operasi konter-terorisme dan juga aparatus koersif negara lainnya. Lebih penting lagi, solusi progresif atas terorisme haruslah mempromosikan dan menguatkan solidaritas internasional melawan agresi-agresi imperialis dan mengangkat ketahanan dan perlawanan keseharian rakyat pekerja atas berbagai bentuk ‘teror’ – mulai dari yang eksplisit seperti bom kelompok ekstrimis dan penggebukan oleh aparat hingga yang elusif seperti pembatasan atas upaya penghidupan mereka baik di jalan maupun di tempat kerja – sebagai sumber inspirasi untuk pembangunan solidaritas kolektif yang lebih maju lagi.

Karena cara terbaik untuk menunjukkan bahwa #KamiBerani dan menghargai sikap nyantaiala Pak Jamal adalah dengan tidak tergoda oleh mantra-mantra totalitarian dan ekpansionis dari dua sisi dari satu koin yang sama: ideologi teroris yang fatalistik dan imperialisme baru yang bertumpu kepada negara polisi.***

Serang, 20 Januari, 2016

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

—————

[1] Sikap inilah yang ditunjukkan oleh para aktivis dan penulis Atheis Baru (New Atheist) yang menjadi apologis untuk politik imperialis Barat akhir-akhir ini. Christopher Hitchens – yang ex-Trotskyist misalnya – mendukung invasi Irak (lihathttp://www.huffingtonpost.com/2011/12/16/christopher-hitchens-dead-iraq-war_n_1154152.html) dan rekannya, Sam Harris, yang mendaku liberal, mendukung penggunaan metode penyiksaan atas nama perang melawan terorisme (lihat di: http://www.huffingtonpost.com/sam-harris/in-defense-of-torture_b_8993.html).

Mempertanyakan Nasionalisme: Sebuah Tinjauan atas Transmutasi Konsep Nasionalisme*

Pendahuluan

HIRUK-PIKUK mengenai persoalan ‘bela negara’ menunjukkan bahwa aspek ritual dan ‘mobilisasi dari atas’ memang merupakan bagian yang inheren dari tiap-tiap usaha pembentukan negara modern, termasuk diantaranya adalah ide-ide tentang nasionalisme. Tetapi contoh ini bukanlah satu-satunya diskursus mengenai nasionalisme. Ada banyak narasi-narasi lain mengenai nasionalisme yang beragam dan kerap kali saling berbenturan satu sama lain.

Sebagai contoh, narasi-narasi nasionalisme Indonesia yang berkembang mengenai Papua baru-baru ini mengemuka dalam bentuk-bentuk seperti “NKRI Harga Mati!”, “Lawan Konspirasi Asing!”, “Lawan Separatisme!”, dan lain sebagainya, yang berkaitan erat dengan sejumlah steoreotip dan pandangan-pandangan esensialis tentang warga Papua – sebagai orang dari kelompok etnis Melanesia yang berkulit legam, pemalas, pemabuk, dan tukang bikin onar. Bandingkan narasi seperti ini dengan narasi-narasi nasionalisme yang berkembang di Masa Pergerakan Nasional, yang menekankan kemerdekaan politik, visi-visi radikal tentang keadilan sosial, dan persatuan lintas kelompok – singkat kata, cita-cita pembebasan nasional. Terdapat perbedaan yang begitu kontras di antara dua jenis narasi tersebut.

Perbedaan itulah yang menjadi fokus pembahasan tulisan kali ini: bagaimana dan mengapa perbedaan tersebut muncul? Dengan kata lain, saya mengajukan suatu pertanyaan: bagaimana dan mengapa transmutasi dari ide-ide nasionalisme bisa terjadi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini menggali lebih dalam perkembangan konsep nasionalisme ditinjau dari perjalanan kesejarahannya untuk menunjukkan interaksi antara diskursus-diskursus mengenai nasionalisme dan kondisi-kondisi sosial yang melatarbelakanginya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban yang definitif atas pertanyaan di atas, tetapi setidaknya ini dapat menjadi pembuka untuk perbincangan yang lebih dalam dan luas.

Asal Mula Nasionalisme dan Transmutasinya

Apabila kita menempatkan nasionalisme sebagai sebuah bentuk identitas politik, maka setidaknya ada dua pandangan besar mengenai “identitas nasional” sebagai “identitas politik”: esensialisme dan konstruktivisme kebudayaan. Esensialisme kebudayaan berpendapat bahwa terdapat inti dari tiap-tiap kebudayaan yang sifatnya statis, menetap, dan cenderung tidak berubah (Geertz, 1973; Huntington, 1996; Petersen, 2002), sedangkan kontruktivisme kebudayaan melihat budaya sebagai sebuah produk dari proses-proses struktural, sosial, historis, dan kelembagaan yang lebih luas, yang seringkali diasosikan dengan proses transisi menuju modernitas, yang karenanya meniscayakan perubahan dan transformasi atas suatu identitas sosial (Anderson, 1991; Gellner, 1983; Laitin, 1998; Posner, 2003; 2005).[1] Sepintas, divergensi antara kedua pandangan besar ini terlihat hanya sebagai sebuah debat akademis, tetapi teori-teori ini sesungguhnya juga merupakan sebuah lensa untuk memahami nasionalisme dan memiliki implikasi politis yang lebih luas.

Ekspresi-ekspresi nasionalisme yang bercorak nativis, sektarian, dan terkadang rasis, misalnya, berangkat dari asumsi-asumsi esensialisme kebudayaan, bahwasanya ada seperangkat kategori atau nilai kebudayaan tertentu yang secara definitif menentukan identitas dan kadar nasionalisme seseorang atau suatu kelompok. Dalam ekspresi yang seperti ini, the Other, sang Liyan, terus menerus diciptakan, dilanggengkan eksistensinya, dan direduksi keberagamannya sebagai bagian dari upaya untuk membedakan dan menarik garis batas yang tegas antara “kita” vs. “mereka”, us vs. them. Pandangan-pandangan konstruktivis mengkritik pembacaan dan tendensi seperti itu. Menurut mereka, bentuk-bentuk nasionalisme dan konstruksi mengenai sang Liyan tidak hadir dalam suatu kevakuman sejarah; yang ada, ekspresi-ekspresi tersebut muncul sebagai suatu produk sejarah yang muncul dalam konteks-konteks tertentu seperti hubungan antar kelas, proses-proses pembentukan negara modern beserta segenap aparatusnya, perkembangan dan transformasi kapitalisme, hubungan mayoritas-minoritas, dan lain sebagainya. Kritik konstruktivis juga menekankan evolusi dari hubungan kuasasebagai konsekuensi dari proses-proses sejarah tersebut dan bagaimana ia mempengaruhi dan berinteraksi dengan diskursus-diskursus mengenai nasionalisme. Ini dapat dilihat misalnya dalam kasus-kasus seperti proses pembentukan “identitas nasional” – identitas keperancisan misalnya (Weber, 1976), sejarah pembentukan aparatus negara modern di berbagai tempat (Scott, 1998), mobilisasi sentimen “solidaritas etnis” dan “nasionalistik” yang menggunakan kekerasan sebagai bentuk strategi elit politik di berbagai tempat, mulai dari negara-negara bekas Federasi Yugoslavia yang mengalami Balkanisasi (Horowitz, 2001) hingga negara-negara dengan ketegangan hubungan rasial seperti Afrika Selatan, Amerika Serikat (AS), dan Brazil (Marx, 1998; 2002). Di titik ini, kritik konstruktivis menemukan relevansinya: ia mencermati dan menggarisbawahi bagaimana sejumlah diskursus dan ekspresi nasionalisme merupakan sebuah mekanisme untuk melanggengkan hubungan kuasa yang tidak setara dan terkadang berdarah-darah itu.

Pola-pola seperti ini juga dapat kita lihat di dalam konteks Indonesia. Tetapi perlu diingat bahwa itu bukanlah merupakan satu-satunya ekspresi mengenai nasionalisme. Fakta ini, saya kira, perlu digarisbawahi di sini untuk menunjukkan bagaimana proses transmutasi itu terjadi. Nasionalisme modern Indonesia, setidaknya di masa-masa awal kelahirannya, berkelit-kelindan dengan berbagai tendensi politik anti-kolonial, radikal, dan emansipatoris yang lain dan memiliki potensi sebagai sebuah bentuk artikulasi politik yang progresif.

Konteks sejarahnya perlu dipahami di sini: setidaknya di masa-masa awal kelahirannya sampai dengan Pembunuhan Massal anti-Komunis di tahun 1965, artikulasi politik nasionalisme Indonesia merupakan bagian dari gelombang besar gairah Pembebasan Nasional dan upaya-upaya dekolonisasi secara komprehensif. Masyarakat Indonesia, sebagaimana negara-negara dunia ketiga lainnya, mencoba bergerak mengikuti alur telos yang dicanangkan oleh penulis-penulis anti-kolonial radikal seperti Frantz Fanon (1963) – suatu proses yang awalnya penuh harapan tetapi juga penuh dengan berbagai kontradiksi dan tantangannya sendiri. Dengan latar “Zaman Bergerak” (Shiraishi, 1990) inilah, nasionalisme Indonesia tumbuh dan berkembang. Tetapi perlu diingat bahwa proses kelahiran dan perkembangan politik nasionalis radikal ini jangan dibayangkan sebagai proses yang linear dan mulus; dalam perkembangannya, ia menemui kesulitan-kesulitannya sendiri.

Tetapi setidaknya di dalam epos sejarah inilah terjadi pertautan yang erat antara nasionalisme dengan politik anti-kolonial radikal. Mungkin kita bisa menganggap apa yang Sukarno konsepsikan sebagai NASAKOM dan interaksi serta dialog antara Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dalam Dibawah Bendera Revolusi sebagai suatu campuran yang bukan hanya idiosinkratik, tetapi, lebih dari itu, bagaikan air dan minyak. Namun itulah yang terjadi di masa-masa awal pembentukan republik. Nasionalisme bukan hanya berdialog tetapi juga berinteraksi erat dengan dua bentuk artikulasi politik lainnya di nusantara, yaitu Islam dan Marxisme. Di masa tersebut, semua orang yang menyadari realita masyarakat kolonial yang represif, rasis, dan timpang, baik dari kalangan Nasionalis, Islam, maupun Kiri, menyerukan berbagai platform politik yang bersifat anti-kolonial dan menyerukan keterbukaan politik serta keadilan sosial – pendek kata, diskursus politik yang bercorak sosialis dengan berbagai tendensi dan variasinya menjadi narasi (dan mungkin artikulasi) utama dari aspirasi nasionalisme Indonesia (Vu, 2010, hal. 208-33). Nasionalisme “sinkretik” yang bersenyawa dengan tendensi-tendensi politik emansipatoris radikal yang lain juga tidak berhenti hanya di lapis-lapis kelas menengah terdidik yang terpolitisasi dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda – yang dianggap sebagai “masinis” dari gerakan nasionalis Indonesia yang lintas kelompok. Tendensi nasionalis radikal juga menemukan gaungnya di kalangan kelas bawah, yang dianggap sebagai “mesin” alias foot soldiers dari upaya-upaya pembebasan nasional[2], yang meskipun perananannya penting namun seringkali dianggap sebelah mata dan rawan dicap sebagai sebentuk ugalan-ugalan politik atau avonturisme terutama karena artikulasi-artikulasi politik mereka yang dianggap terlalu “radikal.”

Sejumlah karya mencatat momen-momen sejarah di mana kalangan-kalangan marginal tersebut, mulai dari buruh, petani, hingga pemuda dan preman desa, mencoba melawan hegemoni pemerintah kolonial – dan pemerintah Indonesia yang hadir setelahnya[3] – mulai dari karya klasik Kahin (1952), rebuttal Benedict Anderson (1972) yang menggarisbawahi peranan kalangan pemuda, peranan serikat buruh dalam masa-masa awal pembentukan republik (Suryomenggolo, 2013), hingga karya-karya mengenai pergolakan di Bandung (Smail, 1964), beberapa tempat di Jawa Tengah (Lucas, 1989), hingga Surabaya (Frederick, 1989). Momen sejarah ini, yang periode paling intensnya berkisar antara 1945 hingga 1949, seringkali disebut sebagai periode Revolusi Fisik. Tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarawan-sejarawan tersebut, terutama oleh Lucas (1989) dan Suryomenggolo (2013), periode tersebut bukanlah merupakan persoalan perjuangan bersenjata semata. Ada tuntutan-tuntutan kelas,tuntutan-tuntutan politik, ekonomi, dan sosial yang lebih mendalam dan ekstensif. Di sini, terlihat bahwa periode 1945-1949 bukan hanya sekedar Revolusi Fisik. Lebih dari itu, periode tersebut merupakan jendela untuk melihat berbagai eksperimen Revolusi Sosial di tingkat lokal. Perlu dicatat bahwa saya sedang tidak meromantisir eksperimen sejarah tersebut. Kenyataannya, eksperimen-eksperimen revolusi sosial lokalan tersebut lebih sering gagal karena satu dan lain hal – karena “ditertibkan” oleh pemerintah pusat misalnya. Tetapi, refleksi dan analisa atas peristiwa tersebut memungkinkan kita untuk memahami lebih lanjut berbagai kemungkinan narasi dan artikulasi dari nasionalisme.

Di sisi lain, kita juga perlu menyadari bahwa artikulasi dari nasionalisme tidak selamanya progresif. Nasionalisme juga mengandung bibit-bibit konservatisme dan artikulasinya bisa mengemuka dalam bentuk-bentuk yang reaksioner, militeris, dan bahkan fasis. Benedict Anderson (1991) dalam karya klasiknya Imagined Communities menunjukkan salah satu contoh artikulasi nasionalisme dengan kecenderungan konservatif dan membahasnya secara cukup mendalam, yaitu “Nasionalisme Resmi” (Official Nationalism) sebagai sebuah respon terhadap tuntutan-tuntutan nasionalisme popular “dari bawah.” Dalam perjalanannya, narasi Nasionalisme Resmi tidak selamanya konservatif, tetapi persoalannya dimulai ketika Nasionalisme Resmi mau tidak mau mengambil jalur statis, negara-sentris, sebagai strategi politik untuk mengimplementasikan ideal-idealnya. Persoalannya adalah, menurut Anderson:

“Model Nasionalisme Resmi mengasumsikan bahwa relevansinya mencapai puncaknya terutama ketika mereka berhasil merebut kontrol atas negara dan untuk pertama kalinya berada dalam posisi untuk menggunakan kekuasaan negara dalam upaya untuk melaksanakan visi-visi mereka. Ini menjadi semakin relevan karena bahkan para revolusioner yang paling radikal sekalipun selalu, dalam beberapa derajat tertentu,mewarisi negara dari rejim terdahulu yang bangkrut.” (hal. 159, penekanan oleh penulis).[4]

Sebagai strategi politik, strategi tersebut memang efektif dan tepat guna, tetapi pertanyaannya, apa yang terjadi setelah itu? Lebih spesifik lagi, kita bisa bertanya: apa interaksi yang terjadi antara visi nasionalisme “dari atas” dan visi nasionalisme “dari bawah”? Interaksi ini sayangnya kerap kali termanifestasikan sebagai benturan di antara kedua visi tersebut. Tuntutan-tuntutan nasionalis radikal yang berasal dari bawah yang bertautan dengan harapan masyarakat mengenai “Dunia yang Baru”, yang menuntut pelaksanaan reformasi-reformasi dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat (post-)kolonial secara mendalam, komprehensif, dan segera seringkali diasosikan dengan avonturisme dan infantilisme politik dan gangguan terhadap tatanan ketertiban dan keamanan oleh pemerintah-pemerintah di negara-negara postkolonial yang baru dan penuh dengan kekerasan politik yang cenderung “totaliter” oleh pengamat-pengamat liberal dan konservatif.[5] Ini juga yang terjadi di Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan: Pemerintah Republikan yang baru memutuskan untuk “meredam” eksperimen revolusi sosial yang dikenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” di Jawa Tengah (Lucas, 1989). Bahkan, tokoh-tokoh pergerakan dengan kontribusi dan dedikasi yang luar biasa terhadap perjuangan rakyat pekerja, seperti S.K. Trimurti, pada suatu saat mengecap tindakan-tindakan sindikalis Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di masa awal kemerdekaan sebagai sebuah bentuk avonturisme politik (Suryomenggolo, 2013).

Tetapi solusi ‘tangan besi’ tersebut di atas juga bukan tanpa masalah. Kenyataannya, negara-negara pascakolonial seringkali mewarisi negara kolonial yang bangkrut. Dalam kondisi seperti itu, maka upaya ‘dekolonisasi total’ akan menemui berbagai tantangan yang berat. Pemerintahan pascakolonial yang baru, yang membutuhkan lapisan administrator dengan keterampilan teknis (baca: teknokrasi), mau tidak mau terpaksa harus melakukan ‘konsesi’ terhadap ambisi dekolonisasi totalnya. Perlahan, aspirasi radikal berubah menjadi aspirasi-aspirasi yang lebih ‘realitis’, yang menekankan pada ‘stabilitas’ dan ‘pertumbuhan’. Tetapi, aspirasi-aspirasi ini sejati membutuhkan peranan negara yang ekstensif. Alhasil, yang terjadi adalah replikasi dan reproduksi pola-pola penataan negara ala zaman kolonial di era postkolonial. Militerisme negara ala Orde Baru misalnya adalah salah satu contoh dari proses reproduksi tersebut (Anderson, 1983).

Yang juga tidak kalah ironis adalah bahkan imajinasi politik dari para aktivis anti-kolonial yang paling radikal sekalipun, bisa jadi secara sadar maupun tidak, menginternalisasi diskursus-diskursus kolonialis mengenai masyarakat yang dijajahnya. Ini bukan berarti menafikan upaya para tokoh pergerakan tersebut untuk ‘menarik batas’ yang tegas antara identitas penjajah dan orang terjajah. Tetapi, adalah suatu fakta sejarah bahwa imajinasi para tokoh pergerakan nasional di banyak tempat sedikit banyak terkondisikan oleh konteks masyarakat kolonial di mana mereka hidup. Tentu ada diskursus-diskursus progresif dari pusat-pusat metropolis kolonial yang juga merembes ke tanah-tanah jajahan – ide-ide mengenai Pencerahan dan Revolusi Perancis misalnya – yang berguna dan kondusif untuk pengembangan nasionalisme anti-kolonial yang lebih radikal. Tetapi, ada juga sejumlah asumsi dan gambaran kolonialis mengenai masyarakat terjajah yang secara tidak sadar juga diinternalisasi oleh para tokoh pergerakan anti-kolonial ini. Studi Penny Edwards (2007) tentang evolusi mengenai imajinasi tentang identitas nasional Kamboja merupakan salah satu contoh menarik dari proses internalisasi imajinasi kolonial tersebut ke dalam benak kolektif kalangan intelligentsia Kamboja. Narasi mengenai “Kamboja” sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari etnis “Khmer” yang “murni” sesungguhnya pertama-tama diimajinasikan oleh para kolonialis Perancis yang kemudian tertransmisikan ke dan diinternalisasi oleh kalangan intelligentsia Kamboja. Sebagai contoh, Edwards menunjukkan bagaimana Saloth Sar – yang di kemudian hari akan dikenal sebagai Pol Pot, sang Jagal Killing Fields – di masa-masa awal karir kepenulisannya merujuk dirinya sebagai Sang Khmer Pribumi, the Original Khmer.

Kembali ke konteks kita, terdapat satu peristiwa sejarah yang menjadi satu titik kritis (critical juncture) di mana proses transmutasi diskursus utama mengenai nasionalisme terjadi, dan itu adalah Katastrofi 1965. Menggunakan istilah Anderson, persis di titik itulah, Nasionalisme Resmi berhasil menang melawan Nasionalisme Popular dan Radikal. Dengan naiknya Orde Baru yang secara efektif kemudian memperkenalkan dan melanggengkan ritual-ritual Nasionalisme Resmi dengan sentuhan militerisme, maka secara efektif imajinasi populer tentang Nasionalisme Radikal perlahan-lahan hilang dari permukaan – meskipun tidak sepenuhnya hilang. Ditambah dengan pertumbuhan lapis kelas menengah dan jejaring oligarki Indonesia yang cenderung bersifat state-dependent, bergantung kepada negara dan rejim, maka narasi-narasi Nasionalisme Resmi menjadi semakin marak dan hegemonik di tengah-tengah masyarakat.

Kombinasi dari kondisi struktural dan diskursus politik inilah yang kemudian membentuk karakter konservatif kelas menengah kita. Alhasil, diskursus-diskursus soal nasionalisme dan identitas keindonesiaan belum bisa beranjak dari dan melampaui slogan-slogan militeris seperti “NKRI Harga Mati!” maupun slogan-slogan konsumeris seperti “Damn I love Indonesia!”. Ini juga diperparah dengan masih kurangnya diskusi dan debat publik yang terbuka mengenai “sisi gelap” dari sejumlah ekspresi dan artikulasi nasionalisme Indonesia dalam kaitannya dengan masyarakat lain yang diLiyankan – seperti misalnya kasus-kasus kekerasan negara di Aceh, Papua, dan Timor-Leste. Ditambah dengan semakin mengemukanya konsepsi kewarganegaraan pasar (market citizenship) yang mereduksi konsepsi kewargaan sebagai konsumen dari pasar dan merayakan berbagai komodifikasi ekspresi identitas dan aksi politik kolektif sebagai pilihan individual (Sommers, 2008), maka ruang bagi artikulasi-artikulasi nasionalisme dalam bentuknya yang lebih progresif dan radikal menjadi semakin sempit. 

Nasionalisme Popular, Mungkinkah?

Pemaparan ini akhirnya membawa kita kepada suatu pertanyaan: masih adakah kemungkinan bagi artikulasi progresif dari nasionalisme? Adakah kemungkinan untuk merevitalisasi kembali bentuk-bentuk nasionalisme popular? Kemudian, masih relevankah nasionalisme sebagai suatu bentuk artikulasi politik progresif?

Saya tidak berpretensi untuk memiliki jawaban-jawaban yang definitif atas pertanyaan di atas, tetapi saya pikir satu langkah yang memungkinkan kita untuk menemukan kembali nasionalisme dalam variannya yang progresif adalah dengan menggali kembali apa yang disebut sebagai tradisi-tradisi kecil, little traditions, yang bersifat keseharian namun memiliki makna yang penting bagi lapis-lapis masyarakat yang paling termarginalkan dan tersubordinasi (Scott, 1977a; 1977b). Ekspresi-ekspresi nasionalisme popular tampak begitu ‘radikal’ baik bagi para elit maupun kalangan kelas menengah terdidik dari masyarakat, tetapi bagi para “eksponen” nasionalisme popular – kaum petani dan berbagai lapisan masyarakat pedesaan lainnya misalnya – ekspresi tersebut hanyalah merupakan perpanjangan dari narasi kebudayaan dan aspirasi sosial mereka sehari-hari.

Mengapa menggali kembali tradisi-tradisi kecil dapat menjadi suatu alternatif terhadap narasi Nasionalisme Resmi yang hegemonik. Karena, sebagaimana upaya-upaya perwujudan demokrasi radikal oleh rakyat pekerja – mulai dari revolusi sosial di tingkat lokal hingga strategi sindikalis dan praktek demokrasi tempat kerja (workplace democracy) oleh serikat buruh di tingkat nasional – tradisi-tradisi kecil merupakan suatu lokus, suatu ruang di mana konsepsi-konsepsi alternatif tentang politik, termasuk tentang nasionalisme, dapat berkembang dan memicu aksi kolektif lebih lanjut. Tradisi-tradisi kecil adalah tempat di mana, mengutip istilah pembangkang Cekoslovakia Václav Havel (1992) “politik anti-politik” (anti-political politics) dan “kekuatan mereka yang lemah” (the power of the powerless) yang termanifestasikan dalam aksi-aksi pembangkaan yang elusif yang dapat melanggengkan resistensi dan bahkan mengubah rejim. Tradisi-tradisi kecil adalah ruang bukan hanya bagi pembangkaan keseharian (everyday forms of resistance) – seperti bermalas-malasan di hadapan tuan tanah dan bergosip tentang para tetangga yang pelit – yang tidak serta merta menimbulkan perubahan struktural (Scott, 1985) tetapi juga bagi upaya-upaya politik keseharian (everyday politics) yang tidak terkoordinasi namun dapat menimbulkan dampak kolektif yang begitu besar – sebagaimana keengganan kolektif para petani Vietnam untuk bercocok tanam di lahan-lahan kolektivisasi pemerintah pasca unifikasi Vietnam memaksa pemerintah untuk mengakomodasi keinginan petani dan bahkan mereformasi kebijakan pertanian (Kerkvliet, 2005).

Tentu ada satu hal dalam pemaparan ini yang belum begitu banyak terbahas, yaitu bagaimana ekspresi nasionalisme dan proyek emansipatorisnya harus berurusan dengan persoalan bagaimana mentransformasikan logika kedaulatan negara – terutama dalam konteks negara pascakolonial dengan segala beban sejarahnya – agar visi-visi politik emansipatoris tersebut dapat terwujud. Perbincangan soal ini tentu membutuhkan pembahasan terpisah yang lebih mendalam dan juga menjadi pekerjaan rumah yang besar dalam perumusan mengenai suatu visi nasionalisme yang lebih emansipatoris.

Tetapi, setidaknya pemaparan ini dapat sedikit membantu kita untuk lebih memahami kontras antar berbagai visi nasionalisme dan ketegangan-ketegangan di dalam proyek politik nasionalisme itu sendiri serta bagaimana transmutasi dari satu konsep nasionalisme ke konsep nasionalisme yang lain terjadi, terutama dalam konteks kita. Dalam konteks inilah perjuangan diskursif – yang juga mensyaratkan perjuangan di ranah gerakan sosial dan upaya-upaya kolektif dari lapis-lapis paling termarginalkan dalam masyarakat – menjadi penting. Upaya untuk menggali dan mengarusutamakan kembali diskursus-diskursus alternatif tentang nasionalisme – seperti bagaimana imajinasi kolektif tentang kehidupan kebangsaan yang adil, bebas, dan mandiri dalam tradisi-tradisi kecil – dapat menjadi satu langkah penting yang memiliki implikasi yang signifikan. Di tengah-tengah begitu hegemoniknya diskursus nasionalisme pasar – misalnya ala program pendidikan berbasis relawan yang notabene berasal dari lapisan kelas menengah terdidik yang “terpanggil” bagi masyarakat desa yang abai terhadap problem struktural ketersediaan pendidikan di desa-desa dan kecenderungan kariris para alumni pengajar di program tersebut (Gellert, 2015) – maupun Nasionalisme Resmi yang masih mengambil bentuk represif dan militeris dan semakin mengemuka akhir-akhir ini, maka upaya perumusan diskursus nasionalisme yang berorientasi popular yang didorong oleh aksi-aksi kolektif dari rakyat pekerja merupakan suatu langkah politik yang strategis.

Karena persoalan nasionalisme juga bukan hanya persoalan kebangsaan dan identitas, tetapi juga persoalan ketatanegaraan, kekuasaan, dan distribusi berbagai sumber daya – pendek kata, persoalan ekonomi-politik***

Penulis adalah editor IndoPROGRESS dan kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

*Artikel ini semula adalah makalah singkat untuk pengantar diskusi perdana Forum PembacaIndoPPROGRESS pada 22 Agustus 2015 di Owl House Coffee.

Kepustakaan:

Anderson, B., 1972. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca: Cornell University Press.

Anderson, B., 1983. Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective. Journal of Asian Studies, 42(3), pp.477-96.

Anderson, B., 1991. Imagined Communities. London: Verso.

Chandra, K., 2006. What Is Ethnic Identity and Does It Matter? Annual Review of Political Science, 9, pp.397-424.

Edwards, P., 2007. Cambodge: The Cultivation of a Nation, 1860-1945. Honolulu: Hawai’i University Press.

Fanon, F., 1963. The Wretched of the Earth. New York: Grove Press.

Fearon, J.D. & Laitin, D.D., 2000. Violence and the Social Construction of Ethnic Identity.International Organization, 54(4), pp.845-77.

Frederick, W.H., 1989. Visions and Heat: The Making of the Indonesian Revolution. Athens: Ohio University Press.

Geertz, C., 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Gellert, P.K., 2015. Optimism and Education: The New Ideology of Development in Indonesia.Journal of Contemporary Asia, 45(3), pp.371-93.

Gellner, E., 1983. Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press.

Havel, V., 1992. Open Letters: Selected Writings, 1965-1990. New York: Vintage Books.

Horowitz, D.L., 2001. The Deadly Ethnic Riot. Ithaca: Cornell University Press.

Huntington, S.P., 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster.

Kahin, G.M., 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Kerkvliet, B., 2005. The Power of Everyday Politics: How Vietnamese Peasants Transformed National Policy. Ithaca: Cornell University Press.

Laitin, D.D., 1998. Identity in Formation: the Russian-speaking Populations in the Near Abroad. Ithaca: Cornell University Press.

Lucas, A.E., 1989. Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Marx, A.W., 1998. Making Race and Nation: A Comparison of South Africa, the United States, and Brazil. Cambridge: Cambridge University Press.

Marx, A.W., 2002. The Nation-State and Its Exclusion. Political Science Quarterly, 117(1), pp.103-26.

Motyl, A.J., 2002. Review Article: Imagined Communities, Rational Choosers, Invented Ethnies.Comparative Politics, 34(2), pp.233-50.

Petersen, R.D., 2002. Understanding Ethnic Violence: Fear, Hatred, and Resentment in Twentieth-Century Eastern Europe. Cambridge: Cambridge University Press.

Posner, D.N., 2003. The Colonial Origins of Ethnic Clevages: The Case of Linguistic Divisions in Zambia. Comparative Politics, 35(2), pp.127-46.

Posner, D.N., 2005. Institutions and Ethnic Politics in Africa. Cambridge: Cambridge University Press.

Scott, J.C., 1976. Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. New Haven: Yale University Press.

Scott, J.C., 1977. Protest and Profanation: Agrarian Revolt and the Little Tradition, Part I. Theory and Society, 4(1), pp.1-38.

Scott, J.C., 1977. Protest and Profanation: Agrarian Revolt and the Little Tradition, Part II.Theory and Society, 4(2), pp.211-46.

Scott, J.C., 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press.

Scott, J.C., 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven: Yale University Press.

Shiraishi, T., 1990. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell University Press.

Smail, J., 1964. Bandung in the Early Revolution 1945-1946: A Study in the Social History of the Indonesian Revolution. Ithaca: Monograph Series, Modern Indonesia Project, Cornell University.

Sommers, M., 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness, and the Right to Have Rights. 1st ed. New York: Cambridge University Press.

Suryomenggolo, J., 2013. Organising under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945-1948. Kyoto and Singapore: NUS Press and Kyoto University Press.

Vu, T., 2010. Paths to Development in Asia: South Korea, Vietnam, China, and Indonesia. New York: Cambridge University Press.

Weber, E., 1976. Peasants into Frenchmen: The Modernization of Rural France, 1870-1914. Stanfod: Stanford University Press.

Wolf, E.R., 1999. Peasant Wars of the Twentieth Century. 2nd ed. Norman: University of Oklahoma Press.

————–

[1] Tentu saja, ada sejumlah perdebatan mengenai dua pandangan besar ini (esensialisme dan konstruktivisme kebudayaan) dan juga teori-teori lain mengenai nasionalisme dan bentuk-bentuk identitas politik lainnya. Lihat misalnya uraian Chandra (2006), Fearon dan Laitin (2000), dan Motyl (2002).

[2] Karena itu tidak heran apabila di dekade 1960an-1970an terjadi proliferasi karya-karya mengenai masyarakat petani dan revolusi pembebasan nasional di negara-negara dunia ketiga – yang notabene adalah masyarakat agraris – karena ada imajinasi populer mengenai kaum tani sebagai jiwa bangsa, the soul of the nation. Sejumlah karya klasik yang membahas topik tersebut antara lain adalah karya Scott (1976) dan Wolf (1999).

[3] Pandangan saya mengenai episode sejarah ini juga saya tuangkan dalam satu tulisan bertajuk “Indonesian Labour Movement in Historical Perspective: A View from Below” (Manuscript under review).

[4] Teks aslinya, “Thus the model of official nationalism assumes its relevance above all at the moment when revolutionaries successfully take control of the state, and are for the first time in a position to use the power of the state in pursuit of their visions. The relevance is all the greater insofar as even the most determinedly radical revolutionaries always, to some degree, inherit the state from the fallen regime.” (hal. 159).

[5] Persoalan ini juga saya bahas dalam salah satu artikel saya di IndoPROGRESS, “Revolusi Agustus, Revolusi Sosial” yang dapat diakses di http://indoprogress.com/2015/08/revolusi-agustus-revolusi-sosial/