Iqra Anugrah

Musings on Politics, Theory, and Global Asia

Catatan Kritis untuk Filantropi Islam di Indonesia

3 Juli 2022

Catatan Kritis untuk Filantropi Islam di Indonesia


KONDISI kerentanan akibat berbagai momen kritis yang kita hadapi dalam beberapa tahun terakhir—mulai dari pandemi Covid-19 hingga efek dari kebijakan-kebijakan kapitalistik—masih kita rasakan hingga sekarang. Salah satu respons cepat publik yang deras mengalir untuk mengatasi persoalan tersebut adalah berbagai bentuk sumbangan dan tindakan solidaritas yang bersifat karitatif—dengan kata lain filantropi. Reaksi cepat ini bertumpu pada satu asumsi bahwa berderma adalah solusi jitu dan tepat sasaran di momen-momen kritis atau bahkan di masa krisis panjang sekalipun.

Tentu narasi ini sangat familiar bagi umat Islam, terutama di periode antara bulan Ramadhan dan Idul Adha, ketika mereka yang memiliki kemampuan ekonomi wajib untuk menunaikan zakat fitrah dan berkurban untuk kaum fakir miskin dan golongan-golongan lain yang berjuang. Tidak perlu diragukan bahwa potensi kolektif dari berbagai jenis aktivitas sedekah ini amat besar, baik dalam hal pengumpulan dana maupun distribusinya.

Tetapi, pertanyaan yang lebih besarnya adalah, apakah pemahaman dan model konvensional dari filantropi Islam ini cukup? Mungkinkan kita membayangkan dan merumuskan model filantropi dan solidaritas sosio-ekonomi Islam yang lebih maju? Bagaimana kita memastikan pengelolaan dana umat atau dana publik secara akuntabel, transparan, dan demokratis, terutama di tengah kritik atas penyelewengan dana di sektor filantropi Islam? Inilah persoalan yang akan coba dijawab di dalam pemaparan singkat ini. Analisis dalam esai ini tidak bertujuan untuk memberikan analisis apalagi teroborosan fiqh atau jurisprudensi Islam—untuk itu, saya serahkan kepada ahlinya. Kali ini, yang ingin saya angkat adalah refleksi dan sejumlah tawaran tentang filantropi Islam dari perspektif seorang pegiat ekonomi gerakan dan pembelajar ekonomi-politik.


Membongkar Altruisme Efektif dan Praktik Filantropi Global

Salah satu argumen filosofis yang mempengaruhi gerakan filantropi kontemporer adalah Altruisme Efektif (Effective Altruism). Salah satu promotor terkemuka dari gagasan ini adalah filsuf utilitarian-analitik asal Australia, Peter Singer. Dalam artikel klasiknya yang berjudul ”Famine, Affluence, and Morality” (1971) Singer berpendapat bahwa mereka yang kaya dan berkecukupan, terutama yang tinggal di negara-negara kaya di Utara, memiliki kewajiban moral untuk membantu mengurangi jumlah kesengsaraan hebat di dunia melalui harta kekayaan mereka. Berangkat dari tradisi etika utilirarian dan rasa terenyuhnya melihat korban Perang Kemerdekaan Bangladesh, Singer memakai satu analogi untuk meyakinkan pembacanya: apabila kita akan segera tergerak menyelamatkan seorang anak kecil yang tenggelam di satu danau meskipun baju kita akan basah, mengapa lantas kita tidak tergerak untuk menyelamatkan warga sipil yang kelaparan dan membutuhkan penanganan medis dalam kondisi perang? Argumen ini secara lebih elaboratif kemudian dijabarkan oleh Singer dalam bukunya, The Life You Can Save (2009) yang menjelaskan secara detail salah satu strategi implementasi utama dari falsafah Altruisme Efektif: berdonasi kepada lembaga-lembaga filantropi dengan profesionalitas tinggi dan dedikasi kepada kaum marjinal. Dalam buku tersebut, Singer juga menyebutkan cerita-cerita tauladan dari berbagai figur (elite), mulai dari para profesional humanis di sektor korporat, oligark-oligark dermawan seperti Bill Gates, hingga figur politik dan intelektual dunia yang mendorong inisiatif filantropi dan bantuan untuk negara-negara Selatan.

 Singkat kata, bagi Singer, berderma adalah aksi etis nan politis, dengan para dermawan sebagai para pelopornya dan organisasi serta lembaga kemanusiaan dan filantropi sebagai kendaraan politiknya.

 Familiar? Tentu saja. Argumen inilah yang di kemudian hari dipakai oleh para kapitalis raksasa seperti investor Warren Buffett, pendiri Microsoft Bill Gates, dan miliarder kripto muda Samual Bankman-Fried alias SBF. SBF misalnya, membaca karya Singer saat remaja, dan ide-ide Altruisme Efektif meyakinkannya untuk menjadi pialang kripto-cum-dermawan.

 Sejatinya, tidak ada yang benar-benar baru dari filantropi kapitalis global ini, tetapi, packaging dan marketing-nya membuat bisnis donasi para filantropis pengemplang pajak ini terlihat ‘humanitarian’ dan bahkan ‘progresif.’ Tertarik mengembangkan pembangkit listrik hidroelektrik dan ekowisata? Howard Buffett, anak Warren Buffett, punya jawabannya. Panik menghadapi kiamat kecil berupa perubahan iklim? Bill dan Melinda Gates punya solusinya. Terenyuh melihat nasib para hewan di industri ternak? Tenang saja, SBF pun demikian. Slogannya, setiap dollar, rupiah, atau bitcoin anda akan membantu pengembangan obat malaria, vaksin baru, dan inisiatif kemanusiaan lainnya.

 Saya curiga, jangan-jangan paham Altruisme Efektif juga diam-diam diimani oleh umat Islam Indonesia, terutama para kelas menengah dan elitnya. Ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf, meskipun ditunaikan secara massif, direduksi menjadi persoalan preferensi donasi individu seorang Muslim untuk kegiatan dan penerima favoritnya, seperti santunan untuk anak yatim piatu, kesejahteraan kaum fakir miskin, atau wakaf tanah untuk aktivitas pendidikan.

 Apa yang bermasalah dengan Altruisme Efektif? Bukankah berdema adalah satu hal yang baik? Tentu saja membantu sesama yang menderita lebih baik dari berdiam diri. Tetapi, perlu kita ingat bahwa berderma tanpa membongkar struktur penindasan, tanpa memberikan alternatif, semacam memberikan salep dan obat penenang kepada pasien yang sakit keras.

 Matthew Snow, seorang pembelajar filsafat, mencatat sejumlah masalah dengan ide Altruisme Efektif. Kritik Snow berfokus kepada tiga aspek, yaitu asumsi interaksi/relasi sosial antara manusia dalam analogi yang dipakai Singer, absennya analisis mengenai kondisi struktural dan peranan kapital dalam perspektif Altruisme Efektif, dan preskripsi kebijakannya.

 Secara singkat, kritik Snow adalah sebagai berikut. Pertama, analogi Singer seakan-akan mengasumsikan bahwa interaksi/relasi sosial antara seorang manusia dengan manusia lainnya yang menderita adalah sebangun atau dapat direduksi menjadi hubungan antara calon donatur dengan penerima bantuan potensial. Kita tahu bahwa model ini, yang secara tidak langsung mengamini logika transaksional (pasar) dalam relasi sosial, tidak merepresentasikan kompleksitas masyarakat (dan relasi sosial produksi yang membentuknya) dengan baik.

 Kedua, abstraksi dan visi tentang masyarakat a la Altruisme Efektif tentu saja abai dengan konteks kapitalisme. Logika akumulasi kapital dan pengejaran keuntungan merampas hak mereka yang terpinggirkan dan berbagai sumber daya untuk memberikan hidup yang layak bagi para “penerima bantuan potensial” tanpa perlu bergantung dengan filantropi.

 Ketiga, preskripsi yang dianjurkan oleh Altruisme Efektif dapat diperas menjadi tiga pilihan, yaitu: 1) menjadi juragan kapitalis atau profesional berpenghasilan tinggi demi menyelamatkan dunia, 2) bekerja untuk lembaga filantropi kapitalis, atau 3) bekerja di sektor riset, advokasi, atau kebijakan pro-kapital.

Kita juga dapat menambahkan sejumlah keberatan bagi Altruisme Efektif, seperti struktur industri filantropi global yang tidak demokratis, bagaimana filantropi kapitalis berkontribusi kepada agenda privatisasi dan pemangkasan hak dan anggaran sosial, atau bagaimana asumsi utilitarian dalam pemikiran Singer dapat menjadi pembuka jalan bagi komodifikasi hak-hak warga yang marginal. Amatan di tingkat makro maupun di lapangan juga mengkonfirmasi masalah-masalah tersebut.

Sejumlah persoalan ini perlu menjadi catatan bagi pengkaji dan pegiat filantropi Islam di Indonesia. Untuk itu, kita perlu melihat dan mengevaluasi kondisi sektor tersebut.


Praktik dan Potensi Filantropi Islam di Indonesia

Sebagaimana telah saya singgung di atas, ada yang bermasalah dari penerimaan asumsi-asumsi Altruisme Efektif dalam praktik filantropi Islam. Salah satu konsekuensi yang problematis dari penerimaan tersebut adalah individualisasi ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). Proses individualisasi tersebut, dalam hemat saya, secara gradual menghilangkan dimensi kolektif/berjamaah, spirit solidaritas, dan tujuan penyucian harta dari ibadah ziswaf.

Saya teringat kisah sahabat Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, yang memerangi para pembangkang yang memilih membelot dari Islam dan menolak membayar zakat, sebuah kampanye militer yang kelak dikenang sebagai Perang Riddah. Dalam masa pemerintahannya sebagai Khalifah, Abu Bakar RA tidak hanya memerangi para murtadin dan nabi-nabi palsu, tetapi juga terhadap upaya untuk merampas hak-hak fakir miskin dan segenap kaum mustadh’afin lainnya. Tidaklah berlebihan saya pikir untuk menyebutkan bahwa ada aspirasi redistribusionis dan cita-cita emansipatoris dalam zakat dan berbagai jenis sedekah lainnya.

Individualisasi ziswaf dengan kata lain adalah suatu proyek yang ganjil, satu kebetulan yang lahir dalam konteks masyarakat Muslim yang terlempar dan hidup dalam kapitalisme. Padahal, potensi ziswaf sangatlah besar. Data terakhir dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) misalnya mencatat bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun. Data yang sama juga mencatat bahwa zakat yang terkumpul pada 2021 misalnya baru mencapai Rp 17 triliun. Artinya, jumlah pemasukan dan pengumpulan zakat sebenarnya bisa lebih digenjot.

Tetapi, tantangan filantropi Islam bukan hanya soal jumlah target donasi zakat semata. Skema pengelolaan dan pemanfaatan dana ziswaf misalnya adalah satu hal yang harus dipikirkan bersama secara lebih serius. Sejumlah kajian telah menunjukkan sejumlah implementasi kreatif dari filantropi Islam, seperti menargetkan pekerja migran Indonesia sebagai penerima zakat dan membangun klinik kesehatan bagi kaum fakir miskin dengan dana zakat. Di sisi lain, filantropi Islam di Indonesia juga rawan diapropriasi oleh kelompok elit seperti partai-partai politik arus utama atau para pemakan rente/kaum penghisap nilai lebih lainnya.

Yang juga tidak kalah problematis adalah basis kelas yang menjadi promotor dan penggerak utama dari praktik filantropi Islam di Indonesia, yaitu kelas menengah/borjuis kecil Muslim. Kecenderungan visi, misi, dan praktik filantropi Islam dari kelas ini adalah, seperti jenis aktivisme mereka yang lain, berwatak reformis. Para pegiat filantropi Islam ini, yang mengamini jalan evolusioner/gradual menuju keadilan sosial, ingin membentuk dunia seturut dengan citra diri dan pandangan hidup mereka sebagai kelas menengah reformis. Mereka lupa bahwa cita-cita seperti ini bisa berujung kepada keyakinan dan implementasi pada ide-ide yang terlihat inovatif tetapi sebenarnya karitatif. Tidak hanya itu, struktur pengelolaan filantropi dan bahkan dana publik yang dibayangkan oleh kelas ini bisa jadi jauh dari demokratis. Semua ide ini menemukan gaungnya dalam berbagai gagasan reformis-liberal hari ini seperti Altruisme Efektif. Lagi-lagi, kita hanya diberikan obat pilek untuk mengatasi bengek yang parah dan berkepanjangan akibat kapitalisme.


Sedikit Tawaran menuju Filantropi Islam Progresif

Bagaimana menghadapi kebuntuan dan involusi dari gagasan dan praktik kontemporer filantropi Islam dan global? Apa saja tawaran dan bahan refleksi yang perlu kita pelajari, rujuk, dan terapkan? Saya pikir ada sejumlah petunjuk untuk keluar dari kebuntuan teoretik dan politik ini.

Pertama-tama, filantropi Islam mau tidak mau harus ditempatkan dalam upaya membangun demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat pekerja. Ini berarti mengedepankan orientasi redistribusi dan dekomodifikasi dalam berbagai layaran penyaluran ziswaf, alih-alih sekedar menjadi perpanjangan tangan korporasi dan kaum mustakbirin dalam menggembosi dan memangkas berbagai jaminan sosial dan hak rakyat.

Kedua, orientasi politik dari proyek filantropi Islam haruslah ditempatkan dalam kerangka transformasi sosial menuju masyarakat pasca-kapitalis. Meminjam bahasa mendiang sosiolog Erik Olin Wright, filantropi Islam harus menjadi bagian dari strategi transformasi interstitial, yaitu pembangunan institusi-institusi alternatif di masyarakat berdasarkan prinsip demokratis dan berorientasi pro-pekerja sebagai tandingan dari institusi-institusi konvensional seperti bank, layanan finansial, dan layanan pendidikan seperti sekolah. Harapannya, efek akumulasi dari berbagai ikhtiar transformasi interstitial dapat memberikan daya gedor yang signifikan untuk menghajar institusi-institusi konvensional tersebut.

Ketiga, yang tidak kalah penting, filantropi Islam haruslah berangkat dari kolaborasi yang egalitarian antara mereka yang berhak dengan mereka yang memberikan sebagian hartanya. Bergerak dari orientasi yang karitatif dan penuh dengan nuansa ‘belas kasihan’ kaum elit dan kelas menengah Muslim terhadap penderitaan manusia menjadi sebuah ikhtiar yang dipandu oleh inisiatif dari kaum mustadh’afin atau rakyat pekerja itu sendiri.

Pendeknya, filantropi Islam haruslah diinspirasi dan dipersenjatai oleh upaya pembangunan ekonomi solidaritas. Sejumlah peneliti dan ekonom heterodoks, seperti Tom Malleson, Richard D. Wolff, dan Bruno Jossa telah merumuskan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk mendorong demokratisasi ekonomi dan kesejahteraan untuk semua, mulai dari kontrol atas sektor finansial dan investasi, koperasi pekerja, hingga transformasi firma kapitalis menjadi unit usaha buruh. Upaya transformasi dari bawah ini juga perlu didukung oleh upaya transformasi ekonomi dari atas, seperti industrialisasi bertahap dan kontekstual yang didorong negara. Dengan begitu, kita bisa menemukan dan menerapkan model filantropi Islam yang lebih maju.

Keempat, di tengah terkuaknya kasus penggelapan dana di satu lembaga ziswaf, para pegiat filantropi Islam juga harus berani melakukan otokritik terhadap praktik kelembagaan dan pengelolaan dana serta organisasi yang ada. Berkaca dari kasus tersebut, saya pikir para pegiat filantropi Islam harus memastikan terlaksananya mekanisme organisasional kolektif yang dapat mencegah penyelewangan dana publik. Pembatasan dana operasional dan fasilitas bagi para amil zakat alias pengelola dana filantropi Islam (mungkin kita bisa mengambil inspirasi dari upaya mengontrol politik uang dari negeri ini) yang disesuaikan dengan norma kepantasan publik merupakan satu solusi bagi masalah di atas.

Pertanyaannya, apakah kita mau mengerjakan eksperimen tersebut? Inilah pertanyaan yang harus dijawab bagi mereka yang ingin membangun kedaulatan umat secara rasional, saintifik, sistematis, sabar, istiqamah, dan amanah.***


Iqra Anugrah adalah ko-editor IndoProgress dan pegiat di Laziswaf Daulat Umat (daulatumat.or.id). Esai ini dirumuskan berdasarkan pemaparan yang disampaikan dalam diskusi “Mengulik Gerakan Filantropi Islam (Ziswaf) di Indonesia: Sejarah dan Respon Kritis Atasnya” yang diselenggarakan oleh Daulat Umat pada 16 April 2022.

Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

30 Juli 2021

PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua.

Ilusi bahwa kondisi pandemi di tahun 2021 akan menjadi lebih baik terbongkar sudah. Ketika jumlah kasus Covid-19 di negara-negara Utara menurun secara signifikan, jumlah penderita dan korban Covid-19 di negara-negara Selatan justru melonjak tajam. Di balik momen-momen ‘kehidupan normal’ di kawasan dan negara kapitalis maju, ada tragedi kemanusiaan di India dan kawasan pinggiran lainnya. Tak terkecuali Indonesia. Sampai tulisan ini dibuat, sudah tak terhitung kabar darurat dan duka yang saya dengar dari keluarga, kerabat, dan kawan-kawan saya. Bisa dikatakan, semua orang di Indonesia –termasuk keluarga saya– sudah terkena imbas pandemi Covid-19.

Kekalutan massal ini, hikmahnya, memaksa kita untuk berpikir kembali secara keras dan reflektif mengenai kapitalisme dan pandemi Covid-19. Sembari bertahan hidup bak seorang eksil, bromocorah, atau gerilyawan, berpikir keras bukanlah kemewahan, melainkan keharusan di sela-sela upaya, baik secara individual maupun kolektif, untuk mencari obat dan penanganan medis bagi orang-orang sekitar yang terkena Covid, untuk menggalang dana solidaritas dan ketersediaan pangan.

Bagi saya, arah dunia ke depan akan semakin tak menentu dan bergejolak. Sejak dulu saya skeptis dengan triumfalisme liberal bahwa dunia akan semakin bergerak ke arah yang lebih baik. Bahkan pengasong ide-ide liberal kelas kakap seperti Steven Pinker dan Yuval Noah Harari terpaksa menyajikan analisis yang lebih membumi, bahwa ‘kemajuan dunia’ yang mereka impikan tidak selalu mulus, bahwa masa depan dunia selanjutnya penuh dengan kontingensi dan ketidakpastian. Apa yang terjadi di depan  kita semua semasa pandemi adalah pertanda pergolakan yang semakin dekat. Sebagai seorang materialis, saya tidak sepenuhnya pesimis. Tetapi, bagi saya, tidaklah terlalu spekulatif untuk mengklaim bahwa kita perlu bersiap-siap untuk menghadapi letusan politik, ekonomi, sosial, dan ekologis yang akan muncul pasca-pandemi.

Pasca pandemi, ada tiga tantangan besar yang menanti, yaitu: 1) pemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat, 2) posisi sains di tengah masyarakat, dan 3) kenaikan politik Bonapartis untuk mendukung stabilitas tatanan kapitalis.

Di titik ini, ada baiknya kita menengok kembali sejumlah argumen, perdebatan, dan diskusi yang sudah ada. Tentu saya tidak berbicara mengenai akrobatik intelektual yang buang-buang pulsa dan waktu. Apa yang dilakukan oleh para pekerja ojek online jauh lebih riil, dalam, dan bermanfaat ketimbang ‘perdebatan’ tersebut. Perdebatan yang saya maksud adalah perdebatan di kalangan gerakan sosial dan implikasinya bagi perjuangan rakyat ke depannya.


Menengok Kembali Perdebatan tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

Ada dua argumen yang ingin saya tanggapi. Pertama, analisis Martin Suryajaya atas tatanan ekonomi dan politik dunia pasca krisis yang diakselerasi oleh pandemi. Kedua, elaborasi komprehensif mengenai asal-usul dan dampak ekonomi-politik dari pandemi Covid-19 sertakaitannya dengan krisis kapitalisme secara lebih luas yang disusun oleh kawan-kawan Intrans Institute di Malang. Ada sejumlah hal yang saya sepakati dan tidak sepakati dari analisis-analisis tersebut dan perlu kita klarifikasi ulang demi langkah kita ke depan.

Argumen Martin menurut saya baru separuh benar. Betul bahwa kali ini pandemi membawa disrupsi bagi tatanan kapitalisme global dan mau tidak mau memaksa elit negara dan kapitalis di manapun untuk mengadopsi sejumlah respon dan kebijakan beraroma ‘sosialis’ – de facto nasionalisasi atas sejumlah sektor ekonomi, subsidi skala besar, hingga resonansi gagasan ekonomi progresif seperti Universal Basic Income/Jaminan Pendapatan Semesta (UBI/Jamesta). Ada ‘tekanan struktural’ bagi para pemegang kekuasaan dan pengontrol kapital untuk menerapkan kebijakan tersebut – dengan menolong orang banyak, mereka juga menolong diri mereka sendiri. Namun, diagnosis ini baru sebagian benar. Hal yang absen dari analisis Martin adalah bagaimana kelas kapitalis besertaragam elit yang mendukungnya juga memiliki strategi untuk menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa menyelamatkan rakyat dan malah membebankan ongkos dari pandemi kepada rakyat pekerja. Kita juga dihadapkan oleh kemunafikan negara-negara kapitalis maju, yang menguasai sarana dan proses produksi vaksin Covid-19 serta suplainya, yang membuat pandemi semakin berkepanjangan.

Hal lain yang juga absen dan tidak kalah penting untuk dibahas ialah upaya aktif untuk menanggulangi dampak pandemi dan kapasitas politik untuk melakukan terobosan-terobosan politik pasca pandemi dari massa, rakyat pekerja. Apa saja inisiatif dan inovasi yang dilakukan oleh berbagai elemen dari rakyat pekerja, baik secara spontan dan organik maupun organisasional dan terkoordinir dalam mengatasi dampak pandemi, serta apa saja capaian dan batasan dari aktivitas-aktivitas tersebut? Seperti apa kekuatan politik riil dari massa sekarang dan apa langkah politik yang perlu dirumuskan setelah pandemi ini berakhir dengan kondisi massa yang terengah-engah bertahan hidup? Dengan kata lain, kita perlu membaca masalah dan merumuskan strategi-taktik yang lebih materialis.

Senada dengan kritik saya di atas, saya juga mempertanyakan prognosis dan proposal gegabah Martin mengenai tatanan politik dunia pasca pandemi. Gagasan datakrasinya terdengar lebih seperti kawin silang atau crossover mimpi-mimpi basahnya kaum libertarian pasar, fans determinisme teknologi, Budiman Sudjatmiko sang politisi boomer banyak gaya, dan golongan birokrat – baik Kanan, Kiri, maupun Tengah – yang mendambakan politik semudah menekan tombol piranti elektronik. Voila, Sim Salabim Abrakadabra! dan semuanya beres. Kritik Martin atas politik hak ada benarnya, tapi Martin mengabaikan fakta sejarah bahwa politik hak, merupakan salah satu konstituen utama dari politik manusia, setidaknya di Barat, dalam 2500 tahun terakhir. Diskursus dan konsepsi mengenai hak itu sendiri memang bisa diproblematisir dan bahkan dilampaui, tetapi mengeliminasinya sama sekali dari percakapan kita tentang politik menurut saya tidak produktif dan abai dengan peranan dan warisan dari politik hak itu sendiri. Kemudian, dikotomi simplistik antara ‘demokrasi’ dan ‘non-demokrasi’ bisa jadi mengecoh dan bahkan menipu. Faktanya, negara-negara yang mengimplan demokrasi elektoral menerapkan kebijakan lockdown dan sejumlah pembatasan mobilitas warga – sebuah hal yang tidak mengagetkan, mengingat demokrasi elektoral punya sejarah panjang membatasi hak di masa krisis, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat di masa kampanye anti-perbudakan ketika Abraham Lincoln menangguhkan habeas corpus (hak untuk diperiksa hakim dan tidak dipenjara sebelum disidang secara resmi) dan negara-negara Eropa yang membatasi aktivitas partai-partai politik yang dianggap ‘esktrimis’ di antara dua Perang Dunia. Di sisi lain, ada ruang-ruang inisiatif warga negara dan bahkan institusi-institusi demokratis dan partisipatoris di negara-negara ‘komunis otoriter.’ Pertanyaan yang lebih pas menurut saya adalah: apa argumen demokratis bagi pembatasan hak di masa pandemi dan seperti apa keputusan tersebut diambil dan diimplementasikan?

Lebih lanjut, pemaparannya dan pembelaannya atas datakrasi – setidaknya dalam versi yang ia pahami – membuang elemen-elemen politis dari operasi teknologi itu sendiri. Buat saya, sulit untuk memercayai hipotesis seperti ini. Bahkan kalau umat manusia sudah bisa tinggal di luar bumi dan terjadi interaksi antar-spesies (atau antar entitas manusia dan robotik) lintas galaksi; masyarakat dan relasi kelas kemungkinan besar tetap akan muncul. Selama ada interaksi sosial-produksi, sekalipun itu melibatkan genderuwo, plankton, mahluk Mars, atau droid Star Wars, maka relasi dan kesenjangan kelas kemungkinan besar akan selalu ada. Dengan kata lain, ini pada hakikatnya adalah persoalan ekonomi-politik dan masalah politik membutuhkan solusi politik. Apa yang seharusnya diperjuangkan bukanlah datakrasi per se, apalagi mengabsolutkannya. Apabila kita menjadikan pengetahuan dan sejarah Kiri sebagai basisnya, maka yang harusnya diperjuangkan adalah sosialisme sibernetik yang demokratis, terpimpin, dan dimotori rakyat pekerja, alih-alih datakrasi.

Analisis yang cenderung lebih analitis, materialis, dan membumi, menurut saya, dipaparkan oleh kawan-kawan Intrans. Di sini saya tidak akan banyak mengulang butir-butir pembahasan dari buku tersebut, melainkan hanya akan fokus ke beberapa bagian. Pertama, buku tersebut dengan cukup ekstensif membahas bagaimana kapitalisme turut berkontribusi kepada kerusakan alam, perpecahan metabolis antara manusia dan alam demi profit dalam tatanan kapitalis, dan pada akhirnya berkontribusi kepada merebaknya wabah penyakit termasuk Covid-19. Menurut saya, ini kontribusi penting yang perlu dibaca secara lebih luas oleh kalangan gerakan sosial di Indonesia sebagai referensi ilmiah maupun bahan diskusi untuk perumusan langkah-langkah konkret kedepannya, terutama di arena advokasi isu-isu kesehatan dasar publik, kesetaraan ekonomi, dan krisis sosio-ekologis.

Tetapi, ada satu hal yang luput dan perlu dibahas lebih lanjut, yaitu kritik internal dan simpatik terhadap eksperimen sosialis dan progresif di ranah kesehatan dan lingkungan hidup dalam berbagai bentuknya, antara lain solidaritas medis Kuba, politik ekososialisme partai-partai Kiri di Amerika Latin, dan politik Hijau di sejumlah negara Barat. Tentu saja keberhasilan dari proyek politik tersebut perlu diapresiasi, dipelajari, dan bahkan diemulasi dan diadaptasi di Indonesia. Akan tetapi, yang juga tidak kalah penting adalah melakukan kritik atas pencapaian tersebut. Kita bisa mengkritik imperialisme vaksin Barat dan mengapresiasi peranan Tiongkok dalam penyediaan vaksin bagi banyak negara berkembang dan di saat bersamaan mengkritik kualitas vaksin Sinovac dan intransparansi politik di belakangnya. Tanpa kritik internal, maka kita akan kesulitan dan bahkan gagal merumuskan solusi sosialis yang jitu terhadap persoalan kesehatan publik dan dalam masyarakat kapitalis.


Tiga Tantangan Besar pasca Pandemi

Kembali ke kondisi kita sekarang. Di Indonesia, kita menyaksikan inkompentensi pemerintah dan keabaian dari para elit – yang tidak pernah benar-benar peduli dengan rakyat pekerja – dalam menghadapi badai pandemi Covid-19. Apa yang membuat pilu dan membangkitkan amarah dari semua ini adalah fakta keras bahwa katastrofi ini bisa dihindari. Dengan penanganan yang lebih baik dan bahkan dari kacamata yang sangat utilitarian dan kapitalistik sekalipun, jumlah penderita Covid-19 dan korban kematian bisa ditekan secara lebih signifikan.

Namun, yang kita saksikan justru sebaliknya. Kebijakan yang buruk, pengabaian terhadap sains, dan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang elitis dan jangka pendek justru mendominasi penanganan pandemic Covid-19 di Indonesia. Hasilnya adalah ongkos nyawa dan kesehatan publik warga negara, terutama lapisan-lapisan paling marginal dari rakyat pekerja, yang menjadi bayarannya. Rezim Jokowi, ironisnya, melakukan kesalahan yang dilakukan oleh Rezim Modi beberapa waktu yang lalu. Rakyat pekerja, pada akhirnya, hanya bisa saling menolong satu sama lain dan menolong dirinya sendiri.

Sebelum kembali mengerjakan amanat-amanat yang lebih mendesak, baik dalam hal menjaga kesehatan bersama maupun tugas-tugas di gerakan sosial, izinkan saya memaparkan seperti apa kira-kira tiga tantangan yang akan kita hadapi di masa pasca pandemi ini ke depannya.

Pertama adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat. Kapitalisme memang senantiasa mengakibatkan krisis, tetapi pandemi Covid-19 kali ini semakin memperparah krisis tersebut. Pandemi semakin memperparah ketimpangan dan di saat yang bersamaan menyatukan banyak orang, terutama kelas-kelas pekerja dan lapisan yang rentan dari apa yang disebut sebagai ‘kelas menengah.’ Bahkan menurut Bank Dunia, status Indonesia turun dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah bawah. Dengan kata lain, proses-proses pemiskinan dan perampasan justru berjalan semakin intensif di kala pandemi (lihat bagaimana kapitalis raksasa seperti kapitalis vaksin alias Big Pharma dan Amazon meraup keuntungan besar selama pandemi).

Ini adalah bom waktu yang suatu saat akan meledak. Dengan kondisi publik secara umum yang babak belur dihajar pandemi, ketidakpuasan kepada kerja pemerintah, dan kondisi politik yang semakin illiberal alias represif secara perlahan, maka bagi saya tidak mengejutkan apabila terjadi letusan-letusan protes dan aksi massa di beberapa tahun ke depan. Tahun lalu, kita menyaksikan gelombang aksi massa yang besar bahkan di tengah-tengah kondisi pandemi. Ketika jumlah angka kasus dan kematian menurun dan kondisi kehidupan pelan-pelan kembali membaik, bukan tidak mungkin bahwa publik akan mengekspresikan ‘amarah demokratis’ mereka dengan jalur-jalur kontestasional.

Kedua adalah posisi sains di tengah masyarakat. Pandemi membuka fakta bahwa sikap anti-sains begitu mengemuka di kalangan elite politik, ekonomi, dan keagamaan. Tenang saja, ini bukan perkara yang khas Indonesia. Di Amerika Serikat, politisi Republikan Kanan-ekstrim seperti Marjorie Taylor Greene terus menerus mengampanyekan propaganda anti-vaksin. Tentu kita sering mendengar bagaimana misinformasi mengenai persoalan pandemi dan pengabaian terhadap sains dan ilmu pengetahuan juga marak menyebar di masyarakat. Tugas gerakan progresif ke depan adalah membangun perangai ilmiah atau scientific temper secara kontekstual dan masif di tengah-tengah massa. Politik emansipatoris haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan program sosialis haruslah mendorong demokratisasi akses kepada sains. Mungkin kita bisa sedikit menengok dan belajar dari Kerala tentang peranan gerakan Kiri dalam mendemokratisasikan sains dan mendorong kesehatan publik.

Tantangan ketiga dan yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah menguatnya tendensi politik Bonapartis dalam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia, para pengamat dan pengkaji politik melabeli ini sebagai illiberal turn (belokan illiberal) atau kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi ini bukan hanya persoalan kecenderungan illiberal dalam artian behavioral dan kultural, melainkan suatu fenomena struktural yang akan muncul dan menguat dalam konjungtur-konjungtur politik tertentu demi restorasi dan stabilitasi tatanan kapitalis.

Indonesia saat ini mengingatkan saya kepada Republik Weimar di Jerman (1918-1933). Capaian-capaian reformasi, sebagaimana nasib politik reformis di Republik Weimar, ternyata tidak sekokoh yang kita kira. Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia sama dengan Republik Weimar – jelas berbeda. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara konteks sejarah dunia dan kapitalisme global yang dihadapi dua entitas politik tersebut. Tetapi, Indonesia bisa belajar dari nasib Republik Weimar: dampak dari krisis kapitalisme yang akseleratif dapat berujung kepada keruntuhan tatanan liberal demokratik, krisis politik yang penuh letupan, dan kebangkitan politik otoriter.


Melihat tren politik Indonesia yang semakin mengkhawatirkan belakangan ini, serta kecenderungan lapisan oligarki, kelas kapitalis secara keseluruhan, dan elit negara pendukungnya untuk mengamankan ‘stabilitas’ bahkan dengan mengorbankan demokrasi dan nasib rakyat pekerja, maka kita perlu waspada dan bersiap dengan perkembangan ke depan.

Inilah tantangan-tantangan yang akan kita hadapi dalam beberapa tahun ke depan. Cepat atau lambat, suka tidak suka, siap tidak siap, kita akan menghadapinya. Sekali lagi, gerakan sosial dan rakyat pekerja di Indonesia kembali dihadapkan dalam sebuah situasi maha sulit dan dipaksa untuk mencari jalan keluar dari krisis yang pelik ini.***


Iqra Anugrah, co-editor IndoPROGRESS

Pandemi Bisa Sebabkan Krisis Pangan, Peneliti: Cegah Alih Fungsi Lahan Jadi Solusi

https://lipsus.kompas.com/pameranotomotifnasional2024/read/2020/04/29/075515326/pandemi-bisa-sebabkan-krisis-pangan-peneliti-cegah-alih-fungsi-lahan-jadi?page=all#page2

29 April 2020

KOMPAS.com – Peneliti agraria di Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto Jepang Iqra Anugrah mengatakan, dari perspektif agraria dampak dari pandemi Covid-19 cukup mengkhawatirkan dan patut diwaspadai. “Krisis pangan akan terjadi, dan yang akan terdampak adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan,” katanya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (29/4/2020).

Masalah ini pun sesuai dengan peringatan Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang menyebut dampak pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan resesi ekonomi, tapi juga berpotensi pada krisis pangan global.

Untuk itu, Iqra menilai, langkah mitigasi guna mencegah krisis kebutuhan pangan ini mutlak dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah dengan mencegah alih fungsi lahan.

“Mencegah alih fungsi lahan sangat penting, tapi tidak cukup itu. Selain itu, yang harus didorong adalah pembangunan sektor agraria yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, alih-alih sekadar pasar,” katanya.

Lalu, langkah berikutnya adalah mendorong adanya agenda redistribusi lahan dan penyelesaian konflik-konflik agraria.

“Terakhir, pemerintah juga perlu mengakomodasi pola kepemilikan lahan yang bersifat komunal agar dikelola oleh organisasi dan komunitas rakyat di pedesaan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, Iqra juga menyarankan agar pemerintah segera mengawasi dan menghentikan praktik spekulasi lahan yang dilakukan oleh bisnis skala besar yang cenderung terjadi di tengah masa krisis.

“Hal ini semata agar tidak ada alih fungsi lahan besar-besaran saat krisis terjadi,” ujar pria yang juga peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ini.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu pula menggandeng komunitas rakyat dalam menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi ini.

Gotong royong antar elemen ini penting guna memastikan tidak ada yang kekurangan pangan di masyarakat.

“Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan berbagai inisiatif yang dilakukan komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi rakyat yang telah melakukan upaya untuk menyediakan stok pangan, baik bagi warga desa maupun konsumen di perkotaan,” tandasnya.

Mentan akan tindak pelaku konversi lahan

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menegaskan, pihaknya akan menjaga eksistensi lahan pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan 267 juta masyarakat secara mandiri.

“Kalau alih fungsi lahan dibiarkan, besok anak-anak kita mau makan apa? Boleh ada perumahan, boleh ada hotel, tapi tidak boleh merusak lahan pertanian yang ada,” ujar menteri yang akrab disapa SYL ini.

Untuk itu, dia pun mengingatkan, kini sudah ada peraturan daerah (perda) perlindungan lahan abadi pertanian yang sudah ditandatangani untuk tidak dialihfungsikan oleh kepala daerah.

Bagi pihak yang melakukan alih fungsi lahan sesuai dengan UU Nomor 51 tahun 2009 akan dikenakan sanksi penjara 5 tahun.

Hal ini juga didukung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang telah memberikan surat edaran kepada seluruh gubernur, bupati dan wali kota seluruh Indonesia untuk turut dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan dan Penetapan Kawasan/Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

“Jangan sampai ada konspirasi tanda tangan pejabat, DPR atau segala macam untuk konversi lahan pertanian, penjaranya 5 tahun. Ada undang-undangnya itu,” jelasnya.

Perlu diketahui, pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).

Kementan dalam hal ini telah secara aktif melakukan upaya pencegahan alih fungsi lahan secara masif melalui pemberian insentif bagi pemilik lahan.

Insentif tersebut berupa pemberian berbagai bantuan sarana produksi tani (Saprodi) seperti alat mesin pertanian, pupuk, dan benih bersubsidi.

“Upaya pencegahan alih fungsi lahan, salah satunya dengan single data lahan pertanian. Data pertanian itu harus satu, sehingga data yang dipegang Presiden, Gubernur, Bupati, Camat sampai kepala desa semuanya sama, termasuk masalah lahan pertanian dan produksi,” tuturnya.

Mudahnya perizinan

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy menambahkan, makin berkurangnya lahan pertanian salah satunya disebabkan mudahnya izin alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

Hal itu dikarenakan, lahan pertanian pangan, terutama sawah, merupakan lahan dengan land rent yang rendah.

“Diharapkan dinas terkait khususnya pertanian mengetahui dan diikutsertakan juga dalam pembentukan Tim Teknis,” terang Sarwo.

Dia juga menjelaskan, dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kab/Kota (RTRWK) sangat penting dan perlunya peran serta Badan Pelayanan Perizinan Terpadu.

Penyebab lainnya, lanjut Sarwo, adalah permasalahan lambatnya penyusunan perda tentang RTRW Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Dia menerangkan, Perda RTRW Kabupaten/Kota yang sudah dibahas di tingkat pusat dalam hal ini Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) Pusat masih dibahas kembali dengan DPRD Kabupaten/Kota termasuk pembahasan (LP2B).

“Diharapkan Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten/Kota agar aktif mengikuti perkembangan penyusunan RTRW di masing-masing wilayahnya,” tukasnya.

It’s a Wrap!

Finally, after spending two years in Indonesia for dissertation research I have an announcement: my fieldwork has come to an end!

What was expected to be a year-long research ended up as two-years stay in the country – in fact, my longest stay after high school. Over the course of my fieldwork, I – rather unsurprisingly I’d say – ended up doing or getting involved in things outside of my research activities too. Essentially, it is a re-engagement with the Indonesian social movement landscape. I have to emphasize that this is not a bad thing. In fact, it helps a lot with my research.

Now, my days in Indonesia are numbered. I got my visa already and booked my flight back to my home institution, NIU. On August 21 I’ll be heading back to the US. Time indeed flies.

I will still go back for sure, but for now, let me say thank you very much for the many people, informants and good samaritans, comrades and colleagues, friends and families, who’ve helped me along the way. I can never repay your kindness – but let it be known that your contribution will always be remembered and acknowledged.

So au revoir! On to the writing phase!

For the Late Ajarn Danny

Ajarn DannyThis was literally my last picture with the late Professor Danny Unger. Taken last year when I attended a conference in Bangkok, it was also my last time to meet him in person. Great minds oftentimes gone too soon.
A specialist on Comparative Politics and Southeast Asian Studies particularly Thailand, his vast knowledge on politics and stuff never failed to fascinate me (though I figured he had more collections of novels and other literary works than books on politics at his house). This is the guy whom I referred to as, just like the way I introduced him to my students, “the guy who knows (almost) everything.” Like, seriously he can talk about stuff – Chinese rural politics in revolutionary transition, early modern state formation processes in Western Europe, debates in philosophy of science, you name it. I had the privilege to work with him as a teaching assistant, a graduate student, and a junior colleague. I also enjoyed every class that I took with him.I will remember many things about him – his intelligence, warmth, and supportive attitude toward young scholars in training. His hilarious expressions and clumsiness (once he asked me to google search and put some pictures for his class presentations, oh and don’t even start asking me about those unfoldered files flooding his desktop). Oh, mustn’t forget his peculiar hobby of woodworking.

My colleagues and I will certainly cherish our memories of him. He set the example for many of us in the field.

Goodbye, Ajarn Danny Unger. May you rest in peace. You will be greatly missed.

*For another beautiful obituary by T.F. Rhoden, see this link.

Para Pejuang Kendeng

Oleh: Iqra Anugrah

NYARIS tiga tahun sudah para petani Kendeng melakukan perlawanan menghadapi PT Semen Indonesia. Terhitung sejak Juni 2014, para petani melakukan protes dengan berbagai cara, termasuk dengan mendirikan tenda – yang kemudian beserta mushalla warga juga diluluhlantakkan – di depan pabrik semen. Jikalau dihitung dari tahun 2006, ketika lawan masih bernama PT Semen Gresik, maka hampir satu dekade sudah gelombang perlawanan para petani Kendeng berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, saya mencoba terlibat dalam aksi perlawanan ini, terutama akhir-akhir ini ketika para sedulur melancarkan aksi cor kaki di depan Istana Negara.

Tujuan perlawanan ini jelas: ini masalah penghidupan, juga lingkungan, dan yang terpenting, hak. Rasanya, tidak sulit untuk memahami ini. Dalam kenyataannya, pesan ini begitu kabur dan terdistorsi. Para sedulur Kendeng mungkin sudah kenyang mendapatkan segala macam cap: warga-warga lugu yang gampang ditipu dan dihasut, massa bayaran, provokator, hingga yang paling lucu menurut saya, anti-NKRI. Sialnya lagi, liputan berita ini juga hanya sayup-sayup terdengar, tertutupi oleh berita-berita konflik elit – termasuk soal pilkada Jakarta sialan itu.

Tapi para sedulur tidak menyerah.

Tidak sekali saya dengar celetukan bernada resah yang muncul di kalangan aktivis: Bagaimana mungkin berita tentang upaya perlawanan ini dipelintir sedemikian rupa? Kok bisa? Lantas, saya menjawab: mengapa heran?

Tidak perlu heran apabila perlawanan para sedulur di Kendeng dan juga perlawanan-perlawanan kaum tani di berbagai tempat lainnya di Indonesia sering mendapatkan cap-cap peyoratif. Karena, dalam sejarahnya, para penguasa dan kelas-kelas yang menindas selalu berkepentingan untuk mendiskreditkan gerakan rakyat. Gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri jajahan dicap sebagai ‘para provokator’, gerakan hak-hak sipil di Barat dilabeli ‘terlalu radikal’, gerakan buruh dianggap sebagai ‘tukang bikin onar yang bikin macet jalan’, gerakan perempuan dituding ‘melanggar norma-norma kesusilaan’, gerakan kaum miskin kota dicurigai ‘rawan ditunggangi.’ Dan seterusnya dan seterusnya.

Sudah dari sononya, bahwa, dalam masyarakat kelas, tudingan-tudingan picik terhadap gerakan rakyat seperti ini akan selalu muncul.

Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila dalam beberapa minggu terakhir muncul komentar-komentar bernada nyinyir dan melecehkan maupun sikap diam seribu bahasa yang tidak kalah memuakkannya. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Azam Azman Natawijaya adalah triumvirat penguasa dari lapis kekuasaan yang berbeda – kepala eksekutif nasional, kepala daerah, dan unsur pimpinan parlemen – yang sikap politiknya melegitimasi berdirinya pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng. Atau, dalam bahasa yang lebih gamblang, jikalau anda anti political correctness yang berlebihan, melegitimasi perampasan tanah besar-besaran, penghancuran penghidupan masyarakat agraris, dan krisis ekologis akut di daerah tersebut serta memberi bahan bagi proyek-proyek pembangunan skala besar yang menghisap hasil kerja dan penghidupan rakyat di banyak tempat di nusantara.

Ganjar, si Marhaen gadungan itu, mengeluarkan izin baru pembangunan pabrik PT Semen Indonesia yang berarti melanggar putusan Mahkamah Agung yang sudah membatalkan izin tersebut. Kata Jokowi, “urusan daerah bukan urusan saya.” Apa yang mau diharapkan dari seorang presiden developmentalis pro-investasi berjubah baru? Komentar si bedebah Azam? Tidak perlu ditanggapi, karena isi kepalanya mungkin tidak lebih berharga dari adukan semen yang sudah terlalu lama ditinggal. Toh, dengan komentar sopan maupun kurang ajar, diinjak penguasa bajingan mau bagaimanapun tidak enak rasanya.

Kita daftar dan sebut lagi contoh-contoh lain yang tidak kalah menjengkelkannya. Sebut saja dua nama ‘tokoh kebudayaan’ apkiran: Timur Sinar Suprabana dan Denny Siregar. Si Pak Tua Timur dengan pongahnya membuat komentar nyinyir atas aksi cor kaki para sedulur. Seakan berlomba dengan Timur, Denny Siregar – yang tidak mau datang ke diskusi dan debat terbuka karena baper duluan (yaelah katanya Deadpool, belum diserang kok sudah kalah walkout?) – menuding bahwa aksi para sedulur Kendeng, yang telah berlangsung berhari-hari itu hingga sekarang, adalah aksi yang dikompori oleh aktivis dengan tujuan-tujuan tertentu yang menyengsarakan rakyat. Mereka, entah sadar maupun tidak, dengan orderan maupun tidak, sesungguhnya telah melakukan kekerasaan kebudayaan untuk mendiskreditkan gerakan-gerakan rakyat. Mereka, dengan puisi-puisi dan esai-esai mereka yang lebih hancur kualitasnya dengan kertas pembungkus gorengan atau tisu toilet, telah melayani kepentingan rezim.

Dengan kata lain, para penguasa dan budayawan gadungan ini adalah musuh-musuh rakyat baru!

Bagaimana dengan para ‘aktivis’ di lingkaran kekuasaan istana. Oh kawan, janganlah kau mimpi di siang bolong. Mungkin perlu kau baca lagi debat-debat teoretik dan rujukan-rujukan sejarah soal gerakan rakyat, bukan hanya laporan riset empirisis maupun laporan donor hasil dari agitprop – agitasi proposal maksudnya. Mengharapkan mereka yang sudah masuk di dalam lingkaran kekuasan untuk mendorong perubahan tapi lupa akan potensi emansipatoris dari gerakan rakyat adalah tendensi borjuis kecil! Terakhir kali saya cek, sejumlah ‘intelektual-aktivis’ yang tergabung dalam Kantor Staf Presiden, seperti Teten Masduki dan Noer Fauzi Rachman hanya menjadi resepsionis dan jubir bagi presiden. Paling-paling komentar soal KLHS. Di mana suara mereka soal reforma agraria? Mudah-mudahan, sebagai seorang pegiat yang masih hijau dalam dunia gerakan rakyat, saya berdoa supaya mereka terhindar dari virus karirisme. Jikalau tidak, mungkin KSP sebaiknya ganti nama saja menjadi ini: Komprador Suruhan Pemodal!

Tentu saja, bagi para musuh rakyat – atau mereka yang mungkin pelan-pelang berpaling dari gerakan rakyat – tidaklah penting apabila klaim-klaim mereka sesungguhnya adalah klaim-klaim kontrarian yang berisi logika otak atik gathuk. Tidaklah penting juga apabila tuduhan-tuduhan mereka bersifat ahistoris dan tidak ilmiah. Toh, di zaman kapitalisme digital yang serba instan nan medioker ini, yang terpenting adalah bagaimana suatu klaim dapat secara cepat dan mudah dipakai untuk melayani kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik tertentu – yang pada ujungnya adalah reproduksi dan penguatan hierarkhi dari masyarakat kelas itu sendiri. Hoax maupun onggokan informasi-informasi sampah lainnya memiliki fungsi yang sama dengan desas-desus seputar Peristiwa G30S atau Kebakaran Reichstag: digunakan untuk melayani kepentingan yang berkuasa dan mendiskreditkan gerakan rakyat.

Tetapi, justru persis di masa seperti inilah, adalah penting untuk kembali melihat sejarah perjuangan rakyat. Kaum tani di nusantara punya sejarah perlawanan panjang melawan ragam-ragam bentuk penindasan, mulai dari tarif pajak yang terlalu tinggi hingga gangguan atas corak hidup subsisten mereka oleh apa yang disebut sebagai relasi sosial kapitalis. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Abad ke-20, sebagaimana dicatat oleh Eric Wolf, menyaksikan perlawanan skala besar kaum tani menghadapi neokolonialisme dan imperialisme yang semangatnya sering sekali berkelit-kelindan dengan semangat perjuangan pembebasan nasional, mulai dari Russia, Meksiko, Tiongkok, Aljazair, Kuba, hingga Vietnam. Bahkan, ketika perlawanan kaum tani tidak mengambil corak yang terbuka atau manifes, perlawanan tersebut tetap berlanjut dalam ranah yang lebih keseharian, melalui gosip, memberikan hasil ternak dan tani berkualitas rendah di kala penarikan pajak sebagai bentuk protes, sarkasme, dan lain sebagainya.

Juga, kaum tani, sebagaimana bagian dari kelas yang tertindas, memiliki imajinasi atas dan kemampuan untuk membayangkan tatanan yang lebih baik – dunia di mana kesejahteraan dan kemajuan dapat dimiliki dan dinikmati secara bersama. Sebagai contoh, satu episode sejarah yang orang sering lupa dari masa-masa awal pergolakan Restorasi Meiji adalah partisipasi petani dalam episode ‘Zaman Bergerak’ tersebut. Dalam The Culture of the Meiji Period, Daikichi Irokawa mencatat bagaimana para petani dan pemuda desa di banyak tempat bereksperimen dalam bidang ketatanegaraan dengan merancang draft-draft konstitusi menyambut zaman yang baru. Contoh lain: dalam amatan saya dalam kerja-kerja lapangan yang saya lakukan untuk penelitian, saya menyaksikan bagaimana para bapak dan ibu tani mengasah insting ekonomi mereka, merumuskan aksi-aksi politik kolektif dan membayangkan tatanan ekonomi yang lebih baik, serta memiliki kemampuan humor dan sarkasme yang luar biasa jenakanya: dalam satu kesempatan, saya pernah ngobrol dengan sejumlah kawan petani di Sulawesi yang menyindir sejumlah pejabat dan politisi yang ngotot dengan usulan konservasi anti-manusia. Kata mereka, “ya silahkan saja bapak usir kami dari tempat tinggal kami, tapi nanti kalau ada penyuluhan atau pemilu biar yang datang paling rusa dan babi hutan, kan mereka yang bapak lindungi, bukan kami.” Sebuah lelucon satir yang hanya dapat muncul dari mereka yang tetap konsisten melawan sembari mencintai hidup.

Ini semua mungkin dianggap tidak penting oleh para musuh rakyat itu. Atau, lebih tepatnya, mereka jangan-jangan tidak memiliki kemampuan untuk memahami hal-hal seperti itu. Jangankan terlibat dalam gerakan rakyat, membaca literatur soal kehidupaan petani pedesaan (atau mencoba memahami strategi subsistensi para petani yang berbasis pada hubungan kekerabatan sosial pedesaan, yang menjelaskan mengapa para petani Kendeng tidak mau menjadi buruh pabrik semen dan dapat meninggalkan keluarga mereka di kampung halaman), atau melakukan riset-riset kecil soal keagrariaan saja mungkin mereka tidak mampu dan tidak mau. Mungkin karena mereka kebanyakan makan rente pemodal atau menulis dengan ejaan untuk bahan lawakan receh se!per!ti! i!ni! Toh, mereka dengan senang hati merayakan bias-bias kelas, urban, dan gender yang mereka idap – sebuah simptom dari penyakit waham borjuis yang sudah begitu mendarah daging di dalam diri mereka. Mereka, yang imajinasinya kerdil dan miskin itu, sesungguhnya hanya merapal dan memamah biak sangkaan-sangkaan dan mantra-mantra Orde Baru – oh, warga (kategori subyek politis yang dinetralkan dan didepolitisasi) butuh pembangunan (ya, pembangunan kapitalis yang mengekstraksi surplus dari pedesaan untuk kepentingan orang-orang kota dan elit-elit desa) dan mereka yang melawan kalau bukan provokator (orang desa/petani bodoh dan gampang kena hasutan) berarti pasukan bayaran (lupa bahwa solidaritas kolektif dapat muncul dari pengalaman bersama dalam ketertindasan, lagipula, soal bayaran, hello, ngaca dulu dong). Sialnya, retorika-retorika sampah ini kemudian dilepeh lagi dan dikunyah beramai-ramai oleh lapisan-lapisan borjuis unyil karbitan yang makin hari kian kelihatan bagai jamur yang tumbuh setelah hujan.

Saya tidak heran: toh klaim gerakan rakyat memang selalu membuat penguasa bergetar. Karenanya, berjuta fitnah dilancarkan untuk melemahkan klaim tersebut. Tetapi para sedulur tidak menyerah.

Aksi cor semen bukanlah suatu kesia-siaan. Besar kemungkinan, proyek investasi besar-besaran rezim Jokowi tetap berjalan, pembangunan pabrik semen hanya berhenti untuk sementara, dan isu-isu agraria kembali akan menjadi ‘angin lalu’ yang tertutupi oleh isu-isu elit yang lain – perang oligark dalam pilkadal Jakarta misalnya (buzzer Anies maupun Ahok, I’m looking at you). Tetapi, ia telah berhasil mengundang gelombang perlawanan yang lebih besar. Pertama-tama dan terutama, para sedulur telah memberikan teladan yang luar biasa: keberanian dan konsistensi dalam melawan. Aksi cor kaki bukanlah aksi siksa diri yang egoistis, sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak. Jauh dari itu, aksi cor kaki adalah aksi perlawanan yang politis, militan, dan penuh integritas. Aksi tersebut hanya dapat muncul dari mereka yang mencintai hidup dan penghidupannya dan setia akan cita-cita kemajuan bersama – alih-alih bagi segelintir elit – yang dapat dinikmati oleh semua. Aksi cor kaki para sedulur juga mengingatkan kita kembali akan satu hal yang penting: perlunya untuk tetap setia di garis massa. Kita bisa memproblematisir dan mengkritik strategi dan taktik dari aksi tersebut (tentu saja, secara konstruktif alih-alih nyinyir), tetapi, setidak-tidaknya, aksi ini telah berhasil menjadi momentum untuk mengumpulkan energi perlawanan, memperluas titik perlawanan, dan menjadi bahan untuk merumuskan lokus perlawanan baru melawan rezim developmentalis pro-investasinya Jokowi.

Tugas untuk kita ke depan adalah untuk mempertajam dan semakin memprogresifkan perlawanan ini. Untuk itu, izinkanlah saya menyebutkan beberapa usulan yang dapat didiskusikan dan diperdebatkan lebih lanjut. Pertama, orientasi ke depan dari gelombang perlawanan anti-semen, yang mulai menjamur dari Jawa hingga Sulawesi, perlu diperluas, diperdalam, dan dimajukan, bukan hanya mencakup persoalan Pegunungan Kendeng dan berorientasi defensif-moderat untuk menolak pembangunan pabrik semen, tapi dimajukan menjadi suatu formasi aliansi nasional yang menolak pembangunan infrastruktur ala rezim investasi Jokowi dengan orientasi dan tendensi politik anti-neoliberalisme.

Kedua, skala dan cakupan waktu dari aksi-aksi perlawanan ini perlu diperluas dan diperpanjang secara strategis, mengingat keterbatasan waktu dan logistik yang kita punya. Agenda-agenda mobilisasi ke depan dalam momen-momen tertentu, termasuk agenda internasionalisasi isu pabrik semen di Pegunungan Kendeng dan isu-isu agraria lain di Indonesia menjadi penting.

Ketiga, identifikasi kasus-kasus agraria lain yang tidak kalah penting dan mendesak menjadi penting, di Tulang Bawang (Lampung) dan Sukamulya (Jawa Barat) misalnya, serta kasus-kasus kriminalisasi petani dan aktivis agraria di banyak tempat. Kasus pabrik semen di Pegunungan Kendeng yang sekarang sedang mendapatkan spotlight perlu dijadikan bahan untuk menaikan leverage atau posisi tawar gerakan sosial dalam mengadvokasi isu-isu agraria lain tersebut.

Keempat, upaya kerja-kerja ilmiah (atau dalam bahasa yang lebih ortodoks, saintifik dan teoretik) dan kerja-kerja framing advokasi (atau, lagi-lagi dalam bahasa yang lebih ortodoks, agitasi dan propaganda) juga menjadi penting dalam aksi-aksi perlawanan seperti ini. Studi-studi agraria dan kajian-kajian teoretik soal strategi gerakan sosial menjadi semakin perlu untuk dikaji untuk menjadi bahan advokasi dan pendidikan publik serta pembuatan strategi politik. Setidaknya, ada dua poin penting yang dapat kita tarik dari aksi perlawanan para sedulur yaitu 1) bahwa perjuangan para sedulur dan kelas tertindas lainnya adalah perjuangan atas hak yang berarti memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat lain yang juga tertindas – kita dan 2) perjuangan gerakan sosial perlu meninggalkan strategi bergantung dan berharap kepada elit – termasuk para aktivis yang sudah masuk ke dalam lingkaran rezim – dan perlu kembali serius memperbincangkan strategi politik yang lebih independen dan progresif, termasuk strategi untuk merebut kekuasaan dan melampaui logika kedaulatan negara.

Terakhir, pelajaran berharga lain yang tidak kalah pentingnya dari strategi perlawanan para sedulur Kendeng adalah keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam gerakan sosial. Ini dibutuhkan bukan hanya untuk meradikalisasi arah dan tujuan dari gerakan sosial itu sendiri tapi juga untuk mendorong terwujudnya emansipasi seluas-luasnya dengan berlatih di ranah yang paling dekat.

Perlawanan tentu saja masih panjang. Hari-hari penuh protes belum akan berakhir, dan semangat perlawanan masih terasa pekat di udara. Namun, setidaknya kita tahu, bahwa klaim-klaim para elit dan makelar kariris pendukungnya semakin lama semakin terblejeti, gelombang perlawanan semakin meluas, dan tentu saja, pengorbanan Yu Patmi dan para kawan-kawan tani lainnya tidak akan sia-sia.***

Saya berterima kasih kepada sejumlah rekan terutama kawan-kawan Forum Islam Progresif (FIP) atas diskusi dan kerja bersama yang cukup intens dalam persoalan Kendeng yang hasilnya menjadi bahan untuk penulisan artikel ini.

Penulis adalah editor IndoPROGRESS dan pembelajar isu-isu agraria

10 Tahun Melawan Lupa, Memperjuangkan Keadilan

Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati

We realize that to demand the fulfillment of human rights is a revolutionary act,
that to question the government about bringing our children back alive was a revolutionary act.

We are fighting for liberation, to live in freedom, and that is a revolutionary act…To transform a system is always revolutionary.”
Mothers of the Plaza de Mayo

10 TAHUN sudah Aksi Kamisan berlangsung di depan Istana Negara. Kamis lalu, 19 Januari 2017, menandai satu dekade diselenggarakannya aksi penuntutan keadilan bagi korban penghilangan paksa dan pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang diselenggarakan setiap Kamis petang di depan Istana Negara. Aksi yang pada mulanya diinisiasi oleh paguyuban korban dan keluarga korban dan terinspirasi dari gerakan Mothers of the Plaza de Mayo di Argentina ini kemudian meluas, diikuti oleh elemen-elemen masyarakat sipil dan gerakan sosial lainnya. Dalam perkembangannya, Aksi Kamisan pun diadakan di sejumlah kota lain di luar Jakarta, seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang.

Kami beserta sejumlah rekan lain berkesempatan untuk menghadiri Aksi Kamisan yang ke-10 tahun pada Kamis lalu. Sejumlah elemen-elemen gerakan dari berbagai komunitas dan lintas generasi turut meramaikan Aksi ke-477, yang kembali menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dan penegakkan hukum oleh pemerintah. Dengan melibatkan sejumlah seniman dan musisi, peringatan 10 tahun Aksi Kamisan menjadi terasa semakin dapat merangkul lebih banyak orang.

Fakta bahwa Aksi Kamisan telah mencapai satu dekade merupakan pencapaian sekaligus momen refleksi bagi segenap korban, penyintas, keluarganya, dan juga elemen-elemen gerakan sosial lainnya. Kita perlu menghormati dan mengapresiasi setinggi-tingginya konsistensi dari para korban, keluarga korban, dan pejuang HAM lainnya dalam memperjuangkan agenda-agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan budaya politik anti-impunitas. Namun, kita juga perlu memikirkan sejauh apa pencapaian dan batas dari Aksi Kamisan selama ini dan langkah-langkah apa yang musti dipikirkan dan ditempuh oleh para pegiat Aksi dan isu-isu HAM lainnya.

Sejauh ini isu-isu yang diangkat di dalam Aksi Kamisan cenderung belum beranjak lebih jauh dari tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan pemenuhan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Ini menunjukkan bahwa perjuangan HAM, sebagaimana perjuangan isu-isu kerakyatan lainnya, sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik dan juga fragmentasi di dalam gerakan sosial. Dalam konteks transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi elektoral, sebagaimana dialami oleh Indonesia dan banyak negara lainnya, kesuksesan transisi dan fase awal demokrasi yang muncul setelahnya sedikit banyak bergantung pada pakta di antara para elit, yang juga membahas sejauh mana proses peradilan dapat dijatuhkan dan dijalankan kepada para pelanggar HAM – terutama aktor-aktor militer – di masa otoritarianisme. Inilah dilema yang dihadapi oleh banyak gerakan sosial di berbagai negara yang melakukan demokratisasi: di satu sisi ada keadilan kepada korban yang belum terpenuhi, namun di sisi lain kelancaran dan stabilitas fase awal demokrasi juga bergantung kepada komitmen para elit – termasuk mereka yang dulunya merupakan bagian dari ancien régime – terhadap proses-proses demokrasi setidaknya pada tataran yang formal, yang berimplikasi pada penundaan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh elit-elit lama tersebut.

Namun ini bukan berarti bahwa kemungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggarahan HAM menjadi nihil. Persis di titik inilah pembacaan atas konfigurasi politik yang ada menjadi penting. Pengalaman dari sejumlah negara lain seperti Korea Selatan dan Argentina menunjukkan bahwa pakta elit, termasuk yang menyangkut persoalan HAM, dapat berubah apabila ada tekanan dari gerakan rakyat yang kuat, yang dapat mentransformasikan dirinya ke dalam sebuah gerakan yang tuntutannya lebih dari sekadar penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah.

Ini memang dicapai melalui perjuangan yang panjang. Di Argentina, gerakan Mothers of the Plaza de Mayo, setidaknya telah melakukan 2000 aksi – kami ulangi, 2000 aksi – semenjak tahun 1977 hingga pertengahan Agustus tahun kemarin selama hampir 40 tahun! Gerakan para ibu dan anggota keluarga korban lainnya ini juga mengalami pasang surut yang begitu berdinamika. Dalam perkembangannya, tuntutan gerakan Mothers of the Plaza de Mayo mengalami radikalisasi, yang berujung kepada perpecahan di antara elemen-elemen gerakan tersebut. Kemudian, selama bertahun-tahun, pemerintah Argentina seakan acuh tak acuh terhadap tuntutan popular ini, hingga proses transisi menuju demokrasi elektoral kurang lebih selesai pada tahun 1983 dan Pengadilan atas Petinggi Junta (Trial of the Juntas) berlangsung pada 1985. Pencapaian ini, yang telah berhasil menyeret sejumlah perwira tinggi militer yang berkuasa di masa kediktatoran junta dan bertanggung jawab atas penghilangan paksa ribuan aktivis anti-rejim, pun bukannya berjalan secara mulus. Dua undang-undang, Full Stop Law dan Law of Due Obedience yang masing-masing disahkan pada tahun 1986 dan 1987, menginstruksikan untuk menghentikan proses penyidikan dan peradilan kasus-kasus pelanggaran HAM, hingga kemudian dua undang-undang tersebut dicabut oleh Parlemen Argentina dengan dukungan dari Presiden Néstor Kirchner, seorang Peronis berhaluan Kiri, dan penerapannya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung Argentina di tahun 2005. Ini menunjukkan bagaimana konfigurasi politik berpengaruh kepada sikap pemerintah terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.

Perjuangan yang panjang ini juga tidak bisa hanya dilakukan oleh para korban dan penyintas pelanggaran HAM dan para keluarganya maupun para aktivisnya semata. Pengalaman Pergerakan Demokratisasi Gwangju atau yang dikenal juga sebagai Pemberontakan Demokratik 18 Mei di Korea Selatan, menunjukkan bahwa dampak dari gerakan-gerakan pro-demokrasi – dalam hal ini gerakan anti-otoritarian yang dimotori oleh para mahasiswa – akan meluas jika dan hanya jika elemen-elemen dari gerakan sosial lain termasuk juga publik yang lebih luas juga bersolidaritas dan terlibat dengan sadar dengan gerakan tersebut. Tentu saja ada konteks politik tertentu yang menjadi pendorong dari aksi solidaritas tersebut, yaitu represivitas rejim otoritarian pada masa itu yang mencapai puncaknya dan harus mengandalkan kekerasan terbuka untuk meredam gelombang perlawanan pada waktu itu. Namun, ini bukan berarti bahwa kita tidak bisa mengambil kesempatan di tengah iklim politik yang relatif terbuka khas tatanan demokrasi elektoral.

Pelajaran-pelajaran ini menunjukkan bahwa kesuksesan pemenuhan agenda-agenda HAM sedikit banyak bergantung kepada sejauh mana gerakan HAM dapat 1) memperluas gerakannya dan membangun aliansi multisektoral dengan gerakan-gerakan sosial lain dan 2) semakin mempopulerkan agenda-agenda HAM ke tengah-tengah masyarakat yang selama ini cenderung belum tersentuh diskursus tersebut. Dengan demikian, gerakan HAM – termasuk di dalamnya Aksi Kamisan – dapat memiliki daya tawar yang lebih kuat dan efek yang lebih luas di dalam kancah politik yang ada.

Dalam pandangan kami, isu-isu pelanggaran HAM sesungguhnya memiliki potensi untuk terus diperluas dan dipopulerkan. Ambil contoh, misalnya Kasus Tanjung Priok dan Talangsari – dua kasus HAM yang berkaitan dengan sentimen oposisi kelompok-kelompok Islam kepada represivitas rezim di masa Orde Baru. Pengalaman dua kasus ini menunjukkan bahwa narasi HAM bukan hanya dapat dipakai untuk memperjuangkan isu-isu gerakan dan kepentingan komunitas yang lebih luas tetapi juga bahwa narasi tersebut dapat diterima oleh elemen-elemen masyarakat yang lebih luas. Di dalam terang kondisi politik yang sekarang, di tengah-tengah masih berlangsungnya represivitas negara dalam konteks ekpansi kapital, maraknya penggusuran, meningkatnya konflik-konflik agraria, menguatnya sentimen sektarian, dan, yang juga tidak kalah penting, perbedaan memori kolektif penindasan Orde Baru antar generasi, kebutuhan untuk memperluas dan mengintegrasikan perspektif dan narasi HAM dengan isu-isu lain justru menjadi semakin penting.

Dalam amatan kami, elemen-elemen yang rutin terlibat dalam setiap Aksi Kamisan masihlah berasal dari simpul-simpul dan unsur-unsur gerakan yang relatif sama. Tentu saja setelah 10 tahun proses regenerasi terjadi – elemen-elemen gerakan sosial dari generasi yang lebih muda juga turut menghadiri, berpartisipasi, dan memperluas Aksi-aksi Kamisan baik di Jakarta dan kota-kota lain. Namun, kebanyakan elemen tersebut sedikit banyak masih berasal dari kalangan pegiat gerakan itu sendiri. Kami mendambakan dan membayangkan suatu saat akan ada partisipasi publik yang jauh lebih luas dalam aksi-aksi seperti ini, sebentuk mobilisasi massa yang jauh lebih massif, yang menjadi bagian dari alat perjuangan agenda-agenda kerakyatan yang lebih luas. Ini bukanlah hal yang mustahil, namun tentu saja tidak mudah.

Rupanya, setelah 10 tahun, perjuangan kita masih panjang.***

Penulis adalah editor IndoProgress

10 Tahun Melawan Lupa, Memperjuangkan Keadilan

Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif

Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif

Oleh Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati

Islam politik sektarian menjadi wajah dominan dari Islam politik dewasa ini.

Aksi demonstrasi besar-besaran pada 4 November kemarin yang dilakukan oleh sejumlah elemen gerakan Islam sepertinya semakin mengonfirmasi penilaian tersebut. Gabungan dari berbagai ekspresi politik, mulai dari sentimen etno-religius yang puritan hingga rasis-sektarian, kekecewaan politik, politik patronase elit, hingga ekspresi kelas, bercampur baur menjadi satu dan sulit terbedakan satu sama lain.

Menghadapi kenyataan tersebut, adalah mudah untuk terjebak dalam pandangan-pandangan yang dualistis, yang meneguhkan oposisi-oposisi biner antara pihak establishment Jakarta dengan para pendemo. Narasi-narasi liberal dan developmentalis akan segera meringkus peristiwa 4 November kemarin sebagai pertarungan antara pematangan proses-proses demokratik dalam saluran politik yang ada dengan kekuatan-kekuatan politik yang sektarian. Di sisi lain, narasi-narasi Islamis dan populis, dengan segala gradasi dan variannya secara sempit melihat peristiwa itu sebagai pertarungan antara “ummat Islam” dengan “penguasa yang dzalim” atau, lebih parahnya lagi, “Cina Kafir.”

Bagaimanakah seharusnya Islam Progresif dan saudara-saudara seperjuangannya – kaum Kiri dan elemen-elemen progresif-demokratik yang lebih luas – membaca dan merespon aksi massa kemarin? Satu tawaran penafsiran dan preskripsi politik sudah dikemukakan oleh kawan Azhar dan Azka dalam editorial Islam Bergerak kemarin. Meskipun bersepakat dalam banyak hal dengan mereka, kami merasa perlu mengoreksi sejumlah pembacaan, mempertegas sejumlah posisi, dan menambahkan sejumlah argumen untuk kembali merumuskan posisi Islam Progresif vis-à-vis fenomena kemarin.

Untuk memulai, kita perlu melihat konteks struktural-historis dari kemunculan aksi tersebut dan profil sosiologis dari para demonstran. Uraian Ian Wilson dengan terang menjelaskan bahwa kebijakan penggusuran administrasi Gubernur Ahok semakin mengganas – yang mengorbankan sekitar 16,000 rumah tangga kaum miskin kota dan kelas pekerja menurut data LBH Jakarta – semakin memperkuat sentimen anti-penggusuran dan anti-Ahok terutama di antara lapisan-lapisan kelas sosial yang paling termarginalkan dalam model pembangunan Ahok. Kekecewaan dan kemarahan atas hilangnya tempat tinggal dan sumber penghidupan, kurangnya basis pengetahuan emansipatoris dan wadah politik alternatif, serta kuatnya organisasi-organisasi Islamis dengan tendensi fundamentalis dan vigilantis seperti FPI membuat ekspresi keagamaan menjadi satu ekspresi politik yang dominan dari “sentimen kelas” tersebut.

Profil sosiologis dari para demonstran kemarin juga beragam, meskipun artikulasi politik yang paling mengemuka adalah Islamisme dalam variannya yang sektarian. Tentu ada elemen-elemen dari kelompok-kelompok vigilantis seperti FPI, tetapi ada juga elemen-elemen dari gerakan Islam yang lain, seperti Tarbiyah-PKS, HTI, Salafi, PII, HMI, dan lain sebagainya. Profil demonstran sendiri dapat dikatakan bersifat lintas kelas, mempertautkan elemen-elemen kaum miskin kota, kelas menengah, pemuka agama sektarian, dan elit-elit (serta para bohir, broker, dan operator lapangannya) yang memiliki kepentingan politik dari mobilisasi massa kemarin.

Selanjutnya, kita perlu melihat pertautan antara dinamika politik elit dengan mobilisasi massa di lapangan. Ini merupakan tugas yang tidak mudah dan membutuhkan kepekaan politik yang tinggi. Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan adalah siapa saja elit-elit yang mempunyai kepentingan dan mendapatkan keuntungan dari aksi demonstrasi kemarin? Di titik ini, kita perlu melihat irisan antara aspirasi dan ekspresi politik “dari bawah” dengan kalkulasi politik “dari atas.” Misalnya, kita perlu mempertanyakan, apa hubungan antara aksi demonstrasi kemarin dan dampaknya dengan manuver-manuver sejumlah elit dan broker politik seperti Habib Rizieq, SBY, pendukung dan penentang Ahok (dan juga Jokowi), Fadli Zon,  Fahri Hamzah, Buni Yani, dan lain sebagainya. Kita juga perlu melihat dinamika tersebut dalam konteks politik lokal Jakarta dan nasional yang lebih luas. Kesadaran akan hal ini akan membantu kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang strategis dan krusial, seperti mengapa terjadi kericuhan di Penjaringan pasca aksi demonstrasi kemarin? Mengapa terjadi penggerebekan dan penangkapan terhadap sejumlah fungsionaris HMI? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita perhatikan dan jawab secara seksama terutama ketika menghadapi publik yang biasanya apatis dengan politik dan cenderung tidak familiar dengan dinamika berbagai jenis aksi demonstrasi dan mobilisasi massa di lapangan – dan karenanya cenderung ahistoris, naif,  dan konservatif dalam berpolitik.

Pertanyaan terakhir namun tidak kalah penting adalah sejauh mana kekuatan-kekuatan politik yang saling bertikai ini mempengaruhi penggerusan ruang demokrasi yang ada. Di satu sisi, sinisme dan pembatasan terhadap aksi demonstrasi memberi justifikasi terhadap tatanan ekonomi-politik yang ada untuk terus menerus melakukan “penertiban”, apalagi pasca terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Terlepas dari segala macam permasalahannya, aksi demonstrasi 4 November dalam derajat tertentu dapat dilihat sebagai satu ekspresi politik yang legitim – sama legitimnya dengan aksi massa buruh atau kelompok-kelompok minoritas etnis, agama, dan seksual. Kita juga harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam suatu bentuk esensialisme, memasukkan kelompok-kelompok Muslim konservatif dengan Islamis sektarian dalam satu wadah identitas yang sama. Di sisi lain, narasi-narasi rasis-sektarian dan agenda anti-penistaan agama yang dibawa oleh para demonstran juga tidak kalah problematiknya. Apabila tidak dilawan dan didelegitimasi, dalih sektarian dan anti-penistaan adalah “dalih karet” yang rawan dipakai untuk semakin meringkus dan menggerus ruang demokrasi yang ada, yang dicapai via perjuangan yang panjang dan tidak mudah.

Dengan kata lain, kita harus melihat demonstrasi kemarin dalam perspektif ekonomi-politik yang lebih kaffah untuk memahami sejauh mana batas potensi emansipatoris – atau reaksioner – dari mobilisasi massa yang kemarin terjadi, apalagi ketika kita sejauh ini hanya bisa memahami dinamika di lapangan secara parsial. Untuk itu, kita perlu menahan diri untuk membuat klaim empiris yang definitif mengenai aksi 4 November yang lalu. Dibutuhkan riset lapangan, kajian mendalam, serta, tentu saja, kemauan untuk bergumul dalam dinamika kehidupan rakyat sehari-hari untuk mengetahui artikulasi politik “Islam” apa yang paling mengemuka.

Tetapi sejauh ini, kenyataannya Islam politik di Indonesia pasca reformasi masih didominasi oleh sektarianisme yang menihilkan perspektif kelas dalam gerak dan wacananya. Artikulasi Islam politik di Indonesia dewasa ini masih belum banyak menyentuh persoalan yang menyangkut kehidupan dan penderitaan ummat sehari-hari. Sebagai ilustrasi, Islam politik belum banyak tampil di depan dalam berbagai permasalahan ummat seperti perampasan tanah, penggusuran, penolakan terhadap reklamasi pantai, perjuangan upah layak, dan sebagainya. Dalam ranah keseharian, banyaknya kelompok-kelompok pengajian dan majelis taklim dari ruang-ruang kantor hingga pemukiman nyatanya cenderung belum berkontribusi untuk membangun keterorganisiran ummat secara ideologis. Formasi isu dari berbagai kelompok dan organisasi Islam masih cenderung dipimpin oleh minat di seputarhabluminallah dan belum banyak mengakar dalam hal hamblumminannas. Padahal, problem tersebut merupakan problem aktual yang hadir membelenggu ummat, yang mayoritas, yang dipinggirkan dan dimiskinkan.

Alih-alih menjadi pembela ummat yang tersingkir (mustadhafin) sebagaimana spirit Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, Islam politik masih lebih banyak mengangkat isu-isu identitas dan sentimen sektarian. Ini menjadi problem serius bagi Islam politik di Indonesia yang indikatornya dapat dilhat pada menguatnya berbagai organisasi Islamis pasca reformasi. Artinya, konsepsi Islam sebagai agama pembebasan kaum tertindas pun belum menjadi wajah dari berbagai organisasi Islam maupun Islam politik secara keseluruhan.

Terkait dengan itu, mobilisasi massa pada aksi 4 November 2016 yang lalu pun lebih banyak menyuarakan tuntutan yang tidak berkaitan langsung dengan persoalan pembebasan ummat dari belenggu permasalahan aktual keseharian yang mencekiknya. Sebagai ilustrasi, pada aksi-aksi massa menolak reklamasi atau penggusuran misalnya, kemarahan dan keterlibatan organisasi-organisasi Islam justru tidak pernah terlihat massif. Sementara di sisi lain, ummat Islam cenderung lebih mudah tergerak untuk dimobilisasi secara massif misalnya pada isu solidaritas Palestina, Rohingya, atau Suriah. Tentu saja ini bukan hal yang buruk, akan tetapi menjadi menarik karena wajah Islam politik yang tampil justru terlihat seperti “pandang bulu” dalam kemanusiaan dan solidaritas kelas, dengan batas “Islam” sebagai identitas, untuk menggerakkan dan memobilisasi massa.

Kembali ke pertanyaan awal mengenai bagaimana seharusnya Islam Progresif menanggapi aksi demonstrasi 4 November kemarin, inilah usulan kami: berbeda dengan pembacaan Islamis dan liberal-developmentalis atas aksi kemarin, kami mengajukan pembacaan yang lebih bernuansa.

Perlu diakui bahwa narasi sektarian masih menjadi artikulasi politik yang paling dominan dari elemen-elemen gerakan Islam yang berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut. Dengan demikian, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa panji Islam politik atau populisme Islam yang dibawa oleh para demonstran kemarin betul-betul “progresif” atau “emansipatoris”, bahwa seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang terlibat kemarin merupakan “representasi” dari kaum miskin kota dan proletariat formal dan informal, bahwa gerakan-gerakan Islam yang menjadi motor demonstrasi merupakan “vanguard.” Namun demikian, kita juga tidak bisa menafikkan aspirasi kelas yang meskipun belum hegemonik turut mewarnai demonstrasi tertsebut.

Singkat kata, kita tidak boleh terjebak dengan tendensi buntutisme – bahwa setiap tindakan massa adalah benar – maupun elitisme – yang berjarak dan menyalahkan massa. Elemen-elemen gerakan progresif-demokratik, termasuk Islam Progresif, harus selalu bersama massa, bersama ummat dan percaya kepada potensi progresivitasnya sembari memahami batas-batas struktural yang menghambat terealisasinya potensi emansipatoris tersebut serta bergerak mengatasi problem-problem tersebut.

Untuk sampai pada pembacaan yang tepat mengenai realitas sosial ummat dan potensi emansipatorisnya, kita membutuhkan pembacaan materialis yang lebih menyeluruh terhadap realitas politik yang ada, termasuk realitas politik Jakarta. Ini mensyaratkan Islam Progresif untuk menggunakan pisau analisa Marxis dalam melihat realitas sosial yang ada. Meskipun ada kesulitan untuk mempertemukan tradisi keagamaan liberatif seperti Islam Progresif dan sains emansipasi yaitu Marxisme dalam ranah ontologis, setidaknya kedua tradisi tersebut dapat bertemu dalam ranah epistemologis, metodologis, dan praxis. Ini berarti kita harus memahami konteks struktural dalam politik ruang di Jakarta dan pertautan antara dinamika kapitalisme dan konstelasi politik yang ada terutama dalam konteks pilkada.

Dalam kaitannya dengan membangun aliansi dengan elemen-elemen Islam politik dan Islamis, Islam Progresif perlu memetakan elemen-elemen progresif dari tendensi gerakan tersebut. Tidak semua Islamis adalah FPI yang fundamentalis-vigilantis atau Ennahda yang Muslim demokrat. Juga, perlu diingat bahwa seringkali ada gap atau kesenjangan antara elit-elit organisasi Islam yang rawan terjebak dalam politik elit dan anggota-anggotanya. Kompleksitas realitas politik yang musti dipahami oleh pegiat-pegiat Islam Progresif dan gerakan progresif-demokratik yang lebih luas untuk memetakan mana lawan, mana kawan, dan mana segmen rakyat yang masih mengambang.

Islam Progresif tidak melihat antagonisme sosial yang terjadi di dalam masyarakat berdasarkan sentimen etno-religius, puritan, apalagi rasis-sektarian. Antagonisme sosial hanya terjadi akibat pertentangan kepentingan antara kelas yang menindas dan kelas yang ditindas. Persis di titik ini, Islam Progresif harus merebut narasi “keadilan sosial” semu a la fantasi fundamentalis, nativis, xenophobis, chauvinis, dan rasis di satu sisi dan narasi “pluralisme” semu a la liberalisme dan developmentalisme dalam berbagai variannya – termasuk a la Islam Liberal – di sisi lain. Untuk menjalankan misi ini, membangun basis keberIslaman yang kaffah, kontekstual, dan progresif saja tidak cukup. Kita juga membutuhkan basis pengetahuan yang lebih kokoh dan kemampuan untuk membaca realitas politik secara lebih berhati-hati, akurat, dan menyeluruh – dua hal yang sayangnya masih agak luput dan kurang eksplisit dari posisi editorial yang diajukan Islam Bergerak kemarin. Singkat kata, Islam Progresif memposisikan diri sebagai Islam yang mendukung agenda-agenda pluralisme dan juga keadilan sosial berdasarkan pengetahuan mengenai emansipasi dan transformasi sosial.

Kami berterima kasih kepada sejumlah kawan atas diskusi dan masukannya dalam proses penulisan artikel ini.

*Penulis adalah editor IndoProgress dan pegiat Forum Islam Progresif.

Turning the Wheel of Fortune

Jellinek, Lea. (1991). The Wheel of Fortune: The History of a Poor Community in Jakarta. Sydney: Allen and Unwin. xxviii + 214 pp.

While it’s cliché to say that Jakarta has always been one of, if not the main reference points for urban problems, it is safe to say that in recent years Jakarta has garnered a lot of attention for its contentious issues, from the gubernatorial election all the way to the eviction of poor neighborhoods. All of this inevitably leads us to the question of lower-class agency in Jakarta: how do the urban poor navigate around the challenges of living in the city?

Lea Jellinek tries to tackle the said question in her book, The Wheel of Fortune. A classic on this topic, this work is an empirically rich account of the lives of the urban poor in Kebon Kacang, a kampung neighborhood in Central Jakarta. Drawing from her long relationship with the kampung residents, Jellinek details how the residents – construction workers, domestic helpers, ice cream makers, becak peddlers, food sellers, among others – tried to live their lives and survived the challenges to their livelihood posed by rapacious city development.

Jellinek’s account centers around Ibu Bud, a once successful cooked-food seller whose small business eventually went bankrupt, and her neighbors. She traces the early wave of rural-urban migration of the kampung dwellers, which dated back all the way from the late colonial period. It was a relatively stable period, until Japanese occupation and thereafter the early years of independence interrupted the tranquility of their lives. But it was during the New Order era that the dwellers experienced the most ups and downs in their lives. The economic growth spurred by the 1970s oil boom gave new opportunities for the lower-class to improve their livelihood – newly-arrived young village migrants gained employment as construction workers, Ibu Bud successfully expanded her food stall business, and her neighbors took up a variety of jobs, from peddling becak to sewing clothes. But it was also the force that threatened their very means of livelihood – as high rises and roads were built, transient jobs were disappearing, and eventually the dwellers had to be evicted, or, to use the New Order lexicon, “relocated.” In a nutshell, Jellinek is able to breeze through the major turning points of the lives of her local interlocutors without losing the details of their lives.

What is striking from this book is how it resonates with our contemporary urban experience especially in Jakarta’s context. The book’s main message – the resilience of the urban lower-classes in facing the intrusion of state and market forces in their lives – remains relevant for our time, especially with the rise of technocratic populism with classist bent in Indonesia’s urban centers. Embodied in the figures of so-called “reformist” local leaders such as Ahok, Ridwan Kamil, and Risma, this seemingly new trend of urban governance puts emphasis on what basically can be considered as developmentalist and high modernist buzzwords: transparency, efficiency, orderliness, cleanliness, and firmness, among others. The big, problematic question for this vision is who has to pay the price of this “progress.” Oftentimes, it is the urban poor, and not the gang of technocratic populists and their High Priests, who get sidelined in the name of “urban development.”

In light of this reading, we can see the parallels between Jakarta under the heydays of the New Order and its current situation. While it might be a bit anachronistic to compare the two eras, one could argue that there is a continuity of modernist-developmentalist vision of urban development. On a closer look, the precursor of the latest version of Jakarta’s “high modernism with steroid” is Ali Sadikin: hailed as the city’s modernizer, Sadikin was committed to the realization of both Sukarnoist and New Orderist vision of modern urban planning – at all costs (pp. 108-111). On one hand, he promoted the development of artistic and civil society initiatives, but on the other hand, he showed no hesitancy about bulldozing poor people’s houses for road construction. His rather draconian approach in ensuring the swift implementation of the Kampung Improvement Project in a way predated the current Jakarta administration’s technocratic-repressive method of evicting the urban poor in different places of the city.

The Wheel of Fortune provides a plethora of other parallels, but to discuss those examples more comprehensively we have to situate it into the larger literature and contemporary research on urban neighborhood in Indonesia. The one work that should be read in tandem with The Wheel of Fortune is Alison Murray’s (1991) No Money, No HoneyA Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta.[1] Murray’s focus is somewhat more specific: she looks at female street-sellers and prostitutes in Manggarai and Kebayoran Baru respectively from 1984-1989. Like Jellinek, Murray also provides a vivid description of the lives of the female urban poor and their strategies to survive in Jakarta. Though in many ways both works speak to and echo each other, Murray’s work decidedly focuses more on lower-class women’s agency and its limits. While her elaboration on prostitution in Kebayoran Baru is a bit scant, overall she manages to give a holistic and sympathetic account of how poor working women exert their agency despite the pressures from capitalist development and the New Order ideology of domesticity. This is a point which is slightly missing and could have been more elaborated in The Wheel of Fortune. 

There are also parallels between Jakarta and Surabaya[2], another important urban center in Java. Kampung dwellers in Surabaya also experienced the same stages of urban development: political turbulence, new land-use pattern, the rise and fall of jobs for the poor in the informal sector, and resistance, both open and subtle, of the residents against market and state penetration in their neighborhood. Interestingly, these parallels can also be found between urban centers and their not-so-distant brethren: provincial towns. Industrial and service-based towns in the provinces, such as Serang, Cilegon, Cirebon, Kupang, and Pontianak, among others, seem to encounter the same challenge of capital and state penetration in the daily lives of the town residents.[3] The key difference here is that urban centers are at the receiving end of the rural-urban migration, which is not always the case with provincial towns. Given this, one could argue that what happened in Jakarta was a part of the larger design of urban development in Indonesia.

In light of Jellinek’s work, it is also important to see changes and continuities in the kind of agency, both economic and political, that Jakarta’s urban poor exert. Other than the more “traditional” types of occupations (petty traders, drivers, construction workers, and all sorts of service providers), nowadays the urban poor can pick newer kinds of employment, from cellphone voucher sellers and online marketing to go-jek drivers and hired protesters. Bear in mind, however, that the emergence of new niches of survival strategies is not the same as the expansion of opportunities. To couch this phenomenon in the language of “choice” – a rhetoric deployed by the technocratic corps of city administrators, businesses, and start-ups – overlooks the continuing socio-economic inequality and unequal power relations between the urban poor and the more affluent social forces.

On a less depressing note, a more significant change can be seen in the political realm. At the very least one could argue that now the urban poor have more avenues to channel their grievances and spaces for a more assertive political mobilization. Various issues of their concern – eviction, property seizures, repressive action by the state apparatuses, and most recently, land reclamation – have been taken up and advocated by non-governmental organizations (NGOs) and social movements. At last, their voices can be heard. But this growing assertiveness does not necessarily translate into real policy changes since the kind of policy reforms promoted by the current Jakarta administration has been mainly catered to the needs of the middle class and big businesses. Therefore, the age-old question remains relevant for Jakarta’s context: whether urban planning in the era of political openness can pave the way for the expansion of choices for the poor and, eventually, social justice.

Ultimately, this is a question of the structural roots of urban poverty. What Jellinek does is to investigate and examine the response of the kampung dwellers to it. While her ethnographic description is first-rate, the theoretical abstraction that she made from her data is somewhat problematic. Her data, she argues, lend evidence to both culturalist and structuralist explanations of poverty (pp. 178-181). In doing this, Jellinek gives the impression that she wants to “strike a balance” between the two theories of urban poverty (p. 180). This theoretical stance however is untenable: many of the causes of rural-urban migration and continuing poverty in urban neighborhoods are part of the larger historical processes outside of the Kebon Kacang community, such as political conflicts and contradictions in capitalist development. While it is true that many livelihood strategies of the dwellers were unsustainable at best and short-term at worst, those are not inherent their inherent traits. Rather, it is a response to the predicaments in their lives caused by external forces beyond their control. In other words, the exercise of their agency, albeit real and to a degree emancipatory, is shaped and limited by structural forces. The so-called “poverty culture” is not given, but rather, made and habituated

What can we learn from the book, then? Are the descriptions and points that Jellinek raised still apt and relevant for our current conditions? While The Wheel of Fortune will remain as a classic reference point for future studies on urban neighborhood in Jakarta, some research agenda are due. First, there is a need to look again at the lives of the urban poor of Jakarta more closely, not only in Kebon Kacang, but also other communities in the city. The question that we should pose to them is how the living memory of the city has changed throughout their lives. To put it differently, we need to “update” Jellinek’s data by observing present-day kampung residents of Jakarta. Secondly, an analysis of “everyday politics” of Jakarta’s residents is more needed than ever. A more assertive exercise of political agency of the lower-class in Jakarta in recent years has shaped our perception regarding their political savviness.[4] What is important is to not conflate their open act of resistance and mobilization with the more subtle, everyday type of survival strategies. Without the latter, it would be difficult for the former to manifest. This is because more often that not the political action of the urban poor is often shaped by their prior experience and perceptions – of livelihood, space, land, residence, and social relations with their fellow community members, among others.[5] Using Jellinek’s work as a reference point, combined with a more updated study of the political views and actions of the urban poor, will give us a better and more thorough understanding about their political agency.

All in all, The Wheel of Fortune is an in-depth, lively, and sympathetic account of the lives of the urban poor in Kebon Kacang. It has been more than 20 years since it was published, but many of its findings remain relevant to understand contemporary Jakarta’s social landscape.


[1] A. J. Murray, No Money, No Honey: A Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta (Singapore: Oxford University Press, 1991).

[2] For a key reference on poor urban neighborhood in Surabaya, see R. Peters, Surabaya, 1945-2010: Neighbourhood, State and Economy in Indonesia’s City of Struggle (Singapore: NUS Press, 2013).

[3] For a key reference on provincial towns in contemporary Indonesia, see Gerry van Klinken and Ward Berenschot, eds., In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns. (Leiden and Boston: Brill, 2014).

[4] See for instance Rita Padawangi, “People’s Places: Protests and the Making of Urban Public Spaces in Jakarta” (PhD dissertation, Loyola University Chicago, 2008).

[5] One of the classical works on this subject is F. Fox Piven and Richard A. Cloward, Poor People’s Movements: Why They Succeed, How They Fail (New York: Vintage House, 1979).

 
*Iqra Anugrah is a PhD candidate in Political Science and Southeast Asian Studies at Northern Illinois University. Everyday politics is one of his many research interests.

Moral Komunis

ADAKAH suatu teori Marxis mengenai moral? Perlukah seorang Kiri berbicara mengenai moralitas? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sejumlah pokok bahasan yang menjadi bahan diskusi dan debat yang intens di berbagai lingkaran-lingkaran intelektual.

Setidaknya ada dua sangkaan mengenai posisi moralitas dan dalam korpus pemikiran Marxis dan implikasinya. Yang pertama adalah sangkaan konservatif, yang menganggap bahwa 1) tidak ada ruang mengenai pembahasan moralitas dalam korpus Marxisme atau 2) prinsip utama moral politik Kiri adalah sebentuk Machiavellianisme yang vulgar, yang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan politiknya. Implikasinya, menurut pembacaan yang juga khas bernuansa Perang Dingin ini, adalah bahwa ujung dari penerapan Marxisme dalam politik adalah rezim-rezim Stalinis dengan segala macam permasalahan dan dosanya.

Yang kedua adalah sangkaan progresif, yang berargumen bahwa karena Marxisme adalah sains, maka tidak ada tempat untuk ‘urusan moral.’ Pembacaan seperti ini beresiko membuat Marxisme menjadi sebentuk pemikiran yang sifatnya ‘mengawang-ngawang’ dan menutup kesempatan baginya untuk melakukan upaya teoretisasi atas problem moralitas – sebuah upaya yang dilakukan dengan baik oleh tradisi pemikiran dan kekuatan politik lain, termasuk oleh kubu-kubu Kanan.

Dua sangkaan tersebut disatukan oleh asumsi yang sama: tidak ada tempat bagi pembahasan mengenai persoalan moralitas dalam Marxisme. Asumsi inilah yang kemudian diproblematisir oleh sejumlah intelektual Marxis seperti E.P. Thompson dan, di kemudian hari, Perry Anderson. Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan mengajukan suatu pemaparan teoretik mengenai persoalan moralitas dalam Marxisme, melainkan sekedar memantik perbincangan dan perdebatan yang lebih luas mengenai hal tersebut.

Sebelum masuk dalam pembahasan yang lebih lanjut, ada satu pertanyaan besar yang harus kita jawab: Mengapa kaum Kiri perlu peduli dan berbicara mengenai persoalan-persoalan moral dan etika? Bukankah dengan demikian itu membuat kita tidak terbedakan dengan kaum idealis-borjuis dan Kanan dengan segala macam variasinya? Setidaknya, kita bisa memberi satu jawaban atas pertanyaan tersebut dari segi aksiologis dan praksisnya: bahwa persoalan-persoalan moral dan etika merupakan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kaum Kiri dan massa rakyat dalam kesehariannya, baik dalam kerja-kerja politik maupun dinamika kehidupan sehari-hari. Karenanya, adalah penting untuk melakukan upaya abstraksi atas prinsip-prinsip moral yang dipakai dalam laku keseharian tersebut. Ketika kelompok-kelompok Kanan semakin naik daun dan selubung-selubung ideologis yang dipakai mereka – mulai dari varian kapitalisme-neoliberal hingga fundamentalisme keagamaan – semakin diperkuat denganjustifikasi ‘moral’ yang juga ‘ilmiah.’

Dalam sejarahnya, ada sejumlah prinsip-prinsip moral yang menjadi kaidah kerja-kerja lapangan untuk riset ilmiah dan pembangunan gerakan dalam sejarah gerakan Kiri di berbagai tempat. Tidak hanya itu, ada sejumlah prinsip moral yang dapat dan perlu menjadi pedoman dalam berbagai bidang kehidupan lain. Sudisman dalam Uraian Tanggung Jawab­nya yang terkenal itu mencoba merumuskan prinsip-prinsip tersebut, antara lain: 1) Bersikap jujur, 2) bersatu, 3) berdisiplin, 4) bersetia-kawan, dan 5) berkorban. Perlu diingat bahwa pengertian moral bagi Sudisman adalah: ‘norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai dengan kedudukan kelasnya.’ Frase terakhir menjadi sangat penting: sesuai dengan kedudukan kelasnya. Artinya, moralitas Kiri – atau, dalam bahasa Sudisman, moralitas Komunis – tetaplah bertumpu pada sains Marxis. Inilah yang membedakannya dengan teori-teori moral yang lain.

Jikalau saya boleh menambahkan, dan sedikit memodifikasi, moral Komunis ala Sudisman, maka saya akan mengajukan tiga prinsip tambahan, yaitu bersikap ilmiah, demokratik, dan kontekstual. Pertama-tama seorang Kiri haruslah seseorang yang bersikap ilmiah, terbuka, dan mau belajar. Ia bukanlah sekedar seorang foot soldier yang menelan begitu saja, memamah biak materi-materi dalam kursus-kursus politik, melainkan seorang kader yang mampu mengasah daya analitisnya dan memperluas cakrawala pengetahuannya.

Seorang Kiri haruslah juga bersikap demokratik, terbuka kepada pendapat kawan-kawannya yang lain, kepada perdebatan-perdebatan baik dalam forum-forum yang resmi maupun perbincangan-perbicangan informal, dan kepada keputusan mayoritas dalam praktik-praktik keorganisasian. Perlu diingat bahwa sikap demokratik tidak sama dengan sikap anti-hierarkhis dan anti-disiplin. Sebaliknya, ada keselerasan antara sikap demokratik dengan pengaturan organisasi yang disiplin, rapih, dan tertib. Seorang Kiri tidak merayakan bentuk-bentuk perkumpulan ahierarkhi dan nir-organisasi yang tampak bebas tapi sesungguhnya kuasi-demokratik karena tidak adanya prosedur, pembagian kerja, dan proses evaluasi tanggung jawab yang jelas.

Seorang Kiri juga haruslah kontekstual; ia musti memahami bagaimana ‘metode dakwah’ dan ‘strategi komunikasi massa’ yang tepat. Bahwasanya Marxisme itu benar bagi seorang Kiri mungkin merupakan satu kesimpulan yang sudah jelas baginya, yang didapat melalui proses penelusuran ilmiah yang tidak singkat. Tetapi, bagaimana menyampaikan ‘kabar baik’ tersebut kepada massa rakyat, yang meskipun memiliki potensi ilmiah dan revolusioner, juga terkungkung oleh keterbatasan yang dihadapinya sekarang, terutama dalam hal penghidupan sehari-harinya? Di sinilah, retorika penyampaian dan laku keseharian yang kontekstual menjadi penting. Adalah penting bagi seorang Kiri untuk menyelami realitas sosial massa, membangun relasi yang dialogis antara dirinya dengan rakyat pekerja, melakukan proses pembelajaran dan pengorganisasian secara bersama-sama sembari sadar atas bias-bias kelas dan kekurangan masing-masing, untuk kemudian merumuskan dan melakukan tindakan-tindakan politik secara bersama-sama.

Tiba-tiba saya teringat Gramsci. Beberapa gagasannya yang tersebar luas dengan jitu menyasar persoalan-persoalan yang saya bahas di atas. Sebagai seorang revolusioner yang terlibat langsung dalam perjuangan politik bersama kelas pekerja di Italia, Gramsci tidak pernah mengesampingkan kerja-kerja intelektual, yang menurutnya juga tidak kalah penting dengan kerja-kerja organisasional-lapangan. Gramsci juga tidak mengelakkan pentingnya membangun kedisiplinan dan militansi sekaligus kemampuan analitis yang kuat di antara para kader gerakan rakyat, sebagaimana ditulis dalam salah satu artikelnya yang terkemuka, Workers’ democracy. Bahwa untuk mempersiapkan diri melakukan ofensif terhadap kuasa kapital dan melampaui logika kedaulatan negara, maka kelas pekerja dan gerakan-gerakan rakyat harus melatih diri untuk mendisiplinkan dirinya, mempertebal militansinya, serta membangun solidaritas dan aksi-aksi kolektif, untuk kemudian melakukan aksi historis tersebut. Kedisiplinan dan militansi Marxis beda dengan kedisiplinan borjuis yang robotik, kering, dan karenanya cenderung otoriter – seakan-akan kita hanya menjadi sekrup dalam tatanan masyarakat kapitalis. Sebaliknya, kedisiplinan revolusioner tumbuh secara organik dan bersifat sukarela, yang berasal dari kesadaran bahwa rakyat pekerja perlu menyelaraskan upaya-upaya kolektifnya sebagai prasyarat bagi penerapan demokrasi yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya di seluruh aspek kehidupan bermasyarakat.

Prinsip-prinsip inilah yang harusnya timbul dalam perilaku hidup kita sehari-hari, bukan hanya dalam kerja-kerja keorganisasian, tetapi juga dalam laku keseharian. Perlu diingat bahwa kapitalisme adalah musuh yang sangat terorganisir, massif, dan bekerja secara elusif. Kita tidak bisa melawannya hanya dengan pretensi Bohemian, ultra-demokratis, dan pseudo-modern. Yang ada, sikap ‘perlawanan’ semacam itu hanya membuat orang-orang Kiri menjadi segerombolan pseudo-radikal, tak ubahnya seperti ABG labil yang hobi kebut-kebutan motor di jalan. Seorang Kiri haruslah jujur, ilmiah, dan adil dalam pikirannya. Seorang Kiri haruslah berbuat sopan dan beradab dengan sesama manusia dan alam. Seorang Kiri haruslah menyatakan oposisi yang jelas terhadap musuh rakyat dan sebaliknya, bersahabat dan mengasihi rakyat. Dalam laku keseharian, seorang Kiri berarti musti menjadi tetangga yang baik, warga yang baik, dan organizer yang baik. Seorang Kiri tidak berpretensi bohemian – ia sadar bahwa massa rakyat menjalani hidup yang teratur dan berguna dan hal-hal yang bermanfaat dari gaya hidup semacam itu yang perlu ditiru dalam laku kesehariannya. Seorang Kiri juga tidak berpretensi teknokratis – ia sadar bahwa transformasi sosial mensyaratkan hubungan yang organik dan dialogis antara dia dan massa rakyat dan karenanya ia perlu menyelami dan menyadari seperti apa realita sosial massa sehari-harinya. Seorang Kiri haruslah menjadi pendengar yang baik dan empatik terhadap penderitaan-penderitaan yang dialami oleh rakyat pekerja setiap harinya – ia mencoba memperkecil jarak dan bias kelas dalam interaksi tersebut.

Ada sebagian hal yang bersifat preskriptif dalam pemaparan ini yang mungkin terdengar remeh-temeh, tapi ingat, persis strategi inilah yang dipakai oleh kaum Kanan dengan segala macam variannya. Kita boleh saja mencemooh para ‘operator lapangan’ kelompok-kelompok keagamaan yang konservatif dan fundamentalis di sudut-sudut perumahan serta program-program pemberdayaan neoliberal di kampung-kampung, tetapi pada kenyataan mereka dapat secara efektif melakukan strategi yang sifatnya ‘remeh-temeh’ tersebut dan akhirnya mendulang dukungan.

Ada satu fragmen kecil dalam sejarah gerakan Kiri yang terdengar sederhana tetapi memiliki implikasi yang penting. Ceritanya jauh di Afrika Selatan sana, di masa apartheid. Ceritanya, seorang Nelson Mandela – masih menjadi pengacara muda pada waktu itu – sedang meniti karir sebagai seorang pegawai di firma hukum di Johannesburg. Di suatu siang, ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nat Bregman, seorang aktivis Komunis berkulit putih yang juga rekannya di firma hukum, tiba-tiba Bregman menawarkan sebagian makan siangnya untuk Mandela, diiringi dengan ucapan yang tidak pernah dilupakan oleh Mandela:

‘Nelson, pegang rotinya, dan potonglah…Itulah filosofi Partai Komunis – kita berbagi apa yang kita punya.’

Mandela sungguh terkesan atas sikap Bregman dan tidak pernah lupa atas solidaritas dan kesetiakawanannya –akhlak baiknya. Dan sisanya kita tahu adalah sejarah: Mandela terinspirasi untuk terlibat dan memimpin perjuangan pembebasan nasional melawan apartheid di Afrika Selatan. Sampai akhir hayat mereka, Mandela dan Bregman menjaga jalinan perjuangan dan persahabatan.

Kita berbagi apa yang kita punya – mungkin ini semacam versi lain dari moral Komunis-nya Sudisman. Apabila kita belum bisa bersepakat apakah kita perlu eksposisi teoretik Marxis atas moralitas, setidaknya kita perlu bersepakat mengenai bagaimana akhlak yang ideal bagi kader-kader gerakan rakyat dalam kerja-kerja organisasi maupun laku keseharian. Propaganda Orde Baru mengampanyekan bahwa orang-orang Kiri merupakan gerombolan yang haus kekuasaan, menghalalkan segala cara, dan karenanya najis laknatullah. Tapi dari sejarah kita tahu, mana yang haus kekuasaan dan menghalalkan segala cara, dan mana yang bersetia kepada cita-cita politik emansipasi dan pembebasan rakyat pekerja dari ketertindasan kelas.

Siapa yang bersetia kepada ‘jalan sunyi emansipasi’ itu? Singkat kata, mereka adalah orang-orang yang bersikap jujur, ilmiah, dan terbuka. Mereka juga berdisiplin, bersolidaritas, dan rela berkorban. Mereka adalah demokrat dalam artiannya yang paling radikal. Mereka terbiasa dengan perbedaan pendapat dan mau memahami realitas sosial yang ingin diubahnya. Mereka juga mau mendengarkan dan berempati kepada penderitaan massa.

Mereka adalah orang yang berpegang pada moralitas Kiri – moral Komunis.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University. Beredar di twitland dengan id @libloc