15 Bacaan dan Tontonan Agar Tidak Jadi Zionis Jaksel

15 Bacaan dan Tontonan Agar Tidak Jadi Zionis Jaksel

PERANG di Gaza kembali pecah. Setelah Hamas, gerakan islamis Palestina, melancarkan serangan terhadap Israel dalam Operasi Badai Al-Aqsa (Operation Al-Aqsa Storm) secara tak terduga pada 7 Oktober lalu, pemerintah Israel segera melancarkan balasan melalui tentara kolonialnya, Israel Occupation ForceIOF).[1] Mohammed Deif, komandan tertinggi dari Brigade Izzudin al-Qassam (sayap militer Hamas), menyebutkan bahwa operasi militer ini merupakan balasan atas agresi dan okupasi Zionis terhadap rakyat Palestina yang semakin parah dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pendudukan Israel terhadap Masjid Al-Aqsa dan represi atas jamaah masjid yang dilakukan secara arogan.

Kecuali Anda hidup di bawah tanah atau bersemedi di dalam gua, sangat sulit untuk melewatkan berita mengenai eskalasi konflik dan momen historis ini. Sampai artikel ini ditulis, lebih dari 1.400 warga Israel meninggal dan di sisi Palestina lebih dari 7.000 syahid, termasuk perempuan dan anak-anak.

Dari kacamata strategis, serangan Hamas mengejutkan dunia. Bagaimana mungkin pasukan gerilya yang hidup dalam kondisi yang serba terbatas, termasuk pasokan nutrisi yang sangat minim (ingatlah, Jalur Gaza sudah diblokade Israel selama 16 tahun terakhir, dan salah satu akibatnya adalah pasokan bahan makanan untuk penduduk Gaza sangat terbatas), bisa menjebol tembok apartheid Israel yang berteknologi canggih, yang secara efektif menjadikan Gaza sebagai penjara terbuka? Para militan Hamas menorehkan kesan visual yang amat dalam bagi dunia. Sulit dipercaya bagaimana mereka berhasil menjebol pagar perbatasan Israel-Gaza dengan buldoser dan memasuki wilayah Israel dengan motor dan parasut rakitan. Bagaikan Serangan Tet (Tet Offensive) dari gerilyawan Viet Cong yang mengejutkan kaum imperialis, bagaimana mungkin pasukan kaipang Gaza berhasil menggentarkan salah satu tentara terkuat di dunia?

Tentu saja, dalam setiap perang dan perjuangan pembebasan nasional, ada ekses kematian dari pihak lawan, misalnya berpulangnya ratusan warga sipil Israel. Etika perang Islam jelas melarang serangan atas warga sipil dan mewajibkan kombatan pro-pembebasan untuk meminimalisir kematian non-kombatan. Oleh karena itu, ekses kematian yang dilakukan/terjadi dalam serangan Hamas tentu perlu dikritik. Bahkan, sejumlah kalangan Islam dan progresif mengkritik keras dan bahkan mengutuk ekses tersebut.

Tetapi kita perlu berhati-hati di sini. Kita perlu membedakan mana ekses kematian warga sipil yang disebabkan karena berbagai faktor tak terduga dan pembantaian atau terorisme atas warga sipil secara terencana dan sistematis. Di sini, saya menggunakan istilah “ekses” untuk mengategorikan imbas tak terduga dari serangan Hamas karena sejumlah alasan. Pertama, sejumlah hasil investigasi terbaru (misalnya ini dan ini dan juga laporan ini) menunjukkan bahwa banyak korban warga sipil Israel yang tewas karena serangan IOF sendiri ketika mereka berusaha memukul balik pasukan Hamas, yang justru menjaga para warga sipil ini dengan baik.

Kedua, sudah ada sejumlah bukti dan testimoni yang menunjukkan bagaimana pasukan Hamas, setidaknya elemen-elemen yang lebih terorganisir dan disiplin, menjalankan kaidah etika perang Islam dengan tidak melukai warga dan memperlakukan tahanan sipil dengan baik. Hamas juga lebih tepat dilihat sebagai gerakan sosial dan pembebasan nasional yang memiliki sejumlah sayap organisasi–politik, sosial, dan militer. Baik kekurangan dan kelebihannya perlu dilihat dalam konteks kapasitasnya sebagai gerakan pembebasan nasional, bukan kelompok teroris.

Ketiga, ekses serangan yang melukai dan menewaskan warga sipil Israel kemungkinan besar dilakukan oleh elemen militan Hamas dan warga Gaza yang amarahnya sudah menumpuk terhadap kolonialisme Israel. Perlu diingat bahwa warga Gaza senantiasa hidup dalam teror dan brutalitas Israel, ditambah ada ribuan tahanan politik Palestina di Israel, yang kemungkinan besar akan lebih berhati-hati dalam menyerang lawan. Dua faktor ini saya pikir berpengaruh ke karakter dan tingkat kualitas pasukan/kombatan yang ikut dalam Operasi Badai Al-Aqsa kemarin–ada yang disiplin, tetapi ada juga yang sudah dikuasai amarah dan dendam.

Keempat, sudah terbukti bahwa Israel sendiri memanipulasi informasi publik untuk memojokkan perjuangan pembebasan Palestina dengan fitnah. Ini taktik yang dikenal sebagai propaganda kekejaman (atrocity propaganda), misalnya fitnah bahwa “Hamas membantai bayi-bayi Israel dengan cara memenggal kepala mereka.”

Sebaliknya, Israel melakukan pembalasan secara tidak proporsional dan melanjutkan pembantaian dengan dalih membela diri. Secara brutal, Israel membombardir Gaza, membantai warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan tanpa pandang bulu, menghentikan distribusi semua kebutuhan logistik warga Gaza termasuk listrik dan air, hingga menyerang rumah sakit, masjid dan gereja, serta kamp pengungsian. Apa namanya ini kalau bukan genosida? Apa lagi namanya jikalau bukan kebiadaban dan kemunafikan yang ditunjukkan oleh “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah”?

Persis di titik ini, kita perlu sadar dan paham bahwa tragedi yang terjadi di Gaza dan seluruh daerah okupasi Palestina oleh Israel tidaklah bermula dari serangan Hamas pada 7 Oktober lalu. Bahkan, gelombang kekerasan sistemik dari Israel dan perlawanan dari rakyat Palestina, baik melalui jalur nirkekerasan maupun perjuangan bersenjata, tidak dimulai dari beberapa tahun terakhir ini.

Akar permasalahannya adalah kolonialisme Israel atas rakyat Palestina, yang dimulai dari teror milisi Zionis terhadap rakyat Palestina yang telah menampung mereka yang berujung kepada pengusiran dan perampasan lahan besar-besaran, Nakba, yang membuat rakyat Palestina terusir dari tanah air mereka sendiri, yang dikukuhkan melalui politik apartheid dan ideologi zionisme, yang secara brutal mengekang dan membunuh rakyat Palestina dan menjebloskan mereka ke dalam penjara terbuka terbesar di dunia, Gaza.

Inilah pokok permasalahannya. Apa pun bentuk perjuangannya, siapa pun aktor utamanya, sekecil apa pun ekses perlawanannya, tiap bentuk perjuangan rakyat Palestina akan selalu dihajar oleh IOF dan rezim apartheid Israel. Dengan atau tanpa serangan Hamas, Netanyahu (atau lebih tepatnya SETANyahu) dan para politikus sayap kanan Israel akan selalu mencari cara untuk membombardir Gaza, menganeksasinya, dan mengenyahkan rakyat Palestina dari rumah mereka sendiri. Gelombang protes damai rakyat Gaza sekitar 2018-2019 yang dikenal sebagai The Great March of Return disambut dengan represi besar-besaran oleh Israel. Upaya mobilisasi massa dan perjuangan bersenjata gerakan-gerakan nasionalis dan kiri Palestina seperti Fatah dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of PalestinePFLP) selama puluhan tahun dilabeli sebagai aksi-aksi “teroris” dan dibalas habis-habisan oleh Israel dengan dukungan imperialis.

Sayangnya, narasi ini secara sistematis dipinggirkan dan sebagai gantinya kita disuguhi oleh propaganda Hasbara (strategi “diplomasi publik” Israel) dan “humanitarianisme” liberal nan abstrak yang munafik dan bungkam tentang realitas penindasan rakyat Palestina. Ironisnya, propaganda Zionis dan imperialis ini bahkan memengaruhi sejumlah kelompok di Indonesia, termasuk kelompok-kelompok Islam “moderat” dengan dalih “anti-terorisme” dan “pro-perdamaian”.

Untuk itulah, kita perlu pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sejarah pembebasan nasional Palestina agar tidak latah menjadi Zionis Jaksel yang hanya bisa membeo bahwa “Israel punya hak membela diri” dan mengabaikan genosida yang terjadi di depan mata. Sebagai pengantar, berikut saya sajikan 15 bacaan dan tontonan kunci sebagai referensi untuk kita semua.


Sejarah Palestina dan Israel

  1. The Question of Palestine (Edward W. Said, 1979, New York: Vintage Books)

Edward Said, sang intelektual Palestina, tentu saja lebih terkenal dengan karya klasiknya, Orientalism, yang menggugat kecenderungan metodologis dan bias orientalis dan imperialis dalam berbagai kajian tentang Timur Tengah dan masyarakat non-Barat lain di berbagai disiplin humaniora di Barat. Tetapi, ada salah satu karyanya yang juga tidak kalah penting, yaitu mengenai konflik Palestina-Israel, yang dituangkan dalam buku The Question of Palestine.

Buku ini dapat dikategorikan sebagai setengah kajian dan setengah observasi “orang dalam” yang terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional Palestina. Sejumlah momen dan periode sejarah penting dibahas dengan cukup mendalam, mengenai sejarah rakyat Palestina dan tanah air mereka; evolusi Zionisme sebagai proyek kolonialisme dan imbasnya bagi rakyat Palestina; sejarah perjuangan pembebasan Palestina; dan persoalan nasib Palestina setelah ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Israel dan Mesir yang dikenal dengan sebutan Perjanjian Camp David (Camp David Accords).

Said menyebutkan sejumlah argumen jitu yang saya pikir masih relevan hingga sekarang. Dia mengeluhkan labelisasi “teroris” kepada organisasi-organisasi politik Palestina dan miopia serta kemunafikan Barat yang tidak bisa melihat dan mengakui bahwa teror Zionis jauh lebih besar dari upaya perlawanan dan ekses yang dilakukan oleh para militan Palestina. Dia mempertanyakan pandangan naif yang masih berharap bahwa artikulasi zionisme yang liberal dan bahkan progresif itu masih mungkin, sebelum ramai gerakan boikot Israel. Dia memberikan penjelasan historis tentang rakyat Palestina sebagai penduduk asli di tanah air mereka. Dia juga menunjukkan kebangkrutan proyek politik zionisme.

Buku ini memang cukup padat dan karenanya butuh waktu untuk dibaca secara mendetail, tetapi karya klasik ini fondasional dan perlu dibaca. Bonus: bukunya bisa diunduh secara gratis di sini.


  1. Kolonialisme Zionis di Palestina (Fayez A. Sayegh, 2021, IndoProgress, diterjemahkan oleh Azhar Irfansyah ke bahasa Indonesia dari edisi bahasa Inggris terbitan 1965).

Apabila karya Edward Said tentang Zionisme dan persoalan Palestina dapat dikategorikan sebagai karya yang padat, maka buku Fayez A. Sayegh ini dapat dikategorikan sebagai buku saku ringkas tentang kolonialisme Zionis. Dapat dikatakan, seperti halnya buku Said, buku ini merupakan salah satu pionir dari analisis tentang zionisme sebagai kolonialisme.

Sayegh adalah seorang diplomat, penulis, dan akademisi dengan latar belakang Arab Kristen yang aktif di lingkar intelektual dan politik Timur Tengah. Dalam bukunya, Sayegh melacak akar historis dan intelektual zionisme, persekutuannya dengan imperialisme Inggris, karakter rezim Zionis dan pola diskriminasi serta represi sistematik yang diterapkannya kepada warga Arab, dan kenaikan perlawanan rakyat Palestina terhadap kolonialisme Zionis. Dalam bukunya, Sayegh menganalisis penjajahan Zionis dan perjuangan pembebasan rakyat Palestina dari perspektif anti-kolonialisme dan pembebasan nasional di Dunia Ketiga yang marak di dekade 1960-an.

Buku ini merupakan pengantar yang baik sebelum Anda masuk menyelami karya-karya lain mengenai konflik Israel-Palestina. Dapat diunduh langsung dari sini.


  1. The Ethnic Cleansing of Palestine (Ilan Pappé, 2006, Oxford: Oneworld Publications).

Ilan Pappé adalah seorang sejarawan Israel progresif anti-Zionis yang terpaksa mengeksilkan diri karena telah menjadi persona non grata di Israel yang semakin kanan, otoriter, dan diam-diam fasistik. Dia termasuk dalam generasi baru sejarawan Israel, New Historiansyang membongkar historiografi (atau hagiografi?) Zionis yang “membersihkan” Israel dari dosa-dosa asalnya dan sebaliknya menggambarkan Israel sebagai “Daud baru” yang berjuang melawan “Goliat-Goliat Arab” yang penuh dengki dan anti-Semitik. Generasi sejarawan baru ini, termasuk Pappé, berhasil mengkritik narasi sejarah Zionis karena dibukanya arsip-arsip militer dan pemerintah Israel 30 tahun setelah deklarasi pembentukan Israel.

Berdasarkan arsip-arsip baru ini, Pappé menunjukkan bahwa Nakba itu nyata adanya, bahwa terjadi upaya sistematis dari milisi-milisi Zionis seperti Haganah dan Irgun untuk mengusir paksa rakyat Palestina dari rumah mereka atas permohonan dan dukungan David Ben-Gurion, Perdana Menteri pertama dan Bapak Bangsa(t) Israel. Tidak hanya itu, terjadi juga pembantaian warga sipil Palestina di sejumlah tepat, termasuk pembantaian Deir Yassin, dalam proses pengusiran paksa ini.

Operasi teror ilegal nan sistematis ini dikenal dengan nama Plan Dalet (Rencana Dalet, yang merupakan nama dari huruf keempat dalam abjad Ibrani). Terbongkarnya Plan Dalet menggugurkan argumen usang Zionis yang mengklaim bahwa warga Palestina ditipu oleh pemimpin mereka sendiri dan negara-negara Arab untuk meninggalkan rumah mereka secara sukarela. Plan Dalet adalah penyebab dari katastrofi besar Nakba dan menandai pembersihan etnis (ethnic cleansing) rakyat Palestina secara besar-besaran. “Kemerdekaan” Israel, dengan kata lain, berdiri di atas penindasan Palestina.

Ditulis dengan bahasa yang gamblang dan gaya penuturan yang jelas, buku ini akan memberikan kita gambaran yang sesungguhnya mengenai formasi Israel sebagai sebuah negara/rezim dan asal-usul kolonialisme Zionis di Palestina. Bonus: bukunya bisa diunduh secara gratis di sini.


  1. 10 Myths about Israel (Ilan Pappé, 2017, London/New York: Verso).

“Israel adalah satu-satunya demokrasi di Timur Tengah”, “Israel adalah benteng bagi Peradaban Barat dan Dunia Merdeka melawan fundamentalisme”, “Hanya di Tel Aviv parade pride bisa dilakukan secara meriah dan bebas di Timur Tengah”, dan lain-lain, dan sebagainya. Kurang lebih itulah sejumlah mitos yang disebarkan oleh Hasbara, antek-anteknya, dan para fanboys serta fangirls-nya. Lagi-lagi, Ilan Pappé secara mendalam membongkar mitos-mitos omong kosong macam ini dan menunjukkan karakter sesungguhnya dari Israel sebagai rezim apartheid dan kolonial. Disajikan lewat penuturan yang mudah diikuti dan dipahami, Pappé membongkar sejumlah mitos-mitos yang dianggap sudah terberi mengenai Israel.

Bukunya dibagi kedalam tiga bagian. Bagian pertama membongkar enam mitos tentang masa lampau: 1) Palestina adalah “tanah yang kosong” (rakyat Palestina sudah ada sebelum warga Yahudi dan pendatang Zionis hadir di sana); 2) Yahudi adalah bangsa tanpa tanah air (klaim yang sering dipakai secara serampangan oleh pemerintah Israel kiwari demi kepentingan politiknya); 3) Zionisme merupakan komponen utama dan bahkan ekuivalen dengan agama dan budaya Yahudi (tentu saja tidak); 4) Zionisme bukanlah kolonialisme (kenyataannya, Zionisme meneguhkan supremasi warga Yahudi atas warga Arab); 5) rakyat Palestina meninggalkan tanah airnya secara “sukarela” di tahun 1948 (halo, bagaimana dengan Nakba dan Plan Dalet?), dan 6) Perang Arab-Israel di tahun 1967 adalah perang yang tak terhindarkan (padahal ada langkah-langkah negosiasi alternatif yang bisa ditempuh).

Bagian kedua membongkar tiga mitos masa kini tentang Israel: 7) Israel adalah satu-satunya demokrasi di Timur Tengah (baca laporan dari B’Tselem dan Human Rights Watch dan bahkan pengakuan bekas Direktur Mossad Tamir Pardo mengenai karakter apartheid dari “demokrasi” Israel); 8) Perjanjian Oslo adalah “proses perdamaian” (alias pemaksaan terhadap pihak Palestina untuk menerima parameter “perdamaian” menurut Israel); dan 9) trilogi mitos Gaza–Hamas adalah “organisasi teroris” (alih-alih melihatnya sebagai bagian dari gerakan pembebasan nasional, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang juga berpartisipasi dalam proses demokratik di Palestina), mundurnya Israel dari Jalur Gaza adalah upaya rekonsiliasi (Israel mundur dari Gaza untuk memblokade Gaza), dan serangan Israel yang bertubi-tubi atas Gaza adalah upaya pembelaan diri (alias dalih untuk melakukan genosida perlahan atas warga Gaza).

Di bagian ketiga, Pappé membongkar mitos terakhir: 10) Jawaban konflik Israel-Palestina adalah solusi dunia negara (two-state solution). Bagi Pappé, solusi tersebut sudah kaput, sudah mati dengan kontrol Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza dan berlanjutnya politik apartheid yang mewajarkan pembersihan etnis, okupasi rakyat Palestina di tanahnya sendiri, dan posisi rakyat Arab Palestina–baik di dalam Israel maupun di wilayah pendudukannya–sebagai warga negara kelas dua yang mengalami diskriminasi dan bahkan kekangan militeristik. Solusi yang sejati, bagi Pappé, adalah satu negara yang demokratis bagi rakyat Yahudi dan Arab, yang terbentang dari sungainya hingga lautnya.

Dengan membaca buku ini, insyaallah kita akan memiliki amunisi yang jitu untuk mempreteli argumen kosong dan retorika gembeng para Zionis Jaksel, kalangan “muslim moderat” yang diam di hadapan kekerasan kapitalis dan imperialis, dan segenap kaum londo ireng lainnya. Oh, soal parade pride bagi rekan-rekan queer di Timur Tengah? Coba tengok Beirut alih-alih Tel Aviv.

Bonus: Anda bisa menonton tausiah Ilan Pappé di Masjid Al-Quds di Capetown, Afrika Selatan di sini dan pemaparannya dalam suatu diskusi berbahasa Arab, yang dikuasainya dengan lancar, di sini. Bukunya dapat Anda unduh secara gratis langsung dari penerbitnya di sini.


Perspektif Sosialis tentang Kolonialisme Israel

  1. Settler Colonialism: An Introduction (Sai Englert, 2022, London: Pluto Press).

Mungkin kawan-kawan pembaca sudah sering mendengar istilah settler colonialism atau kolonialisme pendudukan, termasuk dalam diskusi soal penjajahan Israel atas Palestina. Tetapi apa sesungguhnya kolonialisme pendudukan itu? Di dalam bukunya, Sai Englert, pengajar dan peneliti di Universitas Leiden, memberikan penjelasan ringkas nan komprehensif tentang konsep tersebut.

Englert membedakan antara kolonialisme jarak jauh (franchise colonialism) dengan kolonialisme pendudukan. Kolonialisme jarak jauh adalah model kolonialisme yang populer di benak publik Indonesia: penjajahan oleh kekuatan kolonial melalui penguasaan militer, administrasi kolonial, dan kolaborator lokal yang menjadi kelas penguasa, yang fokusnya adalah ekstraksi tenaga kerja dan komoditas tanpa mengirim penduduk dari pusat kekuasaan kolonial (metropole) ke koloni. Kolonialisme pendudukan punya sejumlah fitur yang serupa, tetapi mereka memiliki tujuan tambahan yaitu mendatangkan penduduk dari metropole ke koloni dan dalam prosesnya merampas tanah dan kampung halaman penduduk asli untuk semakin memperkuat formasi masyarakat kolonial.

Contoh dari kategori pertama adalah penjajahan Inggris di India dan penjajahan Prancis di Suriah (dan tentu saja penjajahan Belanda di Indonesia), sedangkan contoh dari kategori kedua adalah pendudukan warga keturunan Eropa di Argentina, Aljazair, dan Australia.

Englert kemudian menjelaskan mekanisme umum dan tujuan dari proses kolonialisme pendudukan. Akumulasi profit dan nilai lebih misalnya dilakukan dengan monopoli perdagangan dan sektor-sektor komoditas bernilai tinggi serta perbudakan. Tidak lupa, ada proses perampasan tanah dan peminggiran masyarakat asli dari tempat tinggal mereka selama berpuluh-puluh generasi dan bahkan genosida. Tentu saja, pengukuhan kolonialisme pendudukan berkelit-kelindan dengan proses konsolidasi kapitalisme modern, melalui proses akumulasi primitif, misalnya. Rasisme kemudian menjadi ideologi yang menjustifikasi dan melanggengkan praktik-praktik barbar ini, juga sebagai mekanisme kontrol sosial dan politik.

Tak lupa, Englert juga membahas tentang berbagai bentuk perlawanan masyarakat terjajah terhadap kolonialisme pendudukan. Tentu saja, perlawanan Palestina dibahas secara cukup mendalam. Singkatnya, buku ini merupakan pengantar yang baik untuk memahami sejarah dan perkembangan kolonialisme pendudukan dan perlawanan atasnya.


  1. Palestine: A Socialist Introduction (Editor: Sumaya Awad dan Brian Bean, 2020, Chicago: Haymarket Books).

Pertautan perjuangan Palestina dengan berbagai gerakan dan ide kiri sesungguhnya sudah berlangsung selama berpuluh tahun. Dimensi ini kadang kurang terbahas dalam diskursus mengenai Palestina di Indonesia, meskipun sudah ada pergeseran yang menggembirakan, yaitu melihat konflik Israel-Palestina bukan dari kacamata “perang agama” melainkan dari perspektif anti-kolonialisme.

Sebagaimana terpampang di judulnya, buku ini menyajikan sejumlah analisis sosialis tentang persoalan Palestina. Posisinya jelas dan tegas: persoalan Palestina adalah persoalan pembebasan nasional dan mereka yang mengaku sosialis haruslah berpihak kepada rakyat Palestina. Dua editornya, Sumaya Awad dan Brian Bean, adalah aktivis sosialis. Awad asli Palestina, sedangkan Bean adalah anak North Carolina.

Selain berbagai hal yang sudah kita bahas di atas (tragedi Nakbaproyek kolonialisme pendudukan Zionis, dan lain sebagainya), buku ini juga menyajikan sejumlah analisis tambahan yang menarik. Esai oleh Shireen Akram-Boshar misalnya menunjukkan hubungan mesra antara imperialisme Amerika Serikat (AS) dan Israel demi “kepentingan strategis” di Timur Tengah. Esai Mostafa Omar, yang membahas tentang perjuangan pembebasan nasional Palestina, singkat dan padat namun isinya daging semua, terutama pembahasan tentang mandeknya trajektori gerakan-gerakan nasionalis dan kiri sekuler seperti Fatah dan PFLP dan kenaikan Hamas dalam politik Palestina. Daphna Tier membahas satu topik yang jarang diketahui orang, yaitu posisi kelas pekerja Israel di dalam perjuangan pembebasan Palestina dan bagaimana ketergantungan terhadap rezim okupasi Israel membuat mereka abai atas perjuangan pembebasan Palestina.

Sejumlah bab lain di dalam buku ini membahas tentang kontur perjuangan pembebasan Palestina dan koneksinya dengan berbagai gerakan pembebasan lainnya. Pembahasan ini mencakup wawancara dengan Omar Barghouti, salah satu pendiri gerakan boikot Israel (Boycott, Divestment, and SanctionBDS), dan sejarah solidaritas antara gerakan kulit hitam dan Palestina.

Keragaman topik yang dibahas dan ketajaman analisis dalam buku bunga rampai ini membuatnya layak menjadi acuan bagi mereka yang penasaran dengan konflik Israel-Palestina dari perspektif sosialis. Bukunya juga dapat diunduh gratis langsung dari penerbitnya di sini.


  1. On Zionist Literature (Ghassan Kanafani, Oxford: Ebb Books, 2022, diterjemahkan oleh Mahmoud Najib ke Bahasa Inggris dari edisi Bahasa Arab terbitan 1967).

Ghassan Kanafani adalah seorang aktivis PFLP dan juga penulis kenamaan Palestina. Mungkin Anda pernah melihat video wawancaranya yang tajam berseliweran di lini masa. Selain berpolitik, Kanafani juga aktif menulis esai, karya sastra, dan kritik sastra, sebelum dia syahid karena rezim Zionis membunuhnya ketika berumur 36.

Kanafani melihat ranah kesusastraan dan kebudayaan sebagai salah satu front agresi Zionis, selain politik, militer, dan ekonomi. Itulah yang menjadi motivasi utamanya untuk menulis kritik atas sejumlah karya sastra Zionis.

Kanafani menulis sejumlah amatan dan analisis penting. Misalnya, bagaimana Zionisme mendorong dominasi bahasa Ibrani sebagai bahasa warga Yahudi dalam proyek politiknya, mengesampingkan fakta bahwa banyak orang Yahudi menggunakan bahasa lain seperti bahasa Yiddi dan bahkan bahasa Arab. Kemudian, Kanafani juga menunjukkan bagaimana kesusastraan Zionis mendahului dan memberi landasan bagi zionisme politik. Dan tentu saja dia juga menganalisis sejumlah pemikiran dan karya sastra Zionis secara ketat, mulai dari argumennya, penuturannya, alur ceritanya, hingga pesan yang tersirat, mulai dari tulisan-tulisan Theodor Herzl hingga Arthur Koestler. Misalnya plot khas tentang petarung Yahudi yang kuat dan siap menggempur siapa saja yang mengadang, termasuk orang-orang Arab.

Bagi Anda yang tertarik dengan kritik atas zionisme dari dimensi kebudayaan, buku ini perlu dibaca.


Instrumentalisasi Tragedi Holokaus

  1. Beyond Chutzpah: On the Misuses of Anti-Semitism and the Abuse of History (Norman Finkelstein, 2005/2008, Berkeley/Los Angeles: University of California Press).

Kita sering mendengar keluhan dan bahkan tuduhan bahwa mengkritik Israel adalah mempraktikkan anti-semitisme. Argumen ini sering dipakai untuk membungkam kritik terhadap Israel dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukannya secara sistematis terhadap rakyat Palestina. Norman Finkelstein menunjukkan bagaimana operasi ideologis dan trik politik ini bekerja.

Norman Finkelstein, yang tentu saja bukanlah seorang normie, adalah intelektual radikal dan aktivis. Dia mendeskripsikan diri sebagai “ilmuwan forensik”, yaitu detektif yang membongkar klaim-klaim pseudo-ilmiah yang populer dan sering dijadikan justifikasi politik, dengan spesialisasi kajian tentang instrumentalisasi tragedi Holokaus, Israel, zionisme, dan Palestina. Kredensial ilmiah dan politiknya lengkap: dia adalah seorang kiri dengan gelar doktor dari Universitas Princeton dan kedua orang tuanya adalah penyintas Holokaus yang turut serta dalam Pemberontakan Ghetto Warsawa melawan fasis Nazi.

Dalam Beyond Chutzpah, Finkelstein menunjukkan bagaimana tuduhan “anti-Semitik” sering digunakan untuk membungkam kritisisme atas rekam jejak HAM Israel alih-aling mendebat kritik tersebut secara serius dan ilmiah. Finkelstein juga berargumen bahwa konflik Arab-Israel bukanlah soal konflik agama atau “kecemburuan sosial” kepada Israel sebagai negara yang kaya, melainkan soal aspirasi nasional untuk kemerdekaan jazirah Arab dan kritik atas supremasi Yahudi melalui proyek zionisme.

Jadi, kalau ada yang menuduh kawan-kawan pembaca yang mengkritik Israel sebagai anti-Semit yang rasis, berikan saja buku Finkelstein kepada sang penuduh tersebut. Niscaya mereka akan kaget dan malu sendiri. Bonus: tontonlah video legendaris Finkelstein yang mengkritik instrumentalisasi tragedi Holokaus sebagai justifikasi untuk menindas rakyat Palestina di sini.


Panduan Perjuangan Pembebasan Nasional

  1. Guerilla Warfare (Che Guevara, 1961) dan On Guerilla Warfare (Mao Zedong, 1937)

Dalam dunia yang ideal, di mana lawan-lawan politik paling brutal sekalipun meminimalisir penggunaan kekerasan atau berperang dengan etika, maka jalur nirkekerasan merupakan metode yang layak ditempuh. Tetapi, perjuangan kelas dan pembebasan manusia tidak selamanya ideal. Di dalam arena politik, kita akan menemukan musuh-musuh yang brutal dan tak mau berkompromi.

Dalam kondisi penuh tekanan tersebut, maka metode perjuangan bersenjata menjadi pilihan yang logis. Cara ini banyak ditempuh oleh gerakan pembebasan nasional di Dunia Ketiga, termasuk di Indonesia.

Karya klasik Che Guevara dan Mao Zedong tentang metode perang gerilya dapat menjadi acuan dan bahan refleksi tentang strategi perjuangan bersenjata dalam upaya pembebasan nasional dan pembangunan sosialisme. Tentu saja, perang gerilya bukan sekadar mengumpulkan orang-orang yang marah, mengajak mereka membangun markas di atas gunung dan di dalam hutan, lalu melancarkan serangan dan teror dengan penuh amarah. Perang gerilya perlu perencanaan dan tujuan yang jelas, memenangkan hati rakyat, dan tidak terlepas dari organisasi politik, perhitungan geopolitik, serta kebutuhan logistik.

Dua teks klasik ini, yang dapat diunduh secara gratis di sini dan di sini, saya pikir perlu dibaca untuk menjadi bahan diskusi, debat, dan refleksi lebih lanjut, terutama di dalam konteks perjuangan Palestina.


  1. Leila Khaled: Kisah Pejuang Perempuan Palestina (Sarah Irving, 2016, Serpong: Marjin Kiri, diterjemahkan oleh Pradewi Tri Chatami ke bahasa Indonesia dari edisi bahasa Inggris terbitan 2012).

Siapa yang tidak kenal Leila Khaled? Sang perempuan pejuang pembebasan yang fotonya tenar karena peranannya dalam pembajakan pesawat pada 1969 merupakan salah satu ikon kenamaan dari perjuangan Palestina. Karya Sarah Irving, seorang ahli kajian Timur Tengah, menyajikan potret biografis Leila Khaled sebagai seorang militan perempuan.

Irving membahas peranan Khaled sekaligus menempatkannya dalam konteks sosial-historis dan perjuangan yang lebih luas berdasarkan wawancara dengan sang protagonis langsung dan orang-orang yang dekat dengannya. Hidup Leila Khaled menjadi teropong untuk melihat sejumlah dinamika lain yang lebih luas: persoalan stratak dan etika dalam perjuangan bersenjata (termasuk soal pembajakan pesawat), perjuangan Palestina dalam konteks pembebasan nasional di Dunia Ketiga, peran perempuan dalam perjuangan, dan trajektori Khaled dalam kehidupannya dan politik Palestina setelah pensiun dari tugas kombatan.

Buku ini menarik, berwarna, penuh sejarah, dan enak dibaca. Karena itu buku ini perlu masuk menjadi salah satu bacaan wajib untuk memahami perjuangan Palestina dan peranan perempuan di dalamnya.


  1. “Beyond Fateh Corruption and Mass Discontent: Hamas, the Palestinian Left and the 2006 Legislative Elections” (Manal A. Jamal, 2013, British Journal of Middle Eastern Studies, 40, Issue 3, 273-294).

Propaganda perang yang sedang berjalan dari pihak Israel dan Barat menyamakan Hamas dengan ISIS, mengklaim bahwa gerakan Islam ini secara keseluruhan (termasuk sayap-sayap politik dan sosialnya dan juga basis pendukungnya) sebagai gerombolan teroris biadab haus darah yang anti-Semitik.

Yang luput dan sengaja ditutupi dari pembahasan ini adalah karakter Hamas sebagai sebuah gerakan sosial-politik dan relasinya dengan organisasi-organisasi Palestina lain. Inilah yang dikupas oleh ilmuwan politik Manal A. Jamal di dalam artikel jurnalnya, yang membahas partisipasi Hamas dalam pemilu Palestina tahun 2006, pemilihan terakhir yang terselenggara sejauh ini.

Jamal membahas sejumlah temuan menarik, misalnya jejaring penyediaan layanan sosial yang diorganisir Hamas; juga upaya Hamas dalam mendorong aliansi lintas kelas antara kelas menengah dan kaum miskin serta aliansi taktis dengan kelompok-kelompok kiri. Jamal juga membahas tentang turunnya pamor Fatah, yang dianggap korup dan melakukan kapitulasi kepada Israel, memberi kesempatan politik bagi Hamas.

Hamas juga memiliki strategi kampanye yang rapi. Sementara itu, kelompok-kelompok kiri Palestina seperti PFLP, mengalami berbagai tantangan seperti imbas fragmentasi gerakan kiri global, bubarnya Uni Soviet, hingga ketergantungan kepada pendanaan donor Barat.

Artikel jurnal ini, dalam hemat saya, dapat memberi gambaran mengenai kiprah elektoral Hamas dan berbagai organisasi politik Palestina lainnya.


  1. Digital Jihad: Palestinian Resistance in the Digital Era (Erik Skare, 2016, London: Zed Books).

Kelompok militan Palestina terkenal dengan berbagai metode perjuangan bersenjatanya, mulai dari serangan roket hingga pertempuran gerilya melawan IOF. Tetapi, bagaimana dengan perjuangan di arena digital? Erik Skare, seorang peneliti ahli Palestina, menjawab pertanyaan tersebut secara lengkap dalam bukunya Digital Jihad.

Skare memulai bukunya dengan sejumlah cuplikan amatan dan wawancara yang menarik, yaitu pertarungan digital antara peretas/hacker Arab dan Israel. Di tahun 2000, para peretas Israel melumpuhkan laman web Hezbollah, sedangkan di tahun 2012 sekelompok peretas Arab Saudi menyerang laman web Bursa Efek Tel Aviv dan El Al, maskapai penerbangan Israel. Dari kisah ini, Skare kemudian masuk ke dalam inti ceritanya.

Bagi Skare, hacktivism yang dilakukan oleh para aktivis dan militan Palestina sama pentingnya dengan berbagai jenis aksi yang lain–kampanye, boikot, demonstrasi, pembangkangan sipil, dan perjuangan bersenjata. Sasarannya sama: zionisme Israel. Lebih spesifiknya, infrastruktur digital dari rezim teknologis Israel. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Israel cukup pesat dan infrastruktur digital ini tentu saja punya koneksi yang erat dengan pihak militer. Sebagai contoh, IOF banyak mengintegrasikan temuan terbaru dan inovasi di bidang TIK untuk kepentingan okupasi dan pertempuran.

Untuk melawan kecanggihan rezim okupasi ini, gerakan perjuangan Palestina melancarkan perlawanan digital melalui berbagai unit dan kelompok peretas. Sejumlah kelompok peretas dari negara-negara Arab lain pun turut serta dalam gerilya digital ini. Mengutip pernyataan Direktur Utama dari Netvision, perusahaan layanan internet Israel, Gilad Rabinovich, interfada (istilah gabungan dari internet dan intifada) adalah balasan atas provokasi Israel. Pasukan jihad online ini tumbuh subur terutama di Gaza yang dimiskinkan oleh Israel. Bahkan, Hamas dan Palestinian Islamic Jihad (PIJ) memiliki unit perang digital sendiri, meskipun banyak juga para hacktivist yang beroperasi secara lebih bebas.

Membaca buku ini akan membuat kita sadar bahwa selayaknya Nabi Daud, para peretas kaipang dari Palestina ini bisa menantang Raja Jalut bernama Israel. Dan juga akan sadar: kualitas buzzer bayaran di Indonesia, yang lebih mirip dengan para propagandis Hasbara, tidak ada seujung kukunya dibandingkan jihadis peretas di tepi Laut Tengah. Bonus: buku ini dapat diunduh gratis dari laman web penulisnya.


Kemungkinan Sejarah Yang Lain

  1. Three Worlds: Memoirs of an Arab-Jew (Avi Shlaim, 2023, London: OneWorld).

Kita kerap mendapat kesan bahwa identitas Arab dan Yahudi bagaikan air dan minyak, tidak mungkin bercampur. Apa benar? Avi Shlaim, sejarawan Israel yang merupakan bagian dari kelompok New Historiansmenggugat dikotomi tersebut melalui memoarnya sebagai seorang Yahudi-Arab.

Sebelum negara Israel terbentuk, keluarga Avi-Shlaim tinggal lama di Irak selama beberapa generasi. Mereka berbicara bahasa Arab, hidup bersama dengan komunitas Arab, berteman dengan orang-orang Arab, dan memainkan peranan penting di masyarakat Irak. Mereka adalah Yahudi-Arab.

Semuanya berubah ketika Israel didirikan dan gelombang nasionalisme Arab menguat. Shlaim, yang ketika itu masih anak-anak, harus pindah bersama keluarganya ke Israel. Keluarganya lebih kerasan di Irak. Menurut orang tuanya, Irak adalah kampung halaman mereka, sedangkan Israel adalah negeri nun jauh di sana.

Sebagai Yahudi Mizrahi/Mizrahim (Yahudi asal Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia), mereka mengalami diskriminasi di negara yang mengaku sebagai suaka bagi orang Yahudi. Para Yahudi Irak yang sampai di Bandara Ben-Gurion disemprot pestisida DDT untuk “membersihkan” mereka. Keluarga Shlaim lebih beruntung karena ibunya memiliki paspor Inggris, yang menyelamatkan mereka dari perlakuan memalukan itu.

Bagi Shlaim, zionisme adalah ideologi konstruksi para Yahudi Ashkenazi, yang menjunjung satu kategori pengungsi (Yahudi “Barat” dari Eropa) tetapi meminggirkan dan bahkan mengusir kategori-kategori pengungsi yang lain (Yahudi “Timur” dari negara-negara non-Eropa dan orang Palestina). Shlaim juga mencatat pernyataan rasis dan diskriminatif dari Ben-Gurion, yang menyatakan bahwa Yahudi Mizrahi adalah “gerombolan liar” (hal. 172).

Yang juga kontroversial dari buku ini adalah kecurigaan Shlaim bahwa aktivis Zionis Irak, yang relatif kecil jumlahnya dibandingkan komunitas Yahudi di Irak, bekerja sama dengan intelijen Israel untuk melakukan serangan bom di sejumlah tempat. Dengan kata lain, menciptakan teror sebagai dalih untuk mendorong eksodus (baca: migrasi paksa) komunitas Yahudi Irak ke “tanah air” Israel. Shlaim mendapatkan bukti operasi intelijen ini dari wawancara dengan Yaacov Karkoukli, seorang sesepuh Yahudi Irak yang dekat dengan gerakan Zionis di masa itu.

Beberapa sketsa lain dalam buku ini juga menarik. Misalnya bagaimana ayah dan nenek Shlaim terus berbicara dalam bahasa Arab sampai hari tua mereka, bahasa ibu mereka. Shlaim juga mengingat masa kanak-kanaknya di Irak sebagai periode penuh kebahagiaan. Singkat kata, memoar Avi Shlaim menunjukkan bahwa sejarah yang lain, sejarah ko-eksistensi (dan mungkin ko-resistensi) Arab dan Yahudi, bebas dari anti-semitisme dan zionisme, adalah mungkin. Bonus: wawancara dengan Avi Shlaim, yang bersuara lembut dan menyejukkan, bisa dilihat di sini.


Dokumenter Gratisan

14. The Lobby (2017, Al-Jazeera)

Tuduhan “lobi Yahudi” jelas keji, tidak beradab, dan anti-Semitik. Tetapi, bagaimana dengan “lobi Israel” atau “lobi Zionis”? Yang kedua tentu saja nyata dan ada. Film dokumenter The Lobby, yang dirilis oleh Al-Jazeera (media asal Qatar), adalah investigasi klandestin yang mengungkap bagaimana Israel berupaya menancapkan pengaruh di Partai Buruh (Labour Party) Inggris demi kepentingan geopolitiknya, termasuk lewat lobi-lobi, manipulasi, dan kampanye disinformasi, terutama kepada Jeremy Corbyn.

Selama dua jam, film ini akan membawa Anda menelusuri upaya Israel untuk menancapkan pengaruh dan menghapus suara-suara advokasi untuk Palestina di Partai Buruh. Film ini juga menunjukkan upaya lobi dan intelijen Israel untuk menyalip dan memanfaatkan prosedur demokrasi demi kepentingan politik Zionis. Bisa dikatakan bahwa lobi ini adalah ujung terdepan dari the Zionist Deep State. Seru dan bernas, dokumenter ini bisa ditonton gratis di sini.


  1. Gaza Fights for Freedom (2019, Abby Martin).

Dalam satu episode wawancara dengan Joe Rogan di podcast The Joe Rogan Experience, Abby Martin menyatakan bahwa “you’re born dead in Gaza!” Di Gaza, bahkan bayi pun terlahir “mati”. Bagaimana tidak? Mereka lahir di dalam wilayah yang sebelas dua belas kondisinya dengan kamp konsentrasi–hidup dalam teror dan trauma, serangan udara, malnutrisi, dan tanpa penghidupan yang layak.

Krisis humaniter di Gaza tidak bermula di awal Oktober kemarin, atau di tahun ini, melainkan bermula ketika Israel memblokade Gaza berbelas tahun silam. Sebagai seorang jurnalis kiri kawakan yang sudah melanglang buana mengungkap kejahatan imperialisme dan perlawanan rakyat di berbagai tempat, Abby Martin mencoba menangkap realita kehidupan di Gaza di bawah blokade dan tirani Israel dalam Gaza Fights for Freedom.

Dikemas dengan gaya dokumenter gerilya, film ini menangkap realita hidup keseharian rakyat Gaza dan pandangan mereka tentang okupasi Israel dan masa depan Palestina. Martin juga memberikan latar belakang sejarah yang cukup komprehensif mengenai Gaza dan berbagai upaya resistensi rakyat Gaza, termasuk upaya protes damai The Great March of Return yang direpresi habis-habisan oleh Israel. Suara-suara perlawanan yang didapat dari wawancara dan obrolan serta diskusi sehari-hari, yang dilengkapi dengan footage dahsyat dan heroik, seperti konfrontasi warga Gaza yang melempar batu ke pasukan IOF yang bersenjata lengkap, membuat film ini wajib ditonton. Film ini dapat ditonton gratis di sini.

Bonus dan Penutup

Demikian sejumlah buku dan tontonan yang mudah-mudahan bisa menjadi referensi kawan-kawan pembaca IndoProgress. Selain daftar di atas, saya ingin memberikan sedikit tambahan referensi kanal media yang mengulas persoalan Palestina secara mendalam, antara lain Al-JazeeraAJ+Electronic IntifadaJadaliyyaMiddle East Eye, dan The New Arab. Tentu ada juga beberapa karya yang belum saya bahas di sini, seperti tulisan-tulisan sosiolog kritis Israel Baruch Kimmerling dan karya terbaru jurnalis Antony Loewenstein, The Palestine Laboratory: How Israel Exports the Technology of Occupation around the Worldyang membahas mengenai “ekspor” teknologi penjajahan ala Israel ke berbagai negara.

Semoga referensi ini dapat menajamkan perangkat analitis dan mempertebal militansi dalam bersolidaritas dengan perjuangan pembebasan Palestina, dan meyakinkan kita bahwa imperialis hanyalah macan kertas.

From the River to the Sea, Palestine will be free! Free, Free Palestine!


 [1] Secara resmi, tentara Israel bernama Israel Defense Force (IDF). Tetapi, pegiat gerakan pembebasan Palestina kerap menyebutnya sebagai Israel Occupation Force (IOF) untuk menunjukkan karakter sesungguhnya dari tentara Israel: alih-alih “melindungi” Israel, angkatan bersenjata tersebut adalah tentara kolonial yang mengokupasi tanah rakyat Palestina dan merepresi mereka. Saya menggunakan istilah IOF sebagai istilah yang lebih tepat dan juga untuk menunjukkan solidaritas dengan rakyat Palestina.


Iqra Anugrah, editor IndoProgress, dalam beberapa minggu terakhir aktif dalam kerja-kerja solidaritas Palestina di Belanda dan Indonesia.

Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

30 Juli 2021

PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua.

Ilusi bahwa kondisi pandemi di tahun 2021 akan menjadi lebih baik terbongkar sudah. Ketika jumlah kasus Covid-19 di negara-negara Utara menurun secara signifikan, jumlah penderita dan korban Covid-19 di negara-negara Selatan justru melonjak tajam. Di balik momen-momen ‘kehidupan normal’ di kawasan dan negara kapitalis maju, ada tragedi kemanusiaan di India dan kawasan pinggiran lainnya. Tak terkecuali Indonesia. Sampai tulisan ini dibuat, sudah tak terhitung kabar darurat dan duka yang saya dengar dari keluarga, kerabat, dan kawan-kawan saya. Bisa dikatakan, semua orang di Indonesia –termasuk keluarga saya– sudah terkena imbas pandemi Covid-19.

Kekalutan massal ini, hikmahnya, memaksa kita untuk berpikir kembali secara keras dan reflektif mengenai kapitalisme dan pandemi Covid-19. Sembari bertahan hidup bak seorang eksil, bromocorah, atau gerilyawan, berpikir keras bukanlah kemewahan, melainkan keharusan di sela-sela upaya, baik secara individual maupun kolektif, untuk mencari obat dan penanganan medis bagi orang-orang sekitar yang terkena Covid, untuk menggalang dana solidaritas dan ketersediaan pangan.

Bagi saya, arah dunia ke depan akan semakin tak menentu dan bergejolak. Sejak dulu saya skeptis dengan triumfalisme liberal bahwa dunia akan semakin bergerak ke arah yang lebih baik. Bahkan pengasong ide-ide liberal kelas kakap seperti Steven Pinker dan Yuval Noah Harari terpaksa menyajikan analisis yang lebih membumi, bahwa ‘kemajuan dunia’ yang mereka impikan tidak selalu mulus, bahwa masa depan dunia selanjutnya penuh dengan kontingensi dan ketidakpastian. Apa yang terjadi di depan  kita semua semasa pandemi adalah pertanda pergolakan yang semakin dekat. Sebagai seorang materialis, saya tidak sepenuhnya pesimis. Tetapi, bagi saya, tidaklah terlalu spekulatif untuk mengklaim bahwa kita perlu bersiap-siap untuk menghadapi letusan politik, ekonomi, sosial, dan ekologis yang akan muncul pasca-pandemi.

Pasca pandemi, ada tiga tantangan besar yang menanti, yaitu: 1) pemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat, 2) posisi sains di tengah masyarakat, dan 3) kenaikan politik Bonapartis untuk mendukung stabilitas tatanan kapitalis.

Di titik ini, ada baiknya kita menengok kembali sejumlah argumen, perdebatan, dan diskusi yang sudah ada. Tentu saya tidak berbicara mengenai akrobatik intelektual yang buang-buang pulsa dan waktu. Apa yang dilakukan oleh para pekerja ojek online jauh lebih riil, dalam, dan bermanfaat ketimbang ‘perdebatan’ tersebut. Perdebatan yang saya maksud adalah perdebatan di kalangan gerakan sosial dan implikasinya bagi perjuangan rakyat ke depannya.


Menengok Kembali Perdebatan tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

Ada dua argumen yang ingin saya tanggapi. Pertama, analisis Martin Suryajaya atas tatanan ekonomi dan politik dunia pasca krisis yang diakselerasi oleh pandemi. Kedua, elaborasi komprehensif mengenai asal-usul dan dampak ekonomi-politik dari pandemi Covid-19 sertakaitannya dengan krisis kapitalisme secara lebih luas yang disusun oleh kawan-kawan Intrans Institute di Malang. Ada sejumlah hal yang saya sepakati dan tidak sepakati dari analisis-analisis tersebut dan perlu kita klarifikasi ulang demi langkah kita ke depan.

Argumen Martin menurut saya baru separuh benar. Betul bahwa kali ini pandemi membawa disrupsi bagi tatanan kapitalisme global dan mau tidak mau memaksa elit negara dan kapitalis di manapun untuk mengadopsi sejumlah respon dan kebijakan beraroma ‘sosialis’ – de facto nasionalisasi atas sejumlah sektor ekonomi, subsidi skala besar, hingga resonansi gagasan ekonomi progresif seperti Universal Basic Income/Jaminan Pendapatan Semesta (UBI/Jamesta). Ada ‘tekanan struktural’ bagi para pemegang kekuasaan dan pengontrol kapital untuk menerapkan kebijakan tersebut – dengan menolong orang banyak, mereka juga menolong diri mereka sendiri. Namun, diagnosis ini baru sebagian benar. Hal yang absen dari analisis Martin adalah bagaimana kelas kapitalis besertaragam elit yang mendukungnya juga memiliki strategi untuk menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa menyelamatkan rakyat dan malah membebankan ongkos dari pandemi kepada rakyat pekerja. Kita juga dihadapkan oleh kemunafikan negara-negara kapitalis maju, yang menguasai sarana dan proses produksi vaksin Covid-19 serta suplainya, yang membuat pandemi semakin berkepanjangan.

Hal lain yang juga absen dan tidak kalah penting untuk dibahas ialah upaya aktif untuk menanggulangi dampak pandemi dan kapasitas politik untuk melakukan terobosan-terobosan politik pasca pandemi dari massa, rakyat pekerja. Apa saja inisiatif dan inovasi yang dilakukan oleh berbagai elemen dari rakyat pekerja, baik secara spontan dan organik maupun organisasional dan terkoordinir dalam mengatasi dampak pandemi, serta apa saja capaian dan batasan dari aktivitas-aktivitas tersebut? Seperti apa kekuatan politik riil dari massa sekarang dan apa langkah politik yang perlu dirumuskan setelah pandemi ini berakhir dengan kondisi massa yang terengah-engah bertahan hidup? Dengan kata lain, kita perlu membaca masalah dan merumuskan strategi-taktik yang lebih materialis.

Senada dengan kritik saya di atas, saya juga mempertanyakan prognosis dan proposal gegabah Martin mengenai tatanan politik dunia pasca pandemi. Gagasan datakrasinya terdengar lebih seperti kawin silang atau crossover mimpi-mimpi basahnya kaum libertarian pasar, fans determinisme teknologi, Budiman Sudjatmiko sang politisi boomer banyak gaya, dan golongan birokrat – baik Kanan, Kiri, maupun Tengah – yang mendambakan politik semudah menekan tombol piranti elektronik. Voila, Sim Salabim Abrakadabra! dan semuanya beres. Kritik Martin atas politik hak ada benarnya, tapi Martin mengabaikan fakta sejarah bahwa politik hak, merupakan salah satu konstituen utama dari politik manusia, setidaknya di Barat, dalam 2500 tahun terakhir. Diskursus dan konsepsi mengenai hak itu sendiri memang bisa diproblematisir dan bahkan dilampaui, tetapi mengeliminasinya sama sekali dari percakapan kita tentang politik menurut saya tidak produktif dan abai dengan peranan dan warisan dari politik hak itu sendiri. Kemudian, dikotomi simplistik antara ‘demokrasi’ dan ‘non-demokrasi’ bisa jadi mengecoh dan bahkan menipu. Faktanya, negara-negara yang mengimplan demokrasi elektoral menerapkan kebijakan lockdown dan sejumlah pembatasan mobilitas warga – sebuah hal yang tidak mengagetkan, mengingat demokrasi elektoral punya sejarah panjang membatasi hak di masa krisis, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat di masa kampanye anti-perbudakan ketika Abraham Lincoln menangguhkan habeas corpus (hak untuk diperiksa hakim dan tidak dipenjara sebelum disidang secara resmi) dan negara-negara Eropa yang membatasi aktivitas partai-partai politik yang dianggap ‘esktrimis’ di antara dua Perang Dunia. Di sisi lain, ada ruang-ruang inisiatif warga negara dan bahkan institusi-institusi demokratis dan partisipatoris di negara-negara ‘komunis otoriter.’ Pertanyaan yang lebih pas menurut saya adalah: apa argumen demokratis bagi pembatasan hak di masa pandemi dan seperti apa keputusan tersebut diambil dan diimplementasikan?

Lebih lanjut, pemaparannya dan pembelaannya atas datakrasi – setidaknya dalam versi yang ia pahami – membuang elemen-elemen politis dari operasi teknologi itu sendiri. Buat saya, sulit untuk memercayai hipotesis seperti ini. Bahkan kalau umat manusia sudah bisa tinggal di luar bumi dan terjadi interaksi antar-spesies (atau antar entitas manusia dan robotik) lintas galaksi; masyarakat dan relasi kelas kemungkinan besar tetap akan muncul. Selama ada interaksi sosial-produksi, sekalipun itu melibatkan genderuwo, plankton, mahluk Mars, atau droid Star Wars, maka relasi dan kesenjangan kelas kemungkinan besar akan selalu ada. Dengan kata lain, ini pada hakikatnya adalah persoalan ekonomi-politik dan masalah politik membutuhkan solusi politik. Apa yang seharusnya diperjuangkan bukanlah datakrasi per se, apalagi mengabsolutkannya. Apabila kita menjadikan pengetahuan dan sejarah Kiri sebagai basisnya, maka yang harusnya diperjuangkan adalah sosialisme sibernetik yang demokratis, terpimpin, dan dimotori rakyat pekerja, alih-alih datakrasi.

Analisis yang cenderung lebih analitis, materialis, dan membumi, menurut saya, dipaparkan oleh kawan-kawan Intrans. Di sini saya tidak akan banyak mengulang butir-butir pembahasan dari buku tersebut, melainkan hanya akan fokus ke beberapa bagian. Pertama, buku tersebut dengan cukup ekstensif membahas bagaimana kapitalisme turut berkontribusi kepada kerusakan alam, perpecahan metabolis antara manusia dan alam demi profit dalam tatanan kapitalis, dan pada akhirnya berkontribusi kepada merebaknya wabah penyakit termasuk Covid-19. Menurut saya, ini kontribusi penting yang perlu dibaca secara lebih luas oleh kalangan gerakan sosial di Indonesia sebagai referensi ilmiah maupun bahan diskusi untuk perumusan langkah-langkah konkret kedepannya, terutama di arena advokasi isu-isu kesehatan dasar publik, kesetaraan ekonomi, dan krisis sosio-ekologis.

Tetapi, ada satu hal yang luput dan perlu dibahas lebih lanjut, yaitu kritik internal dan simpatik terhadap eksperimen sosialis dan progresif di ranah kesehatan dan lingkungan hidup dalam berbagai bentuknya, antara lain solidaritas medis Kuba, politik ekososialisme partai-partai Kiri di Amerika Latin, dan politik Hijau di sejumlah negara Barat. Tentu saja keberhasilan dari proyek politik tersebut perlu diapresiasi, dipelajari, dan bahkan diemulasi dan diadaptasi di Indonesia. Akan tetapi, yang juga tidak kalah penting adalah melakukan kritik atas pencapaian tersebut. Kita bisa mengkritik imperialisme vaksin Barat dan mengapresiasi peranan Tiongkok dalam penyediaan vaksin bagi banyak negara berkembang dan di saat bersamaan mengkritik kualitas vaksin Sinovac dan intransparansi politik di belakangnya. Tanpa kritik internal, maka kita akan kesulitan dan bahkan gagal merumuskan solusi sosialis yang jitu terhadap persoalan kesehatan publik dan dalam masyarakat kapitalis.


Tiga Tantangan Besar pasca Pandemi

Kembali ke kondisi kita sekarang. Di Indonesia, kita menyaksikan inkompentensi pemerintah dan keabaian dari para elit – yang tidak pernah benar-benar peduli dengan rakyat pekerja – dalam menghadapi badai pandemi Covid-19. Apa yang membuat pilu dan membangkitkan amarah dari semua ini adalah fakta keras bahwa katastrofi ini bisa dihindari. Dengan penanganan yang lebih baik dan bahkan dari kacamata yang sangat utilitarian dan kapitalistik sekalipun, jumlah penderita Covid-19 dan korban kematian bisa ditekan secara lebih signifikan.

Namun, yang kita saksikan justru sebaliknya. Kebijakan yang buruk, pengabaian terhadap sains, dan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang elitis dan jangka pendek justru mendominasi penanganan pandemic Covid-19 di Indonesia. Hasilnya adalah ongkos nyawa dan kesehatan publik warga negara, terutama lapisan-lapisan paling marginal dari rakyat pekerja, yang menjadi bayarannya. Rezim Jokowi, ironisnya, melakukan kesalahan yang dilakukan oleh Rezim Modi beberapa waktu yang lalu. Rakyat pekerja, pada akhirnya, hanya bisa saling menolong satu sama lain dan menolong dirinya sendiri.

Sebelum kembali mengerjakan amanat-amanat yang lebih mendesak, baik dalam hal menjaga kesehatan bersama maupun tugas-tugas di gerakan sosial, izinkan saya memaparkan seperti apa kira-kira tiga tantangan yang akan kita hadapi di masa pasca pandemi ini ke depannya.

Pertama adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat. Kapitalisme memang senantiasa mengakibatkan krisis, tetapi pandemi Covid-19 kali ini semakin memperparah krisis tersebut. Pandemi semakin memperparah ketimpangan dan di saat yang bersamaan menyatukan banyak orang, terutama kelas-kelas pekerja dan lapisan yang rentan dari apa yang disebut sebagai ‘kelas menengah.’ Bahkan menurut Bank Dunia, status Indonesia turun dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah bawah. Dengan kata lain, proses-proses pemiskinan dan perampasan justru berjalan semakin intensif di kala pandemi (lihat bagaimana kapitalis raksasa seperti kapitalis vaksin alias Big Pharma dan Amazon meraup keuntungan besar selama pandemi).

Ini adalah bom waktu yang suatu saat akan meledak. Dengan kondisi publik secara umum yang babak belur dihajar pandemi, ketidakpuasan kepada kerja pemerintah, dan kondisi politik yang semakin illiberal alias represif secara perlahan, maka bagi saya tidak mengejutkan apabila terjadi letusan-letusan protes dan aksi massa di beberapa tahun ke depan. Tahun lalu, kita menyaksikan gelombang aksi massa yang besar bahkan di tengah-tengah kondisi pandemi. Ketika jumlah angka kasus dan kematian menurun dan kondisi kehidupan pelan-pelan kembali membaik, bukan tidak mungkin bahwa publik akan mengekspresikan ‘amarah demokratis’ mereka dengan jalur-jalur kontestasional.

Kedua adalah posisi sains di tengah masyarakat. Pandemi membuka fakta bahwa sikap anti-sains begitu mengemuka di kalangan elite politik, ekonomi, dan keagamaan. Tenang saja, ini bukan perkara yang khas Indonesia. Di Amerika Serikat, politisi Republikan Kanan-ekstrim seperti Marjorie Taylor Greene terus menerus mengampanyekan propaganda anti-vaksin. Tentu kita sering mendengar bagaimana misinformasi mengenai persoalan pandemi dan pengabaian terhadap sains dan ilmu pengetahuan juga marak menyebar di masyarakat. Tugas gerakan progresif ke depan adalah membangun perangai ilmiah atau scientific temper secara kontekstual dan masif di tengah-tengah massa. Politik emansipatoris haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan program sosialis haruslah mendorong demokratisasi akses kepada sains. Mungkin kita bisa sedikit menengok dan belajar dari Kerala tentang peranan gerakan Kiri dalam mendemokratisasikan sains dan mendorong kesehatan publik.

Tantangan ketiga dan yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah menguatnya tendensi politik Bonapartis dalam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia, para pengamat dan pengkaji politik melabeli ini sebagai illiberal turn (belokan illiberal) atau kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi ini bukan hanya persoalan kecenderungan illiberal dalam artian behavioral dan kultural, melainkan suatu fenomena struktural yang akan muncul dan menguat dalam konjungtur-konjungtur politik tertentu demi restorasi dan stabilitasi tatanan kapitalis.

Indonesia saat ini mengingatkan saya kepada Republik Weimar di Jerman (1918-1933). Capaian-capaian reformasi, sebagaimana nasib politik reformis di Republik Weimar, ternyata tidak sekokoh yang kita kira. Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia sama dengan Republik Weimar – jelas berbeda. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara konteks sejarah dunia dan kapitalisme global yang dihadapi dua entitas politik tersebut. Tetapi, Indonesia bisa belajar dari nasib Republik Weimar: dampak dari krisis kapitalisme yang akseleratif dapat berujung kepada keruntuhan tatanan liberal demokratik, krisis politik yang penuh letupan, dan kebangkitan politik otoriter.


Melihat tren politik Indonesia yang semakin mengkhawatirkan belakangan ini, serta kecenderungan lapisan oligarki, kelas kapitalis secara keseluruhan, dan elit negara pendukungnya untuk mengamankan ‘stabilitas’ bahkan dengan mengorbankan demokrasi dan nasib rakyat pekerja, maka kita perlu waspada dan bersiap dengan perkembangan ke depan.

Inilah tantangan-tantangan yang akan kita hadapi dalam beberapa tahun ke depan. Cepat atau lambat, suka tidak suka, siap tidak siap, kita akan menghadapinya. Sekali lagi, gerakan sosial dan rakyat pekerja di Indonesia kembali dihadapkan dalam sebuah situasi maha sulit dan dipaksa untuk mencari jalan keluar dari krisis yang pelik ini.***


Iqra Anugrah, co-editor IndoPROGRESS

Cawe-cawe Menuju 2024, Mempertahankan Demokrasi atau Syahwat Berkuasa

Jelang Pemilu, Quo Vadis Independensi Lembaga Negara?

Sabtu, 10 Juni 2023 

https://www.law-justice.co/artikel/151270/jelang-pemilu-quo-vadis-independensi-lembaga-negara/

Excerpts from my interview with Law & Justice.co

law-justice.co – Hawa politik semakin memanas di tahun politik.Hanya beberapa bulan menuju Pemilu 2024, intrik politik mulai diluncurkan oleh para elite politik. Sehingga rakyat seolah dibikin melihat dinamika perpolitikan kini hanya seputar pertarungan antara kelompok politik penguasa pro status quo melawan kelompok oposisi yang menghendaki peralihan kekuasaan. 

Ikut campurnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam politik elektoral jelang Pemilu, semakin membuat panas iklim politik dalam negeri. Mulanya, gelagat politik ini terkesan samar-samar, namun belakangan justru Jokowi mengakui dirinya sedang cawe-cawe untuk pemenangan capres dari partainya, PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo. 

Cawe-cawe sebuah frasa lama yang secara harafiah, menurut Kamus besar Bahasa Indonesia,  memiliki makna ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani. Namun, saat memasuki khazanah politik, kecenderungan aksi akan menentukan nilai dari kata cawe-cawe ini…..

Pertarungan Elit Hanya Untungkan Oligarki, Rakyat Dapat Apa?

Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden, Iqra Anugrah, mengungkapkan dinamika politik yang terjadi hari-hari ini jelang Pemilu merupakan pertikaian antar oligarki. Baik mereka yang berada dalam status quo kekuasaan maupun mereka kelompok oposisi. Ia menjelaskan, tesis oligarki dalam politik Indonesia ini merujuk ke bagaimana politik, bahkan dalam sistem demokrasi elektoral sekalipun, itu seringkali didominasi oleh jejaring elite ekonomi dan politik yang bermuara pada kepentingan segelintir elite. 

“Terkait dinamika politik hari ini, yang saya ingin tekankan jangan sampai kita lupa gambaran besarnya bahwa yang terjadi adalah sebenarnya kompetisi intra oligarki di antara aktor-aktor dalam jejaring oligarki itu sendiri. Mereka memiliki pertemuan kepentingan yang sangat erat. Jadi, kita bukan berbicara individu ke individu, tokoh ke tokoh, tapi mengenai jejaring elite politik yang senantiasa mereproduksi dirinya sehingga bisa membajak proses dan juga juga tujuan dari mekanisme demokrasi itu sendiri,” kata Iqra saat dihubungi Law-justice, Rabu (7/6/2023). 

Iqra menitikberatkan praktik oligarki yang menggerogoti sistem politik Indonesia hari ini merupakan manifestasi wajah politik Tanah Air sejak lama. Meski ada letupan-letupan kecil dari kalangan reformis pasca era Orde Baru untuk mengubah karakteristik politik, akan tetapi pada akhirnya luruh pada kekuasaan.  “Politik Indonesia pasca Reformasi bisa dibilang bagian dari reproduksi dari proses oligarki tersebut. Meskipun kerap disebut Jokowi di awal-awal kemunculannya sebagai tokoh reformis ketika naik takhta kepemimpinan nasional di 2014. Tapi pada perjalanannya, ia masuk dalam jejaring oligarki itu” ujar dia. 

Iqra Anugrah, Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden.

Ia berkata, dalam relasi oligarki, para elite partai politik yang ada ini memiliki kuasa untuk memframing arah demokrasi berdasar kepentingan. Lalu, berdaulat atas kontrol sumber daya politik, ekonomi dan sumber daya alam, macam tanah hingga batubara. Jika ditilik, di antar kubu politik yang tengah bertikai, terdapat karakteristik oligarki tersebut. Misal para elite politik yang memiliki jejaring bisnis di sektor ekstraktif.

Di kubu Jokowi, ada nama Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki korporasi tambang batubara bernama PT Toba Sejahtera. Sedangkan, di kubu Anies, bercokol Surya Paloh yang memiliki kapital melalui perusahaan tambang seperti PT Emas Mineral Murni dan PT Surya Energi Raya.   

Pandemi Bisa Sebabkan Krisis Pangan, Peneliti: Cegah Alih Fungsi Lahan Jadi Solusi

https://lipsus.kompas.com/pameranotomotifnasional2024/read/2020/04/29/075515326/pandemi-bisa-sebabkan-krisis-pangan-peneliti-cegah-alih-fungsi-lahan-jadi?page=all#page2

29 April 2020

KOMPAS.com – Peneliti agraria di Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto Jepang Iqra Anugrah mengatakan, dari perspektif agraria dampak dari pandemi Covid-19 cukup mengkhawatirkan dan patut diwaspadai. “Krisis pangan akan terjadi, dan yang akan terdampak adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan,” katanya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (29/4/2020).

Masalah ini pun sesuai dengan peringatan Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang menyebut dampak pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan resesi ekonomi, tapi juga berpotensi pada krisis pangan global.

Untuk itu, Iqra menilai, langkah mitigasi guna mencegah krisis kebutuhan pangan ini mutlak dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah dengan mencegah alih fungsi lahan.

“Mencegah alih fungsi lahan sangat penting, tapi tidak cukup itu. Selain itu, yang harus didorong adalah pembangunan sektor agraria yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, alih-alih sekadar pasar,” katanya.

Lalu, langkah berikutnya adalah mendorong adanya agenda redistribusi lahan dan penyelesaian konflik-konflik agraria.

“Terakhir, pemerintah juga perlu mengakomodasi pola kepemilikan lahan yang bersifat komunal agar dikelola oleh organisasi dan komunitas rakyat di pedesaan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, Iqra juga menyarankan agar pemerintah segera mengawasi dan menghentikan praktik spekulasi lahan yang dilakukan oleh bisnis skala besar yang cenderung terjadi di tengah masa krisis.

“Hal ini semata agar tidak ada alih fungsi lahan besar-besaran saat krisis terjadi,” ujar pria yang juga peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ini.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu pula menggandeng komunitas rakyat dalam menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi ini.

Gotong royong antar elemen ini penting guna memastikan tidak ada yang kekurangan pangan di masyarakat.

“Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan berbagai inisiatif yang dilakukan komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi rakyat yang telah melakukan upaya untuk menyediakan stok pangan, baik bagi warga desa maupun konsumen di perkotaan,” tandasnya.

Mentan akan tindak pelaku konversi lahan

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menegaskan, pihaknya akan menjaga eksistensi lahan pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan 267 juta masyarakat secara mandiri.

“Kalau alih fungsi lahan dibiarkan, besok anak-anak kita mau makan apa? Boleh ada perumahan, boleh ada hotel, tapi tidak boleh merusak lahan pertanian yang ada,” ujar menteri yang akrab disapa SYL ini.

Untuk itu, dia pun mengingatkan, kini sudah ada peraturan daerah (perda) perlindungan lahan abadi pertanian yang sudah ditandatangani untuk tidak dialihfungsikan oleh kepala daerah.

Bagi pihak yang melakukan alih fungsi lahan sesuai dengan UU Nomor 51 tahun 2009 akan dikenakan sanksi penjara 5 tahun.

Hal ini juga didukung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang telah memberikan surat edaran kepada seluruh gubernur, bupati dan wali kota seluruh Indonesia untuk turut dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan dan Penetapan Kawasan/Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

“Jangan sampai ada konspirasi tanda tangan pejabat, DPR atau segala macam untuk konversi lahan pertanian, penjaranya 5 tahun. Ada undang-undangnya itu,” jelasnya.

Perlu diketahui, pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).

Kementan dalam hal ini telah secara aktif melakukan upaya pencegahan alih fungsi lahan secara masif melalui pemberian insentif bagi pemilik lahan.

Insentif tersebut berupa pemberian berbagai bantuan sarana produksi tani (Saprodi) seperti alat mesin pertanian, pupuk, dan benih bersubsidi.

“Upaya pencegahan alih fungsi lahan, salah satunya dengan single data lahan pertanian. Data pertanian itu harus satu, sehingga data yang dipegang Presiden, Gubernur, Bupati, Camat sampai kepala desa semuanya sama, termasuk masalah lahan pertanian dan produksi,” tuturnya.

Mudahnya perizinan

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy menambahkan, makin berkurangnya lahan pertanian salah satunya disebabkan mudahnya izin alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

Hal itu dikarenakan, lahan pertanian pangan, terutama sawah, merupakan lahan dengan land rent yang rendah.

“Diharapkan dinas terkait khususnya pertanian mengetahui dan diikutsertakan juga dalam pembentukan Tim Teknis,” terang Sarwo.

Dia juga menjelaskan, dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kab/Kota (RTRWK) sangat penting dan perlunya peran serta Badan Pelayanan Perizinan Terpadu.

Penyebab lainnya, lanjut Sarwo, adalah permasalahan lambatnya penyusunan perda tentang RTRW Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Dia menerangkan, Perda RTRW Kabupaten/Kota yang sudah dibahas di tingkat pusat dalam hal ini Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) Pusat masih dibahas kembali dengan DPRD Kabupaten/Kota termasuk pembahasan (LP2B).

“Diharapkan Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten/Kota agar aktif mengikuti perkembangan penyusunan RTRW di masing-masing wilayahnya,” tukasnya.

Lahan Pertanian Kian Sulit Diakses, Aktivis Tidak Tinggal Diam

Ekspansi pasar ke daerah perdesaan berdampak negatif bagi kepemilikan tanah bagi petani (Terbit 2 Desember 2020)

https://www.genpi.co/berita/73424/lahan-pertanian-kian-sulit-diakses-aktivis-tidak-tinggal-diam

Forum Diskusi Publik bertajuk Konflik Agraria serta Akses Masyarakat Lokal dan Adat terhadap Tanah yang diselenggarakan secara virtual, Senin (30/11/2020).

GenPI.co – Akses petani terhadap lahan pertanian makin hari makin sulit di Indonesia. Hal ini mendorong diselenggarakan Forum Diskusi Publik bertajuk Konflik Agraria serta Akses Masyarakat Lokal dan Adat terhadap Tanah yang diselenggarakan secara virtual, Senin (30/11/2020).

“Demokrasi mengandaikan keadilan dan kesetaraan, tapi faktanya petani makin susah dan masyarakat adat terpinggirkan,” kata akademisi Musa Maliki. Ekspansi pasar ke daerah perdesaan berdampak negatif bagi kepemilikan tanah para petani. Para aktivis petani pun merespons keadaan ini, baik yang berfokus pada masyarakat maupun kebijakan. “Mereka yang fokus pada masyarakat lebih menekankan pada mobilisasi massa petani untuk memperjuangkan hak atas tanah mereka hingga pembentukan koperasi,” kata peneliti dan akademisi Iqra Anugrah. Sementara itu, aktivis petani yang berfokus pada kebijakan cenderung memperjuangkan perubahan kebijakan secara institusional.

“Para aktivis ini akan memperjuangkan hak atas tanah lewat advokasi hukum atau penetrasi produk tani secara gencar ke pasar untuk meningkatkan daya jual,” ujar Iqra.

What’s Next for Asia’s Social Movements?

Interview with The Nation

The pandemic gives states an excuse to clamp down on the opposition, but it will also allow protesters to build solidarity with their communities.

Pemerintah Diminta Tak Anggap Sepele Ancaman Krisis Pangan Dunia

Wawancara oleh VivaNews

Oleh :

  • Fikri Halim
  • Eduward Ambarita

VIVAnews – Pandemi corona yang berdampak pada dunia disebut bakal berimbas pada kemungkinan krisis pangan. Peneliti Agraria dari LP3ES, Iqra Anugrah, menanggapi kondisi terkini dan menyarankan supaya pemerintah mewaspadai.

Menurutnya, tingkat kewaspadaan perlu ditingkatkan lantaran masa pandemi tidak hanya memengaruhi ekonomi, juga berpotensi mengarah pada krisis pangan global.

“Dari perspektif agraria, dampak pandemi covid-19 ini memang mengkhawatirkan. Krisis pangan akan terjadi, dan yang akan terdampak adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan,” kata Iqra, Senin 27 April 2020.

Iqra menyebut, langkah mitigasi guna mencegah krisis pangan mutlak dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan mencegah alih fungsi lahan. Pemerintah juga didorong fokus pada pembangunan sektor agraria yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, bukan alih-alih sekadar kebutuhan pasar semata.

“Harus didorong lebih lanjut adalah agenda redistribusi lahan. Serta, penyelesaian konflik-konflik agraria. Pemerintah juga perlu mengakomodir pola kepemilikan lahan yang bersifat komunal agar dikelola oleh organisasi dan komunitas rakyat di pedesaan,” katanya.

“Mencegah alih fungsi lahan sangat penting,” tambahnya.

Iqra menyebut, pengawasan dan menghentikan praktik spekulasi lahan yang dilakukan oleh bisnis skala besar justru cenderung terjadi di tengah masa krisis. Hal ini semata agar tidak ada alih fungsi lahan besar-besaran saat krisis terjadi.

Keterlibatan komunitas rakyat dalam menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi dianggap penting.

“Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan berbagai inisiatif yang dilakukan oleh komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi rakyat yang telah melakukan upaya untuk menyediakan stok pangan, baik bagi warga desa maupun konsumen di perkotaan,” kata dia.

It’s a Wrap!

Finally, after spending two years in Indonesia for dissertation research I have an announcement: my fieldwork has come to an end!

What was expected to be a year-long research ended up as two-years stay in the country – in fact, my longest stay after high school. Over the course of my fieldwork, I – rather unsurprisingly I’d say – ended up doing or getting involved in things outside of my research activities too. Essentially, it is a re-engagement with the Indonesian social movement landscape. I have to emphasize that this is not a bad thing. In fact, it helps a lot with my research.

Now, my days in Indonesia are numbered. I got my visa already and booked my flight back to my home institution, NIU. On August 21 I’ll be heading back to the US. Time indeed flies.

I will still go back for sure, but for now, let me say thank you very much for the many people, informants and good samaritans, comrades and colleagues, friends and families, who’ve helped me along the way. I can never repay your kindness – but let it be known that your contribution will always be remembered and acknowledged.

So au revoir! On to the writing phase!

Para Pejuang Kendeng

Oleh: Iqra Anugrah

NYARIS tiga tahun sudah para petani Kendeng melakukan perlawanan menghadapi PT Semen Indonesia. Terhitung sejak Juni 2014, para petani melakukan protes dengan berbagai cara, termasuk dengan mendirikan tenda – yang kemudian beserta mushalla warga juga diluluhlantakkan – di depan pabrik semen. Jikalau dihitung dari tahun 2006, ketika lawan masih bernama PT Semen Gresik, maka hampir satu dekade sudah gelombang perlawanan para petani Kendeng berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, saya mencoba terlibat dalam aksi perlawanan ini, terutama akhir-akhir ini ketika para sedulur melancarkan aksi cor kaki di depan Istana Negara.

Tujuan perlawanan ini jelas: ini masalah penghidupan, juga lingkungan, dan yang terpenting, hak. Rasanya, tidak sulit untuk memahami ini. Dalam kenyataannya, pesan ini begitu kabur dan terdistorsi. Para sedulur Kendeng mungkin sudah kenyang mendapatkan segala macam cap: warga-warga lugu yang gampang ditipu dan dihasut, massa bayaran, provokator, hingga yang paling lucu menurut saya, anti-NKRI. Sialnya lagi, liputan berita ini juga hanya sayup-sayup terdengar, tertutupi oleh berita-berita konflik elit – termasuk soal pilkada Jakarta sialan itu.

Tapi para sedulur tidak menyerah.

Tidak sekali saya dengar celetukan bernada resah yang muncul di kalangan aktivis: Bagaimana mungkin berita tentang upaya perlawanan ini dipelintir sedemikian rupa? Kok bisa? Lantas, saya menjawab: mengapa heran?

Tidak perlu heran apabila perlawanan para sedulur di Kendeng dan juga perlawanan-perlawanan kaum tani di berbagai tempat lainnya di Indonesia sering mendapatkan cap-cap peyoratif. Karena, dalam sejarahnya, para penguasa dan kelas-kelas yang menindas selalu berkepentingan untuk mendiskreditkan gerakan rakyat. Gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri jajahan dicap sebagai ‘para provokator’, gerakan hak-hak sipil di Barat dilabeli ‘terlalu radikal’, gerakan buruh dianggap sebagai ‘tukang bikin onar yang bikin macet jalan’, gerakan perempuan dituding ‘melanggar norma-norma kesusilaan’, gerakan kaum miskin kota dicurigai ‘rawan ditunggangi.’ Dan seterusnya dan seterusnya.

Sudah dari sononya, bahwa, dalam masyarakat kelas, tudingan-tudingan picik terhadap gerakan rakyat seperti ini akan selalu muncul.

Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila dalam beberapa minggu terakhir muncul komentar-komentar bernada nyinyir dan melecehkan maupun sikap diam seribu bahasa yang tidak kalah memuakkannya. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Azam Azman Natawijaya adalah triumvirat penguasa dari lapis kekuasaan yang berbeda – kepala eksekutif nasional, kepala daerah, dan unsur pimpinan parlemen – yang sikap politiknya melegitimasi berdirinya pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng. Atau, dalam bahasa yang lebih gamblang, jikalau anda anti political correctness yang berlebihan, melegitimasi perampasan tanah besar-besaran, penghancuran penghidupan masyarakat agraris, dan krisis ekologis akut di daerah tersebut serta memberi bahan bagi proyek-proyek pembangunan skala besar yang menghisap hasil kerja dan penghidupan rakyat di banyak tempat di nusantara.

Ganjar, si Marhaen gadungan itu, mengeluarkan izin baru pembangunan pabrik PT Semen Indonesia yang berarti melanggar putusan Mahkamah Agung yang sudah membatalkan izin tersebut. Kata Jokowi, “urusan daerah bukan urusan saya.” Apa yang mau diharapkan dari seorang presiden developmentalis pro-investasi berjubah baru? Komentar si bedebah Azam? Tidak perlu ditanggapi, karena isi kepalanya mungkin tidak lebih berharga dari adukan semen yang sudah terlalu lama ditinggal. Toh, dengan komentar sopan maupun kurang ajar, diinjak penguasa bajingan mau bagaimanapun tidak enak rasanya.

Kita daftar dan sebut lagi contoh-contoh lain yang tidak kalah menjengkelkannya. Sebut saja dua nama ‘tokoh kebudayaan’ apkiran: Timur Sinar Suprabana dan Denny Siregar. Si Pak Tua Timur dengan pongahnya membuat komentar nyinyir atas aksi cor kaki para sedulur. Seakan berlomba dengan Timur, Denny Siregar – yang tidak mau datang ke diskusi dan debat terbuka karena baper duluan (yaelah katanya Deadpool, belum diserang kok sudah kalah walkout?) – menuding bahwa aksi para sedulur Kendeng, yang telah berlangsung berhari-hari itu hingga sekarang, adalah aksi yang dikompori oleh aktivis dengan tujuan-tujuan tertentu yang menyengsarakan rakyat. Mereka, entah sadar maupun tidak, dengan orderan maupun tidak, sesungguhnya telah melakukan kekerasaan kebudayaan untuk mendiskreditkan gerakan-gerakan rakyat. Mereka, dengan puisi-puisi dan esai-esai mereka yang lebih hancur kualitasnya dengan kertas pembungkus gorengan atau tisu toilet, telah melayani kepentingan rezim.

Dengan kata lain, para penguasa dan budayawan gadungan ini adalah musuh-musuh rakyat baru!

Bagaimana dengan para ‘aktivis’ di lingkaran kekuasaan istana. Oh kawan, janganlah kau mimpi di siang bolong. Mungkin perlu kau baca lagi debat-debat teoretik dan rujukan-rujukan sejarah soal gerakan rakyat, bukan hanya laporan riset empirisis maupun laporan donor hasil dari agitprop – agitasi proposal maksudnya. Mengharapkan mereka yang sudah masuk di dalam lingkaran kekuasan untuk mendorong perubahan tapi lupa akan potensi emansipatoris dari gerakan rakyat adalah tendensi borjuis kecil! Terakhir kali saya cek, sejumlah ‘intelektual-aktivis’ yang tergabung dalam Kantor Staf Presiden, seperti Teten Masduki dan Noer Fauzi Rachman hanya menjadi resepsionis dan jubir bagi presiden. Paling-paling komentar soal KLHS. Di mana suara mereka soal reforma agraria? Mudah-mudahan, sebagai seorang pegiat yang masih hijau dalam dunia gerakan rakyat, saya berdoa supaya mereka terhindar dari virus karirisme. Jikalau tidak, mungkin KSP sebaiknya ganti nama saja menjadi ini: Komprador Suruhan Pemodal!

Tentu saja, bagi para musuh rakyat – atau mereka yang mungkin pelan-pelang berpaling dari gerakan rakyat – tidaklah penting apabila klaim-klaim mereka sesungguhnya adalah klaim-klaim kontrarian yang berisi logika otak atik gathuk. Tidaklah penting juga apabila tuduhan-tuduhan mereka bersifat ahistoris dan tidak ilmiah. Toh, di zaman kapitalisme digital yang serba instan nan medioker ini, yang terpenting adalah bagaimana suatu klaim dapat secara cepat dan mudah dipakai untuk melayani kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik tertentu – yang pada ujungnya adalah reproduksi dan penguatan hierarkhi dari masyarakat kelas itu sendiri. Hoax maupun onggokan informasi-informasi sampah lainnya memiliki fungsi yang sama dengan desas-desus seputar Peristiwa G30S atau Kebakaran Reichstag: digunakan untuk melayani kepentingan yang berkuasa dan mendiskreditkan gerakan rakyat.

Tetapi, justru persis di masa seperti inilah, adalah penting untuk kembali melihat sejarah perjuangan rakyat. Kaum tani di nusantara punya sejarah perlawanan panjang melawan ragam-ragam bentuk penindasan, mulai dari tarif pajak yang terlalu tinggi hingga gangguan atas corak hidup subsisten mereka oleh apa yang disebut sebagai relasi sosial kapitalis. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Abad ke-20, sebagaimana dicatat oleh Eric Wolf, menyaksikan perlawanan skala besar kaum tani menghadapi neokolonialisme dan imperialisme yang semangatnya sering sekali berkelit-kelindan dengan semangat perjuangan pembebasan nasional, mulai dari Russia, Meksiko, Tiongkok, Aljazair, Kuba, hingga Vietnam. Bahkan, ketika perlawanan kaum tani tidak mengambil corak yang terbuka atau manifes, perlawanan tersebut tetap berlanjut dalam ranah yang lebih keseharian, melalui gosip, memberikan hasil ternak dan tani berkualitas rendah di kala penarikan pajak sebagai bentuk protes, sarkasme, dan lain sebagainya.

Juga, kaum tani, sebagaimana bagian dari kelas yang tertindas, memiliki imajinasi atas dan kemampuan untuk membayangkan tatanan yang lebih baik – dunia di mana kesejahteraan dan kemajuan dapat dimiliki dan dinikmati secara bersama. Sebagai contoh, satu episode sejarah yang orang sering lupa dari masa-masa awal pergolakan Restorasi Meiji adalah partisipasi petani dalam episode ‘Zaman Bergerak’ tersebut. Dalam The Culture of the Meiji Period, Daikichi Irokawa mencatat bagaimana para petani dan pemuda desa di banyak tempat bereksperimen dalam bidang ketatanegaraan dengan merancang draft-draft konstitusi menyambut zaman yang baru. Contoh lain: dalam amatan saya dalam kerja-kerja lapangan yang saya lakukan untuk penelitian, saya menyaksikan bagaimana para bapak dan ibu tani mengasah insting ekonomi mereka, merumuskan aksi-aksi politik kolektif dan membayangkan tatanan ekonomi yang lebih baik, serta memiliki kemampuan humor dan sarkasme yang luar biasa jenakanya: dalam satu kesempatan, saya pernah ngobrol dengan sejumlah kawan petani di Sulawesi yang menyindir sejumlah pejabat dan politisi yang ngotot dengan usulan konservasi anti-manusia. Kata mereka, “ya silahkan saja bapak usir kami dari tempat tinggal kami, tapi nanti kalau ada penyuluhan atau pemilu biar yang datang paling rusa dan babi hutan, kan mereka yang bapak lindungi, bukan kami.” Sebuah lelucon satir yang hanya dapat muncul dari mereka yang tetap konsisten melawan sembari mencintai hidup.

Ini semua mungkin dianggap tidak penting oleh para musuh rakyat itu. Atau, lebih tepatnya, mereka jangan-jangan tidak memiliki kemampuan untuk memahami hal-hal seperti itu. Jangankan terlibat dalam gerakan rakyat, membaca literatur soal kehidupaan petani pedesaan (atau mencoba memahami strategi subsistensi para petani yang berbasis pada hubungan kekerabatan sosial pedesaan, yang menjelaskan mengapa para petani Kendeng tidak mau menjadi buruh pabrik semen dan dapat meninggalkan keluarga mereka di kampung halaman), atau melakukan riset-riset kecil soal keagrariaan saja mungkin mereka tidak mampu dan tidak mau. Mungkin karena mereka kebanyakan makan rente pemodal atau menulis dengan ejaan untuk bahan lawakan receh se!per!ti! i!ni! Toh, mereka dengan senang hati merayakan bias-bias kelas, urban, dan gender yang mereka idap – sebuah simptom dari penyakit waham borjuis yang sudah begitu mendarah daging di dalam diri mereka. Mereka, yang imajinasinya kerdil dan miskin itu, sesungguhnya hanya merapal dan memamah biak sangkaan-sangkaan dan mantra-mantra Orde Baru – oh, warga (kategori subyek politis yang dinetralkan dan didepolitisasi) butuh pembangunan (ya, pembangunan kapitalis yang mengekstraksi surplus dari pedesaan untuk kepentingan orang-orang kota dan elit-elit desa) dan mereka yang melawan kalau bukan provokator (orang desa/petani bodoh dan gampang kena hasutan) berarti pasukan bayaran (lupa bahwa solidaritas kolektif dapat muncul dari pengalaman bersama dalam ketertindasan, lagipula, soal bayaran, hello, ngaca dulu dong). Sialnya, retorika-retorika sampah ini kemudian dilepeh lagi dan dikunyah beramai-ramai oleh lapisan-lapisan borjuis unyil karbitan yang makin hari kian kelihatan bagai jamur yang tumbuh setelah hujan.

Saya tidak heran: toh klaim gerakan rakyat memang selalu membuat penguasa bergetar. Karenanya, berjuta fitnah dilancarkan untuk melemahkan klaim tersebut. Tetapi para sedulur tidak menyerah.

Aksi cor semen bukanlah suatu kesia-siaan. Besar kemungkinan, proyek investasi besar-besaran rezim Jokowi tetap berjalan, pembangunan pabrik semen hanya berhenti untuk sementara, dan isu-isu agraria kembali akan menjadi ‘angin lalu’ yang tertutupi oleh isu-isu elit yang lain – perang oligark dalam pilkadal Jakarta misalnya (buzzer Anies maupun Ahok, I’m looking at you). Tetapi, ia telah berhasil mengundang gelombang perlawanan yang lebih besar. Pertama-tama dan terutama, para sedulur telah memberikan teladan yang luar biasa: keberanian dan konsistensi dalam melawan. Aksi cor kaki bukanlah aksi siksa diri yang egoistis, sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak. Jauh dari itu, aksi cor kaki adalah aksi perlawanan yang politis, militan, dan penuh integritas. Aksi tersebut hanya dapat muncul dari mereka yang mencintai hidup dan penghidupannya dan setia akan cita-cita kemajuan bersama – alih-alih bagi segelintir elit – yang dapat dinikmati oleh semua. Aksi cor kaki para sedulur juga mengingatkan kita kembali akan satu hal yang penting: perlunya untuk tetap setia di garis massa. Kita bisa memproblematisir dan mengkritik strategi dan taktik dari aksi tersebut (tentu saja, secara konstruktif alih-alih nyinyir), tetapi, setidak-tidaknya, aksi ini telah berhasil menjadi momentum untuk mengumpulkan energi perlawanan, memperluas titik perlawanan, dan menjadi bahan untuk merumuskan lokus perlawanan baru melawan rezim developmentalis pro-investasinya Jokowi.

Tugas untuk kita ke depan adalah untuk mempertajam dan semakin memprogresifkan perlawanan ini. Untuk itu, izinkanlah saya menyebutkan beberapa usulan yang dapat didiskusikan dan diperdebatkan lebih lanjut. Pertama, orientasi ke depan dari gelombang perlawanan anti-semen, yang mulai menjamur dari Jawa hingga Sulawesi, perlu diperluas, diperdalam, dan dimajukan, bukan hanya mencakup persoalan Pegunungan Kendeng dan berorientasi defensif-moderat untuk menolak pembangunan pabrik semen, tapi dimajukan menjadi suatu formasi aliansi nasional yang menolak pembangunan infrastruktur ala rezim investasi Jokowi dengan orientasi dan tendensi politik anti-neoliberalisme.

Kedua, skala dan cakupan waktu dari aksi-aksi perlawanan ini perlu diperluas dan diperpanjang secara strategis, mengingat keterbatasan waktu dan logistik yang kita punya. Agenda-agenda mobilisasi ke depan dalam momen-momen tertentu, termasuk agenda internasionalisasi isu pabrik semen di Pegunungan Kendeng dan isu-isu agraria lain di Indonesia menjadi penting.

Ketiga, identifikasi kasus-kasus agraria lain yang tidak kalah penting dan mendesak menjadi penting, di Tulang Bawang (Lampung) dan Sukamulya (Jawa Barat) misalnya, serta kasus-kasus kriminalisasi petani dan aktivis agraria di banyak tempat. Kasus pabrik semen di Pegunungan Kendeng yang sekarang sedang mendapatkan spotlight perlu dijadikan bahan untuk menaikan leverage atau posisi tawar gerakan sosial dalam mengadvokasi isu-isu agraria lain tersebut.

Keempat, upaya kerja-kerja ilmiah (atau dalam bahasa yang lebih ortodoks, saintifik dan teoretik) dan kerja-kerja framing advokasi (atau, lagi-lagi dalam bahasa yang lebih ortodoks, agitasi dan propaganda) juga menjadi penting dalam aksi-aksi perlawanan seperti ini. Studi-studi agraria dan kajian-kajian teoretik soal strategi gerakan sosial menjadi semakin perlu untuk dikaji untuk menjadi bahan advokasi dan pendidikan publik serta pembuatan strategi politik. Setidaknya, ada dua poin penting yang dapat kita tarik dari aksi perlawanan para sedulur yaitu 1) bahwa perjuangan para sedulur dan kelas tertindas lainnya adalah perjuangan atas hak yang berarti memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat lain yang juga tertindas – kita dan 2) perjuangan gerakan sosial perlu meninggalkan strategi bergantung dan berharap kepada elit – termasuk para aktivis yang sudah masuk ke dalam lingkaran rezim – dan perlu kembali serius memperbincangkan strategi politik yang lebih independen dan progresif, termasuk strategi untuk merebut kekuasaan dan melampaui logika kedaulatan negara.

Terakhir, pelajaran berharga lain yang tidak kalah pentingnya dari strategi perlawanan para sedulur Kendeng adalah keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam gerakan sosial. Ini dibutuhkan bukan hanya untuk meradikalisasi arah dan tujuan dari gerakan sosial itu sendiri tapi juga untuk mendorong terwujudnya emansipasi seluas-luasnya dengan berlatih di ranah yang paling dekat.

Perlawanan tentu saja masih panjang. Hari-hari penuh protes belum akan berakhir, dan semangat perlawanan masih terasa pekat di udara. Namun, setidaknya kita tahu, bahwa klaim-klaim para elit dan makelar kariris pendukungnya semakin lama semakin terblejeti, gelombang perlawanan semakin meluas, dan tentu saja, pengorbanan Yu Patmi dan para kawan-kawan tani lainnya tidak akan sia-sia.***

Saya berterima kasih kepada sejumlah rekan terutama kawan-kawan Forum Islam Progresif (FIP) atas diskusi dan kerja bersama yang cukup intens dalam persoalan Kendeng yang hasilnya menjadi bahan untuk penulisan artikel ini.

Penulis adalah editor IndoPROGRESS dan pembelajar isu-isu agraria

10 Tahun Melawan Lupa, Memperjuangkan Keadilan

Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati

We realize that to demand the fulfillment of human rights is a revolutionary act,
that to question the government about bringing our children back alive was a revolutionary act.

We are fighting for liberation, to live in freedom, and that is a revolutionary act…To transform a system is always revolutionary.”
Mothers of the Plaza de Mayo

10 TAHUN sudah Aksi Kamisan berlangsung di depan Istana Negara. Kamis lalu, 19 Januari 2017, menandai satu dekade diselenggarakannya aksi penuntutan keadilan bagi korban penghilangan paksa dan pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang diselenggarakan setiap Kamis petang di depan Istana Negara. Aksi yang pada mulanya diinisiasi oleh paguyuban korban dan keluarga korban dan terinspirasi dari gerakan Mothers of the Plaza de Mayo di Argentina ini kemudian meluas, diikuti oleh elemen-elemen masyarakat sipil dan gerakan sosial lainnya. Dalam perkembangannya, Aksi Kamisan pun diadakan di sejumlah kota lain di luar Jakarta, seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang.

Kami beserta sejumlah rekan lain berkesempatan untuk menghadiri Aksi Kamisan yang ke-10 tahun pada Kamis lalu. Sejumlah elemen-elemen gerakan dari berbagai komunitas dan lintas generasi turut meramaikan Aksi ke-477, yang kembali menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dan penegakkan hukum oleh pemerintah. Dengan melibatkan sejumlah seniman dan musisi, peringatan 10 tahun Aksi Kamisan menjadi terasa semakin dapat merangkul lebih banyak orang.

Fakta bahwa Aksi Kamisan telah mencapai satu dekade merupakan pencapaian sekaligus momen refleksi bagi segenap korban, penyintas, keluarganya, dan juga elemen-elemen gerakan sosial lainnya. Kita perlu menghormati dan mengapresiasi setinggi-tingginya konsistensi dari para korban, keluarga korban, dan pejuang HAM lainnya dalam memperjuangkan agenda-agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan budaya politik anti-impunitas. Namun, kita juga perlu memikirkan sejauh apa pencapaian dan batas dari Aksi Kamisan selama ini dan langkah-langkah apa yang musti dipikirkan dan ditempuh oleh para pegiat Aksi dan isu-isu HAM lainnya.

Sejauh ini isu-isu yang diangkat di dalam Aksi Kamisan cenderung belum beranjak lebih jauh dari tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan pemenuhan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Ini menunjukkan bahwa perjuangan HAM, sebagaimana perjuangan isu-isu kerakyatan lainnya, sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik dan juga fragmentasi di dalam gerakan sosial. Dalam konteks transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi elektoral, sebagaimana dialami oleh Indonesia dan banyak negara lainnya, kesuksesan transisi dan fase awal demokrasi yang muncul setelahnya sedikit banyak bergantung pada pakta di antara para elit, yang juga membahas sejauh mana proses peradilan dapat dijatuhkan dan dijalankan kepada para pelanggar HAM – terutama aktor-aktor militer – di masa otoritarianisme. Inilah dilema yang dihadapi oleh banyak gerakan sosial di berbagai negara yang melakukan demokratisasi: di satu sisi ada keadilan kepada korban yang belum terpenuhi, namun di sisi lain kelancaran dan stabilitas fase awal demokrasi juga bergantung kepada komitmen para elit – termasuk mereka yang dulunya merupakan bagian dari ancien régime – terhadap proses-proses demokrasi setidaknya pada tataran yang formal, yang berimplikasi pada penundaan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh elit-elit lama tersebut.

Namun ini bukan berarti bahwa kemungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggarahan HAM menjadi nihil. Persis di titik inilah pembacaan atas konfigurasi politik yang ada menjadi penting. Pengalaman dari sejumlah negara lain seperti Korea Selatan dan Argentina menunjukkan bahwa pakta elit, termasuk yang menyangkut persoalan HAM, dapat berubah apabila ada tekanan dari gerakan rakyat yang kuat, yang dapat mentransformasikan dirinya ke dalam sebuah gerakan yang tuntutannya lebih dari sekadar penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah.

Ini memang dicapai melalui perjuangan yang panjang. Di Argentina, gerakan Mothers of the Plaza de Mayo, setidaknya telah melakukan 2000 aksi – kami ulangi, 2000 aksi – semenjak tahun 1977 hingga pertengahan Agustus tahun kemarin selama hampir 40 tahun! Gerakan para ibu dan anggota keluarga korban lainnya ini juga mengalami pasang surut yang begitu berdinamika. Dalam perkembangannya, tuntutan gerakan Mothers of the Plaza de Mayo mengalami radikalisasi, yang berujung kepada perpecahan di antara elemen-elemen gerakan tersebut. Kemudian, selama bertahun-tahun, pemerintah Argentina seakan acuh tak acuh terhadap tuntutan popular ini, hingga proses transisi menuju demokrasi elektoral kurang lebih selesai pada tahun 1983 dan Pengadilan atas Petinggi Junta (Trial of the Juntas) berlangsung pada 1985. Pencapaian ini, yang telah berhasil menyeret sejumlah perwira tinggi militer yang berkuasa di masa kediktatoran junta dan bertanggung jawab atas penghilangan paksa ribuan aktivis anti-rejim, pun bukannya berjalan secara mulus. Dua undang-undang, Full Stop Law dan Law of Due Obedience yang masing-masing disahkan pada tahun 1986 dan 1987, menginstruksikan untuk menghentikan proses penyidikan dan peradilan kasus-kasus pelanggaran HAM, hingga kemudian dua undang-undang tersebut dicabut oleh Parlemen Argentina dengan dukungan dari Presiden Néstor Kirchner, seorang Peronis berhaluan Kiri, dan penerapannya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung Argentina di tahun 2005. Ini menunjukkan bagaimana konfigurasi politik berpengaruh kepada sikap pemerintah terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.

Perjuangan yang panjang ini juga tidak bisa hanya dilakukan oleh para korban dan penyintas pelanggaran HAM dan para keluarganya maupun para aktivisnya semata. Pengalaman Pergerakan Demokratisasi Gwangju atau yang dikenal juga sebagai Pemberontakan Demokratik 18 Mei di Korea Selatan, menunjukkan bahwa dampak dari gerakan-gerakan pro-demokrasi – dalam hal ini gerakan anti-otoritarian yang dimotori oleh para mahasiswa – akan meluas jika dan hanya jika elemen-elemen dari gerakan sosial lain termasuk juga publik yang lebih luas juga bersolidaritas dan terlibat dengan sadar dengan gerakan tersebut. Tentu saja ada konteks politik tertentu yang menjadi pendorong dari aksi solidaritas tersebut, yaitu represivitas rejim otoritarian pada masa itu yang mencapai puncaknya dan harus mengandalkan kekerasan terbuka untuk meredam gelombang perlawanan pada waktu itu. Namun, ini bukan berarti bahwa kita tidak bisa mengambil kesempatan di tengah iklim politik yang relatif terbuka khas tatanan demokrasi elektoral.

Pelajaran-pelajaran ini menunjukkan bahwa kesuksesan pemenuhan agenda-agenda HAM sedikit banyak bergantung kepada sejauh mana gerakan HAM dapat 1) memperluas gerakannya dan membangun aliansi multisektoral dengan gerakan-gerakan sosial lain dan 2) semakin mempopulerkan agenda-agenda HAM ke tengah-tengah masyarakat yang selama ini cenderung belum tersentuh diskursus tersebut. Dengan demikian, gerakan HAM – termasuk di dalamnya Aksi Kamisan – dapat memiliki daya tawar yang lebih kuat dan efek yang lebih luas di dalam kancah politik yang ada.

Dalam pandangan kami, isu-isu pelanggaran HAM sesungguhnya memiliki potensi untuk terus diperluas dan dipopulerkan. Ambil contoh, misalnya Kasus Tanjung Priok dan Talangsari – dua kasus HAM yang berkaitan dengan sentimen oposisi kelompok-kelompok Islam kepada represivitas rezim di masa Orde Baru. Pengalaman dua kasus ini menunjukkan bahwa narasi HAM bukan hanya dapat dipakai untuk memperjuangkan isu-isu gerakan dan kepentingan komunitas yang lebih luas tetapi juga bahwa narasi tersebut dapat diterima oleh elemen-elemen masyarakat yang lebih luas. Di dalam terang kondisi politik yang sekarang, di tengah-tengah masih berlangsungnya represivitas negara dalam konteks ekpansi kapital, maraknya penggusuran, meningkatnya konflik-konflik agraria, menguatnya sentimen sektarian, dan, yang juga tidak kalah penting, perbedaan memori kolektif penindasan Orde Baru antar generasi, kebutuhan untuk memperluas dan mengintegrasikan perspektif dan narasi HAM dengan isu-isu lain justru menjadi semakin penting.

Dalam amatan kami, elemen-elemen yang rutin terlibat dalam setiap Aksi Kamisan masihlah berasal dari simpul-simpul dan unsur-unsur gerakan yang relatif sama. Tentu saja setelah 10 tahun proses regenerasi terjadi – elemen-elemen gerakan sosial dari generasi yang lebih muda juga turut menghadiri, berpartisipasi, dan memperluas Aksi-aksi Kamisan baik di Jakarta dan kota-kota lain. Namun, kebanyakan elemen tersebut sedikit banyak masih berasal dari kalangan pegiat gerakan itu sendiri. Kami mendambakan dan membayangkan suatu saat akan ada partisipasi publik yang jauh lebih luas dalam aksi-aksi seperti ini, sebentuk mobilisasi massa yang jauh lebih massif, yang menjadi bagian dari alat perjuangan agenda-agenda kerakyatan yang lebih luas. Ini bukanlah hal yang mustahil, namun tentu saja tidak mudah.

Rupanya, setelah 10 tahun, perjuangan kita masih panjang.***

Penulis adalah editor IndoProgress

10 Tahun Melawan Lupa, Memperjuangkan Keadilan