Southeast Asia is home to varied expressions of leftist, revolutionary, and progressive politics, movements, and ideas. From revolutionary traditions of millenarian and Marxist-Leninist movements to progressive agendas of contemporary social movements, most studies on the region have captured these diverse expressions of ecumenical leftism, including its cosmopolitan inspirations and local transmutations. What is more challenging to discuss is the eclectic nature of these leftist/left-leaning articulations, especially for heterodox and revisionist/reformist variants. Considering the popularity of this perspectival eclecticism at discursive and practical levels across the region, a closer look at this phenomenon is warranted.
This panel aims to start a more thoughtful, deeper conversation on this subject. We are interested in a range of eclectic leftism. This includes, but not limited to, local anarchisms, anti-authoritarian/anti-totalitarian ideas, labor-social reproduction-environmental struggles, progressive and (left)liberal currents in civil society activism, and quasi-Marxist and populist thoughts, among others. How do we make sense of this eclectic leftism? What are the ideational and material origins of this strange dissident politics? How does it intersect with the older, more orthodox Marxist and revolutionary traditions in Southeast Asia? Finally, what are its implications for political praxis in the region?
In this panel, we invite you to ponder these questions together. We particularly encourage submissions on case studies outside Indonesia.
Toby Carroll, Shahar Hameiri, Lee Jones. Eds. 2020. The Political Economy of Southeast Asia: Politics and Uneven Development under Hyperglobalisation. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia/BKI, Vol. 177, No. 4 (2021), 563-565 (Invited book review), https://brill.com/view/journals/bki/177/4/article-p563_5.xml?language=en
2022 Facing the Double Crisis: Omnibus Law, Covid-19, and Social Movements in Indonesia (with Anwar Ma’ruf). In Lessons Learned from Covid-19: Transforming a Global Crisis into Global Solidarity? (Manila: Rosa-Luxemburg-Stiftung Southeast Asia Manila Office), pp. 48-60. https://rosaluxmanila.org/wp-content/uploads/2023/11/Global-Solidarity-ENG-Full.pdf
2023 2023. “Islamic Philanthropy, Effective Altruism, and Public Welfare: A Critique.” Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol. 11, No. 2, 168-180. DOI:https://doi.org/10.22500/11202348227
2023. “Land Control, Coal Resource Exploitation, and Democratic Decline in Indonesia.” TRaNS: Trans-Regional and -National Studies of Southeast Asia, Vol. 11, No. 2, 195-213. DOI: https://doi.org/10.1017/trn.2023.4
Okamoto Masaaki and Jafar Suryomenggolo. Eds. 2022. Indonesia at the Crossroads: Transformation and Challenges. Contemporary Southeast Asia, Vol. 45, No. 3 (2023), 548-550 (Invited book review). https://bookshop.iseas.edu.sg/publication/7882
John Ingleson. 2022. Workers and Democracy: The Indonesian Labour Movement, 1949-1957. South East Asia Research, Vol. 31, No. 4 (2023), 427-474 (Invited book review). DOI: https://doi.org/10.1080/0967828X.2023.2268345
2024. “Indonesia in 2023: Between Democracy and Dynasty.” Asian Survey, Vol. 64, No. 2, 267-277 (with Ehito Kimura). DOI: https://doi.org/10.1525/as.2024.64.2.267
The Indonesian Democracy May Change once Prabowo is President, But We Need to Look at the Bigger Picture. Bliss-Blog by ISS. April 9. Republished in Jentayu, April 22 and IndoProgress, May 15.
PERANG di Gaza kembali pecah. Setelah Hamas, gerakan islamis Palestina, melancarkan serangan terhadap Israel dalam Operasi Badai Al-Aqsa (Operation Al-Aqsa Storm) secara tak terduga pada 7 Oktober lalu, pemerintah Israel segera melancarkan balasan melalui tentara kolonialnya, Israel Occupation Force, IOF).[1] Mohammed Deif, komandan tertinggi dari Brigade Izzudin al-Qassam (sayap militer Hamas), menyebutkan bahwa operasi militer ini merupakan balasan atas agresi dan okupasi Zionis terhadap rakyat Palestina yang semakin parah dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pendudukan Israel terhadap Masjid Al-Aqsa dan represi atas jamaah masjid yang dilakukan secara arogan.
Kecuali Anda hidup di bawah tanah atau bersemedi di dalam gua, sangat sulit untuk melewatkan berita mengenai eskalasi konflik dan momen historis ini. Sampai artikel ini ditulis, lebih dari 1.400 warga Israel meninggal dan di sisi Palestina lebih dari 7.000 syahid, termasuk perempuan dan anak-anak.
Dari kacamata strategis, serangan Hamas mengejutkan dunia. Bagaimana mungkin pasukan gerilya yang hidup dalam kondisi yang serba terbatas, termasuk pasokan nutrisi yang sangat minim (ingatlah, Jalur Gaza sudah diblokade Israel selama 16 tahun terakhir, dan salah satu akibatnya adalah pasokan bahan makanan untuk penduduk Gaza sangat terbatas), bisa menjebol tembok apartheid Israel yang berteknologi canggih, yang secara efektif menjadikan Gaza sebagai penjara terbuka? Para militan Hamas menorehkan kesan visual yang amat dalam bagi dunia. Sulit dipercaya bagaimana mereka berhasil menjebol pagar perbatasan Israel-Gaza dengan buldoser dan memasuki wilayah Israel dengan motor dan parasut rakitan. Bagaikan Serangan Tet (Tet Offensive) dari gerilyawan Viet Cong yang mengejutkan kaum imperialis, bagaimana mungkin pasukan kaipang Gaza berhasil menggentarkan salah satu tentara terkuat di dunia?
Tentu saja, dalam setiap perang dan perjuangan pembebasan nasional, ada ekses kematian dari pihak lawan, misalnya berpulangnya ratusan warga sipil Israel. Etika perang Islam jelas melarang serangan atas warga sipil dan mewajibkan kombatan pro-pembebasan untuk meminimalisir kematian non-kombatan. Oleh karena itu, ekses kematian yang dilakukan/terjadi dalam serangan Hamas tentu perlu dikritik. Bahkan, sejumlah kalangan Islam dan progresif mengkritik keras dan bahkan mengutuk ekses tersebut.
Tetapi kita perlu berhati-hati di sini. Kita perlu membedakan mana ekses kematian warga sipil yang disebabkan karena berbagai faktor tak terduga dan pembantaian atau terorisme atas warga sipil secara terencana dan sistematis. Di sini, saya menggunakan istilah “ekses” untuk mengategorikan imbas tak terduga dari serangan Hamas karena sejumlah alasan. Pertama, sejumlah hasil investigasi terbaru (misalnya ini dan ini dan juga laporan ini) menunjukkan bahwa banyak korban warga sipil Israel yang tewas karena serangan IOF sendiri ketika mereka berusaha memukul balik pasukan Hamas, yang justru menjaga para warga sipil ini dengan baik.
Kedua, sudah ada sejumlah bukti dan testimoni yang menunjukkan bagaimana pasukan Hamas, setidaknya elemen-elemen yang lebih terorganisir dan disiplin, menjalankan kaidah etika perang Islam dengan tidak melukai warga dan memperlakukan tahanan sipil dengan baik. Hamas juga lebih tepat dilihat sebagai gerakan sosial dan pembebasan nasional yang memiliki sejumlah sayap organisasi–politik, sosial, dan militer. Baik kekurangan dan kelebihannya perlu dilihat dalam konteks kapasitasnya sebagai gerakan pembebasan nasional, bukan kelompok teroris.
Ketiga, ekses serangan yang melukai dan menewaskan warga sipil Israel kemungkinan besar dilakukan oleh elemen militan Hamas dan warga Gaza yang amarahnya sudah menumpuk terhadap kolonialisme Israel. Perlu diingat bahwa warga Gaza senantiasa hidup dalam teror dan brutalitas Israel, ditambah ada ribuan tahanan politik Palestina di Israel, yang kemungkinan besar akan lebih berhati-hati dalam menyerang lawan. Dua faktor ini saya pikir berpengaruh ke karakter dan tingkat kualitas pasukan/kombatan yang ikut dalam Operasi Badai Al-Aqsa kemarin–ada yang disiplin, tetapi ada juga yang sudah dikuasai amarah dan dendam.
Sebaliknya, Israel melakukan pembalasan secara tidak proporsional dan melanjutkan pembantaian dengan dalih membela diri. Secara brutal, Israel membombardir Gaza, membantai warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan tanpa pandang bulu, menghentikan distribusi semua kebutuhan logistik warga Gaza termasuk listrik dan air, hingga menyerang rumah sakit, masjid dan gereja, serta kamp pengungsian. Apa namanya ini kalau bukan genosida? Apa lagi namanya jikalau bukan kebiadaban dan kemunafikan yang ditunjukkan oleh “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah”?
Persis di titik ini, kita perlu sadar dan paham bahwa tragedi yang terjadi di Gaza dan seluruh daerah okupasi Palestina oleh Israel tidaklah bermula dari serangan Hamas pada 7 Oktober lalu. Bahkan, gelombang kekerasan sistemik dari Israel dan perlawanan dari rakyat Palestina, baik melalui jalur nirkekerasan maupun perjuangan bersenjata, tidak dimulai dari beberapa tahun terakhir ini.
Akar permasalahannya adalah kolonialisme Israel atas rakyat Palestina, yang dimulai dari teror milisi Zionis terhadap rakyat Palestina yang telah menampung mereka yang berujung kepada pengusiran dan perampasan lahan besar-besaran, Nakba, yang membuat rakyat Palestina terusir dari tanah air mereka sendiri, yang dikukuhkan melalui politik apartheid dan ideologi zionisme, yang secara brutal mengekang dan membunuh rakyat Palestina dan menjebloskan mereka ke dalam penjara terbuka terbesar di dunia, Gaza.
Inilah pokok permasalahannya. Apa pun bentuk perjuangannya, siapa pun aktor utamanya, sekecil apa pun ekses perlawanannya, tiap bentuk perjuangan rakyat Palestina akan selalu dihajar oleh IOF dan rezim apartheid Israel. Dengan atau tanpa serangan Hamas, Netanyahu (atau lebih tepatnya SETANyahu) dan para politikus sayap kanan Israel akan selalu mencari cara untuk membombardir Gaza, menganeksasinya, dan mengenyahkan rakyat Palestina dari rumah mereka sendiri. Gelombang protes damai rakyat Gaza sekitar 2018-2019 yang dikenal sebagai The Great March of Return disambut dengan represi besar-besaran oleh Israel. Upaya mobilisasi massa dan perjuangan bersenjata gerakan-gerakan nasionalis dan kiri Palestina seperti Fatah dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine, PFLP) selama puluhan tahun dilabeli sebagai aksi-aksi “teroris” dan dibalas habis-habisan oleh Israel dengan dukungan imperialis.
Sayangnya, narasi ini secara sistematis dipinggirkan dan sebagai gantinya kita disuguhi oleh propaganda Hasbara (strategi “diplomasi publik” Israel) dan “humanitarianisme” liberal nan abstrak yang munafik dan bungkam tentang realitas penindasan rakyat Palestina. Ironisnya, propaganda Zionis dan imperialis ini bahkan memengaruhi sejumlah kelompok di Indonesia, termasuk kelompok-kelompok Islam “moderat” dengan dalih “anti-terorisme” dan “pro-perdamaian”.
Untuk itulah, kita perlu pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sejarah pembebasan nasional Palestina agar tidak latah menjadi Zionis Jaksel yang hanya bisa membeo bahwa “Israel punya hak membela diri” dan mengabaikan genosida yang terjadi di depan mata. Sebagai pengantar, berikut saya sajikan 15 bacaan dan tontonan kunci sebagai referensi untuk kita semua.
Sejarah Palestina dan Israel
The Question of Palestine (Edward W. Said, 1979, New York: Vintage Books)
Edward Said, sang intelektual Palestina, tentu saja lebih terkenal dengan karya klasiknya, Orientalism, yang menggugat kecenderungan metodologis dan bias orientalis dan imperialis dalam berbagai kajian tentang Timur Tengah dan masyarakat non-Barat lain di berbagai disiplin humaniora di Barat. Tetapi, ada salah satu karyanya yang juga tidak kalah penting, yaitu mengenai konflik Palestina-Israel, yang dituangkan dalam buku The Question of Palestine.
Buku ini dapat dikategorikan sebagai setengah kajian dan setengah observasi “orang dalam” yang terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional Palestina. Sejumlah momen dan periode sejarah penting dibahas dengan cukup mendalam, mengenai sejarah rakyat Palestina dan tanah air mereka; evolusi Zionisme sebagai proyek kolonialisme dan imbasnya bagi rakyat Palestina; sejarah perjuangan pembebasan Palestina; dan persoalan nasib Palestina setelah ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Israel dan Mesir yang dikenal dengan sebutan Perjanjian Camp David (Camp David Accords).
Said menyebutkan sejumlah argumen jitu yang saya pikir masih relevan hingga sekarang. Dia mengeluhkan labelisasi “teroris” kepada organisasi-organisasi politik Palestina dan miopia serta kemunafikan Barat yang tidak bisa melihat dan mengakui bahwa teror Zionis jauh lebih besar dari upaya perlawanan dan ekses yang dilakukan oleh para militan Palestina. Dia mempertanyakan pandangan naif yang masih berharap bahwa artikulasi zionisme yang liberal dan bahkan progresif itu masih mungkin, sebelum ramai gerakan boikot Israel. Dia memberikan penjelasan historis tentang rakyat Palestina sebagai penduduk asli di tanah air mereka. Dia juga menunjukkan kebangkrutan proyek politik zionisme.
Buku ini memang cukup padat dan karenanya butuh waktu untuk dibaca secara mendetail, tetapi karya klasik ini fondasional dan perlu dibaca. Bonus: bukunya bisa diunduh secara gratis di sini.
Kolonialisme Zionis di Palestina (Fayez A. Sayegh, 2021, IndoProgress, diterjemahkan oleh Azhar Irfansyah ke bahasa Indonesia dari edisi bahasa Inggris terbitan 1965).
Apabila karya Edward Said tentang Zionisme dan persoalan Palestina dapat dikategorikan sebagai karya yang padat, maka buku Fayez A. Sayegh ini dapat dikategorikan sebagai buku saku ringkas tentang kolonialisme Zionis. Dapat dikatakan, seperti halnya buku Said, buku ini merupakan salah satu pionir dari analisis tentang zionisme sebagai kolonialisme.
Sayegh adalah seorang diplomat, penulis, dan akademisi dengan latar belakang Arab Kristen yang aktif di lingkar intelektual dan politik Timur Tengah. Dalam bukunya, Sayegh melacak akar historis dan intelektual zionisme, persekutuannya dengan imperialisme Inggris, karakter rezim Zionis dan pola diskriminasi serta represi sistematik yang diterapkannya kepada warga Arab, dan kenaikan perlawanan rakyat Palestina terhadap kolonialisme Zionis. Dalam bukunya, Sayegh menganalisis penjajahan Zionis dan perjuangan pembebasan rakyat Palestina dari perspektif anti-kolonialisme dan pembebasan nasional di Dunia Ketiga yang marak di dekade 1960-an.
Buku ini merupakan pengantar yang baik sebelum Anda masuk menyelami karya-karya lain mengenai konflik Israel-Palestina. Dapat diunduh langsung dari sini.
The Ethnic Cleansing of Palestine (Ilan Pappé, 2006, Oxford: Oneworld Publications).
Ilan Pappé adalah seorang sejarawan Israel progresif anti-Zionis yang terpaksa mengeksilkan diri karena telah menjadi persona non grata di Israel yang semakin kanan, otoriter, dan diam-diam fasistik. Dia termasuk dalam generasi baru sejarawan Israel, New Historians, yang membongkar historiografi (atau hagiografi?) Zionis yang “membersihkan” Israel dari dosa-dosa asalnya dan sebaliknya menggambarkan Israel sebagai “Daud baru” yang berjuang melawan “Goliat-Goliat Arab” yang penuh dengki dan anti-Semitik. Generasi sejarawan baru ini, termasuk Pappé, berhasil mengkritik narasi sejarah Zionis karena dibukanya arsip-arsip militer dan pemerintah Israel 30 tahun setelah deklarasi pembentukan Israel.
Berdasarkan arsip-arsip baru ini, Pappé menunjukkan bahwa Nakba itu nyata adanya, bahwa terjadi upaya sistematis dari milisi-milisi Zionis seperti Haganah dan Irgun untuk mengusir paksa rakyat Palestina dari rumah mereka atas permohonan dan dukungan David Ben-Gurion, Perdana Menteri pertama dan Bapak Bangsa(t) Israel. Tidak hanya itu, terjadi juga pembantaian warga sipil Palestina di sejumlah tepat, termasuk pembantaian Deir Yassin, dalam proses pengusiran paksa ini.
Operasi teror ilegal nan sistematis ini dikenal dengan nama Plan Dalet (Rencana Dalet, yang merupakan nama dari huruf keempat dalam abjad Ibrani). Terbongkarnya Plan Dalet menggugurkan argumen usang Zionis yang mengklaim bahwa warga Palestina ditipu oleh pemimpin mereka sendiri dan negara-negara Arab untuk meninggalkan rumah mereka secara sukarela. Plan Dalet adalah penyebab dari katastrofi besar Nakba dan menandai pembersihan etnis (ethnic cleansing) rakyat Palestina secara besar-besaran. “Kemerdekaan” Israel, dengan kata lain, berdiri di atas penindasan Palestina.
Ditulis dengan bahasa yang gamblang dan gaya penuturan yang jelas, buku ini akan memberikan kita gambaran yang sesungguhnya mengenai formasi Israel sebagai sebuah negara/rezim dan asal-usul kolonialisme Zionis di Palestina. Bonus: bukunya bisa diunduh secara gratis di sini.
10 Myths about Israel (Ilan Pappé, 2017, London/New York: Verso).
“Israel adalah satu-satunya demokrasi di Timur Tengah”, “Israel adalah benteng bagi Peradaban Barat dan Dunia Merdeka melawan fundamentalisme”, “Hanya di Tel Aviv parade pride bisa dilakukan secara meriah dan bebas di Timur Tengah”, dan lain-lain, dan sebagainya. Kurang lebih itulah sejumlah mitos yang disebarkan oleh Hasbara, antek-anteknya, dan para fanboys serta fangirls-nya. Lagi-lagi, Ilan Pappé secara mendalam membongkar mitos-mitos omong kosong macam ini dan menunjukkan karakter sesungguhnya dari Israel sebagai rezim apartheid dan kolonial. Disajikan lewat penuturan yang mudah diikuti dan dipahami, Pappé membongkar sejumlah mitos-mitos yang dianggap sudah terberi mengenai Israel.
Bukunya dibagi kedalam tiga bagian. Bagian pertama membongkar enam mitos tentang masa lampau: 1) Palestina adalah “tanah yang kosong” (rakyat Palestina sudah ada sebelum warga Yahudi dan pendatang Zionis hadir di sana); 2) Yahudi adalah bangsa tanpa tanah air (klaim yang sering dipakai secara serampangan oleh pemerintah Israel kiwari demi kepentingan politiknya); 3) Zionisme merupakan komponen utama dan bahkan ekuivalen dengan agama dan budaya Yahudi (tentu saja tidak); 4) Zionisme bukanlah kolonialisme (kenyataannya, Zionisme meneguhkan supremasi warga Yahudi atas warga Arab); 5) rakyat Palestina meninggalkan tanah airnya secara “sukarela” di tahun 1948 (halo, bagaimana dengan Nakba dan Plan Dalet?), dan 6) Perang Arab-Israel di tahun 1967 adalah perang yang tak terhindarkan (padahal ada langkah-langkah negosiasi alternatif yang bisa ditempuh).
Bagian kedua membongkar tiga mitos masa kini tentang Israel: 7) Israel adalah satu-satunya demokrasi di Timur Tengah (baca laporan dari B’Tselem dan Human Rights Watch dan bahkan pengakuan bekas Direktur Mossad Tamir Pardo mengenai karakter apartheid dari “demokrasi” Israel); 8) Perjanjian Oslo adalah “proses perdamaian” (alias pemaksaan terhadap pihak Palestina untuk menerima parameter “perdamaian” menurut Israel); dan 9) trilogi mitos Gaza–Hamas adalah “organisasi teroris” (alih-alih melihatnya sebagai bagian dari gerakan pembebasan nasional, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang juga berpartisipasi dalam proses demokratik di Palestina), mundurnya Israel dari Jalur Gaza adalah upaya rekonsiliasi (Israel mundur dari Gaza untuk memblokade Gaza), dan serangan Israel yang bertubi-tubi atas Gaza adalah upaya pembelaan diri (alias dalih untuk melakukan genosida perlahan atas warga Gaza).
Di bagian ketiga, Pappé membongkar mitos terakhir: 10) Jawaban konflik Israel-Palestina adalah solusi dunia negara (two-state solution). Bagi Pappé, solusi tersebut sudah kaput, sudah mati dengan kontrol Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza dan berlanjutnya politik apartheid yang mewajarkan pembersihan etnis, okupasi rakyat Palestina di tanahnya sendiri, dan posisi rakyat Arab Palestina–baik di dalam Israel maupun di wilayah pendudukannya–sebagai warga negara kelas dua yang mengalami diskriminasi dan bahkan kekangan militeristik. Solusi yang sejati, bagi Pappé, adalah satu negara yang demokratis bagi rakyat Yahudi dan Arab, yang terbentang dari sungainya hingga lautnya.
Dengan membaca buku ini, insyaallah kita akan memiliki amunisi yang jitu untuk mempreteli argumen kosong dan retorika gembeng para Zionis Jaksel, kalangan “muslim moderat” yang diam di hadapan kekerasan kapitalis dan imperialis, dan segenap kaum londo ireng lainnya. Oh, soal parade pride bagi rekan-rekan queer di Timur Tengah? Coba tengok Beirut alih-alih Tel Aviv.
Bonus: Anda bisa menonton tausiah Ilan Pappé di Masjid Al-Quds di Capetown, Afrika Selatan di sini dan pemaparannya dalam suatu diskusi berbahasa Arab, yang dikuasainya dengan lancar, di sini. Bukunya dapat Anda unduh secara gratis langsung dari penerbitnya di sini.
Perspektif Sosialis tentang Kolonialisme Israel
Settler Colonialism: An Introduction (Sai Englert, 2022, London: Pluto Press).
Mungkin kawan-kawan pembaca sudah sering mendengar istilah settler colonialism atau kolonialisme pendudukan, termasuk dalam diskusi soal penjajahan Israel atas Palestina. Tetapi apa sesungguhnya kolonialisme pendudukan itu? Di dalam bukunya, Sai Englert, pengajar dan peneliti di Universitas Leiden, memberikan penjelasan ringkas nan komprehensif tentang konsep tersebut.
Englert membedakan antara kolonialisme jarak jauh (franchise colonialism) dengan kolonialisme pendudukan. Kolonialisme jarak jauh adalah model kolonialisme yang populer di benak publik Indonesia: penjajahan oleh kekuatan kolonial melalui penguasaan militer, administrasi kolonial, dan kolaborator lokal yang menjadi kelas penguasa, yang fokusnya adalah ekstraksi tenaga kerja dan komoditas tanpa mengirim penduduk dari pusat kekuasaan kolonial (metropole) ke koloni. Kolonialisme pendudukan punya sejumlah fitur yang serupa, tetapi mereka memiliki tujuan tambahan yaitu mendatangkan penduduk dari metropole ke koloni dan dalam prosesnya merampas tanah dan kampung halaman penduduk asli untuk semakin memperkuat formasi masyarakat kolonial.
Contoh dari kategori pertama adalah penjajahan Inggris di India dan penjajahan Prancis di Suriah (dan tentu saja penjajahan Belanda di Indonesia), sedangkan contoh dari kategori kedua adalah pendudukan warga keturunan Eropa di Argentina, Aljazair, dan Australia.
Englert kemudian menjelaskan mekanisme umum dan tujuan dari proses kolonialisme pendudukan. Akumulasi profit dan nilai lebih misalnya dilakukan dengan monopoli perdagangan dan sektor-sektor komoditas bernilai tinggi serta perbudakan. Tidak lupa, ada proses perampasan tanah dan peminggiran masyarakat asli dari tempat tinggal mereka selama berpuluh-puluh generasi dan bahkan genosida. Tentu saja, pengukuhan kolonialisme pendudukan berkelit-kelindan dengan proses konsolidasi kapitalisme modern, melalui proses akumulasi primitif, misalnya. Rasisme kemudian menjadi ideologi yang menjustifikasi dan melanggengkan praktik-praktik barbar ini, juga sebagai mekanisme kontrol sosial dan politik.
Tak lupa, Englert juga membahas tentang berbagai bentuk perlawanan masyarakat terjajah terhadap kolonialisme pendudukan. Tentu saja, perlawanan Palestina dibahas secara cukup mendalam. Singkatnya, buku ini merupakan pengantar yang baik untuk memahami sejarah dan perkembangan kolonialisme pendudukan dan perlawanan atasnya.
Palestine: A Socialist Introduction (Editor: Sumaya Awad dan Brian Bean, 2020, Chicago: Haymarket Books).
Pertautan perjuangan Palestina dengan berbagai gerakan dan ide kiri sesungguhnya sudah berlangsung selama berpuluh tahun. Dimensi ini kadang kurang terbahas dalam diskursus mengenai Palestina di Indonesia, meskipun sudah ada pergeseran yang menggembirakan, yaitu melihat konflik Israel-Palestina bukan dari kacamata “perang agama” melainkan dari perspektif anti-kolonialisme.
Sebagaimana terpampang di judulnya, buku ini menyajikan sejumlah analisis sosialis tentang persoalan Palestina. Posisinya jelas dan tegas: persoalan Palestina adalah persoalan pembebasan nasional dan mereka yang mengaku sosialis haruslah berpihak kepada rakyat Palestina. Dua editornya, Sumaya Awad dan Brian Bean, adalah aktivis sosialis. Awad asli Palestina, sedangkan Bean adalah anak North Carolina.
Selain berbagai hal yang sudah kita bahas di atas (tragedi Nakba, proyek kolonialisme pendudukan Zionis, dan lain sebagainya), buku ini juga menyajikan sejumlah analisis tambahan yang menarik. Esai oleh Shireen Akram-Boshar misalnya menunjukkan hubungan mesra antara imperialisme Amerika Serikat (AS) dan Israel demi “kepentingan strategis” di Timur Tengah. Esai Mostafa Omar, yang membahas tentang perjuangan pembebasan nasional Palestina, singkat dan padat namun isinya daging semua, terutama pembahasan tentang mandeknya trajektori gerakan-gerakan nasionalis dan kiri sekuler seperti Fatah dan PFLP dan kenaikan Hamas dalam politik Palestina. Daphna Tier membahas satu topik yang jarang diketahui orang, yaitu posisi kelas pekerja Israel di dalam perjuangan pembebasan Palestina dan bagaimana ketergantungan terhadap rezim okupasi Israel membuat mereka abai atas perjuangan pembebasan Palestina.
Sejumlah bab lain di dalam buku ini membahas tentang kontur perjuangan pembebasan Palestina dan koneksinya dengan berbagai gerakan pembebasan lainnya. Pembahasan ini mencakup wawancara dengan Omar Barghouti, salah satu pendiri gerakan boikot Israel (Boycott, Divestment, and Sanction, BDS), dan sejarah solidaritas antara gerakan kulit hitam dan Palestina.
Keragaman topik yang dibahas dan ketajaman analisis dalam buku bunga rampai ini membuatnya layak menjadi acuan bagi mereka yang penasaran dengan konflik Israel-Palestina dari perspektif sosialis. Bukunya juga dapat diunduh gratis langsung dari penerbitnya di sini.
On Zionist Literature (Ghassan Kanafani, Oxford: Ebb Books, 2022, diterjemahkan oleh Mahmoud Najib ke Bahasa Inggris dari edisi Bahasa Arab terbitan 1967).
Ghassan Kanafani adalah seorang aktivis PFLP dan juga penulis kenamaan Palestina. Mungkin Anda pernah melihat video wawancaranya yang tajam berseliweran di lini masa. Selain berpolitik, Kanafani juga aktif menulis esai, karya sastra, dan kritik sastra, sebelum dia syahid karena rezim Zionis membunuhnya ketika berumur 36.
Kanafani melihat ranah kesusastraan dan kebudayaan sebagai salah satu front agresi Zionis, selain politik, militer, dan ekonomi. Itulah yang menjadi motivasi utamanya untuk menulis kritik atas sejumlah karya sastra Zionis.
Kanafani menulis sejumlah amatan dan analisis penting. Misalnya, bagaimana Zionisme mendorong dominasi bahasa Ibrani sebagai bahasa warga Yahudi dalam proyek politiknya, mengesampingkan fakta bahwa banyak orang Yahudi menggunakan bahasa lain seperti bahasa Yiddi dan bahkan bahasa Arab. Kemudian, Kanafani juga menunjukkan bagaimana kesusastraan Zionis mendahului dan memberi landasan bagi zionisme politik. Dan tentu saja dia juga menganalisis sejumlah pemikiran dan karya sastra Zionis secara ketat, mulai dari argumennya, penuturannya, alur ceritanya, hingga pesan yang tersirat, mulai dari tulisan-tulisan Theodor Herzl hingga Arthur Koestler. Misalnya plot khas tentang petarung Yahudi yang kuat dan siap menggempur siapa saja yang mengadang, termasuk orang-orang Arab.
Bagi Anda yang tertarik dengan kritik atas zionisme dari dimensi kebudayaan, buku ini perlu dibaca.
Instrumentalisasi Tragedi Holokaus
Beyond Chutzpah: On the Misuses of Anti-Semitism and the Abuse of History (Norman Finkelstein, 2005/2008, Berkeley/Los Angeles: University of California Press).
Kita sering mendengar keluhan dan bahkan tuduhan bahwa mengkritik Israel adalah mempraktikkan anti-semitisme. Argumen ini sering dipakai untuk membungkam kritik terhadap Israel dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukannya secara sistematis terhadap rakyat Palestina. Norman Finkelstein menunjukkan bagaimana operasi ideologis dan trik politik ini bekerja.
Norman Finkelstein, yang tentu saja bukanlah seorang normie, adalah intelektual radikal dan aktivis. Dia mendeskripsikan diri sebagai “ilmuwan forensik”, yaitu detektif yang membongkar klaim-klaim pseudo-ilmiah yang populer dan sering dijadikan justifikasi politik, dengan spesialisasi kajian tentang instrumentalisasi tragedi Holokaus, Israel, zionisme, dan Palestina. Kredensial ilmiah dan politiknya lengkap: dia adalah seorang kiri dengan gelar doktor dari Universitas Princeton dan kedua orang tuanya adalah penyintas Holokaus yang turut serta dalam Pemberontakan Ghetto Warsawa melawan fasis Nazi.
Dalam Beyond Chutzpah, Finkelstein menunjukkan bagaimana tuduhan “anti-Semitik” sering digunakan untuk membungkam kritisisme atas rekam jejak HAM Israel alih-aling mendebat kritik tersebut secara serius dan ilmiah. Finkelstein juga berargumen bahwa konflik Arab-Israel bukanlah soal konflik agama atau “kecemburuan sosial” kepada Israel sebagai negara yang kaya, melainkan soal aspirasi nasional untuk kemerdekaan jazirah Arab dan kritik atas supremasi Yahudi melalui proyek zionisme.
Jadi, kalau ada yang menuduh kawan-kawan pembaca yang mengkritik Israel sebagai anti-Semit yang rasis, berikan saja buku Finkelstein kepada sang penuduh tersebut. Niscaya mereka akan kaget dan malu sendiri. Bonus: tontonlah video legendaris Finkelstein yang mengkritik instrumentalisasi tragedi Holokaus sebagai justifikasi untuk menindas rakyat Palestina di sini.
Panduan Perjuangan Pembebasan Nasional
Guerilla Warfare (Che Guevara, 1961) dan On Guerilla Warfare (Mao Zedong, 1937)
Dalam dunia yang ideal, di mana lawan-lawan politik paling brutal sekalipun meminimalisir penggunaan kekerasan atau berperang dengan etika, maka jalur nirkekerasan merupakan metode yang layak ditempuh. Tetapi, perjuangan kelas dan pembebasan manusia tidak selamanya ideal. Di dalam arena politik, kita akan menemukan musuh-musuh yang brutal dan tak mau berkompromi.
Dalam kondisi penuh tekanan tersebut, maka metode perjuangan bersenjata menjadi pilihan yang logis. Cara ini banyak ditempuh oleh gerakan pembebasan nasional di Dunia Ketiga, termasuk di Indonesia.
Karya klasik Che Guevara dan Mao Zedong tentang metode perang gerilya dapat menjadi acuan dan bahan refleksi tentang strategi perjuangan bersenjata dalam upaya pembebasan nasional dan pembangunan sosialisme. Tentu saja, perang gerilya bukan sekadar mengumpulkan orang-orang yang marah, mengajak mereka membangun markas di atas gunung dan di dalam hutan, lalu melancarkan serangan dan teror dengan penuh amarah. Perang gerilya perlu perencanaan dan tujuan yang jelas, memenangkan hati rakyat, dan tidak terlepas dari organisasi politik, perhitungan geopolitik, serta kebutuhan logistik.
Dua teks klasik ini, yang dapat diunduh secara gratis di sini dan di sini, saya pikir perlu dibaca untuk menjadi bahan diskusi, debat, dan refleksi lebih lanjut, terutama di dalam konteks perjuangan Palestina.
Leila Khaled: Kisah Pejuang Perempuan Palestina (Sarah Irving, 2016, Serpong: Marjin Kiri, diterjemahkan oleh Pradewi Tri Chatami ke bahasa Indonesia dari edisi bahasa Inggris terbitan 2012).
Siapa yang tidak kenal Leila Khaled? Sang perempuan pejuang pembebasan yang fotonya tenar karena peranannya dalam pembajakan pesawat pada 1969 merupakan salah satu ikon kenamaan dari perjuangan Palestina. Karya Sarah Irving, seorang ahli kajian Timur Tengah, menyajikan potret biografis Leila Khaled sebagai seorang militan perempuan.
Irving membahas peranan Khaled sekaligus menempatkannya dalam konteks sosial-historis dan perjuangan yang lebih luas berdasarkan wawancara dengan sang protagonis langsung dan orang-orang yang dekat dengannya. Hidup Leila Khaled menjadi teropong untuk melihat sejumlah dinamika lain yang lebih luas: persoalan stratak dan etika dalam perjuangan bersenjata (termasuk soal pembajakan pesawat), perjuangan Palestina dalam konteks pembebasan nasional di Dunia Ketiga, peran perempuan dalam perjuangan, dan trajektori Khaled dalam kehidupannya dan politik Palestina setelah pensiun dari tugas kombatan.
Buku ini menarik, berwarna, penuh sejarah, dan enak dibaca. Karena itu buku ini perlu masuk menjadi salah satu bacaan wajib untuk memahami perjuangan Palestina dan peranan perempuan di dalamnya.
“Beyond Fateh Corruption and Mass Discontent: Hamas, the Palestinian Left and the 2006 Legislative Elections” (Manal A. Jamal, 2013, British Journal of Middle Eastern Studies, 40, Issue 3, 273-294).
Propaganda perang yang sedang berjalan dari pihak Israel dan Barat menyamakan Hamas dengan ISIS, mengklaim bahwa gerakan Islam ini secara keseluruhan (termasuk sayap-sayap politik dan sosialnya dan juga basis pendukungnya) sebagai gerombolan teroris biadab haus darah yang anti-Semitik.
Yang luput dan sengaja ditutupi dari pembahasan ini adalah karakter Hamas sebagai sebuah gerakan sosial-politik dan relasinya dengan organisasi-organisasi Palestina lain. Inilah yang dikupas oleh ilmuwan politik Manal A. Jamal di dalam artikel jurnalnya, yang membahas partisipasi Hamas dalam pemilu Palestina tahun 2006, pemilihan terakhir yang terselenggara sejauh ini.
Jamal membahas sejumlah temuan menarik, misalnya jejaring penyediaan layanan sosial yang diorganisir Hamas; juga upaya Hamas dalam mendorong aliansi lintas kelas antara kelas menengah dan kaum miskin serta aliansi taktis dengan kelompok-kelompok kiri. Jamal juga membahas tentang turunnya pamor Fatah, yang dianggap korup dan melakukan kapitulasi kepada Israel, memberi kesempatan politik bagi Hamas.
Hamas juga memiliki strategi kampanye yang rapi. Sementara itu, kelompok-kelompok kiri Palestina seperti PFLP, mengalami berbagai tantangan seperti imbas fragmentasi gerakan kiri global, bubarnya Uni Soviet, hingga ketergantungan kepada pendanaan donor Barat.
Artikel jurnal ini, dalam hemat saya, dapat memberi gambaran mengenai kiprah elektoral Hamas dan berbagai organisasi politik Palestina lainnya.
Digital Jihad: Palestinian Resistance in the Digital Era (Erik Skare, 2016, London: Zed Books).
Kelompok militan Palestina terkenal dengan berbagai metode perjuangan bersenjatanya, mulai dari serangan roket hingga pertempuran gerilya melawan IOF. Tetapi, bagaimana dengan perjuangan di arena digital? Erik Skare, seorang peneliti ahli Palestina, menjawab pertanyaan tersebut secara lengkap dalam bukunya Digital Jihad.
Skare memulai bukunya dengan sejumlah cuplikan amatan dan wawancara yang menarik, yaitu pertarungan digital antara peretas/hacker Arab dan Israel. Di tahun 2000, para peretas Israel melumpuhkan laman web Hezbollah, sedangkan di tahun 2012 sekelompok peretas Arab Saudi menyerang laman web Bursa Efek Tel Aviv dan El Al, maskapai penerbangan Israel. Dari kisah ini, Skare kemudian masuk ke dalam inti ceritanya.
Bagi Skare, hacktivism yang dilakukan oleh para aktivis dan militan Palestina sama pentingnya dengan berbagai jenis aksi yang lain–kampanye, boikot, demonstrasi, pembangkangan sipil, dan perjuangan bersenjata. Sasarannya sama: zionisme Israel. Lebih spesifiknya, infrastruktur digital dari rezim teknologis Israel. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Israel cukup pesat dan infrastruktur digital ini tentu saja punya koneksi yang erat dengan pihak militer. Sebagai contoh, IOF banyak mengintegrasikan temuan terbaru dan inovasi di bidang TIK untuk kepentingan okupasi dan pertempuran.
Untuk melawan kecanggihan rezim okupasi ini, gerakan perjuangan Palestina melancarkan perlawanan digital melalui berbagai unit dan kelompok peretas. Sejumlah kelompok peretas dari negara-negara Arab lain pun turut serta dalam gerilya digital ini. Mengutip pernyataan Direktur Utama dari Netvision, perusahaan layanan internet Israel, Gilad Rabinovich, interfada (istilah gabungan dari internet dan intifada) adalah balasan atas provokasi Israel. Pasukan jihad online ini tumbuh subur terutama di Gaza yang dimiskinkan oleh Israel. Bahkan, Hamas dan Palestinian Islamic Jihad (PIJ) memiliki unit perang digital sendiri, meskipun banyak juga para hacktivist yang beroperasi secara lebih bebas.
Membaca buku ini akan membuat kita sadar bahwa selayaknya Nabi Daud, para peretas kaipang dari Palestina ini bisa menantang Raja Jalut bernama Israel. Dan juga akan sadar: kualitas buzzer bayaran di Indonesia, yang lebih mirip dengan para propagandis Hasbara, tidak ada seujung kukunya dibandingkan jihadis peretas di tepi Laut Tengah. Bonus: buku ini dapat diunduh gratis dari laman web penulisnya.
Kemungkinan Sejarah Yang Lain
Three Worlds: Memoirs of an Arab-Jew (Avi Shlaim, 2023, London: OneWorld).
Kita kerap mendapat kesan bahwa identitas Arab dan Yahudi bagaikan air dan minyak, tidak mungkin bercampur. Apa benar? Avi Shlaim, sejarawan Israel yang merupakan bagian dari kelompok New Historians, menggugat dikotomi tersebut melalui memoarnya sebagai seorang Yahudi-Arab.
Sebelum negara Israel terbentuk, keluarga Avi-Shlaim tinggal lama di Irak selama beberapa generasi. Mereka berbicara bahasa Arab, hidup bersama dengan komunitas Arab, berteman dengan orang-orang Arab, dan memainkan peranan penting di masyarakat Irak. Mereka adalah Yahudi-Arab.
Semuanya berubah ketika Israel didirikan dan gelombang nasionalisme Arab menguat. Shlaim, yang ketika itu masih anak-anak, harus pindah bersama keluarganya ke Israel. Keluarganya lebih kerasan di Irak. Menurut orang tuanya, Irak adalah kampung halaman mereka, sedangkan Israel adalah negeri nun jauh di sana.
Sebagai Yahudi Mizrahi/Mizrahim (Yahudi asal Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia), mereka mengalami diskriminasi di negara yang mengaku sebagai suaka bagi orang Yahudi. Para Yahudi Irak yang sampai di Bandara Ben-Gurion disemprot pestisida DDT untuk “membersihkan” mereka. Keluarga Shlaim lebih beruntung karena ibunya memiliki paspor Inggris, yang menyelamatkan mereka dari perlakuan memalukan itu.
Bagi Shlaim, zionisme adalah ideologi konstruksi para Yahudi Ashkenazi, yang menjunjung satu kategori pengungsi (Yahudi “Barat” dari Eropa) tetapi meminggirkan dan bahkan mengusir kategori-kategori pengungsi yang lain (Yahudi “Timur” dari negara-negara non-Eropa dan orang Palestina). Shlaim juga mencatat pernyataan rasis dan diskriminatif dari Ben-Gurion, yang menyatakan bahwa Yahudi Mizrahi adalah “gerombolan liar” (hal. 172).
Yang juga kontroversial dari buku ini adalah kecurigaan Shlaim bahwa aktivis Zionis Irak, yang relatif kecil jumlahnya dibandingkan komunitas Yahudi di Irak, bekerja sama dengan intelijen Israel untuk melakukan serangan bom di sejumlah tempat. Dengan kata lain, menciptakan teror sebagai dalih untuk mendorong eksodus (baca: migrasi paksa) komunitas Yahudi Irak ke “tanah air” Israel. Shlaim mendapatkan bukti operasi intelijen ini dari wawancara dengan Yaacov Karkoukli, seorang sesepuh Yahudi Irak yang dekat dengan gerakan Zionis di masa itu.
Beberapa sketsa lain dalam buku ini juga menarik. Misalnya bagaimana ayah dan nenek Shlaim terus berbicara dalam bahasa Arab sampai hari tua mereka, bahasa ibu mereka. Shlaim juga mengingat masa kanak-kanaknya di Irak sebagai periode penuh kebahagiaan. Singkat kata, memoar Avi Shlaim menunjukkan bahwa sejarah yang lain, sejarah ko-eksistensi (dan mungkin ko-resistensi) Arab dan Yahudi, bebas dari anti-semitisme dan zionisme, adalah mungkin. Bonus: wawancara dengan Avi Shlaim, yang bersuara lembut dan menyejukkan, bisa dilihat di sini.
Dokumenter Gratisan
14. The Lobby (2017, Al-Jazeera)
Tuduhan “lobi Yahudi” jelas keji, tidak beradab, dan anti-Semitik. Tetapi, bagaimana dengan “lobi Israel” atau “lobi Zionis”? Yang kedua tentu saja nyata dan ada. Film dokumenter The Lobby, yang dirilis oleh Al-Jazeera (media asal Qatar), adalah investigasi klandestin yang mengungkap bagaimana Israel berupaya menancapkan pengaruh di Partai Buruh (Labour Party) Inggris demi kepentingan geopolitiknya, termasuk lewat lobi-lobi, manipulasi, dan kampanye disinformasi, terutama kepada Jeremy Corbyn.
Selama dua jam, film ini akan membawa Anda menelusuri upaya Israel untuk menancapkan pengaruh dan menghapus suara-suara advokasi untuk Palestina di Partai Buruh. Film ini juga menunjukkan upaya lobi dan intelijen Israel untuk menyalip dan memanfaatkan prosedur demokrasi demi kepentingan politik Zionis. Bisa dikatakan bahwa lobi ini adalah ujung terdepan dari the Zionist Deep State. Seru dan bernas, dokumenter ini bisa ditonton gratis di sini.
Gaza Fights for Freedom (2019, Abby Martin).
Dalam satu episode wawancara dengan Joe Rogan di podcast The Joe Rogan Experience, Abby Martin menyatakan bahwa “you’re born dead in Gaza!” Di Gaza, bahkan bayi pun terlahir “mati”. Bagaimana tidak? Mereka lahir di dalam wilayah yang sebelas dua belas kondisinya dengan kamp konsentrasi–hidup dalam teror dan trauma, serangan udara, malnutrisi, dan tanpa penghidupan yang layak.
Krisis humaniter di Gaza tidak bermula di awal Oktober kemarin, atau di tahun ini, melainkan bermula ketika Israel memblokade Gaza berbelas tahun silam. Sebagai seorang jurnalis kiri kawakan yang sudah melanglang buana mengungkap kejahatan imperialisme dan perlawanan rakyat di berbagai tempat, Abby Martin mencoba menangkap realita kehidupan di Gaza di bawah blokade dan tirani Israel dalam Gaza Fights for Freedom.
Dikemas dengan gaya dokumenter gerilya, film ini menangkap realita hidup keseharian rakyat Gaza dan pandangan mereka tentang okupasi Israel dan masa depan Palestina. Martin juga memberikan latar belakang sejarah yang cukup komprehensif mengenai Gaza dan berbagai upaya resistensi rakyat Gaza, termasuk upaya protes damai The Great March of Return yang direpresi habis-habisan oleh Israel. Suara-suara perlawanan yang didapat dari wawancara dan obrolan serta diskusi sehari-hari, yang dilengkapi dengan footage dahsyat dan heroik, seperti konfrontasi warga Gaza yang melempar batu ke pasukan IOF yang bersenjata lengkap, membuat film ini wajib ditonton. Film ini dapat ditonton gratis di sini.
Semoga referensi ini dapat menajamkan perangkat analitis dan mempertebal militansi dalam bersolidaritas dengan perjuangan pembebasan Palestina, dan meyakinkan kita bahwa imperialis hanyalah macan kertas.
From the River to the Sea, Palestine will be free! Free, Free Palestine!
[1] Secara resmi, tentara Israel bernama Israel Defense Force (IDF). Tetapi, pegiat gerakan pembebasan Palestina kerap menyebutnya sebagai Israel Occupation Force (IOF) untuk menunjukkan karakter sesungguhnya dari tentara Israel: alih-alih “melindungi” Israel, angkatan bersenjata tersebut adalah tentara kolonial yang mengokupasi tanah rakyat Palestina dan merepresi mereka. Saya menggunakan istilah IOF sebagai istilah yang lebih tepat dan juga untuk menunjukkan solidaritas dengan rakyat Palestina.
Iqra Anugrah, editor IndoProgress, dalam beberapa minggu terakhir aktif dalam kerja-kerja solidaritas Palestina di Belanda dan Indonesia.
KONDISI kerentanan akibat berbagai momen kritis yang kita hadapi dalam beberapa tahun terakhir—mulai dari pandemi Covid-19 hingga efek dari kebijakan-kebijakan kapitalistik—masih kita rasakan hingga sekarang. Salah satu respons cepat publik yang deras mengalir untuk mengatasi persoalan tersebut adalah berbagai bentuk sumbangan dan tindakan solidaritas yang bersifat karitatif—dengan kata lain filantropi. Reaksi cepat ini bertumpu pada satu asumsi bahwa berderma adalah solusi jitu dan tepat sasaran di momen-momen kritis atau bahkan di masa krisis panjang sekalipun.
Tentu narasi ini sangat familiar bagi umat Islam, terutama di periode antara bulan Ramadhan dan Idul Adha, ketika mereka yang memiliki kemampuan ekonomi wajib untuk menunaikan zakat fitrah dan berkurban untuk kaum fakir miskin dan golongan-golongan lain yang berjuang. Tidak perlu diragukan bahwa potensi kolektif dari berbagai jenis aktivitas sedekah ini amat besar, baik dalam hal pengumpulan dana maupun distribusinya.
Tetapi, pertanyaan yang lebih besarnya adalah, apakah pemahaman dan model konvensional dari filantropi Islam ini cukup? Mungkinkan kita membayangkan dan merumuskan model filantropi dan solidaritas sosio-ekonomi Islam yang lebih maju? Bagaimana kita memastikan pengelolaan dana umat atau dana publik secara akuntabel, transparan, dan demokratis, terutama di tengah kritik atas penyelewengan dana di sektor filantropi Islam? Inilah persoalan yang akan coba dijawab di dalam pemaparan singkat ini. Analisis dalam esai ini tidak bertujuan untuk memberikan analisis apalagi teroborosan fiqh atau jurisprudensi Islam—untuk itu, saya serahkan kepada ahlinya. Kali ini, yang ingin saya angkat adalah refleksi dan sejumlah tawaran tentang filantropi Islam dari perspektif seorang pegiat ekonomi gerakan dan pembelajar ekonomi-politik.
Membongkar Altruisme Efektif dan Praktik Filantropi Global
Salah satu argumen filosofis yang mempengaruhi gerakan filantropi kontemporer adalah Altruisme Efektif (Effective Altruism). Salah satu promotor terkemuka dari gagasan ini adalah filsuf utilitarian-analitik asal Australia, Peter Singer. Dalam artikel klasiknya yang berjudul ”Famine, Affluence, and Morality” (1971) Singer berpendapat bahwa mereka yang kaya dan berkecukupan, terutama yang tinggal di negara-negara kaya di Utara, memiliki kewajiban moral untuk membantu mengurangi jumlah kesengsaraan hebat di dunia melalui harta kekayaan mereka. Berangkat dari tradisi etika utilirarian dan rasa terenyuhnya melihat korban Perang Kemerdekaan Bangladesh, Singer memakai satu analogi untuk meyakinkan pembacanya: apabila kita akan segera tergerak menyelamatkan seorang anak kecil yang tenggelam di satu danau meskipun baju kita akan basah, mengapa lantas kita tidak tergerak untuk menyelamatkan warga sipil yang kelaparan dan membutuhkan penanganan medis dalam kondisi perang? Argumen ini secara lebih elaboratif kemudian dijabarkan oleh Singer dalam bukunya, The Life You Can Save (2009) yang menjelaskan secara detail salah satu strategi implementasi utama dari falsafah Altruisme Efektif: berdonasi kepada lembaga-lembaga filantropi dengan profesionalitas tinggi dan dedikasi kepada kaum marjinal. Dalam buku tersebut, Singer juga menyebutkan cerita-cerita tauladan dari berbagai figur (elite), mulai dari para profesional humanis di sektor korporat, oligark-oligark dermawan seperti Bill Gates, hingga figur politik dan intelektual dunia yang mendorong inisiatif filantropi dan bantuan untuk negara-negara Selatan.
Singkat kata, bagi Singer, berderma adalah aksi etis nan politis, dengan para dermawan sebagai para pelopornya dan organisasi serta lembaga kemanusiaan dan filantropi sebagai kendaraan politiknya.
Familiar? Tentu saja. Argumen inilah yang di kemudian hari dipakai oleh para kapitalis raksasa seperti investor Warren Buffett, pendiri Microsoft Bill Gates, dan miliarder kripto muda Samual Bankman-Fried alias SBF. SBF misalnya, membaca karya Singer saat remaja, dan ide-ide Altruisme Efektif meyakinkannya untuk menjadi pialang kripto-cum-dermawan.
Sejatinya, tidak ada yang benar-benar baru dari filantropi kapitalis global ini, tetapi, packaging dan marketing-nya membuat bisnis donasi para filantropis pengemplang pajak ini terlihat ‘humanitarian’ dan bahkan ‘progresif.’ Tertarik mengembangkan pembangkit listrik hidroelektrik dan ekowisata? Howard Buffett, anak Warren Buffett, punya jawabannya. Panik menghadapi kiamat kecil berupa perubahan iklim? Bill dan Melinda Gates punya solusinya. Terenyuh melihat nasib para hewan di industri ternak? Tenang saja, SBF pun demikian. Slogannya, setiap dollar, rupiah, atau bitcoin anda akan membantu pengembangan obat malaria, vaksin baru, dan inisiatif kemanusiaan lainnya.
Saya curiga, jangan-jangan paham Altruisme Efektif juga diam-diam diimani oleh umat Islam Indonesia, terutama para kelas menengah dan elitnya. Ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf, meskipun ditunaikan secara massif, direduksi menjadi persoalan preferensi donasi individu seorang Muslim untuk kegiatan dan penerima favoritnya, seperti santunan untuk anak yatim piatu, kesejahteraan kaum fakir miskin, atau wakaf tanah untuk aktivitas pendidikan.
Apa yang bermasalah dengan Altruisme Efektif? Bukankah berdema adalah satu hal yang baik? Tentu saja membantu sesama yang menderita lebih baik dari berdiam diri. Tetapi, perlu kita ingat bahwa berderma tanpa membongkar struktur penindasan, tanpa memberikan alternatif, semacam memberikan salep dan obat penenang kepada pasien yang sakit keras.
Matthew Snow, seorang pembelajar filsafat, mencatat sejumlah masalah dengan ide Altruisme Efektif. Kritik Snow berfokus kepada tiga aspek, yaitu asumsi interaksi/relasi sosial antara manusia dalam analogi yang dipakai Singer, absennya analisis mengenai kondisi struktural dan peranan kapital dalam perspektif Altruisme Efektif, dan preskripsi kebijakannya.
Secara singkat, kritik Snow adalah sebagai berikut. Pertama, analogi Singer seakan-akan mengasumsikan bahwa interaksi/relasi sosial antara seorang manusia dengan manusia lainnya yang menderita adalah sebangun atau dapat direduksi menjadi hubungan antara calon donatur dengan penerima bantuan potensial. Kita tahu bahwa model ini, yang secara tidak langsung mengamini logika transaksional (pasar) dalam relasi sosial, tidak merepresentasikan kompleksitas masyarakat (dan relasi sosial produksi yang membentuknya) dengan baik.
Kedua, abstraksi dan visi tentang masyarakat a la Altruisme Efektif tentu saja abai dengan konteks kapitalisme. Logika akumulasi kapital dan pengejaran keuntungan merampas hak mereka yang terpinggirkan dan berbagai sumber daya untuk memberikan hidup yang layak bagi para “penerima bantuan potensial” tanpa perlu bergantung dengan filantropi.
Ketiga, preskripsi yang dianjurkan oleh Altruisme Efektif dapat diperas menjadi tiga pilihan, yaitu: 1) menjadi juragan kapitalis atau profesional berpenghasilan tinggi demi menyelamatkan dunia, 2) bekerja untuk lembaga filantropi kapitalis, atau 3) bekerja di sektor riset, advokasi, atau kebijakan pro-kapital.
Kita juga dapat menambahkan sejumlah keberatan bagi Altruisme Efektif, seperti struktur industri filantropi global yang tidak demokratis, bagaimana filantropi kapitalis berkontribusi kepada agenda privatisasi dan pemangkasan hak dan anggaran sosial, atau bagaimana asumsi utilitarian dalam pemikiran Singer dapat menjadi pembuka jalan bagi komodifikasi hak-hak warga yang marginal. Amatan di tingkat makro maupun di lapangan juga mengkonfirmasi masalah-masalah tersebut.
Sejumlah persoalan ini perlu menjadi catatan bagi pengkaji dan pegiat filantropi Islam di Indonesia. Untuk itu, kita perlu melihat dan mengevaluasi kondisi sektor tersebut.
Praktik dan Potensi Filantropi Islam di Indonesia
Sebagaimana telah saya singgung di atas, ada yang bermasalah dari penerimaan asumsi-asumsi Altruisme Efektif dalam praktik filantropi Islam. Salah satu konsekuensi yang problematis dari penerimaan tersebut adalah individualisasi ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). Proses individualisasi tersebut, dalam hemat saya, secara gradual menghilangkan dimensi kolektif/berjamaah, spirit solidaritas, dan tujuan penyucian harta dari ibadah ziswaf.
Individualisasi ziswaf dengan kata lain adalah suatu proyek yang ganjil, satu kebetulan yang lahir dalam konteks masyarakat Muslim yang terlempar dan hidup dalam kapitalisme. Padahal, potensi ziswaf sangatlah besar. Data terakhir dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) misalnya mencatat bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun. Data yang sama juga mencatat bahwa zakat yang terkumpul pada 2021 misalnya baru mencapai Rp 17 triliun. Artinya, jumlah pemasukan dan pengumpulan zakat sebenarnya bisa lebih digenjot.
Yang juga tidak kalah problematis adalah basis kelas yang menjadi promotor dan penggerak utama dari praktik filantropi Islam di Indonesia, yaitu kelas menengah/borjuis kecil Muslim. Kecenderungan visi, misi, dan praktik filantropi Islam dari kelas ini adalah, seperti jenis aktivisme mereka yang lain, berwatak reformis. Para pegiat filantropi Islam ini, yang mengamini jalan evolusioner/gradual menuju keadilan sosial, ingin membentuk dunia seturut dengan citra diri dan pandangan hidup mereka sebagai kelas menengah reformis. Mereka lupa bahwa cita-cita seperti ini bisa berujung kepada keyakinan dan implementasi pada ide-ide yang terlihat inovatif tetapi sebenarnya karitatif. Tidak hanya itu, struktur pengelolaan filantropi dan bahkan dana publik yang dibayangkan oleh kelas ini bisa jadi jauh dari demokratis. Semua ide ini menemukan gaungnya dalam berbagai gagasan reformis-liberal hari ini seperti Altruisme Efektif. Lagi-lagi, kita hanya diberikan obat pilek untuk mengatasi bengek yang parah dan berkepanjangan akibat kapitalisme.
Sedikit Tawaran menuju Filantropi Islam Progresif
Bagaimana menghadapi kebuntuan dan involusi dari gagasan dan praktik kontemporer filantropi Islam dan global? Apa saja tawaran dan bahan refleksi yang perlu kita pelajari, rujuk, dan terapkan? Saya pikir ada sejumlah petunjuk untuk keluar dari kebuntuan teoretik dan politik ini.
Pertama-tama, filantropi Islam mau tidak mau harus ditempatkan dalam upaya membangun demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat pekerja. Ini berarti mengedepankan orientasi redistribusi dan dekomodifikasi dalam berbagai layaran penyaluran ziswaf, alih-alih sekedar menjadi perpanjangan tangan korporasi dan kaum mustakbirin dalam menggembosi dan memangkas berbagai jaminan sosial dan hak rakyat.
Ketiga, yang tidak kalah penting, filantropi Islam haruslah berangkat dari kolaborasi yang egalitarian antara mereka yang berhak dengan mereka yang memberikan sebagian hartanya. Bergerak dari orientasi yang karitatif dan penuh dengan nuansa ‘belas kasihan’ kaum elit dan kelas menengah Muslim terhadap penderitaan manusia menjadi sebuah ikhtiar yang dipandu oleh inisiatif dari kaum mustadh’afin atau rakyat pekerja itu sendiri.
Pendeknya, filantropi Islam haruslah diinspirasi dan dipersenjatai oleh upaya pembangunan ekonomi solidaritas. Sejumlah peneliti dan ekonom heterodoks, seperti Tom Malleson,Richard D. Wolff, dan Bruno Jossa telah merumuskan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk mendorong demokratisasi ekonomi dan kesejahteraan untuk semua, mulai dari kontrol atas sektor finansial dan investasi, koperasi pekerja, hingga transformasi firma kapitalis menjadi unit usaha buruh. Upaya transformasi dari bawah ini juga perlu didukung oleh upaya transformasi ekonomi dari atas, seperti industrialisasi bertahap dan kontekstual yang didorong negara. Dengan begitu, kita bisa menemukan dan menerapkan model filantropi Islam yang lebih maju.
Keempat, di tengah terkuaknya kasus penggelapan dana di satu lembaga ziswaf, para pegiat filantropi Islam juga harus berani melakukan otokritik terhadap praktik kelembagaan dan pengelolaan dana serta organisasi yang ada. Berkaca dari kasus tersebut, saya pikir para pegiat filantropi Islam harus memastikan terlaksananya mekanisme organisasional kolektif yang dapat mencegah penyelewangan dana publik. Pembatasan dana operasional dan fasilitas bagi para amil zakat alias pengelola dana filantropi Islam (mungkin kita bisa mengambil inspirasi dari upaya mengontrol politik uang dari negeri ini) yang disesuaikan dengan norma kepantasan publik merupakan satu solusi bagi masalah di atas.
Pertanyaannya, apakah kita mau mengerjakan eksperimen tersebut? Inilah pertanyaan yang harus dijawab bagi mereka yang ingin membangun kedaulatan umat secara rasional, saintifik, sistematis, sabar, istiqamah, dan amanah.***
Iqra Anugrah adalah ko-editor IndoProgress dan pegiat di Laziswaf Daulat Umat (daulatumat.or.id). Esai ini dirumuskan berdasarkan pemaparan yang disampaikan dalam diskusi “Mengulik Gerakan Filantropi Islam (Ziswaf) di Indonesia: Sejarah dan Respon Kritis Atasnya” yang diselenggarakan oleh Daulat Umat pada 16 April 2022.
PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua.
Ilusi bahwa kondisi pandemi di tahun 2021 akan menjadi lebih baik terbongkar sudah. Ketika jumlah kasus Covid-19 di negara-negara Utara menurun secara signifikan, jumlah penderita dan korban Covid-19 di negara-negara Selatan justru melonjak tajam. Di balik momen-momen ‘kehidupan normal’ di kawasan dan negara kapitalis maju, ada tragedi kemanusiaan di India dan kawasan pinggiran lainnya. Tak terkecuali Indonesia. Sampai tulisan ini dibuat, sudah tak terhitung kabar darurat dan duka yang saya dengar dari keluarga, kerabat, dan kawan-kawan saya. Bisa dikatakan, semua orang di Indonesia –termasuk keluarga saya– sudah terkena imbas pandemi Covid-19.
Kekalutan massal ini, hikmahnya, memaksa kita untuk berpikir kembali secara keras dan reflektif mengenai kapitalisme dan pandemi Covid-19. Sembari bertahan hidup bak seorang eksil, bromocorah, atau gerilyawan, berpikir keras bukanlah kemewahan, melainkan keharusan di sela-sela upaya, baik secara individual maupun kolektif, untuk mencari obat dan penanganan medis bagi orang-orang sekitar yang terkena Covid, untuk menggalang dana solidaritas dan ketersediaan pangan.
Bagi saya, arah dunia ke depan akan semakin tak menentu dan bergejolak. Sejak dulu saya skeptis dengan triumfalisme liberal bahwa dunia akan semakin bergerak ke arah yang lebih baik. Bahkan pengasong ide-ide liberal kelas kakap seperti Steven Pinker dan Yuval Noah Harari terpaksa menyajikan analisis yang lebih membumi, bahwa ‘kemajuan dunia’ yang mereka impikan tidak selalu mulus, bahwa masa depan dunia selanjutnya penuh dengan kontingensi dan ketidakpastian. Apa yang terjadi di depan kita semua semasa pandemi adalah pertanda pergolakan yang semakin dekat. Sebagai seorang materialis, saya tidak sepenuhnya pesimis. Tetapi, bagi saya, tidaklah terlalu spekulatif untuk mengklaim bahwa kita perlu bersiap-siap untuk menghadapi letusan politik, ekonomi, sosial, dan ekologis yang akan muncul pasca-pandemi.
Pasca pandemi, ada tiga tantangan besar yang menanti, yaitu: 1) pemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat, 2) posisi sains di tengah masyarakat, dan 3) kenaikan politik Bonapartis untuk mendukung stabilitas tatanan kapitalis.
Di titik ini, ada baiknya kita menengok kembali sejumlah argumen, perdebatan, dan diskusi yang sudah ada. Tentu saya tidak berbicara mengenai akrobatik intelektual yang buang-buang pulsa dan waktu. Apa yang dilakukan oleh para pekerja ojek online jauh lebih riil, dalam, dan bermanfaat ketimbang ‘perdebatan’ tersebut. Perdebatan yang saya maksud adalah perdebatan di kalangan gerakan sosial dan implikasinya bagi perjuangan rakyat ke depannya.
Menengok Kembali Perdebatan tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19
Ada dua argumen yang ingin saya tanggapi. Pertama, analisis Martin Suryajaya atas tatanan ekonomi dan politik dunia pasca krisis yang diakselerasi oleh pandemi. Kedua, elaborasi komprehensif mengenai asal-usul dan dampak ekonomi-politik dari pandemi Covid-19 sertakaitannya dengan krisis kapitalisme secara lebih luas yang disusun oleh kawan-kawan Intrans Institute di Malang. Ada sejumlah hal yang saya sepakati dan tidak sepakati dari analisis-analisis tersebut dan perlu kita klarifikasi ulang demi langkah kita ke depan.
Hal lain yang juga absen dan tidak kalah penting untuk dibahas ialah upaya aktif untuk menanggulangi dampak pandemi dan kapasitas politik untuk melakukan terobosan-terobosan politik pasca pandemi dari massa, rakyat pekerja. Apa saja inisiatif dan inovasi yang dilakukan oleh berbagai elemen dari rakyat pekerja, baik secara spontan dan organik maupun organisasional dan terkoordinir dalam mengatasi dampak pandemi, serta apa saja capaian dan batasan dari aktivitas-aktivitas tersebut? Seperti apa kekuatan politik riil dari massa sekarang dan apa langkah politik yang perlu dirumuskan setelah pandemi ini berakhir dengan kondisi massa yang terengah-engah bertahan hidup? Dengan kata lain, kita perlu membaca masalah dan merumuskan strategi-taktik yang lebih materialis.
Lebih lanjut, pemaparannya dan pembelaannya atas datakrasi – setidaknya dalam versi yang ia pahami – membuang elemen-elemen politis dari operasi teknologi itu sendiri. Buat saya, sulit untuk memercayai hipotesis seperti ini. Bahkan kalau umat manusia sudah bisa tinggal di luar bumi dan terjadi interaksi antar-spesies (atau antar entitas manusia dan robotik) lintas galaksi; masyarakat dan relasi kelas kemungkinan besar tetap akan muncul. Selama ada interaksi sosial-produksi, sekalipun itu melibatkan genderuwo, plankton, mahluk Mars, atau droid Star Wars, maka relasi dan kesenjangan kelas kemungkinan besar akan selalu ada. Dengan kata lain, ini pada hakikatnya adalah persoalan ekonomi-politik dan masalah politik membutuhkan solusi politik. Apa yang seharusnya diperjuangkan bukanlah datakrasi per se, apalagi mengabsolutkannya. Apabila kita menjadikan pengetahuan dan sejarah Kiri sebagai basisnya, maka yang harusnya diperjuangkan adalah sosialisme sibernetik yang demokratis, terpimpin, dan dimotori rakyat pekerja, alih-alih datakrasi.
Analisis yang cenderung lebih analitis, materialis, dan membumi, menurut saya, dipaparkan oleh kawan-kawan Intrans. Di sini saya tidak akan banyak mengulang butir-butir pembahasan dari buku tersebut, melainkan hanya akan fokus ke beberapa bagian. Pertama, buku tersebut dengan cukup ekstensif membahas bagaimana kapitalisme turut berkontribusi kepada kerusakan alam, perpecahan metabolis antara manusia dan alam demi profit dalam tatanan kapitalis, dan pada akhirnya berkontribusi kepada merebaknya wabah penyakit termasuk Covid-19. Menurut saya, ini kontribusi penting yang perlu dibaca secara lebih luas oleh kalangan gerakan sosial di Indonesia sebagai referensi ilmiah maupun bahan diskusi untuk perumusan langkah-langkah konkret kedepannya, terutama di arena advokasi isu-isu kesehatan dasar publik, kesetaraan ekonomi, dan krisis sosio-ekologis.
Tetapi, ada satu hal yang luput dan perlu dibahas lebih lanjut, yaitu kritik internal dan simpatik terhadap eksperimen sosialis dan progresif di ranah kesehatan dan lingkungan hidup dalam berbagai bentuknya, antara lain solidaritas medis Kuba, politik ekososialisme partai-partai Kiri di Amerika Latin, dan politik Hijau di sejumlah negara Barat. Tentu saja keberhasilan dari proyek politik tersebut perlu diapresiasi, dipelajari, dan bahkan diemulasi dan diadaptasi di Indonesia. Akan tetapi, yang juga tidak kalah penting adalah melakukan kritik atas pencapaian tersebut. Kita bisa mengkritik imperialisme vaksin Barat dan mengapresiasi peranan Tiongkok dalam penyediaan vaksin bagi banyak negara berkembang dan di saat bersamaan mengkritik kualitas vaksin Sinovac dan intransparansi politik di belakangnya. Tanpa kritik internal, maka kita akan kesulitan dan bahkan gagal merumuskan solusi sosialis yang jitu terhadap persoalan kesehatan publik dan dalam masyarakat kapitalis.
Tiga Tantangan Besar pasca Pandemi
Kembali ke kondisi kita sekarang. Di Indonesia, kita menyaksikan inkompentensi pemerintah dan keabaian dari para elit – yang tidak pernah benar-benar peduli dengan rakyat pekerja – dalam menghadapi badai pandemi Covid-19. Apa yang membuat pilu dan membangkitkan amarah dari semua ini adalah fakta keras bahwa katastrofi ini bisa dihindari. Dengan penanganan yang lebih baik dan bahkan dari kacamata yang sangat utilitarian dan kapitalistik sekalipun, jumlah penderita Covid-19 dan korban kematian bisa ditekan secara lebih signifikan.
Sebelum kembali mengerjakan amanat-amanat yang lebih mendesak, baik dalam hal menjaga kesehatan bersama maupun tugas-tugas di gerakan sosial, izinkan saya memaparkan seperti apa kira-kira tiga tantangan yang akan kita hadapi di masa pasca pandemi ini ke depannya.
Pertama adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat. Kapitalisme memang senantiasa mengakibatkan krisis, tetapi pandemi Covid-19 kali ini semakin memperparah krisis tersebut. Pandemi semakin memperparah ketimpangan dan di saat yang bersamaan menyatukan banyak orang, terutama kelas-kelas pekerja dan lapisan yang rentan dari apa yang disebut sebagai ‘kelas menengah.’ Bahkan menurut Bank Dunia, status Indonesia turun dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah bawah. Dengan kata lain, proses-proses pemiskinan dan perampasan justru berjalan semakin intensif di kala pandemi (lihat bagaimana kapitalis raksasa seperti kapitalis vaksin alias Big Pharma dan Amazon meraup keuntungan besar selama pandemi).
Ini adalah bom waktu yang suatu saat akan meledak. Dengan kondisi publik secara umum yang babak belur dihajar pandemi, ketidakpuasan kepada kerja pemerintah, dan kondisi politik yang semakin illiberal alias represif secara perlahan, maka bagi saya tidak mengejutkan apabila terjadi letusan-letusan protes dan aksi massa di beberapa tahun ke depan. Tahun lalu, kita menyaksikan gelombang aksi massa yang besar bahkan di tengah-tengah kondisi pandemi. Ketika jumlah angka kasus dan kematian menurun dan kondisi kehidupan pelan-pelan kembali membaik, bukan tidak mungkin bahwa publik akan mengekspresikan ‘amarah demokratis’ mereka dengan jalur-jalur kontestasional.
Tantangan ketiga dan yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah menguatnya tendensi politik Bonapartis dalam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia, para pengamat dan pengkaji politik melabeli ini sebagai illiberal turn (belokan illiberal) atau kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi ini bukan hanya persoalan kecenderungan illiberal dalam artian behavioral dan kultural, melainkan suatu fenomena struktural yang akan muncul dan menguat dalam konjungtur-konjungtur politik tertentu demi restorasi dan stabilitasi tatanan kapitalis.
Indonesia saat ini mengingatkan saya kepada Republik Weimar di Jerman (1918-1933). Capaian-capaian reformasi, sebagaimana nasib politik reformis di Republik Weimar, ternyata tidak sekokoh yang kita kira. Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia sama dengan Republik Weimar – jelas berbeda. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara konteks sejarah dunia dan kapitalisme global yang dihadapi dua entitas politik tersebut. Tetapi, Indonesia bisa belajar dari nasib Republik Weimar: dampak dari krisis kapitalisme yang akseleratif dapat berujung kepada keruntuhan tatanan liberal demokratik, krisis politik yang penuh letupan, dan kebangkitan politik otoriter.
Melihat tren politik Indonesia yang semakin mengkhawatirkan belakangan ini, serta kecenderungan lapisan oligarki, kelas kapitalis secara keseluruhan, dan elit negara pendukungnya untuk mengamankan ‘stabilitas’ bahkan dengan mengorbankan demokrasi dan nasib rakyat pekerja, maka kita perlu waspada dan bersiap dengan perkembangan ke depan.
Inilah tantangan-tantangan yang akan kita hadapi dalam beberapa tahun ke depan. Cepat atau lambat, suka tidak suka, siap tidak siap, kita akan menghadapinya. Sekali lagi, gerakan sosial dan rakyat pekerja di Indonesia kembali dihadapkan dalam sebuah situasi maha sulit dan dipaksa untuk mencari jalan keluar dari krisis yang pelik ini.***
law-justice.co – Hawa politik semakin memanas di tahun politik.Hanya beberapa bulan menuju Pemilu 2024, intrik politik mulai diluncurkan oleh para elite politik. Sehingga rakyat seolah dibikin melihat dinamika perpolitikan kini hanya seputar pertarungan antara kelompok politik penguasa pro status quo melawan kelompok oposisi yang menghendaki peralihan kekuasaan.
Ikut campurnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam politik elektoral jelang Pemilu, semakin membuat panas iklim politik dalam negeri. Mulanya, gelagat politik ini terkesan samar-samar, namun belakangan justru Jokowi mengakui dirinya sedang cawe-cawe untuk pemenangan capres dari partainya, PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo.
Cawe-cawe sebuah frasa lama yang secara harafiah, menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, memiliki makna ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani. Namun, saat memasuki khazanah politik, kecenderungan aksi akan menentukan nilai dari kata cawe-cawe ini…..
Pertarungan Elit Hanya Untungkan Oligarki, Rakyat Dapat Apa?
Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden, Iqra Anugrah, mengungkapkan dinamika politik yang terjadi hari-hari ini jelang Pemilu merupakan pertikaian antar oligarki. Baik mereka yang berada dalam status quo kekuasaan maupun mereka kelompok oposisi. Ia menjelaskan, tesis oligarki dalam politik Indonesia ini merujuk ke bagaimana politik, bahkan dalam sistem demokrasi elektoral sekalipun, itu seringkali didominasi oleh jejaring elite ekonomi dan politik yang bermuara pada kepentingan segelintir elite.
“Terkait dinamika politik hari ini, yang saya ingin tekankan jangan sampai kita lupa gambaran besarnya bahwa yang terjadi adalah sebenarnya kompetisi intra oligarki di antara aktor-aktor dalam jejaring oligarki itu sendiri. Mereka memiliki pertemuan kepentingan yang sangat erat. Jadi, kita bukan berbicara individu ke individu, tokoh ke tokoh, tapi mengenai jejaring elite politik yang senantiasa mereproduksi dirinya sehingga bisa membajak proses dan juga juga tujuan dari mekanisme demokrasi itu sendiri,” kata Iqra saat dihubungi Law-justice, Rabu (7/6/2023).
Iqra menitikberatkan praktik oligarki yang menggerogoti sistem politik Indonesia hari ini merupakan manifestasi wajah politik Tanah Air sejak lama. Meski ada letupan-letupan kecil dari kalangan reformis pasca era Orde Baru untuk mengubah karakteristik politik, akan tetapi pada akhirnya luruh pada kekuasaan. “Politik Indonesia pasca Reformasi bisa dibilang bagian dari reproduksi dari proses oligarki tersebut. Meskipun kerap disebut Jokowi di awal-awal kemunculannya sebagai tokoh reformis ketika naik takhta kepemimpinan nasional di 2014. Tapi pada perjalanannya, ia masuk dalam jejaring oligarki itu” ujar dia.
Iqra Anugrah, Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden.
Ia berkata, dalam relasi oligarki, para elite partai politik yang ada ini memiliki kuasa untuk memframing arah demokrasi berdasar kepentingan. Lalu, berdaulat atas kontrol sumber daya politik, ekonomi dan sumber daya alam, macam tanah hingga batubara. Jika ditilik, di antar kubu politik yang tengah bertikai, terdapat karakteristik oligarki tersebut. Misal para elite politik yang memiliki jejaring bisnis di sektor ekstraktif.
Di kubu Jokowi, ada nama Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki korporasi tambang batubara bernama PT Toba Sejahtera. Sedangkan, di kubu Anies, bercokol Surya Paloh yang memiliki kapital melalui perusahaan tambang seperti PT Emas Mineral Murni dan PT Surya Energi Raya.