Catatan Kritis untuk Filantropi Islam di Indonesia

3 Juli 2022

Catatan Kritis untuk Filantropi Islam di Indonesia


KONDISI kerentanan akibat berbagai momen kritis yang kita hadapi dalam beberapa tahun terakhir—mulai dari pandemi Covid-19 hingga efek dari kebijakan-kebijakan kapitalistik—masih kita rasakan hingga sekarang. Salah satu respons cepat publik yang deras mengalir untuk mengatasi persoalan tersebut adalah berbagai bentuk sumbangan dan tindakan solidaritas yang bersifat karitatif—dengan kata lain filantropi. Reaksi cepat ini bertumpu pada satu asumsi bahwa berderma adalah solusi jitu dan tepat sasaran di momen-momen kritis atau bahkan di masa krisis panjang sekalipun.

Tentu narasi ini sangat familiar bagi umat Islam, terutama di periode antara bulan Ramadhan dan Idul Adha, ketika mereka yang memiliki kemampuan ekonomi wajib untuk menunaikan zakat fitrah dan berkurban untuk kaum fakir miskin dan golongan-golongan lain yang berjuang. Tidak perlu diragukan bahwa potensi kolektif dari berbagai jenis aktivitas sedekah ini amat besar, baik dalam hal pengumpulan dana maupun distribusinya.

Tetapi, pertanyaan yang lebih besarnya adalah, apakah pemahaman dan model konvensional dari filantropi Islam ini cukup? Mungkinkan kita membayangkan dan merumuskan model filantropi dan solidaritas sosio-ekonomi Islam yang lebih maju? Bagaimana kita memastikan pengelolaan dana umat atau dana publik secara akuntabel, transparan, dan demokratis, terutama di tengah kritik atas penyelewengan dana di sektor filantropi Islam? Inilah persoalan yang akan coba dijawab di dalam pemaparan singkat ini. Analisis dalam esai ini tidak bertujuan untuk memberikan analisis apalagi teroborosan fiqh atau jurisprudensi Islam—untuk itu, saya serahkan kepada ahlinya. Kali ini, yang ingin saya angkat adalah refleksi dan sejumlah tawaran tentang filantropi Islam dari perspektif seorang pegiat ekonomi gerakan dan pembelajar ekonomi-politik.


Membongkar Altruisme Efektif dan Praktik Filantropi Global

Salah satu argumen filosofis yang mempengaruhi gerakan filantropi kontemporer adalah Altruisme Efektif (Effective Altruism). Salah satu promotor terkemuka dari gagasan ini adalah filsuf utilitarian-analitik asal Australia, Peter Singer. Dalam artikel klasiknya yang berjudul ”Famine, Affluence, and Morality” (1971) Singer berpendapat bahwa mereka yang kaya dan berkecukupan, terutama yang tinggal di negara-negara kaya di Utara, memiliki kewajiban moral untuk membantu mengurangi jumlah kesengsaraan hebat di dunia melalui harta kekayaan mereka. Berangkat dari tradisi etika utilirarian dan rasa terenyuhnya melihat korban Perang Kemerdekaan Bangladesh, Singer memakai satu analogi untuk meyakinkan pembacanya: apabila kita akan segera tergerak menyelamatkan seorang anak kecil yang tenggelam di satu danau meskipun baju kita akan basah, mengapa lantas kita tidak tergerak untuk menyelamatkan warga sipil yang kelaparan dan membutuhkan penanganan medis dalam kondisi perang? Argumen ini secara lebih elaboratif kemudian dijabarkan oleh Singer dalam bukunya, The Life You Can Save (2009) yang menjelaskan secara detail salah satu strategi implementasi utama dari falsafah Altruisme Efektif: berdonasi kepada lembaga-lembaga filantropi dengan profesionalitas tinggi dan dedikasi kepada kaum marjinal. Dalam buku tersebut, Singer juga menyebutkan cerita-cerita tauladan dari berbagai figur (elite), mulai dari para profesional humanis di sektor korporat, oligark-oligark dermawan seperti Bill Gates, hingga figur politik dan intelektual dunia yang mendorong inisiatif filantropi dan bantuan untuk negara-negara Selatan.

 Singkat kata, bagi Singer, berderma adalah aksi etis nan politis, dengan para dermawan sebagai para pelopornya dan organisasi serta lembaga kemanusiaan dan filantropi sebagai kendaraan politiknya.

 Familiar? Tentu saja. Argumen inilah yang di kemudian hari dipakai oleh para kapitalis raksasa seperti investor Warren Buffett, pendiri Microsoft Bill Gates, dan miliarder kripto muda Samual Bankman-Fried alias SBF. SBF misalnya, membaca karya Singer saat remaja, dan ide-ide Altruisme Efektif meyakinkannya untuk menjadi pialang kripto-cum-dermawan.

 Sejatinya, tidak ada yang benar-benar baru dari filantropi kapitalis global ini, tetapi, packaging dan marketing-nya membuat bisnis donasi para filantropis pengemplang pajak ini terlihat ‘humanitarian’ dan bahkan ‘progresif.’ Tertarik mengembangkan pembangkit listrik hidroelektrik dan ekowisata? Howard Buffett, anak Warren Buffett, punya jawabannya. Panik menghadapi kiamat kecil berupa perubahan iklim? Bill dan Melinda Gates punya solusinya. Terenyuh melihat nasib para hewan di industri ternak? Tenang saja, SBF pun demikian. Slogannya, setiap dollar, rupiah, atau bitcoin anda akan membantu pengembangan obat malaria, vaksin baru, dan inisiatif kemanusiaan lainnya.

 Saya curiga, jangan-jangan paham Altruisme Efektif juga diam-diam diimani oleh umat Islam Indonesia, terutama para kelas menengah dan elitnya. Ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf, meskipun ditunaikan secara massif, direduksi menjadi persoalan preferensi donasi individu seorang Muslim untuk kegiatan dan penerima favoritnya, seperti santunan untuk anak yatim piatu, kesejahteraan kaum fakir miskin, atau wakaf tanah untuk aktivitas pendidikan.

 Apa yang bermasalah dengan Altruisme Efektif? Bukankah berdema adalah satu hal yang baik? Tentu saja membantu sesama yang menderita lebih baik dari berdiam diri. Tetapi, perlu kita ingat bahwa berderma tanpa membongkar struktur penindasan, tanpa memberikan alternatif, semacam memberikan salep dan obat penenang kepada pasien yang sakit keras.

 Matthew Snow, seorang pembelajar filsafat, mencatat sejumlah masalah dengan ide Altruisme Efektif. Kritik Snow berfokus kepada tiga aspek, yaitu asumsi interaksi/relasi sosial antara manusia dalam analogi yang dipakai Singer, absennya analisis mengenai kondisi struktural dan peranan kapital dalam perspektif Altruisme Efektif, dan preskripsi kebijakannya.

 Secara singkat, kritik Snow adalah sebagai berikut. Pertama, analogi Singer seakan-akan mengasumsikan bahwa interaksi/relasi sosial antara seorang manusia dengan manusia lainnya yang menderita adalah sebangun atau dapat direduksi menjadi hubungan antara calon donatur dengan penerima bantuan potensial. Kita tahu bahwa model ini, yang secara tidak langsung mengamini logika transaksional (pasar) dalam relasi sosial, tidak merepresentasikan kompleksitas masyarakat (dan relasi sosial produksi yang membentuknya) dengan baik.

 Kedua, abstraksi dan visi tentang masyarakat a la Altruisme Efektif tentu saja abai dengan konteks kapitalisme. Logika akumulasi kapital dan pengejaran keuntungan merampas hak mereka yang terpinggirkan dan berbagai sumber daya untuk memberikan hidup yang layak bagi para “penerima bantuan potensial” tanpa perlu bergantung dengan filantropi.

 Ketiga, preskripsi yang dianjurkan oleh Altruisme Efektif dapat diperas menjadi tiga pilihan, yaitu: 1) menjadi juragan kapitalis atau profesional berpenghasilan tinggi demi menyelamatkan dunia, 2) bekerja untuk lembaga filantropi kapitalis, atau 3) bekerja di sektor riset, advokasi, atau kebijakan pro-kapital.

Kita juga dapat menambahkan sejumlah keberatan bagi Altruisme Efektif, seperti struktur industri filantropi global yang tidak demokratis, bagaimana filantropi kapitalis berkontribusi kepada agenda privatisasi dan pemangkasan hak dan anggaran sosial, atau bagaimana asumsi utilitarian dalam pemikiran Singer dapat menjadi pembuka jalan bagi komodifikasi hak-hak warga yang marginal. Amatan di tingkat makro maupun di lapangan juga mengkonfirmasi masalah-masalah tersebut.

Sejumlah persoalan ini perlu menjadi catatan bagi pengkaji dan pegiat filantropi Islam di Indonesia. Untuk itu, kita perlu melihat dan mengevaluasi kondisi sektor tersebut.


Praktik dan Potensi Filantropi Islam di Indonesia

Sebagaimana telah saya singgung di atas, ada yang bermasalah dari penerimaan asumsi-asumsi Altruisme Efektif dalam praktik filantropi Islam. Salah satu konsekuensi yang problematis dari penerimaan tersebut adalah individualisasi ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). Proses individualisasi tersebut, dalam hemat saya, secara gradual menghilangkan dimensi kolektif/berjamaah, spirit solidaritas, dan tujuan penyucian harta dari ibadah ziswaf.

Saya teringat kisah sahabat Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, yang memerangi para pembangkang yang memilih membelot dari Islam dan menolak membayar zakat, sebuah kampanye militer yang kelak dikenang sebagai Perang Riddah. Dalam masa pemerintahannya sebagai Khalifah, Abu Bakar RA tidak hanya memerangi para murtadin dan nabi-nabi palsu, tetapi juga terhadap upaya untuk merampas hak-hak fakir miskin dan segenap kaum mustadh’afin lainnya. Tidaklah berlebihan saya pikir untuk menyebutkan bahwa ada aspirasi redistribusionis dan cita-cita emansipatoris dalam zakat dan berbagai jenis sedekah lainnya.

Individualisasi ziswaf dengan kata lain adalah suatu proyek yang ganjil, satu kebetulan yang lahir dalam konteks masyarakat Muslim yang terlempar dan hidup dalam kapitalisme. Padahal, potensi ziswaf sangatlah besar. Data terakhir dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) misalnya mencatat bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun. Data yang sama juga mencatat bahwa zakat yang terkumpul pada 2021 misalnya baru mencapai Rp 17 triliun. Artinya, jumlah pemasukan dan pengumpulan zakat sebenarnya bisa lebih digenjot.

Tetapi, tantangan filantropi Islam bukan hanya soal jumlah target donasi zakat semata. Skema pengelolaan dan pemanfaatan dana ziswaf misalnya adalah satu hal yang harus dipikirkan bersama secara lebih serius. Sejumlah kajian telah menunjukkan sejumlah implementasi kreatif dari filantropi Islam, seperti menargetkan pekerja migran Indonesia sebagai penerima zakat dan membangun klinik kesehatan bagi kaum fakir miskin dengan dana zakat. Di sisi lain, filantropi Islam di Indonesia juga rawan diapropriasi oleh kelompok elit seperti partai-partai politik arus utama atau para pemakan rente/kaum penghisap nilai lebih lainnya.

Yang juga tidak kalah problematis adalah basis kelas yang menjadi promotor dan penggerak utama dari praktik filantropi Islam di Indonesia, yaitu kelas menengah/borjuis kecil Muslim. Kecenderungan visi, misi, dan praktik filantropi Islam dari kelas ini adalah, seperti jenis aktivisme mereka yang lain, berwatak reformis. Para pegiat filantropi Islam ini, yang mengamini jalan evolusioner/gradual menuju keadilan sosial, ingin membentuk dunia seturut dengan citra diri dan pandangan hidup mereka sebagai kelas menengah reformis. Mereka lupa bahwa cita-cita seperti ini bisa berujung kepada keyakinan dan implementasi pada ide-ide yang terlihat inovatif tetapi sebenarnya karitatif. Tidak hanya itu, struktur pengelolaan filantropi dan bahkan dana publik yang dibayangkan oleh kelas ini bisa jadi jauh dari demokratis. Semua ide ini menemukan gaungnya dalam berbagai gagasan reformis-liberal hari ini seperti Altruisme Efektif. Lagi-lagi, kita hanya diberikan obat pilek untuk mengatasi bengek yang parah dan berkepanjangan akibat kapitalisme.


Sedikit Tawaran menuju Filantropi Islam Progresif

Bagaimana menghadapi kebuntuan dan involusi dari gagasan dan praktik kontemporer filantropi Islam dan global? Apa saja tawaran dan bahan refleksi yang perlu kita pelajari, rujuk, dan terapkan? Saya pikir ada sejumlah petunjuk untuk keluar dari kebuntuan teoretik dan politik ini.

Pertama-tama, filantropi Islam mau tidak mau harus ditempatkan dalam upaya membangun demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat pekerja. Ini berarti mengedepankan orientasi redistribusi dan dekomodifikasi dalam berbagai layaran penyaluran ziswaf, alih-alih sekedar menjadi perpanjangan tangan korporasi dan kaum mustakbirin dalam menggembosi dan memangkas berbagai jaminan sosial dan hak rakyat.

Kedua, orientasi politik dari proyek filantropi Islam haruslah ditempatkan dalam kerangka transformasi sosial menuju masyarakat pasca-kapitalis. Meminjam bahasa mendiang sosiolog Erik Olin Wright, filantropi Islam harus menjadi bagian dari strategi transformasi interstitial, yaitu pembangunan institusi-institusi alternatif di masyarakat berdasarkan prinsip demokratis dan berorientasi pro-pekerja sebagai tandingan dari institusi-institusi konvensional seperti bank, layanan finansial, dan layanan pendidikan seperti sekolah. Harapannya, efek akumulasi dari berbagai ikhtiar transformasi interstitial dapat memberikan daya gedor yang signifikan untuk menghajar institusi-institusi konvensional tersebut.

Ketiga, yang tidak kalah penting, filantropi Islam haruslah berangkat dari kolaborasi yang egalitarian antara mereka yang berhak dengan mereka yang memberikan sebagian hartanya. Bergerak dari orientasi yang karitatif dan penuh dengan nuansa ‘belas kasihan’ kaum elit dan kelas menengah Muslim terhadap penderitaan manusia menjadi sebuah ikhtiar yang dipandu oleh inisiatif dari kaum mustadh’afin atau rakyat pekerja itu sendiri.

Pendeknya, filantropi Islam haruslah diinspirasi dan dipersenjatai oleh upaya pembangunan ekonomi solidaritas. Sejumlah peneliti dan ekonom heterodoks, seperti Tom Malleson, Richard D. Wolff, dan Bruno Jossa telah merumuskan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk mendorong demokratisasi ekonomi dan kesejahteraan untuk semua, mulai dari kontrol atas sektor finansial dan investasi, koperasi pekerja, hingga transformasi firma kapitalis menjadi unit usaha buruh. Upaya transformasi dari bawah ini juga perlu didukung oleh upaya transformasi ekonomi dari atas, seperti industrialisasi bertahap dan kontekstual yang didorong negara. Dengan begitu, kita bisa menemukan dan menerapkan model filantropi Islam yang lebih maju.

Keempat, di tengah terkuaknya kasus penggelapan dana di satu lembaga ziswaf, para pegiat filantropi Islam juga harus berani melakukan otokritik terhadap praktik kelembagaan dan pengelolaan dana serta organisasi yang ada. Berkaca dari kasus tersebut, saya pikir para pegiat filantropi Islam harus memastikan terlaksananya mekanisme organisasional kolektif yang dapat mencegah penyelewangan dana publik. Pembatasan dana operasional dan fasilitas bagi para amil zakat alias pengelola dana filantropi Islam (mungkin kita bisa mengambil inspirasi dari upaya mengontrol politik uang dari negeri ini) yang disesuaikan dengan norma kepantasan publik merupakan satu solusi bagi masalah di atas.

Pertanyaannya, apakah kita mau mengerjakan eksperimen tersebut? Inilah pertanyaan yang harus dijawab bagi mereka yang ingin membangun kedaulatan umat secara rasional, saintifik, sistematis, sabar, istiqamah, dan amanah.***


Iqra Anugrah adalah ko-editor IndoProgress dan pegiat di Laziswaf Daulat Umat (daulatumat.or.id). Esai ini dirumuskan berdasarkan pemaparan yang disampaikan dalam diskusi “Mengulik Gerakan Filantropi Islam (Ziswaf) di Indonesia: Sejarah dan Respon Kritis Atasnya” yang diselenggarakan oleh Daulat Umat pada 16 April 2022.

Cawe-cawe Menuju 2024, Mempertahankan Demokrasi atau Syahwat Berkuasa

Jelang Pemilu, Quo Vadis Independensi Lembaga Negara?

Sabtu, 10 Juni 2023 

https://www.law-justice.co/artikel/151270/jelang-pemilu-quo-vadis-independensi-lembaga-negara/

Excerpts from my interview with Law & Justice.co

law-justice.co – Hawa politik semakin memanas di tahun politik.Hanya beberapa bulan menuju Pemilu 2024, intrik politik mulai diluncurkan oleh para elite politik. Sehingga rakyat seolah dibikin melihat dinamika perpolitikan kini hanya seputar pertarungan antara kelompok politik penguasa pro status quo melawan kelompok oposisi yang menghendaki peralihan kekuasaan. 

Ikut campurnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam politik elektoral jelang Pemilu, semakin membuat panas iklim politik dalam negeri. Mulanya, gelagat politik ini terkesan samar-samar, namun belakangan justru Jokowi mengakui dirinya sedang cawe-cawe untuk pemenangan capres dari partainya, PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo. 

Cawe-cawe sebuah frasa lama yang secara harafiah, menurut Kamus besar Bahasa Indonesia,  memiliki makna ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani. Namun, saat memasuki khazanah politik, kecenderungan aksi akan menentukan nilai dari kata cawe-cawe ini…..

Pertarungan Elit Hanya Untungkan Oligarki, Rakyat Dapat Apa?

Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden, Iqra Anugrah, mengungkapkan dinamika politik yang terjadi hari-hari ini jelang Pemilu merupakan pertikaian antar oligarki. Baik mereka yang berada dalam status quo kekuasaan maupun mereka kelompok oposisi. Ia menjelaskan, tesis oligarki dalam politik Indonesia ini merujuk ke bagaimana politik, bahkan dalam sistem demokrasi elektoral sekalipun, itu seringkali didominasi oleh jejaring elite ekonomi dan politik yang bermuara pada kepentingan segelintir elite. 

“Terkait dinamika politik hari ini, yang saya ingin tekankan jangan sampai kita lupa gambaran besarnya bahwa yang terjadi adalah sebenarnya kompetisi intra oligarki di antara aktor-aktor dalam jejaring oligarki itu sendiri. Mereka memiliki pertemuan kepentingan yang sangat erat. Jadi, kita bukan berbicara individu ke individu, tokoh ke tokoh, tapi mengenai jejaring elite politik yang senantiasa mereproduksi dirinya sehingga bisa membajak proses dan juga juga tujuan dari mekanisme demokrasi itu sendiri,” kata Iqra saat dihubungi Law-justice, Rabu (7/6/2023). 

Iqra menitikberatkan praktik oligarki yang menggerogoti sistem politik Indonesia hari ini merupakan manifestasi wajah politik Tanah Air sejak lama. Meski ada letupan-letupan kecil dari kalangan reformis pasca era Orde Baru untuk mengubah karakteristik politik, akan tetapi pada akhirnya luruh pada kekuasaan.  “Politik Indonesia pasca Reformasi bisa dibilang bagian dari reproduksi dari proses oligarki tersebut. Meskipun kerap disebut Jokowi di awal-awal kemunculannya sebagai tokoh reformis ketika naik takhta kepemimpinan nasional di 2014. Tapi pada perjalanannya, ia masuk dalam jejaring oligarki itu” ujar dia. 

Iqra Anugrah, Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden.

Ia berkata, dalam relasi oligarki, para elite partai politik yang ada ini memiliki kuasa untuk memframing arah demokrasi berdasar kepentingan. Lalu, berdaulat atas kontrol sumber daya politik, ekonomi dan sumber daya alam, macam tanah hingga batubara. Jika ditilik, di antar kubu politik yang tengah bertikai, terdapat karakteristik oligarki tersebut. Misal para elite politik yang memiliki jejaring bisnis di sektor ekstraktif.

Di kubu Jokowi, ada nama Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki korporasi tambang batubara bernama PT Toba Sejahtera. Sedangkan, di kubu Anies, bercokol Surya Paloh yang memiliki kapital melalui perusahaan tambang seperti PT Emas Mineral Murni dan PT Surya Energi Raya.   

Pandemi Bisa Sebabkan Krisis Pangan, Peneliti: Cegah Alih Fungsi Lahan Jadi Solusi

https://lipsus.kompas.com/pameranotomotifnasional2024/read/2020/04/29/075515326/pandemi-bisa-sebabkan-krisis-pangan-peneliti-cegah-alih-fungsi-lahan-jadi?page=all#page2

29 April 2020

KOMPAS.com – Peneliti agraria di Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto Jepang Iqra Anugrah mengatakan, dari perspektif agraria dampak dari pandemi Covid-19 cukup mengkhawatirkan dan patut diwaspadai. “Krisis pangan akan terjadi, dan yang akan terdampak adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan,” katanya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (29/4/2020).

Masalah ini pun sesuai dengan peringatan Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang menyebut dampak pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan resesi ekonomi, tapi juga berpotensi pada krisis pangan global.

Untuk itu, Iqra menilai, langkah mitigasi guna mencegah krisis kebutuhan pangan ini mutlak dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah dengan mencegah alih fungsi lahan.

“Mencegah alih fungsi lahan sangat penting, tapi tidak cukup itu. Selain itu, yang harus didorong adalah pembangunan sektor agraria yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, alih-alih sekadar pasar,” katanya.

Lalu, langkah berikutnya adalah mendorong adanya agenda redistribusi lahan dan penyelesaian konflik-konflik agraria.

“Terakhir, pemerintah juga perlu mengakomodasi pola kepemilikan lahan yang bersifat komunal agar dikelola oleh organisasi dan komunitas rakyat di pedesaan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, Iqra juga menyarankan agar pemerintah segera mengawasi dan menghentikan praktik spekulasi lahan yang dilakukan oleh bisnis skala besar yang cenderung terjadi di tengah masa krisis.

“Hal ini semata agar tidak ada alih fungsi lahan besar-besaran saat krisis terjadi,” ujar pria yang juga peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ini.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu pula menggandeng komunitas rakyat dalam menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi ini.

Gotong royong antar elemen ini penting guna memastikan tidak ada yang kekurangan pangan di masyarakat.

“Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan berbagai inisiatif yang dilakukan komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi rakyat yang telah melakukan upaya untuk menyediakan stok pangan, baik bagi warga desa maupun konsumen di perkotaan,” tandasnya.

Mentan akan tindak pelaku konversi lahan

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menegaskan, pihaknya akan menjaga eksistensi lahan pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan 267 juta masyarakat secara mandiri.

“Kalau alih fungsi lahan dibiarkan, besok anak-anak kita mau makan apa? Boleh ada perumahan, boleh ada hotel, tapi tidak boleh merusak lahan pertanian yang ada,” ujar menteri yang akrab disapa SYL ini.

Untuk itu, dia pun mengingatkan, kini sudah ada peraturan daerah (perda) perlindungan lahan abadi pertanian yang sudah ditandatangani untuk tidak dialihfungsikan oleh kepala daerah.

Bagi pihak yang melakukan alih fungsi lahan sesuai dengan UU Nomor 51 tahun 2009 akan dikenakan sanksi penjara 5 tahun.

Hal ini juga didukung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang telah memberikan surat edaran kepada seluruh gubernur, bupati dan wali kota seluruh Indonesia untuk turut dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan dan Penetapan Kawasan/Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

“Jangan sampai ada konspirasi tanda tangan pejabat, DPR atau segala macam untuk konversi lahan pertanian, penjaranya 5 tahun. Ada undang-undangnya itu,” jelasnya.

Perlu diketahui, pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).

Kementan dalam hal ini telah secara aktif melakukan upaya pencegahan alih fungsi lahan secara masif melalui pemberian insentif bagi pemilik lahan.

Insentif tersebut berupa pemberian berbagai bantuan sarana produksi tani (Saprodi) seperti alat mesin pertanian, pupuk, dan benih bersubsidi.

“Upaya pencegahan alih fungsi lahan, salah satunya dengan single data lahan pertanian. Data pertanian itu harus satu, sehingga data yang dipegang Presiden, Gubernur, Bupati, Camat sampai kepala desa semuanya sama, termasuk masalah lahan pertanian dan produksi,” tuturnya.

Mudahnya perizinan

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy menambahkan, makin berkurangnya lahan pertanian salah satunya disebabkan mudahnya izin alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

Hal itu dikarenakan, lahan pertanian pangan, terutama sawah, merupakan lahan dengan land rent yang rendah.

“Diharapkan dinas terkait khususnya pertanian mengetahui dan diikutsertakan juga dalam pembentukan Tim Teknis,” terang Sarwo.

Dia juga menjelaskan, dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kab/Kota (RTRWK) sangat penting dan perlunya peran serta Badan Pelayanan Perizinan Terpadu.

Penyebab lainnya, lanjut Sarwo, adalah permasalahan lambatnya penyusunan perda tentang RTRW Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Dia menerangkan, Perda RTRW Kabupaten/Kota yang sudah dibahas di tingkat pusat dalam hal ini Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) Pusat masih dibahas kembali dengan DPRD Kabupaten/Kota termasuk pembahasan (LP2B).

“Diharapkan Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten/Kota agar aktif mengikuti perkembangan penyusunan RTRW di masing-masing wilayahnya,” tukasnya.

Krisis Pangan akan Terjadi

LP3ES: Krisis Pangan akan Terjadi

Oleh Novitri Selvia – Selasa, 28 April 2020 | 14:40 WIB

https://padek.jawapos.com/utama/2363735981/lp3es-krisis-pangan-akan-terjadi

Pandemi covid-19 telah membawa dampak luas pada kehidupan masyarakat. Tak hanya menyebabkan resesi ekonomi, tapi juga berpotensi mengarah pada krisis pangan global.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pun telah memperingatkan masalah kelangkaan pangan ini. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan, juga selalu menyinggung terkait kemungkinan krisis pangan dunia.

Menyikapi kondisi ini, Peneliti Agraria LP3ES Iqra Anugrah menilai, dampak dari pandemi Korona patut diwaspadai bersama. Sebab, korban pertamanya pasti adalah kelas menengah ke bawah.

”Dari perspektif agraria, dampak pandemi Covid-19 ini memang mengkhawatirkan. Krisis pangan akan terjadi, dan yang akan terdampak adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan,” kata Iqra Anugrah dalam keterangan tertulis yang diterima Koran ini, Senin (27/4).

Menurut Peneliti di Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto Jepang ini, langkah mitigasi guna mencegah krisis pangan ini mutlak dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan mencegah alih fungsi lahan. ”Tentu saja, mencegah alih fungsi lahan sangat penting,” ujarnya.

Tapi tidak hanya itu, lanjut Iqra, yang harus didorong oleh pemerintah adalah pembangunan sektor agraria yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, alih-alih sekadar kebutuhan pasar semata.

”Kemudian, juga harus didorong lebih lanjut adalah agenda redistribusi lahan. Serta, penyelesaian konflik-konflik agraria. Terakhir, pemerintah juga perlu mengakomodir pola kepemilikan lahan yang bersifat komunal agar dikelola oleh organisasi dan komunitas rakyat di pedesaan,” ungkapnya.

Iqra juga menyarankan, sebaiknya pemerintah segera mengawasi dan menghentikan praktik spekulasi lahan yang dilakukan oleh bisnis skala besar yang cenderung terjadi di tengah masa krisis. Hal ini semata agar tidak ada alih fungsi lahan besar-besaran saat krisis terjadi.

Selain itu, Pemerintah juga perlu menggandeng komunitas rakyat dalam menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi ini. Gotong royong antar elemen ini penting guna memastikan tidak ada yang kekurangan pangan di masyarakat.

”Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan berbagai inisiatif yang dilakukan oleh komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi rakyat yang telah melakukan upaya untuk menyediakan stok pangan, baik bagi warga desa maupun konsumen di perkotaan,” pungkasnya. (jpg)

Lahan Pertanian Kian Sulit Diakses, Aktivis Tidak Tinggal Diam

Ekspansi pasar ke daerah perdesaan berdampak negatif bagi kepemilikan tanah bagi petani (Terbit 2 Desember 2020)

https://www.genpi.co/berita/73424/lahan-pertanian-kian-sulit-diakses-aktivis-tidak-tinggal-diam

Forum Diskusi Publik bertajuk Konflik Agraria serta Akses Masyarakat Lokal dan Adat terhadap Tanah yang diselenggarakan secara virtual, Senin (30/11/2020).

GenPI.co – Akses petani terhadap lahan pertanian makin hari makin sulit di Indonesia. Hal ini mendorong diselenggarakan Forum Diskusi Publik bertajuk Konflik Agraria serta Akses Masyarakat Lokal dan Adat terhadap Tanah yang diselenggarakan secara virtual, Senin (30/11/2020).

“Demokrasi mengandaikan keadilan dan kesetaraan, tapi faktanya petani makin susah dan masyarakat adat terpinggirkan,” kata akademisi Musa Maliki. Ekspansi pasar ke daerah perdesaan berdampak negatif bagi kepemilikan tanah para petani. Para aktivis petani pun merespons keadaan ini, baik yang berfokus pada masyarakat maupun kebijakan. “Mereka yang fokus pada masyarakat lebih menekankan pada mobilisasi massa petani untuk memperjuangkan hak atas tanah mereka hingga pembentukan koperasi,” kata peneliti dan akademisi Iqra Anugrah. Sementara itu, aktivis petani yang berfokus pada kebijakan cenderung memperjuangkan perubahan kebijakan secara institusional.

“Para aktivis ini akan memperjuangkan hak atas tanah lewat advokasi hukum atau penetrasi produk tani secara gencar ke pasar untuk meningkatkan daya jual,” ujar Iqra.

Pemerintah Diminta Tak Anggap Sepele Ancaman Krisis Pangan Dunia

Wawancara oleh VivaNews

Oleh :

  • Fikri Halim
  • Eduward Ambarita

VIVAnews – Pandemi corona yang berdampak pada dunia disebut bakal berimbas pada kemungkinan krisis pangan. Peneliti Agraria dari LP3ES, Iqra Anugrah, menanggapi kondisi terkini dan menyarankan supaya pemerintah mewaspadai.

Menurutnya, tingkat kewaspadaan perlu ditingkatkan lantaran masa pandemi tidak hanya memengaruhi ekonomi, juga berpotensi mengarah pada krisis pangan global.

“Dari perspektif agraria, dampak pandemi covid-19 ini memang mengkhawatirkan. Krisis pangan akan terjadi, dan yang akan terdampak adalah lapisan-lapisan yang paling rentan dari masyarakat, seperti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan,” kata Iqra, Senin 27 April 2020.

Iqra menyebut, langkah mitigasi guna mencegah krisis pangan mutlak dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan mencegah alih fungsi lahan. Pemerintah juga didorong fokus pada pembangunan sektor agraria yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, bukan alih-alih sekadar kebutuhan pasar semata.

“Harus didorong lebih lanjut adalah agenda redistribusi lahan. Serta, penyelesaian konflik-konflik agraria. Pemerintah juga perlu mengakomodir pola kepemilikan lahan yang bersifat komunal agar dikelola oleh organisasi dan komunitas rakyat di pedesaan,” katanya.

“Mencegah alih fungsi lahan sangat penting,” tambahnya.

Iqra menyebut, pengawasan dan menghentikan praktik spekulasi lahan yang dilakukan oleh bisnis skala besar justru cenderung terjadi di tengah masa krisis. Hal ini semata agar tidak ada alih fungsi lahan besar-besaran saat krisis terjadi.

Keterlibatan komunitas rakyat dalam menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi dianggap penting.

“Pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan berbagai inisiatif yang dilakukan oleh komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi rakyat yang telah melakukan upaya untuk menyediakan stok pangan, baik bagi warga desa maupun konsumen di perkotaan,” kata dia.

Turning the Wheel of Fortune

Jellinek, Lea. (1991). The Wheel of Fortune: The History of a Poor Community in Jakarta. Sydney: Allen and Unwin. xxviii + 214 pp.

While it’s cliché to say that Jakarta has always been one of, if not the main reference points for urban problems, it is safe to say that in recent years Jakarta has garnered a lot of attention for its contentious issues, from the gubernatorial election all the way to the eviction of poor neighborhoods. All of this inevitably leads us to the question of lower-class agency in Jakarta: how do the urban poor navigate around the challenges of living in the city?

Lea Jellinek tries to tackle the said question in her book, The Wheel of Fortune. A classic on this topic, this work is an empirically rich account of the lives of the urban poor in Kebon Kacang, a kampung neighborhood in Central Jakarta. Drawing from her long relationship with the kampung residents, Jellinek details how the residents – construction workers, domestic helpers, ice cream makers, becak peddlers, food sellers, among others – tried to live their lives and survived the challenges to their livelihood posed by rapacious city development.

Jellinek’s account centers around Ibu Bud, a once successful cooked-food seller whose small business eventually went bankrupt, and her neighbors. She traces the early wave of rural-urban migration of the kampung dwellers, which dated back all the way from the late colonial period. It was a relatively stable period, until Japanese occupation and thereafter the early years of independence interrupted the tranquility of their lives. But it was during the New Order era that the dwellers experienced the most ups and downs in their lives. The economic growth spurred by the 1970s oil boom gave new opportunities for the lower-class to improve their livelihood – newly-arrived young village migrants gained employment as construction workers, Ibu Bud successfully expanded her food stall business, and her neighbors took up a variety of jobs, from peddling becak to sewing clothes. But it was also the force that threatened their very means of livelihood – as high rises and roads were built, transient jobs were disappearing, and eventually the dwellers had to be evicted, or, to use the New Order lexicon, “relocated.” In a nutshell, Jellinek is able to breeze through the major turning points of the lives of her local interlocutors without losing the details of their lives.

What is striking from this book is how it resonates with our contemporary urban experience especially in Jakarta’s context. The book’s main message – the resilience of the urban lower-classes in facing the intrusion of state and market forces in their lives – remains relevant for our time, especially with the rise of technocratic populism with classist bent in Indonesia’s urban centers. Embodied in the figures of so-called “reformist” local leaders such as Ahok, Ridwan Kamil, and Risma, this seemingly new trend of urban governance puts emphasis on what basically can be considered as developmentalist and high modernist buzzwords: transparency, efficiency, orderliness, cleanliness, and firmness, among others. The big, problematic question for this vision is who has to pay the price of this “progress.” Oftentimes, it is the urban poor, and not the gang of technocratic populists and their High Priests, who get sidelined in the name of “urban development.”

In light of this reading, we can see the parallels between Jakarta under the heydays of the New Order and its current situation. While it might be a bit anachronistic to compare the two eras, one could argue that there is a continuity of modernist-developmentalist vision of urban development. On a closer look, the precursor of the latest version of Jakarta’s “high modernism with steroid” is Ali Sadikin: hailed as the city’s modernizer, Sadikin was committed to the realization of both Sukarnoist and New Orderist vision of modern urban planning – at all costs (pp. 108-111). On one hand, he promoted the development of artistic and civil society initiatives, but on the other hand, he showed no hesitancy about bulldozing poor people’s houses for road construction. His rather draconian approach in ensuring the swift implementation of the Kampung Improvement Project in a way predated the current Jakarta administration’s technocratic-repressive method of evicting the urban poor in different places of the city.

The Wheel of Fortune provides a plethora of other parallels, but to discuss those examples more comprehensively we have to situate it into the larger literature and contemporary research on urban neighborhood in Indonesia. The one work that should be read in tandem with The Wheel of Fortune is Alison Murray’s (1991) No Money, No HoneyA Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta.[1] Murray’s focus is somewhat more specific: she looks at female street-sellers and prostitutes in Manggarai and Kebayoran Baru respectively from 1984-1989. Like Jellinek, Murray also provides a vivid description of the lives of the female urban poor and their strategies to survive in Jakarta. Though in many ways both works speak to and echo each other, Murray’s work decidedly focuses more on lower-class women’s agency and its limits. While her elaboration on prostitution in Kebayoran Baru is a bit scant, overall she manages to give a holistic and sympathetic account of how poor working women exert their agency despite the pressures from capitalist development and the New Order ideology of domesticity. This is a point which is slightly missing and could have been more elaborated in The Wheel of Fortune. 

There are also parallels between Jakarta and Surabaya[2], another important urban center in Java. Kampung dwellers in Surabaya also experienced the same stages of urban development: political turbulence, new land-use pattern, the rise and fall of jobs for the poor in the informal sector, and resistance, both open and subtle, of the residents against market and state penetration in their neighborhood. Interestingly, these parallels can also be found between urban centers and their not-so-distant brethren: provincial towns. Industrial and service-based towns in the provinces, such as Serang, Cilegon, Cirebon, Kupang, and Pontianak, among others, seem to encounter the same challenge of capital and state penetration in the daily lives of the town residents.[3] The key difference here is that urban centers are at the receiving end of the rural-urban migration, which is not always the case with provincial towns. Given this, one could argue that what happened in Jakarta was a part of the larger design of urban development in Indonesia.

In light of Jellinek’s work, it is also important to see changes and continuities in the kind of agency, both economic and political, that Jakarta’s urban poor exert. Other than the more “traditional” types of occupations (petty traders, drivers, construction workers, and all sorts of service providers), nowadays the urban poor can pick newer kinds of employment, from cellphone voucher sellers and online marketing to go-jek drivers and hired protesters. Bear in mind, however, that the emergence of new niches of survival strategies is not the same as the expansion of opportunities. To couch this phenomenon in the language of “choice” – a rhetoric deployed by the technocratic corps of city administrators, businesses, and start-ups – overlooks the continuing socio-economic inequality and unequal power relations between the urban poor and the more affluent social forces.

On a less depressing note, a more significant change can be seen in the political realm. At the very least one could argue that now the urban poor have more avenues to channel their grievances and spaces for a more assertive political mobilization. Various issues of their concern – eviction, property seizures, repressive action by the state apparatuses, and most recently, land reclamation – have been taken up and advocated by non-governmental organizations (NGOs) and social movements. At last, their voices can be heard. But this growing assertiveness does not necessarily translate into real policy changes since the kind of policy reforms promoted by the current Jakarta administration has been mainly catered to the needs of the middle class and big businesses. Therefore, the age-old question remains relevant for Jakarta’s context: whether urban planning in the era of political openness can pave the way for the expansion of choices for the poor and, eventually, social justice.

Ultimately, this is a question of the structural roots of urban poverty. What Jellinek does is to investigate and examine the response of the kampung dwellers to it. While her ethnographic description is first-rate, the theoretical abstraction that she made from her data is somewhat problematic. Her data, she argues, lend evidence to both culturalist and structuralist explanations of poverty (pp. 178-181). In doing this, Jellinek gives the impression that she wants to “strike a balance” between the two theories of urban poverty (p. 180). This theoretical stance however is untenable: many of the causes of rural-urban migration and continuing poverty in urban neighborhoods are part of the larger historical processes outside of the Kebon Kacang community, such as political conflicts and contradictions in capitalist development. While it is true that many livelihood strategies of the dwellers were unsustainable at best and short-term at worst, those are not inherent their inherent traits. Rather, it is a response to the predicaments in their lives caused by external forces beyond their control. In other words, the exercise of their agency, albeit real and to a degree emancipatory, is shaped and limited by structural forces. The so-called “poverty culture” is not given, but rather, made and habituated

What can we learn from the book, then? Are the descriptions and points that Jellinek raised still apt and relevant for our current conditions? While The Wheel of Fortune will remain as a classic reference point for future studies on urban neighborhood in Jakarta, some research agenda are due. First, there is a need to look again at the lives of the urban poor of Jakarta more closely, not only in Kebon Kacang, but also other communities in the city. The question that we should pose to them is how the living memory of the city has changed throughout their lives. To put it differently, we need to “update” Jellinek’s data by observing present-day kampung residents of Jakarta. Secondly, an analysis of “everyday politics” of Jakarta’s residents is more needed than ever. A more assertive exercise of political agency of the lower-class in Jakarta in recent years has shaped our perception regarding their political savviness.[4] What is important is to not conflate their open act of resistance and mobilization with the more subtle, everyday type of survival strategies. Without the latter, it would be difficult for the former to manifest. This is because more often that not the political action of the urban poor is often shaped by their prior experience and perceptions – of livelihood, space, land, residence, and social relations with their fellow community members, among others.[5] Using Jellinek’s work as a reference point, combined with a more updated study of the political views and actions of the urban poor, will give us a better and more thorough understanding about their political agency.

All in all, The Wheel of Fortune is an in-depth, lively, and sympathetic account of the lives of the urban poor in Kebon Kacang. It has been more than 20 years since it was published, but many of its findings remain relevant to understand contemporary Jakarta’s social landscape.


[1] A. J. Murray, No Money, No Honey: A Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta (Singapore: Oxford University Press, 1991).

[2] For a key reference on poor urban neighborhood in Surabaya, see R. Peters, Surabaya, 1945-2010: Neighbourhood, State and Economy in Indonesia’s City of Struggle (Singapore: NUS Press, 2013).

[3] For a key reference on provincial towns in contemporary Indonesia, see Gerry van Klinken and Ward Berenschot, eds., In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns. (Leiden and Boston: Brill, 2014).

[4] See for instance Rita Padawangi, “People’s Places: Protests and the Making of Urban Public Spaces in Jakarta” (PhD dissertation, Loyola University Chicago, 2008).

[5] One of the classical works on this subject is F. Fox Piven and Richard A. Cloward, Poor People’s Movements: Why They Succeed, How They Fail (New York: Vintage House, 1979).

 
*Iqra Anugrah is a PhD candidate in Political Science and Southeast Asian Studies at Northern Illinois University. Everyday politics is one of his many research interests.

Sesat Pembangunan ala Bank Dunia di Asia Tenggara

Sesat Pembangunan ala Bank Dunia di Asia Tenggara

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/lbr/?p=1372

Delusions of Development the World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia

Judul Buku: Delusions of Development the World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia
Tahun  : 2010
Penulis: Toby Caroll
Penerbit: Palgrave Macmillan, Basingstoke
Tebal: xv + 269 h.

Pendahuluan

PEMBANGUNAN adalah tema yang kerap kali muncul dalam diskursus teoretik Marxisme dan kritik pembangunan serta gerakan Kiri. Tetapi, pasca kelemahan dan kritik atas teori-teori ketergantungan (dependency theories), kritik atas pembangunan pun mulai dipertanyakan validitasnya atas nama ‘obyektivitas pengetahuan.’ Tidak ada alternatif lain, there is no alternative, di luar kapitalisme dan fundamentalisme pasar. Sebagai hasilnya, praktek-praktek ala institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dianggap sebagai satu-satunya jalan mujarab menuju kemajuan dan kemakmuran. Tapi benarkah?

Pelan-pelan, baik secara teoretik maupun praksis, kita melihat berbagai upaya untuk merumuskan alternatif dari gagasan dan praktek pembangunan ala Bank Dunia. Berbagai kritik atas gagasan pembangunan model kapitalisme-neoliberal bermunculan. Gerakan rakyat melawan neoliberalisme, mulai dari gerakan Zapatista di Meksiko hingga demonstrasi besar-besaran sebagai kritik atas Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) di Seattle, juga perlahan-lahan mulai bermekaran dan makin membesar. Asia Tenggara, sebagai salah satu kawasan ekonomi yang cukup dinamis dan terkoneksi dengan ekonomi global, juga merupakan bagian dari pertarungan ide dan politik atas gagasan pembangunan tersebut.

Buku karya Toby Carroll, seorang peneliti (Research Fellow) di Centre on Asia and Globalisation, National University of Singapore, adalah upaya untuk merumuskan sebuah kritik atas ‘kesesatan’ resep pembangunan ala Bank Dunia berdasarkan kajian teoretik terhadap evolusi diskursus pembangunan Bank Dunia dan prakteknya di empat negara Asia Tenggara, yaitu Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia. Menggabungkan pendekatan kajian kawasan (Area Studies), khususnya kajian kawasan Asia Tenggara dengan metode studi kasus dan wawancara mendalam serta ‘berbagai aliran pemikiran Marxis dan Neo-Marxis’ (hlm. 12), Carroll berusaha menunjukkan ‘bagaimana Bank (Dunia) mempromosikan politik illiberal dalam promosinya atas ekonomi liberal’ (hlm. vii).

Evolusi Diskursus Pembangunan ala Bank Dunia

Empat bab pertama dari buku Carroll berisi pembahasan dan kritik atas evolusi diskursus pembangunan ala Bank Dunia. Bab pertama berisi pembahasan tentang kritik internal atas ‘Konsensus Washington’ (Washington Consensus)[1]oleh figur-figur yang diasosiasikan dengan Bank Dunia seperti ekonom pemenang Nobel, Joseph Stiglitz, dan pembahasan atas keterbatasan kritik tersebut. Bab kedua membahas fenomena naik daunnya diskursus Neoliberalisme Sosio-Institusional (Socio-Institutional Neoliberalism, SIN[2]) dalam diskursus pembangunan Bank Dunia. Bab ketiga membahas genealogi dan fondasi intelektual dari SIN. Kemudian, bab keempat membahas lebih lanjut perangkat politik (political technologies) yang digunakan untuk menanamkan pengaruh SIN. Mari kita lihat satu demi satu pembahasan Carrol ini.

Bab pertama membahas kritik Stiglitz atas Konsensus Washington. Di awal tahun 1998, Stiglitz melancarkan kritik tajam terhadap konsep pembangunan yang terlalu berbasis pasar ala ortodoksi Neoliberal, seperti privatisasi, liberalisasi perdagangan dan nilai tukar mata uang yang kompetitif. Sebagai alternatif, ia kemudian mengusulkan apa yang disebutnya sebagai ‘Pasca-Konsensus Washington (Post-Washington Consensus, PWC),’ yang salah satunya kembali membahas pentingnya peranan negara dalam pembangunan. Menurut Carroll, para ekonom Neoliberal ortodoks, seperti Lawrence Summers (mantan rektor Universitas Harvard dan Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS pada masa pemerintahan Obama periode 2009-2010), termasuk salah satu penentang utama dari gagasan PWC-nya Stiglitz. Pada dasarnya, memang tidak begitu ada perbedaan yang fundamental dari PWC dan Konsensus Washington, terutama dalam pandangan dua diskursus tersebut mengenai peranan pasar dan landasan teoretiknya yang sama-sama berasal dari teori Ekonomi Institusional Baru (New Institutional Economics, NIE). Namun, menurut Carroll, setidaknya ada beberapa hal yang membedakan PWC dengan Konsensus Washington. Pertama, realitas politik pada waktu itu berpengaruh pada keberhasilan Stiglitz dalam mempromosikan gagasan PWC-nya. Kedua, sesungguhnya beberapa kritik atas ortodoksi Neoliberal sudah muncul dalam Bank Dunia – keterlibatan Stiglitz di Bank Dunia kemudian memberikan legitimasi tambahan atas kritik tersebut. Dalam prakteknya, PWC berbeda dengan Konsensus Washington dalam hal penekanannya atas ‘peranan negara’ (hlm 23) dan ‘proses reformasi sektor finansial’ (hlm. 23) terutama dalam stabilitas makroekonomi serta ‘urutan dan cakupan proses privatisasi’ (hlm. 23). Namun, sejatinya, baik PWC maupun Konsensus Washington memiliki berbagai kesamaan dalam asumsi dasar dan tujuan mengenai pentingnya suatu perubahan sosial melalui rekayasa sosial dan kelembagaan (social and institutional engineering) dengan manajemen teknokratis untuk meredam sumber ‘konflik politik’ (hlm 24). Sesungguhnya, menurut Carroll, PWC dapat dikatakan sebagai ‘Konsensus Washington plus negara’ (hlm. 23).

Di bab kedua, Carroll membahas varian ‘baru’ dari gagasan Neoliberalisme Bank Dunia, yaitu Neoliberalisme Sosio-Institusional (SIN) yang merupakan bagian dari PWC dan muncul sebagai tanggapan atas kritik terhadap praktek Neoliberalisme ‘lama’ oleh Bank Dunia. Berbagai masalah yang timbul dari resep ‘klasik’ pembangunan Neoliberal yang dimulai sejak tahun 1980an di berbagai belahan dunia seperti Afrika, Eropa Timur dan Asia Timur, menjadi salah satu pendorong munculnya SIN. Retorika seperti ‘memberdayakan orang biasa’, ‘mendorong organisasi akar rumput’, serta pembangunan yang bersifat ‘dari bawah’ (bottom-up) dan bukannya ‘dari atas’ (top-down) adalah beberapa contoh dari awal mula berkembangnya diskursus SIN (hlm. 45). Setidaknya  ada tiga hal yang membedakan praktek SIN dengan Neoliberalisme lama, yaitu penekanan pada retorika partisipasi warga dan kaum miskin, pentingnya peranan regulatoris dari negara, serta perhatian pada isu-isu ekologis dan lingkungan. Namun, berbagai asumsi dasar Neoliberalisme ala Bank Dunia seperti teknokratisme dan NIE, tetap menjadi acuan dalam diskursus SIN. Bank Dunia pelan-pelan mulai tertarik dengan aspek ‘sosial’ dari berbagai kebijakan ekonomi (dan politik). SIN, menurut Carroll, muncul sebagai respon terhadap berbagai kontradiksi dalam Neoliberalisme ala Bank Dunia dan juga Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF). Menurut Carroll, ini menunjukkan adanya suatu ‘krisis otoritas’ (crisis of authority) ala perspektif Gramscian di mana terjadi proses reorganisasi kuasa negara tanpa disertai oleh perubahan yang fundamental di struktur sosialnya – yang juga terjadi dalam Bank Dunia dan diskursus Neoliberalismenya.

Bab ketiga berisi genealogi intelektual dari SIN. SIN berakar dari NIE, yang merupakan salah satu cabang aliran ekonomi institusional. NIE melihat pentingnya peranan institusi dalam mengurangi ‘ongkos transaksi’ (transaction cost) dan ‘ketimpangan informasi’ (information asymmetries) dalam pasar. NIE juga muncul sebagai upaya untuk memodifikasi berbagai asumsi dasar yang problematis dalam ekonomi Neoklasikal (Neoclassical Economics), seperti asumsi tentang rasionalitas pasar dan aktor ekonomi (hlm. 68-74). Karenanya, dalam diskursus SIN, berbagai perangkat politis seperti tata pemerintahan yang baik (good governance), modal sosial (social capital), manajemen resiko social (social risk management), dan jaring pengaman sosial (social safety nets), dipromosikan sebagai ‘resep mujarab’ dalam mengatasi keterbatasan mekanisme pasar dan eksternalitas yang dihasilkannya. Bagi Carroll, ini menjadi penegasan atas satu hal: pentingnya membawa kembali analisa kelas dan konflik sosial dalam berbagai teori kelembagaan.

Di bab keempat, Carroll menjelaskan berbagai perangkat politis dari diskursus SIN. Beberapa contoh dari perangkat politis SIN antara lain adalah Kerangka Pembangunan Komprehensif (Comprehensive Development Framework), yang menekankan pada ‘kemitraan yang dipandu oleh negara’ (country-led partnership), strategi pengentasan kemiskinan dan berbagai skema partisipasi warga. Sepintas, SIN berusaha menampilkan citra proses pembangunan yang lebih demokratis, deliberatif, dan partisipatoris. Namun, pada kenyataannya, menurut Carroll, ini tidak lebih dari suatu bentuk baru ‘kondisionalitas’ (new conditionality) Bank Dunia terhadap kebijakan ekonomi negara berkembang – yang dijelaskan lebih lanjut oleh Carroll dalam empat studi kasusnya di Asia Tenggara.

IMF-WB

Sesat Praktek Pembangunan Bank Dunia di Asia Tenggara

Empat bab kedua dari buku Carroll membahas berbagai studi kasus praktek pembangunan Bank Dunia di empat negara Asia Tenggara: Filipina, Vietnam, Kamboja dan Indonesia. Di sini, dapat kita lihat ada keragaman intra-regional (Asia Tenggara Kepulauan yang diwakili oleh Filipina dan Indonesia serta Asia Tenggara Daratan yang diwakili oleh Vietnam dan Kamboja) serta keragaman sistem pemerintahan (rejim pemerintahan yang demokratis di Indonesia dan Filipina, rejim negara Komunis satu partai di Vietnam serta rejim yang cenderung otoriter dengan fitur demokrasi elektoral di Kamboja). Terlepas dari berbagai keragamannya, Carroll berusaha menunjukkan kesamaannya berupa berbagai keterbatasan dan kontradiksi praktek SIN di empat negara tersebut.

Bab kelima dan keenam membahas peranan Bank Dunia dalam berbagai kebijakan, program dan proyek pembangunan di Filipina. Di bab kelima, Carroll membahas proses privatisasi layanan air di kota Manila. Dorongan untuk melakukan privatisasi sendiri sebenarnya sudah ada sejak masa pemerintahan Corazon Aquino dan Fidel Ramos. Bank Dunia, melalui badan promosi sektor swastanya, International Finance Corporation (IFC), beserta pemerintah Filipina berusaha mempromosikan proses privatisasi dan lebih jauh lagi, ekstensi pasar (market extension) melalui proses yang teknokratis. Bank Dunia melalui IFC tidak hanya berperan sebagai penasehat kebijakan dan penyedia wacana, namun juga berperan aktif dalam memfasilitasi dan menjaga keberlangsungan proses privatisasi – satu hal yang lumrah dalam diskursus Kemitraan Publik-Swasta (Public Private Partnership, PPP) yang semakin hegemonik belakangan ini. Di bab keenam, Carroll menunjukkan keterbatasan konsep partisipasi warga ala Bank Dunia dalam kebijakan Country Assistance Strategy (CAS) di Filipina. Sebagai contoh, agenda Bank Dunia mengenai partisipasinya sesungguhnya terbatas karena tidak hanya agenda tersebut sudah diformulasikan sebelumnya oleh Bank Dunia dan para elit bisnis serta pemerintahan, tetapi tendensi depolitisasi ala Bank Dunia membuat ajakan partisipasinya menjadi tidak menarik bagi berbagai LSM dan komponen masyarakat sipil serta gerakan warga yang menaruh perhatian pada analisa kelas dan perubahan sosial dalam perspektif dan praktek gerakannya. Ini tidak mengherankan, mengingat CAS, sebagaimana agenda pembangunan Bank Dunia yang lain, berkepentingan untuk menjaga keberlangsungan orde masyarakat pasar meskipun harus mengorbankan ruang partisipasi warga.

Bab ketujuh merupakan studi kasus berbagai program Bank Dunia seperti CAS, pengentasan kemiskinan dan proses partisipasi dalam kerangka ‘kemitraan’ dengan Vietnam dan Kamboja. Ada semacam pemandangan yang kontras di sini: Vietnam adalah contoh sukses dari kebijakan pembangunan ala Bank Dunia, yang justru tidak serta merta menaati resep kebijakan Bank Dunia. Sedangkan Kamboja adalah contoh negeri dengan berbagai masalah ekonomi, politik, dan sosial yang tak kunjung usai meskipun pihak Bank Dunia dan komunitas internasional telah ‘membombardir’ negara tersebut dengan berbagai bantuan. Di Vietnam, rejim Partai Komunis Vietnam dalam kebijakan reformasi ekonominya, justru dianggap berhasil karena tidak begitu ‘taat’ terhadap ortodoksi Neoliberal ala Bank Dunia dan berusaha menerapkan kebijakan ekonomi yang cukup heterodoks, yang menggabungkan elemen pasar dan non-pasar dalam proses pembangunan. Menariknya, Bank Dunia justru berusaha mengidentifikasi diri dengan Vietnam dan menyebut Vietnam sebagai ‘contoh sukses’ pembangunan. Menurut Carroll, ada semacam ketakutan dari pihak Bank Dunia bahwa perkembangan ekonomi Vietnam yang menempuh jalur semi-heterodoks dan cukup independen dari pengaruh Bank Dunia, justru akan membuatnya ‘menjauh’ dari pengaruh Bank Dunia (hlm. 169). Di Kamboja, yang terjadi justru sebaliknya: rejim otoriter, pseudo-demokratis Hun Sen dan Partai Rakyat Kamboja (Cambodian People’s Party, CPP), justru menggunakan berbagai dana bantuan serta proyek pembangunan Bank Dunia dan berbagai institusi internasional lainnya, untuk meneguhkan praktek patron-klien dan kapitalisme kroni yang koruptif, hegemonik, serta represif. Ini membuat Bank Dunia berusaha untuk tidak diasosiasikan dengan ‘kegagalan pembangunan’ di Kamboja.

Bab kedelapan sekaligus terakhir, membahas program pengentasan kemiskinan ala Bank Dunia di Indonesia, terutama Kecamatan Development Program (KDP). Proyek pengentasan kemiskinan ala KDP yang berbiaya US$ 1,6 miliar ini dilakukan dengan cara menggelontorkan bantuan pembangunan ke tingkat lokal seperti desa, sembari melampaui (bypassing) struktur dan hierarki formal institusi pemerintahan. Sepintas, proyek KDP ini terlihat ‘heterodoks’ atau bahkan betul-betul ‘partisipatoris.’ Namun, menurut Carroll, apa yang disebut sebagai ‘pengentasan kemiskinan’ dalam proyek KDP sesungguhnya hanya bisa berjalan dalam rambu-rambu SIN. Menurut Carroll dan berbagai pengkaji Bank Dunia seperti Paul Cammack serta Tania Murray Li, retorika dan praktek KDP masih terbatas pada diskursus ‘tata kelola pemerintahan’ (governance) serta modal sosial. Partisipasi dan pemberdayaan seakan-akan menjadi tata kunci dalam KDP dan SIN, namun partisipasi warga yang berusaha membongkar dominasi elit di tingkat lokal melalui aksi kolektif, serta ketimpangan dalam kepemilikan alat-alat produksi, misalnya, tentu tidak dianggap dalam skema KDP dan SIN karena dianggap akan mengganggu konsolidasi orde masyarakat pasar (hlm. 199-201).

Ulasan Kritis

Secara umum, buku Carroll menyajikan ulasan yang kritis, komprehensif dan meyakinkan atas evolusi diskursus dan praktek pembangunan ala Bank Dunia dengan fokus kawasan Asia Tenggara. Porsi kajian teoretik dan empirik dalam buku ini juga berimbang, dibantu dengan penataan isi buku yang membuat pembahasan menjadi mengalir dan mudah dimengerti. Namun, menurut hemat saya, beberapa hal perlu menjadi perhatian sekaligus kritik lebih lanjut untuk karya Carroll terutama dari segi metodologi.

Pertama, penambahan lebih banyak studi kasus, seperti memasukkan studi kasus Malaysia, yang bertahan dari gempuran Krisis Finansial dan Ekonomi Asia di akhir 1990an dengan menggabungkan elemen kebijakan ekonomi heterodoks yang tetap berorientasi pasar dengan kebijakan politik yang semi-otoritarian, dapat memberikan gambaran yang lebih menarik dan menyeluruh mengenai dampak kebijakan pembangunan Bank Dunia di Asia Tenggara. Diskusi mengenai dampak Neoliberalisme ala Bank Dunia dan kritik terhadapnya di kawasan lain, seperti Amerika Latin, juga menarik untuk dibahas lebih lanjut di bagian pendahuluan dan pendekatan teoretik dari karya Carroll.

Kedua, karya ini tentu akan lebih menarik apabila ia dapat membuat semacam trayektori sejarah (historical trajectory) dari keterlibatan Bank Dunia dalam empat Negara yang menjadi studi kasusnya. Sebuah abstraksi teoretik dari perjalanan sejarah pembangunan ala Bank Dunia dan berbagai variasinya yang dapat ditarik dari suatu momen sejarah tertentu, akan memicu perdebatan teoretik yang lebih hangat lagi di seputar isu itu.

Ketiga, meskipun secara umum karya ini bermaksud membandingkan empat negara dan dalam kapasitas tersebut, ia berhasil menampilkan narasi-narasi lokal mengenai berbagai kontradiksi pembangunan ala Bank Dunia, mungkin akan lebih baik apabila Carroll menunjukkan narasi dan kenyataan tersebut secara lebih gamblang, terutama tentang dinamika dan realita pembangunan di tingkat lokal serta apa dampak dan artinya bagi ‘warga biasa’, terutama di kasus-kasus seperti mekanisme partisipasi ala Bank Dunia di Filipina dan KDP di Indonesia. Namun, karena keterbatasan tempat pembahasan di dalam buku sekaligus cakupan studi yang cukup luas, yaitu empat negara, kurang tampilnya eksplorasi yang lebih naratif dalam buku ini dapat dipahami.

Keempat, tesis Carroll menyatakan bahwa Bank Dunia mempromosikan ekonomi liberal melalui politik yang illiberal. Namun, bagaimana bentuk politik yang illiberal itu, meskipun disinggung selama beberapa kali, tidak begitu dijelaskan secara utuh oleh Carroll. Saya menangkap, politik illiberal yang dimaksud Carroll merujuk kepada tata pemerintahan yang teknokratis, pembatasan jikalau bukan penutupan partisipasi warga yang seluas-luasnya dan di kasus Kamboja, abainya Bank Dunia atas dampak dari skema pembangunannya terhadap penguatan otoritarianisme dan kapitalisme kroni. Apabila definisi politik illiberal ini dapat diperjelas, tentu tesis Carroll yang cemerlang ini akan semakin meyakinkan.

Kesimpulan

Secara ekstensif, baik dari segi diskursus maupun praktek, Carroll telah menunjukkan keterbatasan developmentalisme ala Bank Dunia, terutama varian SIN-nya. Di balik panji-panji dan pretensi seperti ‘pembangunan berbasis komunitas’ (community-driven development), modal sosial, partisipasi warga serta tata kelola pemerintahan dan kelembagaan yang baik, tersimpan berbagai tendensi depolitisasi dan teknokratis dari Bank Dunia. Tetapi, dengan dukungan pemerintah negara berkembang penerima bantuan Bank Dunia, berbagai tendensi tersebut dapat diterapkan secara fleksibel dan bahkan ditinggalkan jikalau perlu demi lancarnya arus dan akumulasi kapital.

Dalam kaitannya dengan pernyataan tersebut, buku Carroll juga berhasil membahas secara cukup mendetail peranan negara dalam konsolidasi kapitalisme neoliberal, setidaknya untuk kasus Asia Tenggara. Pembahasan soal negara dan kedaulatan vis-à-vis kapital, merupakan tema yang tidak ada habisnya dalam studi pembangunan dan teori-teori Marxis. Tetapi, apabila ada satu pelajaran yang dapat kita ambil dari studi Carroll, maka itu adalah negara tidak lepas dari kontestasi dan perjuangan kelas.

Dari segi disiplin akademik, Carroll juga berhasil menggabungkan pendekatan kajian kawasan Asia Tenggara dengan kajian pembangunan dan Marxisme yang lebih luas. Dibandingkan kajian kawasan yang lain, seperti Asia Selatan dan Amerika Latin, pendekatan Marxis dalam studi Asia Tenggara sepertinya relatif lebih sedikit. Kedepannya, saya berharap akan lebih banyak lagi para pengkaji pembangunan dengan fokus kawasan Asia Tenggara yang menggunakan metode Marxis.

Pada akhirnya, karya Carroll menunjukkan bahwa developmentalisme dan kapitalisme neoliberal bukanlah ‘akhir dari sejarah.’

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Bacaan Tambahan

Collins, E. F. (2007). Indonesia Betrayed: How Development Fails. Honolulu, HI: University of Hawai’i Press.

Hughes, C. & Un, K. (Eds.). (2011). Cambodia’s Economic Transformation.Copenhagen: NIAS Press.

Li, T. M. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Durham, NC: Duke University Press.

Pincus, J. R. & Winters, J. A. (Eds.). (2002). Reinventing the World Bank. Ithaca, NY: Cornell University Press.

 

[1] Konsensus Washington adalah daftar sepuluh kebijakan ekonomi yang diusulkan oleh ekonom John Williamson sebagai ‘paket standar’ penanganan krisis dan reformasi ekonomi di negara-negara yang dilanda krisis, yang mencakup kebijakan seperti stabilitas makroekonomi, privatisasi, perdagangan bebas dan penguatan peranan pasar. Pada perkembangannya, Konsensus Washington kemudian identik dengan, atau lebih tepatnya merupakan perpanjangan dari, Neoliberalisme.

[2] Ada semacam permainan kata-kata di sini, SIN dalam bahasa Inggris berarti ‘dosa.’