Revolusi Agustus, Revolusi Sosial

Revolusi Agustus, Revolusi Sosial

DALAM beberapa hari, Indonesia akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-70. Kalimat selanjutnya dari tulisan kali ini bisa saya mulai dengan sejumlah basa-basi yang sudah basi seperti berikut:

  • ’Bagi sebuah bangsa 70 tahun ibarat umur seorang remaja; ia tidak lagi muda tetapi juga belum tua-tua amat.’ (Pantesan labil terus akhir-akhir ini. Terus, rupanya sejarah Indonesia ‘dimulai’ ketika kemerdekaan ‘diproklamirkan’ dalam buku-buku sejarah, dan sebelum itu tidak ada yang namanya ‘Indonesia’).
  • ‘Perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa begitu berat, tetapi sejauh ini ia berhasil menghadapi berbagai tantangan, mulai dari agresi militer penjajah, pengaruh Komunisme (tentunya), otoritarianisme Orde Baru (OrBa), hingga ancaman disintegrasi bangsa di tengah-tengah proses reformasi. Kedepannya Indonesia akan terus maju sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar sedunia yang demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis.’ (Oke Sip).
  • ‘Kita musti menuntaskan janji-janji kemerdekaan.’ (Entah janji yang mana dan dengan cara apa).

 

Daftar tersebut di atas hanyalah sebagian contoh dari panggilan-panggilan nasionalisme yang kabur, yang tiap tahunnya diulang-ulang menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.

Kita perlu beranjak dari narasi-narasi kopong semacam itu. Apabila kita mendaku sebagai seorang materialis historis yang militan, maka sudah sepatutnya kita melacak sejarah aspirasi kemerdekaan kepada sumbernya: pengalaman historis massa-rakyat. 

Revolusi Sosial, 1945-1949

Masa-masa awal kemerdekaan begitu bergejolak. Ada kekosongan rezim, kekalutan, dan kebingungan. Tetapi orang lupa, ada banyak hal-hal lain di luar itu. Ada upaya-upaya independen untuk mengisi kekosongan politk. Ada usaha-usaha untuk menggerakkan roda ekonomi dan kemudian mengelolanya secara demokratis. Ada harapan yang membuncah tentang dunia yang baru, a world turned upside down, dunia yang lebih baik.

Epos sejarah ini tercatat dalam sejarah versi OrBa sebagai masa ‘revolusi fisik’. Sejarah versi ini, yang kita pelajari di sekolah-sekolah, menyatakan bahwa masa revolusi fisik adalah masa ‘perjuangan bersenjata’ melawan ‘penjajah asing’ yang terkadang eksesnya bisa ‘mengerikan’ – pejabat dan bangsawan lokal menjadi korban ‘amarah rakyat’, misalnya. Dari sini kita tahu sumber satu varian nasionalisme Indonesia yang begitu picik, yang militeris dan anti ‘asing-aseng’. Versi sejarah ini juga merupakan suatu penggambaran sejarah yang bermasalah, dan kita tahu, ada lebih banyak cerita di balik itu.

Anton Lucas (1989) dalam Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, mencatat bahwa masa-masa ‘revolusi fisik’, yang ia sebut sebagai revolusi sosial, bukanlah sekedar kekacauan dan avonturisme politik. Ia mencatat bahwa:

“Peristiwa Tiga Daerah adalah suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara Oktober sampai Desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di Keresidenan Pekalongan (Jawa Tengah), di mana seluruh elite birokrat, pangreh praja, (residen, bupati, wedana, dan camat), dan sebagian besar kepala desa, “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran Islam, Sosialis, dan Komunis.” (hal. 1).

Dalam bukunya, Lucas memaparkan bagaimana kondisi rakyat di tiga daerah tersebut di masa-masa terakhir penjajahan Belanda di Indonesia. Di tengah-tengah cengkeraman kolonialisme dan imperialisme, massa rakyat tidak punya suara. Jangankan untuk berbicara, untuk makan saja susah karena hasil panen sering diambil secara semena-mena. Tentu tetap ada yang beruntung dalam kondisi seperti itu: para elit lokal yang kedudukannya tetap terjamin dalam masyarakat kolonial. Ditambah lagi Fasis Jepang datang dan merampas segala sumber daya rakyat dan memobilisasi tenaga mereka untuk keperluan ekspansionisme militerisnya.

Di dalam kondisi seperti itulah, massa rakyat berusaha bertahan dan berlawan, baik secara langsung dan konfrontatif maupun secara diam-diam. Dan ketika momen kemerdekaan datang, maka momen itu segera dilihat sebagai sebuah kesempatan politik. Lucas mencatat massa rakyat, para penduduk desa yang merupakan bagian dari lapis-lapis paling tersubordinasi dan termarginalkan dalam struktur sosial masyarakatnya, berhimpun, mengadakan rapat-rapat umum, menunjuk secara langsung wakil-wakil terpercaya dari masing-masing golongan mereka – baik Islam, Nasionalis, Sosialis, maupun Komunis, dan melakukan redistribusi kekayaan desa.

Membaca cerita-cerita tersebut, sejenak saya merenung dan berpikir: Bukankah ini model tatanan politik dan ekonomi yang Marx dan Engels amati dalam Komune Paris? Bukankah pengaturan masyarakat seperti ini yang disebut-sebut sebagai tatanan ekonomi-politik yang ideal bagi kaum Kiri, di mana rakyat pekerja dapat berpartisipasi secara langsung dalam politik dengan menunjuk wakil-wakil mereka yang terpercaya dan dapat diganti sewaktu-waktu dan berpartisipasi secara mandiri dalam ekonomi melalui free association of producers?

Ternyata apa yang menjadi cita-cita Revolusi Perancis – Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan – menemukan gaungnya dalam Revolusi Indonesia, yang diamalkan berdasarkan satu aksiom politik progresif: percaya kepada massa.

Saya teringat anjuran E.P. Thompson, sejarawan dan aktivis Marxis terkemuka dari Inggris itu, bahwa kita perlu mencari ‘akar-akar lokal’ dari tradisi Kiri-radikal di masyarakat kita sendiri. Thompson melakukannya dalam konteks masyarakat Inggris. Dalam konteks kita, anjuran Thompson juga perlu kita amalkan: kita perlu senantiasa menggali kembali tradisi radikal dalam masyarakat kita.

Apa yang dibahas secara mendalam oleh Lucas dan banyak sejarawan lain hanyalah sebagian dari berbagai cerita mengenai cita-cita universal emansipasi dan pembebasan yang dapat ditemukan dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Mengapa mempelajari pengalaman ini begitu penting? Karena sejarah menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman tersebut merupakan gugatan, baik bagi historiografi ‘nasionalis’ OrBa maupun ortodoksi historiografi liberal. Baik apologis OrBa maupun komentator liberal memandang upaya-upaya revolusi sosial dengan sebelah mata. Yang pertama memandangnya sebagai sumber kekacauan yang mengganggu order, ‘stabilitas’ tatanan ipoleksosbudhankam, yang solusinya adalah menghadirkan kembali Leviathan bagi para pendukung stabilitas dan pembangunan – dengan kata lain kaum militeris dan oligark. Yang kedua memandangnya sebagai sumber ‘totalitarianisme’, yang merongrong ‘kebebasan individu’, yang solusinya adalah revitalisasi ‘negara minimal’, sembari abai terhadap tendensi koersif dari proyek pembentukan negara itu sendiri dan totalitarianisme pasar. Sejarah Revolusi Sosial Indonesia – sebuah revolusi (dengan ‘r’ kecil) dalam Revolusi Nasional (dengan ‘R’ besar) – meskipun singkat, menunjukkan bahwa ada jalan lain menuju kemajuan yang mungkin bisa kita tempuh.

Sayangnya, sejarah revolusi sosial tidak berlangsung lama. Sebagai Republik muda, pemerintah pusat yang baru harus mengukuhkan otoritas dan kedaulatannya. Alhasil, upaya-upaya ‘spontan’ dari bawah kerap kali harus ditertibkan dan diredam, agar tidak mengganggu keamanan nasional. Sebagaimana upaya-upaya historis eksperimen politik emansipatoris yang lain, Revolusi Indonesia menemukan kontradiksi dan kesulitan-kesulitan pada dirinya sendiri. Apabilla Revolusi Bolshevik harus berhadapan dengan momen politis yang sulit, seperti Pemberontakan Kronstadt misalnya, maka Revolusi Indonesia juga berhadapan dengan momen yang serupa tatkala dihadapkan dengan eksperimen-eksperimen sosial di tingkat bawah. Siapakah yang benar? Sukarno-Hatta dan Lenin-Trotsky? Atau para massa rakyat yang menuntut pelaksanaan revolusi sekonsisten mungkin dan berusaha mengambil ‘aksi sepihak’ sebagai konsekuensi logis dari cita-cita revolusi yang mereka amini dan perjuangkan tersebut? Siapakah yang salah? Para pemimpin revolusi atau anak-anaknya? Saya tidak tahu. Tidak ada jawaban yang mudah atas pertanyaan tersebut. Tetapi kita tahu, bahwa kedua-duanya memperjuangkan cita-cita yang sama, dengan cara yang berbeda dan terkadang berseberangan. Tetapi kedua-keduanya merupakan bagian dari suatu perjuangan panjang, a long, protracted struggle, yang bertujuan menciptakan masyarakat baru yang bebas dari penindasan yang lama, yang terlepas dari perbedaan mereka, warisan-warisannya perlu kita hargai.

Tetapi, adakah yang tersisa sekarang dari warisan tersebut? Lagi-lagi saya ragu. Konsep ‘Indonesia’ sekarang tidak lagi identik dengan cita-cita pembebasan nasional, demokrasi rakyat, dan dunia yang baru. Ketika mendengar kata ‘Indonesia’, yang segera terbayang dalam benak saya adalah suatu bangsa di mana para oligark dan militeris tetap berkuasa dan sisa-sisa rezim lama masih bercokol di puncak-puncak kekuasaan. Ketika mendengar kata ‘Indonesia’, saya teringat oleh mereka yang suara-suaranya dibungkam selama puluhan tahun, kepada ratusan ribu nyawa yang melayang dalam katastrofi 1965, kepada jutaan rakyat yang ditindas di Aceh, Papua, dan Timor-Leste.

Mungkin saya terlalu pesimis. Tetapi pesimisme yang realistis lebih baik dari selubung ideologis optimisme yang kosong***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Refleksi atas Dua Muktamar

Refleksi atas Dua Muktamar

BULAN ini merupakan bulan yang penting bagi banyak umat Islam Indonesia. Apa pasal? Karena di bulan ini, dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar se-Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, menggelar muktamar regulernya. Sebagai dua ormas dengan puluhan juta anggota di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tentu saja hasil muktamar dan perkembangan dari dua ormas Islam tersebut akan berpengaruh, bukan hanya bagi para anggota mereka tetapi juga bagi umat Islam dan bangsa Indonesia kedepannya.

Oleh karena itulah, refleksi mengenai kiprah dua ormas tersebut menjadi penting. Kita bisa saja membahas panjang lebar mengenai siapa yang akan menjadi calon pimpinan masing-masing ormas dan politik di sekitar isu tersebut. Tetapi diskusi semacam itu, meskipun penting, bisa jadi hanya bersifat superfisial, terlampau fokus kepada hal-hal yang nampak di permukaan. Saya pikir, adalah lebih penting untuk menjadikan momen muktamar ini sebagai momen refleksi mengenai kiprah kedua ormas sejauh ini dan trajektorinya ke depan untuk sebuah alasan: karena Muhammadiyah dan NU bukan hanya sekedar ormas, melainkangerakan sosial berbasis Islam, yang pengaruhnya memiliki implikasi penting bagi perkembangan politik progresif di Indonesia.

Terlepas dari perdebatan mengenai penggunaan istilah ‘Islam Nusantara’ dan ‘Islam Berkemajuan’, kita tahu bahwa sejarah kedua ormas Islam tersebut di Indonesia sangat panjang – Muhammadiyah didirikan di tahun 1912, sedangkan NU didirikan di tahun 1926. Keduanya berkembang dengan pesat karena keberhasilannya memadukan Islam dengan konteks lokal serta modernitas, sejumlah persoalan yang penting bagi sebuah negeri Dunia Ketiga yang pada waktu itu masih dalam proses pembentukan dan berada di tengah-tengah pergolakan zaman yang begitu pesat. Sebagaimana banyak gerakan sosial lainnya, kedua ormas tersebut, yang bermula sebagai organisasi sosial keagamaan, mau tidak mau juga berurusan dengan banyak hal di luar ranah yang sepenuhnya ‘sosial’ maupun ‘keagamaan’, seperti ranah politik misalnya. Sebagai contoh, kita tahu bahwa di tahun-tahun bergolak dari 1945 hingga 1965, kedua ormas tersebut terlibat aktif dalam kancah politik nasional – NU bahkan sempat menjadi partai politik. Begitupun di masa Orde Baru. Keterlibatan kedua ormas tersebut, meskipun seringkali tidak langsung, dalam politik juga berlanjut hingga sekarang.

Di titik ini, kita perlu melakukan sedikit abstraksi teoretik dengan mengajukan satu pertanyaan: seperti apa hubungan antara dua ormas sosial-keagamaan tersebut dengan dunia politik dan apa implikasi politik dari hubungan atau keterlibatan tersebut? Dalam hal ini, menurut hemat saya, kita perlu melihat kiprah NU dan Muhammadiyah dalam konteks struktural-historis­-nya. Tulisan pengkaji politik Asia Tenggara terkemuka Dan Slater (2009; 2010), bisa menjadi satu referensi yang menarik. Dalam artikel jurnal yang kemudian dikembangkan menjadi buku, Slater menggarisbawahi peranan elit keagamaan dalam mendorong cross-class alliance atau aliansi lintas kelas (antara kelas bawah dan faksi dari kelas menengah) yang dapat mempengaruhi trajektori rezim politik di negara-negara Asia Tenggara. Dalam konteks Indonesia, kita mengenal distingsi antara regimist Islam dan civil Islam yang diperkenalkan oleh Robert Hefner (2000) untuk memetakan konstelasi politik antara berbagai kelompok Islam dan hubungan mereka vis-à-vis negara Orde Baru pada saat itu. Fenomena ini juga dapat ditemui di sejumlah kawasan lain: aktivisme Katolik dan partai Kristen-Demokrat di Eropa Barat dan berbagai tendensi gerakan Kristen di Amerika Latin, termasuk Teologi Pembebasan, misalnya, juga memiliki kecenderungan untuk melakukan aliansi lintas kelas dengan berbagai tendensinya.

Strategi seperti ini, baik secara sadar maupun tidak, juga ditempuh oleh NU dan Muhammadiyah dalam kiprah mereka selama ini. Meskipun ‘basis kelas’ dua ormas ini – kelas menengah dan borjuis kecil perkotaan untuk Muhammadiyah dan masyarakat desa serta alim ulama pemilik tanah untuk Nahdlatul Ulama – tidak serta merta bersifat lintas kelas, setidaknya di masa awal kedua ormas tersebut, pada perkembangannya, kedua ormas tersebut memiliki kecenderungan politik lintas kelas, yang kemudian juga diperluas melalui berbagai aliansi progresif multi-sektoral dengan berbagai elemen masyarakat lain, seperti kaum minoritas keagamaan, yang puncak manifestasi ketokohannya adalah figur-figur seperti Gus Dur dan Buya Ma’arif dan idenya tersebar dan digaungkan oleh berbagai kader dan aktivis NU dan Muhammadiyah di berbagai lini.

Potensi progresivitas inilah yang menjelaskan mengapa kiprah kedua ormas tersebut menjadi penting bagi kemajuan politik progresif di Indonesia. Pertama-tama, kedua ormas tersebut berperan besar dalam mempromosikan diskursus-diskursus Islam yang progresif, yaitu modernisme dan tradisionalisme Islam (bahasa kerennya) atau Islam Nusantara yang Berkemajuan (bahasa kekiniannya), secara berkesinambungan. Kedua, kedua ormas tersebut juga berperan besar dalam menyediakan ‘infrastruktur keorganisasian’ yang memungkinkan penyebaran dan penerapan dari gagasan-gagasan tersebut. Terakhir, namun tidak kalah penting, kedua ormas tersebut memiliki pengaruh dan otoritas besar bagi umat Islam di Indonesia.

Ini bukan berarti tidak ada masalah. Dalam perkembangannya, kedua ormas tersebut kerap kali menghadapi tantangan terhadap tendensi progresivitasnya, baik dari dalam maupun luar. Konjungtur politik eksternal misalnya, mempengaruhi perkembangan kedua gerakan sosial Islam tersebut dan hubungannya dengan rezim yang berkuasa, sebagaimana dapat kita lihat dalam benturan antara beberapa elemen NU dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam katastrofi 1965 di tengah-tengah ofensif nekolim. Dari dalam, tendensi progresif tersebut juga berbenturan dengan tendensi konservatif yang eksis di dalam kedua ormas tersebut. Bahkan apa yang disebut sebagai tendensi progresif itu sendiri bukanlah suatu entitas yang tunggal dan monolitik. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Fayyadl dalam esainya dan juga oleh sejumlah penulis lain[1], sesungguhnya ada ketegangan dan kontradiksi yang inheren antara tendensi liberal dan tendensi progresif dalam gerakan sosial Islam di Indonesia, termasuk tentu saja dalam tubuh NU dan Muhammadiyah. Poin Fayyadl tentang isu-isu kelas sebagai ‘test case bagi klaim “progresif” liberalisme Islam’ saya pikir tepat sasaran di sini: sejauh manakah berbagai varian dan kelompok yang mewakili tendensi progresif dalam tubuh NU dan Muhammadiyah berani mengambil konsekuensi logis dari posisi teoretiko-intelektual, politiko-etis, dan religius-moral yang radikal, liberatif, emansipatoris, dan pro-transformasi sosial? Jawaban bagi pertanyaan ini, dugaan saya, akan menentukan arah dan wajah kedua ormas Islam kita kedepannya.

Di ranah high politics, politik intra-elit, pertanyaan dan isu-isu tersebut di atas tidak kalah pentingnya. Sekali lagi, kita bisa saja meributkan siapa yang akan menjadi dewan formatur dan ketua umum di masing-masing ormas, tetapi isu yang lebih penting lagi sesungguhnya adalah apa arti muktamar kali ini bagi para muktamirin, kader, aktivis, dan ‘anggota’ kultural NU dan Muhammadiyah, serta umat Islam dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan? Secara lebih eksplisit, kita perlu mengajukan pertanyaan berikut: apa tawaran yang dapat diberikan oleh NU dan Muhammadiyah bagi isu-isu yang paling genting bagi lapisan-lapisan masyarakat yang paling tertindas dan termarginalkan, seperti ekspansi neoliberalisme, perampasan tanah, kekerasan negara dan korporasi, serta fundamentalisme dan vigilantisme keagamaan, yang mayoritas juga adalah Muslim? Ini merupakan pertanyaan yang perlu segera dijawab dan ditanggapi oleh lapis kepemimpinan kedua ormas tersebut. Ini juga merupakan sebuah panggilan untuk beranjak dari politik patronase yang rawan muncul di momen-momen ‘politis’ seperti muktamar.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terkesan problematis apabila diajukan oleh ‘orang luar’ kedua ormas tersebut, atau dalam kasus saya, ‘orang yang tidak dalam-dalam amat’. Tetapi saya, anda, kita semua saya pikir memilki hak dan kepentingan untuk menanyakan pertanyaan tersebut, persis karena jawaban atas pertanyaan tersebut memiliki implikasi yang penting bukan hanya bagi para anggota kedua ormas dan umat Islam di Indonesia, tetapi juga bagi masa depan politik progresif di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat banyak persoalan yang membutuhkan ‘pencerahan’ dari alim ulama, penggerak, dan kader keagamaan yang religius, progresif, dan mengakar, seperti isu-isu agraria dan perkotaan, konflik seputar berbagai macam sumber daya alam, hubungan antar umat beragama, isu-isu seputar konservatisme kelas menengah Muslim serta fundamentalisme dan vigilantisme keagamaan, berbagai isu-isu sosial dan ekonomi-politik kontemporer, dan lain sebagainya. Tahun ini juga menandai peringatan 50 tahun tragedi 1965 – suatu tragedi yang memiliki implikasi penting bukan hanya bagi bangsa Indonesia dan gerakan Kiri dan kalangan progresif internasional tetapi juga, sebagaimana dijelaskan oleh Arman Dhani dalam esainya, bagi umat Islam di Indonesia. Isu-isu ini, saya kira, menjadi PR bersama bagi dua gerakan sosial Islam kita yang setidaknya perlu mulai dikerjakan, apabila belum bisa diselesaikan secara tuntas.

Akhirul kalam, mungkin saja catatan dan amatan ringan ini lebih terlihat seperti sebuah daftar tuntutan yang tidak realistis, namun mengingat kiprah dan dampak Muhammadiyah dan NU selama ini, maka tidak ada salahnya kita menaruhkan harapan yang begitu besar bagi perkembangan politik progresif di dunia Islam dan Indonesia kepada kedua gerakan sosial ini. Apakah kedua ormas Islam kita dapat menjawab tantangan tersebut? Wallahu a’lam – tentu hanya mereka yang bisa menjawabnya.

Harapan saya sederhana: semoga NU dan Muhammadiyah dapat terus konsisten memperjuangkan Islam Nusantara yang Berkemajuan, kontekstual, progresif, dan transformatif.***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc.

 

Referensi


Hefner, R.W., 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Slater, D., 2009. Revolutions, Crackdowns, and Quiescence: Communal Elites and Democratic Mobilization in Southeast Asia. American Journal of Sociology , 115(1), pp.203-54.

Slater, D., 2010. Ordering Power: Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia. New York: Cambridge University Press.

 

————–

[1] Lihat misalnya tulisan Airlangga Pribadi, ‘Mendaras Islam Progresif, Melampaui Islam Liberal’, di http://indoprogress.com/2011/05/mendaras-islam-progresif-melampaui-islam-liberal/ Pertanggungjawaban intelektual saya dalam isu ini juga saya tuangkan dalam satu esai yang berjudul ‘Recent Studies on Indonesian Islam: A Sign of Intellectual Exhaustion?’ (manuscript under review).

Katakan TIDAK Kepada Penjajahan Ekonomi: Mengapa Kemenangan Yunani adalah Kemenangan Kita

Katakan TIDAK Kepada Penjajahan Ekonomi: Mengapa Kemenangan Yunani adalah Kemenangan Kita

“Adalah…perlu untuk mengingat kembali satu aksiom dari materialisme historis: bahwa perjuangan antar kelas di dunia ini pada akhirnya diselesaikan di ranah politis –bukannya ekonomi atau kebudayaan – dari masyarakat.” (Sejarawan Marxis Perry Anderson (1974) dalam Lineages of the Absolutist State, hal. 11).

MOMEN yang mendebarkan itu akhirnya selesai sudah. Setelah berbulan-bulan menunggu sembari harap-harap cemas, rakyat Yunani berhasil mengekspresikan kedaulatannya. Perundingan pemerintahan Kiri-radikal SYRIZA yang dipimpin oleh duo Alexis Tsipras dan Yanis Varoufakis sebagai Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Yunani dengan pihak Troika – Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), Uni Eropa (European Union,EU), dan Bank Sentral Eropa (European Central Bank, ECB) – yang berlangsung secara alot dan tegang itu akhirnya membuahkan hasil. Melalui referendum ekonomi yang berlangsung 5 Juli kemarin – sebuah upaya inovatif dan radikal untuk memperluas partisipasi demokratik massa di luar isu-isu politik tradisional – sekitar 61% rakyat Yunani yang menyuarakan pendapatnya dalam referendum tersebut mengatakan OXI alias TIDAK kepada paket talangan ekonomi (bailout) yang mengedepankan kebijakan pengetatan (austerity) neoliberal ala Troika.

Kemenangan ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa bukan hanya bagi rakyat Yunani tetapi bagi seluruh rakyat pekerja dan gerakan-gerakan progresif di berbagai belahan dunia yang lain. Pencapaian ini menjadi penting karena ini menandakan kembalinya gelombang perlawanan kepada kapitalisme-neoliberal dengan berbagai moda ekspansi dan tatanan ekonomi-politiknya yang semakin ekspansif dewasa ini. Pencapaian ini juga memiliki dampak dan implikasi yang signifikan bagi masa depan politik rakyat pekerja di berbagai tempat lain. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari dan memahami secara baik bagaimana gerakan rakyat pekerja di Yunani yang menemukan artikulasinya melalui SYRIZA dapat membangun perlawanan mereka dan menerapkan agenda-agenda mereka secara cukup sukses dalam ranah kebijakan publik.

Sejarah politik di Yunani merupakan sejarah yang penuh pergolakan. Di masa-masa ‘turbulensi politik’ Yunani, yang kira-kira berlangsung menjelang Perang Dunia ke-II sampai dengan demokratisasi di tahun 1970an. Pertentangan di antara kubu Kiri dan Kanan yang ditambah dengan iklim politik internasional yang ekstrim berupa nuansa konfliktual dalam konteks anti-Fasisme dan Perang Dingin semakin mempertajam polarisasi politik di dalam negeri. Selama bertahun-tahun, kelompok-kelompok sayap Kanan mendominasi politik dan kebijakan publik di Yunani, sampai dengan liberalisasi politik di tengah dekade 1970an dan merebaknya kembali gerakan massa setelahnya. Alhasil, agenda-agenda dan organ-organ politik Kiri – mulai dari Kiri-reformis sampai dengan Kiri-radikal – mulai kembali mendapat panggung dalam politik Yunani.

Sampai kemudian Yunani bergabung dalam Uni Eropa (EU). Sebagaimana negara-negara anggota EU lain, Yunani harus ‘menyerahkan’ sebagian ranah kedaulatannya kepada institusi-institusi EU. Beberapa institusi tersebut dapat dikatakan cukup demokratik dalam artian mereka mengakomodir partisipasi massa dalam penyusunan lembaganya dan penerapan kebijakan produk lembaga atau institusi tersebut – seperti misalnya Parlemen EU. Tetapi tidak sedikit juga institusi-institusi EU yang cenderung ‘teknokratis’ dalam artiannya yang pejoratif, yang melihat politik, ekonomi, dan perkara kebijakan publik sebagai persoalan teknis semata dan akibatnya cenderung skeptis terhadap partisipasi dan kemampuan massa rakyat dan mencoba membatasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Almarhum Peter Mair (2015) dalam karya anumertanya, Ruling the Void: The Hollowing of Western Democracy,mencatat bagaimana kecenderungan ‘teknis’ tersebut semakin mencabut politik dan kebijakan publik dari ranah rakyat menjadi ranah elit, lebih tepatnya sekelompok elit yang menjadi ‘kelas politik profesional’ yang memiliki berbagai kewenangan yang ekstensif dalam banyak hal di tengah-tengah kurangnya kontrol dan partisipasi publik terhadapnya.

Untuk kasus Yunani, akibat dari teknokratisme neoliberal yang mengatasnamakan ‘kepentingan kawasan EU’ ini sangat fatal: sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya, kebijakan reformasi ekonomi dengan tendensi austerity yang sangat kencang pasca Krisis Finansial Global 2008 telah membawa Yunani ke dalam jurang kemelaratan dan perampasan yang tak berujung – kontraksi ekonomi yang tak berkesudahan, angka pengangguran yang terus bertambah, kemiskinan yang terus merebak, gaji yang terus turun dan makin tak berharga, dan akhirnya masalah-masalah sosial yang makin merebak, mulai dari kesulitan akses layanan kesehatan dan naiknya tingkat tunawisma.

SYRIZA menemukan momentum politiknya dalam konteks ekonomi-politik yang carut marut seperti itu. Tentu SYRIZA tidak lahir dari suatu kevakuman historis; ia lahir ketika organ-organ politik Kiri tradisional di Yunani seperti Partai Komunis Yunani (KKE) tergagap-gagap menghadapi perubahan zaman dan di saat yang bersamaan ada gelombang perlawanan yang dimotori oleh berbagai organisasi massa dan gerakan sosial di Yunani yang semakin merebak dan militan dan membutuhkan suatu artikulasi politik, suatu artikulasi elektoral dalam bentukpartai Kiri-radikal, partai sosialis-radikal, yang inisiasinya dimulai di tahun 2001 dan berlangsung hingga sekarang.

Dalam konteks perundingan lima bulan yang alot kemarin, satu hal yang secara jitu ditangkap oleh SYRIZA dan karenanya membuat Troika kesal setengah mati adalah ini: paket bailout danausterity Troika bukanlah sekedar kebijakan ekonomi yang bersifat ‘teknis’ dan ‘bebas nilai’ – kebijakan tersebut sesungguhnya juga bersifat politis. Dengan kata lain, paket penyelematan ekonomi yang disodorkan oleh Troika kepada Yunani sesungguhnya merupakan suatu usulan kebijakan dengan agenda politik sendiri. Bahkan Bank Sentral Eropa (ECB), terlepas dari berbagai dalih ‘teknokratis’nya, sesungguhnya adalah suatu institusi dengan agenda politik tersendiri. Mark Weisbrot (2015), ekonom dan direktur Center for Economic and Policy Research yang berbasis di Washington DC, menjabarkan bahwa sesungguhnya ECB memiliki berbagai opsi kebijakan alternatif, termasuk kebijakan yang masih mempertahankan beberapa paket kesejahteraan (welfare policies) yang dapat membantu warga biasa menghadapi gempuran krisis ekonomi, tetapi alih-alih memilih opsi tersebut, ECB memilih untuk ngototmenerapkan kebijakan austerity secara ekstrim di Yunani.

Sesungguhnya ini merupakan sebuah bentuk penjajahan ekonomi dan pembajakan neoliberal atas otonomi dan kedaulatan politik dan ekonomi rakyat pekerja di Yunani. Menghadapi tekanan dari sana-sini, baik dari Troika maupun dari berbagai pihak lain di Yunani, termasuk faksi-faksi dalam partainya sendiri, Tsipras melancarkan dua strategi – dua strategi yang menurut hemat saya tepat sasaran dan efektif. Pertama, ia memiliki Yanis Varoufakis – sang ekonom cerdas, provokatif, dan badass tersebut – sebagai Menteri Keuangannya. Sebagai seorang ekonom yang amat terbiasa dengan model-model matematik dan ekonometrik serta familiar dengan berbagai bahasa dan istilah ekonomi, Varoufakis berhasil berunding secara cukup sukses dengan Troika dan pemerintahan-pemerintahan pro-Troika, seperti administrasi Merkel di Jerman dan Hollande di Perancis, not to mention the fact that his badass style threatens these folks. Kedua, ini langkah yang tidak kalah dan bahkan justru lebih penting, administrasi SYRIZA melihat persoalan ekonomi yang pelik ini sebagai sebuah persoalan nasional yang penting, dan karenanya perlu diangkat sebagai sebuah isu dalam referendum nasional dengan partisipasi massa seluas-luasnya. Strategi ini bukan saja memperluas partisipasi demokratik massa secara radikal, tetapi juga menantang diktum utama, logika utama dari proyek kapitalisme-neoliberal yang berbaju ‘demokratik’: bahwa ekonomi dan politik merupakan dua domain yang terpisah, di mana ‘demokrasi’ hanya berlaku bagi domain yang kedua dan tidak cocok diterapkan ke domain yang pertama karena terlalu ribet dan beresiko. Sejatinya, ini adalah sebuah bentuk tantangan dan gugatan yang serius bagi salah satu ‘rukun iman’ kapitalisme-neoliberal – sebuah rukun yang ternyata, sebagaimana dibuktikan oleh rakyat Yunani, hanyalah sebuah tameng ideologis untuk menjustifikasi proyek-proyek ekspropriasi neoliberal dengan cita rasa ‘Eropa’.

Berkaca dari pengalaman SYRIZA dan rakyat Yunani baru-baru ini, apa saja yang dapat kita pelajari. Pertama, sekali lagi tentu saja pencapaian ini perlu diapresiasi terutama ditengah-tengah langkanya kemenangan gerakan rakyat akhir-akhir ini. Kedua, tetapi bukan berarti bahwa kita sama sekali tidak bisa mengkritik proyeksi politik ini – fakta bahwa kebijakan ekonomi SYRIZA dalam banyak hal masih berbau Keynesian dan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan agenda-agenda sosial demokrasi dan negara kesejahteraan di Eropa Barat pasca Perang Dunia ke-II menunjukkan bahwa ruang dan ranah struktural bagi rakyat pekerja dan gerakan Kiri untuk mewujudkan agenda-agendanya sesungguhnya masih terbatas, dan kita memerlukan strategi-strategi politik lain yang lebih inovatif, jitu, dan efektif untuk mewujudkan transisi menuju sosialisme yang demokratik dan partisipatoris. Ketiga,kemenangan program OXI di Yunani lagi-lagi menunjukkan bahwa ilusi teknokratisme dan separasi ranah politik dan ekonomi ala kapitalisme-neoliberal sesungguhnya lebih mirip sebuah dogma alih-alih hipotesa yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, dan karenanya dapat dipreteli dan diblejeti secara menyeluruh, sebagaimana dilakukan oleh SYRIZA dan rakyat Yunani. Karenanya, pembongkaran ilusi bahlul semacam itu tetap perlu menjadi satu agenda ilmiah dan politik utama bagi gerakan rakyat pekerja di seluruh dunia.Keempat, sebagaimana disebutkan oleh Perry Anderson di atas, pengalaman Yunani menunjukkan bahwa perjuangan kelas, termasuk perjuangan di ranah ekonomi, pada akhirnya membutuhkan intervensi dan organisasi politik yang kuat dan efektif. Terakhir, dan mungkin yang terpenting, pengalaman Yunani menunjukkan bahwa visi emansipatoris dan egalitarian dari gerakan rakyat pekerja selalu mensyaratkan suatu upaya pembangunan pengetahuanyang terbuka, ilmiah, dan demokratik.

Fakta bahwa sesungguhnya warga Yunani telah biasa berlawan secara politik dan memiliki jam kerja yang paling panjang di Eropa – suatu gambaran yang jauh berbeda dengan gambaran esensialis dan borderline-racist atas Yunani sebagai negara tourist trap dengan administrasi tak becus dan rakyat yang malas karena kebanyakan main-main dan tidur siang – menunjukkan bahwa proyek politik emansipatoris-radikal hanya akan berhasil dengan basis pengetahuan yang valid. Adalah suatu hal yang menyedihkan bahwa masih banyak miskonsepsi, kesalahpahaman, dan pemberitaan yang misleading mengenai krisis Yunani di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan kita di Indonesia masih banyak, dan cara terbaik untuk bersolidaritas dengan rakyat Yunani adalah dengan membangun basis pengetahuan dan gerakan yang valid dan solid demi cita-cita masyarakat yang betul-betul bebas dan egalitarian.

Kedepannya, tugas kita masih banyak, dan perjalanan kita masih panjang. Tetapi, tidak ada salahnya untu bersuka cita sejenak, menikmati manisnya buah perjuangan.***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitterland dengan id @libloc

‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 2)

‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 2)

SEBELUMNYA telah kita bahas secara cukup menyeluruh mengenai ketegangan di antara dua konsepsi demokrasi: penafsiran arus utama tentang demokrasi sebagai pelanggeng status quo dan penafsiran alternatif tentangnya sebagai proyek politik rakyat pekerja. Sebagai pengingat, mari kita jabarkan lagi sejumlah tesis alternatif mengenai demokrasi:

Demokrasi sebagai ekpresi politik kelas
Demokrasi sebagai ekspresi perjuangan kelas
Demokrasi sebagai mekanisme partisipasi aktif warga
Demokrasi bertujuan melampaui separasi antara elit dan warga dan memfasilitasi pertempuran strategis dengan negara (strategic engagement with the state)
Disensus sebagai sendi utama politik demokratik
Setelah merobek ‘jubah ideologis’ demokrasi untuk proyek-proyek politik yang konservatif dan reaksioner, setelah melakukan kritik imanen terhadap konsepsi demokrasi semacam itu, maka sekarang adalah saatnya bagi kita sebagai bagian dari kaum progresif untuk membaca ulang demokrasi sebagai proyek politik emansipasi rakyat pekerja.

Kita tahu bahwa bagi mereka yang berkuasa, istilah demokrasi perlu dibersihkan dari konotasi kelasnya. Tetapi kita tahu bahwa sepanjang sejarahnya, demokrasi tidak terlepas dari konteks konflik dan kontradiksi antar kelas dan perjuangan kelas yang menjadi niscaya karena kontestasi tersebut. Demokrasi dapat dibaca sebagai kekuatan politik kaum miskin, sebagaimana didefinisikan oleh Aristoteles dalam Politics, maupun sebagai apa yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson (2009) dalam Economic Origins of Dictatorship and Democracy sebagai bagian dari strategi dan konsesi elit dalam menghadapi situasi revolusioner dan tuntutan redistribusi material secara radikal yang dipelopori oleh massa rakyat. Intinya, istilah demokrasi sesungguhnya tidak pernah terlepas dari konteks konflik kelas yang melatarbelakanginya.

Karena demokrasi adalah ekspresi politik kelas, maka demokrasi juga merupakan sebuah ekspresi perjuangan kelas. Selama ini kita seakan-akan lupa dan secara terlalu romantik dan vulgar terkadang mengidentikkan perjuangan kelas dengan long march, revolusi, dan perjuangan insureksionis dan bersenjata. Kita lupa bahwa jauh-jauh hari Engels sempat berkata bahwa evolusi damai menuju masyarakat baru, yaitu masyarakat sosialis, adalah mungkin ketika perwakilan-perwakilan rakyat pekerja telah berhasil mengamankan dan melaksanakan kekuasaan sesuai kehendak rakyat. Ada dua implikasi dari pernyataan Engels: pertama, demokrasi, termasuk dalam konotasi modernnya sebagai politik elektoral, juga merupakan suatu situs atau arena perjuangan kelas bagi rakyat pekerja dan kedua, politik demokratik adalah aspirasi politik yang inheren dalam perjuangan rakyat pekerja.

Karena demokrasi adalah ekspresi perjuangan kelas, maka demokrasi juga perlu dibaca sebagai mekanisme partisipasi aktif warga. Jikalau penafsiran arus utama atas demokrasi menaturalisasi dan melegitimasi demokrasi sebagai sebuah tatanan ekonomi-politik yang legitim dari sononya, maka penafsiran alternatif terhadapnya harus merevitalisasi karakter demokrasi sebagai sebuah mekanisme partisipasi aktif warga yang bertujuan mewujudkan daulat rakyat secara langsung menuju tatanan masyarakat egalitarian – dengan kata lain masyarakat tanpa kelas. Visi inilah yang dicanangkan Rousseau jauh-jauh hari, yang menemukan gaungnya di berbagai eksperimen politik rakyat pekerja, mulai dari Komune Paris hingga periode singkat Revolusi Sosial di Indonesia di masa awal kemerdekaan. Dalam terang ini, maka demokrasi bertujuan untuk melampaui separasi antara rakyat pekerja sebagai warga dan aparatus pemerintahan yang mewakilinya. Dengan demikian maka tendensi degenerasi negara dalam masyarakat kapitalis menjadi sekedar apa yang disebut Marx sebagai pemerintahan teknis, sebagaimana dapat kita lihat dalam berbagai eksperimen neoliberalisme di beberapa dasawarsa terakhir, dapat dilampaui dan perlahan disudahi melalui perluasan ruang-ruang pertempuran strategis dengan negara.

Dua pembacaan ulang di atas mengenai premis-premis dasar demokrasi hanya mungkin juga apabila kita melakukan pembacaan ulang atas premis ketiga dari demokrasi: bahwa adalah disensus, alih-alih konsensus, yang menjadi sendi utama politik demokratik, politik perlawanan rakyat pekerja. Dalam banyak studi mengenai demokrasi terutama negara-negara demokrasi baru peranan konsensus terutama konsensus antar elit sering digarisbawahi dan digadang-gadang sebagai fakor utama yang mendukung stabilnya demokrasi. Pernyataan ini, meskipun tepat, baru separuh benar. Dalam banyak hal, konsensus memang diperlukan. Tetapi, apabila beberapa konsensus yang sifatnya sementara diperlakukan seakan-akan sebagai sebuah pakta politik yang tidak dapat diganggu gugat, maka itu sama saja dengan membatasi ruang diskursus publik dan menutup kemungkinan untuk memulai dan meneruskan percakapan publik yang lebih luas. Persis disinilah disensus diperlukan. Disensus berangkat dari ketidaksepakatan, pertentangan, dan kontestasi. Elan seperti inilah yang diperlukan untuk terus menerus memungkinkan percakapan dan perdebatan publik yang lebih sengit, luas, dan mendalam dan dengan demikian ‘memaksa’ publik untuk terus menerus mencoba merumuskan hipotesa politik yang paling mungkin mendekati kebenaran dan kepentingan publik. Inilah yang terjadi di Perancis di masa Republik Ketiga dan Venezuela di bawah Chavéz. Menggunakan perumpamaan spasial dalam analisa politik yang digunakan Jodi Dean, disensus bagaikan sebuah horizon atau cakrawala: sebagaimana pemandangan yang tampak di depan kita tidak mungkin dimengerti tanpa adanya garis yang membatasi langit dan bumi, maka demokrasi dan seluruh percakapan tentang politik tidak mungkin dipahami tanpa adanya pengakuan terhadap perbedaan-perbedaan yang susah direkonsiliasikan, terhadap kontradiksi yang inheren dalam tiap-tiap ‘tubuh politik’ (body politic), terhadap disensus yang selalu inheren dan kerapkali mengemuka dalam tiap-tiap masyarakat.

Kritik ‘Anti-Demokrasi’ Sebagai Upaya Radikalisasi Demokrasi

Setelah kita mencoba menelaah secara lebih mendalam mengenai dua konsepsi tentang demokrasi dan ketegangan-ketegangan diantaranya, maka jelaslah mengapa kritik terhadap konsep demokrasi dan perlunya merumuskan sebuah posisi ‘anti-demokratik’ dalam beberapa hal tertentu menjadi penting. Tanpa adanya upaya pembongkaran mengenai berbagai conventional wisdom mengenai demokrasi, resikonya posisi Kiri-radikal bisa jadi tidak terbedakan dengan posisi kubu liberal dan bahkan kubu konservatif dan reaksioner. Di masa ketika setiap orang bisa berteriak ‘untuk demokrasi!’ dan mendapuk dirinya sebagai seorang demokrat, maka persis di titik itulah kubu Kiri-radikal perlu mengambil jarak dan melakukan kritik ideologis yang mendalam dan menyeluruh atas konsep demokrasi beserta segenap premis-premis dasarnya dan kemudian merumuskan suatu konsepsi alternatif mengenai demokrasi.

Itulah yang coba kita jajaki dalam dua seri tulisan pendek ini. Tentunya kita membutuhkan lebih banyak pembahasan yang lebih mumpuni dan menyeluruh mengenai persoalan ini, tetapi saya pikir dua seri tulisan ini bisa menjadi titik tolak untuk pembasan yang lebih lanjut. Dari penjajakan awal ini, apabila ada benang merah yang menghubungkan tiga premis alternatif tentang demokrasi yang sudah saya sebut di atas, maka itu adalah sebuah gagasan tentang demokrasi sebagai daulat rakyat pekerja secara langsung yang mencoba melampaui separasi antara elit dan aparatus penyelenggara negara dan ekonomi di satu sisi dan rakyat pekerja di sisi lain menuju sebuah tatanan ekonomi-politik yang egalitarian. Dengan kata lain, visi demokrasi ini begitu dekat dengan hipotesa dan tatanan komunistik, dalam artiannya sebagai ‘komunitas proletariat revolusioner’ sebagai ‘perkumpulan individu-individu…yang meletakkan kondisi-kondisi perkembangan dan pergerakan tiap-tiap manusia dalam kuasa mereka’.[1] Visi demokrasi ini dalam beberapa hal bersifat ‘diktatorial’, karena ia melegitimasi aksi rakyat pekerja untuk mempertahankan diri dari sekaligus menindak para penindasnya, tetapi pada hakikatnya visi ini juga begitu egalitarian, karena ia menjadikan kebebasan, keseteraan, dan persaudaraan antar sesama rakyat pekerja sebagai pedoman, cara, dan tujuannya.

Dengan kata lain, kritik ‘anti-demokrasi’ sesungguhnya adalah sebuah upaya revitalisasi potensi emansipatoris radikal dari diskursus demokrasi itu sendiri.***

Penulis adalah kandidat doktor di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

————

[1] Sebagaimana dikatakan Marx dan Engels dalam The German Ideology. Teks aslinya, ‘the community of revolutionary proletarians’ as an ‘association of individuals…which puts the conditions of the free development and movement of individuals under their control.’ (hal. 86-9).

Optimisme dan Harapan Sebagai Retorika Kapitalisme Kontemporer

Optimisme dan Harapan Sebagai Retorika Kapitalisme Kontemporer

Pendahuluan

BARU-BARU ini rekan Dede Mulyanto membahas optimisme sebagai asumsi teoretik sekaligus posisi etis dan politis yang kerap kali menjadi lubang sembunyi sisa-sisa filsafat idealisme. Optimisme ugal-ugalan, meminjam bahasa Dede, adalah sebuah proyek intelektual dan politik yang bermasalah dalam kacamata Marxis karena kecenderungannya untuk terlampau menyederhanakan realitas obyektif menurut ideal-ideal yang berada di dalam benak kepala, mereifikasi model-model penyederhanaan atas realitas tersebut, dan mempromosikan harapan yang kurang berjejak di ranah politik.

Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengembangkan argumen Dede sedikit lebih jauh: optimisme ugal-ugalan sebagai proyek etis dan politis bukan saja merupakan sebentuk sisa-sisa idealisme tetapi juga sebuah bentuk ideologi borjuis. Dengan kata lain, optimisme ugal-ugalan merupakan sebuah retorika kapitalisme kontemporer. Implikasi posisi teoretik tersebut, menurut saya, dapat bersifat konterproduktif bagi proyek-proyek politik emansipasi.

Optimisme dan Harapan: Selubung Ideologis Masyarakat Kapitalis

Satu dari sekian banyak hal yang menjadi tameng ideologis kapitalisme adalah premis bahwa di dalam masyarakat kapitalis, meskipun kesenjangan akan senantiasa ada, tetapi ‘kesempatan’ sesungguhnya selalu tersedia bagi siapa saja dan ‘kesuksesan’ akan ‘datang’ bagi mereka yang ‘bekerja keras’. Siapa saja bisa meraih ‘kesuksesan’ tersebut – yang sedikit banyak didefinisikan dengan seberapa banyak akumulasi (baca: ekspropriasi atau perampasan) nilai lebih dapat dilakukan. Meminjam ucapan seorang anggota tim penasehat Pinochet dalam film No, perhatikan bahwa penekanannya adalah pada kata siapa saja dan bukannya semua. Dalam konteks ini, retorika optimisme dan harapan dapat dibaca sebagai sebentuk selubung ideologis yang menjustifikasi tatanan ekonomi-politik tersebut. Dalam terminologi yang lebih formal, retorika optimisme dan harapan dalam beberapa bentuknya dapat dibaca sebagai seperangkat superstruktur – praktik-praktik sosial dan kebudayaan yang melegitimasi tatanan masyarakat kapitalis. Pelan-pelan kita digiring untuk berpikir bahwa tatanan masyarakat tersebut pada dasarnya memberikan ‘keniscayaan’ untuk ‘kesuksesan’ – Bukankah dalam masyarakat kapitalis alih-alih ‘sosialis’ kita dapat menemukan Steve Jobs, Bill Gates, dan J.K. Rowling? Bukankah iPhone dan MacBook edisi terbaru jauh lebih menarik dibandingkan Trabant dan produk-produk tua dari Blok Timur?

Buktinya tidak sedikit. Contoh-contoh dari retorika semacam itu dapat kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari diskursus politik hingga imajinasi kebudayaan masyarakat kita. Perhatikan misalnya ‘visi ideal’ pandangan hidup beberapa faksi kelas menengah kita – suatu contoh yang cukup dekat dan familiar buat saya. Kesuksesan dinilai dalam bentuk sejauh mana seseorang bisa memiliki ‘stabilitas’ dalam sektor-sektor pekerjaan kerah putih, partisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas ‘kewargaan’ yang sifatnya karitatif dan terkadang penuh dengan konotasi moralis dan terkadang religius seperti menjadi sukarelawan untuk berbagai kegiatan volunteer,atau dua-duanya. Kecenderungan moralis tersebut bahkan semakin mengemuka bagi beberapa elemen-elemen ‘tercerahkan’ dalam kelas menengah Indonesia. Sebagai bagian dari kalangan ‘terpelajar’ mereka memiliki ‘kewajiban moral’ dan ‘misi historis’ untuk ‘mencerahkan’ para anggota masyarakat – biasanya dari golongan bawah – yang masih ‘belum tercerahkan’ dan ‘bodoh’. Berbekal segumpal angan-angan mengenai visi masyarakat yang ‘ideal’, mereka mencoba merumuskan sejumlah program dan kegiatan yang bertujuan untuk ‘memperbaiki keterbelakangan’, tanpa sadar akan tendensi paternalistik yang inheren dalam visi ideal tersebut.

Contoh yang saya berikan di atas mungkin terkesan anekdotal dan karikatural, tetapi ada juga contoh-contoh lain di mana retorika optimisme dan harapan ugal-ugalan mewujud dalam bentuk yang lebih sistematis. Baca misalnyaartikel dan tulisan terbaru ekonom Greg Mankiw (2013) yang menjustifikasi eksistensi lapisan satu persen dalam masyarakat, bahwa kemunculan lapisan satu persen lengkap dengan segala bakat dan kreativitas mereka adalah sebuah hal yang natural dan kesenjangan ekonomi, sosial – dan mungkin politik – yang muncul sebagai konsekuensi dari eksistensi dan konsolidasi lapisan satu persen hanyalah sekedar ‘ongkos’ yang perlu dibayar untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. Bukankah lapisan satu persen adalah para anggota masyarakat pilihan yang bisa sukses karena kerja keras dan kebrilyanan mereka?

Retorika optimisme dan harapan ini biasanya juga erat berhubungan dengan satu tatanan ekonomi-politik tertentu yaitu, teknokrasi, tentu bukan dalam artiannya sebagai upaya saintifik untuk pembangunan masyarakat, melainkan lebih dalam artiannya yang cenderung terinsulasi dari kontrol publik, tercerabut dari konteks sosial yang melahirkannya, dan tentu saja cenderung alergi terhadap demokrasi – persis dengan apa yang disebut Marx sebagai ‘pemerintahan teknis’ (technical government)[1]. Optimisme dan harapan sebagai sebentuk idealisme sering sekali berkelit kelindan dan bersandingan dengan teknokrasi. Keduanya saling membutuhkan dan memperkuat satu sama lain. Dalam bahasa yang populer, retorika tersebut sering disampaikan kurang lebih seperti ini: kita harus tetap ‘optimis’, dan untuk mewujudkan ‘harapan’ kita, maka kita perlu melakukan sejumlah ‘usaha’, yang tidak lain tidak bukan hanyalah bentuk lain dari teknologi-teknologi berpemerintahan (technologies of governmentality) dalam artian Foucauldian. Persis di titik inilah kontradiksi internal dalam retorika optimisme dan harapan mengemuka: retorika tersebut tidak mampu berdiri sendiri, ia merupakan manifestasi dari ideologi borjuis yang membutuhkan aparatus-aparatus politik, sosial, dan kebudayaan yang memungkingkannya terinternalisasi di dalam masyarakat. Contoh dari strategi seperti ini banyak dan sudah cukup lama diterapkan mulai dari Lesotho (Ferguson, 1994) hingga Indonesia (Li, 2007), baik secara formal, misalnya melalui skema kebijakan teknokratis seperti Kecamatan Development Program-nya Bank Dunia (Carroll, 2010) maupun informal melalui program-program pendidikan yang bersifat sukarela tetapi bergantung kepada pola manajemen dan kapital dari korporasi-korporasi besar (Gellert, 2015). Mengutip Althusser, manifestasi dari retorika optimisme dan harapan dapat kita lihat sebagai contohaparatus ideologis negara (ideological state apparatuses) untuk mereproduksi dan melanggengkan ideologi borjuis.

Singkat kata, retorika optimisme dan harapan dalam berbagai bentuknya dewasa ini dapat dilihat sebagai diskursus borjuis. Apabila perjuangan politik emansipasi dalam konotasinya yang sosialis terkesan terlalu ‘idealis’ dan ‘utopis’, maka bukankah upaya ‘memajukan’ masyarakat dalam kerangka kapitalis terdengar lebih ‘menjanjikan’ dan ‘realistis’? Kita bisa saja tidak mengacuhkan retorika tersebut dan sekedar menanggapinya sebagai just another bourgeois nonsense dan menyalahkan banyak orang yang mempercayai retorika tersebut sebagai kelompok masyarakat yang ‘belum tercerahkan’ dan masih mengidap ‘kesadaran palsu’. Tetapi bagaimana jikalau massa mempercayai dan menginternalisasi retorika tersebut? Lantas, apa implikasi politik yang harus kita antisipasi dan strategi politik yang harus kita ambil?

Perlawanan Sebagai Narasi Politik Emansipasi

Sejarah gerakan Kiri dan gerakan rakyat di berbagai tempat di belahan dunia disatukan oleh sebuah narasi yang sama: perlawanan. Perlawanan, dengan kata lain, adalah narasi besar politik emansipasi. Dari segi psikologis, perlawanan tidak hanya identik dengan harapan tetapi juga kemarahan. Simak misalnya orasi-orasi Frederick Douglass, mantan budak dan pejuang abolisionis anti-perbudakan terkemuka di Amerika Serikat di masa Perang Sipil. Orasi-orasi Douglass yang keras bukanlah sekedar luapan kemarahan yang bersifat personal. William Sokoloff (2014) menyebutnya sebagai ‘kemarahan dialektis’ (dialectical rage) karena kemampuannya untuk menginterogasi realitas struktural yang menindas sekaligus merumuskan perhitungan politik yang matang dan mengerahkan mobilisasi politik yang efektif. Perlawanan dan kemarahan, terutama yang mengemuka dalam aksi dan organisasi kolektif, tidak selalu bersifat membabi buta, kekanak-kanakan, dan penuh dengan vandalisme dan kekerasan. Justru, dalam banyak hal perlawanan dan kemarahan perlu dilihat sebagai elemen yang penting bagi konsep kewargaan yang radikal, partisipatoris, dan demokratik.

Dalam konteks ini, narasi perlawanan menjadi penting sebagai diskursus alternatif dari retorika optimisme dan harapan ala borjuis kecil yang makin hegemonik. Di saat eksperimen politik radikal dan emansipatoris dicemooh dengan label ‘utopis’, di saat tatanan masyarakat borjuis dikesankan sebagai bagian yang alamiah dari evolusi masyarakat, di saat politik semakin lama semakin direduksi sebagai persoalan teknis, maka narasi perlawanan dan kemarahan sesungguhnya merupakan respon yang logis dan rasional untuk melawan hegemoni tersebut.

Dalam terang inilah, gerakan progresif harus berhati-hari agar tidak terjatuh kepada lubang filsafat idealisme maupun mengidap tendensi borjuis kecil. Optimisme dan harapan bagi gerakan progresif bukanlah satu hal yang murni bersifat nubuwah, bersifat messianik, cukup dengan ‘berusaha’ dan ‘berdoa’ maka bismillah simsalabim abrakadabra perubahan sosial akan datang cepat atau lambat. Kalau begini maka kita tidak jauh berbeda dengan kaum borjuis dan borjuis kecil yang mengidap waham seperti ini. Dengan begitu kita juga beresiko mengulang kesalahan gerakan-gerakan Kiri di Barat menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II yang berpikir setelah krisis berkepanjangan maka kapitalisme akan menjemput ajalnya dan sosialisme akan otomatis datang.

Kita memerlukan analisa yang mendalam mengenai kondisi objektif keadaan ekonomi-politik dan syarat-syarat struktural yang memungkinkan pelaksanaan transformasi sosial. Kita juga memerlukan perhitungan yang matang mengenai intervensi dan stategi politik apa yang tepat untuk memajukan proyek-proyek politik emansipasi. Kita bisa saja terkesima dan mengamini bahwa Marx membuka cakrawala baru mengenai ‘hukum gerak masyarakat’ sebagaimana dikatakan oleh Althusser dan ‘adalah rakyat yang membuat sejarah’ seperti dikatakan Allende. Tetapi kita tidak bisa sekedar mempercayainya sebagai postulat-postulat dan aksiom-aksiom yang seakan-akan sudah terbukti kebenarannya. Sebagai bagian dari gerakan progresif, kita harus memblejeti retorika optimisme dan harapan ala propaganda borjuis dan mempelajari sejarah perjuangan sebagaimana dihidupi oleh rakyat pekerja. Hanya dari situlah kita tahu bahwa kontradiksi internal masyarakat kapitalis memang nyata adanya, bahwa pembajakan teknokratis dan oligarkis atas demokrasi memang terjadi, dan yang paling penting bahwa rakyat pekerja memiliki kemampuan untuk membaca situasi dan merumuskan solusi untuk mengatasi dan melampaui ketertindasannya.

Optimisme dan harapan bagi kalangan progresif bukanlah retorika yang tidak berjejak; ia muncul dan dirumuskan berdasarkan praksis dan pengalaman perjuangan yang dihidupi oleh rakyat pekerja.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Carroll, T., 2010. Delusions of Development: the World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Ferguson, J., 1994. The Anti-Politics Machine. Minneapolis and London: University of Minnesota Press.

Gellert, P.K., 2015. Optimism and Education: The New Ideology of Development in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 45(3), pp.371-93.

Li, T.M., 2007. The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Durham: Duke University Press.

Mankiw, N.G., 2013. Defending the One Percent. Journal of Economic Perspectives, 27(3), pp.21-34.

Musto, M., 2011. MR Zine. [Online] Tersedia di: http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html [Diakses 7 Juni 2015].

Sokoloff, W.W., 2014. Frederick Douglass and the Politics of Rage. New Political Science, 36(3), pp.330-45.

————
[1] Untuk referensi mengenai konsep pemerintahan teknis menurut Marx, baca Musto (2011).

Universalitas Praksis Perjuangan

http://www.indoprogress.com/2015/universalitas-praksis-perjuangan/

TINGGAL di dunia saat ini, wa bil khusus tinggal di Indonesia, membutuhkan tingkat kesabaran dan kewarasan yang cukup tinggi. Mengapa demikian? Karena, setiap detiknya seakan-akan kita dibombardir dengan sejumlah berita yang membuat kita mengernyitkan dahi, mengepalkan tangan, atau menghela nafas panjang. Seakan-akan hidup adalah rentetan penderitaan yang tidak ada habisnya. Seakan-akan sejumlah isu seperti persoalan hukuman mati, korupsi, konservatisme dan fundamentalisme keagamaan dalam bentuknya yang vulgar, pengungsi Rohingya, instabilitas politik di Timur Tengah, perampasan tanah, hingga perjuangan kelas merupakan persoalan-persoalan yang terpisah satu sama lain.

Sesungguhnya, untuk bergerak melampaui kefrustasian tersebut, kita hanya perlu bergerak sedikit lebih jauh saja.

Kali ini, saya akan berfokus kepada empat persoalan yang sempat dan sedang menjadi bahan pembicaraan orang akhir-akhir ini: perjuangan kelas dan konservatisme keagamaan di Indonesia, penanganan isu pengungsi Rohingya, hingga prahara politik di Timur Tengah. Sepintas, sejumlah hal tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Tetapi, pembacaan dan analisa yang lebih ketat atas sejumlah persoalan tersebut dapat menyadarkan kita bagaimana sesungguhnya persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian dari permasalahan struktural yang lebih mendalam.

Lihat, misalnya, soal perkembangan perjuangan kelas di tanah air akhir-akhir ini. Wacana soal partai alternatif yang sempat mengemuka beberapa saat di kalangan gerakan buruh, merupakan sebuah contoh menarik yang dapat kita kupas lebih lanjut. Bagi saya, perkembangan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya terdapat evolusi dalam kesadaran politik rakyat pekerja di Indonesia. Rekam jejak perjuangan kelas pasca reformasi tak ubahnya sebuahprotracted struggle dalam kondisi non-insurgensi: ada kemajuan gerakan di satu sisi, ada juga kemunduran gerakan di sejumlah hal lain. Kesadaran politik rakyat pekerja Indonesia tidak serta merta berubah dari kesadaran sebagaiclass in itself (klasse en sich) yang bersifat teratomisasi, individual, dan parsial menuju kesadaran sebagai class for itself (klasse für sich) yang melampaui pengalaman-pengalaman invididual dan parsial menuju aksi politik kolektif yang sadar dan terorganisir, meskipun arah menuju ke sana cukup terlihat.

Bahwa wacana politik progresif seperti ini mulai bermunculan patut kita syukuri, tetapi itu saja tidak cukup. Dapat kita lihat bahwa diskursus dan imajinasi politik publik pada kenyataannya seringkali masih didominasi oleh diskursus-diskursus yang reaksioner, sebagaimana dapat kita lihat dari bentuk-bentuk konservatisme keagamaan yang cukup vulgar kali-kali ini, mulai dari sentimen anti-Syi’ah hingga sinisme terhadap pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Fenomena ini tentu tidak muncul begitu saja: familiaritas atas kekayaan khazanah Islam Nusantara perlahan-lahan hilang digantikan dengan kejumudan beragama tingkat tinggi di tengah-tengah absennya suatu gagasan kebudayaan dan politik alternatif. Dalam konteks negara kapitalis pinggiran seperti Indonesia, di mana banyak warga kelas menengah dengan pandangan hidup yang senantiasa ambivalen, kadang maju tapi lebih sering reaksioner, maka gagasan-gagasan vulgar macam sentimen anti-Syi’ah dan kecenderungan menyesatkan orang dapat menjadi jalan pintas, shortcut yang mudah bagi banyak orang. Di sini, saya tidak menihilkan agensi atau kemampuan manusia untuk memilah-milih gagasan dan praktek-praktek kebudayaan dan keagamaan, tetapi dalam suatu kondisi struktural tertentu maka ide-ide reaksioner yang saya sebut di atas dapat menemukan gaungnya.

Kontradiksi-kontradiksi semacam ini tidak hanya dapat kita lihat di dalam konteks politik domestik tetapi juga dalam dinamika politik luar negeri. Ambil contoh misalnya soal kasus pengungsi Rohingya akhir-akhir ini. Ribuan pengungsi Rohingya terpaksa terombang-ambing di laut lepas sebelum tekanan dari dunia internasional memaksa negara-negara Asia Tenggara untuk menampung orang-orang Rohingya – entah untuk tujuan kemanusiaan atau sekedar untuk menyelamatkan muka. Sementara ribuan saudara dan saudari mereka terlantar di laut lepas, nasib orang-orang Rohingya di Burma sendiri tidak jauh lebih baik: mereka mengalami persekusi, kekerasan, dan diskriminasi yang berlapis, baik secara ekonomi, politik, dan sosial, dari negara dan kelompok-kelompok Buddhis fundamentalis di sana. Melihat persoalan ini, maka bolehlah kita berujar sinis bahwa nampaknya yang ‘kosmopolitan’ dari pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara dan asosiasi regional yang menaunginya, ASEAN, hanya dua, yaitu kecenderungan otoritarianisme politik dan penghisapan rakyat pekerja melalui penetrasi neoliberalisme dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Contoh lainnya adalah instabilitas politik yang makin menjadi-jadi di Timur Tengah. Belum selesai persoalan ISIS, kawasan tersebut dihadapkan oleh dua persoalan yang tidak kalah gentingnya: invasi bersama Arab Saudi dan Amerika Serikat melawan pemberontak Houthi di Yaman dan penetapan hukuman mati bagi mantan presiden Morsi di Mesir. Jelas bahwa dalam konteks dua kasus ini sisa-sisa despotisme lama di Timur Tengah yang bersekutu dengan atau difasilitasi oleh gelombang imperialisme baru akhirnya melanggengkan praktek-praktek kekuasaan represif dalam bentuknya yang paling brutal.

Persoalan-persoalan ini dalam banyak hal memang sangat berbeda. Konteks di mana berbagai persoalan ini muncul juga jauh berbeda. Namun, bukan berarti kita tidak bisa menarik sebuah benang merah dari persoalan-persoalan ini. Justru di titik inilah menjadi penting bagi kita untuk mengabstraksikan persoalan-persoalan ini untuk melampaui partikularitasnya, merumuskan analisa yang lebih komprehensif, dan syukur-syukur merumuskan praksis bersama yang universal.

Pertama, sejumlah persoalan ini kembali mengingatkan kita bahwa sejarah pembentukan negara modern, yang terutama ditandai dengan bentuk-bentuk kedaulatan dalam kerangka Westphalian, adalah sejarah ekstrasi berbagai sumber daya, pendisiplinan warga, dan ‘racikan’ yang pas antara ekspansi kapital dan penggunaan kekerasan, sebagaimana dijelaskan secara gamblang oleh sosiolog politik terkemuka, almarhum Charles Tilly (1990), dalam salah satu karya utamanya, Coercion, Capital, and European States. Karenanya, tak heran apabila Tilly (1985) sebelumnya berargumen bahwa sesungguhnya pembentukan negara modern tak ubahnya praktek premanisme yang terlembaga. Tugas gerakan progresif adalah memahami logika ini, menghancurkannya, dan melampauinya, sehingga kedaulatan ‘modern’ berubah fungsinya dari organ ekstratif dan koersif dan diletakkan dalam mekanisme kontrol secara bebas dan langsung oleh rakyat pekerja.

Kedua, bahkan seandainya Marx dan Polanyi tidak pernah ada untuk menjelaskannya secara rinci kepada kita, kita lagi-lagi menyaksikan kecenderungan progresif dari rakyat pekerja untuk melawan logika ekstraktif murni ala mekanisme pasar dan sentralisme negara dan pranata-pranata politik dan hukum yang melegitimasikannya. Upaya-upaya untuk memunculkan diskursus dan intervensi politik alternatif dan progresif dan solidaritas yang dipraktekkan oleh orang-orang biasa untuk menyelematkan pengungsi Rohingya adalah sejumlah contoh bagaimana tendensi progresif tersebut bukan hanya mungkin tetapi juga nyata adanya. Kedepannya, tendensi politik tersebut perlu dikembangkan lebih jauh lagi untuk pemenuhan agenda-agenda progresif.

Ketiga, persoalan-persoalan ini menunjukkan bahwa, terlepas dari berbagai perbedaannya, sejumlah masalah yang saya sebut di atas sesungguhnya merupakan bagian dari gugusan-gugusan persoalan yang saling berkaitan satu sama lain. Maraknya konservatisme dan fundamentalisme keagamaan di ruang publik tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan sejauh mana diskursus politik progresif yang dirumuskan oleh dan memperjuangkan kepentingan rakyat pekerja memenangi kompetisi gagasan di ruang publik. Acuh dan diamnya banyak pihak terhadap apa yang terjadi di Burma dan Timur Tengah erat kaitannya dengan sejauh mana kosmopolitanisme sejati, yang melampaui logika otoritarianisme negara dan perampasan pasar, dalam bentuk solidaritas antar sesama kaum yang tertindas, bergaung di ranah internasional.

Implikasinya, ini menunjukkan bahwa kita tidak lagi bisa menganalisa berbagai persoalan-persoalan di dunia secara parsial. Persoalan-persoalan tersebut harus dan perlu dilihat sebagai bagian dari totalitas sebuah epos modernitas yang kita tinggali dan alami sekarang ini, yaitu modernitas kapitalis. Tugas bagi kaum progresif adalah untuk melakukan analisa yang komprehensif terhadap berbagai persoalan tersebut sebagai bagian dari totalitas persoalandan merumuskan intervensi-intervensi politik yang memungkinkan relasi-relasi sosial yang menindas digantikan oleh praktik-praktik sosial yang emansipatoris.

Untuk menuju ke arah sana, kita perlu memahami persoalan-persoalan tersebut dan merumuskan solusi terhadapnya sebagai bagian dari universalitas praksis perjuangan kaum yang tertindas.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Tiada Lagi Berita dari Asia Afrika

Tiada Lagi Berita dari Asia Afrika

JALAN-JALAN di kota Bandung kembali diatur ulang. Jalan-jalan yang kembali dipenuhi oleh mobil-mobil yang membawa para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika – dua kawasan di mana orang-orang kulit berwarna tinggal. Sejenak kita takjub melihat keramaian tersebut, sampai kemudian kita sadar, ‘oh ada Konferensi Asia Afrika (KAA) rupanya.’

Mungkin seperti itulah reaksi kebanyakan orang tatkala melihat konvoi mobil para petinggi negara beserta pengawal-pengawalnya. Setelah itu, kebanyakan dari kita kembali melanjutkan aktivitas seperti semula. Sehingga, saya jadi bertanya-tanya: masih relevankah KAA?

Mungkin bagi sebagian orang, termasuk Presiden Jokowi, yang membuka KAA dengan pidato yang penuh kritik atas tatanan ekonomi-politik global saat ini – sebuah pidato yang membuat saya garuk-garuk kepala membayangkan apakah dia akan seberani ini mengkritik para oligark, komprador, dan penjahat kemanusiaan di negerinya sendiri – KAA adalah momen politik internasional yang sangat penting. Setidaknya KAA membuat Indonesia tetap ‘muncul’ di kancah pergaulan antar bangsa dan karenanya membantu upaya-upaya diplomasi dan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Soal solidaritas dengan sesama bangsa Selatan itu urusan nanti. Pandangan yang lebih sinis, yang juga saya amini, menyatakan bahwa sekarang KAA tak ubahnya seremoni belaka yang menjadi ajang arisan banyak pemimpin dengan reputasi buruk – koruptor, pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan penghisap rakyat kecil.

Agar tidak terlampau sinis dan nyinyir, mungkin ada baiknya kita kembali menengok ke masa lalu

Kita tahu bahwa ide tentang KAA dicetuskan oleh sejumlah pemimpin negara-negara Asia yang baru saja merdeka, di mana Indonesia tergabung sebagai salah satu pencetusnya. Namun, ada cerita yang jauh lebih menarik dan kompleks daripada itu. Kita perlu beranjak dari narasi simplistis tentang KAA yang cenderung berpusat dari pengalaman para presiden dan perdana menteri, orang-orang besar, the great men.

Ada satu pesan yang menyatukan bangsa-bangsa kulit berwarna ini: anti-(neo)kolonialisme dan imperialisme, alias anti-nekolim, meminjam istilah Bung Karno. Pesan ini mewujud pada suatu aspirasi universal: pembebasan nasional. Tentu saja sejarah dan pengalaman kolonial tiap-tiap masyarakat berbeda satu sama lain. Menyamaratakan pengalaman tersebut berarti sama saja melihat sejarah kolonialisme secara esensialis dan menegasikan agensi dari bangsa-bangsa yang dijajah, sebagaimana yang dilakukan oleh para kolonialis jaman dulu. Tetapi terlepas dari berbagai perbedaannya, ada banyak irisan kesamaan pengalaman yang kemudian menyatukan nasib bangsa-bangsa berwarna ini.

Sesungguhnya sejarah kolonialisme dan imperialisme belum begitu jauh jaraknya dari kita, paling-paling hanya sekitar ratusan tahun. Kita tahu, dua proyek ekonomi-politik dan kebudayaan tersebut membuat benua-benua berwarna – Asia, Afrika, dan Amerika Latin – seakan-akan tidak memiliki sejarah sebelum bangsa-bangsa Barat ‘menemukan’ mereka. Kita seakan-akan menjadi, meminjam istilah antropolog Eric Wolf, ‘orang-orang tanpa sejarah’ (people without history). Padahal sejarah menunjukkan bahwa – tanpa harus terjebak dalam glorifikasi dan romantifikasi masa lalu – jauh sebelum kolonialisme, bangsa-bangsa kulit berwarna telah mencoba meniti jalur modernitas alternatif. Di Jepang, Daikichi Irokawa dalam The Culture of Meiji mencatat bahwa di masa pergolakan selama Restorasi Meiji, sejumlah elemen dari kaum tani mencoba merumuskan konstitusi alternatif sebagai tandingan terhadap konstitusi yang dirumuskan oleh elit restorasionis. Di Asia Tenggara, sejumlah sejarawan terkemuka seperti Anthony Reid dan Geoff Wade telah menulis mengenai ‘zaman perdagangan’ (the age of commerce) di mana orang-orang dengan berbagai latar belakang etnisitas yang berbeda – Asia Tenggara, Arab, India, dan Cina – berinteraksi satu sama lain dalam jalur perdagangan Asia yang berkembang pesat pada saat itu. Hingga kemudian para kolonialis datang. Tentu saja kolonialisme tidak serta merta datang dan kemudian menaklukkan serta menindas subjek kolonialnya. Kenyataannya jauh lebih rumit daripada itu. Tetapi seringkali proyek kolonialisme berhasil karena ia difasilitasi oleh elit atau komprador lokal yang memungkinkan cengkeraman kolonial yang lebih mendalam di suatu masyarakat.

Persis di titik inilah, kita kemudian sadar, bahwa proyek dekolonisasi tidaklah semudah yang dibayangkan. Ada lapisan-lapisan masyarakat, ada kelas-kelas yang diuntungkan dari keberlangsungan tatanan masyarakat kolonial. Tak heran apabila Frantz Fanon dalam traktatnya yang terkenal itu, The Wretched of the Earth, dari jauh-jauh hari telah mengingatkan mengenai peranan kelas komprador ekonomi-politik lokal sebagai pelanggeng proyek nekolim dalam berbagai bentuknya, baik yang vulgar dan jelas terlihat maupun dalam wujudnya yang lebih halus dan sublim.

Tantangan besar dekolonisasi yang menyeluruh inilah yang dihadapi oleh bangsa-bangsa Asia dan Afrika, 60 tahun silam. Jangankan untuk mewujudkan proyek politik tersebut, untuk merumuskannya saja tidaklah mudah. Dipesh Chakrabarty, sang pendekar postkolonial itu, dalam salah satu esai terbarunya yang berjudul The Legacies of Bandung: Decolonization and the Politics of Culture menjabarkan sejumlah ketegangan ideologis selama proses persiapan dan penyelenggaraan KAA. Ada negara-negara yang lebih dekat ke Amerika Serikat (AS) dan bergabung dalam pakta pertahanan yang dipimpin Barat, SEATO, seperti Thailand dan Filipina, ada juga negara-negara yang lebih dekat ke Uni Soviet, termasuk China yang baru saja memproklamasikan diri sebagai Republik Rakyat. Ada prasangka-prasangka yang tidak dengan begitu saja mudah untuk hilang, seperti Nehru yang sangsi apakah Indonesia bisa dengan lancar menyelenggarakan KAA dan khawatir dengan ketersediaan kamar mandi yang layak bagi para peserta konferensi hingga Roeslan Abdulgani yang terlampau membesar-besarkan perbedaan antara peradaban Barat dan Timur dalam pidato pembukaannya untuk KAA. Ada kecenderungan paternalistik yang kuat dalam benak para pemimpin negara-negara baru ini dalam gaya kepemimpinan mereka, yang memposisikan diri mereka sebagai “guru” yang harus mendidik rakyat mereka sebagai “murid” yang memiliki aspirasi sebagai orang merdeka namun tidak tahu cara terbaik untuk mencapai kemerdekaan.

Tetapi, terlepas dari ketegangan tersebut, ada upaya bersama untuk mewujudkan sebuah dunia baru, a brave new world, yang bebas dari ketertindasan, yang memungkinkan pelaksanaan janji-janji universal Abad Pencerahan – Kesetaraan, Kebebasan, dan Keadilan. Apabila seorang postkolonial dengan kecenderungan posmodernis seperti Chakrabarty menekankan pada partikularitas pengalaman kolonial dan upaya dekolonisasi dari bangsa-bangsa kulit berwarna, saya justru melihat universalitas pengalaman upaya anti-nekolim, pembebasan nasional, dan dekolonisasi sebagai benang merah yang menyatukan berbagai bangsa kulit berwarna yang melawan ketertindasannya yang mewujud dalam terobosan politik seperti KAA. Slogan-slogan khas KAA yang menekankan pertentangan antara dunia lama dan baru seperti Old Established Forces dan New Emerging Forces alias OLDEFOS dan NEFOS mungkin telah terdengar begitu usang, bagaikan fosil dari dekade 1960an, tetapi esensinya tetap relevan – interseksionalitas antara ras dan kelas, sejarah sebagai pertarungan antar kelas, dan ketertindasan bukan hanya sebagai fenomena struktural tetapi juga pengalaman bersama yang memungkinkan subyek-subyek kolonial untuk merumuskan kritik dan kekuatan politik atas praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme – dengan kata lainkeniscayaan materialisme historis.

Tapi itu dulu. Sekarang jaman sudah banyak berubah. Beberapa dekade setelah KAA dan upaya diplomatik progresif negara-negara dunia ketiga lainnya seperti Gerakan Non-Blok (GNB) diluncurkan, ajang pertemuan internasional semacam ini perlahan tapi pasti mulai berubah menjadi klub pertemuan diktator opresif yang juga maling kelas satu, mulai dari Suharto hingga Mobutu Sese Seko. Lambat laun, agenda-agenda seperti ini mulai berubah menjadi arisan tahunan para pemimpin negara dunia ketiga, tanpa orientasi ideologis yang jelas.

Tidak hanya itu, kondisi tatanan dunia juga berubah drastis. Uni Soviet tumbang. China tidak lagi identik dengan tentara merah dan Zhou Enlai, melainkan dengan Shenzen, Hong Kong, dan gedung-gedung yang menjulang tinggi di Shanghai dan Beijing sekaligus kesenjangan sosial-ekonomi yang makin tinggi dan kontrol politik yang tak kunjung bergenti. Semenjak dekade 1970an akhir, neoliberalisme menjadi diskursus ekonomi-politik yang begitu hegemonik. ‘Efisiensi’ dan ‘pertumbuhan ekonomi’ alih-alih ‘tatanan ekonomi-politik yang lebih adil’ dan ‘solidaritas’ menjadi kata-kata kunci yang dominan dalam kerangka ideologis dewasa ini. Tetapi persoalan bukan hanya terletak semata-mata pada faktor internasional. Kesalahan dalam kebijakan-kebijakan dalam negeri rejim-rejim berorientasi anti-kolonial dan nasionalis di negara-negara dunia ketiga juga menjadi salah satu penyebab utama mengapa semangat Afro-Asianisme dan third-worldism kehilangan daya tariknya. Kita bisa saja menyematkan sebagian kesalahan kepada iklim Perang Dingin di waktu itu, tetapi paternalisme yang mengurat mengakar dalam benak sejumlah pemimpin bangsa-bangsa Asia dan Afrika, menyebabkan pandangan mereka terhadap rakyat mereka sendiri hampir-hampir sebelas dua belas dengan para kolonialis jaman dahulu: rakyat masih ‘belum siap’, kaum pemimpin dan intelektual musti ‘memandu massa’, ruang-ruang demokratik untuk partisipasi massa bisa menyebabkan ‘kekacauan’. Apabila massa rakyat mulai mengambil inisiatif sendiri, siap-siap saja mereka diberi label ‘anarkis,’ ‘avonturir,’ hingga ‘sindikalis,’ tentu dalam konotasinya yang pejoratif, mulai dari Indonesia hingga Vietnam. Alhasil mereka memaksakan suatu mode pembangunan yang berorientasi, meminjam istilah James Scott, ‘modernis tinggi’ – berorientasi top-down, sangat ‘teknokratik’ dan ‘saintistik’ meskipun belum tentu saintifik, dan kadang kala, atau lebih tepatnya sering kali, diimplementasikan dengan cara-cara yang koersif atau bahkan represif. Mulai dari kebijakan rumah susun Lee Kuan Yew hingga penataan desa terpadu (villagization) Julis Nyerere, tidak sedikit ongkos sosial yang ditimbulkan dari kebijakan modernis tinggi seperti ini.

Karenanya, tiada lagi berita dari Asia dan Afrika. Namun, bukan berarti harapan benar-benar tidak ada. China melalui korporasi-korporasi dan investasi luar negerinya boleh saja menjadi salah satu pelaku perampasan tanah (land-grabbing) paling intens di negara-negara berkembang, menyaingi investasi-investasi dari Eropa dan negeri-negeri Barat lainnya, tetapi kaum tani tidak berhenti berlawan – di berbagi tempat, banyak serikat petani dan gerakan sosial berbasis pertanian tumbuh sebagai respon dari upaya pemiskinan seperti itu. Di Amerika Latin, benua di mana politik kerap kali didominasi oleh kepentingan negara-negara utara seperti AS atau oligarki dua atau tiga partai yang hanya merepresentasikan faksi-faksi kelas yang berkuasa, pemerintahan-pemerintahan Kiri dengan orientasi demokrasi radikalnya perlahan-lahan berhasil memecah dominasi oligarki dan melakukan perubahan-perubahan kebijakan yang nyata dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat pekerja. Pun di Eropa, tanah asal para penjajah dulu, yang menunjukkan lelahnya warga biasa dengan ‘totalitarianisme’ pasar dan ‘kedikdatoran’ Uni Eropa beserta Bank Sentralnya. Yang menyatukan berbagai pengalaman ini, mulai dari pemberontakan Zapatista di Meksiko hingga protes Ibu-ibu Rembang di depan istana adalah satu fakta yang ironis: yang sunguh-sungguh melakukan upaya dekolonisasi bukanlah para pemangku kekuasaan dan pembuat kebijakan di negara-negara dunia ketiga, melainkan jutaan rakyat pekerja yang ‘tak bernama’, the nameless masses, yang percaya dengan ide-ide tentang kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan yang paling radikal[1].

Presiden Jokowi bisa saja menyampaikan pidato yang berisi kritik mengenai tatanan ekonomi-politik dunia sekarang, dan kita bisa saja meributkan siapa yang merumuskan pidato tersebut, tetapi klaim-klaim dan keributan tersebut menjadi tidak ada artinya apabila setumpuk urusan publik yang berkaitan erat dengan berbagai bagian kehidupan dari rakyat pekerja, mulai dari persoalan buruh migran dan hukuman mati hingga reformasi kepolisian dan industri yang mengancam kehidupan orang banyak dan merusak lingkungan luput dari perhatiannya dan kita.

Dan apabila benar bahwa hal-hal genting tersebut luput dari perhatian kita, maka berarti benar adanya bahwa tiada lagi berita dari Asia Afrika. Mungkin saya terlampau sinis, dan mudah-mudahan saya salah. Satu-satunya hal yang menyelamatkan saya mungkin adalah ucapan seorang kakek dan veteran perang dari Vietnam, Le Nam Phong, dalam satu artikel terbitan koran Guardian: ‘Tujuan seluruh pertarungan ini adalah untuk membangun sebuah masyarakat sosialis, untuk meraih kebebasan, kemerdekaan, dan kebahagiaan. Di hari-hari awal melawan Perancis dan AS, kami sudah membayangkan masyarakat yang ingin kami wujudkan: sebuah masyarakat dimana tidak ada eksploitasi antar sesama manusia, adil, mandiri, dan setara.’

Dibalik KAA, dibalik Sukarno, Sihanouk, dan Ho Chi Minh, atau di dalam konteks sekarang, dibalik Jokowi dan peserta seremoni KAA lainnya, ada jutaan manusia, rakyat pekerja yang tak dikenal, yang tidak hadir dalam ruang-ruang rapat dan pertemuan konferensi, yang percaya dengan dan berusaha mewujudkan ide-ide tersebut.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

————-

[1] Tulisan kawan Umar baru-baru ini membahas secara bernas soal sejumlah upaya ‘dari bawah’ ini dihttp://indoprogress.com/2015/04/membangkitkan-kembali-api-bandung-catatan-untuk-kaa-2015/

‘Anti-Demokrasi’: Sebuah Telaah atas Konsep Demokrasi dan Segenap Pembacaannya (Bagian 1)

http://indoprogress.com/2015/04/anti-demokrasi-sebuah-telaah-atas-konsep-demokrasi-dan-segenap-pembacaannya-bagian-1/HARI-HARI yang paling membosankan, membingungkan, dan membuat frustasi adalah ketika berbagai diskursus politik begitu menjemukan, repetitif, berorientasi instan, dan tidak terbedakan satu sama lain. Salah satu contoh dari diskursus tersebut adalah sebuah konsep yang sering kita dengar: demokrasi. Adalah satu hal yang ironis tatkala demokrasi menjadi sebuah ‘penanda kosong’ (empty signifier) yang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, menjadi sejumlah pembacaan yang terkadang kontradiktif satu sama lain.

Akibatnya jelas; pada akhirnya, tidak ada bedanya antara ‘demokrasi’ menurut para oligark dan ‘demokrasi’ menurut rakyat pekerja, antara ‘demokrasi’ menurut penjahat perang dan aktivis anti-perang, antara ‘demokrasi’ menurut Pinochet dan Allende, antara ‘demokrasi’ menurut tatanan imperium global dan orang-orang tanpa sejarah (people without history). Dalam konteks yang lebih dekat, yaitu perkembangan politik kita hari ini, ‘demokrasi’ kemudian tereduksi maknanya menjadi oper-operan bola antara Jokowi-Mega-Paloh-PDIP-dan segenap elit politik lain. Adalah ironis tatkala lembaga-lembaga paling teknokratis seperti Bank Dunia, agen-agen imperium seperti pasukan-pasukan negeri Barat yang ‘membebaskan’ Timur Tengah dari ‘kediktaroran’, dan sejumlah tokoh politik, komentator, dan intelektual sayap Kanan dengan berbagai variannya mulai dari Thatcher, para pengamat politik sayap Kanan di acara-acara televisi di Amerika Serikat (AS), hingga intelektual-intelektual binaan korporasi-korporasi besar menggunakan retorika ‘demokrasi’ dan kemudian menyandingkannya dengan istilah-istilah seperti ‘pasar bebas’, ‘efisiensi’, ‘identitas nasional’, ‘nilai-nilai tradisional’, dan lain sebagainya.

Jalan keluar dari kebuntuan diskursif ini menyaratkan penelusuran dan kritik yang mendalam atas konsep yang dijadikan tameng ideologis untuk menjustifikasi agenda-agenda politik yang paling konservatif dan reaksioner: demokrasi.

Beberapa Tesis tentang Demokrasi

Berdasarkan penelusuran terbatas saya atas sejumlah karya-karya kunci dalam kajian politik perbandingan dan filsafat politik, saya mengusulkan konsep demokrasi bisa kita sederhanakan dalam sejumlah tesis. Satu kemungkinan pembacaan atas konsep demokrasi dapat disederhanakan ke dalam sejumlah tesis berikut ini:

  1. Demokrasi sebagai ekspresi politik kelas
    • Demokrasi sebagai tatanan dan perangkat politik kelas yang berkuasa
  2. Demokrasi sebagai mekanisme pemilihan dan perputaran elit
    • Demokrasi menyarakat separasi antara elit dan warga serta negara dan masyarakat
  3. Konsensus sebagai sendi utama politik demokratik

Untuk memahami evolusi konsep demokrasi, kita perlu memahaminya dalam konteks sejarahnya. Konsep demokrasi sebagaimana kita pahami sekarang ini, yaitu yang identik dengan pemilihan umum (pemilu), hak-hak dan kebebasan dasar (basic rights and liberties) seperti kebebasan sipil dan politik, dan pergantian kekuasaan sesungguhnya merupakan pembacaan yang cukup baru. Pembacaan ini setidaknya mulai populer di tengah Abad ke-19, hingga sekarang. Tetapi, demokrasi tidak melulu identik dengan pembacaan tersebut. Apabila kita bergerak mundur lebih jauh lagi, lebih tepatnya ke masa Yunani Kuno, maka akan kita temukan bahwa konsep demokrasi pada awalnya selalu berkaitan dengan konflik dan perjuangan kelas. Dimensi kelas dari konsep demokrasi inilah yang dibahas secara mendetail oleh Aristoteles dalam karya klasiknya, Politics, di mana ia mendefinisikan demokrasi sebagai kekuasaan politik kelompok miskin. Tak heran apabila berabad-abad sesudahnya para kritikus demokrasi kerap kali melabeli demokrasi sebagai mob rule atau kekuasan kerumunan yang kacau. Di AS – negara yang kerap kali mengekspor ‘demokrasi’ – Alexandor Hamilton, presiden ke-empat AS, negarawan terkemuka, dan anggota dari kolektif The Federalists, mewanti-wanti ‘akibat yang berlebihan dari demokrasi murni’ (the excess of pure democracy) dan menganjurkan perlindungan atas hak-hak kelompok minoritas dari tirani mayoritas – dengan kata lain faksi-faksi dari kelas yang berkuasa dan mengontrol sumber-sumber perekonomian dari mayoritas rakyat biasa yang tidak berpunya. Dalam konteks yang lebih dekat, yaitu rejim-rejim otoriter-birokratik (bureaucratic authoritarian regimes) di Amerika Latin dan Asia, demokrasi dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional karena demokrasi memungkinkan mobilisasi dan pengorganisiran politik dari kelas bawah – satu hal yang juga diam-diam diamini oleh faksi konservatif dari lapisan kelas menengah dan orang kaya baru di negara-negara tersebut.

Ini tentu saja menjadi masalah bagi mereka yang berkuasa. Tetapi, ada cara untuk mengatasi persoalan tersebut. Caranya, karakter kelas dari konsep demokrasi tetap dipertahankan, tetapi maknanya diplintir. Mereka tidak lagi berbicara ‘demokrasi menganggu tatanan dan stabilitas’ dan ‘rakyat tidak siap berdemokrasi’, melainkan retorika-retorika baru seperti ‘demokrasi perlu diselamatkan dari dirinya sendiri’, ‘demokrasi yang stabil dan berkualitas membutuhkan nilai-nilai demokratik’, dan ‘demokrasi membutuhkan tatanan pemerintahan yang baik’ – tentunya sembari diam-diam bersungut-sungut ketika massa buruh dan tani memobilisasi dirinya sendiri dengan cara-cara yang ‘kurang beradab’ seperti demonstrasi, pendudukan lahan, dan mogok kerja. Demokrasi, pelan-pelan berubah makna dan fungsinya sebagai justifikasi atas tatanan politik yang ada. Dengan kata lain, ia berubah menjadi pranata dan tatanan politik kelas yang berkuasa. Contohnya tidak sedikit. Di Chile, Pinochet mengklaim bahwa kudeta yang dilakukannya bertujuan ‘mempertahankan nilai-nilai Chile’ dan ‘akan membawa kembali demokrasi yang sesungguhnya’. Di Filipina, demokrasi tertua di Asia, para oligark lokal – tuan tanah dan pebisnis yang menguasai berhektar-hektar tanah, menjadi bos-bos politik lokal, membangun dinasti politik, sembari menembaki lawan politik dan siapa saja yang mengkritiknya, seperti yang terjadi akhir-akhir ini – mendominasi politik lokal selama bertahun-tahun dalam kerangka politik elektoral. Di Thailand, beberapa faksi ‘kelas menengah berpendidikan’ yang lantang berbicara tentang ‘nilai-nilai demokratik’, ‘supremasi hukum’, dan ‘anti-korupsi’ namun dekat dengan militer dan kerajaan kerap kali memicingkan mata melihat mobilisasi orang-orang desa dan melabeli mereka sebagai ‘pendukung Thaksin’. Tak heran apabila Ben Anderson menyebut mekanisme politik seperti ini sebagaielektoralisme borjuis alih-alih demokrasi.

Lebih lanjut lagi, untuk meng­-khaffah-kan konsepsi demokrasi sebagai tatanan penjustifikasi status quo, demokrasi kemudian dipersempit maknanya menjadi mekanisme pemilihan dan pergantian elit. Schumpeter adalah penggagas utama dari konsepsi ini. Baginya, tidak ada yang namanya kebaikan public (common good) karena tiap-tiap individu memiliki preferensinya masing-masing. Yang bisa dilakukan individu di dalam konteks politik adalah memilih politisi untuk mewakili preferensinya dalam kancah perdebatan mengenai kebijakan publik. Demokrasi, dengan kata lain, hanyalah prosedur pemilihan dan sirkulasi elit. Tetapi jangan khawatir, karena menurut Dahl dalam tatanan politik demokratik tiap-tiap kelompok warga dapat mempengaruhi jalannya politik dan kebijakan publik karena negara adalah arena politik yang netral – alih-alih situs pertarungan dan perjuangan kelas. Implikasinya, bukanlah demos yang berkuasa, melainkan lapisan elit yang merepresentasikan rakyat, yang representasinya dilegitimasi dengan mekanisme pemilu sebagai agregasi dari preferensi-preferensi berbagai invidu yang diasumsikan hadir dalam konteks dan latar belakang sosial yang sama satu sama lain. Secara teknis aktivitas memilih seorang kandidat politisi di kotak suara menempatkan semua warga negara yang memiliki hak untuk memilih pada sebuah kondisi kesetaraan politik – tetapi politik tidak berhenti di situ. Jikalau politik sesederhana itu, maka para oligark dalam berbagai manifestasinya – mulai dari lobiis hingga komite aksi politik (political action committee, PAC) di AS, orang kaya baru di Russia, hingga mereka yang bisa memobilisasi dan membayar ‘demonstrasi’ di Bangkok, Caracas, hingga Jakarta – tidak perlu repot-repot mengorganisasi dirinya, berpartisipasi dalam politik elektoral, pelan-pelan mengubah diskursus politik, dan sesekali berselingkuh dengan aparatus koersif negara maupun partikelir untuk meneguhkan dan melanggengkan dominasi politiknya.

Dengan kondisi yang seperti ini, maka kesetaraan politik dan politik yang representatif lebih tepat dilihat sebagai kesetaraan dan representasi politik yang semu. Mekanisme legitim yang dianggap dapat menjamin, atau setidaknya mengembangkan kesetaraan politik, seperti pemilu misalnya, pada akhirnya bertumpu pada kondisi material.Dengan kata lain, sebuah tatanan legal, politik, dan kebudayaan tertentu – termasuk yang mendaku sebagai tatanan yang ‘demokratik’ – menjadi legitim karena dukungan dan sokongan kekuatan material – kapital, koersi, dan kemampuan mencari, mengelola, dan menyalurkannya. Dari perspektif ini, maka separasi antara elit sebagai pelaku kegiatan politik dan rakyat atau warga sebagai kelompok atau kategori yang memungkinkan seluruh pembicaraan mengenai politik perlu dilanggengkan sebagai bagian untuk memperkuat struktur dominasi kelas yang ada. Di dalam kondisi seperti ini, bahkan apabila rakyat pekerja memobilisasi dirinya dalam bentuk partai misalnya, bisa jadi tidak ada jaminan bahwa kelas pekerja akan berpartisipasi dalam politik sebagai kelas. Salah satu contoh historis dari kejadian ini adalah kolaborasi antar kelas antara kelas buruh dan kelas menengah yang dilakukan oleh partai-partai Kiri-tengah di Eropa Barat menjadikan kelas buruh untuk memenangi pertarungan elektoral mengubah karakter partisipasi politik kelas buruh dari partisipasi politik sebagai kelas dengan segala tuntutan politik kelasnya (reformasi politik, perluasan hak untuk memilih dalam pemilu, pembatasan jam kerja, kenaikan upah, redistribusi kekayaan, nasionalisasi cabang-cabang industi strategis, dan lain sebagainya) menjadi partisipasi politik sebagai sekumpulan individual yang kebetulan memiliki latar belakang kelas yang sama – politik kelas buruh berubah hanya menjadi sekedar ‘blok suara kaum buruh’ yang bisa dipakai untuk mobilisasi dukungan elektoral. Dalam konteks politik seperti ini, maka ada benarnya ketika Lenin dalam salah satu suratnya ke pada kelas pekerja Hungaria di tahun 1919 pernah berujar ‘Demokrasi borjuis hanyalah sebentuk kediktatoran borjuis’. Kesetaraan dan bahkan kebebasan politik dalam tatanan ‘demokratik’ yang seperti ini pada akhirnya selalu dibentuk dan termediasi olehkesenjangan material yang ada, terutama kesenjangan material antar kelas.

Demokrasi juga dipahami sebagai upaya untuk mencapai konsensus dan kompromi politik. Konsensus politik selanjutnya dipahami sebagai sendi utama untuk menjaga stabilitas demokrasi. Dengan adanya konsensus politik, maka diharapkan demokrasi bisa stabil karena ada ‘standar terendah’ (lowest common denominator) dan aturan-aturan politik demokratik, seperti pergantian kekuasaan secara damai melalui pemilu misalnya, yang dapat disetujui oleh berbagai macam kelompok yang memiliki hubungan yang kerap kali antagonistis, misalnya kelompok sekuler versus religius, liberal versus konservatif, mayoritas versus minoritas, Kiri versus Kanan, dan lain sebagainya. Upaya untuk mencapai standar terendah dan aturan yang disepakati bersama tersebut dapat dicapai dengan perdebatan dan perbincangan yang mendalam untuk mencapai ‘persetujuan intersubyektif’ (intersubjective agreement) antara kelompok-kelompok yang bertikai tersebut. Inilah resep demokrasi deliberatif menuru ortodoksi Habermasian-Rawlsian – setidaknya dalam penafsirannya yang vulgar.

Tetapi, tesis pentingnya konsensus bagi demokrasi juga tidak luput dari masalah. Pertama, ia mengasumsikan bahwa segenap diskursus mengenai politik hanya dimungkinkan apabila diskursus tersebut mencapai sebuah kesepakatan, dengan kata lain sebuah konsensus. Namun, bagaimana jika politik, pada hakikatnya, adalah kontestasi atas berbagai diskursus yang saling bertentangan satu sama lain? Bagaimana jika segenap pembicaraan mengenai politik hanya dimungkinkan dengan keniscayaan diskursus alih-alih konsensus? Bukankah segenap pembicaraan mengenai politik, kepentingan publik, dan kehidupan yang baik berakar dari ketegangan, sebagaimana dapat kita lihat dalam pertikaian antara Sokrates dengan Athena? Bukankah persetujuan intersubyektif – seperti konsensus untuk melanggengkan kolonialisme, perbudakan, dan pembatasan hak memilih misalnya – tidak serta merta menggaransi prosedur dan tatanan politik yang benar dan dapat berujung kepada sebentuk solipsisme?Kedua, asumsi tersebut juga abai terhadap fakta bahwa sejarah politik demokratik diwarnai oleh sejarah pertikaian dan perlawanan, terutama dalam konteks masyarakat kelas. Apa-apa yang kita sering asosiasikan dengan ‘nilai-nilai liberal’ seperti konstitusionalisme, supremasi hukum, pembatasan kewanangan Negara, dan lain sebagainya, tidak turun dari langit dan tidak hadir dari konsensus di antara para elit; tatanan tersebut seringkali muncul dan berkembang sebagai reaksi dari ‘mobilisasi dari bawah’ oleh kelas-kelas yang tertindas. Terlalu naif apabila kita memahami apa yang kita asosiasikan sebagai prinsip-prinsip politik modern sebagai hasil dari kompromi brilyan para elit. Prinsip-prinsip tersebut seringkali tidak lahir dari konsensus, melainkan disensus, yang memungkinkan dan mengharuskan perlawanan rakyat – terutama dalam bentuk perjuangan kelas.

Sejumlah Tesis Alternatif Mengenai Demokrasi

Sebagai alternatif atas pembacaan di atas, saya mengajukan pembacaan lain atas konsep demokrasi yang dapat disederhanakan ke dalam sejumlah tesis berikut ini:

  1. Demokrasi sebagai ekspresi politik kelas
    • Demokrasi sebagai ekspresi perjuangan kelas
  2. Demokrasi sebagai mekanisme partisipasi aktif warga
    • Demokrasi bertujuan melampaui separasi antara elit dan warga dan memfasilitasi pertempuran strategis dengan negara (strategic engagement with the state)
  3. Disensus sebagai sendi utama politik demokratik

Dua konsepsi demokrasi tersebut pada dasarnya berlawanan satu sama lain, meskipun pada prakteknya seringkali berkelit-kelindan. Tetapi pembacaan ulang dan kritik atas konsep demokrasi tetap diperlukan karena tanpanya maka retorika ‘demokrasi’ hanya akan menjadi tameng ideologis untuk menjustifikasi hegemoni kapitalisme-neoliberal, baik dalam bentuknya yang oligarkis seperti di Indonesia maupun yang lebih elusif seperti di negeri-negeri Barat, dan juga segenap ekspresi politik yang paling konservatif dan reaksioner (anti-asing, anti-imigran, rasisme, fundamentalisme keagamaan, dan lain sebagainya). Dalam konteks inilah, kita bisa memahami mengapa Zizek misalnya menyerukan bahwa kritik terhadap kapitalisme kontemporer tidaklah mungkin tanpa kritik atas tatanan legal-politik yang menyokong dan melegitimasi-nya, yaitu demokrasi. Merumuskan kritik tersebut memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Untuk itu, di dalam tulisan berikutnya, saya akan mencoba menjabarkan butir-butir kritik yang saya utarakan atas konsep demokrasi dan mereformulasikan demokrasi agar sesuai dengankhittah-nya sebagai ekspresi, medium, dan tujuan perjuangan rakyat pekerja***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

ISIS: Bayang-bayang Imperialisme di Timur Tengah

http://indoprogress.com/2015/03/isis-bayang-bayang-imperialisme-di-timur-tengah/

Musim Semi Arab telah lama berlalu, berganti menjadi kemarau panjang dengan paceklik. Gelombang revolusi digantikan dengan gelombang kontra-revolusi.

DUNIA dikejutkan dengan ekspansi Khmer Merah versi Islamis: Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kelompok Islamis Sunni bersenjata ini, yang muncul sebagai akibat dari racikan maut antara politik sektarian Nouri al-Maliki, mantan Perdana Menteri Irak yang baru saja lengser itu, gelombang kontra-revolusi terhadap Musim Semi Arab (Arab Spring), dan tentu saja, fase imperial dari ekspansi neoliberalisme yang disokong Barat sekaligus ekspansi Wahhabisme yang disokong Arab Saudi, semakin hari semakin kuat, memantapkan cengkeraman kekuasaan politik, ekonomi, sosial, dan tentu saja, keagamaan, di wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukannya. Lebih gilanya lagi, ideologi ISIS dapat dikatakan sebagai salah satu contoh fundamentalisme keagamaan sayap kanan, dalam hal ini fundamentalisme Islam, dalam bentuknya yang paling fasis dan totaliter. Di daerah-daerah kekuasaan ISIS, semua kelompok minoritas disiksa dan dibantai: orang-orang Syi’ah, Kristen, Yazidi, Kurdi, Druze, Mandean, dan juga kaum perempuan. Bahkan, Muslim Sunni, yang diklaim oleh ISIS sebagai kelompok yang diwakilinya, juga terpaksa bertahan hidup dalam suasana teror dan ketakutan. Dalam hal ini, ISIS tak ubahnya Khmer Merah atau para jagal Rwanda versi Islamis, yang siap memaksakan visi genosidisnya kepada siapapun yang berbeda dengan mereka.

Perumpamaan antara ISIS dengan Khmer Merah, bagi saya, perlu digarisbawahi. Tak ada satupun manusia yang berakal sehat yang akan mendukung barbarisme dan kebiadaban ISIS. Kita perlu mengutuk kejahatan ISIS, tetapi yang lebih penting lagi kita perlu memahami bagaimana kelompok ekstrimis militeris seperti ISIS dapat muncul dan berkembang begitu pesat. Untuk itu, kita perlu memahami pra-kondisi struktural yang memungkinkan kemunculan dan perkembangan ISIS. Kali ini, saya mengajukan satu pembacaan atas fenomena ISIS: sebagaimana Khmer Merah, ISIS bisa muncul dan menggencarkan proyek-proyek ekspansionismenya sebagai akibat dari sektarianisme al-Maliki, warisan tatanan pemerintahan developmentalis-otoritarian di Timur Tengah, dan intervensi ekonomi-politik Barat selama beberapa tahun terakhir.

Kemunculan ISIS

Ada dua penjelasan gampangan terhadap ekspansionisme ISIS: pertama, ISIS merupakan akibat dari merebaknya versi ekstrimis dari Islamisme[1] dan kedua, ISIS merupakan cerminan dari ‘kebencian kuno’ (ancient hatred) yang telah mendarah daging dalam masyarakat Timur Tengah. Sayangnya, dua penjelasan yang terlalu ideasional ini cenderung abai terhadap faktor-faktor lain, terutama faktor struktural yang memungkinkan ekspansionisme ISIS merebak. Untuk itu, kita perlu memahami konteks historis kemunculan ISIS. Buku terbaru jurnalis terkemuka spesialis Timur Tengah, Patrick Cockburn (2015), The Rise of Islamic State, akan menjadi referensi saya untuk memaparkan konteks historis kemunculan ISIS.

Untuk memahami kekacauan yang terjadi di Timur Tengah sekarang, kita perlu melihat apa yang terjadi di kawasan tersebut beberapa tahun silam. Meskipun sekarang sulit dibayangkan, kita tahu bahwa gelombang demonstrasi dan Revolusi Arab Spring menyapu segenap penjuru Jazirah Arab. Demokratisasi, keadilan ekonomi dan sosial, dan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) di dalam tatanan pemerintahan yang relatif sekuler atau non-sektarian menjadi semacam pesan utama dari Arab Spring. Namun, keberhasilan Gerakan Rakyat tersebut berbeda-beda di tiap tempat. Tunisia mungkin merupakan satu-satunya kasus keberhasilan Gerakan Rakyat, di mana demokratisasi politik terjadi dan kaum oposan sekuler dan Islamis berhasil bersepakat untuk berpartisipasi di dalam gelanggang politik secara demokratik. Tetapi di negeri-negeri lain, seperti Bahrain, Libya, dan tentunya Irak dan Suriah, situasinya jauh lebih kompleks. Fakta inilah yang digarisbawahi oleh Cockburn.

Cockburn menekankan dua faktor penting, selain faktor-faktor yang saya sebut di atas, yang memungkinkan kemunculan ISIS di Irak dan Suriah: ‘beban sejarah’ kekerasan sektarian di dua negara tersebut dan intervensi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS), dan Arab Saudi di dalam Perang Sipil di Suriah. Di Irak, mayoritas warga Irak yang Syi’ah dimarginalkan dimasa rejim Saddam Hussein. Namun, setelah invasi AS ke Irak, di masa pemerintahan Irak pasca-invasi yang notabene mayoritas Syi’ah, giliran warga Sunni yang dimarginalkan, suatu proses yang mencapai puncaknya di masa pemerintahan al-Maliki. Tentu, al-Maliki bukanlah satu-satunya penyebab dan pihak yang menyebabkan sektarianisme semakin merebak di dalam masyarakat Irak, tetapi sejumlah kebijakan di masa pemerintahannya, seperti kecenderungannya untuk menggunakan diskursus politik yang berbau sektarian maupun dukungannya terhadap pembentukan kelompok-kelompok paramiliter Syi’ah ‘memberi angin’ bagi kemungkinan berkembangnya ISIS. Cockburn memberikan satu contoh yang sangat ilustratif: demonstrasi damai warga Sunni pada Desember 2012 tidak diindahkan oleh al-Maliki, Perdana Menteri Irak pada saat itu, yang kemudian disusul oleh serangan atas kamp perdamaian di Hawijah pada April 2013 oleh militer Irak, yang menewaskan lebih dari 50 demonstran (hal. 47). Menurut Cockburn, kejadian ini merupakan momentum yang mengubah strategi aksi damai dan pembakangan sipil menjadi perlawanan bersenjata. Ketika ISIS mulai muncul ke publik, banyak warga Sunni Irak yang memberikan dukungan tersiratnya: banyak warga Sunni, yang lelah atas kebijakan sektarian pemerintah Irak yang mayoritas Syi’ah, awalnya menganggap ISIS sebagai saluran perlawanan yang bisa membebaskan mereka dari jeratan sektarianisme, sebelum akhirnya mereka kembali tertindas dalam tatanan totalitarian setelah mereka ‘dibebaskan’ oleh ISIS, persis seperti orang Kamboja yang mengira pasukan Khmer Merah akan membawa kedamaian pasca perang yang tidak berkesudahan.

Namun, ada dua faktor lain yang memicu kelahiran dan perkembangan ISIS: instabilitas yang disebabkan oleh Perang Sipil di Suriah dan sisa-sisa jaringan al-Qaeda dan banyak milisi bersenjata ‘tanpa tuan’ lainnya yang siap mengkapitalisasi keadaan. Kita tahu, sebagaimana telah saya bahas sebelumnya, Assad adalah seorang despot, tetapi bukan berarti intervensi Barat di Suriah akan menyelesaikan segalanya. Yang terjadi adalah kebalikannya: intervensi Barat di Suriah telah memperpanjang perang sipil dan konflik sektarian di Suriah dan negara-negara di sekitarnya. Cockburn mencatat bahwa kelompok oposisi sekuler-demokratik di Suriah dan sayap militernya, Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army), perlahan dipinggirkan dan bahkan dihabisi oleh ‘rekan’ Islamis-ekstrimis mereka – yang kemudian bertransformasi menjadi ISIS (hal. 79-95). Meminjam istilah film G30S, ‘Suriah adalah kunci,’ karena di Suriah lah ISIS bisa memperkuat basis militernya sebelum memperluas operasinya ke Irak. ISIS memanfaatkan perbatasan antara Suriah dan Turki untuk memperkuat basis militernya, dengan menggunakan wilayah tersebut untuk latihan-latihan militer dan jalur pemasokan senjata tentunya. Tentu saja, pada saat itu, Turki menutup mata terhadap aktivitas ISIS, yang dianggapnya dapat menjadi penyeimbang terhadap perlawanan orang-orang Kurdi terhadap kebijakan sektarian pemerintah Turki yang cenderung anti-Kurdi. Namun, hal lain yang tidak kalah pentingnya yang memperkuat basis militer ISIS adalah dukungan militer terutama pasokan persenjataan dari negara-negara Barat terhadap kelompok ‘oposisi anti-Assad.’ Tentu saja, sebagaimana diakui sendiri oleh Wakil Presiden AS, Joe Biden, dalam suatu forum di Universitas Harvard pada Oktober tahun lalu, sekarang tidak ada yang namanya ‘oposisi anti-Assad’ – de facto, bantuan militer tersebut ujung-ujungnya mengalir kepada al-Nusra dan kelompok-kelompok Islamis-ekstrimis lainnya yang merupakan embryo ISIS (hal. xix-xx), yang makin mendominasi perlawanan anti-Assad dan bisa mendapat pasokan senjata canggih terbaru dari Barat dengan mudah, dengan memaksa atau membeli dari kelompok-kelompok oposisi lain yang semakin termarginalisasi. Instabilitas di Suriah, persekusi terhadap kaum minoritas Sunni di Irak, meningkatnya kekuatan militer embryo ISIS di suriah, dan konsolidasi kelompok-kelompok Islamis-ekstrimis di Irak di bawah komando Abu Bakar al-Baghdadi, ‘khalifah’, atau lebih tepatnya, panglima jagal ISIS, semuanya memungkinkan kemunculan dan perkembangan ISIS yang begitu pesat di Timur Tengah.

Ada satu faktor lain yang tidak boleh kita lupakan: ekspor Wahabbisme, yang sukses karena dukungan kekuatan politik dan dukungan dana dari dinasti Saud, yang sejatinya merupakan suatu bentuk imperialisme Arab Saudi.Cockburn memaparkan dengan cukup jelas upaya Arab Saudi untuk mempopulerkan Wahhabisme ke negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim (termasuk Indonesia tentu saja), meskipun pemerintah Saudi mulai kelimpungan dengan kemunculan varian Wahhabisme dan Islamisme yang menyerang dinasti Saud yang berkuasa (hal. 97-110). Wahabbisme memberikan landasan ideologis bagi kelompok-kelompok seperti ISIS: retorika anti-minoritas – anti-Kristen, anti-Yahudi, dan terutama, anti-Syi’ah, merupakan salah satu karakteristik utama dari Wahabbisme, yang masih diajarkan di bangku-bangku sekolah dan institusi-institusi pendidikan di Arab Saudi. Gagasan anti-Syi’ah, yang dipopulerkan untuk menghadang pengaruh Iran di Timur Tengah, yang digabung dengan gagasan ‘kemurnian Islam’ versi Sunni, menemukan gaungnya bukan hanya kepada warga Sunni di Irak yang termargninalisasi oleh kebijakan sektarian, tetapi juga kepada kelompok-kelompok Islamis-radikal yang di kemudian hari bertransformasi menjadi ISIS – yang pada akhirnya juga mengembangkan tendensi anti-Saudi.

Berdasarkan observasi di atas, tak heran apabila Cockburn berkesimpulan bahwa ISIS bisa muncul dan merebak bagaikan wabah penyakit yang mematikan karena kondisi struktural yang diciptakan oleh Barat, terutama AS, dan juga Arab Saudi, yang memperparah konflik sektarian dan kesenjangan sosial yang memiliki sejarah yang cukup panjang di Irak dan Suriah. Dengan kata lain, ISIS bagaikan ‘anak haram’ yang tak diinginkan dari hasil ‘perselingkuhan’ imperialisme AS dan imperialisme Saudi, yang mengamuk dan melancarkan serangannya ke segala penjuru, memaksakan visi tatanan sosialnya yang fasis kepada rakyat jelata yang kembali harus menanggung penderitaan setelah perang dan pemerintahan tangan besi yang berkepanjangan.

Prospek Perkembangan Politik di Timur Tengah Pasca ISIS

Berdasarkan pembahasan kita mengenai ekspansi ISIS akhir-akhir ini, ada sejumlah hal yang perlu kita bahas lebih lanjut, yaitu pertama, perbedaan antara kritik terhadap ISIS dengan pembacaan esensialis atas masyarakat Muslim,kedua, analisa atas dinamika politik di Timur Tengah terutama kebangkitan Islamisme dari perspektif strukturalis-historis, dan ketiga, peranan kaum Kurdi dalam perlawanan atas ekspansi ISIS.

Pertama, kita perlu membedakan antara kritik terhadap ISIS dengan pembacaan esensialis atas masyarakat Muslim. Memahami dan menempatkan kemunculan ISIS dari perspektif strukturalis-historis adalah perlu, tetapi saya juga tidak menafikkan bahwa kita juga perlu melakukan pemblejetan atas interpretasi Islam ala ISIS dan para jagal berjubahnya yang sangat vulgar, fasis, totaliter, dan genosidis. Tugas itu saya serahkan ke para pengkaji teks-teks keagamaan Islam yang membaca teks secara progresif dan dapat meruntuhkan doktrin-doktrin ISIS. Ini diperlukan untuk membuktikan bahwa mereka yang bertarung untuk ISIS, meskipun mereka membayangkan diri mereka adalah tentara Tuhan, sejatinya mereka adalah tentara Setan. Tetapi satu pembacaan dan kritik yang menarik terhadap doktrin ISIS adalah kritiknya Zizek (2014), yang menunjukkan bahwa doktrin militeris ISIS adalah penghinaan terhadap fundamentalisme yang sejati, yang dianut oleh pemeluk Buddhisme Tibet dan orang-orang Amish di AS misalnya, yang percaya terhadap potensi pembebasan spiritual dari praktik-praktik keagamaan yang ketat dan tidak takut terhadap godaan dari luar, terutama dari orang-orang yang tidak percaya dengan sikap keberagaman yang ortodoks dan puritan seperti itu. Dengan kata lain, tendensi teroristik ISIS merupakan pelencangan dan pelecehan terhadap fundamentalisme dalam artian yang sesungguhnya menurut Zizek. Tendensi tersebut, sebagaimana telah kita bahas di atas, lahir dan berkembang dalam konteks yang sangat spesifik dan ekstrim, yaitu perang, kekerasan sektarian, dan otoritarianisme yang sangat intens, yang menjadikannya bertransformasi menjadi suatu bentuk ideologi keagamaan sayap kanan yang fatalis dan fasistik.

Dalam kaitannya dengan (apa yang kebanyakan orang pahami sebagai) doktrin-doktrin agama Islam dan masyarakat Muslim, kritik teologis dan ideologis terhadap Islamisme ISIS bukan berarti menjustifikasi pandangan-pandangan esensialis terhadap Islam dan masyarakat Muslim. Tidak perlu saya sebutkan bahwa hampir seluruh Muslim di dunia menolak aksi-aksi teroristik dan doktrin-doktrin reaksioner ISIS. Faktanya, banyak warga Muslim menjadi korban dari kekerasan Islamis, termasuk kekerasan oleh ISIS, dan mereka yang berkonfrontasi langsung dengan pasukan ISIS di darat, seperti pasukan Kurdi, juga Muslim. Karenanya, tidak perlu ada semacam ‘imbauan’ kepada ‘para Muslim di seluruh dunia’ untuk ‘mengutuk kekerasan ISIS’ dan ‘keheranan’ bahwa penentangan terhadap ISIS di negeri-negeri Muslim ‘kurang terdengar.’ Kita sering mendengar bahwa ‘menghaluskan’ kritik terhadap Islam dan masyarakat Muslim merupakan sebuah bentuk political correctness. Namun, apabila komunitas Muslim harus terus menerus ‘membuktikan’ bahwa mereka ‘bukan ISIS,’ ‘bukan teroris,’ dan dapat menjadi bagian dari ‘masyarakat modern’, bukankah ini berarti ada sebentuk reverse political correctness yang tidak kalah vulgar yang bekerja di sini? Seorang Muslim seakan-akan harus membuktikan bahwa dirinya ‘bukan’ atau ‘kurang’ Islami untuk dapat diterima di masyarakat modern. Ini sama saja dengan memperkuat pandangan esensialis atas masyarakat Muslim dalam bentuk ‘Muslim baik’ dan ‘Muslim buruk’ (good Muslim/bad Muslim) yang didefinisikan oleh kekuatan hegemonik yang menguasai diskursus sosial dan politik (Mamdani, 2004), seperti AS dan imperium globalnya, dan juga kekuatan imperial yang lain, seperti Arab Saudi misalnya. Keberadaan diskursus esensialis yang menekankan pada oposisi biner tersebut juga membuktikan bahwa pandangan yang Eurosentrik dan orientalis atas masyarakat Muslim masih marak. Kaum Muslim Timur Tengah seperti sudah jatuh, tertimpa tangga pula: sudah ditindas oleh pemerintah mereka sendiri, diperangi oleh kekuatan luar, dibantai oleh jagal macam ISIS, masih juga disalahkan karena mereka dianggap ‘kurang bersuara menghadapi terorisme ISIS.’ Sungguh sebuah penggambaran dan tuduhan yang bukan hanya absurd tetapi juga menghina.

Kedua, sebagaimana telah saya bahas secara cukup rinci di atas, untuk memahami fenomena ISIS secara lebih komprehensif, kita perlu menempatkan dan menganalisanya dalam kacamata strukturalis-historis. Ideologi jagalisme yang menjadi landasan ekpansi militeris ISIS tidak muncul dan berkembang dari kevakuman sejarah. Ideologi tersebut juga tidak serta merta langsung mempengaruhi para petarung dan simpatisan ISIS untuk mengangkat senjata demi sebuah konsepsi khilafah yang banyak khilaf-nya. Ada dimensi-dimensi lain, perebutan kucuran dana dari Saudi dan Qatar misalnya, atau mekanisme disiplin militer ISIS yang sangat rigid dan teroristik, atau ketiadaan pilihan dan upaya-upaya yang sangat desperate untuk bertahan hidup. Bayangkan jikalau kita misalnya adalah seorang pemuda Sunni muda yang cukup sehat di sebuah kampung di Iraq, dan pasukan ISIS yang ‘membebaskan’ kampung tersebut dari ‘cengkeraman’ pemerintah Irak ‘memanggil’ para ‘Muslim’ untuk bertarung ‘di jalan Tuhan.’ Bisa jadi pilihan bagi si pemuda tersebut hanya dua: antara ‘bergabung’ dengan milisi ISIS atau dipenggal sembari direkam dalam video[2]. Yang terjadi di medan pertempuran jauh lebih kompleks ketimbang tersihirnya segerombolan fanatik oleh panggilan keagamaan dan janji-janji surgawi dalam bentuknya yang paling barbar.

Ketiga, yang terakhir dan tidak kalah penting, peranan kaum Kurdi dalam perlawanan terhadap ISIS patut kita hormati dan hargai. Orang-orang Kurdi, yang notabene Muslim Sunni namun minoritas secara etnis dan senantiasa tertindas di negara-negara yang mereka tinggali, baik Irak, Turki, maupun Suriah, sudah paham betul bagaimana rasanya ditindas dan dipermalukan oleh rejim-rejim tangan besi di negara-negara tersebut. Tak heran apabila pasukan Kurdi dari berbagai organisasi politik dan paramiliter Kurdi berada di garis terdepan dalam – sebagai bentuk dukungan saya terhadap kaum Kurdi, izinkan saya menggunakan istilah ini – jihad melawan imperialisme ISIS. AS dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang memerangi ISIS boleh menepuk dada bahwa serangan udara mereka ‘melemahkan’ ISIS sembari menutup mata terhadap fakta bahwa bom-bom yang dijatuhkan mereka kerap kali melukai dan menewaskan banyak warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan konfilk dan perang yang tengah berkecamuk dan kemungkinan bahwa upaya pengeboman dari udara dapat meradikalisasi banyak orang untuk bergabung ke ISIS. Tetapi kita tahu bahwa pasukan Kurdi merupakan pasukan yang paling efektif dalam konfrontasi langsung dengan ISIS di daratan. Dan melihat bahwa kita tidak punya banyak pilihan selain melakukan aksi militer balasan terhadap ekspansionisme ISIS, maka menurut hemat saya sudah sepatutnya kita mendukung perjuangan kaum Kurdi.

Ada banyak cerita mengharukan dari upaya militer kaum Kurdi. Pasukan Kurdi, seperti Peshmerga (militer resmi Kurdi di Irak) dan YPG (People’s Protection Units, sayap militer Democratic Union Party (PYD), partai sosialis Kurdi di Suriah) banyak menyelematkan kelompok minoritas seperti orang-orang Yazidi dan Kristen dari kekejaman ISIS. Hal lain yang juga sangat mencolok dan menarik dari pasukan-pasukan Kurdi adalah partisipasi pejuang dan gerilyawan perempuan – yang tidak kalah militan dengan rekan laki-laki mereka dan konon kabarnya ditakuti pasukan ISIS – yang sangat tinggi dalam aksi-aksi mereka. Padahal, di saat yang bersamaan, AS dan rekan-rekannya di Timur Tengah tidak pernah betul-betul mempedulikan nasib orang Kurdi apalagi aspirasi mereka untuk memiliki tatanan politik yang otonom (Stansfield, 2014; Tharoor, 2014). Militansi pasukan Kurdi juga mengundang simpati sejumlah sukarelawan yang bergabung dengan mereka untuk melawan ISIS, seperti Ivana Hoffman misalnya, seorang perempuan muda Jerman keturunan Afrika Selatan yang juga anggota Marxist-Leninist Communist Party (MLKP), sebuah partai komunis yang berbasis di Turki yang dekat dengan YPG dan Kurdistan Workers’ Party (PKK), yang baru saja gugur dalam suatu pertempuran melawan ISIS. Yang paling mengharukan adalah upaya orang-orang Kurdi untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosialis yang libertarian dan demokratik di wilayah-wilayah yang berhasil dibebaskan dan dipertahankan oleh mereka. Gareth Watkins (2015) mencatat sejumlah upaya eksperimen sosialis kaum Kurdi di wilayah mereka. Pemerintahan mereka misalnya, bukan hanya dipilih secara demokratik, tetapi juga mensyarakatkan keterwakilan perempuan minimal 40%. Kemudian, dalam hal penanganan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelaku KDRT bukan hanya akan mendapatkan ganjaran hukum tetapi juga pengucilan sosial dari masyarakat – bandingkan misalnya dengan ‘kekhilafan’ ISIS yang memperbudak perempuan dan merupakan neraka di dunia bagi kebebasan dan hak-hak perempuan. Bahkan, pengelolaan sistem kepolisian dan hukum dilakukan secara demokratik – alih-alih polisi, terdapat ‘komite-komite perdamaian’ yang menyelesaikan konflik di masyarakat di antara pihak-pihak yang bertikai secara imparsial, dialogis, dan damai. Arsitek dan ideolog dari eksperimen ini tentu saja adalah Abdullah Ocalan, pemimpin PKK, yang masib berada di balik terali besi, yang menkontekstualisasikan ide-ide Kiri dalam perjuangan pembebasan kaum Kurdi menjadi sosialisme libertarian dengan unsur feminisme dan ekologisme yang kental. Tujuan dari menceritakan pengalaman dan keberhasilan eksperimen praktik-praktik sosial baru oleh orang-orang Kurdi di Timur Tengah bukanlah untuk meromantisir pencapaian-pencapaian mereka, melainkan untuk menjadi bahan pembelajaran sebagai alternatif progresif terhadap otoritarianisme developmentalis di Timur Tengah, imperialisme Barat, dan juga barbarisme ISIS.

Pasca kekacauan yang dihasilkan oleh totalitarinisme ISIS, imperialisme Barat, AS, dan Saudi, dan sisa-sisa despotisme rejim-rejim lama, adakah jalan keluar dari kemelut politik panjang di Timur Tengah? Akan seperti apakah masa depan Timur Tengah pasca gelombang kontra-revolusi ini? Saya tidak tahu. Ironisnya, saya hanya bisa bergumam lirih: down with imperialism and authoritarianism, death to the fascist ISIS, and hopefully, victory to the progressive Kurds and Arabs in the Middle East.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Cockburn, P., 2015. The Rise of Islamic State: ISIS and the New Sunni Revolution. London & New York: Verso.

Gagnon, V.P., 2004. The Myth of Ethnic War: Serbia and Croatia in the 1990s. Ithaca: Cornell University Press.

Mamdani, M., 2004. Good Muslim, Bad Muslim :America, the Cold War, and the Roots of Terror. New York: Pantheon Books.

Stansfield, G., 2014. Kurdistan Rising: To Acknowledge or Ignore the Unravelling of Iraq. [Online] Tersedia di:http://www.brookings.edu/~/media/research/files/papers/2014/07/kurdistan-iraq-isis-0731/kurdistan-iraq-isis-stansfield-0731.pdf [Diakses 12 Maret 2015].

Tharoor, I., 2014. A U.S.-designated terrorist group is saving Yazidis and battling the Islamic State. [Online] Tersedia di: http://www.washingtonpost.com/blogs/worldviews/wp/2014/08/11/a-u-s-designated-terrorist-group-is-saving-yazidis-and-battling-the-islamic-state/ [Diakses 12 Maret 2015].

Watkins, G., 2015. Anarchists vs. ISIS: The Revolution in Syria Nobody’s Talking About. [Online] Tersedia di:http://www.cvltnation.com/anarchists-vs-isis-the-revolution-in-syria-nobodys-talking-about/ [Diakses 12 Maret 2015].

Zizek, S., 2014. ISIS Is a Disgrace to True Fundamentalism. [Online] Tersedia di:http://opinionator.blogs.nytimes.com/2014/09/03/isis-is-a-disgrace-to-true-fundamentalism/?_r=0 [Diakses 12 Maret 2015].

————-

[1] Istilah ‘Islamisme-ekstrimis’ saya pikir lebih tepat untuk menggambarkan kelompok-kelompok Islamis dengan taktik kekerasan seperti ISIS dibandingkan istilah ‘jihadis’ yang menyempitkan makna jihad dalam Islam yang memiliki konotasi yang lebih dekat dengan perjuangan untuk mencapai pembebasan spiritual menjadi justifikasi atas perang suci’ (holy war) untuk tujuan-tujuan sektarian.

[2] Pola kekerasan yang tidak membedakan antara lawan yang berbeda identitas dengan rekan satu kelompok yang memiliki pandangan moderat merupakan hal yang jamak terjadi dalam kasus kekerasan massal yang dimotori oleh kelompok-kelompok paramiliter yang tidak memiliki kode moral dan disiplin militer yang mengikat, seperti di Rwanda dan Yugoslavia misalnya. Lihat misalnya pemaparan bernas Gagnon (2004) tentang konflik etnis di Serbia dan Kroasia.

 

The Morning After: Sejumlah Pelajaran bagi Gerakan Sosial di Indonesia (Bagian 2)

The Morning After: Sejumlah Pelajaran bagi Gerakan Sosial di Indonesia (Bagian 2)

Pendahuluan

SEBELUMNYA telah kita bahas bersama-sama kondisi gerakan sosial di tanah air dalam konteks politik yang baru, yaitu pemerintahan Jokowi-JK. Kemudian, kawan Ridha juga sudah menjelaskan mengenai tantangan dan kegamangan gerakan sosial dalam konteks agenda anti korupsi. Setelah kita mendapatkan gambaran yang cukup jernih tentang posisi dan kondisi gerakan sosial dalam kancah politik Indonesia, maka sekarang adalah saatnya untuk membahas mengenai strategi-strategi yang perlu kita tempuh untuk memenuhi tiga tugas yang saya pikir mendesak bagi gerakan sosial Indonesia, yaitu pembangunan posisi teoretik yang holistik namun inklusif, pembangunan tradisi keilmuan dalam gerakan, dan penggarapan tugas-tugas jangka panjang. Kemudian, kita juga perlu membahas strategi apa yang perlu kita terapkan sekarang di era pemerintahan Jokowi-JK. Sebagai ilustrasi atas pentingnya tiga strategi tersebut sekaligus pembuka diskusi, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk kembali melihat dan belajar dari sejarah salah satu gerakan dan organisasi rakyat terkemuka dalam sejarah Indonesia: Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI Sebagai Institusi Pendidikan

Memori dan imajinasi kita tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan di kalangan para penggerak gerakan sosial sendiri, terkadang adalah memori dan imajinasi yang terdistorsi. Biasanya PKI diidentikkan dengan aksi-aksi mobilisasi dan agitprop (agitasi dan propaganda) yang masif dan terorganisir – bukankah bayangan kita mengenai para kader dan simpatisan PKI identik dengan ‘aksi sepihak’ dan barisan-barisan ‘semut merah’?

Tetapi, warisan PKI jauh lebih banyak dari sekedar romantisme dan tragedi di masa lalu. Sesungguhnya satu hal yang memungkinkan PKI dan pasukan semut merahnya tampil sebagai kekuatan politik terkemuka adalah usaha-usaha pendidikannya. Ruth McVey (1990) membahas upaya tersebut secara dalam artikelnya, Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institutionyang akan saya sarikan inti argumennya di bawah ini.

Salah satu kerja politik yang dilakukan PKI adalah mendidik kader-kader pedesaan dan kaum tani untuk melakukan analisa ekonomi-politik atas kondisi pedesaan. Laporan-laporan yang ditulis oleh para kader desa dan kaum tani ini boleh jadi hanya ditulis dengan kertas dan pensil yang seadanya, namun analisa yang dihasilkan sangat jernih (hlm. 5). Awalnya, upaya pendidikan ini bukanlah hal yang mudah. Di kala PKI masih terseok-seok, di masa pra-kemerdekaan dan awal kemerdekaan, transfer pengetahuan antara para penggerak PKI dan kader-kadernya bagaikan hubungan antara guru spiritual, yang dianggap paham dan khatam dasar-dasar Marxisme-Leninisme, dan murid-muridnya (hlm. 6). Selanjutnya, PKI mulai memperbaharui metode-metode pendidikannya. Kegiatan-kegiatan olahraga dan kesenian digalakkan (hlm. 8), sebuah strategi yang dapat memupuk solidaritas antar kader dan simpatisan partai dan melestarikan ‘repertoir perjuangan’ (repertoire of struggle). Sebelum memperkuat kaderisasi ideologis mengenai dasar-dasar Marxisme-Leninisme, kampanye anti buta huruf digalakkan (hlm 9). Kemudian, PKI juga melakukan upaya-upaya pendidikan mengenai dasar-dasar berorganisasi, seperti tata cara mengelola keuangan organisasi, rapat resmi, perumusan posisi mengenai isu-isu sosial-ekonomi dan kebudayaan, dan lain sebagainya (hlm. 9; 14). PKI juga menerbitkan sejumlah teks-teks dasar mengenai ideologi dan posisi partai seperti ABC Revolusi Indonesia dan Bagaimana Masjarakat Berkembang (hlm. 9). Upaya pembangunan organisasi dan pendidikan berjalan beriringan di semua level dan bidang kelembagaan PKI dan organisasi-organisasi underbouw-nya (hlm. 10-11). Tidak hanya itu, PKI juga mendorong orang-orang biasa untuk berbicara dan melakukan pengorganisasi politik kelas secara terbuka, dan mengkontekstualisasikan, atau ‘mengindonesiakan’ (alih-alih ‘merusiakan’) Marxisme (hlm 11-13).

Tentu saja, upaya pendidikan ini tidak selalu berjalan mulus. Beberapa segmen dari kelas menengah dan kalangan terdidik dan profesional di Indonesia misalnya, tidak tertarik dengan upaya-upaya pendidikan PKI, karena mereka menganggap PKI sebagai bagian dari Demokrasi Terpimpin Sukarno yang ‘korup’ (hlm. 20-21). Karenanya, PKI juga mendorong kader-kader mahasiswanya untuk berjuang secara intelektual dalam gelanggang akademik arus-utama untuk menunjukkan bahwa golongan Kiri juga memiliki kemampuan manajerial dan teknokrasi, yang bahkan lebih maju karena penekanan pada aspek partisipatorisnya, (hlm. 23-24), suatu hal yang mungkin juga kita perlukan sekarang. Terakhir, PKI juga berusaha mengenali kader-kadernya di desa dengan cara mempelajarinya dan belajar bersama kader-kadernya (hlm. 25-26). Kader-kader kota didorong untuk belajar bersama rakyat desa secara antropologis: makan, kerja, dan tidur bersama kaum tani di pedesaan. Tak heran apabila hal pertama yang dilakukan tentara ketika merangsek markas PKI adalah ‘mengamankan’ arsip-arsip partai terlebih dahulu (hlm. 5), arsip-arsip yang berisi catatan mengenai kiprah upaya pendidikan PKI.

Setelah menengok ke masa lalu, maka terang sudah bahwa dari cerita ini, kita dapat melihat bahwa PKI sukses sebagai gerakan sosial karena melakukan tiga strategi tersebut: pembangunan gerakan dan posisi teoretik yang holistik namun inklusif dan kontekstual yang didukung oleh kerja-kerja jangka panjang, terutama dalam hal pendidikan kader-kadernya. Tiga dimensi inilah yang absen dalam pembangunan gerakan sosial akhir-akhir ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Ridha dan banyak penulis-penulis lain di IndoPROGRESS, agenda anti korupsi masih bersifat terbatas, teknokratis, moralis, dan abai terhadap dimensi politis dan struktural yang melingkupi persoalan korupsi yang sudah akut ini. Persolan korupsi dan keterbatasan respon dari gerakan anti korupsi juga diperparah dengan apatisme publik yang meningkat terhadap proses-proses politik, suatu hal yang sangat ironis karena berkebalikan 180 derajat dengan antusiasme publik yang tinggi dalam pemilu tahun kemarin. Melaksanakan sejumlah strategi taktis yang segera diperlukan untuk menghadapi konsolidasi oligarki, terutama dalam konteks kepemimpinan Jokowi yang semakin memblememang diperlukan, namun yang tidak kalah penting juga adalah bagaimana membangun solidaritas massa yang terpukul dengan perkembangan politik dewasa ini. Untuk itu, diperlukan sebuah platform minimal, dan di tengah-tengah kondisi gerakan sosial di Indonesia yang relatif masih berserakan dan terfragmentasi, maka ketiga tugas yang saya sebutkan di atas – perumusan kembali posisi teoretik, pendidikan, dan pembangunan organisasi jangka panjang – menjadi semakin penting untuk dilaksanakan. Di sini, saya tidak bermaksud untuk memberikan jawaban yang definitif mengenai program, isi, dan rumusan yang ideal untuk ketiga strategi tersebut. Dalam kesempatan kali ini, saya sekadar ingin mengingatkan kembali pentingnya ketiga strategi tersebut dan membuka diskusi dan perdebatan mengenai apa-apa yang musti kita kerjakan selain respon-respon yang bersifat taktis dan jangka pendek.

Bagaimana Dengan Sekarang?

Sembari mengerjakan tugas-tugas jangka panjang tersebut, pertanyaan lain yang muncul dan perlu kita jawab adalah bagaimana dengan sekarang? Apa yang perlu kita lakukan untuk menghadang konsolidasi oligarki dan mempromosikan agenda-agenda progresif? Lalu, bagaimana hubungan gerakan sosial dengan pemerintahan Jokowi-JK kedepannya?

Di sini, sebagaimana telah sering diutarakan oleh sejumlah rekan-rekan IndoPROGRESS yang lain, parameternya jelas: dukungan terhadap Jokowi diberikan sejauh dia dapat menunjukkan komitmen terhadap agenda-agenda progresif. Rekam jejak Jokowi sejauh ini cukup untuk memberikan alasan bagi kita untuk mengambil jarak terhadap Jokowi. Parameter inilah yang dapat menjustifikasi langkah-langkah politik kita sebagai gerakan sosial. Karenanya, apabila adalah logis untuk mendukung Jokowi di saat pemilu, maka sekarang adalah logis untuk bukan hanya mengkritisi tetapi juga mengambil jarak terhadap pemerintahan Jokowi. Ini memang bukan posisi yang dapat dengan mudah dijelaskan, tetapi ini merupakan sebuah langkah yang logis, di antara purisme naif ‘ultra-Kiri’ atau ‘anti-sistemik’ yang ujung-ujungnya menyalahkan langkah-langkah politik massa rakyat dan mengecapnya sebagai advonturisme, hanya karena antusiasme dan pilihan politik massa tidak sesuai dengan imperatif kategori dan angan-angan idealnya dan dogmatisme terhadap garis politik Jokowi. Kepada kubu pertama, saya akan menjawab, pengalaman berpartisipasi dalam kancah politik elektoral, seberapun tertatih-tatihnya, merupakan pengalaman yang berharga bagi rakyat pekerja – yang tidak kalah berharga dengan aksi-aksi insureksionis, upaya mengangkat bedil, atau bahkan perlawanan-perlawanan yang bersifat ‘keseharian’ (everyday forms of resistance) macam berkeluh kesah mengenai kesusahan hidup dan kelakuan para elit. Kepada kubu kedua, saya akan berkata, Jokowi bukanlah semacam Dewaraja yang tidak bebas dari kritik dan selalu benar. Mengkritik Jokowi bukan berarti ‘memberi angin’ kepada para oligark dan ‘kubu sebelah’ dan keterbatasan langkah-langkah politik Jokowi tidaklah bebas dari kritik. Keterbatasan manuver politik dan dalam beberapa hal ketidakmampuan Jokowi perlu dikritik, bukannya dijustifikasi dengan menggambarkan kritik terhadap Jokowi seakan-akan sama dengan upaya untuk memakzulkannya yang didasari oleh analisa-analisa sosial dan sejarah yang sifatnya agak serampangan dan mencocok-cocokkan, alias cocokologi.

Pengalaman gerakan-gerakan sosial progresif di tanah air dan tempat-tempat lain, seperti PKI, Syriza, Podemos, partai komunis di Bengal Barat dan Kerala, hingga segenap pemerintahan Kiri di Amerika Latin, menunjukkan bahwa hanya dengan ‘keterlibatan taktis dengan kekuasaan’ (strategic engagement with the state) dan kerja-kerja pembangunan gerakan dan pendidikan jangka panjang maka gerakan sosial dapat menggunakan kekuasaan untuk mewujudkan agenda-agenda progresif. Bagi kita sekarang, hanya dengan mengambil posisi kritis dan kembali menekuni pekerjaan-pekerjaan panjang, kita sebagai gerakan sosial dapat memecah kebuntuan politik yang ada dan sedikit demi sedikit membuka ruang bagi kemungkinan penerapan agenda progresif. Bukan dengan membaca pengalaman historis dan karya teoretik seperti merapal mantra, membangun semacam ‘kultus individual’ atas Jokowi, atau, atas nama ‘prinsip politik’, meladeni ajakan pertarungan jalanan dan sekedar menjadi bahan pergunjingan.***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

 

Kepustakaan:

McVey, R.T., 1990. Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution. Indonesia, 50, pp.5-28.