Seluk Beluk Belajar di AS

Kolom

Seluk Beluk Belajar di AS

Senin, 03 September 2012 08:17

Alumni PII – Bagi sebagian orang, belajar di Amerika Serikat (AS) terdengar seperti sebuah cita-cita sekaligus mitos: cita-cita karena belajar di AS biasanya tidak mudah, baik dari segi pembiayaan, seleksi, maupun proses belajar dan adaptasi hidup di sana dan mitos karena belajar di AS biasanya diasosiasikan dengan kampus dan kualitas akademik terbaik di dunia. Klaim-klaim ini, dapat dikatakan baru setengah benar – kenyataannya, proses persiapan dan pengalaman studi di AS memiliki banyak dimensi.

Karenanya, saya ingin berbagi sedikit cerita dari pengalaman saya selama studi tingkat pascasarjana di AS. Kalau boleh jujur, pengalaman yang saya dapatkan belumlah banyak, namun saya berharap, refleksi personal saya dapat memberikan sedikit gambaran dan pencerahan mengenai studi di AS, baik dari segi teknis maupun substansi.

Proses Pendaftaran Sekolah dan Beasiswa

Secara garis besar, proses pendaftaran universitas dan beasiswa di AS dapat dibagi menjadi dua jalur: melalui lembaga beasiswa atau langsung ke universitas. Tiap-tiap pilihan ada plus dan minus-nya, tergantung bagaimana kita menilainya, tetapi dua-duanya dapat membantu meringankan beban studi dan memperkaya pengalaman hidup selama belajar di AS.

Untuk jalur beasiswa, ada beberapa lembaga pemberi beasiswa yang cukup ternama, seperti Aminef/Fulbright, Ford Foundation, Dikti dan beasiswa Prestasi. Program Fulbright yang dikelola oleh Aminef Indonesia ditujukan untuk dosen di perguruan tinggi dan juga kepada pendaftar yang memiliki potensi sebagai calon pemimpin masa depan seperti diplomat muda, intelektual, dan lain sebagainya. Karenanya, untuk proses seleksinya, penekanannya terletak pada kemampuan berbahasa Inggris, pengalaman dan proposal penelitian.

Di sisi lain, beasiswa Ford Foundation yang sayangnya sudah berakhir programnya memprioritaskan calon pendaftar yang memiliki karya dan basis nyata di masyarakat yang diperkirakan akan menjadi pemimpin di komunitasnya. Sehingga, untuk beasiswa Ford, kemampuan bahasa Inggris tidak terlalu diutamakan, sebaliknya karya nyata dan dedikasi di lapangan serta rencana riil pasca menyelesaikan studi menjadi kriteria utama di proses seleksi.

Beberapa program lain, seperti beasiswa Dikti dari Depdiknas dan beasiswa Prestasi yang didanai oleh USAID juga memberikan kesempatan beasiswa bagi mereka yang ingin belajar ke AS.

Untuk jalur non-lembaga atau melalui beasiswa kampus, seperti yang saya jalani, proses pendaftarannya bisa dibilang lebih mudah sekaligus lebih susah. Lebih mudah karena tidak harus menjalani proses seleksi dan persaingan yang ketat, tetapi juga lebih susah karena harus mengurusi dokumen-dokumen yang diperlukan dengan telaten plus membayar uang pendaftaran yang terkadang tidak murah.

Biasanya, beasiswa hampir pasti menyertai penerimaan – dengan kata lain, jikalau kita diterima program pascasarjana (terutama doktoral) maka itu sudah beserta beasiswanya juga. Terkadang, karena menerima beasiswa dari kampus, kita juga diharuskan untuk bekerja di departemen kita sebagai asisten dosen atau asisten riset (dikenal juga dengan istilah TA, RA dan GA) dengan tugas-tugas mulai dari membantu riset dosen, koreksi nilai hingga mengajar kelas sendiri.

Pengalaman Belajar dan Peta Kampus di AS

Belajar di AS untuk tingkat pascasarjana memiliki sistem yang agak berbeda dibanding negara lain. Untuk tingkat master, sistem yang berlaku relatif sama dengan sistem di Indonesia dan negara lain, yaitu kita harus mengambil kelas. Untuk lulus, biasanya ada tiga pilihan, yaitu antara menulis thesis, mengambil comprehensive exams (biasa disingkat sebagai comps) atau ujian komprehensif, atau mengerjakan project seperti film dokumenter untuk jurusan-jurusan tertentu.

Adapun untuk tingkat doktoral atau PhD, sistem di AS agak berbeda, dan bisa dibilang lebih menantang dibandingkan dengan negara lain. Jikalau di tempat-tempat lain mahasiswa/i doktoral bisa langsung riset, di AS, PhD student diwajibkan untuk mengambil kelas-kelas terlebih dahulu di luar bidangnya. Sebagai contoh, seandainya kita masuk departemen ilmu politik, meskipun kita ingin fokus ke jurusan Hubungan Internasional, kita diwajibkan untuk mengambil mata kuliah dari sub-bidang lain, seperti Politik Perbandingan, Politik Amerika, Filsafat Politik atau Metodologi.

Terkadang ada juga komponen teaching atau tutorial yang cukup signifikan. Tujuannya adalah supaya kita bisa mengetahui bidang-bidang lain di dalam disiplin ilmu kita yang di luar keahlian kita. Implikasinya, studi doktoral di AS bisa lama – dari 4-7 tahun, disbanding di negara lain yang rata-rata cuma 3-4 tahun. Bagi sebagian orang, ini terdengar merepotkan dan susah, tapi bagi yang ingin mengejar kedalaman pengetahuan dan kematangan metode riset, ini justru tantangan yang menarik untuk dicoba.

Untuk kampus, tentunya kampus-kampus besar, seperti Harvard, MIT, Cornell, punya kualitas program dan beasiswa yang bagus, tetapi tidak serta-merta kampus tersebut cocok buat kita. Untuk studi-studi politik Asia Tenggara misalnya, ada tempat-tempat seperti Ohio University, Northern Illinois University dan University of Hawaii yang memiliki pusat kajian Asia yang cukup kuat. Untuk yang tertarik studi politik dengan pendekatan kritis dan memiliki nuansa pendekatan Eropa Kontinental, maka tempat-tempat seperti New School University dan University of Wisconsin-Madison merupakan beberapa tempat yang cocok.

Untuk mengetahuinya, sisihkanlah sebagian waktu untuk “riset” kecil-kecilan mengenai informasi kampus dan pengajar, reputasinya, kualitas dan kekuatan programnya, kiprah alumninya, dan hal-hal lain yang kira-kira berkaitan. Memang agak sedikit makan waktu, tetapi informasinya akan sangat membantu dalam menentukan universitas pilihan. Lagipula, no pain no gain kan?

Refleksi Pribadi

Mungkin saya tidak akan banyak menghabiskan kata-kata di sini, tetapi untuk sedikit memberikan gambaran, berdasarkan pengalaman dapat disimpulkan bahwa selama saya sangat menikmati dinamika studi saya di AS, baik dalam konteks akademik maupun non-akademik. Selain lingkungan kampus yang mendukung dan fasilitas yang melimpah, komunitas mahasiswa/i asing, komunitas Muslim dan komunitas Indonesia juga sangat membantu saya dalam menjalani hari-hari di negeri orang.

Tantangan terbesar bagi saya, secara keilmuan sekaligus praxis, adalah untuk betul-betul kreatif dalam proses studi dan pengembaraan intelektual saya. Dengan kata lain, ketika membaca literatur dari kelas dan mengikuti perkuliahan, saya merasa tertantang untuk tidak hanya “menelan mentah-mentah” apa yang disampaikan dan didiskusikan dalam kelas, melainkan berdialektika dan membuat sintesa yang menarik dari apa-apa yang saya dapatkan.

Karena, jangan lupa, betapapun terbukanya dan kreatifnya ruang kelas, ada kemungkinan bias-bias poskolonial, bias kelas, dan bias-bias lainnya yang ada di dalam masyarakat kita mungkin terjadi kembali secara tidak sadar dan “menjangkiti” kita.

Satu hal yang dapat menjadi “senjata ampuh” buat kita adalah pengalaman kita sebagai pelaku dan “pengamat” sekaligus –  kita mengetahui realita di masyarakat kita, dan sekarang selama studi, kita melakukan “penjarakan” untuk melakukan refleksi atas realita tersebut.

Dengan menulis narasi kita dan membawanya ke ruang kelas, maka kita dapat semakin memperkaya proses pendidikan di kelas, baik bagi kita, rekan-rekan kita dan juga dosen-dosen kita. Karena, sebagaimana dikatakan oleh Tan Malaka, “belajarlah dari Barat, tetapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas.”

DeKalb, ILLINOIS, AS, 1 September 2012

Oleh Iqra Anugrah*

Iqra Anugrah adalah kader PII, sekarang sedang menempuh pendidikan doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

Ramadhan, Teologi Pembebasan dan Aksi Sosial

Kolom

Ramadhan, Teologi Pembebasan dan Aksi Sosial

http://www.alumnipii.org/2012/08/16/ramadhan_teologi_pembebasan_dan_aksi_sosial

Kamis, 16 Agustus 2012 14:18

Alumni PII – Tidak terasa, kita sudah memasuki akhir bulan Ramadhan. Sesungguhnya, ini merupakan kesempatan bagi kita semua untuk mengevaluasi Ramadhan kita secara komprehensif: sudahkah kita menjadikan ramadhan sebagai momentum transformasi baik spiritual maupun sosial? Sudah sejauh apakah kita, Ummat Islam dan Bangsa Indonesia, menghayati dan melaksanakan semangat Ramadhan?.

Sepertinya, dari tahun ke tahun, Ramadhan kita jauh dari semangat transformatif tersebut. Sebaliknya, kita lebih sering terjebak pada komersialisasi dan konsumerisme agama, sebagaimana ditunjukkan oleh almarhum Moeslim Abdurrahman, intelektual penggagas ide Islam transformatif itu.

Agama dan Transformasi Sosial

Dalam kaitannya dengan transformasi sosial, ada sejumlah pembacaan atau interpretasi keagamaan terhadap aksi dan transformasi sosial yang dapat dikatakan menjadi arus utama dewasa ini, mulai dari pembacaan yang bersifat fatalistik dan fundamentalis, yang berorientasi pada hubungan Islam dan dunia modern, menekankan pada wacana seperti “pluralisme” dan “demokrasi” yang cenderung elitis, hingga yang berorientasi konsumeris, mereduksi kesalehan hanya sebagai sebuah gaya hidup temporer di bulan puasa. Sayangnya, wacana-wacana keagamaan ini seringkali tidak mampu menjawab persoalan riil yang paling mendesak dalam masyarakat: ekploitasi politik-ekonomi yang masih terus berlanjut.

Karenanya, interpretasi keagamaan yang bersifat transformatif, berkomitmen untuk melawan struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya yang menindas, serta berpihak kepada kaum yang lemah dan tertindas (al-mustadh’afin) merupakan suatu wacana yang dapat diperjuangkan, apalagi di dalam konteks Ramadhan.

Menengok Kembali Teologi Pembebasan

Wacana keagamaan yang progresif dan pro-transformasi sosial yang sempat populer ini dikenal dengan nama Teologi Pembebasan (liberation theology). Teologi Pembebasan yang bermula di tubuh Gereja Katolik dan dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (1971), yang dianggap sebagai pencetus ide Teologi Pembebasan dan Oscar Romero, seorang Uskup yang tewas sebagai martir karena memimpin perjuangan membela masyarakat marginal dan melawan otoritarianisme.

Teologi Pembebasan bermula dari refleksi para pemuka agama atas kemiskinan, otoritarianisme dan dan berbagai macam bentuk penindasan dan eksploitasi lainnya di Amerika Latin. Pesan-pesan religiusitas, terutama solidaritas terhadap kaum yang miskin dan tertindas dan keberpihakan pada kebenaran yang terkandung di dalam ajaran agama, diperkuat oleh penerapan prinsip-prinsip politik progresif dalam perjuangannya, seperti pendidikan untuk massa dan kritik terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang.

Di dalam konteks Islam, tradisi Teologi Pembebasan “diteruskan” dan dipromosikan oleh Farid Esack (1997), intelektual, aktivis dan pemimpin komunitas Muslim Afrika Selatan yang turut berjuang melawan rezim apartheid itu. Dengan menjadikan pesan-pesan perlawanan dan resistensi dalam agama sebagai panggilan universal untuk melawan penindasan, Farid Esack berhasil menggalang dukungan tidak hanya dari komunitas Muslim tetapi juga berbagai kelompok lain di Afrika Selatan dalam gerakan anti-apartheid.

Pemahaman teologis yang liberatif ini bukanlah sekedar slogan kosong belaka. Terbukti, baik di Amerika Latin maupun Afrika Selatan, Teologi Pembebasan menjadi sumber nilai dan inspirasi dalam perjuangan anti-penindasan.

Bagaimana Dengan Kondisi Kita?

Sayangnya, apa yang terjadi pada masyarakat kita yang mengaku “religius” dewasa ini sungguhlah jauh panggang dari api.  Hubungan yang eksploitatif dalam masyarakat, terutama dalam konteks ekonomi-politik, masih marak terjadi, terutama pada masyarakat yang termarginalkan. Ranah ekonomi dan politik sangat jauh dari iklim yang demokratik; sebaliknya, ranah tersebut hanya dikuasai oleh segelintir elit. Di saat yang bersamaan, warga kelas menengah yang sering digadang-gadang sebagai “agen perubahan” cenderung konservatif dan menerima status quo – yaitu tatanan ekonomi-politik yang ada.

Maka tak heran jika fundamentalisme keagamaan, termasuk dalam variannya yang pro-kekerasan dan bersifat vigilantis menjadi marak, terutama bagi mereka yang termarjinalkan dalam proses dan aktivitas politik, ekonomi dan sosial. Islam politik dalam versi moderat juga sering dikampanyekan sebagai “jawaban” atas permasalahan yang ada. Sayangnya, tawaran-tawaran seperti ini, selain seringkali terjebak dalam konservatisme dan formalisme, juga tidak memberikan analisa yang objektif terhadap eksploitasi dan kondisi ekonomi-politik di dalam masyarakat.

Di sisi lain, para elit juga terlampau sibuk oleh wacana-wacana yang cenderung “elitis” seperti “pluralisme agama”, “inklusivisme”, dan lain sebagainya tanpa memperhatikan bagaimana wacana tersebut “dibumikan” dan bagaimana pembentukan wacana tersebut berkaitan dengan kontestasi kekuasaan dan kapital dan dapat memiliki implikasi sosial yang signifikan.  Karena itu, momentum bulan Ramadhan sangatlah tepat untuk menyegarkan kembali pemahaman keagamaan kita, sehingga visi keagamaan yang pro-perubahan sosial yang transformatif dapat menjadi suatu diskursus alternatif yang dapat diperhitungkan.

Lalu Apa Solusinya?

Mempopulerkan suatu gagasan, lebih-lebih menjadikannya sebagai sebuah praktik sosial baru, sungguh merupakan tugas yang amat berat. Dengan kata lain, perubahan yang hanya terjadi pada level norma atau nilai akan sulit untuk mengakar dan mendapat tempat di masyarakat tanpa dibarengi oleh reformasi dan promosi praktek-praktek sosial yang transformatif berlandaskan nilai-nilai religiusitas yang progresif dan menghargai kekayaan khazanah lokal. Sebagaimana diungkapkan oleh Laitin (1978), menganalisa masalah sosial dan menawarkan solusi atasnya hanya berdasarkan kajian atas doktrin-doktrin suatu sistem nilai seperti kebudayaan dan agama tidaklah cukup. Diperlukan suatu kajian yang komprehensif atas perilaku masyarakat dan praktek-praktek sosial yang ada.

Di tengah kelangkaan wacana dan praktek sosial-keagamaan yang dapat melaksanakan tugas tersebut di atas, Teologi Pembebasan dapat menjadi suatu wacana dan praktek alternatif ke depannya. Religiusitas yang progresif dan menghargai kekayaan tradisi, tanpa dipenuhi oleh sesaknya fundamentalisme, konsumerisme dan elitisme, ditambah dengan analisa objektif atas kondisi masyarakat, yang merupakan aplikasi nilai-nilai Teologi Pembebasan, bisa menjadi suatu jawaban bagi masalah eksploitasi dan perlunya transformasi dalam masyarakat. Selain itu, semangat keagamaan yang seperti ini tentu saja selaras dengan esensi dari bulan Ramadhan. Oleh karena itu, mungkin sekarang adalah momentum yang tepat untuk mengubah dan mereformasi perilaku keagamaan kita.

Oleh Iqra Anugrah*

*Penulis adalah alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University dan Ohio University; akan melanjutkan studi doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS.

 

Olof Palme, Sang Revolusioner Reformis

Olof Palme, Sang Revolusioner Reformis

http://indoprogress.com/2012/02/15/olof-palme-sang-revolusioner-reformis/

Iqra Anugrah, Kandidat Master ilmu politik di Ohio University, AS

‘Kau yang telah membunuh Palme mungkin tahu kalau kau telah menembak mati seorang merpati perdamaian
Tapi kau tak pernah tahu bahwa pelurumu
Yang menembus dadanya
Justru melepaskan jutaan merpati-merpati perdamaian yang baru
Yang tak pernah bisa kau tumpas’

-Pesan dari seorang pelayat-

JIKALAU kita amati dengan seksama, tampak jelas pada kita betapa tatanan dunia global saat ini dipenuhi oleh ketidakadilan. Kesenjangan sosial-ekonomi, ketimpangan antara negara-negara dunia pertama dan dunia ketiga, represi politik, serta fundamentalisme etno-religius, adalah gambar kasar hasil dari perselingkuhan antara kuasa, kapital, dan kekerasan. Atas nama ideologi ’utopia’ bertajuk kapitalisme neoliberal, dan didukung oleh politik luar negeri yang ekspansionis, ketegangan ini terus berlanjut. Berangkat dari realita ini, ada sebuah pertanyaan besar yang muncul: masih adakah harapan dan bagaimana mewujudkan harapan itu?

Pertanyaan ini mengingatkan saya pada sosok Olof Palme, mantan Perdana Menteri (PM) Swedia. Pada 28 Februari 1986, Palme, seorang sosialis-progresif, demokrat, dan internasionalis, tewas tertembak ketika sedang berjalan-jalan tanpa pengamanan di sebuah jalan di Stockholm. Kematiannya merupakan pukulan berat bagi pergerakan progresif, anti-kolonial, dan internasionalis di seluruh dunia, terutama ketika rejim Reagan dan Thatcher sedang merajalela. Kiprahnya sebagai seorang negarawan dan pemikir progresif yang berhasil melakukan ’bunuh diri kelas,’ mengingatkan kita bahwa perlawanan adalah keniscayaan yang tidak perlu berhenti di satu titik. Dalam rangka memperingati hari jadi Olof Palme yang ke-85, yang jatuh pada hari kelahirannya pada 30 Januari 1927, artikel ini akan membahas kontribusi dan dedikasi Palme pada gerakan progresif global.

Sekilas tentang Palme

Olof Palme dilahirkan dari keluarga borjuis-konservatif di Swedia. Meskipun tumbuh sebagai remaja yang kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS), Palme besar sebagai anak muda yang sangat ‘pro-Barat.’ Namun demikian, justru studinya di AS lah yang meneguhkan komitmen Palme untuk menjadi seorang sosialis. Dia berhasil meraih beasiswa untuk belajar ilmu politik di Kenyon College di Ohio, mendapat gelar sarjana dalam waktu kurang dari setahun dari 1947-1948.

Di Kenyon, Palme bersentuhan dengan literatur-literatur kiri progresif dan memutuskan untuk mendalaminya. Selain belajar filsafat politik, ia juga membentuk klub studi dan debat sosialis. Penghayatannya tentang filsafat politik mengantarnya untuk bersentuhan dengan karya-karya Friedrich Hayek, seorang pemikir libertarian-kanan. Persentuhan akademis itu mendorongnya untuk menulis sebuah kritik dalam bentuk esai terhadap pemikiran Hayek yang berjudul Tinjauan Kritis terhadap Ide-ide Friedrich August von Hayek. Menurut Palme, kritiknya terhadap Hayek merupakan salah satu alasan utama kenapa dia menjadi seorang sosialis.

Selepas lulus dari Kenyon, dalam perjalanan pulang menuju Swedia, Palme memutuskan untuk berkelana keliling Amerika.  Hanya bermodalkan uang 300 dollar, Palme mendapatkan ‘pendidikan yang sesungguhnya.’ Dalam perjalanannya melintasi 31 negara bagian, ia menjalani hidup pas-pasan dan sederhana dan menyaksikan kemiskinan di Amerika. Palme juga berkesempatan untuk menemui pemimpin United Auto Workers’ Union dan gerakan buruh di AS, Walter Reuther, yang juga adalah seorang ‘Pahlawan’ bagi Palme.

Pulang dari AS, Palme kemudian meneruskan studinya dalam bidang hukum di Universitas Stockholm dan menjadi ketua Persatuan Pelajar Seluruh Swedia. Dalam kapasitasnya sebagai aktivis mahasiswa, ia melakukan kunjungan ke negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara – sebuah pengalaman yang membuka mata dan menyalakan semangat anti-kolonialisme dan internasionalisme dalam dirinya.

Karir Palme dalam politik Swedia semakin berkibar setelah ia direkrut sebagai asisten PM sosialis, Tage Erlander, pada 1953. Setelah maju dalam pertarungan politik di parlemen dan mendapat kesempatan untuk menjadi anggota parlemen dan menteri di berbagai bidang, Palme akhirnya menjadi ketua umum Partai Sosial Demokrat Swedia dan menjadi PM Swedia pada periode 1969-1976 dan 1982-1986. Dalam kapasitasnya sebagai PM itulah, ia melakukan berbagai reformasi domestik dan menyuarakan perubahan pada tingkat internasional sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 1986.

Warisan-warisan Palme

Yang kita patut hargai dan kagumi dari Palme bukan hanya integritas dan kepribadiannya, namun juga sumbangsih riilnya pada pergerakan kiri-progresif dan perjuangannya untuk keadilan sosial di seluruh dunia. Dalam hal kebijakan publik, Palme berhasil menurunkan tingkat kecelakaan pada sektor transportasi, melawan tendensi elitisme dan kompetisi yang tidak sehat dan mempromosikan egalitarianisme dalam sistem pendidikan, dan memodernisasi dunia komunikasi terutama pertelevisian dan radio di Swedia.

Sumbangan terbesarnya bagi Swedia tentu saja adalah pembelaannya pada kebijakan negara kesejahteraan. Palme mereformasi institusi negara kesejahteraan Swedia menjadi lebih ekstensif dan memperkuat institusi tersebut, sebuah warisan kebijakan yang sangat terasa bahkan sampai sekarang. Tidak hanya itu, Palme juga memperkuat posisi kelas pekerja dengan mempromosikan demokrasi tempat kerja (workingplace democracy) di Swedia.

Palme juga menempati peranan penting dalam politik internasional pada saat itu, apalagi jika kita mempertimbangkan fakta bahwa Swedia hanyalah negara kecil dengan empat juta penduduk. Palme merupakan satu dari sedikit pemimpin negara Barat yang berani mengritik kebijakan luar negeri yang ekspansionis baik dari AS maupun Uni Soviet, dan menunjukkan solidaritas yang luar biasa pada perjuangan anti-kolonialis dan anti-imperialis di negara-negara dunia ketiga.

Pada satu ketika, Palme bahkan ikut turun ke jalan, berdemonstrasi menentang invasi AS ke Vietnam. Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Dubes Vietnam Utara untuk Moscow, Nguyen Tho Chanh, dan tanpa berpikir panjang segera memutuskan untuk mengajaknya memegang obor bersama sebagai simbol protes terhadap imperialisme. Tak heran jika fotonya dalam aksi tersebut mendapat liputan besar-besaran dari pers Barat sebagai salah satu simbol terdepan anti-imperialisme.

Secara konsisten, Palme juga selalu mendukung usaha-usaha untuk membangun demokrasi di negara-negara berkembang. Tidak hanya sekedar mengajukan kecaman keras terhadap Chile pasca Allende, Iran di bawah Shah, dan Cekoslovakia paska invasi 1968 oleh Uni Soviet. Palme juga menunjukkan solidaritas dengan perjuangan dunia ketiga, dengan menjalin persahabatan dengan negara-negara yang baru merdeka, seperti Kuba. Dalam sebuah eulogi tentang Palme, Fidel Castro, pemimpin Kuba pada saat itu, memuji visi internasionalis dan anti-kolonialis Palme yang berbasis solidaritas. Tak lupa, Castro juga menulis tentang persahabatan antara Swedia dan Kuba serta kerelaan Palme untuk ‘bertengkar’ dengan pemimpin politik konservatif terkemuka seperti Reagan, demi pembelaanya terhadap dunia ketiga.

Komitmen Palme juga terlihat ketika ia bersedia menampung pengungsi, korban, dan aktivis pro-demokrasi yang harus eksil dari Chile, setelah kudeta jenderal Augusto Pinochet terhadap Allende. Dalam sebuah kesaksian dari seorang eksil Chile di Swedia, Palme bahkan mendatangi para pengungsi Chile secara langsung, tanpa pengawalan dari petugas keamanan; menanyakan bagaimana keadaan mereka dalam bahasa Spanyol, yang kebetulan juga dikuasai oleh Palme.

Ketika Palme kalah dalam pemilu dan harus rela menjadi oposisi di politik Swedia, komitmennya terhadap tatanan dunia yang lebih adil justru tidak pernah redup. Dalam kapasitasnya sebagai ketua Komisi Independen Pelucutan Senjata dan Urusan Keamanan (ICDSI),  Palme mengritisi kecenderungan militerisme, menunjukkan dalam hasil studinya bahwa anggaran militer yang berlebihan akan mengganggu perkembangan dan memperburuk ekonomi. Dalam sebuah wawancara, Palme juga menyatakan bahwa perlombaan pembangunan senjata (arms race) dan kesenjangan pembangunan antara negara-negara Utara dan Selatan merupakan ancaman bagi perdamaian dunia.

Di saat-saat terakhir hidupnya, Palme juga mengritisi naiknya neoliberalisme sebagai ideologi yang dominan pada saat itu. Tak heran jika Palme dianggap sebagai ‘pengkhianat bagi ‘kelasnya’ – kaum borjuis-konservatif, dan mendapat kritik dan cercaan yang sangat tajam dan keras dari lawan-lawan politiknya.

Dedikasi Palme tentu bukan berangkat dari semangat semata, namun dari pembacaan yang baik atas karya-karya politik kiri-progresif dan refleksi atas keadaan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, sikap dan respon Palme bukanlah sesuatu yang reaksioner, tapi hasil dari studi yang mendalam. Palme juga pembaca Marx yang baik. Dalam kritiknya terhadap kecenderungan represif dan Stalinis di negara-negara yang mengklaim menerapkan komunisme, Palme menjawab, ‘Marx tidak pernah ragu terhadap kebutuhan untuk kebebasan dan hak-hak secara tradisional (dari kacamata pencerahan Barat – red).’[2]

Tak heran jika dunia berkabung ketika kawan kita Palme terpaksa menghembuskan nafas karena tangan seorang pembunuh yang menembaknya, sebuah misteri yang sampai sekarang belum bisa terungkap mengenai apa motif di balik pembunuhan tersebut.

Amanat Politik Palme

Palme adalah sang revolusioner reformis. Ia selalu yakin bahwa politik adalah upaya-upaya transformatif yang membutuhkan peran dan dukungan massa dan menyaratkan perubahan fundamental atas sendi-sendi masyarakat. Ia percaya bahwa politik tidak boleh kehilangan elan radikalnya, karena itu bagaikan mencabut politik dari politik itu sendiri. Tapi ia juga percaya bahwa usaha revolusioner tersebut dapat diwujudkan dalam cara-cara yang relatif damai, gradual, dan demokratis. Inilah sisi reformis Palme. Bagi Palme, keduanya bukan merupakan kontradiksi, namun persyaratan bagi terwujudnya masyarakat yang lebih adil dan demokratis, dan Palme berhasil melakukan itu.

Sebagai orang dengan latar belakang menengah ke atas yang menjadi seorang sosialis-demokrat, Palme telah berhasil melakukan ‘bunuh diri kelas.’ Tidak hanya ketika ia ‘bereksperimen’ dengan kehidupan yang merana ketika ia masih mahasiswa muda, solidaritas kepada yang lemah dan tertindas dan kesederhanaannya juga ia tunjukkan bahkan ketika ia duduk di pucuk kekuasaan.

Ini juga berkaitan dengan integritas dan keteguhan moral Palme, yang menjadikannya sebagai pemimpin dan teladan yang baik. Seringkali ia terlihat berjalan lenggang tanpa pengamanan, berbaur bersama rakyat, menyapa masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan – tua-muda, perempuan-laki-laki, wartawan dan intelektual, pemimpin politik dunia, bahkan para imigran dan anak-anak. Bahkan di saat-saat terakhirnya, ia berjalan santai bersama keluarganya tanpa pengamanan apapun di tengah-tengah kota Stockholm. Mungkin inilah kelemahan sekaligus kekuatannya.

Amanat politik Palme sesungguhnya merupakan esensi dari agenda politik progresif, yang entah kenapa terlihat sangat redup di masa sekarang. Di masanya, Palme adalah suara terkemuka dari akal budi dan hati nurani. Ia bukan hanya seorang pemikir, melainkan juga seorang pejuang. Nilai-nilai solidaritas, keadilan, dan kebebasan, yang seakan-akan langka dewasa ini, adalah hal-hal yang diperjuangankan dan diwujudkan oleh Palme. Ketika ekspansionisme dan dominasi politik-ekonomi global menjadi norma, Palme justru mengingatkan kita akan perlunya solidaritas internasional.

Berpulangnya Palme 26 tahun yang lalu, tidak selayaknya melemahkan semangat dan usaha kita sebagai kaum progresif, tapi justru semakin memantapkan perjuangan kita dan membuatnya menjadi makin militan, dengan kritisisme yang canggih dan beradab.

Palme, dalam ketiadaanmu, namamu akan selalu dikenang dalam sejarah, tidak hanya dalam buku teks dan berita maupun para petinggi politik dunia, tapi oleh rakyat kecil, para pekerja, dan siapapun yang mendambakan pembebasan, dari boulevard di Stokcholm hingga jalan-jalan dan gang-gang sempit di Ramallah, Johannesburg, Santiago, Jakarta, dan Praha.***


[1] Pesan dari seorang pelayat di depan prosesi pemakaman Palme, lihat Mosey, C. (1991). Cruel Awakening. New York, NY: St. Martin’s Press.

[2] Interpretasi Palme terhadap Marxisme, lihat Mosey, C. (1991). Cruel Awakening. New York, NY: St. Martin’s Press.

Kepustakaan:

Castro, F. (1988). “An internationalist vision”. In K. Hadjor (Ed.), New Perspectives in North-South Dialogue: Essays in Honour of Olof Palme (pp. 6-9). London: I.B. Tauris & Co Ltd.

Frederikson, G. (1988). “Olof Palme: a Portrait”. In K. B. Hadjor (Ed.), New Perspectives in North-South Dialogue: Essays in Honour of Olof Palme (pp. 333-343). London: I.B. Tauris & Co Ltd.

Gauhar, A. & Palme, O. (1980). “Olof Palme”. Third World Quarterly, 2, 633-647.

Hoge, W. (1998, Sep 01). Stockholm Journal; In Years  Since Palme Killing, a Loss of Innocence. The New York Times. Retrieved from http://www.nytimes.com/1998/09/01/world/stockholm-journal-in-years-since-palme-killing-a-loss-of-innocence.html?

Lindenborg, A. (2006, Feb 28). Detta borde vara vårt arv. Aftonbladet Kultur. Retrieved from http://www.aftonbladet.se/kultur/article10770413.ab

Mosey, C. (1991). Cruel Awakening. New York, NY: St. Martin’s Press.

Palme, O. et al. (1982). Military Spending: The Economic and Social Consequences. London: The Independent Commission on Disarmament and Security Issues & Pan Books Ltd.

Remembering Olof: Personal encounters and recollections. Retrieved from http://www.nnn.se/n-model/palme/palme.htm

 

 

Sondang, a fiery young man with a mission

Sondang, a fiery young man with a mission

Iqra Anugrah, Columbus, Ohio | Sat, 12/17/2011 3:41 PM

Link: http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/17/sondang-a-fiery-young-man-with-a-mission.html

*Picture created by Budi Winursito

The Arab Spring started when Mohamed Bouazizi, a young Tunisian street vendor, burned himself alive to protest his dissatisfaction with the Ben Ali regime.

Here in Indonesia, the nation was shocked by the self-immolation of Sondang Hutagalung, a 22-year-old university student and activist who set himself on fire during a protest in front of the State Palace in Jakarta on Dec. 7.

Using his body and his life as a medium to convey a message, he expressed his criticism and disappointment with the political elite.

His death and courage soon became a topic in the media and for discussion in the public sphere. Sondang was no mediocre activist. An admirer of Sukarno’s ideas, Sondang was actively involved in various human rights groups and civil society initiatives, such as Kontras, Sahabat Munir and many others. Throughout his life, he helped many victims of human rights abuses receive justice.

And yet, Sondang was also one of us. A bright law student at Bung Karno University who did well in his studies, he had a family, friends, and even a girlfriend.

As an ordinary Indonesian citizen, his concern about the nation trumped the lip service and rhetoric from the political class.

However, the big question is what was the message he was trying to communicate through his self-immolation?

Different interpretations and debates on the meaning and impact of his action have abounded. Was it a symbol of a pessimistic frustration? Was it a call for resistance? Some of us even criticized, labeled and judged his act as “useless” or “not in line with religious teachings”.

Nevertheless, I believe all of those interpretations are wrong. I understand Sondang’s deed differently.

His self-immolation captured the current desperation that we feel as a nation. Despite the fact that we live in a democratic age, formal political channels have been hijacked and dominated by vested political interests, overriding power of capital in our public sphere and ignorance of our own history.

Sondang’s message was not apocalyptic. Instead of pessimism, he shed light and gave us hope, as if he knew that his message would set us on fire to continue his struggle.

What makes his action more honorable is that rather than avoiding death, he embraced it. We may never know what was in his mind. But one thing is for sure: His message is even stronger than ever. As leftist independence fighter Tan Malaka once said, “My voice will be even louder from my grave.”

Linking Sondang’s death to a narrow interpretation of his fate in the afterlife or his attempt to change the political situation will cheapen the real meaning of his message and sacrifice for us.

Likewise, mourning his death excessively or, as many of our politicians are doing, hijacking the message of Bung Sondang while expressing condolences will also distort the spirit of his message.

The heroic case of Sondang is, essentially, a mandate for us to carry on with our lives. It is our duty, who are still alive, to continue his works for a more democratic and just Indonesia.

He who chose to set himself ablaze is a reminder of the importance of life, not the celebration of death, in civic engagement.

After this despair, what we need is a firm commitment and a practical manifestation of the legacy of Sondang.

In the context of our politics, critical attention must be given to human rights abuses, economic and welfare disparities, capital-driven politics and disrespect with lack of rule of law — issues that had been a focus for Sondang.

Moreover, this particular episode in our history reminds us to rethink the relevance of the student movement and its potential to transform our corrupt political landscape.

In the end, the brave attempt of Sondang sent us a signal of a possibility of revolutionary politics. Here, “revolutionary” should not be translated into a radical structural change or a drastic moment of rupture, but rather a gradual process to transform our democracy as deliberatively as possible.

Optimism, albeit cautious, is always better than despair. That, comrade Sondang, you have shown us.

The writer, a graduate of Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan, is pursuing a master’s degree in political science at Ohio University, US.

2011 TOEFL® Scholarship Winners from Japan

The 2011 TOEFL® scholarship winners from Japan were honored in a ceremony that took place July 19, 2011 and was attended by ETS Global BV Managing Director Dr. Zoubir Yazid.

Winners

Meet the 2011 TOEFL scholarship winners from Japan. Each one is an excellent student with tremendous potential both inside and outside of the classroom.

Iqra Anugrah
Iqra Anugrah, Oita (US$4,000)

  • Pursuing a masters of arts in political science at Ohio University.
  • Extracurricular activities: Involved in student activism, student journalism, and academic conferences, seminars and symposia. Active in a number of student organizations, including the Indonesian Students’ Association in Japan and its affiliated institutions.
  • Country of study: The United States because Anugrah believes the U.S. has rigorous academic traditions and a sociopolitical environment which encourages students to be socially concerned and put theories into practice.
  • Goal in 5–10 years: Wants to enhance the collegial spirit among social and political scientists in Indonesia and establish theIndonesian Journal of Political Science as one of the most referred journals for social and political science in Indonesia and Southeast Asia. Set up a Non Governmental Organization (NGO) that focuses on grassroots politics and education, to promote citizen participation in the political process.

Link: http://www.ets.org/toefl/scholarships/overview/japan/winners/

 

Bencana, Jepang, dan Kita

Bencana, Jepang, dan Kita

OLEH INDOPROGRESS ⋅ MARET 24, 2011 ⋅ TINGGALKAN KOMENTAR

Iqra Anugrah

Iqra Anugrah
Iqra Anugrah, Kandidat Master di Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University. Tinggal di Jepang Selatan. 

http://indoprogress.com/2011/03/24/bencana-jepang-dan-kita/

HARI JUMAT,  11 Maret 2011, tak ubahnya seperti hari biasa. Selepas menunaikan ibadah shalat Jumat, saya dan beberapa teman melanjutkan hari dengan makan siang. Saya kemudian pergi ke kampus, untuk segera dikejutkan dengan serentetan berita dan pemberitahuan dari teman-teman mengenai gempa dan tsunami di daerah Tohoku, di Utara Jepang.

“Ada gempa dan tsunami di Miyagi, Sendai, dan sekitarnya”

“Yang benar?”

“Ya! Coba cek internet”

Melalui koneksi internet dari telepon seluler, kami menyaksikan bencana dari kejauhan yang kurang lebih berkisar antara 1000-1500 km. Tak ada yang menyangka bahwa Beppu, kota kecil di ujung Selatan Jepang yang terletak di pulau Kyushu bisa menjadi salah satu tempat teraman dan tertenang di satu Jepang.

Dampak bencana itu begitu dahsyat. Gempa dengan kekuatan 8,9 magnitude itu menggoncang Jepang. Tidak hanya itu, tsunami juga melalap dan meratakan apapun yang dilewatinya, mulai dari daerah pemukiman, gedung-gedung, hingga fasilitas umum. Dalam selang waktu yang tidak begitu lama, ada banyak kekhawatiran mengenai kerusakan dan kebocoran instalasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Fukushima.

Menanggapi rangkaian bencana ini, respon dari masyarakat Jepang dan komunitas internasional pada umumnya begitu luar biasa. Begitu derasnya ekspresi solidaritas, keprihatinan, dan simpati dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar Jepang, dari segenap elemen masyarakat. Kami yang kebetulan tidak terkena dampak bencana dan baik-baik saja, juga memutuskan untuk membuat posko dan mengunpulkan donasi seadanya untuk kemudian dikirimkan ke pihak berwenang seperti kedutaan besar republik Indonesia (KBRI) dan Japanese Red Cross Society.

Menanggapi Bencana

Di tengah-tengah pemberitaan media luar dan tanah air yang tidak berimbang dan berlebihan mengenai mitigasi dan penanganan bencana di Jepang, ada arus energi positif yang begitu besar. Melampaui sekat-sekat primordialitas, afiliasi politik, etnisitas dan kewarganegaraan, dan kepentingan-kepentingan jangka pendek, pemerintah dan warga Jepang serta berbagai komunitas warga asing di Jepang, saling bahu-membahu membantu para korban. Gelombang solidaritas yang begitu besar terus berkembang, baik di dalam maupun luar Jepang, offline maupun online, menyebarkan doa, harapan dan semangat. Ada satu fakta yang sangat dicamkan oleh orang-orang Jepang, bahwasanya mereka hidup berdampingan dengan bencana, dan karenanya diperlukan penanganan yang tepat.

Selain didukung oleh “resep klasik” infrastruktur, kebijakan, dan penguasaan sains dan teknologi yang baik, mitigasi dan manajemen bencana di Jepang tidak lepas dari kuatnya dan bangkitnya nilai-nilai solidaritas sosial a la Jepang, yang kurang lebih dapat diintisarikan dalam tiga prinsip, yaitu solidaritas, altruisme, dan ganbaru, sebuah istilah khas Jepang, yang agak susah untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, namun dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “semangat berjuang”. Kita mengenal Magna Charta dan Habeas Corpus sebagai dokumen penting di peradaban Barat. Dalam konteks Jepang, dokumen yang menjadi landasan politik kewargaan dan solidaritas sosial Jepang, menurut Nitobe Inazo, salah seorang diplomat dan pemikir kenamaan Jepang, adalah Bushido.

Cerita-cerita heroik dan mengharukan tentang segerombolan anak yang membagikan makanan dan permen bagi para pengungsi dan warga yang memerlukan, para kepala desa yang terpaksa harus meregang nyawa demi menyelematkan warganya, hingga kerelaan orang-orang untuk tetap mengantri demi mendapatkan makanan dan berbagai bantuan serta fasilitas lainnya, menunjukkan bagaimana etika Bushido tetap hidup sebagai pedoman politik kewargaan, untuk bersama bangkit, maju bersama komunitas dengan kaki dan usaha sendiri. Tidak heran jika kemudian PM Naoto Kan sudah mendeklarasikan kebijakan “New Deal” atau percepatan perkembangan ekonomi melalui rekonstruksi pasca bencana. Tentu nilai-nilai Jepang bukanlah yang paling sempurna, begitu banyak kritisisme yang dapat ditujukan kepada kondisi Jepang kontemporer, mulai dari tafsir apologetik akan sejarah kelam militerismenya, kurangnya progresivitas politik, hingga lesunya ekonomi. Namun demikian, begitu banyak hal-hal yang kita bisa pelajari dari Jepang, terutama sekali dalam masa berkabung dan keprihatinan pasca bencana, yang merupakan momentum bagi Jepang untuk merefleksikan diri demi merajut masa depan.

Momen Kontemplasi

Politik kewargaan Jepang yang didasarkan atas solidaritas, altruisme, dan kepercayaan publik terhadap sesama anggota komunitas seakan-akan menegur kita. Ada sebuah ancaman besar yang hidup bersama mereka, dan Jepang berhasil menjadikan ancaman itu sebuah pedoman bagi kehidupan publik, yang diterjemahkan di berbagai lini mulai dari pendidikan, sains dan teknologi, kebijakan, infrastruktur, dan lain-lain. Tidak ada liputan-liputan televisi yang berlebih-lebihan dan mendayu-dayu, diiringi dengan lagu-lagu sedih, ataupun pendapat-pendapat yang berisi dogma-dogma, takhayul-takhayul, maupun penafsiran-penafsiran yang sepihak dan tidak perlu.

Hal ini begitu kontras dengan kita, yang masih berkutat dan terjerembab di lubang yang sama, mulai dari isu kebebasan beragama, hiruk-pikuk media, kesenjangan sosial, hingga keamanan. Indonesia 2011 tidak kalah mirip dengan Jepang di era 1920-an, ketika militerisme dan fundamentalisme menguasai diskursus publik.

Tak sedikit dari kita yang masih berani untuk “bermain Tuhan,” mengaitkan-ngaitkan bencana sebagai bentuk karma dengan masa lalu dan “kemaksiatan” Jepang. Tak sedikit yang menganggap bencana ini adalah “hasil konspirasi Amerika,” meskipun jumlah korban semakin meningkat tiap harinya. Seakan-akan ingin turut menambah keruh persoalan, Gubernur Tokyo, Ishihara Shintaro, seorang politisi sayap kanan, juga menganggap bahwa tsunami kali ini adalah “divine punishment” hukuman dari langit untuk menghapus dosa-dosa dan egoisme bangsa Jepang. Ingin rasanya saya mengelus dada dan menghela napas, seraya menangadahkan muka ke langit dan berkata “Tuhan, kapan kita bebas dari kebencian?”

Membangkitkan kembali politik kewargaan

Deretan bencana di Jepang menyadarkan peran kita sebagai anggota komunitas. Lebih penting lagi, solidaritas dan modal sosial yang kembali hidup dan bangkit pasca bencana menunjukkan bahwa masih ada kesempatan bagi politik kewargaan yang berdasarkan pada nilai kebersamaan, kesetaraan, dan kepercayaan.

Dalam konteks Jepang, perubahan sosial-politik pasca bencana akan sangat menarik untuk di lihat. Di parlemen dan eksekutif, Partai Demokrat Jepang atau DPJ mendapat pelajaran yang berharga sebagai pemain baru di politik Jepang sekaligus momentum untuk menunjukkan kredibilitas dan komptensinya. Dalam tataran yang lebih luas, ini membuka peluang bagi gerakan-gerakan progresif di Jepang untuk menguatkan posisi tawar warga negara dalam menantang institusionalisasi, kemapananan, dan rigiditas diskursus politik Jepang dan mengedepankan agenda-agenda perubahan.

Bagi kita, ini adalah sebuah pesan untuk bertindak nyata sebagai concerned citizens of the world, untuk bangkit dari kursi empuk, meninggalkan kamar ber-AC, dan cuti sejenak dari kegiatan online kita untuk meningkatkan modal sosial dan menyegarkan kembali politik kewargaan, khususnya di tanah air. Di saat kecemasan melanda, di saat itulah harapan dan aksi nyata justru akan tumbuh, yang semakin menunjukkan bahwa sesungguhnya kemanusiaan itu melintasi dan tidak memiliki batas.***

Kepustakaan:

Buruma, Ian. (2011, March 19). Japan’s Shattered Mirror. Wall Street Journal. Retrieved from http://online.wsj.com/article/SB10001424052748703818204576206550636826640.html

Kyodo News. (2011, March 14). Restoration after quake disaster could create ‘New Deal’ demand: Kan. The Japan Times. Retrieved from http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/nn20110314x2.html

Kyodo News. (2011, March 15). Ishihara apologizes for ‘divine punishment’  remark. The Japan Times. Retrieved from http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/nn20110315x7.html

Nitobe, Inazo. (1969). Bushido, the Soul of Japan. Rutland, Vermont: Charles E. Tuttle Company.

Radicalization from Below: The Case of Religious Bylaws

Memories of numerous bombing attacks in big cities and churches as well as the dramatic terrorist captures by the police may give an image of contemporary battles against Islamic radicalism in newly-democratized Indonesia. But think about this: rather than blowing-up buildings, some Islamist groups attempt to push the agenda of Sharia implementation through non-violent, formal and even electoral political processes.

In the euphoria of Post-Suharto reform, the blooming of religious bylaws has spread throughout the archipelago. Immature decentralization, completed with economic gap between central and local governments, has provided rooms for radical agenda to mushroom. One manifestation of this agenda is to implement strict interpretation of Islamic norms and values into local ordinances. Some examples of these bylaws are, but not limited to, Islamic dress code for students and government officials at schools and offices on certain days, raids on women alleged for prostitution and other moral misconducts at night and ban on alcohols, clubs and other entertainment activities.

In some places such as Bulukumba in Sulawesi and Bogor in West Java, some Islamic fundamentalist groups such as the Preparatory Committee for the Implementation of Islamic Sharia (KPPSI) and Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) even go further, publicly claim and preach the importance of Sharia as a panacea for all societal problems and gain support from some elements, both from local communities as well as from the government, proven by the attendance of some government officials in their forums.

There have been many reports, news, and research in regards to this phenomenon. However, one question remains unanswered: Where do political parties fit within this discourse? The role of political parties in local parliaments is still an unfilled gap in the context of the so-called Shariatization from below. Some experts, such as Assyaukanie (2007), pointed out some indications that these bylaws are supported not only by Islamic political parties but also by their Secular Nationalist counterparts as well.

Another interesting feature of the relationship between political parties and religious bylaws is the difference of stances between central or national leadership of parties and its local and regional branches. While at the national level both primary leaders of Islamic and Secular parties have expressed their objections and doubts over religious bylaws, the local dynamics are apparently much more fluid and unpredictable.

Civil society groups, NGOs, and other keen observers of politics and Islam in Indonesia criticize political parties’ support for religious bylaws as a mere political tool to obtain votes. From their perspective, the move to support religious bylaws is driven by short-sighted pragmatism and populist reaction towards the “failure” of secular administration, reflected in rising poverty, declining morality, and many other problems.

Eventually the time will come for Indonesia to face her own dilemma of democracy: how she should response to the emergence of illiberal forces in proudly-proclaimed land of pluralism and tolerance. Terrorism and hardline religious extremism may be easier to handle, but the curious case of bottom-up radicalization in the form of demand for religious bylaws definitely needs to be solved differently.

Posted on July 22, 2010

Iqra Anugrah is a third year student in College of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, majoring in political science and international relations. He is a member of the Advisory Board for Strategic Studies Committee for Indonesian Students’ Association in Japan (PPI Jepang). The views expressed here are his own and do not necessarily represent the views of the PPI Jepang.

http://www.global-politics.co.uk/blog/2010/07/22/radicalization-below/

Lifesaving dialogue past due between Islamic world and West

By IQRA ANUGRAH
Special to The Japan Times

BEPPU, Oita Pref. — The relationship between the West and the Islamic world is worrisome. Recent events in Western and Muslim countries show the tension between these two civilizations.

Last year the Swiss People’s Party, backed by a popular referendum, proposed a construction ban on mosque minarets. In neighboring France, the rising fear of Islamization has been reflected in the political debate on prohibitions against wearing the burqa. In the Netherlands, far-right politician Geert Wilders and his Freedom Party gained a significant number of votes in recent local elections.

Meanwhile, in Indonesia, thousands of sympathizers attended the burial of Dulmatin, the suspected terrorist, and the planned visit of U.S. President Barack Obama was criticized by Hizbut Tahrir, who argued that Obama is a colonizer and war criminal.

Why are these things happening?

It is true that Obama decided to increase the number of American troops in Afghanistan and that terrorist groups keep mushrooming, but does it mean there is no room left for dialogue?

The problem is mind-sets. First of all, both sides mistakenly adopt binary logic in their policymaking. This logic leads to a black-and-white, right-or-wrong perspective: One is either with us or with them. Consequently each side triggers fear toward the other. The ultimate manifestation of this belief is hatred and the desire to conquer the other.

Differences are seen as threats that deserve to be excluded and, if necessary, extinguished. Most people in the West and Islamic world aspire to and share similar basic needs. This reality, however, is diluted by the rise of rightwing populism in the West and extreme conservatism in the Muslim world.

Although these conflicting sides seem very different, they share the same need to exploit fear toward the other. They also make tactical use of populist jargon to target and grab the attention of the lower and middle classes — those who have a say in daily politics.

Unfortunately their rhetoric and activities bring both sides excessive media attention. They work hard to keep the spotlight and dominate public discourse about what society should be like.

The situation today is especially ironic when we consider that Islamic and Western societies contributed so much to the development of human civilization in the past. When the age of darkness and close-mindedness prevailed in the West, Muslims were working to enlighten the world with their culture of tolerance, openness and freedom of thought.

Thanks to the efforts of Islamic scholars and intellectuals, the great works of classical Greek philosophers and the introduction of Aristotelian logic triggered enlightenment, liberating the minds of Western citizens who had been oppressed by the state or religion.

Ibn Rushd (commonly known in the West as Averroes), a devout Muslim philosopher and jurist, is considered the father of secular modern thought. He is famous for the idea that the peaceful coexistence of religion and philosophy, faith and reason is the way to God: To move forward, we need to promote a culture of tolerance, openness and freedom.

As the West started to grasp and accept humanist principles of enlightenment, the Islamic world took a backward step by closing doors to reason and inquiry. The situation became more chaotic as shortsighted Western foreign policies focused more on political and economic expansion than on promotion of human values and cooperation.

More problems arose with the appearance of populist politicians and violent groups with neither the historical consciousness nor willingness for dialogue.

What should we do then?

Franklin D. Roosevelt, one of the most influential American presidents, was correct when he said the only thing we have to fear is fear itself. Fear paralyzes and prevents us from thinking rationally. To prevent the plague of narrow-mindedness and feelings of inferiority, we must not let ourselves be trapped by illogical paranoia.

Practically speaking, mental, intellectual and spiritual reform should translate into sound foreign and security policies. The failures of Western foreign policy should remind us that waging war is no longer an option. We must bring antiwar politics to the fore of discourse, and change it into cooperation-based tactics of moderation, to promote democratization in the Muslim world.

Counterterrorism measures are the key to making this policy work. Instead of shooting terrorists dead, we must bring suspects into court and subject them to official judgments so that society can see their mistakes. Education plays an important role. Schools and universities should be the place to foster tolerance and cooperation so that our children can interact with each other and respect different cultures and opinions.

We must stop acting as a silent majority. Moderate and progressive voices of Western and Islamic communities must unite and show to the world the real face of civilized and mature societies. We should convince the world that many avenues still exist for dialogue. After all, we know whom to blame for the current mess: Western and Islamic hardline conservatism.

Iqra Anugrah, a third-year student at College of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan, is active in various Islamic and student groups.
http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/eo20100328a1.html

Demokrasi tanpa Demokrat

DEMOKRASI TANPA DEMOKRAT
Iqra Anugrah
MAHASISWA DI COLLEGE OF ASIA-PACIFIC STUDIES, RITSUMEIKAN ASIA-PACIFIC UNIVERSITY

Masa depan demokrasi di Indonesia sedang berada dalam fase yang amat genting. Beberapa tahun yang lalu kita kehilangan Cak Nur, dan belum lama ini kita kehilangan Gus Dur. Ketiadaan dua figur yang selalu berkomitmen dan membela demokrasi serta nilai-nilai demokratik itu seakan-akan menambah panjang daftar ujian bagi bangsa ini. Berbagai skandal dan permasalahan politik, mulai kasus Bank Century, masalah internal KPK, pengemplangan pajak oleh aktor-aktor bisnis, hingga pembakaran rumah ibadah, seakan-akan menyiratkan masa depan yang suram bagi demokrasi di Indonesia. Hal ini menyiratkan pertanyaan yang besar bagi kita semua: adakah masa depan demokrasi di Indonesia? Apa yang terjadi ketika sistem demokratik yang kita terapkan sekarang ternyata belum mampu membawa kesejahteraan dan keadilan?

Fenomena ini merupakan bagian dari menjamurnya demokrasi illiberal. Mengutip Fareed Zakaria, demokrasi illiberal merupakan demokrasi tanpa nilai. Demokrasi seakan-akan hanya dipahami sebagai prosedur elektoral saja. Akibatnya, demokrasi hanya diartikan sebagai cara untuk memperoleh legitimasi melalui proses pemilu. Padahal, demokrasi tidak sama dengan pemilu.

Dalam suatu sistem politik yang demokratik, ada satu persyaratan lagi yang menjadi keniscayaan, yaitu semangat konstitusionalisme atau republikanisme. Dalam konteks suatu republik konstitusional, nilai-nilai yang menjadi landasan utama adalah kebebasan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai konsepsi legal-politik seperti supremasi hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia, penghormatan terhadap kepemilikan pribadi, dan perlindungan minoritas. Demokrasi dan kebebasan konstitusional, menurut Zakaria, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Menerapkan demokrasi hanya dalam taraf pemilihan umum saja adalah reduksi dari arti demokrasi itu sendiri.

Gejala demokrasi tanpa nilai itulah yang sepertinya sedang menjalar di Indonesia. Berbagai permasalahan politik yang kita hadapi sesungguhnya adalah tantangan dan ujian bagi demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi yang kurang nilai, kebebasan dan keadilan publik senantiasa terancam, dan proses politik menjadi tidak berbeda jauh dari sandiwara atau komedi. Karena itu, tidak aneh apabila sekarang masyarakat dihadapkan pada berbagai fenomena sosial-politik yang unik, dari merebaknya fundamentalisme keagamaan hingga ulah para politikus di gedung parlemen yang mirip dagelan, yang ironis karena justru terjadi di era demokrasi. Politik telah kehilangan maknanya, dari usaha kolektif individual tiap-tiap warga negara untuk mencapai tujuan yang lebih baik menjadi hajatan elektoral tahunan yang tanpa nilai dan sopan santun atau fatsun.

Bagi sebuah bangsa dengan umur demokrasi yang masih “seumur jagung” seperti Indonesia, kejadian ini bisa membawa sebuah krisis demokrasi. Rakyat yang senantiasa dihadapkan pada, dan “diikutsertakan” dalam, drama politik yang tanpa ujung, terutama melalui media, dapat menjadi apatis dan enggan untuk berpartisipasi dalam politik. Tentu saja apatisme ini tidaklah sehat bagi demokrasi, yang memerlukan partisipasi aktif dari warga negaranya.

Menyelamatkan demokrasi
Menemukan jejak demokrasi dalam tradisi politik Indonesia bukanlah suatu hal yang jarang. Adalah Bung Hatta, salah satu dari dwitunggal proklamator kemerdekaan, yang menyadari bahwa demokrasi bukanlah suatu proses pemilihan dan pergantian semata, tapi juga memiliki esensi yang bahkan lebih dalam. Tugas bagi bangsa ini sekarang adalah mengedepankan nilai dan budaya yang menjadi prasyarat bagi tumbuh-kembangnya demokrasi di Indonesia. Kita memerlukan apresiasi terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan keterbukaan.

Karena itu, dalam level masyarakat, demokrasi tidak cukup jika diartikan hanya sebagai suara mayoritas (majority rule), namun juga perlindungan terhadap minoritas dan lebih penting lagi individual dan perbedaan. Kisah perusakan gereja di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini haruslah mendapat perhatian yang pantas dari setiap elemen masyarakat dan pemerintah.

Bagi politikus dan pembuat kebijakan, nilai demokratik sepatutnya juga diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari, baik di luar maupun di dalam parlemen. Sikap pemerintah akhir-akhir ini, baik lembaga eksekutif dan kepresidenan maupun parlemen, sayangnya tidak mencerminkan semangat tersebut. Hiruk-pikuk anggota DPR di Pansus Century maupun posisi reaksioner Presiden menanggapi demonstran yang membawa kerbau adalah satu bukti nyata bagaimana nilai-nilai demokrasi, kemampuan komunikasi publik, dan etika berpolitik masih merupakan hal yang langka di republik ini.

Menanggapi dinamika politik di Indonesia, tugas bangsa ini ke depan adalah menjaga dan memperkuat demokrasi. Seperti kemerdekaan Indonesia, demokrasi adalah manifestasi dari kebebasan atau free will manusia. Dalam konteks kenegaraan, membela demokrasi adalah membela kebebasan dan hak-hak warga negara. Demokrasi haruslah diperjuangkan. Dan untuk memperjuangkan demokrasi, dibutuhkan komitmen terhadap nilai-nilai demokratik sekaligus orang-orang yang bersedia memperjuangkan prinsip tersebut. Demokrasi hanya akan berhasil jika ia ditopang oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme republikan dan politikus-politikus demokratik. Demokrasi tanpa demokrat, seperti yang kita miliki sekarang, hanya akan berujung pada mobokrasi dan lawakan politik yang terinstitusionalisasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/03/06/Opini/krn.20100306.193048.id.html
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/03/06/INDEX.SHTML
http://bataviase.co.id/node/119828

Rektor di Jepang ‘Diwisuda’ Mahasiswa Indonesia

Beppu – Tak heran jika setiap kelulusannya, para mahasiswa diwisuda oleh sang rektor. Namun berbeda dari biasanya, seorang rektor Universitas di Jepang ‘diwisuda’ oleh para mahasiswanya. Salah seorang mahasiswa itu berasal dari Indonesia.

Mantan rektor Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) Professor Monte Cassim baru saja menyelesaikan masa baktinya memimpin universitas, ia pun ‘diwisuda’ para mahasiswanya.

“Bagi kami, ini merupakan suatu kesempatan yang langka dan kehormatan yang besar untuk dapat ‘mewisuda’ seorang rektor,” kata Mahasiswa S1 APU asal Indonesia, Iqra Anugrah dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (18/3/2010).

Bersama dengan 2 mahasiswa asal Nepal, Iqra yang aktif dalam koran mahasiswa, The APU Times, menyerahkan diploma kepada sang rektor. Iqra juga membacakan ijazah lelaki asal Sri Langka itu di depan 1.000 orang di aula B-Con Plaza, tempat upacara berlangsung di Kota Beppu, Prefektur Oita, Jepang.

“Ini merupakan sebuah kehormatan bagi saya. Seringkali kita tidak menyadari betapa murid-murid kita mengajari kita banyak hal,” balas haru sang Professor Cassim yang sekarang menjabat sebagai Vice-Chancellor the Ritsumeikan Trust.

Prosesi ‘wisuda’ itu pada awalnya tidak direncanakan. Awalnya upacara itu hanya ditujukan untuk mahasiswa yang lulus pada bulan maret 2010. Namun di akhir penghujung upacara, MC menyebutkan ada sebuah kejutan untuk rektor yang baru menyelesaikan masa baktinya.

Professor Cassim sendiri juga tidak asing lagi dengan Indonesia. Casim pernah melakukan berbagai proyek strategis untuk badan dunia PBB di Indonesia dan memberikan banyak dukungan dalam aktifitas akademik dan non akademik bagi mahasiswa Indonesia di APU.

(amd/fay)

http://us.detiknews.com/read/2010/03/18/095756/1320092/10/rektor-di-jepang-diwisuda-mahasiswa-indonesia