Enam Lima dan Distorsi Besar ala OrBa

Enam Lima dan Distorsi Besar ala OrBa

Sebuah tanggapan atas R. William Liddle
Iqra Anugrah,
 mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/enam-lima-dan-distorsi-besar-ala-orba/

AWALNYA saya agak enggan untuk menulis sebuah artikel tentang genosida 65, apalagi dikala banyak artikel lain menulis hal serupa. Bukan apa-apa, namun seperti yang ditulis oleh kawan Windu Jusuf dalam artikelnya, Enam Lima dan Kita, beberapa waktu yang lalu, saya takut kembali terjebak dalam rutinitas ‘komodifikasi’ Peristiwa ’65 dan penekanan yang berlebihan atas narasi korban, melupakan fakta bahwa rakyat jelata pernah mencoba menjadi subyek sejarah dalam politik Indonesia.

Namun, ada satu tautan yang segera menarik perhatian saya dan membuat saya mengernyitkan dahi. Ya, benar, tautan itu adalah artikel Indonesianis senior R. William Liddle, Tantangan Negara Preman, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Profesor Liddle di Kompas, mengenai film The Act of Killing (TAoK) dan Peristiwa ’65. Setelah membaca artikel tersebut, mengingat konsekuensi yang bisa dihasilkan darinya dan pentingnya penerangan warisan peristiwa 65 bagi kita, saya memutuskan untuk menulis artikel ini dan sampai pada kesimpulan berikut: ‘buah pikiran dan sikap yang tercermin dalam tulisan Liddle mengonfirmasi bahwa beliau adalah seorang apologis Orde Baru (OrBa).’[1]

Membongkar sesat pikir ala OrBa

Setidaknya ada empat topik yang dapat kita bahas dan bongkar dari tulisan Liddle. Pertama,kejengkelan Liddle atas tafsir dan analisa sejarah dalam TAoK. Kedua, anjuran perlunya membaca sejarah ‘alternatif’ dibumbui dengan retorika ‘kejamnya Komunis’ di berbagai belahan dunia. Ketiga, pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar peristiwa 65 dan terakhir, kritik Liddle atas tafsir ‘negara preman’ atas politik Indonesia.

Pertama, kita tentu bertanya-tanya, mengapa Liddle ‘sebagai orang yang sudah lama mengikuti perkembangan politik Indonesia’ katanya, ‘jengkel pada pembuatnya, baik mengenai tafsiran sejarah maupun analisa kontemporernya?’ Oya, sebagai catatan tambahan, sebagai seorang ilmuwan politik dan  pengkaji studi Asia Tenggara, posisi teoretik Liddle pada dasarnya adalah anti-Marxis.[2]

Pertanyaan di atas berkaitan dan membawa kita ke pertanyaan kedua: tafsir sejarah macam apa yang dibela Liddle? Liddle menulis mengenai ‘membaca buku-buku sejarah yang lebih berimbang’ kemudian segera lompat ke lagu lama: kegelisahan elemen-elemen masyarakat non-komunis, totalitarianisme rejim-rejim Komunis, Komunis sebagai Atheisme dan seterusnya.

Dari pembacaan tersebut, perlahan-lahan kita bisa meraba posisi teoretik, politik dan moral Liddle. Izinkanlah saya mengeksplisitkan berbagai posisi yang sifatnya masih implisit tersebut.

Pertama-tama, Liddle memulai dengan mengritik TAoK yang ‘mengimplikasikan’ bahwa Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno adalah pemerintahan yang ‘sah’ – menurut standarnya Liddle, tentu saja. Ada dua kesesatan berpikir yang dilakukan secara bersamaan di sini: penarikan logika yang terburu-buru dan pengabaian atas konteks sejarah. Apa pemerintahan yang sah menurut Liddle? Bagaimana dengan ‘pengambilan kekuasaan’ ala Suharto dan Orde Barunya dan cara-caranya untuk berkuasa dan menindas – apakah itu pemerintahan yang ‘sah’? Tentu kita bisa berdebat panjang mengenai warisan sejarah macam apa yang ditinggalkan Bung Karno – namun ini berada di luar pembahasan kita kali ini. Namun, pembacaan sejarah seperti ini abai dengan fakta sejarah bagaimana berbagai kekuatan politik rakyat dan juga Bung Karno sendiri, berusaha memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di tengah-tengah imperialisme global – apa jangan-jangan bagi Liddle sejarah selamanya adalah cerita mengenai orang-orang besar, elit-elit yang ‘tercerahkan?’

Kemudian, Liddle dalam pengamatannya atas politik Indonesia semasa studi lapangan untuk penelitian doktoralnya berujar:

‘Kesan kuat saya: masyarakat nonkomunis di Siantar dan Simalungun waktu itu merasa teramat gelisah melihat kemajuan pesat PKI. Sebagai daerah perkebunan, Simalungun merupakan lahan subur bagi mobilisasi PKI berdasarkan perbenturan kelas. Selain itu, orang beragama meyakini, PKI adalah partai ateis. Orang terdidik yang mengikuti perkembangan internasional percaya bahwa Uni Soviet dan RRC adalah pemerintahan totaliter yang terbukti membunuh jutaan warganya sendiri setelah partai komunis berkuasa di sana.’

Oke, kita tahu bahwa berbagai rejim Stalinis di Barat dan di Timur membunuh dan menindas sejumlah warganya atas nama Sosialisme dan kesetaraan. Hal tersebut tentunya adalah tragedi kemanusiaan yang patut dikecam. Namun, pembacaan yang lebih cermat atas berbagai fragmen sejarah menunjukkan bahwa Sosialisme dan ide-ide Kiri tidak serta merta identik dengan gulag dan tiang gantungan – bahkan, Stalinisme sesungguhnya adalah penyimpangan dan pengkhianatan atas Marxisme. Lebih lanjut lagi, Marxisme dan Gerakan Kiri pernah dan masih menjadi panduan teoretik dan praxis serta harapan bagi berbagai kaum yang lemah dan tertindas untuk menuju pembebasannya – sebagaimana dapat kita lihat dalam berbagai Gerakan Pembebasan Nasional, Chile di masa Allende, Gerakan Kiri Baru di dekade 1960an di berbagai negeri Barat, berbagai Gerakan Rakyat di Amerika Latin dan Asia Timur, dan masih banyak lagi – termasuk PKI dan berbagai kelompok dari spektrum politik lain (Nasionalis dan Agama) di Indonesia. Lagipula, menyebut berbagai tragedi kemanusiaan di bawah rejim-rejim Stalinis dan totaliter lainnya namun abai terhadap genosida yang terjadi di depan mata di tanah air sendiri, terdengar seperti pepatah lama: gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak.

Sehingga, saya jadi bertanya-tanya apa yang dimaksud Liddle sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Lalu, apa kriteria yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Padahal, kita tahu bahwa historiografi hegemonik seputar peristiwa 65 dulunya didominasi oleh historiografi OrBa yang justru sangat tidak berimbang. Baru-baru ini saja berbagai pembacaan sejarah yang benar-benar lebih berimbang, seperti TAoK, bermunculan. Itupun penyebarannya masih terbatas meskipun pelan-pelan meluas. Jadi kalau begitu, kembali saya menantang Profesor Liddle dengan sebuah pertanyaan: apa yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Semoga saja bukan sejarah G30S versi Orde Baru, yang selain dinodai oleh propaganda militer dan OrBa, juga telah dimentahkan oleh berbagai hasil penelitian dari para pengkaji Asia Tenggara mengenai G30S, mulai dari Cornell Paper hingga Dalih Pembunuhan Massal. Lagipula, propaganda OrBa dalam film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ bukan hanya menyesatkan namun juga lebay dari sisi sinematografis: bayangkan pasukan Cakrabirawa yang menembaki berbagai gelas dan barang-barang pecah belah lainnya secara inefisien dan berlebihan sebelum mengeksekusi para jenderal.

Ini membawa kita ke persoalan ketiga, yaitu pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar peristiwa 65. Dari berbagai pernyataan Liddle, kita dapat mengidentifikasi sejumlah pembacaan yang meleset dari konteks dan berpotesi menyesatkan. Konteks kelas yang dipahami Liddle, misalnya, tidak mengangkat persoalan bagaimana eksploitasi kapitalis bekerja di banyak perkebunan dan sektor-sektor ekonomi lain di Sumatera Utara dan berbagai tempat di Indonesia – sampai dengan sekarang.[3] Kemudian, Liddle juga masih terjebak dalam pola pikir dikotomis dan simplistis ala OrBa, yang memosisikan Komunis(me) sebagai musuh bersama dan menyamakan Komunisme dengan Ateisme dan sejumlah ‘isme-isme’ yang buruk lainnya seperti sinisme dan entah apa lagi, abai dengan kompleksitas sejarah yang membentuk pola pikir dan pemahaman sejarah yang simplisistis seperti itu, seakan-akan tidak pernah ada agenda-agenda anti-Kapitalis dan anti-Kolonialis yang diperjuangkan oleh Sarekat Islam (SI), sosok seperti Haji Misbach, aliansi Islam dan Komunisme yang muncul di berbagai pemberontakan petani di masa kolonial seperti di Banten, gagasan aliansi antara Islam, Komunisme dan Nasionalisme yang diusulkan oleh Tan Malaka dan Soekarno, atau bagaimana tokoh-tokoh pergerakan nasional dari segala spektrum politik memperoleh inspirasi ide-ide progresif dari Marxisme dan sejumlah pemikiran Kiri lainnya.

Terakhir, Liddle mempersoalkan klaim TAoK yang dinilai terlalu bombastis. Untuk persoalan ini, jujur, pemahaman saya agak terbatas terutama soal detail sejarah dan keanggotaan berbagai ormas vigilantis yang ada di Nusantara. Yang ingin saya persoalkan adalah implikasi pembahasan Liddle yang terpaku pada debat angka dan detail historis dari premanisme dan sejumlah gejala penyakit predatorisme politik lainnya terkesan mengecilkan dampak persoalan tersebut. Padahal sejumlah karya ilmiah sudah membahas mengenai akutnya predatorisme ekonomi-politik yang tertanam di sejarah kita. Sejarawan Hilmar Farid (2005) misalnya membahas mengenai genosida 65 sebagai upaya ‘akumulasi primitif’ (primitive accumulation) untuk melebarkan jalan bagi ekspansi kapitalisme OrBa, sosiolog Vedi R. Hadiz (2010) membahas mengenai pembajakan proses desentralisasi oleh elit-elit predatoris lokal, kemudian terdapat juga berbagai karya lainnya yang membahas mengenai berbagai kelompok-kelompok vigilantis yang didukung oleh berbagai elit dan kepentingan predatoris, dan masih banyak lagi – dan kerap kali berbagai fenomena tersebut terletak dalam aliansi tidak suci antara negara, kapital dan sektarianisme. Mungkin Pak Liddle perlu melepaskan kacamata pluralisnya yang terlampau utopis untuk lebih memahami persoalan-persoalan tersebut secara lebih realistis.

Lalu, selanjutnya?

Sejarah bukanlah persoalan yang mudah untuk ditafsirkan, apalagi jikalau kita melihat masa lalu dari kacamata masa kini. Sejarah juga tidaklah monolitik – terdapat berbagai kompleksitas dalam fragmen-fragmen sejarah.  Namun, sejarah juga soal kejujuran dan juga kemanusiaan. Hanya melalui pembacaan sejarah yang jujur – yang mengakui dengan lantang fakta genosida 65 dan dampaknya hingga sekarang, kita bisa merumuskan posisi teoretik dan praxis kita dalam melihat peristiwa 65.

Kita tahu ada kompleksitas sejarah seputar 65, terutama mengenai konflik antara berbagai kelompok Islam santri dan PKI (disclaimer: saya juga seorang Muslim yang lahir dan besar dalam keluarga santri). Namun alih-alih terjebak dalam pembacaan sejarah 65 ala OrBa – yang secara tidak langsung kembali dipromosikan oleh Liddle dalam artikelnya, kita sesungguhnya bisa bergerak melampaui pembacaan tersebut. Dua tawaran dari kawan Windu, yaitu mengakui kontribusi elemen Kiri bangsa – termasuk PKI – dalam memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di Indonesia dan menjauhi komodifikasi peristiwa 65 patut dipertimbangkan secara serius. Kemudian, tawaran dari kawan Airlangga Pribadi dalam artikelnya Kita Adalah Korban, yang meletakkan baik kelompok Islam santri dan Kiri sebagai korban dari imperialisme dan kapitalisme internasional dan menjauhi pandangan yang monolitik dan esensialis atas kelompok Islam santri dalam persaingan politiknya vis-à-vis PKI, juga merupakan terobosan atas pembacaan sejarah 65. Tawaran-tawaran lain yang perlu kita pikirkan secara serius, apalagi jikalau kita mengaku demokratis, adalah rehabilitasi atas berbagai hak-hak korban 65 sebagai warga negara – dan bukannya sekedar formalitas rekonsiliasi dan permintaan maaf – dan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Dibandingkan dengan tawaran-tawaran yang saya sebut di atas, pembacaan sejarah 65 ala Liddle bukan hanya ketinggalan zaman, namun saya khawatir juga menyesatkan. Begitu mengejutkan bahwa rupa-rupanya masih ada seorang ilmuwan, wabil khusus pengkaji Indonesia, yang secara tidak langsung menyodorkan pembacaan ‘utilitarian’ ala OrBa, yang meskipun implisit, dapat menjerumuskan kita ke sebuah konsekuensi logis berupa justifikasi atas pembantaian massal atas kader-kader PKI, orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI dan ormas-ormasnya, serta penumpasan gerakan rakyat.

Oleh karena itu, saya rasa, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa posisi teoretik Liddle adalah seorang apologis OrBa.***

Saya mengucapkan terima kasih kepada sejumlah kawan yang mendorong saya untuk menulis artikel ini.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Farid, H., 2005. Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66. Inter-Asia Cultural Studies, 6(1), pp. 3-16.

Hadiz, V. R., 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. Palo Alto: Stanford University Press.

Winters, J. A., 2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.

 


[1] Pelabelan seperti in bukan yang pertama kalinya, bukannya tidak berdasar dan bukan sekedar gosip dunia akademik. Sebagai contoh misalnya, silahkan cek buku karya Jeffrey Winters (2011, hlm. 140), Oligarchy, di mana Winters membahas posisi teoretik Liddle yang berargumen bahwa terintegrasinya Indonesia ke dalam kapitalisme global adalah berkat ‘manajemen politik yang handal dari Presiden Suharto’ (‘the skillful political management of President Suharto’) dan karenanya menganjurkan ‘apresiasi terhadap Suharto sebagai seorang politisi’ (‘appreciation of Suharto the politician’) dan mengeluh bahwa ‘pengkaji asing dan berbagai pengamat politik Indonesia tidak terlalu tertarik untuk menghargai sang presiden atas pencapaiannya’ (‘foreign specialists and other observers of Indonesian politics have not been inclined to give the president much credit for his achivements’).

[2] Untuk pembahasan yang jernih mengenai persoalan ini, silahkan merujuk ke artikel kawan Airlangga Pribadi di tautan ini http://indoprogress.com/menuju-demokrasi-bermutu-zonder-lamunan/ Berkaca dari posisi anti-Marxis Liddle, mungkin juga kita bisa menarik kesimpulan bahwa implikasi praxis dari posisi teoretik Liddle yang anti-Marxis adalah anti-Gerakan Rakyat.

[3] Lihat tulisan kawan Windu Jusuf yang membahas mengenai hal ini dihttp://indoprogress.com/lkip/?p=55 dan film Globalization Tapes yang merupakan proyek awal Joshua Oppenheimer sebelum mengerjakan proyek film TAoK dihttp://www.youtube.com/watch?v=Xo2OOIMkYOE

Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/salvador-allende-yang-mati-namun-tetap-abadi/

Salvador Allende ‘dibunuh’ dan mati berkali-kali, tetapi bangkit kembali. Bagaimana mungkin?

MUNGKIN sudah terlampau sering kita dengar kisah klasik tentang Chile di masa Allende dan kudeta militer terhadapnya, ibarat lagu lama yang sering diputar berulang kali. Namun, tidak ada salahnya untuk kembali mengingat cerita ini – siapa tahu berguna di kemudian hari.

Untuk memulai cerita, kita bisa menonton film besutan sutradara asal Chile, Patricio Guzmán, salah satu pengantar termudah mengenai Allende dan kejatuhannya. Tidak hanya itu, kita bisa mengambil beberapa pelajaran darinya. Singkat kata, kira-kira begini ceritanya.

Salvador Allende, seorang dokter yang berkecimpung dengan berbagai isu kesehatan publik, ikut mendirikan dan berkecimpung di Partai Sosialis Chile semenjak muda, sebuah partai pekerja yang independen dari garis komando Moskow. Allende mungkin tidak pernah mempelajari literatur-literatur Kiri dan Marxisme secara ‘resmi’ di bangku perkuliahan, namun dia tahu, ada berbagai cara mempelajari – dan tidak hanya itu, meresapi – prinsip-prinsip politik Kiri. Allende sendiri meresapi prinsip-prinsip itu dengan banyak berkecimpung dengan rakyat biasa – suatu aktivitas politik yang akhir-akhir ini makin langkaBaginya, terdapat banyak pintu menuju tujuan yang sama. Di tengah gelombang revolusi dan gerakan pembebasan nasional yang menyapu negara-negara dunia ketiga, Allende menempuh jalan elektoral demi pembebasan rakyat pekerja.

‘Bagaimana bisa,’ tanya Guzmán, ‘seseorang menjadi revolusioner dan demokrat di saat yang bersamaan?’ Allende mungkin adalah contoh langka seorang demokrat revolusioner. Tak percaya? Buktinya, dengan sabar dan konsisten tiga kali ia kalah pemilu presiden di Chile. Baru di kali ke-empat, tahun 1970, Allende menang tipis, sekitar 36.2 persen, dan dinobatkan menjadi presiden Chile. Berbagai ilmuwan politik terutama mereka yang beraliran borjuis menganggap bahwa sistem pemilu Chile yang dapat meloloskan presiden dengan perolehan suara yang minim merupakan penyebab mengapa Allende dapat menang dan partai-partai Kiri enggan untuk ‘memoderasi’ agenda-agenda politiknya. Beberapa diantara mereka bahkan menyalahkan Allende dan pihak Kiri sebagai pihak yang ‘mengundang malapetakanya sendiri.’ Tentu saja logika ini absurd. Dalam konteks kita, ini semacam menyalahkan orang-orang Muslim Syia’ah atau Ahmadi atau para korban katastrofi 1965 yang ‘mengundang kekerasan’ – ‘salah lu sendiri!,’ begitu kata mereka. Namun, ada baiknya omelan ini kita simpan dulu.

Allende tahu itu, namun dia tetap ngotot. Politik bukan saja soal representasi tapi juga konfrontasi. Sekecil apapun peluang yang dimiliki oleh gerakan rakyat dan partai-partai Kiri, peluang tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Allende sendiri bukan orang baru di pemerintahan dan politik – dia sempat menjabat sebagai Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial periode 1938 – 1942 dalam koalisi Front Popular yang berhaluan reformis. Semasa jabatannya, dia mengegolkan berbagai kebijakan progresif, seperti undang-undang keselamatan kerja, tunjangan kehamilan dan penyediaan makan siang gratis di sekolah-sekolah. Ini jelas berbeda dengan para elit di negeri kita misalnya, yang beraksi bak pahlawan kesiangan,seakan-akan dirinya bisa menjadi ratu adil atau juru selamat baru namun enggan untuk mengetahui lebih-lebih menghidupi penderitaan rakyat. Para elit ini juga – yang biasanya memiliki elective affinityatau pertemuan pandangan dengan beberapa segmen kelas menengah Indonesia – adalah mereka yang gemetaran dan ketakutan ketika melihat aksi-aksi massa rakyat dengan alasan ‘stabilitas’. Perubahan tidaklah semudah omongan para ‘motivator,’ konvensi partai yang diadakan beberapa tahun sekali, atau diskusi sembari nongkrong-nongkrong di warung kopi dan merasa sudah mengubah keadaan. Perubahan mestilah diusahakan dan hanya mungkin dilakukan oleh massa yang sadar. Allende tahu bahwa, ibarat Roma, Sosialisme tidak dapat dibangun dalam satu malam, melainkan membutuhkan kerja keras dan perencanaan yang panjang di jalan yang kerap kali tidak mudah.

40th anniversary of Pinochets coup marked at Chilean embassy

40 tahun peringatan atas kudeta militer terhadap Salvador Allende. Photo by Aimee Valinski

Tentu saja, di masa itu, Sosialisme masih menjadi harapan bagi banyak rakyat dan kaum tertindas lainnya di berbagai belahan dunia. Sosialisme tidak serta merta diidentikkan dengan tiang gantungan, Stalinisme dan gulag-gulag Soviet. Sosialisme juga bukan berarti sekedar ‘sosial demokrasi’ atau ‘jalan ketiga’ ala kaum neolib berbaju sosdem dewasa ini. Pada waktu itu, masih ada tokoh-tokoh seperti Olof Palme dan tentunya Allende, reformis revolusioner yang menyerukan sebuah visi akan masyarakat yang egaliter di dalam negeri dan menentang aksi-aksi jingoisme imperial di luar negerimacam Perang Vietnam yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) maupun penumpasan protes rakyat oleh berbagai rejim Stalinis.

Setelah menjadi presiden, Allende memenuhi berbagai janjinya. Dia menasionalisasi berbagai cabang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tembaga dan perbankan. Sekarang, kita mungkin bisa mencibir nasionalisasi sebagai kebijakan ekonomi yang tidak efisien dan rawan korupsi. Memang, lebih mudah untuk menilai segala sesuatunya dari kacamata zaman kita. Namun, ada kondisi-kondisi yang khas dari tiap zaman yang perlu ditempatkan dalam konteks waktunya. Kebijakan nasionalisasi Allende adalah terobosan yang progresif. Lagipula, Allende tidak hanya sekedar memindahkan kontrol sektor-sektor produksi itu ke tangan negara. Lebih dari itu, dia mencoba memperluas kontrol buruh secara langsung atas sektor-sektor produksi tersebut. Menurut Victor Wallis, salah seorang pengkaji Chile, kebijakan-kebijakan Allende ‘memberikan kesempatan bagi mayoritas kaum buruh untuk menunjuk wakil-wakil yang mereka pilih di dewan administratif di tiap-tiap cabang usaha.’ Tidak hanya itu, meningkatnya level partisipasi buruh dalam aktivitas-aktivitas produksi juga diikuti dengan naiknya performa ekonomi – dan dampak ini tidak terbatas hanya pada sektor-sektor atau cabang-cabang industri tertentu, melainkan terasa lintas-sektoral dan secara umum. Bahkan, konon kabarnya, Project Cybersyn, sistem komunikasi dan manajemen yang dicetuskan Allende, disebut-sebut sebagai embrio ‘internet sosialis’ yang memungkinkan kontrol pekerja secara langsung yang lebih luas terhadap pengelolaan ekonomi. Selain mengurusi industri dan perburuhan, Allende juga melaksanakan reformasi agraria, mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, mengurangi inflasi dan memperluas akses ke pendidikan.

Tetapi, ada yang tidak senang dengan semua ini, yaitu kaum borjuis, para tuan tanah dan berbagai kelompok dan partai Kanan. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk kemudian membangun aliansi dengan AS terutama CIA dan militer. Poster-poster propaganda anti-Allende dari CIA bergambar tank-tank Soviet tersebar di Chile. Para pengusaha bus dan transportasi melakukan pemogokan – untungnya gerakan buruh dan rakyat di Chile cukup militan untuk menghadang pemogokan tersebut dengan tetap bekerja dan berakvititas seperti biasanya, meskipun di kemudian hari perbedaan pandangan dan sektarianisme di gerakan Kiri makin mengemuka. Agustus 1973 ada upaya untuk memakzulkan Allende, namun gagal di parlemen. Betapa dongkolnya kaum borjuis. Di film Guzman, terdapat satu adegan di mana seorang oposan borjuis berkata bahwa pemerintahan Allende ‘penuh kotoran’ dan Chile dipenuhi oleh ‘para Komunis Marxis yang menjijikan.’ Di adegan lain, terungkap bahwa Richard Nixon, presiden Amerika Serikat kala itu, menjuluki Allende sebagai ‘si bangsat.’ Ini semua tidak jauh berbeda dengan label-label yang disematkan terhadap siapapun yang diasosiasikan dengan PKI, gerakan rakyat dan ide-ide Kiri-progresif di Indonesia semenjak tahun 1965 sampai sekarang.

Akhirnya kita tahu. 11 September 1973, militer membombardir La Moneda, istana kepresidenan Chile. Setelah itu, Augusto Pinochet, darling of the West yang dibangga-banggakan dedengkot ekonom neoliberal Milton Friedman dan Friedrich Hayek, menjadi diktator Chile. Rejimnya meningkatkan kesenjangan ekonomi di Chile sekaligus mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi tahanan politik, disiksa, menghilang dan bahkan tewas. Tetapi rakyat Chile tidak pernah lupa. Tahun 1989 demokrasi direstorasi. Semenjak itu hingga sekarang, satu demi satu dosa-dosa rejim Pinochet diungkap.

Seringkali kita mengritik mesianisme dalam gerakan progresif karena kecenderungannya untuk mengarah ke semacam kultus individual. Tetapi, terkadang sebuah gerakan butuh figur yang kharismatik. Allende contohnya. Tentu saja dia menjadi semacam ‘juru selamat’ bukan karena berjarak dengan rakyat, melainkan dengan menghidupi kehidupan rakyat dan bergerak bersama mereka, karena pemerintahan Allende tidak mungkin bertahan tanpa massa rakyat yang militan. Mereka mendukung Allende karena ‘Allende mencetuskan utopia akan sebuah dunia yang lebih adil,’ kata berbagai aktivis pendukungnya.

Salvador Allende mungkin telah mati, namun namanya tetap abadi. Namanya akan selalu diingat oleh rakyat yang tertindas dan menderita di gang-gang sempit nan kumuh dari Santiago hingga Valparaiso, dari Jakarta hingga Ramallah, kini dan nanti.***

Film Patricio Guzmán dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=FTkY0mgvK7k

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

Iqra Anugrah, Mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/islam-dan-pembebasan-menurut-asghar-ali-engineer/

PADA 14 Mei, 2013, dunia Islam kehilangan salah satu putra terbaiknya, Asghar Ali Engineer, penulis dan aktivis Islam progresif asal India,  yang menghembuskan napas terakhirnya. Sebagaimana kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, begitupun juga Engineer. Pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif ini, meninggalkan begitu banyak buah pemikiran yang membahas berbagai topik: dari sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, studi pembangunan dan masih banyak lagi. Sebagai bagian dari apresiasi atas kontribusi Asghar Ali Engineer yang begitu besar bagi dunia Islam, negara-negara dunia ketiga, dan gerakan progresif pada umumnya, tulisan ini didedikasikan untuk mengulas pemikiran-pemikiran Engineer dan relevansinya di masa kini.

Dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan karya-karya Engineer, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan fokus kepada beberapa tema utama dalam pemikiran Engineer, yaitu sejarah Islam, teologi pembebasan, negara dan masyarakat dan studi konflik komunal.

Sekilas tentang Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim Dawoodi Bohra, sebuah cabang dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah. Komunitas Dawoodi Bohra pada masa awal perkembangannya sempat mengalami persekusi baik dari komunitas Sunni maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian mereka bermigrasi ke India dan aktif dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek komunitas dan filantropis, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan dan fasilitas umum lainnya, seminar dan berbagai program pendidikan komunitas, serta promosi kesenian dan arsitektur Islam. Dalam konteks inilah Engineer tumbuh. Sedari kecil, Engineer juga menekuni studi Islam dari berbagai aspeknya.

Sebelum memfokuskan dirinya pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer berprofesi sebagai insinyur di kota Mumbai selama 20 tahun. Kebetulan, sewaktu kuliah, ia mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Vikram. Latar belakang inilah yang menyebabkan ia mendapat julukan ‘Engineer.’ Selama karirnya, ia mendirikan dan mengepalai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide progresif, seperti Institute of Islamic Studies, Center for Study of Society and Secularism dan Asian Muslim Action Network, dan menjadi editor sejumlah jurnal seperti Indian Journal of Secularism, Islam and Modern Age dan Secular Perspective. Tidak hanya itu, Engineer adalah seorang pemikir yang amat produktif, menulis lebih dari 50 buku dan ratusan artikel lainnya, baik populer maupun ilmiah. Semasa hidupnya, ia juga aktif mempromosikan penghargaan atas keberagaman masyarakat di India. Atas dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood Award pada tahun 2004, yang juga disebut sebagai hadiah Nobel alternatif.

Islam dan Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer

Dalam kajian sejarah Islam dan teologi pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer dalam salah satu karyanya Islam and Its Relevance to Our Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh para pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat pengaruh Marxisme dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya tentang teologi pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun, di sisi lain, terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam masyarakat tersebut – seperti perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang revolusioner dari ajaran Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan revolusioner yang universal dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks sosial masyarakat Arab pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya, dilakukan secara gradual. Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan yang menarik dari Engineer: ada unsur teologis dan transedental dari sejarah munculnya Islam, namun ia tidak menegasikan atau menafikan peranan manusia dalam membuat sejarah itu. Pembacaan ‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga mempengaruhi rumusan Engineer mengenai teologi pembebasan. Engineer memulai pembahasannya mengenai sejarah sosial berbagai variasi teologi pembebasan dalam Islam. Saya menyebutnya sebagai ‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya membahas pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha mengaitkannya dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut muncul. Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.

Alirah Mu’tazilah muncul di masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang menantang Kekhalifan Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama kelompok-kelompok non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok Persia. Karenanya, di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia diakomodir dalam kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir. Dalam konteks inilah, aliran Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional dan peranan usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya (Qadariyah), muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan Abbasiyah mulai bersifat opresif dan mempersekusi lawan-lawan politiknya, aliran Mu’tazilah kemudian dijadikan dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham teologi resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi beberapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun juga ‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri Mazhab Hambali, bahkan tidak luput dari hukuman ini.

Aliran Qaramitah juga muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan Umayyah. Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah, yang juga terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani dalam perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap melanjutkan perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakkan tendensi opresifnya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili kemudian mendirikan Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan Fatimiyah, memberi justifikasi terhadap politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan melawan baik Kekhalifahan Abbasiyah maupun Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, aliran Qaramitah berusaha menghapuskan kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune. Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi untuk menjatuhkan rejim.

Aliran Khawarij, yang awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam, Ali bin Abi Thalib, yang kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya ‘tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok Islam lain di luar mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas dari perkembangannya di kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij sesungguhnya merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum ‘proletariat internal’ dalam Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi krisis kepemimpinan dalam masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud Isma’il, menurut Engineer, aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya mempromosikan semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.

Singkat kata, dalam eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial teologi pembebasan dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal Islam hingga sekarang. Kedua,pembacaan ‘materialis’ dan ‘sejarah sosial’ atas masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi ide-ide egalitarian dalam Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa memahami konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan atas aliran Mu’tazilah yang rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam satu tarikan napas.Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang egaliter dan bebas dari eksploitasi.

Isu-isu Kontemporer dalam Pandangan Asghar Ali Engineer

Sebagai aktivis sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai mempelajari isu-isu kontemporer seperti hubungan agama-negara, hak-hak perempuan dan kaum minoritas, isu-isu pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil, Engineer sendiri sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang Muslim. Agaknya, pengalaman itu juga yang membentuk pandangan Engineer mengenai berbagai isu kontemporer. Benang merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isu-isu tersebut adalah pentingnya menghindari esensialisme alias kecenderungan untuk melihat fenomena sosial sebagai kesatuan yang monolitik.

Dalam tulisannya tentang  hak-hak perempuan dalam Islam (2006), Engineer menyadari bahwa ada diskriminasi dan marginalisasi atas hak-hak perempuan dalam masyarakat Islam. Namun, Engineer juga berhati-hati di sini: patriarkhi dan pengekangan hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang melekat pada masyarakat Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya, melainkan patriarkhinya yang bermasalah. Patriarkhi, menurut Engineer, terjadi karena kenyataan sosiologis dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep atau doktrin teologis (hlm. 166). Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam analisanya mengenai hubungan agama-negara (2009). Engineer mengingatkan bahwa institusi keagaaman bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas dari berbagai kepentingan ‘duniawi.’ Engineer juga menyerukan pentingnya ‘mengembangkan kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam sejarah kaum Muslim’ (hlm. 117). Karenanya, meskipun Engineer mempromosikan nilai-nilai agama dalam bentuknya yang paling spiritual sekaligus paling progresif, ia juga kritikus terdepan atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama, baik di negerinya sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperti Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan agama-negara dan hak-hak kaum minoritas mengingatkan saya atas ide ‘toleransi kembar’ (twin tolerations) yang dipromosikan oleh Alfred Stepan (2000), yaitu ada perbedaan antara otoritas keagamaan dan politik sekaligus kebebasan bagi otoritas keagamaan untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi pengikutnya tanpa memegang kekuasaan politik secara langsung. Agaknya, posisi Engineer tidaklah jauh berbeda dengan ide ini.

Bidang lain yang sangat ditekuni oleh Engineer adalah studi konflik dan hubungan antar etnis. Engineer tidak hanya menulis artikel reguler di harian Economic and Political Weekly mengenai kondisi hubungan antar etnis di India, namun juga melakukan studi yang mendalam atas berbagai komunitas minoritas termasuk komunitas Muslim di India. Dalam studi-studinya, Engineer berusaha memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang ilmuan. Pertama, ia berusaha menggabungkan metode-metode sejarah dan antropologis dalam berbagai studinya tentang kelompok minoritas. Kedua, dalam melakukan studinya ia berkolaborasi dengan berbagai institusi dan ilmuwan-aktivis yang lain. Ketiga, studi yang mendalam ini juga dijadikan ‘senjata’ bagi Engineer untuk mempromosikan harmoni, toleransi dan pengertian dalam  hubungan antar etnis. Prinsip-prinsip ini dapat dilihat misalnya dalam studinya tentang komunitas Muslim di Gujarat (1989). Sekali lagi, benang merah yang menyatukan berbagai studi Engineer tentang komunitas Muslim dan minoritas adalah pandangannya yang anti-esensialis: Engineer menunjukkan bahwa terdapat keberagaman yang begitu luar biasa dalam komunitas Muslim, dan, komunitas Muslim tidaklah kurang kadar ‘keIndiaan’nya dibandingkan komunitas dan kelompok etnis yang lain.

Bukan kebetulan jika Engineer juga mendukung ‘nasionalisme campuran’ alih-alih nasionalisme Muslim ala Liga Muslim yang dipandangnya agak sektarian. Ia menyatakan kekagumannya terhadap Jami’atul Ulama ‘il-Hindi, sebuah organisasi Muslim yang mendukung perjuangan kemerdekaan India dan integrasi masyarakat Muslim ke dalam masyarakat India (2009).

Terakhir, Engineer juga merupakan seorang kritik atas praktek-praktek pembangunan yang eksploitatif. Ia misalnya, mengkritik rejim Jendral Zia-ul-Haq di Pakistan yang mempromosikan ‘Islamisasi’ dalam artiannya yang sempit namun menolak program-program nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis, reformasi pertanahan dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat redistribusionis. Di India, secara konsisten ia juga menolak politik sayap kanan yang dipromosikan oleh Partai BJP yang mempromosikan fundamentalisme Hindu di satu sisi dan kebijakan neoliberal di sisi lain.

Penutup: Engineer dan Kita

Melihat kiprah Asghar Ali Engineer, kiranya tak berlebihan apabila kita memberinya label ini: intelektual organik.

Dedikasi dan komitmen Engineer tentu bukan tanpa resiko. Beberapa kali ia mendapat ancaman dan kritik dari lawan-lawannya dan mereka yang tidak menyukai gagasannya. Namun, ia tetap menulis, bekerja dan melawan.

Ketika nasib masyarakat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para intelektual hanya doyan berdiskusi, warisan Engineer terasa semakin relevan.

Selamat Jalan, Dr. Engineer. Di tengah-tengah bulan puasa ini, sosoknya menjadi pengingat bagi kita semua: ia tidak menghamba, mengawang-ngawang, maupun mendakik-dakik.***

*Penulis berterima kasih kepada rekan Dani Muhtada atas masukan dan diskusinya tentang karya-karya Asghar Ali Engineer.

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

 

Kepustakaan

Engineer, A. A. (1987). Islam and Its Relevance to Our Age. Kuala Lumpur: Ikraq.

Engineer, A. A. (1989). The Muslim Communities of Gujarat. Delhi: Ajanta Publications.

Engineer, A. A. (2006). The Rights of Women in Islam. In A. I. Alwee, & M. I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical Perspective (pp. 161-177). Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd.

Engineer, A. A. (2009). Governance and Religion: An Islamic Point of View. In C. Muzaffar,Religion and Governance (pp. 109-119). Selangor Darul Ehsan: Arah Publications.

Engineer, A. A. (2009). Islam dan Pluralisme. In D. Effendi, Islam dan Pluralisme Agama (pp. 25-41). Yogyakarta : Interfidei.

Stepan, A. C. (2000). Religion, Democracy, and the “Twin Tolerations”. Journal of Democracy, 11 (4), 37-57.

 

Kembali Menengok Revolusi Mesir dan Problematikanya

Kembali Menengok Revolusi Mesir dan Problematikanya

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/kembali-menengok-revolusi-mesir-dan-problematikanya/

REVOLUSI Mesir yang sudah bergulir semenjak tahun 2011 kembali berada di persimpangan jalan. Di tengah berbagai desakan ‘dari bawah’ oleh gerakan Tamarod (‘Pemberontakan’) dan gerakan rakyat Mesir pada umumnya atas kepemimpinan Presiden Morsi yang berasal dari Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and Justice Party, FJP) yang mewakili kubu Ikhwanul Muslimin (IM), secara tiba-tiba pihak militer kemudian masuk ‘dari atas’ dan mengambil alih proses politik dengan melancarkan kudeta (satu istilah yang diperdebatkan) terhadap Presiden Morsi, membentuk pemerintahan interim dan menunjuk Adly Mansour, Mohamed El-Baradei dan Hazem Al-Beblawi sebagai presiden, wakil presiden dan perdana menteri sementara.

Tetapi, cerita tidak selesai di situ. Tidak lama setelah pengambilalihan kekuasaan oleh militer, terdapat sejumlah masalah baru. Berbagai media dan LSM internasional melaporkan bahwa sejumlah pemimpin FJP dan IM diamankan oleh militer, media yang disinyalir berafiliasi dengan FJP dan IM di ditutup dan lebih dari 50 demonstran pro-Morsi meninggal serta 435 lainnya luka-luka dalam aksi kekerasan yang dilakukan oleh militer.

Kemanakah Revolusi Mesir akan bergerak? Bagaimanakah tren politik Mesir pasca-Morsi? Untuk memahami persoalan ini secara lebih jelas, tulisan ini akan mencoba membahas lebih lanjut mengenai peta politik dan kekuatan politik di Mesir, dengan fokus kepada FJP dan IM, militer serta gerakan oposisi.

Ikhwanul Muslimin: Kolaborator Antar-Kelas atau Seksi dari Borjuasi?

Melihat dan melabeli IM dan FJP sebagai ‘Islamis’ terkadang memang mempermudah perbincangan, tetapi juga bisa berarti menghindari diskusi yang lebih serius. Konteks sejarah, sosio-politik dan ekonomi dari lahirnya IM serta ‘basis material,’ yaitu kelas yang memungkinkannya muncul dapat lebih memperjelas pemahaman kita mengenai posisi politik IM.

Didirikan oleh Hassan al-Banna di Ismailia pada tahun 1928, dalam perkembangannya IM berkembang menjadi salah satu kekuatan politik yang patut diperhitungkan di Mesir. Di kalangan Kiri, baik di Mesir maupun di luar Mesir, terdapat suatu ambivalensi dalam merespon kekuatan IM dan Islamisme secara umum: Apa label yang tepat buat mereka? Bagaimana posisi politik kalangan Kiri terhadap mereka?

Chris Harman (1994) dalam artikelnya, The Prophet and the Proletariat, berusaha menepis pandangan dan analisa yang simplisistis dalam melihat Islamisme. Menurutnya, Islamisme tidak otomatis ‘fasis’ atau ‘reaksioner’ karena pandangan mereka terhadap isu-isu hubungan agama dan negara, gender dan kebebasan sipil, juga tidak otomatis ‘progresif’ atau ‘revolusioner,’ hanya karena retorika anti-imperialisme dan anti-Barat mereka. Ada faktor-faktor sosial politik yang memungkinkan Islamisme bergerak dari satu tendensi ke tendensi lainnya, yang juga bergantung pada kondisi spesifik di tiap-tiap tempat. Namun, untuk kasus beberapa negara Timur Tengah, seperti Mesir dan Iran, Harman melihat Islamisme sebagai ekspresi politik darikelas menengah atau borjuis kecil. Ini dapat dilihat tidak hanya dari agenda politik Islamisme secara umum, namun juga konteks ekonomi-politik yang melatarbelakanginya: kelas borjuis pedesaan bermigrasi ke kota karena urbanisasi, kelompok yang mengalami kesulitan ekonomi dalam proses pembangunan, menjadi salah satu sumber ‘basis kelas’ Islamisme. Proses urbanisasi inilah, yang membentuk lapisan kelas menengah baru seperti komunitas bazaar,usaha kecil dan menengah, guru, pegawai pemerintahan dan lain sebagainya (Fischer, 1982).

Konteks ekonomi-politik yaitu perkembangan proses pembangunan di Mesir, juga mempengaruhi komposisi basis pendukung serta karakter politik dari IM. Sebnem Gumuscu (2010), dalam analisa perbandingannya antara Turki dan Mesir menyatakan bahwa perbedaan pola liberalisasi ekonomi di kedua negara menyebabkan perbedaan pola moderasi Islam politik. Di Turki, pola liberalisasi ekonomi menguntungkan kelompok borjuis pinggiran, usaha kecil dan menengah (UKM) dan kapitalis berorientasi ekspor yang rata-rata berbasis di luar Istanbul yang berafiliasi kepada Asosiasi Industrialis dan Pengusaha Independen (MUSIAD). Kelompok yang beruntung ini kemudian mengartikulasikan visi ekonomi, politik dan sosialnya via Islam politik terutama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), melalui perkawinan antara agenda ekonomi pasar terbuka dan demokrasi (borjuis) dengan religiusitas.

Di Mesir, liberalisasi ekonomi yang bermula dari kebijakan Infitah (Kebijakan Ekonomi Terbuka) di masa Presiden Anwar Sadat, alih-alih menguntungkan kelompok borjuis pinggiran, UKM dan kelas menengah, justru menguntungkan bisnis-bisnis besar dengan koneksi ke pemerintah pada waktu itu. Ini semakin diperparah dengan pemotongan subsidi sosial dan pengangguran yang meningkat. Elemen kelas menengah atau borjuis kecil yang termarginalisasi inilah yang kemudian tertarik bergabung kepada IM dan semakin mempertegas tendensi konservatif yang militan dalam tubuh IM.

Tentu ada proses moderasi dalam IM dan para penggiat IM pun bergumul dengan proses tersebut. Namun, rupa-rupanya, IM kesulitan untuk melakukan transformasi atas tendensi konservatif dari visi Islamisnya. Tadros (2012) mencatat sejumlah keterbatasan IM di era pasca-Mubarak. Pertama, ada kesenjangan dalam tubuh IM sendiri dalam merespon prospek tumbangnya Mubarak  dan perubahan sosial di masa-masa awal Revolusi Mesir. Sejumlah segmen pemuda dari IM, misalnya, meminta izin untuk bergabung dengan aksi massa lintas elemen pemuda di masa awal Revolusi Mesir dan mendesak pimpinan IM yang berasal dari generasi yang lebih tua untuk mendukung aksi tersebut. Pimpinan IM sendiri, yang pada masa itu masih bernegosiasi dengan pihak militer dan sejumlah pejabat di pemerintahan Mubarak, seperti Wakil Presiden Omar Suleiman, awalnya ragu untuk mendukung aksi elemen pemudanya sendiri, meskipun kemudian para pimpinan IM akhirnya mendukung dan bergabung dalam aksi tersebut. Kedua, dalam hal komitmennya terhadap pluralisme politik yang merangkul semua golongan, hak-hak kelompok minoritas seperti kaum Kristen Koptik dan kesetaraan gender,  komitmen IM lebih tepat dipandang sebagai retorika yang bergantung kepada kondisi politik dibandingkan upaya nyata untuk mereformasi pandangannya. Dengan kata lain, terlepas dari upayanya untuk menampilkan dirinya sebagai kelompok Islam ‘reformis’ atau ‘moderat,’ pandangan arus utama dalam tubuh IM mengenai pluralisme politik, hak-hak minoritas, dan kesetaraan gender pada dasarnya konservatif. Tak heran, secara agak profetik, Tadros sendiri menyatakan bahwa ‘Pada 12 Februari, terdapat indikator-indikator yang jelas bahwa kebijakan-kebijakan IM telah mengurangi kohesi sosial, memperdalam ketimpangan gender dan secara signifikan mempersempit batas-batas normatif di mana isu-isu panas dapat didiskusikan’ (hlm. x).

Lalu, bagaimanakah kiprah Morsi dan FJP selama satu tahun pemerintahannya? Sejumlah kritikus seperti Magdi Abelhadi (2012) dan Ahdaf Soueif (2012), menyebutkan sejumlah kesalahan yang dilakukan Morsi dan FJP selama berkuasa. Pertama, Morsi menerbitkan sejumlah dekrit kontroversial (secara eufemistis disebut ‘deklarasi konstitusional’) seperti dekrit yang melarang pihak pengadilan dan yudisial di Mesir untuk mencabut undang-undang atau dekrit yang disahkan oleh Morsi selama masa pemerintahan. Kedua, agenda-agenda Islamis yang bersifat sektarian. Ketiga, salah urus kebijakan ekonomi. Untuk poin ketiga ini, dapat dikatakan bahwa Morsi, FJP dan kelompok Islamis pada dasarnya tidak menawarkan visi ekonomi yang betul-betul egaliter melainkan hanya meneruskan kebijakan neoliberal ala Mubarak. Soueif menyebutkan bahwa ‘Morsi mengunjungi China ditemani oleh beberapa pebisnis yang juga kongsi-kongsinya Mubarak; komunitas perbankan membicarakan bahwa beberapa persetujuan telah dibuat antara pejabat tinggi negara dan kelompok-kelompok mereka, dan meminjam dana dari IMF dan Bank Dunia mendadak jadi tidak berdosa.’ Keempat, massa pendukung IM dan FJP sendiri juga terlibat dalam berbagai aksi vigilantis dan agitatif melawan berbagai elemen dari kelompok oposisi. Perlu diingat juga bahwa Morsi hanya menang tipis di pemilu presiden tahun lalu – bahkan, mereka yang memilih Morsi juga melakukannya karena pertimbangan strategis: agar elit lama di masa Mubarak, militer, dan elemen-elemen kontra-revolusioner lainnya tidak merebut kekuasaan dan membajak Revolusi Mesir.

Barangkali, karena faktor-faktor inilah, politik yang dijalankan oleh Morsi, FJP dan IM pada dasarnya adalah semacam konservatisme borjuis kecil, memicu jutaan rakyat Mesir untuk kembali melakukan aksi massa dan mobilisasi di jalan sebagai protes terhadapnya.

Bagaimana dengan Militer dan Gerakan Rakyat?

Lalu, setelah terjungkalnya Morsi dari kekuasaan, bagaimana dengan gerakan rakyat dan militer?

Di sini, saya pikir, sebuah pemahaman yang lebih komprehensif diperlukan untuk memahami konstelasi politik di Mesir dewasa ini. Alih-alih melihat politik Mesir secara dikotomis, dalam kacamata oposisi dan militer versus Morsi, FJP dan IM, kita perlu melihat persaingan antara berbagai kekuatan-kekuatan politik di Mesir secara lebih mendalam.

Melihat aksi-aksi kekerasan dan pemberlakuan ‘keadaan pengecualian’ (state of exception) yang dilakukan oleh pihak militer Mesir sekarang ini, maka patutlah kita mencurigai bahwa militer Mesir memiliki agendanya sendiri. Aksi kelompok militer dalam membatasi kebebasan informasi dan berekespresi, misalnya, dapat menjadi dalih untuk membungkam kritik apapun terhadap dominasi militer dalam politik Mesir. Oleh karena itu, di sini saya lebih bersepakat kepada posisi kawan Muhammad Ridha (2013) dan mengritik posisi kawan Ted Sprague (2013) yang menurut saya, mohon maaf, terlampau simplistik dalam melihat perkembangan politik Mesir dewasa ini.

Kondisi Revolusi Mesir pasca Morsi mengingatkan saya atas satu penggalan kisah Revolusi Rakyat di masa Romawi Kuno dalam buku Oligarchy karya Jeffrey Winters (2011). Di situ, disebutkan bahwa di masa Romawi Kuno, Revolusi dan Pemberontakan Rakyat yang asli dan berasal ‘dari bawah’ demi melawan para tiran dan diktator dan mewujudkan tatanan ekonomi-politik yang lebih egaliter dan distribusionis terkadang diinterupsi oleh para oligark ‘dari atas’ atas dasar kebencian mereka terhadap para tiran dan diktator yang berkuasa. Hasilnya? Sayang, bukan kemenangan rakyat, melainkan revitalisasi politik oligarkis yang didominasi oleh kelompok super kaya di masyarakat Romawi. Di dalam masa transisi menuju demokrasi, sebuah studi klasik juga menegaskan pentingnya memperhatikan keretakan dan dinamika politik di antara para elit (O’Donnell & Schmitter, 1986). Mungkin, dalam perspektif inilah, kita bisa lebih memahami konstelasi politik di Mesir saat ini.

Sisi lain yang secara perlahan-lahan mulai tersingkap adalah potensi kelompok Islamis Salafi yang terutama diwakili oleh Partai Cahaya (An-Nur) untuk menjadi salah satu pemain utama dalam politik Mesir pasca-Morsi. Menurut berbagai laporan media, posisi Partai Cahaya bahkan lebih konservatif dibandingkan IM dan FJP, yang setidaknya masih memiliki beberapa faksi moderat. Kemana arah politik Partai Cahaya akan bergerak tentunya  perlu kita perhatikan secara lebih seksama.

Kondisi ini tentu menimbulkan berbagai dilema dan pertanyaan yang lebih rumit lagi bagi Mesir pasca-Morsi. Terlepas dari perbedaan posisi teoretik dan politik yang jauh antara gerakan rakyat dan kelompok-kelompok Islamis, sebagaimana dijelaskan oleh Samer Shehata (2013), konsolidasi demokrasi di Mesir mensyaratkan inklusi kelompok-kelompok Islamis di dalam proses politik. Memang, persoalan inklusi ini bukan hal yang mudah, bahkan selalu menjadi persoalan yang rumit dalam setiap proses revolusioner dan transisi menuju demokrasi. Namun, yang rumit inilah yang musti dihadapi oleh gerakan rakyat di Mesir, apabila gerakan rakyat di Mesir – dan berbagai tempat lainnya – mau mewujudkan cita-cita mereka dan mendapatkan legitimasi yang kuat.

Tanpa bermaksud menggurui, mungkin kondisi Mesir sekarang bisa menjadi semacam momen reflektif bagi gerakan rakyat di Mesir dan di berbagai tempat lain. Rakyat Mesir memang berhasil dalam eksperimennya melampaui keterbatasan transisi demokrasi dan kerangka demokrasi liberal menuju sebuah bentuk demokrasi yang lebih radikal. Namun, mungkin mobilisasi massa saja tidak cukup; kita perlu melangkah (sedikit) lebih jauh lagi dari situ. Ini juga yang disampaikan oleh Tariq Ali (2013) dalam pesan videonya kepada para demonstran dan aktivis #OccupyGezi. Di tengah fragmentasi gerakan rakyat dan oposisi di Mesir dalam berbagai tendensinya (sekuler, liberal, nasionalis, kiri dan lain-lain), kepemimpinan politik dan bentuk-bentuk lain dari pengorganisasian menjadi penting, apalagi jikalau gerakan rakyat ingin merebut negara dan mentransformasikan logikanya, di tengah-tengah proses revolusi dan demokratisasi yang rawan ‘dibajak’ untuk menjadi permainan elit.

Pasca-Morsi, kemanakah angin politik di Mesir akan berhembus? Tentu, hanya Gerakan Rakyat Mesir sendirilah yang dapat menjawabnya.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan

Abelhadi, M., 2012. Mohamed Morsi and the fight for Egypt. [Online]
Available at: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/nov/27/mohamed-morsi-fight-for-egypt?INTCMP=SRCH
[Accessed 9 July 2013].

Ali, T., 2013. A Message to #OccupyGezi. [Online]
Available at: http://mrzine.monthlyreview.org/2013/ali170613.html
[Accessed 9 July 2013].

Fischer, M. M. J., 1982. Islam and the Revolt of the Petit Bourgeoisie. Daedalus, 111(1), pp. 101-25.

Gumuscu, S., 2010. Class, Status, and Party: The Changing Face of Political Islam in Turkey and Egypt. Comparative Political Studies, 43(7), pp. 835-61.

Harman, C., 1994. The prophet and the proletariat. [Online]
Available at: http://www.marxists.org/archive/harman/1994/xx/islam.htm
[Accessed 10 July 2013].

O’Donnell, G. & Schmitter, P. C., 1986. Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore, MD: The Johns Hopkins University Press..

Ridha, M., 2013. Revolusi Mesir Sekarang dan Pertanyaan Rumitnya. [Online]
Available at: http://indoprogress.com/revolusi-mesir-sekarang-dan-pertanyaan-rumitnya/
[Accessed 9 July 2013].

Shehata, S. S., 2013. In Egypt, Democrats vs. Liberals. [Online]
Available at: http://www.nytimes.com/2013/07/03/opinion/in-egypt-democrats-vs-liberals.html
[Accessed 9 July 2013].

Soueif, A., 2012. Egypt’s hopes betrayed by Morsi. [Online]
Available at: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/dec/09/egypt-hopes-betrayed-mohamed-morsi?INTCMP=SRCH
[Accessed 9 July 2013].

Sprague, T., 2013. Benarkah Ada Kudeta Militer di Mesir?. [Online]
Available at: http://indoprogress.com/benarkah-ada-kudeta-militer-di-mesir/
[Accessed 9 July 2013].

Tadros, M., 2012. The Muslim Brotherhood in Contemporary Egypt: Democracy redefined or confined?. Oxon and New York: Routledge.

Winters, J. A., 2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

http://indoprogress.com/rakyat-jelata-sejarah-dan-perjuangan/

SEORANG pejabat terkemuka di Republik kita baru saja meninggal dunia. Kepergiannya langsung disambut oleh ratusan pesan pendek, ucapan belasungkawa, liputan yang ekstensif dari media massa dan barisan karangan bunga. Perlu dicatat, saya tidak sedang mempermasalahkan ucapan belasungkawanya, yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban kita sebagai manusia. Yang saya persoalkan lebih pada glorifikasi atas pejabat tersebut.

Belum lama ini juga, di tengah-tengah kebingungan para elit Indonesia atas ‘krisis kepemimpinan’ di antara mereka, beberapa figur pejabat publik dengan ‘reputasi internasional,’ yang memiliki ‘integritas’ dan ‘profesionalisme’ digadang-gadang sebagai ‘figur alternatif’ untuk pemilu presiden 2014 mendatang. Berbagai tokoh alternatif ini, terlepas dari berbagai perbedaan mereka, memiliki satu kesamaan: para pendukungnya selain datang dari kelompok elit predatoris dan kelas menengah reaksioner, atau gabungan dari keduanya.

Di saat hiruk-pikuk dan gegap-gempita ucapan belasungkawa, transaksi politik dan proses saling dukung mendukung, serta manuver-manuver politik menjelang ajang pemilu, kita menyaksikan betapa semakin langkanya pemberitaan mengenai rakyat miskin yang meninggal karena kelaparan, buruh yang mengalami ketidakadilan kerja, kaum tani yang dirampas haknya, hingga kelompok minoritas keagamaan yang terusir dari rumah ibadah dan kampungnya sendiri. Tuduhlah saya sebagai seorang romantik, namun saya pikir kita patut kesal terhadap keadaan ini. Karena itu selama koran, televisi dan media masih melaporkan pertumbuhan dan bukannya kesenjangan ekonomi, naik-turunnya harga saham dan bukannya harga-harga kebutuhan pokok, upacara dan penghargaan para pejabat dan bukannya pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik warga biasa dan menganggap kemiskinan serta pelanggaran HAM sebagai statistik belaka, maka kita patut kesal – dan karenanya kita, rakyat jelata, perlu menulis sejarah kita sendiri.

***

Fenomena glorifikasi elit, usianya jauh melampaui umur Republik. Juga bukan cerita eksklusif Indonesia semata. Dalam berbagai narasi tentang perang dari zaman Kekaisaran Romawi hingga invasi Iraq, sejarah pada dasarnya adalah cerita yang didominasi oleh para elit. Sejarah dan politik bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ para tokoh yang menggerakkan roda zaman dan perubahan. Rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan sejarah. Parahnya lagi, kultus individu dan mesianisme merebak terus.

Penyakit ini juga menjangkiti semua kelompok: Stalin mengkhianati Revolusi Bolshevik; Partai Komunis Cina mempromosikan Neoliberalisme di China; Revolusi Iran menghasilkan rezim yang represif; dan berbagai gerakan pembebasan nasional menghasilkan negara-negara poskolonial dengan berbagai macam masalah yang tak kunjung usai.

Agar kita tidak terlalu lama mengernyitkan dahi dan mengelus dada, mari kita mencari petunjuk ke dunia lain: seni dan sastra.

Seni dan sastra bisa menjadi sumber inspirasi bagi perjuangan dan kritik terhadap mereka yang berkuasa. Namun, ia tak melulu berbicara mengenai hal-hal yang ‘berat,’ seperti politik dan partai. Justru, seni dan sastra terkadang banyak berbicara mengenai keindahan dan kejenakaan dari hal-hal yang bersifat keseharian – hal-hal yang kemudian menjadi pendorong pergerakan dan pengingat akan pentingnya perjuangan.

Tak percaya? Coba simak kisah Alberto ‘Mial’ Granado dan Ernesto ‘Fuser’ Guevara dalam kisah The Motorcycle Diaries. Ini adalah catatan harian Fuser, kemudian diangkat menjadi film, yang berkisah tentang petualangan dua anak muda nekat ‘menaklukkan’ jalanan benua Amerika Latin dengan mengendarai motor.  Melalui petualangan itu, Fuser – yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘Che’ (‘kawan’ dalam Bahasa Spanyol dialek Argentina) Guevara – dan Mial, mendulang banyak sekali inspirasi dari pertemuan dengan ‘orang-orang biasa’ dari berbagai negara dan karya-karya sastra yang mengangkat kehidupan orang-orang biasa tersebut. Dalam buku hariannya itu, Che bercerita bagaiamana ia kerapkali meluangkan waktu untuk membaca puisi-puisi karya Federico Garcia Lorca atau Pablo Neruda. Di versi layar lebarnya, Che digambarkan sering melantunkan barisan-barisan puisi, kemudian Mial atau orang yang kebetulan mereka tumpangi kendaraannya, akan menebak-nebak: Garcia Lorca? Neruda?

Kebetulan, dua penyair berbahasa Spanyol itu memiliki kesamaan dalam kegemaran mereka mengangkat cerita dan kisah sederhana tentang alam, tradisi, dan kehidupan rakyat jelata.

Dari negeri sendiri, coba simak syair dan puisi dari Wiji Thukul, seorang intelektual organik kelas pekerja Indonesia. Thukul dikenang karena orisinilatas dan militansinya, yang terpatri dalam frase dan ungkapan seperti ‘hanya ada satu kata, lawan!’ atau ‘aku pengin meledak sekaligus jadi peluru’. Namun, orang lupa dengan sisi Wiji Thukul yang lain. Dalam pengantarnya dalam salah satu buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Mencari Tanah Lapang, Arief Budiman mengungkapkan bahwa Wiji ‘Bukan mau menjadi pahlawan kaum miskin di dunia ini. Dia cuma mau bercerita tentang nasibnya yang tidak kunjung bertambah baik.’ Berangkat dari keinginan yang sederhana ini, ‘tiba-tiba Wiji Thukul menjadi penyair nasional…juga internasional. Padahal Wiji Thukul cuma ingin menulis puisi kampung.’

Dalam dunia seni lukis, ada juga Affandi. Pelukis yang sering dilabeli sebagai bagian dari aliran ekspresionisme itu, suatu label yang seringkali ia pertanyakan, sering mengangkat tema-tema sederhana, seperti para pengemis, orang-orang tak berumah, atau terkadang dirinya sendiri.

***

Kembali ke perbincangan kita sebelumnya soal sejarah. Dalam pandangan saya, para seniman tersebut adalah pengingat: perubahan tidak selalu berasal dari hal-hal ‘besar’ dan ‘berat.’ Ia tidak selalu identik dengan sejumlah tangan yang mengepal di udara, atau suara-suara lantang yang menyanyikan lagu-lagu mars perjuangan. Terkadang, ia berangkat dari hal-hal yang sederhana, seperti menyapa dan belajar dari banyak orang biasa, dari mereka yang terpinggirkan dan dianggap ‘tidak tahu apa-apa’ oleh paradigma developmentalis ala teori modernisasi dan ambivalensi kelas berpunya dan kelas menengah.

Oleh karena itu, sejarah tidak musti melulu bercerita tentang ‘orang-orang besar’ yang mengubah dunia. Ia juga bisa bercerita tentang para buruh dan tani, kaum budak, masyarakat asli dan berbagai kaum minoritas lainnya yang terpinggirkan dalam sejarah. E.P. Thompson, sejarawan Marxis terkemuka asal Inggris, misalnya, dalam magnum opus-nya, The Making of the English Working Class, membahas tentang kelas bukan hanya sebagai kategori sosial, namun juga sebagai proses dan kesamaan pengalaman yang kemudian membentuk suatu identitas kelas buruh di Inggris. Thompson mengingatkan kita bahwa kelas buruh bukanlah sebuah kategori statistik atau abstraksi teoretik belaka, melainkan sebuah entitas sosial yang hadir dan tumbuh karena suatu proses sejarah. Ada agency atau peranan kelas buruh itu sendiri di sana.

Dalam kajian-kajian tentang kaum petani, James C. Scott dan Benedict Kerkvliet juga menunjukkan bagaimana kaum tani, di tengah-tengah proses eksploitasi yang dilakukan oleh institusi negara dan pasar, rupa-rupanya mampu melakukan perlawanan, meskipun secara kecil-kecilan dan simbolik, melalui apa yang disebut sebagai everyday forms of resistance atau perlawanan keseharian, seperti tindakan mengemplang pajak, mengurangi jumlah dan kualias setoran hasil panen wajib, dan lain sebagainya. Beberapa kajian antropologis, seperti yang diungkapkan oleh antropolog radikal David Graeber dalam rekaman kuliahnya, juga menunjukkan bagaimana praktek-praktek politik di beberapa kelompok masyarakat adat membuka peluang bagi bentuk-bentuk praktek politik yang lebih demokratis, deliberatif dan egaliter – seperti proses rapat dan pengambilan keputusan yang meskipun memakan waktu lama, namun memastikan bahwa setiap anggota komunitas mendapat kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan berkontribusi.

Namun, ada pertanyaan penting yang terlewatkan di sini: berangkat dari cerita tentang perubahan dan perlawanan yang bersifat lokal dan partikular, tidakkah kita melewatkan ‘tujuan utama’ kita untuk melakukan transformasi sosial yang lebih besar? Menurut saya, ini pertanyaan yang cukup mengena. Gugusan perjuangan yang bersifat lokal harus bertransformasi menuju perjuangan yang bertujuan dan berskala lebih besar. Tetapi, dalam hemat saya, beberapa hal perlu diperhatikan di sini.

Pertama adalah tantangan dalam melewati dan melampaui logika negara. Sejarah menunjukkan, seringkali perebutan institusi negara oleh gerakan rakyat tidaklah cukup. Dari berbagai kajian mengenai negara, saya pikir buku James C. Scottt, Seeing Like a State, adalah pengingat yang baik tentang bagaimana perebutan institusi negara oleh kaum High Modernists atau ‘Modernis Tinggi,’ mereka yang percaya akan proses pembentukan negara (state formation) dan pembangunan yang bersifat top-down, dengan segala variasinya, pada akhirnya justru akan melemahkan dan bahkan melumpuhkan gerakan rakyat itu sendiri. Scott kemudian berkesimpulan bahwa proses-proses politik membutuhkan penghargaan akan metis atau pengetahuan yang bersifat lokal – tentunya tanpa terjebak oleh ‘idealisasi’ dan pandangan yang esensialis atas apa-apa yang disebut sebagai pengetahuan lokal tersebut.

Kedua, perlawanan dan narasi yang bersifat lokal, particular, dan keseharian sesungguhnya bisa ditempatkan dalam narasi sejarah yang bersifat lebih besar dan universal. Tiap-tiap tempat dan daerah punya ‘hukum’ dan konteksnya sendiri, namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil abstraksi dan refleksi dari gugusan perlawanan lokal tersebut. Perlawanan dan narasi ‘kecil-kecilan’ ini sesungguhnya merupakan bagian dan kesinambungan dari apa-apa yang dilakukan oleh kaum Jacquaries di Perancis, levellers dan chartists di Inggris, dan petani penggarap serta masyarakat adat mulai dari zaman Yunani Kuno hingga di berbagai belahan Dunia Ketiga.

Tentunya, perlawanan juga adalah proses dan praktek pembelajaran. Kita musti berhati-hati agar ia tidak terjebak menjadi semacam ‘ratu-adil-isme’ atau romantisme ala anak muda yang baru belajar. Untuk mengujinya, tentu tidak bisa hanya sekedar bergelut di ranah produksi pemikiran atau diskusi wacana-wacana terbaru. Karenanya politik menjadi keniscayaan dan proses yang senantiasa dialektis.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Walter Benjamin mengingatkan bahwa selain optimisme akan masa depan yang lebih baik, kita juga perlu mengaitkan ‘yang sekarang’ (the present) dengan ‘yang lalu’ (the past). Kenangan akan kekalahan dan terkubur dalam narasi sejarah juga akan mendorong kita melangkah lebih jauh.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Tanggapan dan Tambahan untuk Airlangga Pribadi
Iqra Anugrah,
 mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS.

http://indoprogress.com/muslim-demokrat-yang-tunduk-kepada-oligarki/

APA KABAR kaum Muslim Demokrat Indonesia? Dinamika diskursus dan aktivisme kaum Muslim Demokrat dengan berbagai tendensi dan variannya di Indonesia, telah membawa mereka dan juga gerakan sosial serta gerakan Islam di Indonesia pada persimpangan jalan: apakah kaum Muslim Demokrat akan terjebak di dalam logika kuasa yang oligarkis, ataukah mereka akan konsisten terhadap cita-cita pergerakan mereka dengan memperjuangkan politik demokratis yang lebih radikal?

Menanggapi gugatan kawan Airlangga Pribadi atas problematika dan dilema kaum Muslim Demokrat di Indonesia, kali ini saya ingin mengamini argumen Airlangga, sekaligus menambahkan beberapa kritik terhadap tesis Muslim Demokrat di Indonesia. Kritik ini meliputi kritik epistemologis, metodologis, dan praxis. Melalui tulisan ini, saya berharap bahwa kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia pada umumnya, dapat melakukan refleksi yang lebih dialektis atas kiprahnya selama ini.

Pentingnya Realisme dalam Membaca Masyarakat Islam

Sebagaimana pernah saya sampaikan sebelumnya dalam tulisan saya tentang metode Marxis dalam studi Islam, kali ini saya ingin memaparkan kembali tentang kegunaan metode Marxis dalam memahami masyarakat Islam. Sedikit banyak, saya terinspirasi oleh karya-karya Maxime Rodinson (1973; 1980; 1981). Dalam karya-karyanya, Rodinson mencoba mengalihkan fokus studi Islam dan Orientalisme secara keseluruhan dari pembacaan yang simplistis atas masyarakat Islam, menuju sebuah pembacaan yang lebih komprehensif dan kritis, yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek kesejarahan, kuasa, dan ekonomi-politik yang membentuk budaya dan tatanan nilai masyarakat Islam. Namun, dalam menanggapi tuduhan ‘determinisme basis ekonomi’ atau ‘determinisme ekonomi-politik’ dalam analisa Marxis atas masyarakat Islam, Rodinson sendiri menegaskan bahwa faktor-faktor ideasional dan kultural atau kebudayaan, bukanlah sekedar cerminan epifenomenal superstruktur atas basis material suatu masyarakat, suatu argumen yang juga ditegaskan oleh Georg Lukács (1971). Ada dinamika dan pertautan antara faktor-faktor material dan ideasional dalam perkembangan sejarah suatu masyarakat. Lebih lanjut lagi, aspek-aspek ideasional seperti perkembangan diskursus keagamaan dalam suatu masyarakat dapat muncul dalam berbagai bentuknya yang terkadang dapat berbenturan atau berkonflik satu sama lain.

Berangkat dari argumen inilah, kita dapat memahami dinamika Islam dan politik di Indonesia serta kelemahan argumen-argumen kaum Muslim Demokrat.

Beberapa Kritik tambahan atas Kaum Muslim Demokrat di Indonesia

Beberapa kelemahan argumen kaum Muslim Demokrat dalam dinamika demokratisasi di Indonesia, dijelaskan secara gamblang oleh Airlangga dalam artikelnya. Pertama, argumen kaum Muslim Demokrat sebagai salah satu lokomotif demokratisasi di Indonesia terlampau menekankan pada aspek agensi, namun abai pada kondisi dan hambatan struktural di mana agensi itu bekerja. Kedua, kemunculan gagasan-gagasan progresif, terutama dalam varian liberal  ala kaum Muslim Demokrat, juga tidak lepas dari faktor-faktor material yang memungkinkan gagasan tersebut muncul  – seperti ketersediaan dana untuk berbagai lembaga non-pemerintah (LSM) baik dari dalam maupun luar negeri. Ketiga, kaum Muslim Demokrat abai akan fakta bahwa perspektif modal sosial (social capital) yang sering menjadi landasan bagi argumen mereka, merupakan ‘kuda troya’ (trojan horse) atas agenda-agenda developmentalisme ala institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank dan Lembaga Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), dan juga merupakan bagian dari agenda kapitalisme neoliberal (Carroll, 2009; 2010; Sommers, 2008).

Selain kritik-kritik tersebut di atas, beberapa tambahan kritik lain perlu disebut. Pertama, kaum Muslim Demokrat abai terhadap kesenjangan  basis material dan aspek-aspek ekonomi-politik lain antara para ‘intelektual Islam’ dengan realitas objektif umat dan masyarakat yang mereka perjuangkan. Tatkala kaum Muslim Demokrat sibuk berdiskusi dan melakukan kegiatan-kegiatan ‘produksi intelektual,’ di saat yang bersamaan berbagai kelompok masyarakat yang tertindas dan termarginalisasi masih saja tereksploitasi. Sesekali, kaum Muslim Demokrat ‘turun gunung’ dan turut aktif dalam berbagai agenda politik progresif, seperti perlindungan terhadap hak-hak minoritas, namun komitmen dan partisipasi mereka berhenti hanya di situ.

Kedua, kesenjangan ekonomi-politik ini juga tercemin dalam kesenjangan diskursif antara para intelektual dan umat yang katanya diwakilkan oleh mereka. Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, aspek diskursif dari transmisi suatu pengetahuan keagamaan penting untuk diperhatikan, karena aspek ini dapat dipahami secara berbeda oleh berbagai kelompok masyarakat dan menimbulkan berbagai interpretasi (Kendhammer, 2013). Sebelum agenda-agenda pembaharuan Islam dan keagamaan secara umum dapat disebarkan, yang tidak kalah penting adalah mengetahui bagaimana persepsi dan pemahaman publik atas diskursus keagamaan secara umum. Hemat saya, untuk mengetahui kecakapan diskursif publik atas agenda-agenda pembaruan keagamaan dan ide-ide progresif lainnya, barangkali yang diperlukan bukan hanya kecakapan membaca dan memahami teks-teks keagamaan dan perdebatan paling mutakhir dalam kajian ilmu sosial dan humaniora. Tak kalah penting adalah adanya kepekaan atas faktor-faktor material yang membentuk pemahaman masyarakat, sekaligus kerelaan untuk belajar bersama berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang tertindas, dalam hubungan yang setara, pedagogis dan dialektis (Freire, 2006).

Tentu saya mengapresiasi komitmen berbagai kalangan kaum Muslim Demokrat Indonesia atas agenda-agenda politik progresifnya, seperti pembelaan terhadap kelompok minoritas keagamaan dan isu-isu sosial dan politik yang mendesak. Namun, menurut saya, mereka telah gagal dalam menganalisa permasalahan yang lebih besar dari berbagai permasalahan yang terkait dengan diskursus keagamaan di Indonesia, serta dalam memperjuangkan agenda demokrasi yang lebih luas, mendalam dan partisipatoris. Fenomena munculnya kelompok-kelompok vigilantis yang bernuansa kegamaan dan etnis, misalnya, tidak dapat disimplifikasi menjadi sekedar masalah ‘fundamentalisme versus moderatisme dan liberalisme Islam.’ Kita perlu melihat bagaimana sejarah dari berbagai kelompok tersebut, dampak transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi, serta perubahan pola politik kuasa dan patronase, serta aliran dana yang memungkinkan kelompok-kelompok tersebut terus aktif (Wilson, 2006; 2010). Begitupun persoalan munculnya berbagai perda bernuansa syari’ah, yang tidak lepas dari dorongan akumulasi kapital dan populisme politik dalam konteks politik lokal yang terdesentralisasi (Buehler, 2008). Tentu faktor-faktor yang bersifat ideologis, seperti pemahaman fundamentalis atas agama berperan dalam penyebaran fenomena seperti ini. Namun, bukankah diseminasi ide-ide seperti itu lebih mudah terjadi di dalam konteks masyarakat perkotaan dengan praktek-praktek politik yang koruptif dan kesenjangan sosio-ekonomi yang makin meningkat? (Kendhammer, 2013). Kemudian, diseminasi ide-ide pembaharuan keagamaan dan agenda-agenda sosial progresif ala kaum Muslim Demokrat juga terkesan elitis. Akibatnya, ide-ide kaum Muslim Demokrat justru terdengar asing bagi umat Islam Indonesia itu sendiri. Kesenjangan ini juga diperparah dengan praktek politik dari berbagai tokoh kaum Muslim Demokrat yang memutuskan untuk merapat dengan kekuatan-kekuatan bisnis dan politik yang oligarkis atau bergabung dengan politik kepartaian tanpa kalkulasi yang matang atas berbagai dilema dalam politik elektoral. Secara mengherankan, beberapa tokoh terkemuka dari kaum Muslim Demokrat juga mengadvokasi keunggulan agenda-agenda ekonomi politik pasar bebas, namun tidak melangkah lebih jauh dengan membongkar berbagai ortodoksi asumsi dari agenda-agenda tersebut.

Akibatnya, kaum Muslim Demokrat Indonesia justru terjebak dalam praktek-praktek politik yang oligarkis dan anti-demokratik yang berlawanan dengan agenda yang mereka perjuangkan selama ini. Kemudian, asosiasi masyarakat antara kaum Muslim Demokrat dengan keterlibatan mereka dalam politik praktis – suatu asosiasi yang ingin ‘diceraikan’ oleh kaum Muslim Demokrat namun nampaknya tidak berhasil – akhirnya memberikan dampak negatif bagi agenda-agenda pembaruan Islam itu sendiri. Imajinasi kolektif berbagai kelompok masyarakat, termasuk beberapa kelompok kelas menengah, atas kaum Muslim Demokrat, sebagai penyebar pemahaman keagamaan yang ‘sesat’ atau ‘nyeleneh,’ sedikit banyak berakar dari abainya kaum Muslim Demokrat atas faktor-faktor material-struktural yang berkaitan dengan aktivitas dan agenda intelektual mereka. Pada akhirnya, hal ini menjadi hambatan bagi agenda-agenda progresif dari kaum Muslim Demokrat itu sendiri dan agenda-agenda pembaruan Islam yang lebih luas.

Refleksi dan Penutup

Berkaca dari kegagalan kaum Muslim Demokrat dalam memperjuangkan agenda-agenda politik yang lebih demokratik dan anti-oligarki, untuk kedepannya saya melihat setidaknya ada dua catatan yang perlu diperhatikan kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia.

Pertama, kita perlu melihat pada proses sejarah sosial (social history) dari pembentukan suatu diskursus. Dalam pemikiran politik Barat, analisa sejarah sosial ini pernah dilakukan oleh Wood (2008; 2012) secara bernas untuk melihat apa sesungguhnya ketegangan utama dalam sejarah filsafat politik Barat. Kaum Muslim Demokrat dan kita, bagian dari gerakan sosial yang lebih luas di Indonesia, perlu belajar dari karya intelektual tersebut. Sejarah sosial pembentukan suatu diskursus intelektual, termasuk diskursus tentang peranan utama kaum Muslim Demokrat, tidak terlepas dari berbagai faktor material yang berada di sekelilingnya. Khususnya faktor pembentukan elit (elite formation), yaitu proses perkembangan intelektual dari para cendekiawan Muslim Demokrat itu sendiri dan juga proses perkembangan elit-elit ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan yang secara potensial dapat membantu perkembangan dan diseminasi diskursus para kaum Muslim Demokrat, misalnya perkembangan kelompok diskusi, lembaga tangki pemikir (think tank), dan sumber dana yang dapat membantu keberlangsungan lembaga-lembaga semacam itu. Tujuan dari analisa sejarah sosial atas suatu diskursus intelektual, tidak terkecuali diskursus Muslim Demokrat, adalah untuk mengetahui bagaimana suatu diskursus intelektual dalam perkembangannya dapat terdistorsi dan alih-alih mewakili kepentingan kelompok yang tertindas, justru menjadi perwakilan dan perpanjangan tangan dari kelas yang berkuasa.

Kedua, kooptasi diskursif dan ekonomi-politik atas agenda kaum Muslim Demokrat juga tidak lepas dari internasionalisasi dan ekpansi kapitalisme neoliberal yang memungkinkan kooptasi itu terjadi. Kaum Muslim Demokrat di Indonesia, juga tidak lepas dari jeratan proses kooptasi ini.

Apakah kaum Muslim Demokrat hanya menjadi kaum Muslim ‘Demokrat,’ pandai bercakap dan berdebat dalam diskursus dan leksikon agenda-agenda sosial dan politik liberal, namun abai pada struktur oligarkis yang menopangnya? Apakah kaum Muslim Demokrat, sebagaimana banyak elemen dari gerakan sosial yang lain, pada akhirnya tunduk kepada oligarki? Mungkin, hanya kaum Muslim Demokrat sendirilah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Namun, seingat saya, bukankah sejarah menunjukkan, sebagaimana dapat kita lihat dalam perjuangan berbagai elemen progresif dalam Sarekat Islam (SI) melawan kolonialisme, bahwa Islam hanya dapat menjadi kekuatan pembebas apabila ia berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas?

Ah, lagi-lagi saya lupa. Agaknya sudah lama kita enggan membaca kembali sejarah kita.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

Kepustakaan:

Buehler, M., 2008. ‘Shari’a By-Laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption.’ Southeast Asia Research, 16(2), pp. 165-195.

Carroll, T., 2009. ‘Social Development’ as Neoliberal Trojan Horse: The World Bank and the Kecamatan Development Program in Indonesia. Development and Change, 40(3), pp. 447-66.

Carroll, T., 2010. Delusions of Development: The World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. 1st ed. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Freire, P., 2006. Pedagogy of the Oppressed. 30th ed. New York: Continuum.

Kendhammer, B., 2013. ‘The Sharia Controversy in Northern Nigeria and the Politics of Islamic Law in New and Uncertain Democracies.’ Comparative Politics, 45(3), pp. xx-xx.

Lukacs, G., 1971. History and Class Consciousness. 1st ed. Cambridge: The MIT Press.

Rodinson, M., 1973. Islam and Capitalism. New York, NY: Pantheon Books.

Rodinson, M., 1980. Muhammad. New York: Pantheon Books.

Rodinson, M., 1981. Marxism and the Muslim World. New York, NY and London: Monthly Review Press.

Sommers, M., 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness, and the Right to Have Rights. 1st ed. New York: Cambridge University Press.

Wilson, I., 2010. ‘Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State in Post-New Order Jakarta.’ In: E. Aspinall & G. van Klinken, eds. The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press, pp. 239-259.

Wilson, I. D., 2006. ‘Continuity and Change: The Changing Contours of Organized Violence in Post-New Order Indonesia.’ Critical Asian Studies, 38(2), pp. 265-297.

Wood, E. M., 2008. Citizens to Lords: A Social History of Western Political Thought from Antiquity to the Middle Ages. 1st ed. New York: Verso.

Wood, E. M., 2012. Liberty & Property: A Social History of Western Political Thought from Renaissance to Enlightenment. 1st ed. New York: Verso.

Agama, Politik dan Pembebasan

Agama, Politik dan Pembebasan

Analisa Politik

http://indoprogress.com/agama-politik-dan-pembebasan/

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

AGAMA, dalam artiannya yang mencerahkan, dapat menjadi sumber kemajuan dan pembebasan. Tidak percaya? Mari kita membaca kembali sebuah cerita yang jarang didengar. Kali ini dari negeri sakura, sebuah cerita dari seorang novelis Jepang, Shusaku Endo, dalam novelnya, Hening (Silence atau Chinmoku dalam bahasa Jepang).

Abad ke-17. Alkisah, seorang Pastor Jesuit muda bernama Sebastião Rodrigues dikirim dari tanah Portugis ke negeri nun Jauh di sana: Zippangu atawa Nippon, begitu orang Barat di masa itu menyebutnya. Rodrigues dikirim bukan untuk misi sembarangan: santer terdengar kabar bahwa mentornya, Frater Cristóvão Ferreira, seorang misionaris ternama, telah murtad. Bukan hanya itu, Frater Ferreira bahkan telah kawin dengan seorang perempuan Jepang, menulis traktat anti-Kristen dan bahkan memiliki nama baru sebagai orang “Jepang”: Sawano Chuan.

Dengan tekad bulat, Pastor Rodrigues bertolak ke Jepang, tidak hanya untuk menyelidiki kasus mentornya Ferreira, melainkan juga untuk sebuah misi yang lebih penting: memberi layanan dan dukungan spiritual bagi para Kakure Kirishitan, umat Katolik Jepang yang terpaksa beribadah sembunyi-sembunyi demi menghindari persekusi oleh pemerintah Jepang di zaman Edo yang represif, terutama setelah diberangusnya pemberontakan Shimabara. Pemberontakan Shimabara yang sering dianggap sebagai pemberontakan keagamaan kaum Katolik melawan pemerintah Shogun, sejatinya merupakan ekspresi perlawanan para petani Jepang melawan negara yang semakin absolutis dan represif. Katolikisme, pada masa itu, dianggap berpihak kepada orang-orang kecil dan karenanya memberikan harapan bagi para petani miskin Jepang – yang kemudian banyak menjadi penganut Katolik.

Singkat cerita, Rodrigues berhasil masuk ke Jepang, menyapa para petani miskin dan umat Katolik yang tertindas, hingga kemudian ia tertangkap oleh pemerintah Shogun. Di saat itu pulalah ia bertemu Ferreira. Rodrigues menolak untuk murtad, bahkan sudah bersiap diri untuk disiksa, hingga kemudian ia dihadapkan pada suatu dilema keimanan yang dahsyat: yang disiksa bukanlah dirinya, melainkan para pengikutnya, dan para algojo pemerintah Shogun hanya akan berhenti menyiksa petani Katolik tersebut jika dan hanya jika Rodrigues bersedia mencampakkan iman Katoliknya: dengan kata lain, murtad.

Di tengah-tengah pergulatan batin Rodrigues, Ferreira mencoba meyakinkannya, rupa-rupanya itu yang dilakukan Ferreira bertahun-tahun yang lalu: ia akhirnya murtad karena tidak tahan menyaksikan penderitaan umatnya. Tapi Ferreira ternyata memiki alasannya sendiri. Katanya, ‘Kristus pastilah akan murtad untuk menyelamatkan mereka (para petani itu), bahkan jika itu berarti menyerahkan apa-apa yang telah Ia perjuangkan.’

Setengah dipaksa, tatkala Rodrigues akan menginjak fumie, pahatan bergambar Yesus, dalam ritual untuk menunjukkan apostasinya, mendadak dia mendengar figur Yesus dalam fumie tersebut berbicara!

‘Injak! Injaklah! Aku lebih tahu dari siapapun tentang rasa sakit di kakimu. Injaklah! Untuk diinjak-injak oleh umat manusialah maka Aku terlahir di dunia. Untuk menanggung penderitaan manusialah Aku memanggul Salib-Ku!’ (hal. 271).

Rodrigues akhirnya menginjak fumie itu dan secara resmi murtad. Tetapi, bagi Endo, aksi murtad Rodrigues itu justru merupakan manifestasi peribadatan yang sesungguhnya. Apostasi Rodrigues menjadi simbol pengejawantahan tertinggi dari keimanan: keberpihakan dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tertindas. Di novel tersebut, digambarkan bahwa Yang Transendental ikut memanggul penderitaan manusia.

Keimanan dan nilai-nilai keimananan rupa-rupanya dapat menjadi sumber politik pembebasan, emansipasi dan solidaritas, jika dan hanya jika, nilai-nilai tersebut berhasil keluar dari ortodoksi dogma dan doktrin dan diterjemahkan dalam praksis perlawanan. Bagi sebagian orang, ide ini terdengar revolusioner. Namun, bagi sebagian yang lain, ini hanyalah pembenaran bagi aksi kemurtadan.

Tak heran jika novel tersebut mengundang kontroversi

Agar tidak terlalu tegang, mari kita kembali menengok masa kini. Kali ini kita melompat ke tradisi Islam. Setidaknya akhir-akhir ini ada tiga peristiwa yang membuat orang kembali bertanya-tanya tentang peranan Islam dalam masyarakat modern: aksi kontroversial grup feminis Femen, kasus pengeboman Boston, dan kondisi diskursus keilmuan dan politik Islam di tanah air.

Dengan alasan solidaritas terhadap salah satu aktivis Femen asal Tunisia, Amina Tyler, yang mengalami persekusi setelah melakukan aksi topless di internet, berbagai aktivis Femen di berbagai belahan dunia melakukan aksi topless Jihad, berpose setengah bugil sembari menuliskan pesan-pesan yang menyamakan Islam dan tradisi keagamaan pada umumnya sebagai kemunduran peradaban. Mereka lupa dan alpa, bahwa aksi yang mereka anggap membela hak-hak perempuan itu justru semakin meneguhkan penggambaran rasis dan kolonialis atas para perempuan di komunitas Muslim: seakan-akan karena terlalu ‘lemah’ dan ‘tertindas,’ dikungkung oleh ‘tradisi’ dan ‘hijab’ mereka (tentunya dalam artiannya yang peyoratif),  para perempuan Muslim harus ‘dibebaskan’ oleh aktivis Femen – atau dengan kata lain para aktivis perempuan dari negeri Barat.

Lain lagi halnya dengan kasus pengeboman di kota Boston, Amerika Serikat, yang dilakukan oleh Tsarnaev Bersaudara, Dzhokhar dan Tamerlan, yang kebetulan berlatar belakang Muslim Chechnya. Di masa berkabung ini, berbagai komunitas Muslim di Amerika Serikat dan belahan dunia lain menyampaikan pesan simpati dan belasungkawa atas penderitaan para korban dan mengutuk tindakan pengeboman. Banyak orang cemas bahwa Islam akan kembali diasosikan dengan terorisme dan kekerasan. Namun, kenyataan berkata lain: sebagian besar umat Muslim adalah manusia biasa, yang memiliki aspirasi yang sama dengan warga dunia lain.

Di tanah air, para politisi, aktivis dan intelektual Islam sibuk berpolitik dan berdiskusi. Sebagian mengklaim memperjuangkan keadilan dan kemakmuran. Sebagian lain sibuk mengaku memperjuangkan Islam yang ‘pluralis’ dan ‘toleran.’ Semua atas panji-panji agama. Jangan-jangan mereka lupa dan alpa bahwa apa-apa yang mereka klaim tersebut bukanlah yang dibutuhkan oleh umat yang masih tertindas dan tereksploitasi.

Tentu saja, kritik ini tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap gerakan Feminis, rasa belasungkawa dan simpati saya terhadap korban pengeboman Boston, dan apresiasi saya terhadap warisan khazanah keilmuan dari tradisi Islam di Indonesia.

Narasi ini sekedar menunjukkan bahwa kenyataan tidaklah tunggal, melainkan penuh dengan kompleksitas. Rangkaian peristiwa ini juga menunjukkan bahwa ketidaktahuan dan ketidakpedulian ada di Barat maupun di Timur.

Karenanya, kita perlu menengok sejarah. Kita bisa saja mengasosiasikan KeKristenan dengan kolonialisme, Islam dengan terorisme, Buddhisme dan Konfusianisme dengan anti-modernitas, Barat dengan sekularisme dan lain sebagainya. Adalah lebih mudah untuk melakukan hal demikian. Namun, sejarah menolak tafsir tunggal. Sebaliknya, sejarah berkata lain. Tiap-tiap masyarakat dan peradaban memiliki dinamika dan khazanahnya sendiri yang perlu kita pahami.

Mari kita kembali ke ceritanya Endo. Dari Jepang, kita bertolak ke Amerika Latin.

Namanya Gustavo Gutiérrez, seorang pendeta Katolik ordo Dominikan asal Peru. Ia bukan pendeta biasa: refleksinya atas ketidakadilan dan penindasan atas kaum papa di negerinya dan Amerika Latin membuatnya tergerak. Pada tahun 1971, gebrakan pemikirannya diterbitkan: sebuah buku berjudul Teologi Pembebasan (A Theology of Liberation). Segera saja, Gutiérrez menjadi lokomotif ide-ide pembebasan dalam tubuh Gereja Katolik, baik di Peru maupun banyak tempat lain. Uskup Óscar Romero asal El Salvador yang menjadi martir melawan rejim otoriter di negerinya juga terinspirasi oleh ide-ide teologi pembebasan.

Dalam bukunya, Gutiérrez berujar, ‘teologi pembebasan mencoba merefleksikan pengalaman dan arti keimanan berdasarkan komitmen untuk memberantas ketidakadilan dan membangun masyarakat yang baru…Pembebasan dari setiap bentuk penindasan, kemungkinan akan kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat…yang dapat diwujudkan melalui perjuangan ini’ (hal,. 307)

Dari Amerika Latin, kita beranjak ke Afrika Selatan. Kali ini ide-ide pembebasan dari tradisi agama menulari Farid Esack, seorang intelektual dan aktivis Muslim kenamaan dari Cape Town. Bekal keilmuan yang didapat dari pendalamannya atas tradisi agama dipadukannya dengan kenyataan obyektif di negerinya: rejim apartheid yang otoriter dan rasis itu berkuasa dan karenanya rakyat Afrika Selatan tertindas. Ia tidak punya pilihan lain kecuali melawan. Selain tergabung dalam organisasi anti-apartheid Front Persatuan Demokratik (United Democratic Front) dan bekerja sama dengan Nelson Mandela, ia juga menulis argumen teologis dan religius tentang pembebasan dalam bukunya, Qur’an, Pembebasan dan Pluralisme (Qur’an, Liberation and Pluralism).

Iya, rupa-rupanya, agama dalam artiannya yang mencerahkan dapat menjadi sumber inspirasi politik pembebasan. Memang betul, agama bukan tanpa masalah, ada tendensi-tendensi konservatif dan reaksioner dalam beberapa bentuk penafsiran agama. Bahkan, sesungguhnya ide-ide apapun yang membawa janji-janji pencerahan dan emansipasi bisa terjebak dalam kemandekan dan dogmatisme. Dalam tradisi agama, kita menemukan bentuk-bentuk dogmatisme tersebut dalam praktek-praktek keagamaan ala abad pertengahan: mulai dari hasrat kekuasaan berbalut dalil teokratisme, pengerdilan makna agama jadi soal benar-salah dan boleh-tidak, hingga diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas dan perempuan.

Bung Karno menyebut kecenderungan ini sebagai ‘kehilangan Api Islam.’ Kita tidak mendapat apinya, hanya abunya saja. Namun, bukan berarti kecenderungan tersebut menihilkan potensi emansipatoris dan egalitarian dari agama. Tentu saja, potensi tersebut hanya akan hadir dalam penafsiran yang progresif yang diwujudkan dalam praktek-praktek sosial. Kepeloporan Sarekat Islam dalam pergerakan dan perjuangan pembebasan nasional, renaisans dunia Arab di era pasca-kolonial, sumbangan berbagai tradisi agama terhadap ilmu pengetahuan, hingga bentuk-bentuk penafsiran keagamaan yang kritis terhadap eksploitasi adalah bukti bahwa tradisi progresif itu ada dan layak dilestarikan.

Tidak heran jikalau Tan Malaka dalam pidatonya yang berjudul ‘Komunisme dan Pan-Islamisme’ pada Kongres Komunis Internasional yang Ke-empat pada 12 November 1922, menyerukan kesatuan tujuan dan perlunya menggalang kerjasama antara kaum Nasionalis, kaum Muslim, dan kaum Kiri.***

Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.

Pelarangan Marxisme, Sebuah Kekonyolan Sejarah

Pelarangan Marxisme, Sebuah Kekonyolan Sejarah

oleh: 

diunggah  pada 27 Maret 2013 dalam Analisa Politik

http://indoprogress.com/pelarangan-marxisme-sebuah-kekonyolan-sejarah/

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

Ketika mereka membakar buku,
Pada akhirnya, mereka juga akan membakar manusia
(Heinrich Heine, esais Jerman terkemuka)

DI TENGAH berbagai kabar seputar hiruk-pikuk politik di Indonesia, kita kembali mendapat berita yang mengejutkan: kini di Indonesia, barangsiapa yang menyebarkan Marxisme maka yang bersangkutan dapat diancam hukuman tujuh tahun penjara. Rupa-rupanya, rancangan KUHP ternyata menyerap TAP MPR mengenai larangan penyebaran Marxisme/Komunisme karena dianggap sebagai ‘kejahatan’ terhadap negara. Tentu saja, ada pengecualian untuk aktivitas ilmiah terkait dengan kajian Marxisme. Namun, tetap saja, sungguh, kabar ini merupakan sebuah ironi – terutama karena kekonyolan ini terjadi di Indonesia pasca-Orde Baru.

Pelarangan atas sebuah pemikiran, apapun bentuknya itu, merupakan pertanda kekerdilan jiwa dan ketidaksiapan diri menghadapi perubahan zaman.

Kita dapat bereaksi berbagai macam terhadap larangan ini: mengambil sikap masa bodoh atau marah. Namun, kedua-duanya tidak akan menyelesaikan masalah. Untuk dapat mengerti duduk perkara persoalan lebih jernih, meluruskan salah kaprah seputar rancangan KUHP, dan meluruskan gambaran umum tentang apa itu Marxisme, ada baiknya kita kembali melihat periode awal penyebaran Marxisme, baik di tingkat global maupun di Indonesia, sekaligus melihat sumbangan Marxisme tidak hanya untuk dunia akademik dan aktivitas ilmiah namun juga pada gerakan rakyat di berbagai belahan dunia.

Marxisme – ‘Dikutuk’ semenjak kelahirannya

‘Ada hantu bergentayangan di Eropa, hantu Komunisme.’ Kira-kira demikianlah terjemahan bebas dari barisan puitis paragraf awal pamflet politik sekaligus salah satu teks filsafat terkemuka dari Marx dan Engels, Manifesto Komunis. Bagi Marx maupun Engels, kata-kata tersebut bukanlah sekedar penarik perhatian bagi orang banyak untuk memahami kapitalisme secara lebih baik, namun juga sebuah saksi atas kenyataan sejarah – mengutip kata seorang teman, ‘bahkan sejak kelahirannya pun, Marxisme sudah dikejar-kejar dan dilarang-larang.’ Marxisme seakan-akan ‘dikutuk’ semenjak kelahirannya.

Sebenarnya, ini bukanlah kabar yang mengejutkan, karena sebagaimana digambarkan oleh Nicolaievsky dan Maenchen-Helfen (1973), penulis Karl Marx: Man and Fighter, sebuah biografi tentang Marx, bahkan ketika Marx muda mulai mempelajari pemikiran Hegel, semenjak itu pulalah Marx dan kemudian Marxisme dianggap subversif dan karenanya mengganggu ‘ketertiban umum.’ Di dalam konteks yang lain, seperti di bumi Amerika, para akademisi dan intelektual yang bersimpati dan mengkaji ide-ide Kiri secara serius menghadapi tantangan dan bahkan diskriminasi dalam berbagai bentuknya dalam dunia akademik dan intelektual (Parenti, 2006).

Namun, kita tidak ingin berhenti di situ, karena kita tidak bertujuan untuk ‘memistifikasi’ Marxisme, apalagi sekedar menjadikannya sebagai komoditas intelektual belaka maupun sekedar pelampiasan gejolak anak muda. Dari berbagai alasan untuk ‘takut’ terhadap Marxisme, saya pikir ada satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa kelas yang berkuasa ‘ngeri’ terhadap penyebarannya: karena, Marxisme memberikan dasar-dasar keilmuan sekaligus pisau analisa yang ilmiah untuk mengafirmasi perlawanan terhadap berbagai jenis struktur yang menindas. Marxisme memberikan dasar historis dan ilmiah bagi perjuangan berbagai kaum tertindas, mulai dari para petani di masa rejim absolutis di perancis, kaum levellers dan chartists di Inggris, hingga para petani di Asia Tenggara. Marxisme, dalam ulasan Marx yang klasik itu, membantu kita untuk tidak hanya memahami dunia secara ilmiah, namun juga untuk mengubahnya.

Tentu saja, Marxisme bukanlah ‘propaganda,’ atau dalam hasutan ala Orde Baru, kampanye untuk menyebarkan Atheisme dan kekerasan terhadap kawan sebangsa. Ratusan bahkan ribuan halaman yang ditinggalkan oleh Marx dan Engels merupakan dokumen ilmiah yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk menganalisa berbagai persoalan sosial: implikasi dari debat idealisme versus materialisme, analisa terhadap kapitalisme secara umum, pengaruh kapitalisme dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari pertanian hingga kesenian, panduan dan taktik bagi politik rakyat pekerja, dan segudang persoalan yang lain. Pengaruh Marxisme juga terasa di berbagai bidang keilmuan, mulai dari filsafat ilmu, ilmu politik, hingga sejarah dan banyak bidang lainnya. Mengamini Marxisme sebagai sebuah ‘doktrin’ sekaligus melabelinya sebagai ‘dogmatis’ dan bahkan ‘totaliter’ sebagaimana dilakukan oleh kaum empirisis dan positivis tentu lebih mudah dari mencoba memahami bagaimana metode Marxis bekerja dalam menginvestigasi berbagai persoalan sosial.

Bahkan, beberapa dari kita cenderung abai bahwa apa-apa yang sering disebut sebagai ‘ilmiah’ dan ‘bermanfaat bagi kepentingan umum’ sesungguhnya patut dicurigai karena bisa jadi klaim-klaim tersebut mewakili berbagai kepentingan ekonomi-politik tertentu.

Begitupun di Indonesia. Rupa-rupanya, pelarangan terhadap Marxisme masih merupakan sebuah perpanjangan atas ‘propaganda’ ala Orde Baru. Adalah suatu kekonyolan sejarah, sekali lagi saya ulangi, kekonyolan sejarah, untuk melarang Marxisme, atau ajaran apapun, berdasarkan klaim-klaim atas ‘keselamatan negara’ dan sebagainya. Lebih konyol lagi karena ini terjadi di sebuah negeri yang mengaku demokratis dan menghargai kebebasan berpikir dan berbicara – hak-hak warga negara yang jelas-jelas dilindungi oleh konstitusi.

Selain dalil normatif yang disebutkan di atas, ada dalil lain lagi yang tidak kalah penting untuk mengritik larangan terhadap Marxisme, yaitu sejarah. Apabila kita membaca sejarah, maka kita akan segera menyadari bahwa klaim-klaim atas ‘bahaya laten Komunisme,’ ‘bahwa ‘para Komunis adalah segerombolan Atheis yang kejam’ dan karenanya baik orang maupun ajarannya harus diberangus merupakan bagian dari propaganda Orde Baru untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaannya. Hal ini sejalan dengan apa diterangkan oleh sejarawan John Roosa (2008) dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal. Argumen kesejarahan lain yang patut untuk dipertimbangkan adalah sebuah fakta, terlepas dari berbagai dinamika dan perseteruan politik di masa lalu, elemen Kiri bangsa Indonesia telah berkontribusi banyak bagi usaha pembebasan nasional. Argumen ini juga diamini oleh ahli politik Asia Tenggara terkemuka, John Sidel (2013), dalam satu kuliah umumnya bahwa ide-ide Kiri – Marxisme dan Komunisme – seiring dengan ide-ide pembebasan dari tradisi Nasionalis, Republikan, maupun Keagamaan menjanjikan sebuah peluang emansipatoris (emancipatory potentials) bagi usaha pembebasan nasional di berbagai negara di Asia Tenggara.

Emansipasi, perlawanan dan Marxisme – bagi sebagian orang, tiga hal tersebut bagaikan minyak dengan air, apalagi bila ditambah dengan unsur keempat, yaitu tradisi dan agama. Namun, jikalau sempat, ada baiknya untuk melihat bagaimana sesungguhnya prinsip-prinsip ini dapat dirajut dalam kerangka Marxisme. Njoto (1962; 2003), salah satu penggerak PKI itu, menggambarkan dengan jelas mengenai prinsip-prinsip ini dalam karyanya, Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Dalam buku tipisnya tersebut, Njoto menjelaskan secara detail sekaligus gamblang mengenai dasar-dasar Marxisme dan relevansinya bagi gerakan rakyat di Indonesia. Njoto juga mencoba menulis tentang rumusan Marxisme yang lebih sesuai dengan konteks Indonesia. Usaha kontekstualisasi dan diseminasi ide-ide Marxis ini menjadi dasar dan inspirasi bagi gerakan rakyat yang lebih luas di Indonesia – suatu hal yang rupanya menjadi ancaman bagi kelas yang berkuasa di kemudian hari kelak.

Sumbangan Marxisme dan tantangan terhadapnya

Marxisme seringkali diasosiasikan dengan tragedi dan katastrofi horor yang terjadi Uni Sovyet dan negara-negara di blok Komunis semasa Perang Dingin. Kebrutalan rejim-rejim Stalinis tentu merupakan kegagalan besar yang perlu diakui secara jujur, sekaligus merupakan tamparan yang keras bagi gerakan Kiri di berbagai belahan dunia. Namun, bukan berarti bahwa Marxisme sebagai sebuah metode keilmuan telah bangkrut dan gagal, baik secara keilmuan maupun dalam usaha menginspirasi transformasi sosial di tatanan empirik.

Pembatasan jam kerja untuk buruh, negara kesejahteraan, jaminan sosial – program-program ini adalah segelintir pencapaian-pencapaian politik progresif yang diilhami oleh Marxisme. Di dalam konteks negara-negara dunia ketiga, sumbangsih Marxisme bagi ilmu sosial kritis, gerakan rakyat dan usaha-usaha pembebasan nasional tak dapat diabaikan. Gerakan petani di Chiapas, Meksiko; eksperimen Bolivarian di Venezuela; gerakan Occupy di Amerika Serikat; gelombang revolusi di Jazirah Arab; gerakan Kiri Baru di Eropa Barat pada dekade 1960an; hingga usaha pembebasan nasional di berbagai negara di Asia Tenggara; dan masih banyak contoh lain merupakan bukti bahwa Marxisme dapat menjadi dasar dan inspirasi bagi politik resistensi, demi mewujudkan suatu visi demokrasi yang radikal, deliberatif, dan emansipatoris.

Oleh karena itu, pelarangan terhadap Marxisme merupakan sebuah langkah yang tidak hanya ahistoris, namun juga menegasikan pencapaian-pencapaian politik progresif sejauh ini. Dalam konteks Indonesia, Marxisme bahkan dapat membantu kita untuk lebih memahami berbagai masalah di tanah air, mulai dari kesenjangan sosial-ekonomi, permasalahan terkait kebijakan desentralisasi, hingga naiknya tendensi vigilantis dalam beberapa kelompok Islam Politik. Secara politik, orang sah saja mengasosiasikan Marxisme dengan horor dan teror rejim Stalinis ataupun Khmer Merah, namun pengasosiasian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk melarang dan mengkriminalisasi Marxisme. Namun, kita juga bisa mengajukan sebuah pertanyaan nakal: jangan-jangan pelarangan terhadap Marxisme hanyalah bentuk lain dari pengalihan isu, penutupan atas relasi dan logika kuasa yang oligarkis yang menggerogoti Indonesia, atau sekedar membuat ‘kambing hitam’ baru atas berbagai persoalan yang tak kunjung teratasi di masyarakat akhir-akhir ini.

Namun, upaya pelarangan dan kriminalisasi terhadap aktivitas berpikir dan berpolitik yang dilindungi oleh konstitusi ini sesungguhnya dapat dilihat sebagai tantangan bagi gerakan progresif di Indonesia, untuk belajar bersama massa tentang Marxisme dan kegunaannya dalam memahami relasi kuasa di Indonesia, kapitalisme dan langkah-langkah apa yang seharusnya dilakukan oleh gerakan progesif untuk melampaui logika eksploitatif yang inheren dalam konfigurasi politik, ekonomi, dan sosial yang dominan dalam masyarakat Indonesia dan mewujudkan transformasi sosial yang berarti. Di dalam suasana politik yang lebih terbuka dan memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas politik deliberatif di tingkat akar rumput, maka perspektif Marxis bahkan menjadi lebih relevan sebagai pisau analisa – apalagi setelah rancangan pelarangan terhadap Marxisme di KUHP ini mengemuka di perdebatan publik.

Di dalam iklim politik yang lebih terbuka ini, kita juga dapat membuat diskursus tandingan melawan wacana pelarangan terhadap Marxisme. Tentu, ini bukan tugas yang mudah, terutama karena berbagai faktor, seperti faktor generasi (kelompok masyarakat yang lebih tua mungkin cenderung memahami Marxisme dalam kerangka imajinasi ala Orba), sisa-sisa propaganda Orde Baru yang masih saja melekat di benak beberapa segmen dalam masyarakat kita, kesadaran sejarah dan pengetahuan umum tentang Marxisme dan G30S yang dapat dikatakan masih rendah, hingga aksi-aksi vigilantis oleh berbagai laskar jalanan atas apapun yang diasosiasikan dengan ‘Kiri.’ Namun, justru tantangan ini menjadi bukti bagi kita betapa diskursus tandingan melawan wacana pelarangan terhadap Marxisme justru sangat diperlukan.

Jadi, kenapa musti takut dengan Marxisme? Ah, saya baru ingat: mereka yang berkuasa takut ketika rakyat jelata mencoba membuat sejarah.***

Penulis berterima kasih atas masukan dari rekan Berto Tukan mengenai tantangan di masa awal penyebaran Marxisme.

*Penulis berada di twitterland dengan id @libloc

Setelah Memilih Sudah Itu Selesai: Bagaimana Menghindari Jebakan Populisme

Setelah Memilih Sudah Itu Selesai: Bagaimana Menghindari Jebakan Populisme

Tanggapan dan Tambahan untuk Coen Husain Pontoh
Iqra Anugrah,
 mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University

http://indoprogress.com/2012/12/07/setelah-memilih-sudah-itu-selesai-bagaimana-menghindari-jebakan-populisme/

DI TENGAH carut marut dan bobroknya negeri kita, rupa-rupanya ada semacam ‘angin segar’ yang berhembus di kancah politik tanah air. Ya, kita masih berbicara tentang ‘demam’ Jokowi-Ahok akhir-akhir ini yang melanda bukan hanya Jakarta dan sekitarnya tetapi juga seluruh negeri. Kelihatannya, ada semacam usaha menuju perubahan sosial dan politik yang betul-betul transformatif di Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok – tapi benarkah? Patutkah kita ragu, apalagi di saat banyak orang begitu yakin dan menaruh harapan pada duet maut ini?

‘Tunggu dulu, jangan senang dulu, jangan-jangan ini cuma sekedar varian dari populisme!’ begitu kata kawan Coen, dalam artikelnya minggu lalu. Tanggapan seperti itu, saya pikir ada benarnya. Karenanya, saya ingin menanggapi dan menambahkan beberapa poin yang saya rasa perlu didiskusikan dalam kaitannya dengan fenomena Jokowi-Ahok dan populisme. Pertama, pada intinya saya menyetujui kritik dari kawan Coen, sekaligus tawarannya tentang Anggaran Partisipatif – yang tentu perlu kita akui merupakan sebuah tawaran yang tidak mudah untuk diwujudkan. Kedua, saya ingin menambal ‘gap’ yang belum ditutupi oleh pemaparan Coen, yaitu bagaimana kita, para warga, atau lebih tepatnya, paramassa, musti menanggapi fenomena Jokowi-Ahok ini?

Sesudah Memilih, Sudah Itu Selesai: Sebuah Pertanda ‘Penyakit’ Individualisme Lockean

Adalah naif jikalau kita beranggapan bahwa setelah mengikutipilkada Jakarta tempo hari lalu berhasil menaikkan Jokowi-Ahok ke kursi kekuasaan maka sim salabim, seluruh persoalan akan segera selesai – tapi, jangan-jangan kita mengidap penyaki seperti itu.

Mungkin observasi ini terlalu pribadi, bisa juga bias, tapi mungkin ada benarnya: di putaran pertama pilkada Jakarta, pasca pencoblosan di pagi hari, sisa hari digunakan oleh warga Jakarta untuk bersantai-santai atau berjalan-jalan. Warga kelas menengah ke atas kemudian membanjiri mall dan pusat perbelanjaan karena libur. Kita tidak menjadi seorang pengkhotbah atau mengajukan sebuah argumen normatif di sini, tetapi ini faktanya.

Dengan kata lain, demokrasi hanya menjadi sebuah ritual kosong, yang direduksi menjadi sebuah ritus tahunan yang bersifat individualistis. Ini mengingatkan saya akan konsepsiLockean Liberalism di Amerika Serikat. Pada mulanya, Liberalisme Lockean adalah sebuah konsepsi tentang perlindungan kebebasan, yang pada perkembangannya dimanefestasikan oleh dua hal utama: pertama, sistem ekonomi pasar; dan kedua, pemerintahan yang ‘kecil’ dan ‘terbatas’ (limited government). Liberalisme Lockean juga merayakan ‘individualisme,’ saya beri tanda kutip karena individualisme yang dimaksud adalah konsepsi manusia yang bersifat ‘atomistis’ ala kaum Empirisis. Kesimpulan dari pemikiran-pemikiran ini adalah, negara yang ramping, pasar bebas, relasi antar manusia yang seakan-akan hanya bersifat ‘transaksional,’ plus masyarakat yang pasif atas nama stabilitas demokrasi.

Kembali dalam kaitannya dengan fenomena Jokowi-Ahok dan kualitas demokrasi kita, saya mulai curiga, jangan-jangan virus atau wabah individualisme Lockean mulai menyebar tanpa kita sadari di antara kita. Sesudah memilih habis itu selesai, lalu kita lupa pentingnya menjaga dan mengawal jalannya demokrasi. Jangankan memikirkan persoalan-persoalan seperti kesenjangan sosial ekonomi, maraknya kaum preman berjubah, hingga kualitas pendidikan di komunitas lokal kita; jangan-jangan kita sudah mulai enggan menyapa tetangga. Alih-alih semangat komunitarianisme kewargaan ala filsafat Republikanisme atau sikap progresif dalam menanggapi berbagai fenomena politik, kita dihadapka oleh sejumlah persoalan baru.

Pertama, kondisi massa, terutama rakyat dari latar belakang sosio-ekonomi yang termarginalkan. Senada dengan kritik Coen, saya khawatir: jangan sampai rakyat kita terjebak oleh Messianisme atau Ratu-Adil-isme dalam melihat Jokowi dan Ahok. Sosok pemimpin, terutama dengan kharisma, terkadang memang tetap perlu, bahkan di zaman modern seperti ini, tetapi jikalau berlebihan, ini hanya akan berujung pada kultus individu dan personalisasi potensi transformasi sosial dari massa. Tentu saya tidak berbicara mengenai kultus individu ala Suharto atau rejim otoriter dan totaliter lainnya, tetapi kultus individu, bahkan dalam bentuknya yang paling kecil, dapat pelan-pelan mengikis daya kritik dan praxis kita. Menjadi terpana, atau gumun dalam istilah Jawanya, tentu bukan pilihan bagi gerakan.

Kedua, adalah kebiasaan kritik ‘pepesan kosong’ ala kelas menengah Jakarta (yang dengan jujur musti saya akui bahwa saya adalah bagian di dalamnya, suka atau tidak suka). Sekedar mengritik keadaan sembari duduk-duduk di pusat perbelanjaan atau gerai kopi terkemuka di ibu kota tentu tidak akan mengubah keadaan – meskipun banyak yang merasa dengan melakukan itu mereka sudah mengubah keadaan.

Kedua hal ini, bisa berujung ke dua masalah yang serius, yaitu ketergantungan massa atau rakyat akan sosok atau figur pemimpin dan kepasifan atau sikap acuh tak acuh atas proses politik. Riset-riset dalam tradisi behavioralis dalam ilmu politik memang mengatakan bahwa dua hal ini ‘berpengaruh positif’ bagi ‘stabilitas demokrasi.’ Tetapi, tentu ini bukan jawaban yang memuaskan, apalagi dari perspektif progresif-kritis. Mengamini jawaban tersebut berarti mengamini bahwa kita musti ‘taking politics out of politics,’ mencabut elan partisipatoris dan radikal dari proses politik itu sendiri. Bila demokrasi hanya menjadi persoalan kampanye dan memilih kandidat A atau B lalu beres, maka itu laksana berbelanja di pasar atau toko: ada pilihan, tapi hanya yang itu-itu saja. Untuk membawa kembali politik ke dalam ranahnya yang betul-betul demokratis, partisipatoris, dan deliberatif, maka rakyat yang sadar akan hak-hak dan potensinya dan berkomitmen melakukan transformasi sosial menjadi suatu keniscayaan.

Menghindari Jebakan Populisme

Untuk Jokowi-Ahok, tantangan dan tugas terberat tentunya adalah menghindari jebakan kekuasan yang teknokratis dan populis dan mewujudkan kekuasaan yang merakyat dan transformatif. Yang ingin saya tekankan adalah tantangan dan tugas kita, bukan hanya sebagai bagian dari gerakan progresif, tetapi juga bagian dari massa rakyat, yaitu untuk membangun dan mempraktekkan demokrasi yang liberatif dan partisipatoris sedini mungkin, sekecil mungkin.

Pendidikan menjadi kunci. Ini penting, meskipun memang bukan hal yang seksi. Hanya dengan saling belajar, kita bisa ‘meruqyah’ atau mengusir hantu kegumunan, tendensi Messianik, dan sikap acuh tak acuh. Jangan lupa, seperti kata Paulo Freire, kita juga musti waspada akan kecenderungan otoriter dari tiap-tiap kita, yang mungkin bersemayam di dalam orang yang mengaku paling egaliter sekalipun.

‘Obat’ lain lagi yang bisa jadi mujarab adalah, meminjam slogan seorang ulama terkenal, yaitu memulai dari hal yang kecil, saat ini, dan dari diri sendiri. Kita bisa memulai dari membangun dan merawat suatu hal yang klise yaitu modal sosial (social capital) dengan cara-cara sederhana, seperti menjadi warga yang peduli dengan tetangga dan aktif dalam komunitas lokal – suatu hal yang mungkin juga semakin jarang di daerah perkotaan akhir-akhir ini. Untuk mewujudkan demokrasi dan transformasi sosial yang betul-betul partisipatoris, terkadang kita tidak perlu memulai dari hal-hal yang besar, atau gugusan istilah-istilah yang rumit, meringkus perlawanan hanya sekedar kata, kata, dan kata atau keren-kerenan belaka.

Ini memang tidak mudah, tetapi tidak ada perjuangan yang mudah. Skenario terburuk, jikalau Jokowi-Ahok tidak bisa menghindari jebakan populis yang teknokratis, minimal kita sebagai rakyat yang sadar bisa mengantisipasi persoalan tersebut, tanpa perlu menjadi anak ayam yang kehilangan induknya. Karena politik emansipasi dan realisasi aspirasi dari tiap-tiap individual menjadi mungkin apabila kita sebagai masyarakat ‘berlatih’ demokrasi sejati (partisipatif dan liberatif) sedini mungkin.***

Surat dari ‘Northern Illinois University’

Di tengah-tengah gempuran hedonisme, korporatisasi sekolah dan universitas, serta neoliberalisme, saya tidak tahu apakah semangat itu masih ada di angkatan muda kita sekarang, terutama yang di perkotaan – yang mungkin sudah puas dengan kuliah, pulang, nongkrong dengan teman, sibuk dengan mode pakaian dan gaya hidup terbaru sembari mencari peluh di pusat-pusat kebugaran terkemuka.


Kamis, 6 September 2012Iqra Anugrah*

Surat dari ‘Northern Illinois University’

TERKADANG, banyak hal besar bermula dari hal-hal kecil yang bersifat keseharian. Saya tidak ingin mengklaim bahwa saya sudah melakukan suatu gebrakan yang luar biasa dan sebagainya ataupun mengumbar narasi kehidupan saya, karena seperti kata Chomsky, cerita mengenai kehidupan seseorang terkadang justru mengaburkan pemahaman kita dari ide, gagasan serta aksi orang tersebut. Tetapi, saya ingin sedikit berbagi, siapa tahu cerita ini bisa bermanfaat. Berikut saya kirimkan surat dari Northern Illinois University, tempat saya berada sekarang.

Narasi saya mungkin biasa-biasa saja, mungkin juga tidak. Saya lahir di Jakarta, dibesarkan di keluarga kelas menengah. Tidak ada yang spesial dalam kehidupan saya, tapi mungkin beberapa kejadian dalam hidup saya sangat berpengaruh dalam pembentukan pandangan hidup dan politik saya. Kurang lebih ada tiga hal yang membentuk pandangan tersebut, yaitu masa-masa ketika keluarga saya harus berjuang secara finansial, pengalaman urban seperti menaiki bis kota yang memungkinkan saya melihat kesenjangan dalam masyarakat kota dan kehidupan secara umum dan persentuhan saya dengan dunia pergerakan Islam di Pelajar Islam Indonesia (PII) yang meskipun singkat dan mungkin tidak dalam, mengajari saya mengenai pentingnya politik, pendidikan dan aspek spiritual sekaligus melengkapi apa-apa yang saya ketahui mengenai dunia pergerakan dari keluarga saya – kebetulan, saya lahir dari keluarga dengan tradisi pergerakan, ibu saya dulunya adalah aktivis HMI. Meskipun kemudian saya berangkat ke luar negeri untuk studi, persentuhan saya di pergerakan tetap terjaga dengan menjalin kontak personal dengan teman-teman di tanah air sekaligus aktif dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), terutama ketika saya di Jepang. Pengalaman ini juga yang turut mendorong saya untuk terjun ke dunia sosial baik dalam ranah aksi dan pergerakan maupun keilmuan dan pemikiran.

Perjalanan hidup saya juga diwarnai oleh pengembaraan intelektual saya. Awalnya saya tertarik untuk mendalami ilmu agama Islam – ketika kecil, awalnya saya kira saya akan menjadi seorang pemuka agama atau sufi. Tetapi pengembaraan saya ternyata membawa saya ke arah pemikiran yang tak terduga. Semenjak SMP, saya mulai tertarik dengan kajian Islam (Islamic Studies) dan filsafat Barat – saya mulai membaca buku-buku dan bacaan “aneh” lainnya secara sporadis. Ketika SMA, saya memang masuk di kelas IPA, tetapi dunia sains dan eksakta yang menjadi rigid dalam sistem pendidikan Indonesia yang konservatif itu tidak menarik bagi saya – minat saya tetap di dunia sosial dan humaniora. Pada saat yang bersamaan, minat saya mulai bergeser, dari filsafat ke ilmu politik – yang saya pikir lebih empiris dan lebih dapat menjawab pertanyaan dan persoalan riil di masyarakat seperti eksploitasi dan kemiskinan.

Alhamdulillah, dengan bantuan beasiswa dari satu universitas internasional di Jepang, Ritsumeikan Asia Pacific University, saya dapat meneruskan dan mendalami minat saya itu. Sebenarnya, tidak ada jurusan “ilmu politik” di universitas saya seperti di Indonesia atau di Amerika – pada saat itu, yang terdekat dengan ilmu politik adalah jurusan Hubungan Internasional, maka jadilah saya bidang tersebut. Tidak disangka, “pencerahan” yang saya dapatkan di kampus justru datang dari dosen-dosen saya yang mendalami antropologi, sosiologi dan kajian kawasan seperti kajian Asia Tenggara. Dari seseorang yang berpikir akan menekuni karir sebagai ahli dan praktisi Hubungan Internasional yang mengerti seluk beluk masyarakat Eropa dan Barat pada umumnya yang akan bekerja di organisasi kepemerintahan atau LSM internasional, saya melakukan “loncatan intelektual” dengan menekuni studi politik Asia Tenggara – salah satunya karena saya berkesimpulan kita, orang Timur, perlu membuat narasi kita sendiri. Setelah menyelesaikan S1, yang kebetulan tempuh dalam waktu 3 tahun, saya memutuskan untuk mengambil S2 di bidang kajian Asia di universitas yang sama. Tahun 2011 kemarin, saya lulus dengan gelas M.Sc. In Asia Pacific Studies dengan tesis tentang partai politik dan perda syariah. Total, dalam waktu 4 tahun saya tuntaskan pendidikan S1 dan S2 saya.

Sebenarnya, saya dapat melanjutkan studi doktoral di Jepang dengan beasiswa penuh, tapi saya merasa harus keluar dari zona nyaman dan mencari tantangan baru. Akhirnya, saya memutuskan untuk melanjutkan studi saya di Amerika Serikat (AS). Tadinya saya ingin mendaftar untuk program doktoral, tetapi karena pendaftaran beasiswa ke kampus-kampus di AS sedang susah pada waktu itu, saya akhirnya memutuskan untuk mengambil gelar magister kedua, kali ini di bidang ilmu politik di Ohio University, yang kebetulan menyediakan beasiswa. Sebenarnya, beasiswa ketika saya studi di Ohio jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang saya terima di Jepang – sampai-sampai sebagian tabungan saya yang saya kumpulkan di Jepang harus terpakai. Alhamdulillah, berkat bantuan dan doa dari banyak pihak, saya berhasil diterima di program doktoral atau PhD di bidang ilmu politik di Northern Illinois University dengan beasiswa penuh dalam bentuk assistantship yang baru saja saya mulai akhir Agustus kemarin.

Sekarang, perjalanan intelektual saya semakin “meliar”. Saya tidak mau tunduk dan menelan bulat-bulat kerangka berpikir ilmu politik ala beberapa ilmuwan atau lulusan ilmu politik di tanah air yang mengidentikkan ilmu politik dengan survey dan konsultansi politik sembari abai dengan persoalan-persoalan politik di masyarakat kita yang musti segera diselesaikan – seperti kesenjangan sosial, eksploitasi ekonomi-politik, kekerasan bernuansa agama, kegagapan gerakan-gerakan sosial dalam melakukan perubahan, dlsb. Visi saya adalah menjadi intelektual organik yang eklektik dan misi saya adalah melakukan pemikiran dialektis dan sintesis yang kreatif dari apa-apa yang saya pelajari di kelas dan kehidupan. Tidak heran, jikalau sekarang arah pemikiran saya kembali membawa saya ke dunia filsafat postmodernisme dan Kiri kontemporer. Minat saya semakin meluas – dari mulai persoalan metode dan paradigma dalam ilmu politik, etnografi politik, pendekatan visual dalam riset ilmu politik, transisi dari feodalisme ke kapitalisme, hingga studi elit dan teori negara.

Berkaitan dengan hal tersebut, saya juga mulai memikirkan topik untuk riset doktoral – meskipun masih jauh untuk sekarang. Saya berkeinginan untuk meneliti tentang para elit dan bagaimana mereka mempengaruhi relasi kuasa dalam politik dalam kerangka demokrasi seperti yang kita sekarang miliki. Sesungguhnya, ini akan berujung pada persoalan-persoalan klasik dalam ilmu sosial, filsafat dan humaniora, seperti apakah para elit terkoordinasi sebagai kelas atau merupakan kumpulan oligarki yang berdiri sendiri-sendiri? Bagaimana hubungan negara dan “kelas elit” dalam hal ini?

Selain dari hal-hal tersebut di atas, beberapa teman juga sering bertanya mengenai pandangan saya mengenai beberapa hal, seperti hubungan Islam dan Politik, Islam politik di Indonesia, masa depan Islam Politik di Indonesia, krisis multidimensi dan prospek pergerakan kaum muda ke depannya. Jujur, saya tidak memiliki jawaban yang jelas bagi persoalan-persoalan rumit tersebut, apalagi berpretensi menjadi “ahli politik”, “pakar politik” atau “pengamat politik” yang seakan-akan dapat memberikan jawaban bagi semua persoalan dalam balutan permainan kata-kata dan istilah yang rumit padahal terjebak dalam suatu ritus selebritisasi kepakaran yang justru mereduksi daya analisa dari ilmu sosial itu sendiri. Tetapi, mungkin saya dapat memberikan beberapa pandangan saya mengenai hal-hal tersebut.

Bagi saya, tidak perlu ada ketegangan antara Islam dan modernitas atau politik. Dalam hal ajarannya, secara inheren tidak ada ajaran Islam yang menghalangi ummat Islam untuk maju, sebagaimana diungkapkan oleh pemikir-pemikir progresif seperti Maxime Rodinson, Edward Said, hingga Cak Nur dan Gus Dur. Pengalaman saya dalam dunia pergerakan juga menunjukkan demikian. Musuh bersama kita sesungguhnya adalah eksploitasi ekonomi-politik yang kita lihat dalam struktur ekonomi global saat ini, ekspansionisme dan jingoisme ala imperium yang dilakukan oleh negara-negara Barat terutama AS yang mengancam perdamaian dunia, sekaligus tendensi otoritarianisme, fundamentalisme dan kekerasan yang bersemayam di dalam jiwa para pemimpin dan pemuka agama kita atas nama “ummat” atau “rakyat”. Itulah yang harus kita lawan – tentunya dengan cara-cara yang demokratis, santun, berpihak pada massa dan dengan kerelaan untuk saling belajar dan mendidik satu sama lain alih-alih menggurui.

Karenanya, respon-respon yang dilakukan oleh para fundamentalis dan dogmatis – baik di Kanan, Tengah maupun di Kiri, di Barat maupun di Timur, sungguhlah reaksioner, menyedihkan dan seringkali memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebagai warga dunia, kita harus belajar untuk menyerap tradisi-tradisi terbaik baik dari Barat maupun Timur – dan itu memang tidak mudah. Saya teringat salah satu ucapan dari Oscar Wilde, sastrawan Inggris terkemuka itu. Ia berkata begini, “adalah lebih mudah untuk bersimpati kepada penderitaan dibandingkan terhadap pemikiran”. Kemarahan, kesedihan, rasa kasihan terkadang dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, seperti menyumbang, protes atau menolong sesama – tetapi terkadang hanya untuk sesaat, tanpa mengubah struktur ekonomi, politik, budaya dan sosial yang menyebabkan terjadinya penderitaan tersebut. Berpikir, karenanya, menyiratkan suatu aktivitas yang radikal sekaligus reformis, revolusioner sekaligus evolusioner, demi sebuah perubahan – bukankah para pemikir dan pemimpin besar dunia tidak membangun pemikiran dan aksi mereka dalam satu malam?

Karenanya, kaum muda dapat memikul tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan “tugas” tersebut. Saya katakan “dapat” karena itu semua tergantung pilihan. Di tengah-tengah gempuran hedonisme, korporatisasi sekolah dan universitas, serta neoliberalisme, saya tidak tahu apakah semangat itu masih ada di angkatan muda kita sekarang, terutama yang di perkotaan – yang mungkin sudah puas dengan kuliah, pulang, nongkrong dengan teman, sibuk dengan mode pakaian dan gaya hidup terbaru sembari mencari peluh di pusat-pusat kebugaran terkemuka. Di satu sisi yang lain, beberapa teman-teman yang terjun ke pergerakan justru menempuh jalan yang “kurang tepat”, dengan terjun dalam beberapa pergerakan Islam Politik yang justru memiliki varian dan tendensi reaksioner, politik praktis dan konservatif. Eksploitasi ekonomi-politik pun terus terjadi, buruh, tani, kaum miskin kota, kaum minoritas terus tertindas.

Saya tidak sedang menganjurkan kita untuk menjadi seorang “revolusioner puritan”. Bagaimanapun, kita perlu mengapresiasi hidup – saya sendiri melakukannya dengan sering-sering nongkrong dan bercanda dengan teman-teman saya, menonton film dan mendengarkan musik, berjalan-jalan, intinya menikmati hidup seperti kebanyakan anak muda pada umumnya. Tetapi, mungkinkah kita menghargai dan membela kemanusiaan dalam artiannya yang universal – membela kehidupan baik bagi kita maupun bagi mereka yang bukan kita?

Tetapi saya tidak pesimis. Mungkin kita ibarat lahan gambut – api yang pernah dinyalakan itu kini ‘tersembunyi’, menunggu musim panas untuk menyapu dan membangkitkan sang Api dari tidurnya. Bara perlawanan itu sudah pernah kita sulut, ia hanya menunggu untuk dinyalakan kembali.

(Penulis adalah kontributor PelitaOnline.com untuk kawasan Amerika Serikat)